Professional Documents
Culture Documents
AE3210 AERODINAMIKA II
Oleh
2018
1 Pendahuluan
Dalam perancangan pesawat terbang, pengujian dalam terowongan
angin (wind tunnel) memegang peranan penting dalam hal efisiensi proses.
Efisiensi proses perancangan yang dimaksud adalah, dengan melakukan
pengujian model pesawat udara yang diperkecil (scaled model) di dalam
terowongan angin, parameter-parameter yang diperoleh melalui pengujian
wind tunnel tersebut akan mendekati kondisi sebenarnya karena parameter
yang dimaksud telah diubah menjadi besaran nondimensional. Dampaknya
bagi para perancang, pembuatan (model) pesawat dalam ukuran asli yang
memakan biaya besar, baik dalam pembuatan kali pertama maupun dalam
pembuatannya sebagai iterasi dalam pengujian-pengujian berikut, dapat
dihindari.
Mulai pertengahan dekade keempat abad ke-20, pengujian aliran udara
supersonik dalam wind tunnel sudah dapat dilakukan yang dipelopori oleh
Adolf Busemann di Jerman (Anderson, 2011: 671). Dengan dimulainya
pengujian aliran supersonik di dalam wind tunnel tersebut, pesawat terbang
yang mampu menembus batas kecepatan suara (sound barrier) pun
bermunculan pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II berakhir. Hingga
sekarang, pengembangan pesawat yang terbang dalam rezim aliran
supersonik masih berlangsung, utamanya pesawat jet tempur yang mampu
mencapai bilangan Mach tinggi (𝑀 ≥ 2.0). Lebih lagi, negara-negara maju
berpacu untuk mengembangkan teknologi pesawat tempur yang terdepan
serta mampu saling mengalahkan teknologi yang telah diterapkan pada
pesawat tempur negara pesaingnya. Oleh karena itu, ketika suatu negara telah
berhasil membuat produk pesawat tempur yang memanfaatkan kemajuan
bidang aerodinamika supersonik, negara tersebut dapat disejajarkan dengan
negara-negara lain yang menjadi pionir teknologi supersonik. Padahal, untuk
mencapai semua kemajuan itu, mustahil jika tidak diawali dengan penelitian
yang saksama di dalam laboratorium yang dilengkapi dengan terowongan
angin supersonik.
2
Gambar 1 Terowongan Angin Supersonik Pertama Rancangan A. Busemann,
Jerman, Pertengahan 1930-an (Anderson, 2011: 671)
Dengan demikian, pengembangan terowongan angin supersonik
menjadi esensial sebagai permulaan bagi pengembangan teknologi pesawat
supersonik yang mampu mengakselerasi kemajuan teknologi di Indonesia
secara efektif, lebih lagi secara efisien. Efektif, artinya akselerasi kemajuan
teknologi dirgantara di Indonesia, utamanya dalam bidang aerodinamika
supersonik, berkesinambungan secara pasti. Efisien, artinya usaha dalam
rangka akselerasi tersebut dapat dilakukan dalam secepat-cepatnya waktu,
dan dengan sesedikit mungkin biaya. Karena di Indonesia telah tersedia wind
tunnel subsonik kecepatan rendah (low-subsonic), demi meningkatkan
kemampuan penguasaan teknologi, perlu juga diadakan wind tunnel
supersonik dalam rangka pendidikan, lebih-lebih dalam skala industri.
Laporan Tugas Akhir AE3210 Aerodinamika II: Desain dan Analisis Wind
Tunnel Supersonik ini Penulis harapkan dapat menjadi pemacu bagi insan-
insan intelektual Indonesia yang memiliki tekad kuat dalam pengembangan
teknologi dirgantara di negeri ini.
2 Tujuan
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah AE3210
Aerodinamika II. Secara umum, tugas akhir AE3210 Aerodinamika II ini
memiliki tujuan sebagai berikut.
