You are on page 1of 58

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM

KARDIOVASKULER ACUTE HEART FAILURE (AHF) DI


RUANG CVCUPUSAT JANTUNG TERPADU RSUP H. ADAM
MALIK MEDAN

Disusun oeh :
KELOMPOK A

1. Asniah Tarigan
2. Nurseha Syafitri
3. Nurul Hilaliyah
4. Iskha Siburian
5. Pierlin Nurliana Napitupulu
6. Adwinsyah
7. Asril Handika

PUSAT JANTUNG TERPADU


RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitasdi seluruh dunia.
Risiko terjadinya gagaljantung semakin meningkat sepanjang waktu (Goodman &
Gilman, 2011).
Gagal jantung didefenisikan sebagai keadaan patofisiologi dimana suatu kelainan
fungsi jantung bertangggung jawab atas kegagalan jantung untuk memompa darah
dalam memenuhi kebutuhan metabolism jaringan tubuh (Remme & Swedberg, 2001).
Akut heart failure adalah heart failure yang gejalanya muncul sangat cepat dan
memerlukan penanganan segera dan sifatnya darurat (life theatering).

Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC), merupakan


istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung
dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal
jantung (McMurray et al, 2012).

Menurut data WHO 2013,17,3 juta orang meninggal akibat gangguan kardiovaskular
pada tahun 2008. Dan lebih dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun dengan
gangguankadiovaskular (WHO, 2013). Lebih dari 80% kematian akibat
gangguankardiovaskular terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah (Yancy, 2013).

Pada penelitian di Amerika, risiko berkembangnya gagal jantungadalah 20% untuk


usia≥40 tahun, dengan kejadian >650.000 kasus baruyang didiagnosis gagal
jantung selama beberapa dekade terakhir. Kejadiangagal jantung meningkat dengan
bertambahnya usia. Tingkat kematianuntuk gagal jantung sekitar 50% dalam waktu 5
tahun (Yancy, 2013).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi gagal
jantung diIndonesia sebesar 0,3%. Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan
hasil wawancara pada responden umur ≥15 tahun berupa gabungan kasuspenyakit
yang pernah didiagnosis dokter atau kasus yang mempunyai gejalapenyakit gagal
jantung (Riskesdas, 2013).Prevalensi faktor risiko jantungdan pembuluh darah,
seperti makan makanan asin 24,5%, kurang sayur danbuah 93,6%, kurang aktivitas
fisik 49,2%, perokok setiap hari 23,7% dankonsumsi alkohol 4,6% (Depkes RI,
2009).

Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah kesehatanmasyarakat dan


merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia(Depkes RI, 2009), maka perlu
dilakukan pengendalian penyakit jantungdan pembuluh darah secara
berkesinambungan.Gagal jantung merupakankondisi akhir dari penyakit jantung dan
pembuluh darah kronis sepertihipertensi, diabetes mellitus, aritmia, infark miokard
dan lain-lain.

Konsumsi obatdalam jumlah banyak dan dalam jangka panjang mempengaruhi


tingkatkepatuhan pasien yang buruk, sehingga akan berpengaruh pada keberhasilan
terapi dan menimbulkan peluang terjadinya rawat inap ulang.Pentingnya kombinasi
obat dalam penatalaksanaan terapi gagaljantung serta masalah terkait obat Drug
Related Problems(DRPs) yang diakibatkan dapat diambilkesimpulan bahwa
penggunaan kombinasi obat perlu dimonitoring dandiwaspadai.

Global heart failure awareness proggamme, suatu kegiatan yang digagas oleh para
ahli dari berbagai negara termasuk Indonesia pada tahun 2014 telah mengidentifikasi
5 rekomendasi untuk gagal jantung meliputi (1) promosi pencegahan gagal jantung
(promote heart failure prevention).(2) perbaikan pemahaman tentang gagal jantung
dikalangan kesehatan (improve heart failure awareness among health care
professional).(3)memastikan keseragaman pelayanan terhadap semua pendarita gagal
jantung (ensure equity of care for all patients with heart failure).(4) mendukung dan
mendorong peran serta pasien dan keluarga serta lingkungannya (support and
empower patient and their caregivers).(5)promosi penelitian tentang gagal jantung
(promote heart failure research).Kelima rekomendasi diatas berangkat dari
kenyataaan bahwa gagal jantung masih merupakan masalah kesehatan global yang
utama.Tidak sedikit usaha yang dilakukan secara internasional maupun dalam skala
nasional,namum kesadaran (awareness) masih rendah. Bukan hanya kesadaran pasien
ataupun petugas kesehatan, kesadaran public juga sangat berperan besar dalam
perbaikan outcame penatalaksanaan gagal jantung.

1.2 Rumusan Masalah


Mengetahui bagaimana asuhan keperawatanpada pasien dengan gangguan
system kardiovaskular : AHF (Acute Heart Failure) di Pusat Jantung Terpadu
Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1.Tujuan Umum
Mampu memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan AHF.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien
dengan AHF yaitu:
a. Mampu mengetahui pengertian AHF
b. Mampu mengetahui etiologi AHF
c. Mampu mengetahui klasifikasi AHF
d. Mampu mengetahui patofisiologi AHF
e. Mampu mengetahui pemeriksaan diagnostik AHF
f. Mampu mengetahui penatalaksanaan medis AHF
g. Mampu melakukan pengkajian pada pasien AHF
h. Mampu mengetahui prognosis pada pasien AHF
i. Mampu menegakkan diagnose keperawatan pada pasien AHF
j. Mampu menyusun rencana keperawatan ( intervensi ) pada pasien AHF
k. Mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien AHF
l. Mampu menyusun evaluasi keperawatan pada pasien AHF
m. Mampu melakukan dokumentasi keperawatan pda pasien AHF

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat yang diperoleh bagi penulis adalah dapat menambah pengetahuan
tentang penyakit AHF dan mampu memberikan asuhan keperawatan yang
professional kepada pasien AHF.
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Dasar Acute Heart Failure

PengertianGagal jantung (heart failure = HF) adalah sebuah sindrome klinis yang
ciri-cirinya berupa gejala yang khas (yaitu sesak nafas,kaki bengkak dan rasa
letih)disertai dengan tanda –tanda (yaitu peningkatan tekanan vena jugularis,ronkhi
basah pada paru dan edema perifer) yang keseluruhannya disebabkan oleh adanya
kelainan struktur dan atau fungsi jantung sehingga membuat cardiac output menjadi
berkurang dan atau disertai dengan peningkatan intrakardiak,baik ketika istrahat
maupun bekerja.

Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC), merupakan


istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung
dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal
jantung (McMurray et al, 2012). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam
jiwa dan memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya berujung pada
hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009)

Akut heart failure adalah heart failure yang gejalanya muncul sangat cepat dan
memerlukan penanganan segera dan sifatnya darurat (life theatering).
Presentasi klinis dari gagal jantung akut biasanya merefleksikan spectrum kondisi,
dan klasifikasinya memiliki batasan-batasan. Pasien dengan gagal jantung akut
biasanya datang dengan salah satu dari keenam kategori klinis berikut
(Filippatos, 2007, Pfister dan Schneider, 2009):

1. Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF:


biasanya terdapat riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam
pengobatan, danbukti dari kongesti sistemik dan pulmoner. Tekanan
darah rendah saat masukbiasanya berhubungan dengan prognosis yang
jelek.
2. Edema paru akut: pasien biasanya datang dengan distress pernafasan,
takipneudan ortopneu, ronki basah halus sering ditemukan di seluruh
lapang paru.
Saturasi oksigen arterial biasanya <90% dengan udara ruangan
sebelumdiberikan terapi oksigen.
3. Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang
disertaipeningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi
ventrikel kiriyang masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus
simpatis danvasokonstriksi. Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik
atau hanya sedikithipervolemik, dan datang dengan tanda-tanda
kongestif paru tanpa disertaikongesti sistemik. Respons terhadap terapi
medis biasanya cepat, dan tingkatkematian dirumah sakit biasanya
rendah.
4. Renjatan kardiogenik (cardiogenic shock) didefinisikan sebagai bukti
adanyahipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal jantung setelah
dilakukannyakoreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya
renjatan kardiogenikditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik
≤90 mmHg, atau penurunancepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg)
disertai dengan oliguria atau anuria(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama
juga sering terjadi, dan bukti –buktihipoperfusi organ serta kongesti
paru biasanya terjadi secara cepat.
5. Gagal jantung kanan terisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan
curah jantung (low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan
peningkatantekanan vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan
tekanan pengisianventrikel kiri yang rendah.
6. Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut ( De Novo ) : banyak
pasien datang dengangambaran klinis gagal jantung akut namun diserai
bukti-bukti laboratorium darisindroma koroner akut. Sekitar 15%
pasien dengan sindroma koroner akut memiliki tanda dan gejala gagal
jantung akut, dan episode gagal jantung akut tersebut biasanya
berhubungan atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia,fibrilasi
atrium atau takikardi venrikel).

2.1.2 Etiologi

Jarang sekali HF disebabkan oleh satu faktor, seringkali berupa kombinasi oleh
karena itu, evaluasi secara menyeluruh dan teliti adalah sangat diperlukan dalam
usaha mencari penyebab atau faktor pemicu timbulnya heart failure (HF).

Untuk AHF,beberapa factor yang dinilai sebagai pemicu (trigger) adalah:

 Adanya suatu serangan syndrome koroner akut


 Munculnya tachyarritmia,bias berupa atrialfibrilasi atau ventrikel tachikardi
 Tekanan darah yang tiba-tiba meningkat tajam (hipertensi emergency)
 Adanya infeksi,seperti pneumonia,endokarditis atau sepsis,
 Penggunaan obat-obatan atau asupan garam/air yang berlebihan
 Munculnya bradiarritmia
 Emboli paru
 Komplikasi mekanis ruptur miokard
2.1.3 Klasifikasi AHF

Khusus untuk AHF yang disebabkan oleh miokard infark akut,maka klasifikasinya menurut
killip.

