You are on page 1of 31

LAPORAN TUGAS AKHIR

AE3210 AERODINAMIKA II

DESAIN DAN ANALISIS WIND TUNNEL SUPERSONIK

Oleh

Ardhana Tahriza Syarif 13615016


Shabri Chairul Akmal 13615044
Diksan Muhammad 13615047

Tanggal Pengumpulan : 19 Mei 2018

PROGRAM STUDI TEKNIK DIRGANTARA

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2018
1 Pendahuluan
Dalam perancangan pesawat terbang, pengujian dalam terowongan
angin (wind tunnel) memegang peranan penting dalam hal efisiensi proses.
Efisiensi proses perancangan yang dimaksud adalah, dengan melakukan
pengujian model pesawat udara yang diperkecil (scaled model) di dalam
terowongan angin, parameter-parameter yang diperoleh melalui pengujian
wind tunnel tersebut akan mendekati kondisi sebenarnya karena parameter
yang dimaksud telah diubah menjadi besaran nondimensional. Dampaknya
bagi para perancang, pembuatan (model) pesawat dalam ukuran asli yang
memakan biaya besar, baik dalam pembuatan kali pertama maupun dalam
pembuatannya sebagai iterasi dalam pengujian-pengujian berikut, dapat
dihindari.
Mulai pertengahan dekade keempat abad ke-20, pengujian aliran udara
supersonik dalam wind tunnel sudah dapat dilakukan yang dipelopori oleh
Adolf Busemann di Jerman (Anderson, 2011: 671). Dengan dimulainya
pengujian aliran supersonik di dalam wind tunnel tersebut, pesawat terbang
yang mampu menembus batas kecepatan suara (sound barrier) pun
bermunculan pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II berakhir. Hingga
sekarang, pengembangan pesawat yang terbang dalam rezim aliran
supersonik masih berlangsung, utamanya pesawat jet tempur yang mampu
mencapai bilangan Mach tinggi (𝑀 ≥ 2.0). Lebih lagi, negara-negara maju
berpacu untuk mengembangkan teknologi pesawat tempur yang terdepan
serta mampu saling mengalahkan teknologi yang telah diterapkan pada
pesawat tempur negara pesaingnya. Oleh karena itu, ketika suatu negara telah
berhasil membuat produk pesawat tempur yang memanfaatkan kemajuan
bidang aerodinamika supersonik, negara tersebut dapat disejajarkan dengan
negara-negara lain yang menjadi pionir teknologi supersonik. Padahal, untuk
mencapai semua kemajuan itu, mustahil jika tidak diawali dengan penelitian
yang saksama di dalam laboratorium yang dilengkapi dengan terowongan
angin supersonik.

2
Gambar 1 Terowongan Angin Supersonik Pertama Rancangan A. Busemann,
Jerman, Pertengahan 1930-an (Anderson, 2011: 671)
Dengan demikian, pengembangan terowongan angin supersonik
menjadi esensial sebagai permulaan bagi pengembangan teknologi pesawat
supersonik yang mampu mengakselerasi kemajuan teknologi di Indonesia
secara efektif, lebih lagi secara efisien. Efektif, artinya akselerasi kemajuan
teknologi dirgantara di Indonesia, utamanya dalam bidang aerodinamika
supersonik, berkesinambungan secara pasti. Efisien, artinya usaha dalam
rangka akselerasi tersebut dapat dilakukan dalam secepat-cepatnya waktu,
dan dengan sesedikit mungkin biaya. Karena di Indonesia telah tersedia wind
tunnel subsonik kecepatan rendah (low-subsonic), demi meningkatkan
kemampuan penguasaan teknologi, perlu juga diadakan wind tunnel
supersonik dalam rangka pendidikan, lebih-lebih dalam skala industri.
Laporan Tugas Akhir AE3210 Aerodinamika II: Desain dan Analisis Wind
Tunnel Supersonik ini Penulis harapkan dapat menjadi pemacu bagi insan-
insan intelektual Indonesia yang memiliki tekad kuat dalam pengembangan
teknologi dirgantara di negeri ini.

2 Tujuan
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah AE3210
Aerodinamika II. Secara umum, tugas akhir AE3210 Aerodinamika II ini
memiliki tujuan sebagai berikut.

3
1) Mendesain terowongan angin (wind tunnel) supersonik.
2) Melakukan analisis pada beberapa nilai back pressure statik di outlet.
3) Melakukan simulasi dengan menggunakan perangkat lunak
computational fluid dynamics (CFD).
4) Membandingkan hasil perhitungan analitis dan komputasi (simulasi).
Pada akhirnya, hasil desain wind tunnel supersonik harus memenuhi kriteria
efisiensi optimum, seperti yang akan dijelaskan kemudian.

3 Persyaratan dan Asumsi Desain


Dalam mendesain wind tunnel supersonik ini, terdapat beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi serta asumsi sebagai berikut.
1) Bilangan Mach aliran pada test section (outlet dari divergent-
convergent-divergent nozzle) berada dalam rentang 1.5 ≤ 𝑀 ≤ 2.0.
(Pilih satu nilai bilangan Mach sebagai kondisi desain.)
2) Luas penampang throat maksimum sebesar 𝐴 = 0.15 m2 .
3) Temperatur reservoir sebesar 𝑇 = 300 K.
4) Tekanan reservoir berada dalam rentang 500 kPa ≤ 𝑝 ≤ 1300 kPa.
5) Bilangan Mach off-design bervariasi dalam rentang ±0.2 dari bilangan
Mach on-design. (Variasi bilangan Mach dilakukan dengan cara
mengubah-ubah tekanan statik pada outlet.)
6) Kriteria desain intake untuk efisiensi optimum didasarkan atas nilai
total loss minimum dan panjang minimum.
7) Seluruh aliran bersifat isentropik, sampai suatu titik di depan shockwave
normal (serta dari titik di belakang shockwave hingga ke outlet dari
wind tunnel). Sementara itu, properti aliran saat melewati shockwave
mengikuti hubungan nonisentropik.