3
1) Mendesain terowongan angin (wind tunnel) supersonik.
2) Melakukan analisis pada beberapa nilai back pressure statik di outlet.
3) Melakukan simulasi dengan menggunakan perangkat lunak
computational fluid dynamics (CFD).
4) Membandingkan hasil perhitungan analitis dan komputasi (simulasi).
Pada akhirnya, hasil desain wind tunnel supersonik harus memenuhi kriteria
efisiensi optimum, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
4 Teori Dasar
4.1 Aliran Isentropik
Aliran isentropik didefinisikan sebagai aliran yang bersifat adiabatik
dan reversibel. Aliran isentropik bersifat adiabatik berarti tidak ada
pertukaran panas antara sistem yang sedang ditinjau dengan lingkungannya.
4
Namun demikian, temperatur di dalam sistem isentropik masih dapat berubah
akibat adanya perubahan massa jenis dalam aliran. Selain itu, aliran
isentropik juga bersifat reversibel yang berarti tidak ada friksi (gesekan)
antara dinding sistem dan lingkungan. Karena tidak ada friksi, efek loss yang
bersifat disipasi juga tidak ada dalam sistem yang reversibel. Terakhir, karena
terdapat kemungkinan perubahan massa jenis pada aliran yang bersifat
isentropik, asumsi aliran inkompresibel menjadi tidak berlaku. Dengan kata
lain, aliran isentropik hanya berlaku pada aliran kompresibel.
Melalui asumsi isentropik, hubungan variabel-variabel termodinamika
pada dua titik dalam suatu aliran streamline dapat ditentukan. Hubungan
isentropik yang dimaksud adalah sebagai berikut,
𝛾
𝑝2 𝜌2 𝛾 𝑇2 𝛾−1
=( ) =( ) … (1)
𝑝1 𝜌1 𝑇1
yang diturunkan dari persamaan entropi (hukum II Termodinamika),
𝑇𝑡2 𝑝𝑡2
𝑠2 − 𝑠1 = 𝑐𝑝 ln − 𝑅 ln … (1𝑎)
𝑇𝑡1 𝑝𝑡1
Dalam persamaan (1) di atas, 𝑝 adalah tekanan, 𝜌 adalah massa jenis, 𝑇
adalah temperatur, dan 𝛾 adalah rasio kalor spesifik (specific heat), yang
bernilai 𝛾 = 1.4 untuk udara. Sementara itu, dalam persamaan (1a), 𝑐𝑝 adalah
kalor spesifik pada tekanan konstan, 𝑅 adalah konstanta gas ideal yang
bernilai 𝑅 = 287 J/kg ∙ K, dan subskrip t menyatakan properti total.
Untuk memperoleh hubungan antara parameter-parameter aliran
kompresibel dan variabel-variabel termodinamika, perlu dilakukan modifikasi
pada persamaan kontinuitas, kekekalan momentum, dan kekekalan energi
(hukum I Termodinamika). Dalam laporan ini, hanya akan ditunjukkan
hubungan-hubungan isentropik antara berbagai properti aliran sebagai hasil
akhir dari penurunan tadi. Beberapa hubungan isentropik pada parameter
aliran kompresibel adalah sebagai berikut.
1) Properti stagnasi (total) dan properti statik
Subskrip t menyatakan properti total.
𝑇𝑡 𝛾−1 2
=1+ 𝑀 ; … (2𝑎)
𝑇 2
5
𝛾
𝑝𝑡 𝛾 − 1 2 𝛾−1
= (1 + 𝑀 ) ; … (2𝑏)
𝑝 2
1
𝜌𝑡 𝛾 − 1 2 𝛾−1
= (1 + 𝑀 ) . … (2𝑐)
𝜌 2
6
4.2 Aliran Noninsentropik
Secara sederhana, aliran yang bersifat nonisentropik adalah aliran yang
memiliki sifat-sifat yang berlawanan dari aliran isentropik. Sifat-sifat yang
dimaksud adalah aliran nonisentropik bersifat salah satu di antara
nonadiabatik dan ireversibel, atau keduanya. Aliran nonisentropik dapat
bersifat nonadiabatik berarti terjadi perpindahan kalor (panas) melalui tepi
batas (boundary) sistem. Perpindahan panas ini, yang terjadi melalui proses
konduksi, akan mengubah temperatur total aliran.
