You are on page 1of 3

Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal

sekurang-kurangnya empat kali selama masa kehamilan, dengan distribusi waktu minimal satu
kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satu kali pada trimester kedua (usia
kehamilan 12-24 minggu), dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai
persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan
terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan
penanganan dini komplikasi kehamilan.
Pelayanan antenatal yang dilakukan diupayakan memenuhi standar kualitas, yaitu:
1. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;
2. Pengukuran tekanan darah;
3. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);
4. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);
5. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status
imunisasi;
6. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
7. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);
8. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk
keluarga berencana);
9. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb), pemeriksaan
protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya);
dan
10. Tatalaksana kasus.
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator
cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan
antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu
wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil
yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali
sesuai jadwal yang dianjurkan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada
kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan
terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke
tenaga kesehatan.

Secara nasional, indikator kinerja cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun
2014 belum mencapai target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan di tahun yang
sama, yakni sebesar 95%. Meski demikian, terdapat dua provinsi yang telah mencapai target
tersebut. Kedua provinsi tersebut yaitu Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. Dari Gambar 5.3 juga
dapat diketahui bahwa terdapat tiga provinsi yang memiliki cakupan pelayanan ibu hamil K4
yang kurang dari 50%, yakni Papua Barat (39,74%), Maluku (47,87%), dan Papua (49,67%).
Secara nasional, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2014 sebesar 86,70%.
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2014 dari masing-masing provinsi dapat
dilihat pada Gambar 5.3 berikut.

Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk
mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat hingga ke
pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana dan
fasilitas pelayanan kesehatan, hingga bulan Desember 2014, tercatat terdapat 9.731 puskesmas
di seluruh Indonesia dengan rasio 1,08 puskesmas per 30.000 penduduk. Dengan demikian,
rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk sudah mencapai rasio ideal 1:30.000 penduduk,
namun penyebarannya masih belum merata. Demikian pula dengan Upaya Kesehatan
Bersumber daya Masyarakat (UKBM) seperti poskesdes dan posyandu. Sampai dengan tahun
2014, tercatat terdapat 55.517 poskesdes yang beroperasi dan 289.635 posyandu di Indonesia.
Upaya meningkatkan cakupan pelayanan antenatal juga makin diperkuat dengan adanya
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya Jaminan
Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 hingga tahun 2013, dimana keduanya saling bersinergi
dalam memperkuat upaya penurunan AKI di Indonesia. Selain digunakan untuk kegiatan di
dalam puskesmas, BOK juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan,
pelayanan di posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, penyuluhan, pelaksanaan
kelas ibu hamil, serta penguatan kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu, Jampersal
mendukung paket pelayanan antenatal, termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah
atau sweeping, baik pada kehamilan normal maupun kehamilan dengan risiko tinggi.
Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta, diharapkan dapat
mendorong tercapainya target cakupan pelayanan antenatal yang berkualitas dan sekaligus
menurunkan AKI di Indonesia. Data kesehatan mengenai pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan
K4 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.1.

Pemberian zat besi pada ibu hamil merupakan salah satu syarat pelayanan kesehatan K4
pada ibu hamil. Dimana jumlah suplemen zat besi yang diberikan selama kehamilan ialah
sebanyak 90 tablet (Fe3). Zat besi merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh untuk
membentuk sel darah merah (hemoglobin). Selain digunakan untuk pembentukan sel darah
merah, zat besi juga berperan sebagai salah satu komponen dalam membentuk mioglobin
(protein yang membawa oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat pada tulang, tulang
rawan, dan jaringan penyambung), serta enzim. Zat besi juga berfungsi dalam sistem pertahanan
tubuh.
Pada ibu hamil, zat besi memiliki peranan yang cukup penting untuk pertumbuhan janin.
Selama hamil, asupan zat besi harus ditambah mengingat selama kehamilan, volume darah pada
tubuh ibu meningkat. Sehingga, untuk dapat tetap memenuhi kebutuhan ibu dan menyuplai
makanan serta oksigen pada janin melalui plasenta, dibutuhkan asupan zat besi yang lebih
banyak. Asupan zat besi yang diberikan oleh ibu hamil kepada janinnya melalui plasenta akan
digunakan janin untuk kebutuhan tumbuh kembangnya, termasuk untuk perkembangan
otaknya, sekaligus menyimpannya dalam hati sebagai cadangan hingga bayi berusia 6 bulan.
Selain itu, zat besi juga membantu dalam mempercepat proses penyembuhan luka khususnya
luka yang timbul dalam proses persalinan.
Kekurangan zat besi sejak sebelum kehamilan bila tidak diatasi dapat mengakibatkan ibu
hamil menderita anemia. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko kematian pada saat melahirkan,
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, janin dan ibu mudah terkena infeksi,
keguguran, dan meningkatkan risiko bayi lahir prematur.
Secara nasional cakupan ibu hamil mendapat tablet Fe tahun 2014 sebesar 85,1%, data
tersebut belum mencapai target program tahun 2014 sebesar 95%. Provinsi di Indonesia pada
tahun 2014 dengan cakupan Fe3 tertinggi terdapat di Provinsi Bali (95%), DKI Jakarta (94,8%),
dan Jawa Tengah (92,5%). Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Papua Barat
(38,3%), Papua (49,1%), dan Banten (61,4%). Data dan informasi mengenai cakupan pemberian
90 tablet tambah darah pada ibu hamil dapat dilihat di Lampiran 5.2. Selain itu, gambar cakupan
Fe3 pada tiap provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Seperti terlihat pada Gambar 5.7, di Indonesia dapat diketahui bahwa sebesar 73,61%
ibu hamil melakukan persalinan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan dan dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan. Provinsi DI Yogyakarta memiliki cakupan tertinggi (99,46%) dan
Provinsi Papua memiliki cakupan terendah (12,97%) untuk persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Data dan informasi mengenai
cakupan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dapat dilihat
pada Lampiran 5.5.

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015


Dari Gambar 5.8 dapat dilihat bahwa cakupan pelayanan ibu hamil K4 tidak berbeda jauh
dengan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Diasumsikan bahwa ibu hamil
yang mendapatkan pelayanan antenatal K4 kemungkinan persalinannya akan ditolong tenaga
kesehatan. Diharapkan dengan meningkatkan cakupan pelayananan ibu hamil K4 akan
meningkatkan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.
Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan
kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi
yakni apabila terdapat lebih dari satu penolong, maka dipilih yang kualifikasinya paling tinggi.
Begitu juga dengan kualifikasi yang terendah. Dari Gambar 5.9 terlihat bahwa penolong
persalinan terbanyak dilakukan oleh bidan (68,6%), kemudian oleh dokter (18,5%), lalu non
tenaga kesehatan (11,8%). Namun sebanyak 0,8% kelahiran dilakukan tanpa ada penolong, dan
hanya 0,3% kelahiran saja yang ditolong oleh perawat.

Selain melalui persalinan normal, persalinan juga dapat dilakukan dengan cara bedah
perut/sesar. Pada Riskesdas 2013 ditanyakan mengenai proses persalinan yang dialami. Gambar
5.10 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut karakteristik. Dari gambar
tersebut dapat diketahui bahwa secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut
karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada ibu yang menyelesaikan D1-D3/perguruan
tinggi (PT) nya (25,1%), pekerjaannya sebagai pegawai (20,9%), tinggal di perkotaan (13,8%),
dan kuintil indeks kepemilikannya teratas (18,9%).

You might also like