4 Teori Dasar
4.1 Aliran Isentropik
Aliran isentropik didefinisikan sebagai aliran yang bersifat adiabatik
dan reversibel. Aliran isentropik bersifat adiabatik berarti tidak ada
pertukaran panas antara sistem yang sedang ditinjau dengan lingkungannya.

4
Namun demikian, temperatur di dalam sistem isentropik masih dapat berubah
akibat adanya perubahan massa jenis dalam aliran. Selain itu, aliran
isentropik juga bersifat reversibel yang berarti tidak ada friksi (gesekan)
antara dinding sistem dan lingkungan. Karena tidak ada friksi, efek loss yang
bersifat disipasi juga tidak ada dalam sistem yang reversibel. Terakhir, karena
terdapat kemungkinan perubahan massa jenis pada aliran yang bersifat
isentropik, asumsi aliran inkompresibel menjadi tidak berlaku. Dengan kata
lain, aliran isentropik hanya berlaku pada aliran kompresibel.
Melalui asumsi isentropik, hubungan variabel-variabel termodinamika
pada dua titik dalam suatu aliran streamline dapat ditentukan. Hubungan
isentropik yang dimaksud adalah sebagai berikut,
𝛾
𝑝2 𝜌2 𝛾 𝑇2 𝛾−1
=( ) =( ) … (1)
𝑝1 𝜌1 𝑇1
yang diturunkan dari persamaan entropi (hukum II Termodinamika),
𝑇𝑡2 𝑝𝑡2
𝑠2 − 𝑠1 = 𝑐𝑝 ln − 𝑅 ln … (1𝑎)
𝑇𝑡1 𝑝𝑡1
Dalam persamaan (1) di atas, 𝑝 adalah tekanan, 𝜌 adalah massa jenis, 𝑇
adalah temperatur, dan 𝛾 adalah rasio kalor spesifik (specific heat), yang
bernilai 𝛾 = 1.4 untuk udara. Sementara itu, dalam persamaan (1a), 𝑐𝑝 adalah
kalor spesifik pada tekanan konstan, 𝑅 adalah konstanta gas ideal yang
bernilai 𝑅 = 287 J/kg ∙ K, dan subskrip t menyatakan properti total.
Untuk memperoleh hubungan antara parameter-parameter aliran
kompresibel dan variabel-variabel termodinamika, perlu dilakukan modifikasi
pada persamaan kontinuitas, kekekalan momentum, dan kekekalan energi
(hukum I Termodinamika). Dalam laporan ini, hanya akan ditunjukkan
hubungan-hubungan isentropik antara berbagai properti aliran sebagai hasil
akhir dari penurunan tadi. Beberapa hubungan isentropik pada parameter
aliran kompresibel adalah sebagai berikut.
1) Properti stagnasi (total) dan properti statik
Subskrip t menyatakan properti total.
𝑇𝑡 𝛾−1 2
=1+ 𝑀 ; … (2𝑎)
𝑇 2

5
𝛾
𝑝𝑡 𝛾 − 1 2 𝛾−1
= (1 + 𝑀 ) ; … (2𝑏)
𝑝 2
1
𝜌𝑡 𝛾 − 1 2 𝛾−1
= (1 + 𝑀 ) . … (2𝑐)
𝜌 2

2) Properti total dan properti pada throat (kritis)


Tanda asterisk (*) menyatakan properti pada throat (kritis).
𝑇𝑡 𝛾 + 1
= ; … (3𝑎)
𝑇∗ 2
𝛾
𝑝𝑡 𝛾 + 1 𝛾−1
= ( ) ; … (3𝑏)
𝑝∗ 2
1
𝜌𝑡 𝛾 + 1 𝛾−1
= ( ) . … (3𝑐)
𝜌∗ 2

3) Properti statik dan properti kritis


𝑇 𝛾+1
= ; … (4𝑎)
𝑇 ∗ 2 (1 + 𝛾 − 1 𝑀2 )
2
𝛾
𝛾−1
𝑝 𝛾+1
= [ ] ; … (4𝑏)
𝑝∗ 𝛾−1
2 (1 + 2 𝑀2 )
1
𝛾−1
𝜌 𝛾+1
=[ ] . … (4𝑐)
𝜌 ∗ 𝛾−1 2
2 (1 + 2 𝑀 )

4) Bilangan Mach real dan bilangan Mach referensi


0.5
𝛾+1
𝑀∗ = 𝑀 [ ] . … (5)
𝛾−1
2 (1 + 2 𝑀2 )