Aliran nonisentropik juga dapat bersifat ireversibel. Ireversibel, artinya
aliran nonisentropik akan mengalami friksi pada boundary sistem. Sebagai
akibat adanya loss berupa friksi ini, di dalam medan aliran nonisentropik,
akan terjadi perubahan momentum, serta terjadi pengurangan tekanan total
sebagai gejala fisik yang lebih mudah untuk diamati.
Salah satu fenomena aliran yang bersifat nonisentropik adalah normal
shockwave, atau gelombang kejut normal. Selain shockwave normal,
fenomena shockwave oblik (oblique shockwave), gelombang ekspansi
(expansion wave), aliran dengan transfer panas atau aliran Rayleigh (Rayleigh
flow), serta aliran dalam pipa dengan friksi atau aliran Fanno (Fanno flow)
juga termasuk ke dalam aliran yang bersifat nonisentropik. Namun demikian,
dalam analisis wind tunnel ini, hanya akan dilakukan analisis terhadap normal
shockwave tanpa mengindahkan fenomena-fenomena nonisentropik yang
lain; fenomena lain diabaikan. Shockwave normal sebagai fenomena
nonisentropik akan diuraikan sebagai berikut.
7
supersonik. Skema umum fenomena shockwave normal ditunjukkan
pada Gambar 2 dan 3 di bawah ini. Ketika melewati normal
shockwave, properti aliran berubah secara drastis: tekanan statik,
temperatur, dan densitas udara bertambah, sementara kecepatannya
berkurang. Namun demikian, besarnya entalpi total tidak berubah
ketika melalui shockwave karena sesuai dengan prinsip kekekalan
energi.
8
2 + (𝛾 − 1)𝑀12
𝑀22 =
2𝛾𝑀12 − (𝛾 − 1)
Keterangan:
𝑀 : bilangan Mach aliran;
𝛾 : rasio specific heat;
subskrip 1 : properti di upstream (di depan) shockwave;
subskrip 2 : properti di downstream (di belakang) shockwave.
2) Massa jenis udara (statik)
𝜌2 𝒱1 (𝛾 + 1)𝑀12
= =
𝜌1 𝒱2 2 + (𝛾 − 1)𝑀12
Keterangan:
𝜌 : densitas (massa jenis) udara, statik;
𝒱 : volume udara.
3) Tekanan statik, 𝒑
𝑝2 2𝛾(𝑀12 − 1)
=1+
𝑝1 (𝛾 + 1)
4) Temperatur (statik), 𝑻
𝑇2 [2𝛾𝑀12 − (𝛾 − 1)][2 + (𝛾 − 1)𝑀12 ]
=
𝑇1 (𝛾 + 1)2 𝑀12
5) Tekanan total, 𝒑𝒕
−1 𝛾
𝑝𝑡2 2𝛾𝑀12 − (𝛾 − 1) (𝛾−1) (𝛾 + 1)𝑀12 (𝛾−1)
=[ ] [ ]
𝑝𝑡1 (𝛾 + 1) 2 + (𝛾 − 1)𝑀12
6) Entropi, 𝒔
𝑠2 − 𝑠1 1 2𝛾𝑀12 𝛾−1 𝛾 2 + (𝛾 − 1)𝑀12
= ln [ − ]+ ln [ ]
𝑅 (𝛾 − 1) (𝛾 + 1) 𝛾 + 1 (𝛾 − 1) (𝛾 + 1)𝑀12
9
Wind tunnel supersonik adalah satu jenis wind tunnel dengan susunan
yang khas, yaitu nozzle konvergen-divergen, seksi uji (test section), dan
diffuser konvergen-divergen, secara berturut-turut. Susunan seperti ini
diperlukan untuk meningkatkan efisiensi wind tunnel karena untuk mencapai
bilangan Mach tertentu pada seksi uji, rasio tekanan reservoir dan tekanan
bagian exit dari nozzle harus bernilai tertentu pula. Penempatan nozzle kedua
setelah seksi uji dilakukan dengan tujuan yang sama: terdapat rasio tekanan
back pressure dan tekanan seksi uji tertentu untuk mencapai suatu nilai
bilangan Mach pada seksi uji. Jika tidak ditempatkan nozzle konvergen-
divergen, seksi uji dapat didesain sedemikian panjang sehingga muncul
normal shockwave di suatu titik di seksi uji tersebut yang berperan
selayaknya diffuser.