Stage 1 Tidak ada tanda heart failure


Stage 2 Ada tanda klinis heart failure,yaitu ronchi basah pada lapangan bawah kedua paru,S3
gallop dan hipertensi pulmonal
Stage 3 Ada tanda heart failure yang berat,yaitu edema paru dan ronchi basah diseluruh
lapangan paru
Stage 4 Ada tanda syok kardiogenik(cardiogenic syok),yaitu tekanan darah <90 mmHg,pulse
cepat dan halus,serta tanda hipoperfusi (kulit dingin dan lembab,sianosis,penurunan
kesadaran,oliguria)

Klasifikasi AHF ketika pasien masuk keruangan gawat darurat sebagai berikut:

Kongesti (-) Kongesti (+)


Kongesti paru
Orthopnoea/PND
Edema perifer bilateral
Dilatasi perifer jugularis
Hepatomegaly kongestif
Ascites
Reflux hepatojugular (+)
Hypoperfusi (-) WARM – DRY WARM – WET
(HANGAT – KERING) (HANGAT-BASAH)
(Class 1) (Class II)

Hypoperfusi (+) COLD – DRY COLD – WET


Ekstremitas keringat dingin (DINGIN - KERING) (DINGIN -BASAH)
Oliguria (Class III) (Class IV)
Somnolen
Perasaan mau pingsan
Pulse halus dan cepat
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau berdasarkan gejala
yang berkaitan dengan kapasitas fungsional.

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan NYHA

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapasitas


struktural jantung fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik
Tidak terdapat gangguan struktural atau sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau palpitasi atau sesak nafas
gejala

Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
jantung yang berhubungan dengan terdapat keluhan saat istrahat, namun
perkembangan gagal jantung, tidak aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
terdapat tanda atau gejala kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit struktural Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
jantung yang mendasari tetapi aktfitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktifitasfisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
bermakna saat istrahat walaupun sudah istrahat. Keluhan meningkat saat
mendapat terapi medis maksimal melakukan aktifitas
(refrakter)

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2008.
2.1.4 Patofisiologi
Pathflow AHF
ACS (STEMI)

KOMPLIKASI

Gangguan Listrik Gangguan fungsi Pompa

masalah miocard

Backward Forward

Peningkatan LVEDP Penurunan Cardiac


Output

Peningkatan LAEDP Perfusi jarigan menurun

Peningkatan Otak Ginjal Jantung perifer

tekanan Vena

Pulmonalis

Peningkatan tekanan penurunan penurunan suplay sirkulasi

Hidrostatik kesadaran GFR O2↓


Pulmonal kontraktilitas ↓

Odema Paru

Gangguan Kompensasi
Pertukaran
gas Neuro Hormonal

Simpatis RAA

Takikardi Ekskresi ginjal↓


Vasokonstriksi
Beban jantung ↑

Kebutuhan 02↑
Intoleransi aktivitas
Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan
neurohormonal yang buruk dan mungkin diakibatkan atau sebagai akibat dari jejas
pada miokard dan atau ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan
karena iskemia, hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya
(seperti insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan (Pfister
danSchneider, 2009).

Beberapa mekanisme pathogenesis gagal jantung akut diantaranya adalah:

a) Kongesti.
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti
pulmonal dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun
merupakan presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung
akut (Adams et al., 2005).
Kongesti paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi venapulmonalis
(peningkatan tekanan baji kapiler paru/ pulmonary capillary wedge pressure
(PCWP)) dan akan berakibat edema interstisial dan alveolar paru.
Kongesti sistemik bermanifestasi secara klinis dengan distensi vena jugularis
dengan atau tanpa edema perifer dan peningkatan berat badan secara gradual
sering ditemukan (Pfister dan Schneider, 2009). Biasanya, kongesti paru
berat yang terjadi secara mendadak dipresipitasi oleh peningkatan
tekanan darah (afterload), terutama pada pasien dengan disfungsi diastolik
(Cotter et al, 2008).

Gangguan ginjal, abnormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial,


gangguan diet dan beberapa obat-obatan seperti anti inflamasi non
steroid (OAINS) juga berkontribusi terhadap kelebihan cairan (McMurray et
al., 2012).

Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi, akan


berkontribusi terhadap progresifitas dari gagal jantung lebih lanjut dengan
aktivasi neurohormonal, iskemia subendokardial dan atau perubahan ukuran
dan bentuk dari ventrikel kiri (remodelling) yang pada akhirnya berakibat
pada insufisiensi katup mitral (Gheorghiade et al, 2006). Peningkatan
tekanan vena sistemik (tekanan atrium kanan bagian atas), lebih sering
disebabkan karena tekanan jantung kiri yang tinggi / pulmonary capillary
wedge pressure (PCWP), yang akan berkontribusi pada terjadinya sindroma
kardio renal (SKR)(Mullens et al, 2008).

Berat badan biasa digunakan sebagai penanda adanya kongesti pada


skenario pasien gagal jantung yang dirawat inap maupun rawat jalan.
Bagaimanapun, beberapa penelitian menyimpulkan hubungan yang kompleks
antara berat badan, kongesti dan keluaran pasien dengan gagal jantung
(Gheorghiade dan Pang, 2009).

Pada cedera miokard, pelepasan troponin sering terjadi pada kondisi gagal
jantung akut, terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner
(Peacock et al, 2008). Hal ini nampaknya merefleksikan adanya cedera
miokard, yang berhubungan dengan abnormalitas hemodinamik dan atau
neurohormonal atau sebagai akibat dari kejadian iskemia. Cedera juga bisa
terjadi sebagai akibat tingginya tekanan diastolik ventrikel kiri, yang
kemudian akan mengaktivasi stimulasi neurohormonal dan inotropic
sehingga berakibat kepada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (Beohar et al, 2008).

Gangguan ginjal. Pada gagal jantung akut, abnormalitas ginjal


akanmenyebabkan retensi natrium dan air (Nohria et al, 2008). Gangguan
struktural ginjal akibat hipertensi, diabetes dan arteriosklerosis merupakan
penyebab yang sering ditemukan, dan perburukan fungsi ginjal terjadi pada
sekitar 20 -30% pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut (Eren et
al, 2012).
Dari penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan fungsi ginjal
segera setelah pasien dipulangkan (Blair et al, 2008). Perburukan selama
perawatan atau setelah pasien pulang mungkin diakibatkan karena penurunan
curah jantung dan peningkatan tekanan vena, yang diperparah dengan
pemberian diuretik dosis tinggi (Damman et al, 2007).
b) Efek tidak langsung obat.
 Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama untuk
meringankan gejala kongestif. Bagaimanapun, efek
menguntungkantersebut behubungan dengan abnormalitas
elektrolit, aktivasi neurohormonal yang lebih lanjut dan
perburukan fungsi ginjal. Pemberian loop diuretikintravena dengan
dosis besar berhubungan dengan keluaran yang buruk padapasien
dengan gagal jantung. Namun, hal ini mungkin suatu penanda
dari keparahan dari gagal jantung itu sendiri, dibandingkan
dianggap sebagai penyebab peningkatan mortalitas (Hasselblad et al,
2007).
 Dobutamin, milrinon dan levosimen dan akan meningkatkan profil
hemodinamik, namun efek ini berhubungan dengan peningkatan
tingkat konsumsi oksigen miokard (takikardia dan peningkatan
kontraktilitas) dan hipotensi yang berhubungan dengan efek
vasodilatasi (Mebazaa et al., 2007). Penurunan perfusi koroner yang
berhubungan dengan hipotensi dalam kondisi peningkatan
kebutuhan akibat akan mengakibatkan cedera miokard, terutama
pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang sering
memiliki miokardium yang mengalami hibernasi atau iskemia
(Beohar et al, 2008). Hipotensi yang berhubungan dengan
penggunaan vasodilator mungkin juga mengakibatkan hipoperfusi
miokardium dan ginjal dan kemungkinan dapat mengakibatkan
cedera (Gheorghiade dan Pang, 2009).
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik

Tanda dan Gejala

Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terja di akibat retensi air dan natrium
yang biasanya akan membaik dengan cepat dengan pemberian terapi diuretik.
Riwayat medis pasien juga penting bagi penegakan diagnosis, dangagal jantung tidak
lazim terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat medis yang relevan, misalkan
riwayat infark miokard yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal
jantung pada pasien dengan tanda dan gejala yang khas (McMurray et al, 2012).

Sekali diagnosis gagal jantung ditegakkan, sangatlah penting kemudian untuk


menentukan penyebabnya, terutama penyebab yang dapat dikoreksi. Gejala dan
tanda merupakan hal penting yang harus selalu dimonitor sebagai respon terapi dan
tanda kestabilan pasien dengan gagal jantung. Gejala yang menetap pada pasien
dengan terapi gagal jantung biasanya menandakan perlunya terapi tambahan,
dan perburukan gejala membutuhkan penanganan medis yang serius. Berikut
merupakan tanda dan gejala gagal jantung menurut ESC yang dikeluarkan ditahun
2012 (McMurray et al, 2012).

TANDA GEJALA

Tipikal Spesifik
- Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal Dyspnoe - Suara jantung S3 (gallop)
-Toleransi aktifitas yang berkurang - Apex jantung bergeser ke lateral
- Cepat lelah - Bising jantung
- Begkak di pergelangan
Kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
- Batuk di malam / dini hari - Edema perifer
- Mengi - Krepitasi pulmonal
- Berat badan bertambah >2 kg/minggu - Sura pekak di basal paru
- Berat badan turun (gagal jantung stadium lanjut) pada perkusi
- Perasaan kembung/ begah - Takikardia
- Nafsu makan menurun - Nadi ireguler
- Perasaan bingung (terutama pasien usia lanjut) - Nafas cepat
- Depresi - Heaptomegali
- Berdebar - Asites
- Pingsan - Kaheksia
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012.