5) Rasio luas penampang


𝛾+1
𝐴 1 2 𝛾 − 1 2 2(𝛾−1)
= [( ) (1 + 𝑀 )] . … (6)
𝐴∗ 𝑀 𝛾 + 1 2

6
4.2 Aliran Noninsentropik
Secara sederhana, aliran yang bersifat nonisentropik adalah aliran yang
memiliki sifat-sifat yang berlawanan dari aliran isentropik. Sifat-sifat yang
dimaksud adalah aliran nonisentropik bersifat salah satu di antara
nonadiabatik dan ireversibel, atau keduanya. Aliran nonisentropik dapat
bersifat nonadiabatik berarti terjadi perpindahan kalor (panas) melalui tepi
batas (boundary) sistem. Perpindahan panas ini, yang terjadi melalui proses
konduksi, akan mengubah temperatur total aliran.
Aliran nonisentropik juga dapat bersifat ireversibel. Ireversibel, artinya
aliran nonisentropik akan mengalami friksi pada boundary sistem. Sebagai
akibat adanya loss berupa friksi ini, di dalam medan aliran nonisentropik,
akan terjadi perubahan momentum, serta terjadi pengurangan tekanan total
sebagai gejala fisik yang lebih mudah untuk diamati.
Salah satu fenomena aliran yang bersifat nonisentropik adalah normal
shockwave, atau gelombang kejut normal. Selain shockwave normal,
fenomena shockwave oblik (oblique shockwave), gelombang ekspansi
(expansion wave), aliran dengan transfer panas atau aliran Rayleigh (Rayleigh
flow), serta aliran dalam pipa dengan friksi atau aliran Fanno (Fanno flow)
juga termasuk ke dalam aliran yang bersifat nonisentropik. Namun demikian,
dalam analisis wind tunnel ini, hanya akan dilakukan analisis terhadap normal
shockwave tanpa mengindahkan fenomena-fenomena nonisentropik yang
lain; fenomena lain diabaikan. Shockwave normal sebagai fenomena
nonisentropik akan diuraikan sebagai berikut.

4.2.1 Gelombang Kejut Normal (Normal Shockwave)


Gelombang kejut normal (normal shockwave) didefinisikan
sebagai shockwave yang tegak lurus terhadap aliran fluida (udara).
Shockwave sendiri adalah suatu daerah yang sangat tipis dengan
ketebalan yang berkisar 10−5 cm pada udara keadaan standar. Di
depan (upstream) shockwave, aliran udara bersifat subsonik,
sedangkan di bagian belakangnya (downstream), aliran bersifat

7
supersonik. Skema umum fenomena shockwave normal ditunjukkan
pada Gambar 2 dan 3 di bawah ini. Ketika melewati normal
shockwave, properti aliran berubah secara drastis: tekanan statik,
temperatur, dan densitas udara bertambah, sementara kecepatannya
berkurang. Namun demikian, besarnya entalpi total tidak berubah
ketika melalui shockwave karena sesuai dengan prinsip kekekalan
energi.

Gambar 2 Diagram Shockwave Normal (Anderson, 1970: 48)

Gambar 3 Perbandingan antara Streamline Aliran Subsonik (a) dan Supersonik


(b) untuk Aliran yang Menabrak Permukaan Datar (Anderson, 1970: 64)

Properti-properti aliran, seperti yang telah disebutkan


sebelumnya, berubah melalui hubungan-hubungan berikut.
1) Bilangan Mach

8
2 + (𝛾 − 1)𝑀12
𝑀22 =
2𝛾𝑀12 − (𝛾 − 1)
Keterangan:
𝑀 : bilangan Mach aliran;
𝛾 : rasio specific heat;
subskrip 1 : properti di upstream (di depan) shockwave;
subskrip 2 : properti di downstream (di belakang) shockwave.
2) Massa jenis udara (statik)
𝜌2 𝒱1 (𝛾 + 1)𝑀12
= =
𝜌1 𝒱2 2 + (𝛾 − 1)𝑀12
Keterangan:
𝜌 : densitas (massa jenis) udara, statik;
𝒱 : volume udara.

3) Tekanan statik, 𝒑
𝑝2 2𝛾(𝑀12 − 1)
=1+
𝑝1 (𝛾 + 1)

4) Temperatur (statik), 𝑻
𝑇2 [2𝛾𝑀12 − (𝛾 − 1)][2 + (𝛾 − 1)𝑀12 ]
=
𝑇1 (𝛾 + 1)2 𝑀12

5) Tekanan total, 𝒑𝒕
−1 𝛾
𝑝𝑡2 2𝛾𝑀12 − (𝛾 − 1) (𝛾−1) (𝛾 + 1)𝑀12 (𝛾−1)
=[ ] [ ]
𝑝𝑡1 (𝛾 + 1) 2 + (𝛾 − 1)𝑀12

6) Entropi, 𝒔
𝑠2 − 𝑠1 1 2𝛾𝑀12 𝛾−1 𝛾 2 + (𝛾 − 1)𝑀12
= ln [ − ]+ ln [ ]
𝑅 (𝛾 − 1) (𝛾 + 1) 𝛾 + 1 (𝛾 − 1) (𝛾 + 1)𝑀12

4.3 Wind Tunnel Supersonik

9
Wind tunnel supersonik adalah satu jenis wind tunnel dengan susunan
yang khas, yaitu nozzle konvergen-divergen, seksi uji (test section), dan
diffuser konvergen-divergen, secara berturut-turut. Susunan seperti ini
diperlukan untuk meningkatkan efisiensi wind tunnel karena untuk mencapai
bilangan Mach tertentu pada seksi uji, rasio tekanan reservoir dan tekanan
bagian exit dari nozzle harus bernilai tertentu pula. Penempatan nozzle kedua
setelah seksi uji dilakukan dengan tujuan yang sama: terdapat rasio tekanan
back pressure dan tekanan seksi uji tertentu untuk mencapai suatu nilai
bilangan Mach pada seksi uji. Jika tidak ditempatkan nozzle konvergen-
divergen, seksi uji dapat didesain sedemikian panjang sehingga muncul
normal shockwave di suatu titik di seksi uji tersebut yang berperan
selayaknya diffuser.