Gambar 4 Sketsa dari Wind Tunnel Supersonik dengan Tiga Bagian: Nozzle,
Seksi Uji, dan Diffuser (Anderson, 2011: 700)
10
tidak steady dan takstabil akan menggeser-geser posisi shockwave.
Dengan demikian, aliran yang berada dalam saluran (duct) lurus dan
panjang tidak dapat diketahui dengan pasti kualitasnya.
3) Ketika model uji diletakkan pada seksi uji, shockwave oblik yang
muncul dari model tersebut akan bergerak pula ke arah downstream.
Pergerakan oblique shockwave ini akan menyebabkan aliran
berubah dari dua dimensi menjadi tiga dimensi sehingga normal
shockwave tidak mungkin muncul dalam aliran semacam ini.
Sekali lagi, dalam laporan ini, analisis hanya dibatasi pada kemunculan
shockwave normal pada bagian-bagian tertentu dari wind tunnel.
11
penampang outlet adalah, 𝑨𝒐 = 𝟎. 𝟑𝟎𝟏 𝐦𝟐 . Dari nilai luas ini, dengan
menggunakan persamaan luas lingkaran sebagai fungsi jari-jarinya, 𝐴 = 𝜋𝑟 2 ,
diperoleh jari-jari outlet, 𝒓𝒐 = 𝟑𝟎𝟗. 𝟒 𝐦𝐦.
Selanjutnya, untuk mendesain kontur outlet dari wind tunnel ini,
Penulis menggunakan metode karakteristik dua dimensi. Pertama-tama, akan
ditentukan koordinat dari kontur outlet dengan terlebih dahulu melakukan
perhitungan dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut ini.
𝑣𝑀1 1
𝜃𝑤,𝑚𝑎𝑥,𝑀1 = ; 𝜃 = (𝐾− + 𝐾+ );
2 2
1
𝜇 = (𝐾− − 𝐾+ );
2
1 1
𝛾+1 2 𝛾+1 2 2 1
𝑣(𝑀) = ( ) tan−1 ( (𝑀 − 1)) − tan−1(𝑀2 − 1)2 .
𝛾−1 𝛾−1
Keterangan untuk variabel-variabel di atas adalah,
𝜃 : sudut ekspansi,
𝜃𝑤,𝑚𝑎𝑥,𝑀1 : sudut ekspansi maksimum,
𝑣 : fungsi Prandtl-Meyer,
𝑣𝑀1 : fungsi Prandtl-Meyer pada bilangan Mach kondisi on-design,
𝜇 : sudut Mach,
𝐾− : left-running characteristic,
𝐾+ : right-running characteristic, dan dengan bilangan Mach, 𝑀2 =
2.2
Dari variabel-variabel yang telah diperoleh di atas, barulah bisa
ditentukan titik-titik koordinat kontur outlet dengan menggunakan
persamaan-persamaan berikut.