UJI DIAGNOSTIK

 Ekhokardiogram

Merupakan pemeriksaan penting untuk menegakkan diagnosis gagal


jantung. Ekhokardiogram menyajikan informasi yang segera mengenai
volume ruang jantung, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel, ketebalan otot,
dan fungsi katup(Paterson et al, 2011).

Informasi ini penting dalam menentukan terapi yang pantas untuk pasien
(misal penyekat angiotensin converting enzyme (ACE) dan penyekat beta
untuk disfungsi sistolik atau operasi untuk stenosis aorta).

 EKG

Membantu untuk melihat irama jantung dan konduksi elektrik, misal


adanya penyakit sinoatrial, blok atrioventrikuler, atau konduksi
interventrikuler yangabnormal. Temuan ini juga penting untuk menentukan
penatalaksanaan (seperti kontrol irama untuk pasien dengan fibrilasi
atrium, pemacuan untuk bradikardia, dan terapi resinkronisasi jantung untuk
pasien dengan left bundle branch block (LBBB).

EKG juga menunjukkan bukti adanya hipertrofi ventrikel kiri atau


gelombang Q yang mengindikasikan adanya kehilangan miokardium yang
viabel, yang membantu memberikan bukti tentang kemungkinan etiologi
dari gagal jantung (McMurray et al, 2012).

Informasi yang disajikan oleh 2 pemeriksaan ini sudah mampu untuk


menegakkan diagnosis kerja dan perencanaan manajemen bagi mayoritas
pasien. Pemeriksaan biokimiawi dan hematologi rutin juga penting,
sebagai bagian apakah penyekat sistim renin angiotensin aldosterone
(SRAA) dapat dimulai secara aman (dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan
kalium) dan untuk mengekslusi adanya anemia (yang mirip atau dapat
memperburuk gagal jantung).

Pemeriksaan penunjang lain secara umum hanya diperlukan bila diagnosis


belum bias ditegakkan (misal bila gambaran ekhokardiografi suboptimal,
atau jika terdapat kausa gagal jantung yang tidak umum) atau jika ada indikasi
untuk mengevaluasi lebih jauh penyebab yang mendasari masalah jantung
pasien (misal pencitraan perfusi atau angiografi pada pasien dengan
kecurigaan PJK atau endomiokardial biopsi pada beberapa penyakit miokard)
(McMurray et al, 2012).

 Peptida natriuretic

Karena tanda dan gejala gagal jantung kadang tidak spesifik, banyak
pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung yang dikirim menjalani
pemeriksaan ekhokardiografi, namun ternyata tidak memiliki abnormalitas
dalam struktur jantung. Ketka kemampuan ekhokardiografi menjadi terbatas,
pendekatan lain untuk mendiagnosis adalah dengan memeriksa konsentrasi
peptida natriuretik darah, keluarga hormon yang disekresikan berlebih
bila terjadi jejas pada jantung atau beban pada salah satu ruang jantung
mengalami peningkatan (misal pada fibrilasi atrium, emboli paru dan beberapa
kondisi nonkardiak termasuk gagal ginjal) (Ewald et al, 2008).

Kadar peptida natriuretic juga akan meningkat seiring dengan usia, namun
dapat menurun pada pasien dengan obesitas (Daniels et al, 2006). Kadar
peptida natriuretik yang normal pada pasien yang belum tertangani secara
nyata mengeksklusi adanya penyakit jantung, yang akan menyebabkan
pemeriksaan ekhokardiografi tidak diperlukan lagi (investigasi penyebab
non-kardiak mungkin lebih produktif pada pasien ini) (Maisel et al, 2008).

Banyak penelitian telah meneliti batas konsentrasi dua untuk mengeksklusi


gagal jantung untuk dua macam peptida natriuretik yang biasa digunakan, B-
type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type natriuretic
peptide (NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang dating
dengan awitan akut atau perburukan gejala dan pada psein dengan awitan yang
lebih gradual. Untuk pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala, nilai
optimal untuk mengeksklusi adalah 300 pg/mL untuk NT -pro BNP dan100
pg/mL untuk BNP.Untuk pasien non akut, nilai optimal untuk mengeksklusi
adalah 125 pg/mL untuk NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP.Sensitifitas
dan spesifisitas dari BNP dan NT-proBNP untuk diagnosis gagal jantung juga
lebih rendah pada pasien-pasien non akut (McMurray et al, 2012).

 Pemeriksaan Rutin Laboratorium

Sebagai tambahan untuk pemeriksaan biokimiawi (natrium, kalium,


kreatinin, laju filtrasi gromerolus/ estimated glomerular filtration rate (eGFR))
dan hematologis standar (hemoglobin, hematocrit, ferritin, leukosit dan
platelet), sangatlah berguna untuk memeriksa kadar hormon penstimulasi
tiroid, dikarenakan penyakit tiroid dapat menyerupai atau memperburuk gagal
jantung.
Kadar gula darah juga penting untuk diperiksa dalam menegakkan diagnosis
diabetes pada pasien gagl jantung. Enzim hati juga biasa ditemukan tidak
normal pada pasien dengan gagal jantung, juga pentung untuk
pengambilan keputusan yang menyangkut terapi amiodaron dan warfarin
(McMurray et al, 2012).

 Foto Toraks

Foto toraks memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis dari pasien


dengan kecurigaan gagal jantung. Hal ini mungkin sangat berguna dalam
mengidentifikasi alternatif keterlibatan paru untuk tanda dan gejala
pasien.Pemeriksaan ini akan menunjukkan kongesti vena pulmonalis atau
edema pada pasien dengan gagal jantung. Penting untuk dicatat bahwa
disfungsi sistolik ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran
kardiomegali pada foto thoraks (McMurray et al, 2012).

2.1.5.Penatalaksanaan Medis

a. Terapi awal AHF bertujuan untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan


kondisi haemodinamik yang meliputi:
 Oksigenasi dengan sungkup masker / CPAP (continous positive airway
pressure),target SaO2 94-96%.
 Pemberian vasodilator berupa nitrat atau nitroprusid
 Terapi diuretic dengan furosemid atau diuretik kuat lainnya (dimulai
dengan bolus IV dan bila perlu diteruskan dengan infuse berkelanjutan)
 Pemberian Morfin untuk memperbaiki status fisik,psikologis,dan
haemodinamik
 Pemberian infuse intravena bila dipertimbangkan apabila ada kecurigaan
tekanan pengisisan yang rendah (low filling pressure)
 Pacing, antiarritmia, atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan
irama jantung.
 Mengatasi komplikasi metabolic dan spesifik organ lainnya

b. Vasodilator

Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien AHF sebagai terapi lini


pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darahadekuat
dan tyanda kongesti dengan dieresis sedikit.Obat ini bekerja dengan
membuka sirkulasi perifer dan mengurangi preload. Yang termasuk dalam
vasodilator, antara lain|:

1) Nitrat
Nitrat bekerja dengan mengyurangi kongesti paru tanpa
mempengaruhi stoke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen
oleh miokardium pada AHF kanan, khususnya pada pasien SKA.
Pada dosis rendah nitrat hanya menginduksi vasodilatasi, tetapi bila
dosis ditingkan secara bertahap dan menyebabkan dilatasi arteri
koroner.Dengan dosis yang tepat, nitrat membuat keseimbangan
dilatasi arteri dan vena sehingga mengurangi preload dan afterload
ventrikel kiri, tanpa mengganggu perfusi jaringan.
2) Nesiritid
Nesiritid merupakan rekombinan peptide otak manusia yang identik
dengan hormonendogen yang diproduksi oleh ventrikel, yaitu b-type
natriuretic peptidesdalam merespon peningkatan tegangan dinding,
peningkatan tekanan darah dan volume overload.kadar b-type
natriuretic peptidesmeningkat pada pasien gagal jantung dan
berhubungan dengan keparahanpenyakit. Efek fisiologis BNP
mencakup vasodilatasi, dieresis, natriuresis, dan antagonis terhadap
system RAA dan endoltelin.Nesitirid memiliki efek vasodilator vena,
arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan
afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik
langsung.
Nesiritid terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan
dibandingkan placebo.Nesiritid juga mengurangi tekana kapiler baji
paru (PCWP).
3) Nitroprusid
Nitroprusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO)
secara nonenzimatik.Nitropusid juga memiliki efek yang baik terhadap
perbaikan preload dan afterload. Venodilatasi akan mengurangi
pengisian ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini juga
mengurangi curang jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti dengan
penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah
ginjal sehingga system RAA tidak teraktivasi secara
berlebihan.Nitroprusid tidak mempengaruhi system neurohormonal.

c. Loop Diuretic

Diuretic kuat diindikasikan pada pasien AHF dekompensasi yang disertai


gejala retensi cairan. Pemakaian secara intravena loop diuretic, seperti
furoseid, bumetanid dan torasemid, dengan efek cepat dan kuat , lebih disukai
pada AHF. Terapi dapat diberikan dengan aman sebelum pasien tiba di rumah
sakit dan dosis harus dititrasi sesuai dengan rspon terhadap diuretic.
Pemberian loading dose furosemid atau torasemid yang diikuti dengan infuse
berkelanjutan terbukti lebih efektif disbanding dengan hanya bolus saja.

Kombinasi loop diuretic dengan tiazid, spironolakton, dobotamin atau nitrat


dapat diberikan.pemberian loop diuretic yang berlebihan dapat menyebabkan
hipovolemia dan hiponatremia dan meningkatkan kemungkinan hipotensi
saat pemberian ACEI (angiotensin converting enzymeinhibitor) atau ARB (
angiotensin receptor blocker)
d. Inotropik

Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda tanda hipoperfusi perifer (


hipotensi ) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter
terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya
berbahaya, dapatmeningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading
sehingga harus diberikan secara hati- hati. Yang termasuk inotropik, antara
lain:

1)Dobutamin

Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor β-


1,β-2 dan α pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek
inotopik positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah disbanding
dengan antagonis β-andrenergik.Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular
Resistance (SVR) dan tekanan pengisian ventrikel kiri.