Gambar 4 Sketsa dari Wind Tunnel Supersonik dengan Tiga Bagian: Nozzle,
Seksi Uji, dan Diffuser (Anderson, 2011: 700)

Namun demikian, membiarkan kemunculan shockwave normal di dalam


wind tunnel supersonik akan mengakibatkan beberapa permasalahan seperti
berikut (Anderson, 2011: 700).
1) Shockwave normal adalah shockwave dengan kekuatan tertinggi
dibandingkan dengan shockwave lain, akibatnya tekanan total yang
hilang (loss) menjadi besar. Jika shockwave normal ini dapat diganti
dengan shockwave yang lebih lemah, loss tekanan total bisa
diperkecil sehingga tekanan reservoir yang diperlukan bisa
dikurangi pula.
2) Shockwave normal cenderung sulit dipertahankan agar tetap diam
pada satu titik di bagian exit. Pada keadaan sebenarnya, aliran yang

10
tidak steady dan takstabil akan menggeser-geser posisi shockwave.
Dengan demikian, aliran yang berada dalam saluran (duct) lurus dan
panjang tidak dapat diketahui dengan pasti kualitasnya.
3) Ketika model uji diletakkan pada seksi uji, shockwave oblik yang
muncul dari model tersebut akan bergerak pula ke arah downstream.
Pergerakan oblique shockwave ini akan menyebabkan aliran
berubah dari dua dimensi menjadi tiga dimensi sehingga normal
shockwave tidak mungkin muncul dalam aliran semacam ini.
Sekali lagi, dalam laporan ini, analisis hanya dibatasi pada kemunculan
shockwave normal pada bagian-bagian tertentu dari wind tunnel.

5 Perhitungan dan Hasil Desain


Berdasarkan persyaratan dan asumsi desain yang diminta oleh soal,
Penulis menentukan nilai beberapa besaran sebagai berikut yang akan
menjadi acuan bagi perhitungan-perhitungan selanjutnya.
 Tekanan (total) reservoir : 𝑝𝑡0 = 800 kPa.
 Temperatur (total) reservoir: 𝑇𝑡0 = 300 K.
 Jari-jari throat : 𝑟 ∗ = 218.5 mm.
 Bilangan Mach outlet : 𝑀2 = 2.2.
 Rasio specific heat : 𝛾 = 1.4.

5.1 Perhitungan Geometri Wind Tunnel Secara Analitis


Untuk menentukan luas penampang outlet, persamaan berikut, yang
menyatakan perbandingan antara sebarang luas penampang dan luas
penampang throat, digunakan. Persamaan berikut ini adalah persamaan yang
menggunakan hubungan isentropik sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
𝛾+1
𝐴 1 2 𝛾 − 1 2 2(𝛾−1 )

= [( ) (1 + 𝑀 )] … (𝑖)
𝐴 𝑀 𝛾+1 2
Karena aliran pada daerah di belakang shockwave seluruhnya bersifat
isentropik, data bilangan Mach outlet, 𝑀𝑜𝑢𝑡 = 2.2, bisa digunakan dalam
persamaan ini. Selain itu, besaran-besaran yang akan disubstitusi pula ke
dalam persamaan di atas: 𝐴∗ = 0.15 m2 , 𝛾 = 1.4. Hasil perhitungan luas

11
penampang outlet adalah, 𝑨𝒐 = 𝟎. 𝟑𝟎𝟏 𝐦𝟐 . Dari nilai luas ini, dengan
menggunakan persamaan luas lingkaran sebagai fungsi jari-jarinya, 𝐴 = 𝜋𝑟 2 ,
diperoleh jari-jari outlet, 𝒓𝒐 = 𝟑𝟎𝟗. 𝟒 𝐦𝐦.
Selanjutnya, untuk mendesain kontur outlet dari wind tunnel ini,
Penulis menggunakan metode karakteristik dua dimensi. Pertama-tama, akan
ditentukan koordinat dari kontur outlet dengan terlebih dahulu melakukan
perhitungan dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut ini.
𝑣𝑀1 1
𝜃𝑤,𝑚𝑎𝑥,𝑀1 = ; 𝜃 = (𝐾− + 𝐾+ );
2 2
1
𝜇 = (𝐾− − 𝐾+ );
2
1 1
𝛾+1 2 𝛾+1 2 2 1
𝑣(𝑀) = ( ) tan−1 ( (𝑀 − 1)) − tan−1(𝑀2 − 1)2 .
𝛾−1 𝛾−1
Keterangan untuk variabel-variabel di atas adalah,
𝜃 : sudut ekspansi,
𝜃𝑤,𝑚𝑎𝑥,𝑀1 : sudut ekspansi maksimum,
𝑣 : fungsi Prandtl-Meyer,
𝑣𝑀1 : fungsi Prandtl-Meyer pada bilangan Mach kondisi on-design,
𝜇 : sudut Mach,
𝐾− : left-running characteristic,
𝐾+ : right-running characteristic, dan dengan bilangan Mach, 𝑀2 =
2.2
Dari variabel-variabel yang telah diperoleh di atas, barulah bisa
ditentukan titik-titik koordinat kontur outlet dengan menggunakan
persamaan-persamaan berikut.
(𝜃 − 𝜇)𝐴 + (𝜃 − 𝜇)𝑃
𝑚1 = tan ( );
2