(𝜃 − 𝜇)𝐴 + (𝜃 − 𝜇)𝑃
𝑚1 = tan ( );
2
(𝜃 − 𝜇)𝐵 + (𝜃 − 𝜇)𝑃
𝑚11 = tan ( );
2
𝑦1 − 𝑦𝐵 + 𝑚11 𝑥𝐵 − 𝑚1 𝑥𝐴
𝑦𝑃 = 𝑦𝐴 + 𝑚1 (𝑥𝑃 − 𝑥𝐴 ); 𝑥𝑃 = .
𝑚11 − 𝑚1
Keterangan untuk variabel-variabel di atas adalah,
12
𝑚1 : kemiringan dari 𝐾− ,
𝑚11 : kemiringan dari 𝐾+ ,
𝑦𝑃 : posisi vertikal dari titik perpotongan kedua garis karakteristik
relatif terhadap throat center,
𝑦𝐴 : posisi vertikal titik A relatif terhadap throat center,
𝑦𝐵 : posisi vertikal titik B relatif terhadap throat center,
𝑥𝐴 : posisi horizontal titik A relatif terhadap throat center,
𝑥𝐵 : posisi horizontal titik B relatif terhadap throat center.
13
buah lingkaran dengan jari-jari yang sama. Letak inlet dan outlet ditentukan
melalui persamaan Hall,
𝑥2
𝑦2 = 1 +
2𝑅
Notasi 𝑅 adalah perbandingan antara jari-jari kelengkungan dinding wind
tunnel pada throat, dan setengah tinggi throat. Demi kemudahan perhitungan,
titik pusat kelengkungan dianggap berada di titik pusat inlet. Semua besaran
panjang dibuat menjadi besaran nondimensional, yaitu dibagi dengan ℎ,
setengah tinggi throat (jari-jari throat). Lokasi throat dipilih sebagai tempat
titik 𝑥 = 0. Dengan demikian, diperoleh koordinat titik-titik ekstrem (puncak)
dari inlet dan throat wind tunnel supersonik ini yang ditunjukkan dalam Tabel
2 berikut ini.
𝒙 (mm) 𝒚 (mm)
Inlet 218.5 -1134.61
Throat 743.9 0
14
6) Menghubungkan bagian atas garis tegak di antara lokasi throat dan
outlet dengan menggambar garis lurus bersudut 3° terhadap sumbu x.
7) Menggambar lingkaran di pusat inlet dengan radius sebesar tinggi inlet
pada bidang yz.
8) Menggambar lingkaran dengan radius sebesar tinggi inlet dengan pusat
lurus di atas throat dan sisinya menyinggung dinding throat.
9) Menghapus bagian-bagian garis yang tidak berhubungan dengan
geometri nozzle secara langsung.
10) Mengubah geometri dua dimensi tersebut ke dalam surface, lalu dirotasi
360° terhadap sumbu x sehingga membentuk nozzle dalam bentuk solid.
(a)
15
(b)
Gambar 5 Hasil Akhir Geometri Wind Tunnel Supersonik: (a) Tampak Samping
2-D; (b) Model 3-D
16
jumlahnya jika panjang edge panjang dibagi menjadi 30, 40 ataupun 80 –
Apply
f. Cek Kualitas Mesh. Checklist: Pre-Mesh – Pre-Mesh Quality – Criterion
determinant 3 x 3 x 3 - Ubah max Y Height menjadi 200000 agar kriteria
berada paling banyak di 0.9 – Apply.
17
Gambar 7 Set up Asumsi pada aliran
b. Masukkan kondisi INLET.