2) Dopamine

Dopamine merupakan antagonis reseptor β-1 yang memiliki efek inotropik


dan kronotropik positif.Pemberian dopamine terbukti dapat meningkatkan
curah jantung dan menurunkan resistensi vascular sistemik.

3) Milrinon
Milrinon merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga terjadi
akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan lusitropik
positif.Obat ini juga vasodilator poten untuk sirkulasi sistemik dan
pulmoner.Penurunan tekanan pengisian ventrikel kiri lebih tinggi daripada
dobutamin dan curah jantung yang dihasilkanlebih besar daripada
nitroprusid.Obat ini biasanya digunakan pada individu dengan curah jantung
rendah dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi sistemik
yang tinggi.
4) Epinefrin dan Norepinefrin

Epinefrin menstimulasi reseptor β-1 dan β-2 di miokard sehingga


menimbukan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat pada
individu yang curah jantungnya rendah dan atau bradikardi.

e. Digoksin
Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal
jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter.Amiodarone atau
ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.

f. ACEI dan ARB

Pasien gagal jantung kronik dekompensasi akut yang sebelumnya mendapat


ACEI/ARB sedapat mungkin harus meneruskan penggunaan obat
tersebut.Jika pasien sebelumnya juga menggunakan penghambat beta,
dosisnya mungkin perlu diturunkan, atau dihentikan untuk sementara.
Pengobatab dapat ditunda atau dikurangi bila didapat komplikasi berupa
bradikardia, blok AV lanjut, bronkospasme berat, atau syok kardiogenik, atau
pada kasus AHF yang berat dan respon yang tidak adekuat terhadap
pengobatan awal.

g. Penghambat Beta ( β-bloker )

Penghambat beta merupakan kontra indikasi pada AHF karena dapat


menurunkan suplai oksigen fase serangan akut, kecuali bila AHF sudah stabil.

h. Antikoagulan

Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk SKA dengan atau tanpa gagal
jantung. Namun tidak adabukti manfaat heparin pada AHF.
2.1.6 Prognosis

Pasien AHF memiliki prognosis yang sangat buruk.Dalam satu randomized trial
yang besar pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung dan mengalami
dekompensasi. mortalitas 600 hari adalah 9.6%.dan apabila dikombinasi dengan
perawatan ulang menjadi 35,2%.angka kematian lebih tinggi pada infark jantung
yang disertai gagal jantung berat,dengan mortalitas 30% dalam 12 bulan.pada
pasien edema paru akut,angka kematian di rumah sakit 12% dan mortalitas 1
tahun 40%.

Predictor mortalitas tinggi antara lain tekanan baji kapiler paru (pulmnonary
capillary wedge pressure) yang tinggi sama atau lebih dari 16 mmHg.kadar
natrium yang rendah,dimensi ruang ventrikel kiri yang meningkat,dan komsumsi
oksigen puncak yang rendah.sekitar 45% pasien AHF akan dirawat ulang
minimal satu kali.15% dua kali dalam 12 bulan pertama.
2.2 .Asuhan Keperawatan

2.2.1. Pengkajian

a. Pengkajian Primer
1) Airways

 Sumbatan atau penumpukan sekret

 Wheezing atau krekles

2) Breathing

 Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat

 RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal

 Ronchi, krekles

 Ekspansi dada tidak penuh

 Penggunaan otot bantu nafas terdiri dari: (otot sela iga, otot leher, otot prut).

 Retraksi dada terdiri dari:

 Sub sterna di bawah trakea

 Supra sternal di atas klavikula

 Inter kostal kosta

 Sub kosta dibawah kosta

3) Circulation
 Nadi lemah , tidak teratur
 Takikardi
 TD meningkat / menurun
 Edema
 Gelisah
 Akral dingin
 Kulit pucat, sianosis
 Output urine menurun

b. Pengkajian Sekunder
1) Riwayat Keperawatan
 Keluhan
 Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat).
 Palpitasi atau berdebar-debar.

 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak nafas saat


beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur harus pakai bantal lebih dari dua buah.

 Tidak nafsu makan, mual, dan muntah.

 Letargi (kelesuan) atau fatigue (kelelahan

 Insomnia

 Kaki bengkak dan berat badan bertambah

 Jumlah urine menurun

 Serangan timbul mendadak/ sering kambuh.

2) Riwayat penyakit: hipertensi renal, angina, infark miokard kronis, diabetes melitus,
bedah jantung, dan disritmia.
3) Riwayat diet: intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alkohol.
4) Riwayat pengobatan: toleransi obat, obat-obat penekan fungsi jantung, steroid,
jumlah cairan per-IV, alergi terhadap obat tertentu.
5) Pola eliminasi orine: oliguria, nokturia.
6) Merokok: perokok, cara/ jumlah batang per hari, jangka waktu
7) Postur, kegelisahan, kecemasan
8) Faktor predisposisi dan presipitasi: obesitas, asma, atau COPD yang merupakan
faktor pencetus peningkatan kerja jantung dan mempercepat perkembangan CHF.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Evaluasi status jantung: berat badan, tinggi badan, kelemahan, toleransi aktivitas,
nadi perifer, displace lateral PMI/ iktus kordis, tekanan darah, mean arterial
presure, bunyi jantung, denyut jantung, pulsus alternans, Gallop’s, murmur.

2) Respirasi: dispnea, orthopnea, suara nafas tambahan (ronkhi, rales, wheezing)


3) Tampak pulsasi vena jugularis, JVP > 3 cmH2O, hepatojugular refluks

4) Evaluasi faktor stress: menilai insomnia, gugup atau rasa cemas/ takut yang
kronis

5) Palpasi abdomen: hepatomegali, splenomegali, asites

6) Konjungtiva pucat, sklera ikterik

7) Capilary Refill Time (CRT) > 2 detik, suhu akral dingin, diaforesis, warna kulit
pucat, dan pitting edema.

2.2.2Diagnosa Keperawatan

a. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung, peningkatan


frekuensi, dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi sekuncup

b. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan volume paru

c. Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia


jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli

d. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan


perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.

e. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi cairan dan
natrium oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal

f. Cemas b/d penyakit kritis, takut kematian atau kecacatan, perubahan peran dalam
lingkungan social atau ketidakmampuan yang permanen.
g. Kurang pengetahuan b/d keterbatasan pengetahuan penyakitnya, tindakan yang
dilakukan, obat obatan yang diberikan, komplikasi yang mungkin muncul dan
perubahan gaya hidup.
h. Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan suplai O2 kebutuhan

2.2.3 Intervensi keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
1 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan NIC :
b.d perubahan membran keperawatan selama 1 X 24 Airway Management
alveoli kapiler jam pertukaran gas pasien 1. Buka jalan nafas, guanakan
efektif dengan : teknik chin lift atau jaw thrust bila
Respiratory Status : perlu
Gas exchange 2. Posisikan pasien untuk
 Respiratory Status: memaksimalkan ventilasi
ventilation 3. Identifikasi pasien perlunya
 Vital Sign Status pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
kriteria hasil: 5. Lakukan fisioterapi dada jika
1. Mendemonstrasikan perlu
peningkatan ventilasi dan 6. Keluarkan sekret dengan batuk
oksigenasi yang adekuat atau suction
2. Mendemonstrasikan 7. Auskultasi suara nafas, catat
batuk efektif dan suara adanya suara tambahan
nafas yang bersih, tidak ada 8. Lakukan suction pada mayo
sianosis dan dyspneu 9. Berika bronkodilator bial perlu
(mampu mengeluarkan 10. Barikan pelembab udara
sputum, mampu bernafas 11. Atur intake untuk cairan
dengan mudah, tidak ada mengoptimalkan keseimbangan.
pursed lips) 12. Monitor respirasi dan status O2
3. Tanda tanda vital dalam Respiratory Monitoring
rentang normal 1. Monitor rata – rata, kedalaman,
irama dan usaha respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti
dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot
diagfragma ( gerakan paradoksis )
7. Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak adanya
ventilasi dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi crakles dan
ronkhi pada jalan napas utama
9. Uskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya

Acid Base Managemen


1. Monitro IV line
2. Pertahankanjalan nafas paten
3. Monitor AGD, tingkat elektrolit
4. Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP, PAP)
5. Monitor adanya tanda tanda
gagal nafas
6. Monitor pola respirasi
7. Lakukan terapi oksigen
8. Monitor status neurologi
9. Tingkatkan oral hygiene

2 Perfusi jaringan tidak Setelah dilakukan tindakan NIC :


efektif b.d penurunan keperawatan pada klien Peripheral Sensation
aliran darah sistemik selama 1 x 24 jam, klien Management (Manajemen
dapat memiliki perfusi sensasi perifer)
jaringan yang efektif, status 1. Monitor adanya daerah tertentu
sirkulasi yang baik : yang hanya peka terhadap
 Circulation status panas/dingin/tajam/tumpul
 Tissue Prefusion : 2. Instruksikan keluarga untuk
cerebral mengobservasi kulit jika ada lsi
kriteria hasil: atau laserasi
Menunjukkan perfusi 3. Gunakan sarun tangan untuk
jaringan yang baik dengan proteksi
tidak ada edema, urin 4. Batasi gerakan pada kepala,
normal, tidak ada sesak leher dan punggung
nafas dan tidak ada 5. Kolaborasi pemberian analgetik
penggunaan otot bantu 6. Diskusikan menganai penyebab
pernafasan perubahan sensasi
Circulatory care :
1. Kaji secara komprehensif
sensasi perifer (cek tekanan
perifer, kapilary refil, warna dan
suhu ekstremitas)
2. Evaluasi edema dan tekanan
perifer
3. Ubah posisi klien
4. Ajarkan kepada klien tentang
cara mencegah stasis vena.