(𝜃 − 𝜇)𝐵 + (𝜃 − 𝜇)𝑃
𝑚11 = tan ( );
2

𝑦1 − 𝑦𝐵 + 𝑚11 𝑥𝐵 − 𝑚1 𝑥𝐴
𝑦𝑃 = 𝑦𝐴 + 𝑚1 (𝑥𝑃 − 𝑥𝐴 ); 𝑥𝑃 = .
𝑚11 − 𝑚1
Keterangan untuk variabel-variabel di atas adalah,

12
𝑚1 : kemiringan dari 𝐾− ,
𝑚11 : kemiringan dari 𝐾+ ,
𝑦𝑃 : posisi vertikal dari titik perpotongan kedua garis karakteristik
relatif terhadap throat center,
𝑦𝐴 : posisi vertikal titik A relatif terhadap throat center,
𝑦𝐵 : posisi vertikal titik B relatif terhadap throat center,
𝑥𝐴 : posisi horizontal titik A relatif terhadap throat center,
𝑥𝐵 : posisi horizontal titik B relatif terhadap throat center.

Akhirnya, setelah melalui dua kali perhitungan, diperoleh titik-titik


koordinat kontur dinding (wall) dari outlet wind tunnel supersonik ini yang
dimuat dalam Tabel 1 ini.

Tabel 1 Koordinat Kontur Dinding Outlet Wind Tunnel


Xin Xout X(mm) Y(mm) υ(rad) θ_w(rad) μ(rad)
0 0.00E+00 0 218.5 0 0 1.570796327
100.1293 100.5253 200.655 219.3641347 1.6353376 0.8176688 1.141096661
144.9365 147.1259 292.062 221.8006138 1.9105613 0.9552807 0.985110783
181.4997 187.4203 368.92 225.6275181 2.0355555 1.0177778 0.877636419
214.0854 226.0529 440.138 230.7142436 2.1054193 1.0527097 0.795602953
244.2904 264.936 509.226 236.96595 2.1490003 1.0745002 0.729727656
272.9064 305.1473 578.054 244.3133888 2.1781578 1.0890789 0.675131533
300.3878 347.4134 647.801 252.7060328 2.1986519 1.0993259 0.628874925
327.0209 392.2863 719.307 262.1073084 2.2135997 1.1067998 0.58903097
352.9976 440.223 793.221 272.4912069 2.2248232 1.1124116 0.554261834
378.4531 491.625 870.078 283.8398261 2.2334505 1.1167253 0.523598776
403.4861 546.8605 950.347 296.1415557 2.2402127 1.1201064 0.496317362
428.1708 606.2775 1034.45 309.3897154 2.2456011 1.1228006 0.471861837

5.2 Perhitungan Parameter: Jari-Jari Inlet dan Jarak Throat—Inlet


Sebelum menghitung kedua parameter ini, Penulis menetapkan nilai
bilangan Mach pada inlet wind tunnel, yaitu sebesar 𝑀𝑖𝑛 = 0.05. Persamaan
hubungan luas penampang isentropik (i) digunakan kembali untuk
menghitung besarnya luas penampang inlet. Dengan variabel-variabel input:
𝑀𝑖𝑛 = 0.05, 𝛾 = 1.4, 𝐴∗ = 0.15 m2 , akhirnya diperoleh nilai 𝑨𝒊𝒏 =
𝟏. 𝟕𝟑𝟗 𝐦𝟐 , serta jari-jarinya sebesar, 𝒓𝒊𝒏 = 𝟕𝟒𝟑. 𝟗 𝐦𝐦.
Kemudian, untuk mendesain kontur dari inlet, Penulis menggunakan
pendekatan, kelengkungan dinding antara inlet dan throat dibagi menjadi dua

13
buah lingkaran dengan jari-jari yang sama. Letak inlet dan outlet ditentukan
melalui persamaan Hall,
𝑥2
𝑦2 = 1 +
2𝑅
Notasi 𝑅 adalah perbandingan antara jari-jari kelengkungan dinding wind
tunnel pada throat, dan setengah tinggi throat. Demi kemudahan perhitungan,
titik pusat kelengkungan dianggap berada di titik pusat inlet. Semua besaran
panjang dibuat menjadi besaran nondimensional, yaitu dibagi dengan ℎ,
setengah tinggi throat (jari-jari throat). Lokasi throat dipilih sebagai tempat
titik 𝑥 = 0. Dengan demikian, diperoleh koordinat titik-titik ekstrem (puncak)
dari inlet dan throat wind tunnel supersonik ini yang ditunjukkan dalam Tabel
2 berikut ini.

