You are on page 1of 45

MAKALAH POLITIK GLOBAL TIONGKOK

“Relasi hubungan Tiongkok – Korea Selatan


(Diplomasi Korean Wave ditengah sengketa Terminal High Altitude Area
Defense (THHAD) pada tahun 2016-2017)”

DISUSUN OLEH :

Fadila Imam Azhary 2015230017


Nadine Aldisa S 2015230054
Adelia Vianca 2016230055
Firly Farahzellina 2016230172
Hema Dwi Ariyani 2016230014

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA
JAKARTA
APRIL 2019

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................. i
BAB I ........................................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
BAB II ...................................................................................................................................... 4
2.1 Neorealisme ................................................................................................................... 4
2.2 Kepentingan Nasional ................................................................................................... 7
BAB III................................................................................................................................... 10
3.1 Karakteristik Sejarah Hubungan Sino-Korea ......................................................... 10
3.1.1 Dinamika Kerja sama Bilateral antara Tiongkok dan Korea Selatan ........... 13
3.1.1.1 Hubungan Ekonomi dan Budaya Tiongkok – Korea Selatan: Kompetisi di
Panggung Global ........................................................................................................... 20
3.1.1.2 Posisi Korea Selatan Diantara Tiongkok dan Amerika Serikat ................... 25
3.2 Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) Serta Dampak Terhadap
Diplomasi Korean Wave di Tiongkok ............................................................................. 26
3. 2. 1 Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan .............. 26
3.2.2 Respon Tiongkok Terhadap Penempatan Terminal High Altitude Area
Defense (THAAD) di Korea Selatan............................................................................ 28
3.2.3 Respon Korea Selatan Terhadap Larangan Korean Wave di Tiongkok ......... 31
3. 3 Upaya Diplomasi Korean Wave di Tengah Sengketa THAAD Tahun 2016-2017 33
3.3.1 Korean Wave Era Kepemimpinan Moon Jae In ................................................ 33
3.3.2 Normalisasi Hubungan antara Tiongkok dan Korea Selatan.......................... 36
BAB IV ................................................................................................................................... 39
PENUTUP.............................................................................................................................. 39
4.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 41

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah internasional mengenai kerjasama antar negara sangatlah kompleks,
dimana negara-negara di dunia berlomba-lomba bekerjasama serta menciptakan
interaksi dari dua negara atau lebih, yang mana memiliki tujuan bersama yaitu
meningkatkan pertahanan ekonomi dalam negara tersebut dan diyakini bahwa setiap
negara yang melakukan kerjasama memiliki pengaruh bahwa kerjasama yang
dilakukan kedua pihak atau negara pasti mendapatkan keuntungan dari negara yang
menjalani kerjasama bersama tersebut, maka hal ini yang memutuskan suatu negara
membuat keputusan negara manakah yang menurutnya mampu bekerjasama dan
memiliki tujuan yang sama serta tentunya berdasarkan kepentingan nasional masing-
masing negara tersebut. Salah satu nya seperti kerjasama bilateral yang dilakukan
antara dua negara kawasan Asia Timur, yaitu Tiongkok dan Korea Selata
Kerjasama bilateral Tiongkok dan Korea Selatan telah dibentuk sejak lama
yang mana kerjasama antar kedua negara terjalin dalam berbagai bidang, seperti
ekonomi, politik, pertahanan, sosial dan budaya. Seperti dalam segi budaya, adanya
fenomena Korean Wave. Menurut Suranto, (2010: 147) dalam era globalisasi dan
kemajuan teknologi serta komunikasi memungkinkan manusia di seluruh dunia untuk
saling berinteraksi satu sama lain. Hampir tidak ada batas-batas lagi untuk saling
bertukar informasi antar negara di berbagai belahan dunia.
Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa Korean Wave pun dapat menyebar
dengan mudah yang mana dapat dibuktikan dengan mendapatkan popularitas bukan
hanya di Tiongkok tetapi juga banyak negara di dunia yang bertujuan untuk merubah
citra Korea Selatan sebagai negara yang mempunyai kebudayaan unik dan menarik.
Dalam penyelenggaraan festival internasional, pengaruh musik dan bahasa Korea serta
menjadi bagian dari kegiatan ademik seperti studi kajian di beberapa universitas yang