Klik kanan default domain – Insert – Klik INLET – Boundary Details –
Option: Mixed(Inlet bias supersonic atau subsonic) – Mass and Momentum –
Option: Normal Speed and Total Pressure – Reference Total Pressure: 800
kPa(Input) – Normal Speed: 17.36 m/s(berdasarkan perhitungan) – Heat
Transfer – Option: Total Temperature – Total Temperature:300.15 K(Hasil
Perhitungan) – Apply
18
Gambar 8 Set Up Kondisi Inlet
c. Masukkan kondisi WALL
Klik kanan default domain – Insert – Klik Wall – Boundary Details – Mass
and Momentum –Option: Free Slip(Asumsi tak viskos) – Heat Transfer :
Adiabatic - Apply
d. Maukkan kondisi OUTLET. Pada pilihan ini terbagi menjadi dua yaitu saat
ada shockwave dan tidak ada shockwave.
(i) Kondisi Mach On Design dan M>Mach On Design
Klik kanan default domain – Insert – Klik Outlet – Basic Setting – Boundary
Type: Outlet – Boundary Setting – Flow Regim: Subsonic(Kita belum
mengetahui bahwa Mach Exit Supersonic) – Mass and Momentum –
19
Option:Static Presure – Static Pressure: 74 817.3 Pa untuk Mach On Design
dan 65500 Pa serta 52500 Pa untuk M> Mach on Design
20
Gambar 11 Set Up Kondisi Outlet dengan Opening
5.5.2. Running Solver
Run Definition: Serial – Initial Condition: Initial Value – Start Run
21
5.5.3. Post – Processing
Location – Isoclip – Plane1 – Method:XY Plane – Z: 0.0 – Plane
Type:Slice(Mengikuti Kontur Model) – Color – Mode: Variable – Variable:
Pilih yang mau kita tinjau – Apply
Untuk memodelkan Chart Location: Isoclip – Location: Plane 1 – New -
Visibility Parameter: >=0 – Variable: Pilih variabel yang ingin ditinjau – Klik
Chart – Data Series: Location: Isoclip 1 – X Axis: X –Y Axis: variabel yang
ingin ditinjau – Apply
6 Hasil Simulasi Perangkat Lunak CFD
22
Gambar 14 Pressure On Design Contour Pe=74.8173 kPa
23
Gambar 15 Mach Number pada Opening Static Pressure 86 kPa
24
Gambar 17 Mach Number pada Opening Static Pressure 100 kPa
25
Gambar 19 Mach Number pada Static Back Pressure 65.5 kPa
26
Gambar 21 Mach Number pada Static Back Pressure 52.5 kPa
Gambar 22 Static Back Pressure pada Static Back Pressure 52.5 kPa
27
Nilai Mach Number sepanjang x
3.000000
2.500000
2.000000
52.2 kPa
Bil. Mach
600.000
52.2 kPa
500.000
65.55 kPa
400.000
76 kPa
300.000
200.000 86 kPa
7 Analisis
7.1. Hasil Analitik
Dalam hasil analitik kali ini yang menjadi konsentrasi utama adalah tekanan
dan mach number untuk variabel lainnya adalah akibat dari kedua variabel ini.