Tabel 2 Koordinat Titik Ekstrem Inlet dan Throat Wind Tunnel

𝒙 (mm) 𝒚 (mm)
Inlet 218.5 -1134.61
Throat 743.9 0

5.3 Desain Geometri dengan Menggunakan Spaceclaim


Geomteri wind tunnel supersonik ini Penulis lakukan dengan
menggunakan perangkat lunak CAD, Spaceclaim. Langkah pengerjaan
pembuatan geometri wind tunnel adalah sebagai berikut. Hasil akhir geometri
wind tunnel ini ditunjukkan pada Gambar () di bawah.
1) Mengimpor kurva distribusi titik-titik dinding outlet dan mensketsanya
ke dalam Spaceclaim.
2) Menggambar garis sepanjang 743.9 mm di lokasi titik pusat inlet ke
arah sumbu y positif.
3) Menggambar garis sepanjang 218.5 mm di lokasi titik pusat throat ke
arah sumbu y positif.
4) Menggambar garis sepanjang 309.9 mm di lokasi titik pusat outlet ke
arah sumbu y positif.
5) Menggambar lingkaran berjari-jari 743.9 mm dengan pusat di titik
tengah inlet.

14
6) Menghubungkan bagian atas garis tegak di antara lokasi throat dan
outlet dengan menggambar garis lurus bersudut 3° terhadap sumbu x.
7) Menggambar lingkaran di pusat inlet dengan radius sebesar tinggi inlet
pada bidang yz.
8) Menggambar lingkaran dengan radius sebesar tinggi inlet dengan pusat
lurus di atas throat dan sisinya menyinggung dinding throat.
9) Menghapus bagian-bagian garis yang tidak berhubungan dengan
geometri nozzle secara langsung.
10) Mengubah geometri dua dimensi tersebut ke dalam surface, lalu dirotasi
360° terhadap sumbu x sehingga membentuk nozzle dalam bentuk solid.

(a)

15
(b)

Gambar 5 Hasil Akhir Geometri Wind Tunnel Supersonik: (a) Tampak Samping
2-D; (b) Model 3-D

5.4. Proses Meshing pada ICEM CFD

a. Definisikan bagian-bagian dalam terowongan angin yang dirancang. Klik


Geometri, beri tanda V pada surface lalu ubah dari rangka ke kulit. Kemudian
klik kanan pada bagian part di outline tree kemudian definisikan inlet pada
bagian dengan luas penampang yang terbesar, outlet pada lingkaran di ujung
satunya,dan wall pada selimut yang melapisi terowongan angin.
b. Definisikan fluida yang mengalir, Create Blocking – Type: Fluid –
Checklist: Project Vertices – Apply.
c. Ubah domain fluida agar hanya mengalir pada terowongan angin dengan
terlebih dahulu mendefinisikan kotak di throat agar dapat diubah. Split Block
– Prescribed Point – pilih sisi yang sejaja selimut – pilih lingkaran throat.
Blocking Association – Associate Edge to Curve – Checklist:Project Vertices
– Edge: Pilih kotak di inlet,throat,outlet – Curve: Pilih lingkaran di
inlet,throat,outlet.
d. Definisikan Grid pada model(O-grid). Split Blocking – Ogrid Blocking –
Select Block: Pilih keduanya – Select Faces: Pilih Faces pada Inlet dan
Outlet.
e. Lakukan Meshing yaitu membagi grid menjadi beberapa bagian agar
fenomena yang terjadi dapat tertangkap. Pre-Mesh Params – Mesh Params –
Checklist: Copy params(To All Parallel Edge) – Klik Edge dan rubah

16
jumlahnya jika panjang edge panjang dibagi menjadi 30, 40 ataupun 80 –
Apply
f. Cek Kualitas Mesh. Checklist: Pre-Mesh – Pre-Mesh Quality – Criterion
determinant 3 x 3 x 3 - Ubah max Y Height menjadi 200000 agar kriteria
berada paling banyak di 0.9 – Apply.

Gambar 6 Hasil Generate Mesh

5.5. Proses Set-Up,Running, dan Post Processing menggunakan CFX


5.5.1. Set Up
a. Asumsikan fluida menjadi inviscid. Default Domain – Basic Setting –
Material : Air Ideal gas(Asumsi hubungan antara P, ρ, dan T) – Reference
Temperatur: 0 K(agar kondisi inlet bisa mixed) – Fluid Model - Heat
Transfer: Total Energy – Turbulence: None (Laminar) (Fluida diasumsikan
Inviscid)

17
Gambar 7 Set up Asumsi pada aliran
b. Masukkan kondisi INLET.
Klik kanan default domain – Insert – Klik INLET – Boundary Details –
Option: Mixed(Inlet bias supersonic atau subsonic) – Mass and Momentum –
Option: Normal Speed and Total Pressure – Reference Total Pressure: 800
kPa(Input) – Normal Speed: 17.36 m/s(berdasarkan perhitungan) – Heat
Transfer – Option: Total Temperature – Total Temperature:300.15 K(Hasil
Perhitungan) – Apply

18
Gambar 8 Set Up Kondisi Inlet
c. Masukkan kondisi WALL
Klik kanan default domain – Insert – Klik Wall – Boundary Details – Mass
and Momentum –Option: Free Slip(Asumsi tak viskos) – Heat Transfer :
Adiabatic - Apply

Gambar 9 Set Up Kondisi Wall

d. Maukkan kondisi OUTLET. Pada pilihan ini terbagi menjadi dua yaitu saat
ada shockwave dan tidak ada shockwave.
(i) Kondisi Mach On Design dan M>Mach On Design
Klik kanan default domain – Insert – Klik Outlet – Basic Setting – Boundary
Type: Outlet – Boundary Setting – Flow Regim: Subsonic(Kita belum
mengetahui bahwa Mach Exit Supersonic) – Mass and Momentum –