3 Penurunan kardiak output Setelah dilakukan tindakan Circulatory Care


b.d peningkatan stroke keperawatan pada klien 1. Monitor gejala gagal jantung
volume preload dan selama 1 x24 jam klien dan penurunan CO termasuk nadi
afterload dapat memiliki kardiak perifer yang kualitasnya menurun,
output efektif dengan: kulit dan ekstremitas dingin,
- Pompa jantung efektif peningkatan RR, dipsnea,
- Status sirkulasi peningkatan HR, distensi vena
- Status tanda vital jugularis dan edema
- Perfusi jaringan 2. Observasi kebingungan, kurang
tidur dan pusing
Kriteria hasil: 3. Observasi adanya nyeri
Menunjukkan kardiak dada/ketidaknyamanan, lokasi,
output yang adekuat penyebaran, keparahan, kualitas,
ditandai dengan TD, nadi, durasi, manifestasi yang
ritme normal, nadi perifer memperburuk dan mengurangi
kuat, melakukan 4. Jika ada nyeri dada, baringkan
aktivitas tanpa dipsnea klien, monitor ritme jantung, beri
oksigen dan beri tahu dokter jaga
5. Monitor intake dan output tiap
24 jam

6. Catat hasil EKG dan rongten


dada
7. Kaji hasil lab, nilai AGD,
elektrolit termasuk kalsium
8. Monitor CBC, Na, kreatinin
serum
9. Memberi oksigen sesuai
kebutuhan
10. Posisikan klien dalam posisi
semi fowler atau posisi yang
nyaman
11. Cek TD dan nadi sebelum
medikasi jatung spt ACE inhibitor,
digoxin dan β bloker. Beritahu
dokter bila nadi dan TD rendah
sebelum medikasi
12. Pastikan klien bedrest dan
melakukan aktivitas yang dapat
ditoleransi jantung
13. Berikan makanan rendah
garam, kolesterol
14. Berikan lingkungan yang
tenang dengan meminimalkan
gangguan/stressor. Jadwalkan
istirahat setelah makan dan
aktivitas

4 Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan NIC :


ketidakseimbangan suplai keperawatan selama 1 x 24 Terapi aktivitas:
O2 kebutuhan Jam pasien dapat 1. Kaji tanda dan gejala yang
menoleransi aktivitas dan menunjukkan ketidaktoleransi
melakukan ADL dengan terhadap aktivitas
baik, dengan : 2. Tingkatkan pelaksanaan ROM
Toleransi aktivitas  pasif sesuai indikasi.
Ketahanan  3. Atur aktivitas fisik untuk
Aktivitas hidup sehari- menurunkan konsumsi O2
hari 4. Ajarkan pasien dan keluarga
tentang teknik perawatan diri yang
Kriteria hasil: dapat menggunakan konsumsi O2
1. Berpartisipasi dalam minimal
aktivitas fisik dgn TD, HR, 5. Bantu klien mengidentifikasi
RR yang sesuai pencapaian tingkat aktifitas

2. Warna kulit normal, 6. Bantu klien untuk memotivasi


hangat dan kering diri sendiri
3. Memverbalisasikan 7. Buat jadwal latihan aktivitas
pentingnya aktivitas secara secara bertahap untuk pasien dan
bertahap berikan periode istirahat
4. Mengekspresikan 8. Berikan suport dan libatkan
pengertian pentingnya keluarga dalam program terapi.
keseimbangan latihan & 9. Berikan reinforcement untuk
istirahat pencapaian aktivitas sesuai
5. Toleransi aktivitas program latihan
6. Menunjukkan partisipasi
dlm ADLs Pengelolaan energi
1. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi pilihan-pilihan
aktivitas
2. Rencanakan aktivitas untuk
periode dimana pasien mempunyai
energi paling banyak.
3. Bantu dengan aktivitas fisik
teratur

Manajemen Nutrisi
1. Kaji dan diskusikan dengan ahli
gizi kebutuhan kalori dan jenis
makanan sesuai diit pasien(rendah
garam/natrium)
2. Pastikan intake nutrisi pasien
terpenuhi

Terapi Oksigen
1. Bersihkan saluran nafas dan
pastikan airway paten
2. Siapkan peralatan oksigenasi
3. Kelola suplemen O2 sesuai
indikasi
4. Monitor terapi O2 dan observasi
tanda keracunan

5 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan Fluid management


b.d. gangguan mekanisme keperawatan selama 1 x 24 1. Pertahankan catatan intake dan
regulasi jam diharapkan volume output yang akurat
cairan efektif dengan : 2. Pasang urin kateter jika
Electrolit and acid diperlukan
base balance 3. Monitor hasil lAb yang sesuai
Fluid balance  dengan retensi cairan (BUN , Hmt
 , osmolalitas urin )
 4. Monitor status hemodinamik
Kriteria hasil: termasuk CVP, MAP, PAP, dan
1. Terbebas dari edema, PCWP
efusi, anaskara 5. Monitor vital sign
2. Bunyi nafas bersih, tidak 6. Monitor indikasi retensi /
ada dyspneu/ortopneu kelebihan cairan (cracles, CVP ,
3. Terbebas dari distensi edema, distensi vena leher, asites)
vena jugularis, reflek 7. Kaji lokasi dan luas edema
hepatojugular (+) 8. Monitor masukan makanan /
4. Memelihara tekanan cairan dan hitung intake kalori
vena sentral, tekanan harian
kapiler paru, output jantung 9. Monitor status nutrisi
dan vital sign dalam batas 10. Berikan diuretik sesuai
normal interuksi
5. Terbebas dari kelelahan, 11. Batasi masukan cairan pada
kecemasan atau keadaan hiponatrermi dilusi
kebingungan dengan serum Na < 130 mEq/l
6. Menjelaskanindikator 12. Kolaborasi dokter jika tanda
kelebihan cairan cairan berlebih muncul memburuk

Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat jumlah dan
tipe intake cairan dan eliminaSi
2. Tentukan kemungkinan faktor
resiko dari ketidak seimbangan
cairan (Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal, gagal
jantung, diaporesis, disfungsi hati,
dll )
3. Monitor serum dan elektrolit
urine
4. Monitor serum dan osmilalitas
urine

5. Monitor BP, HR, dan RR


6. Monitor tekanan darah
orthostatik dan perubahan irama
jantung
7. Monitor parameter
hemodinamik infasif
8. Monitor adanya distensi leher,
rinchi, eodem perifer dan
penambahan BB
9. Monitor tanda dan gejala dari
odema

6 Cemas b/d penyakit kritis, Setelah dilakukan NIC :


takut kematian tindakan1 x 24 jam Anxiety Reduction (penurunan
diharapkan cemas dapat kecemasan)
teratasi dengan: 1. Gunakan pendekatan yang
Anxiety control  menenangkan
Coping  2. Nyatakan dengan jelas harapan
Impulse control  terhadap pelaku pasien
 3. Jelaskan semua prosedur dan
Kriteria hasil: apa yang dirasakan selama
1. Klien mampu prosedur
mengidentifikasi dan 4. Pahami prespektif pasien
mengungkapkan gejala terhdap situasi stres
cemas 5. Temani pasien untuk
2. Mengidentifikasi, memberikan keamanan dan
mengungkapkan dan mengurangi takut
menunjukkan tehnik untuk 6. Berikan informasi faktual
mengontol cemas mengenai diagnosis, tindakan
3. Vital sign dalam batas prognosis
normal 7. Dorong keluarga untuk
4. Postur tubuh, ekspresi menemani anak
wajah, bahasa tubuh dan 8. Lakukan back / neck rub
tingkat aktivitas 9. Dengarkan dengan penuh
menunjukkan berkurangnya perhatian
kecemasan 10. Identifikasi tingkat kecemasan
11. Bantu pasien mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
12. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
13. Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi
14. Barikan obat untuk
mengurangi kecemasan

7 Kurang pengetahuan b/d Setelah dilakukan tindakan NIC :


keterbatasan pengetahuan keperawatan 1x24 jam Teaching : disease Process
penyakitnya, tindakan pengatahuan klien 1. Berikan penilaian tentang
yang dilakukan, obat meningkat dengan : tingkat pengetahuan pasien tentang
obatan yang diberikan, Kowlwdge : disease proses penyakit yang spesifik
komplikasi yang mungkin process  2. Jelaskan patofisiologi dari
muncul dan perubahan Kowledge : health penyakit dan bagaimana hal ini
gaya hidup Behavior berhubungan dengan anatomi dan
fisiologi, dengan cara yang tepat.
Kriteria hasil: 3. Gambarkan tanda dan gejala
1. Pasien dan keluarga yang biasa muncul pada penyakit,
menyatakan pemahaman dengan cara yang tepat
tentang penyakit, kondisi, 4. Gambarkan proses penyakit,
prognosis dan program dengan cara yang tepat
pengobatan 5. Identifikasi kemungkinan
2. Pasien dan keluarga penyebab, dengna cara yang tepat
mampu melaksanakan 6. Sediakan informasi pada pasien
prosedur yang dijelaskan tentang kondisi, dengan cara yang
secara benar tepat
3. Pasien dan keluarga 7. Hindari harapan yang kosong
mampu menjelaskan 8. Sediakan bagi keluarga atau SO
kembali apa yang informasi tentang kemajuan pasien
dijelaskan perawat/tim dengan cara yang tepat
kesehatan lainnya. 9. Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin diperlukan
untuk mencegah komplikasi di
masa yang akan datang dan atau
proses pengontrolan penyakit
10. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
11. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau mendapatkan
second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan

12. Eksplorasi kemungkinan


sumber atau dukungan, dengan
cara yang tepat
13. Rujuk pasien pada grup atau
agensi di komunitas lokal, dengan
cara yang tepat
14. Instruksikan pasien mengenai
tanda dan gejala untuk melaporkan
pada pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara yang tepat
BAB III: TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

a. Identitas Pasien

Nama : Tn.S
Umur : 51 tahun (19-01-1966)
Jenis kelamin : Laki-Laki
Suku/Bangsa : Batak/Indonesia
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Pendidikan : Perguruan Tinggi
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln.Bhayangkara no 522 B. Kel, Indra kasih Medan
Tanggal masuk RS : 18 April 2017 jam 09.00 di CVCU
No. Rekam Medis : 00 70 57 85
Tanggal Pengkajian : 18 April 2017 jam 11.00 WIB
Diagnosa Medis : AHF ec ACS + ALO

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan Utama : Pasien mengatakan nyeri dada sebelah kiri dan
sesak nafas.