Yang menjadi Input dalam perhitungan analitik adalah Min = 0.05,
Temperatur statik Reservoir/Inlet 300 oK ,A*= 0.15 m^2, Tekanan total Pt=
800 kPa
𝛾−1 𝛾+1 𝛾 1
= 0.2, 2(𝛾−1) = 3, 𝛾−1 = 3.5, 𝛾−1 = 2.5
2
Kemudian untuk parameter geometri sudah dijelaskan pada bagian
metodologi. Kemudian properti aliran dapat dicari
7.1.1. Mach On Design
28
𝑃𝑡
𝑃𝑖𝑛 = 2 ) 3.5 = 798.6015736 𝑘𝑃𝑎
(1+0.2 𝑀𝑖𝑛
𝑃𝑡
𝑃∗ = (1.2 )3.5
= 422.6254302 𝑘𝑃𝑎
𝑃𝑡
𝑃𝑜𝑢𝑡 = 2 ) 3.5 = 74.8173 𝑘𝑃𝑎
(1+0.2 𝑀𝑜𝑢𝑡
𝑇𝑡 = 300(1 + 0.2 ∗ 0.052 ) = 300.15 𝐾
𝑇 300.15
𝑇 ∗ = 1.2𝑡 = 1.2 = 250.125 𝐾
𝑡 𝑇 300.15
𝑇𝑜𝑢𝑡 = (1+0.2∗𝑀 2 = (1+0.2∗2.82 ) = 152.52 𝐾
𝑜𝑢𝑡 )
𝑃 103 𝑘𝑔
𝜌𝑖𝑛 = 𝑅𝑇𝑖𝑛 = 798.6 ∗ 287∗300 = 9.2752796 𝑚3
𝑖𝑛
𝑘𝑔
𝜌𝑡 = 9.2752796 ∗ (1 + 0.2 ∗ 0.052 )2.5 = 9.286878048 𝑚3
𝜌 9.2752796 𝑘𝑔
𝜌∗ = (1.2)𝑡2.5 = = 5.887306245 𝑚3
1.22.5
𝑡 𝜌 9.2752796 𝑘𝑔
𝜌𝑜𝑢𝑡 = (1+0.2∗2.8^2)2.5 = (1+0.2∗2.8^2)2.5
= 1.7096 𝑚3
(𝛾+1)
𝑃 𝐴∗ 2
𝑀𝑒 = √− 𝛾−1 + √(𝛾−1)2 + (𝛾−1) (𝛾+1)
1 1 2 2 𝛾−1
( 𝑃𝑡𝑒𝐴 𝑒) (iii)
𝑒 𝑒
(𝛾+1)
𝑃 𝐴 ∗ 2
𝑀𝑒 = √− 𝛾−1 + √(𝛾−1)2 + (𝛾−1) (𝛾+1)
1 1 2 2 𝛾−1
( 𝑃𝑡𝑖𝐴 𝑖 ) (𝑖𝑣) dengan
𝑒 𝑒
29
Perbandingan Hasil Analitik dan Komputasi Aero
Mach On Design
Analitik Komputasi Galat(%)
Inlet 0.05 0.03545 29.1
Mach Number Throat 1 1 0
Outlet 2.2 2.205 0.22727273
Inlet 798601.57 799300 0.08745618
Pressure(Pa) Throat 422625.43 420000 0.62121917
Outlet 74817.322 74824 0.00892607
Mach Off Design
Pressure Sesuai Analitik Analitik Komputasi Galat
Mexit 2 2.12 6
M=2
Pexit(Pa) 86000 77590 9.77906977
Mexit 2.4 2.28 5
M=2.4
Pexit(Pa) 65500 65500 0
Mach pada Batas
Mexit 2 2.02 1
M=2
Pexit(Pa) 86000 84750 1.45348837
Mexit 2.4 2.396 0.16666667
M=2.4
Pexit(Pa) 65500 52500 19.8473282
8 Kesimpulan
30
- Galat terkecil dalam komputasi adalah 0 sementara galat terbesar adalah
0.198473
- Hasil perbandingan antara analitik dan komputasi dapat dilihat di tabel
pada subbab sebelumnya.
- Tekanan pada outlet mempengaruhi Mach Number dari outlet.
- Apabila desain tidak memenuhi requirement tekanan static pada outlet
dapat ditingkatkan sedikit agar terowongan angin mendapatkan kondisi
uji yang sesuai dengan kebutuhan
9 Referensi
Anderson, J. D., Jr. (2011). Fundamentals of Aerodynamics (5th ed.). New
York, NY: McGraw-Hill.
Miftahul F. Dan Chairul A.,Shabri (2018). Laporan AE4010 Aerodinamika
Komputasi: Analisis dan Desain Supersonic Wind Tunnel. Bandung: Program
Studi Teknik Dirgantara, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut
Teknologi Bandung.
31