19
Option:Static Presure – Static Pressure: 74 817.3 Pa untuk Mach On Design
dan 65500 Pa serta 52500 Pa untuk M> Mach on Design

Gambar 10 Set Up Kondisi Outlet


(i) Kondisi M off Design< M on Design
Karena kemungkinan adanya shockwave dipilih kondisi outlet opening.
Klik kanan default domain – Insert – Klik Outlet – Basic Setting – Boundary
Type: Opening – Boundary Setting - Flow Regim: Subsonic(Kita belum
mengetahui bahwa Mach Exit Supersonic) – Mass and Momentum –
Option:Static Presure and Dirn – Static Pressure:86 dan 100 kPa – Flow
Direction: Normal to Boundary – Heat Transfer: Opening Temperature –
Opening Temperature: 300 K – Apply

20
Gambar 11 Set Up Kondisi Outlet dengan Opening
5.5.2. Running Solver
Run Definition: Serial – Initial Condition: Initial Value – Start Run

Gambar 12 Proses Running Solver

21
5.5.3. Post – Processing
Location – Isoclip – Plane1 – Method:XY Plane – Z: 0.0 – Plane
Type:Slice(Mengikuti Kontur Model) – Color – Mode: Variable – Variable:
Pilih yang mau kita tinjau – Apply
Untuk memodelkan Chart Location: Isoclip – Location: Plane 1 – New -
Visibility Parameter: >=0 – Variable: Pilih variabel yang ingin ditinjau – Klik
Chart – Data Series: Location: Isoclip 1 – X Axis: X –Y Axis: variabel yang
ingin ditinjau – Apply
6 Hasil Simulasi Perangkat Lunak CFD

6.1.. Hasil Mach On Design

Gambar 13 Mach On Design = 2.2 Countour

22
Gambar 14 Pressure On Design Contour Pe=74.8173 kPa

6.2.. Hasil Mach Off Design

a) Opening Pressure 86 kPa

23
Gambar 15 Mach Number pada Opening Static Pressure 86 kPa

Gambar 16 Pressure pada Opening Static Pressure 86 kPa


b) Opening Pressure 100 kPa

24
Gambar 17 Mach Number pada Opening Static Pressure 100 kPa

Gambar 18 Static Pressure pada Opening Static Pressure 100 kPa


c) Static back Pressure 65.5 kPa

25
Gambar 19 Mach Number pada Static Back Pressure 65.5 kPa

Gambar 20 Static Pressure pada Static Back Pressure 65.5 kPa


d) Static back Pressure 52.5 kPa

26
Gambar 21 Mach Number pada Static Back Pressure 52.5 kPa

Gambar 22 Static Back Pressure pada Static Back Pressure 52.5 kPa

27
Nilai Mach Number sepanjang x
3.000000

2.500000

2.000000
52.2 kPa
Bil. Mach

1.500000 65.55 kPa


76 kPa
1.000000
86 kPa
0.500000
100 kPa
0.000000
-1.500000 -1.000000 -0.500000 0.000000 0.500000 1.000000 1.500000
Koordinat Dinormalisasi, x

Nilai Static Pressure sepanjang x


900.000
800.000
700.000
Static Pressure

600.000
52.2 kPa
500.000
65.55 kPa
400.000
76 kPa
300.000
200.000 86 kPa

100.000 100 kPa


0.000
-1.500000 -1.000000 -0.500000 0.000000 0.500000 1.000000 1.500000
x(m)

7 Analisis
7.1. Hasil Analitik
Dalam hasil analitik kali ini yang menjadi konsentrasi utama adalah tekanan
dan mach number untuk variabel lainnya adalah akibat dari kedua variabel ini.
Yang menjadi Input dalam perhitungan analitik adalah Min = 0.05,
Temperatur statik Reservoir/Inlet 300 oK ,A*= 0.15 m^2, Tekanan total Pt=
800 kPa

𝛾−1 𝛾+1 𝛾 1
= 0.2, 2(𝛾−1) = 3, 𝛾−1 = 3.5, 𝛾−1 = 2.5
2
Kemudian untuk parameter geometri sudah dijelaskan pada bagian
metodologi. Kemudian properti aliran dapat dicari
7.1.1. Mach On Design

28
𝑃𝑡
𝑃𝑖𝑛 = 2 ) 3.5 = 798.6015736 𝑘𝑃𝑎
(1+0.2 𝑀𝑖𝑛
𝑃𝑡
𝑃∗ = (1.2 )3.5
= 422.6254302 𝑘𝑃𝑎
𝑃𝑡
𝑃𝑜𝑢𝑡 = 2 ) 3.5 = 74.8173 𝑘𝑃𝑎
(1+0.2 𝑀𝑜𝑢𝑡
𝑇𝑡 = 300(1 + 0.2 ∗ 0.052 ) = 300.15 𝐾
𝑇 300.15
𝑇 ∗ = 1.2𝑡 = 1.2 = 250.125 𝐾
𝑡 𝑇 300.15
𝑇𝑜𝑢𝑡 = (1+0.2∗𝑀 2 = (1+0.2∗2.82 ) = 152.52 𝐾
𝑜𝑢𝑡 )
𝑃 103 𝑘𝑔
𝜌𝑖𝑛 = 𝑅𝑇𝑖𝑛 = 798.6 ∗ 287∗300 = 9.2752796 𝑚3
𝑖𝑛
𝑘𝑔
𝜌𝑡 = 9.2752796 ∗ (1 + 0.2 ∗ 0.052 )2.5 = 9.286878048 𝑚3
𝜌 9.2752796 𝑘𝑔
𝜌∗ = (1.2)𝑡2.5 = = 5.887306245 𝑚3
1.22.5
𝑡 𝜌 9.2752796 𝑘𝑔
𝜌𝑜𝑢𝑡 = (1+0.2∗2.8^2)2.5 = (1+0.2∗2.8^2)2.5
= 1.7096 𝑚3