2). Riwayat Penyakit Sekarang: Nyeri dada dialami pasien sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit,nyeri timbul saat aktivitas
ringan(bermain dengan anak), nyeri dada
dirasakan pasien pada pertama kali selama 3
jam , menjalar ke tangan kiri, tangan kanan dan
punggung. Pasien tampak cemas,pasien berobat
ke RS Tanjung Balai, dirawat 1 hari dan dirujuk
ke RS HAM Medan untuk penanganan dan
perawatan lebih lanjut.

3). Riwayat Penyakit Terdahulu dan Riwayat Pengobatan


 Pasien pernah sakit hypertensi +/- 5 tahun yang lalu, tapi tidak rutin berobat
dan konsumsi obat.
4).Riwayat Penyakit keluarga
 Keluarga pasien (bapak pasien) meninggal secara mendadak dan diduga sakit
jantung

c. Pemeriksaan Fisik
a)Tanda-tanda Vital
 Tekanan darah : 160/90 mmHg
 Nadi : 100 x/menit
 Pernafasan : 28 x/menit
 Suhu tubuh : 36 C
 Saturasi oksigen: 88%, dengan oksigen 10 liter/menit NRM

b). Body of system


1). Sistem Pernafasan
Pasien tampak lemah, sesak nafas,menggunakan oksigen 10 liter/ menit NRM.
Posisi semi fowler, RR 28 x /menit, regular, bentuk dada simetris kiri dan
kanan,tidak tampak retraksi otot dada. Batuk ada sekali-sekali , suara paru pada
saat auskultasi vesikuler, ronchi pada area basal kiri dan kanan.

2).Sistem Kardiovaskular
Pasien mengeluh nyeri dada onset 2 hari
P: Aktivitas ringan : bermain dengan anak
Q: Sedang, seperti tertimpa beban
R: Dada sebelah kiri menjalar ketangan kiri, tangan kanan dan punggung.
S: Skala nyeri 3-4
T: +/- 3 menit hilang timbul
TD: 160/90 mmHg, MAP : 113 mmHg , HR: 100 BPM, Auskultasi bunyi
jantung S1 dan S2 normal, tidak tampak peningkatan JVP

3). Sistem Persarafan


Pasien tampak lemah dan tenang, kesadaran compos mentis dengan GCS 15
(E = 4, V=5, M=6), orientasi baik. Pada bagian kepala, wajah, leher tidak di
jumpai kelainan.

4).Sistem Perkemihan
Pasien melakukan BAK dengan menggunakan kateter urin, dengan produksi urine
1500 cc selama 6 jam dengan menggunakan diuretic furosemide 20 mg/ jam.
Warna urin kuning jernih, bau khas, tidak ada tampak sedimen dan tidak ada
tampak keluhan saat BAK

5).Sistem Pencernaan
Mulut tampak bersih, tidak ada keluhan sakit pada mulut dan saat menelan.
Tidak ada keluhan mual dan muntah. Abdomen teraba soepel, bentuk simetris
kiri dan kanan, acites tidak ada, saat palpasi tidak teraba hepatomegali dan
splenomegali, saat auskultasi peristaltik usus ada terdengar 12 x/menit. Tidak
ada masalah saat BAB, frekuensi 1x sehari dengan konsistensi lembek, warna
kuning dan jumlah banyak tanpa bantuan pencahar.BB 75 kg, TB 170 cm

6).Sistem Penglihatan
Mata: Simetris, pupil: isokor, refleks cahaya: positif, sclera: anikterus,
palpebral: tidak edema, pergerakan bola mata: ada, tidak ditemukan strabismus,
massa dan alat bantu.
7). Sistem penghidu dan pendengaran
Penghidu: Tulang hidung dan posisi septum nasi simetris, mukosa lembab, sekret
jernih dan tidak ditemukan massa.Pada sistem pendengaran: bentuk telinga
simetris, tidak ditemukan massa, benda asing, secret dan alat bantu.

8). Sistem muskuloskletal


 Pasien tampak lemah
 Pasien mengatakan lekas capek
 Persendian: Tidak dijumpai kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak.
 Kulit: Akral hangat, turgor kembali < 2 detik.

9).Sistem integument
Tidak dijumpai bekas luka operasi maupun luka non operasi. Pitting edema (+)
area ekstremitas bawah pada punggung kaki kiri dan kanan.

10). Sistem endokrin


Tidak dijumpai pembesaran kelenjar tyroid, kelenjar getah bening.Dijumpai
hiperglikemi.

11). Seksualitas
Tidak dijumpai hernia, hidrokel dan tidak ada perubahan fungsi seksual.

12). Cairan dan elektrolit


Turgor kulit elastis kembali < 2 detik, mukosa mulut lembab, dijumpai edema
area ekstremitas bawah pada punggung kaki kiri dan kanan,tidak dijumpai
distensi vena jugularis dan ascites.
13). Perilaku / koping
Status mental: sadar dan orientasi baik, hubungan dengan keluarga baik. Pasien
juga mengatakan mendapatkan support dari keluraga dan sahabat , ada rasa takut
pasien karena penyakit yang dialaminya, tetapi yakin penyakitnya bias sembuh

14). Keamanan/safety
Penggunaan alat bantu tidak ada, resiko jatuh rendah (morse fall scale: 40).
Pemasangan alat invasive: IVFD terpasang tgl 18/4 / 2017, Dower kateter
terpasang tgl 18/4/2017.

15). Kebutuhan edukasi (komunikasi dan pengajaran)


Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarga, bicara normal dan menggunakan
bahasa Indonesia.

D. Uji diagnostic
1. Ekokardiogram ( quick look ): Fungsi sistolik LV menurun, EF 43 %, fungsi
diastolik LV terganggu, dimensi jantung LVH, kontraktilitas jantung RV baik,
ekohemodinamik: SV 37 ml, CO : 37 X 98 = 3,6 L/menit, SVR : 1600
2. EKG
 Irama: teratur, HR : 100 BPM, Gelombang P: normal tinggi 0,2 mv, durasi
0,12 detik, durasi gel kompleks QRS : 0,12 detik. PR interval: 0,16 detik
 ST Elevasi ditemukan pada lead V1-V4. T inferted pada lead I, AVL, V5,V6
 Interpretasi : STEMI ANTERO SEPTAL dan ISKEMIK ANTERO
LATERAL
3 Laboratorium
Tanggal Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
18 April 2017 Darah Rutin:
Hb 14,6 gr/dl
WBC 16.910 / μl
Hematokrit 42%
Trombosit 316.000 / µl
Hemostasis:
Waktu protombin 14,5 14,0
INR 1,04
APTT 18.5 33,0
Waktu thrombin 14.8 19.8
Kimia klinik:
Troponin I 31.00 ng/ml 0,1 ng/ml
AGDA:
 Ph 7,510
 PC02 27,0
 P02 121,0
 HC03 :21,5
 Total C02: 22,3
 BE 0,4
 Saturasi 02 99,0%
Metabolisme
Karbohidrat:
KGDA 274 mg/dl
Ginjal:
blood urea nitrogen
( BUN) 18 mg/dl
ureum 39 mg/dl
kreatinin 0,74 mg/dl
Elektrolit:
Natrium 130 mEq/l
Kalium 3,3 mEq/l
klorida 105 mEq/l
Enzim jantung:
CK-MB 411 U/L
19/4/2017 Metabolisme
Karbohidrat:
NBS 197 mg/dl
Hb-A1c 8,0%
Lemak :
Kolesterol total 148 mg/dl
Trigliserida 136 mg/dl
kolesterol HDL 40 mg/dl
kolesterol LDL 137mg/dl

4 Thorak foto: Kardiomegali + kongesti + infiltrate

E. Penatalaksanaan Medis
 IVFD NACL 0,9% 10 gtt/sec
 Furosemide 20 mg/ jam dengan syringe pump
 Nitroglycerine 10 mikrogram/jam
 Injeksi Lovenox 0,6 cc/ 12 jam
 Injeksi insulin R 8-8-8
 Clopidogrel 1x75 mg
 Aspilet 1x80 mg
 Simvastatin 1x20 mg
 Captopril 3x 12,5 mg
 Concor 1x2,5 mg

F. Analisa data

NO TANDA/GEJALA ETIOLOGI DIAGNOSA


KEPERAWATAN
1 DS: Respon fisiologis Penurunan kardiak
output
- Pasien mengatakan nyeri pada otot jantung
dada sebelah kiri, menjalar ke
tangan kiri, tangan kanan dan
punggung, onset 2 hari
Skala nyeri 3
- Riwayat penyakit hipertensi +/- 5
tahun yang lalu yang tidak
terkontrol
DO:
- Tanda vital: TD 160/90 mmHg,
HR 100 BPM, Sens CM
- Urine: output 1500 ml dalam 6
jam
- Lab: Troponin I 31,00.ng/ml,
CK-MB 411U/L, KGDA
274,mg/dl , NBS 197 mg/dl
Elektrolit: Natrium 130 mEq/l,
Kalium 3,3 mEq/l, Klorida 105
mEq/l
- EKG: stemi antero septal dan
iskemik antero lateral
- EKO: Ekokardiogram ( quick
look ): Fungsi sistolik LV menurun,
EF 43 %, fungsi diastolik LV
terganggu, dimensi jantung LVH,
kontraktilitas jantung RV baik,
ekohemodinamik: SV 37 ml, CO :
37 X 98 = 3,6 L/menit, SVR : 1600

- Penatalaksanaan Medis:
 Menggunakan oksigen
binasal kanul 4 liter/ menit
 Nitroglycerine 10
mikrogram/jam
 Injeksi Lovenox 0,6 cc/ 12
jam
 Injeksi insulin R 8-8-8
 Clopidogrel 1x75 mg
 Aspilet 1x80 mg
 Simvastatin 1x20 mg
 Captopril 3x 12,5 mg
 Concor 1x2,5 mg

2 DS: Perubahan Gangguan pertukaran


Pasien mengatakan sesak nafas membran alveoli gas
kapiler
DO:
- RR 28 kali/menit
- Posisi tidur semi fowler
- Suara nafas: ronchi pada basal
paru kiri dan kanan
- Lab Agda :Alkalosis Respiratorik
- Saturasi 02 : 88 %
- Thorak foto : Kardiomegali +
kongesti + infiltrate
-Urine: output 1500 ml dalam 6
jam
- Elektrolit: Natrium 130 mEq/l,
Kalium 3,3 mEq/l, Klorida 105
mEq/l

-Penatalaksanaan Medis:
 Menggunakan oksigen 10
liter/ menit NRM.
 Furosemide 20 mg/ jam
dengan syringe pump
 IVFD NACL 0.9% 10 tetes/
menit ( mikro)

3 DS: Ketidakseimbangan Intoleransi aktivitas


suplai O2 dengan
-Pasien mengatakan sesak nafas kebutuhan
- Pasien mengatakan nyeri dada
sebelah kiri , menjalar ke tangan
kiri , tangan kanan dan punggung
- Pasien mengatakan lekas capek

DO:
- Pasien tampak lemah
-. Terpasang binasal canula 4 liter/
menit
Terpasang IVFD NACL 0,9% 10
tetes/ menit
-Terpasang Furosemide dalam
syringe pump
-Terpasang Nitrogliserine dalam
syringe pump
-Terpasang dower kateter
- ADL sepenuhnya dibantu oleh
perawat
- Anjuran inmobilisasi
3.2 Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas b/d Perubahan membran alveoli kapiler yang
ditandai dengan: pasien mengatakan sesak nafas, RR 28
kali/menit,posisi tidur semi fowler ,suara nafas: ronchi pada basal paru
kiri dan kanan,Lab Agda :Alkalosis Respiratorik Saturasi 02 : 88%
,Thorak foto : kardiomegali, kongesti dan infiltrat, urine: output 1500
ml dalam 6 jam, Elektrolit: Natrium 130 mEq/l, Kalium 3,3 mEq/l,
Klorida 105 mEq/l, menggunakan oksigen 10 liter/ menit NRM,
Nitroglycerine 10 mikrogram/jam, injeksi Lovenox 0,6 cc/ 12 jam,
Injeksi insulin R 8-8-8, Clopidogrel 1x75 mg, Aspilet 1x80 mg,
Simvastatin 1x20 mg, Captopril 3x 12,5 mg, Concor 1x2,5 mg.

2) Penurunan kardiak output b/d Respon fisiologis otot jantung yang


ditandai dengan: pasien mengatakan nyeri pada dada sebelah kiri,
menjalar ke tangan kiri, tangan kanan dan punggung ,skala nyeri 3,
riwayat penyakit hipertensi +/- 5 tahun yang lalu yang tidak terkontrol,
Tanda vital: TD 160/90 mmHg, HR 100 BPM, sens CM, Urine: output
1500 ml dalam 6 jam, Lab: Troponin I 31,00.ng/ml, CK-MB 411U/L,
KGDA 274,mg/dl , NBS 197 mg/dl Elektrolit: Natrium 130 mEq/l,
Kalium 3,3 mEq/l, Klorida 105 mEq/l, EKG: stemi antero septal dan
iskemik antero lateral EKO: Ekokardiogram ( quick look ): Fungsi
sistolik LV menurun, EF 43 %, fungsi diastolik LV terganggu,
dimensi jantung LVH, kontraktilitas jantung RV baik,
ekohemodinamik: SV 37 ml, CO : 37 X 98 = 3,6 L/menit, SVR : 1600
penatalaksanaan Medis:, menggunakan oksigen 10 liter/ menit NRM,
Nitroglycerine 10 mikrogram/jam, Injeksi Lovenox 0,6 cc/ 12 jam,
injeksi insulin R 8-8-8, Clopidogrel 1x75 mg, Aspilet 1x80 mg,
Simvastatin 1x20 mg, Captopril 3x 12,5 mg, Concor 1x2,5 mg.

3) Intoleransi aktivitas b/d Ketidakseimbangan suplai O2 dengan


kebutuhan yang ditandai dengan: pasien mengatakan sesak nafas,
pasien mengatakan nyeri dada sebelah kiri , menjalar ke tangan kiri ,
tangan kanan dan punggung, pasien tampak lemah, terpasang 10 liter/
menit NRM, Terpasang IVFD NACL 0,9% 10 tetes/ menit, terpasang
Furosemide dalam syringe pump, terpasang Nitrogliserine dalam
syringe pump, terpasang dower kateter, ADL sepenuhnya dibantu
oleh perawat, anjuran inmobilisasi

3.3 Intervensi keperawatan


No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
keperawatan hasil
1 Gangguan Setelah dilakukan NIC :
pertukaran gas b/d tindakan keperawatan Airway Management
perubahan membran selama 1 X 24 jam 1. Posisikan pasien untuk
alveoli kapiler pertukaran gas pasien memaksimalkan ventilasi
efektif dengan : 2. Identifikasi pasien perlunya
Respiratory Status : pemasangan alat jalan nafas
Gas exchange buatan
 Respiratory Status: 3. Auskultasi suara nafas, catat
ventilation adanya suara tambahan
 Vital Sign Status 4.kolaborasi dalam pemberian
bronkodilator bila perlu
kriteria hasil: 5. Pertahankan kenyamanan
1. Mendemonstrasikan lingkungan dengan suhu udara
peningkatan ventilasi yang nyaman
dan oksigenasi yang 6. Atur intake cairan
adekuat untukmengoptimalkan
2. Mendemonstrasikan keseimbangan.
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak Respiratory Monitoring
ada sianosis dan 1. Monitor rata – rata, kedalaman,
dyspneu (mampu irama dan usaha respirasi
mengeluarkan sputum, 2. Catat pergerakan dada,amati
mampu bernafas dengan kesimetrisan, penggunaan otot
mudah tambahan, retraksi otot
3. Tanda tanda vital supraclavicular dan intercostal
dalam rentang normal 3. Monitor suara nafas, seperti
dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul,
hiperventilasi, cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot
diagfragma ( gerakan paradoksis )
7. Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak adanya
ventilasi dan suara tambahan
8. Auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya

Acid Base Managemen


1. Monitro IV line
2. Pertahankanjalan nafas paten
3. Monitor AGD, tingkat elektrolit
4. Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP, PAP)
5. Monitor adanya tanda tanda
gagal nafas
6. Monitor pola respirasi
7. Lakukan terapi oksigen
8. Monitor status neurologi
9. Tingkatkan oral hygiene

2 Penurunan kardiak Setelah dilakukan Circulatory Care


output b/d respon tindakan keperawatan 1. Monitor gejala gagal jantung
fisiologis otot pada klien selama 1 x24 dan penurunan CO termasuk nadi
jantung jam klien dapat perifer yang kualitasnya menurun,
memiliki kardiak output kulit dan ekstremitas dingin,
efektif dengan: peningkatan RR, dipsnea,
- Pompa jantung efektif peningkatan HR, distensi vena
- Status sirkulasi jugularis dan edema
- Status tanda vital 2. Observasi kebingungan, kurang
- Perfusi jaringan tidur dan pusing
3. Observasi adanya nyeri
Kriteria hasil: dada/ketidaknyamanan, lokasi,
Menunjukkan kardiak penyebaran, keparahan, kualitas,
output yang adekuat durasi, manifestasi yang
ditandai dengan TD, memperburuk dan mengurangi
nadi, ritme normal, nadi 4. Jika ada nyeri dada, baringkan
perifer kuat, melakukan klien, monitor ritme jantung, beri
aktivitas tanpa dipsnea oksigen dan beri tahu dokter jaga
5. Monitor intake dan output tiap
24 jam

6. Catat hasil EKG dan rongten


dada
7. Kaji hasil lab, nilai AGD,
elektrolit termasuk kalsium
8. Monitor , Na, kreatinin serum
9. Memberi oksigen sesuai
kebutuhan
10. Posisikan klien dalam posisi
semi fowler atau posisi yang
nyaman
11. Cek TD dan nadi sebelum
medikasi jatung spt ACE
inhibitor, digoxin dan β bloker.
Beritahu dokter bila nadi dan TD
rendah sebelum medikasi
12. Pastikan klien bedrest dan
melakukan aktivitas yang dapat
ditoleransi jantung
13. Berikan makanan rendah
garam, kolesterol
14. Berikan lingkungan yang
tenang dengan meminimalkan
gangguan/stressor. Jadwalkan
istirahat setelah makan dan
aktivitas