7.1.2. Mach Off Design


Dengan menggunakan asumsi mass flow konstan didapatkan persamaan
𝑃 𝐴∗ 𝑃 𝐴∗
𝑃𝑡𝑖 𝐴∗𝑖 = 𝑃𝑡𝑒 𝐴∗𝑒 (𝑖) diturunkan menjadi 𝑃𝑒𝑡𝑒𝐴𝑒𝑒 = 𝑃𝑒𝑡𝑖𝐴𝑒𝑖 (𝑖𝑖)

(𝛾+1)
𝑃 𝐴∗ 2
𝑀𝑒 = √− 𝛾−1 + √(𝛾−1)2 + (𝛾−1) (𝛾+1)
1 1 2 2 𝛾−1
( 𝑃𝑡𝑒𝐴 𝑒) (iii)
𝑒 𝑒

Dengan memasukkan persamaan (ii) pada persamaan (iii),persamaannya


menjadi

(𝛾+1)
𝑃 𝐴 ∗ 2
𝑀𝑒 = √− 𝛾−1 + √(𝛾−1)2 + (𝛾−1) (𝛾+1)
1 1 2 2 𝛾−1
( 𝑃𝑡𝑖𝐴 𝑖 ) (𝑖𝑣) dengan
𝑒 𝑒

memasukkan persamaan parameter input serta tekanan statik yang diberikan


yaitu 86 dan 65.5 kPa. Sehingga didapat
Tabel2. Proses Perhitungan Mach Off Design

No Pe (PtiAi*/PeAe)^2 Me Pte Pte/Pti


1 86 21.52609957 2.0008695 732.57619 0.915720241
2 65.5 37.10903384 2.4020296 887.31842 1.109148023
7.2. Perbandingan Hasil Analisis dan Komputasi
Dari hasil analitik dan komputasi kita dapat menyusun
Tabel3. Perbandingan Hasil Komputasi dan Analitik

29
Perbandingan Hasil Analitik dan Komputasi Aero
Mach On Design
Analitik Komputasi Galat(%)
Inlet 0.05 0.03545 29.1
Mach Number Throat 1 1 0
Outlet 2.2 2.205 0.22727273
Inlet 798601.57 799300 0.08745618
Pressure(Pa) Throat 422625.43 420000 0.62121917
Outlet 74817.322 74824 0.00892607
Mach Off Design
Pressure Sesuai Analitik Analitik Komputasi Galat
Mexit 2 2.12 6
M=2
Pexit(Pa) 86000 77590 9.77906977
Mexit 2.4 2.28 5
M=2.4
Pexit(Pa) 65500 65500 0
Mach pada Batas
Mexit 2 2.02 1
M=2
Pexit(Pa) 86000 84750 1.45348837
Mexit 2.4 2.396 0.16666667
M=2.4
Pexit(Pa) 65500 52500 19.8473282

Hasil yang didapatkan dari proses analisis dengan komputasi menunjukkan


adanya perbedaan yang ditunjukkan dari perbandingan antara hasil analitik
dengan hasil komputasi. Perbedaan dapat terjadi karena beberapa hal.
Pertama, karena proses yang terjadi pada perhitungan dalam software ansys
adalah sebuah pendekatan numerik di mana hasil yang didapatkan belum
tentu sesuai dengan hasil analitik bergantung pada jumlah dan kualitas mesh
yang dihasilkan. Kedua adalah desain terowongan angin supersonik walaupun
memakai metode karakteristik tetapi kelengkungan yang dihasilkan ke dalam
sementara hasil yang diinginkan adalah kelengkungan ke arah luar. Hal ini
sedikit mempengaruhi parameter aliran di outlet seperti back pressure yang
lebih rendah dari seharusnya pada Mach Off Design. Ketiga, Error terbesar
terjadi pada Mach Inlet disebabkan karena nilai parameter itu sendiri yang
kecil dengan iterasi maksimum 100 serta error 10^-4, pada variabel dengan
pengali 10^-2. Dimungkinkan terjadi error yang cukup signifikan.

8 Kesimpulan

30
- Galat terkecil dalam komputasi adalah 0 sementara galat terbesar adalah
0.198473
- Hasil perbandingan antara analitik dan komputasi dapat dilihat di tabel
pada subbab sebelumnya.
- Tekanan pada outlet mempengaruhi Mach Number dari outlet.
- Apabila desain tidak memenuhi requirement tekanan static pada outlet
dapat ditingkatkan sedikit agar terowongan angin mendapatkan kondisi
uji yang sesuai dengan kebutuhan

9 Referensi
Anderson, J. D., Jr. (2011). Fundamentals of Aerodynamics (5th ed.). New
York, NY: McGraw-Hill.
Miftahul F. Dan Chairul A.,Shabri (2018). Laporan AE4010 Aerodinamika
Komputasi: Analisis dan Desain Supersonic Wind Tunnel. Bandung: Program
Studi Teknik Dirgantara, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut
Teknologi Bandung.

31

You might also like