3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan NIC :


b.d tindakan keperawatan Terapi aktivitas:
ketidakseimbangan selama 1 x 24 Jam 1. Kaji tanda dan gejala yang
suplai O2 dengan pasien dapat menunjukkan ketidaktoleransi
kebutuhan menoleransi aktivitas terhadap aktivitas
dan melakukan ADL 2. Tingkatkan pelaksanaan ROM
dengan baik, dengan : pasif sesuai indikasi.
Toleransi aktivitas  3. Atur aktivitas fisik untuk
Ketahanan  menurunkan konsumsi O2
Aktivitas hidup 4. Ajarkan pasien dan keluarga
sehari-hari tentang teknik perawatan diri
yang dapat menggunakan
Kriteria hasil: konsumsi O2 minimal
1. Berpartisipasi dalam 5. Bantu klien mengidentifikasi
aktivitas fisik dgn TD, pencapaian tingkat aktifitas
HR, RR yang sesuai
6. Bantu klien untuk memotivasi
2. Warna kulit normal, diri sendiri
hangat dan kering 7. Buat jadwal latihan aktivitas
3. Memverbalisasikan secara bertahap untuk pasien dan
pentingnya aktivitas berikan periode istirahat
secara bertahap 8. Berikan suport dan libatkan
4. Mengekspresikan keluarga dalam program terapi.
pengertian pentingnya 9. Berikan reinforcement untuk
keseimbangan latihan & pencapaian aktivitas sesuai
istirahat program latihan
5. Toleransi aktivitas
6. Menunjukkan Pengelolaan energi
partisipasi dlm ADLs 1. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi pilihan-pilihan
aktivitas
2. Rencanakan aktivitas untuk
periode dimana pasien
mempunyai energi paling banyak.
3. Bantu dengan aktivitas fisik
teratur

Manajemen Nutrisi
1. Kaji dan diskusikan dengan ahli
gizi kebutuhan kalori dan jenis
makanan sesuai diit pasien(rendah
garam/natrium/ rendah kalori)
2. Pastikan intake nutrisi pasien
terpenuhi

Terapi Oksigen
1. Bersihkan saluran nafas dan
pastikan airway paten
2. Siapkan peralatan oksigenasi
3. Kelola suplemen O2 sesuai
indikasi
4. Monitor terapi O2 dan
observasi tanda keracunan
BAB IV : PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas hubungan ataupun kesenjangan yang
ditemukan antara tinjauan teori dan kasus, mengenai faktor – faktor pendukung dan
penghambat serta solusi pemecahan masalah dalam memberikan Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Acute Heart Failure (AHF )
Pembahasan ini meliputi:
a. Pengkajian

Pada tahap ini penulis akan menguraikan bagaimana pengkajian dilakukan.


Pengkajian sesuai dengan teori yang sudah tertuang pada format pengkajian. Dimana
penulis melakuan pengkajian dengan tahapan Wawancara pada pasien dan keluarga,
pemerisaan fisik body system dan Pemeriksaan penunjang yaitu dari hasil
pemeriksaan yang sudah di lakukan sebelumya. Pada saat melakukan pengkajian
penulis tidak mendapatkan hambatan yang berarti dikarenakan pasien kooperatif dan
juga berkat bantuan atau kesempatan serta sarana dan pra sarana yang telah tersedia
di RS HAM Medan. Pada pengkajian ini banyak tanda dan gejala yang ada pada teori
juga dijumpai pada kasus. Dilihat dari presentasi AHF pada Tn. S masuk didalam
kategori gagal jantung dan ACS ( DE NOVO) , dimana syndrome koronaria akut

( SKA ) berupa stemi antero septal dan iskemik antero lateral yang kemudian
menyebabkan acute lung oedema ( ALO ) dan adanya perubahan enzyme jantung.
klasifikasinya AHF berdasarkan hemodinamik ketika pasien masuk keruangan adalah
WARM – WET (HANGAT-BASAH), (Class II), dimana ditemukan kongesti pada
paru, yang dibuktikan dengan pasien mengeluh sesak nafas RR 28 kali/ menit, hasil
foto thorak : cardiomegali, kongesti dan infiltrat dan hasil AGDA alkalosis
respiratorik, saturasi 02 88 %, dan mendapatkan pengobatan berupa diuretic
furosemide 20 mg/ jam ,tetapi tidak ditemukan ada kongesti pada vena jugularis,
hepatomegali kongesti , ascites maupun kongesti perifer bilateral yang dibuktikan
dengan tidak ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis, tidak ditemukan
hepatomegali , tidak ditemukan ascites maupun edema pada perifer baik pada
ekstremitas atas dan bawah. Pada Tn S tidak ditemukan gangguan perfusi yang
didukung data tanda-tanda vital TD 160/90 mmHg, HR 100 kali/menit kuat, suhu
36.○C, akral hangat, CRT < 2 detik sens CM, urine 1500cc/ 6 jam. Dengan kesan
tubuh masih berupaya untuk kompensasi kebutuhan metabolisme sel. Dan untuk
klasifikasi menurut killip AHF yang disebabkan oleh miokard infark akut,maka
klasifikasinya adalah stage II: Ada tanda klinis heart failure,yaitu ronchi basah pada
lapangan bawah kedua paru, hipertensi pulmonal dan edema paru ,sedangkan
klasifikasi kapasitas fungsional menurut NYHA berada di kelas III-IV , karena
dengan aktivitas ringan ataupun disaat istirahat pasien tampak sesak nafas.

b. Diagnos Keperawatan
Pada tahap ini Diagnosa keperawatan di tegakkan sesuai dengan hasil pengkajian,
dari hasil pengkajian diagnosa keperawatan ditegakkan sebagai berikut:
1.Gangguan pertukaran gas b/d Perubahan membran alveoli kapiler

2.Penurunan kardiak output b/d Respon fisiologis otot jantung

3.Intoleransi aktivitas b/d Ketidakseimbangan suplai O2 dengan kebutuhan

Adapun Diagnosa keperawatan yang ada pada teori sbb:


a. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung, peningkatan
frekuensi, dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi sekuncup

b. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan volume paru

c. Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia


jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
d. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan
perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.

e. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi cairan dan
natrium oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal

f. Cemas b/d penyakit kritis, takut kematian atau kecacatan, perubahan peran dalam
lingkungan social atau ketidakmampuan yang permanen.

g. Kurang pengetahuan b/d keterbatasan pengetahuan penyakitnya, tindakan yang


dilakukan, obat obatan yang diberikan, komplikasi yang mungkin muncul dan
perubahan gaya hidup.
h. Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan suplai O2 kebutuhan

c. Intervensi Keperawatan
Pada saat melakukan intervensi keperawatan , penulis merumuskan rencana
keperawatan sesuai yang penulis temukan pada teori. Dimana hampir semua
rencana yang ada di teori penulis terapkan pada kasus.

d. Implementasi keperawatan
Pada tahap implementasi , penulis tidak menemukan hambatan karena
tersedianya peralatan yang lengkap di Rumah sakit Haji Adam Malik Medan.
Sehingga semua yang penulis rencanakan dapat penulis laksanakan pada pasien.

e. Evaluasi
Tahap evauasi ini penulis lakukan pada tanggal 18 April 2017 dimana
didapatkan :
1. Gangguan pertukaran gas b/d Perubahan membran alveoli kapiler, masalah
teratasi sebagian dengan data: keluhan sesak nafas berkurang, RR 24 kali/ menit,
menggunakan oksigen 4 L /menit dengan binasal canule, saturasi 02 98%, suara
nafas ronchi pada basal paru berkurang, posisi tidur semi fowler
2. Penurunan kardiak output b/d Respon fisiologis otot jantung, masalah teratasi
sebagian dengan data : 140/ 90 mmHg, HR 98 kali/menit, akral hangat CRT 2-3
detik, hasil ekokardiografi: all chamber dilatation, disfungsi sistolik dan diastolic,
keluhan nyeri pada dada kiri yang menjalar ke tangan kiri, tangan kanan dank e
punggung masih ada, skala nyeri 3, KGDA 174 mg/dl, urine 3200 cc/ 8 jam.

3.Intoleransi aktivitas b/d Ketidakseimbangan suplai O2 dengan kebutuhan,


Masalah ini tertasi sebagian karena tidak dijumpainya perubahan
haemodinamik yang bermakna sebelum dan sesudah beraktivitas , tetapi
masih ditemukan keluhan pasien mudah merasa lelah. Dibuktikan dengan data
: Sebelum makan : TD: 140/90mmHg, HR: 98x/mnt Sesudah makan : TD:
140/90mmHg, HR: 100x/mnt. Pasien masih menggunakan binasal canula
oksigen 4l/mnt.
BAB V: KESIMPULAN

Kesimpulan
Akut heart failure adalah heart failure yang gejalanya muncul sangat cepat dan
memerlukan penanganan segera dan sifatnya darurat (life theatering).

Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat mengurangi angka komplikasi,


memperbaiki kualitas hidup, mengurangi angka perawatan berulang dan menurunkan
angka kematian.

Pada Pengkajian keperawatan penulis mengkaji berdasarkan data yang didapatkan


mulai dari anamnesa, dokumentasi dan pemeriksaan fisik pasien yang di pandu
dengan teoritis dan. Diagnosa tersebut penulis angkat berdasarkan prioritas masalah
dan respon tubuh pasien dimana ditegakkan 3 diagnosa keperawatan actual.

Intervensi dan implementasi juga penulis rumuskan sesuai dengan teori dan kondisi
pasien serta sarana dan prasarana yang tersedia di Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan. Karena lengkapnya alat serta fasilitas yang ada sehingga penulis dapat
menerapakan apa yang penulis rencanakan

Evaluasi, pada makalah ini evaluasi dilakukan sesuai dengan batas waktu yang
penulis tetapkan pada kriteria hasil yaitu selama perawatan di CVCU , dimana dari 3
masalah keperawatan yang penulis angkat , masalah keperawatan masih teratasi
sebagian , dikarenakan pasien dipindahkan ke ruangan Rawat Inap Cardio (RIC )
sehingga dalam waktu yang singkat masalah keperawatan belum teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson, M.,et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River
2. Mc Closkey, C.J., Iet all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
3. Nanda. 2012-2014. Diagnosis Keperawatan Nanda, EGC : Jakarta. 2012.
4. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2008. Eur Heart J 2008;29:2388–442.
5 McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2012: The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart. Eur Heart J (Internet ) 2013

You might also like