1
mana merupakan faktor-faktor pendorong ekspansi kebudayaan Korea Selatan di
Tiongkok.
Dalam posisi Tiongkok yang mana ingin menjadi satu-satunya regional power
di Asia, keberadaan Amerika Serikat menjadi salah satu tantangan bagi Tiongkok. Hal
ini disebabkan oleh hubungan erat yang dimiliki oleh Amerika Serikat dengan berbagai
negara di Asia terutama Korea Selatan, yang dipandang oleh Tiongkok akan digunakan
oleh Amerika Serikat sebagai pembendung Tiongkok dalam upaya perluasan
pengaruhnya (Kevin Rudd, 2015: 11) Berdasarkan keadaan tersebut, Tiongkok
berupaya meminimalisir pengaruh Amerika Serikat di Asia dengan melakukan
hubungan bilateral yang intens dengan berbagai negara di Asia untuk berpihak kepada
Tiongkok.
Tetapi, pada tahun 2016, hubungan antar kedua negara yakni Tiongkok dan
Korea Selatan sempat mengalami kerenganggan akibat penempatan sistem pertahanan
rudal Amerika Serikat (Terminal High-Altitude Area Defense / THAAD) di Negeri
Ginseng tersebut. THAAD merupakan sistem peluru kendali (rudal) antibalistik milik
Angkatan Darat Amerika Serikat yang dirancang untuk menembak jatuh rudal jarak
dekat, sedang, maupun menengah dalam fase terminalnya yang menggunakan
pendekatan mencegat rudal musuh dengan tembakan langsung (hit-to-kill) untuk
melindungi suatu negara dari berbagai serangan yang mungkin terjadi. Dengan
kemampuan demikian, tidak heran jika THAAD adalah perisai yang cukup mumpuni
menyelamatkan diri sebuah bangsa dari serangan rudal musuhnya. (http://www.fi-
aeroweb.com/Defense/THAAD.html)
Amerika Serikat dan Korea Selatan bersikeras bahwa pengerahan THAAD
dilakukan murni untuk tujuan pertahanan, namun Tiongkok merasa khawatir dan
terganggu karena Amerika Serikat dianggap telah meningkatkan ketegangan antar
kedua negara serta sistem pertahanan rudal tersebut dapat menganggu kepentingan
Tiongkok di kawasan. Hal tersebut ternyata berdampak hingga pada perkembangan
sektor kebudayaan Korea Selatan / Korean Wave di Tiongkok yang mana kemudian
menarik perhatian dan kekhawatiran Korea Selatan, oleh karena itu Korea Selatan

2
bergerak dan melakukan serangkaian upaya diplomasi nya melalui Korean Wave yang
mana merupakan solusi yang paling nyata dan efektif dalam mengatasi masalah
tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai upaya diplomasi Korean Wave yang dilakukan oleh Korea Selatan di
Tiongkok ditengah sengketa THAAD / Terminal High-Altitude Area Defense dan
mengkajinya lebih lanjut dalam sebuah makalah dengan judul:
“Relasi hubungan Tiongkok – Korea Selatan
(Diplomasi Korean Wave ditengah sengketa Terminal High Altitude Area Defense
(THHAD) pada tahun 2016-2017)”

1.2 Rumusan Masalah

Untuk membatasi kajian dalam laporan ini, maka perlu sekiranya dirumuskan
masalah yang menjadi pokok bahasan. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana upaya diplomasi yang dilakukan oleh Korea Selatan terhadap
Tiongkok melalui Korean Wave yang terjadi di tengah sengketa Terminal High
Altitude Area Defense (THAAD)?

3
BAB II
TEORI DAN KONSEP

2.1 Neorealisme
Neorealisme percaya bahwa struktur sistem internasional bersifat anarki, yang
berarti tidak ada kekuasaan di atas kekuasaan dan pemerintah di atas pemerintahan.
Struktur sistem internasional ini membentuk kebijakan luar negeri suatu negara, tidak
aneh jika negara yang mempunyai power yang lebih banyak memiliki pengaruh yang
lebih besar (Waltz, 1979).

Neorealisme berbeda dengan perspektif realisme yang berfokus pada sifat


alamiah dasar manusia. Para pemikir realisme klasik, kekuasaan merupakan objek
utama sehingga perlu diutamakan dan dimaksimalkan oleh suatu negara atau individu.
Meskipun dalam realisme klasik, sumber daya ekonomi dan teknologi juga dianggap
sebagai salah satu elemen dari kekuasaan suatu negara, namun kekuatan militerlah
yang tetap menjadi elemen terpenting bagi pembentukan kekuasaan sebuah negara.
Neorealisme menyetujui beberapa hal yang sama, bahwa kekuatan militer adalah
penting dalam kekuasaan. Namun, bagi neorealisme, kekuasaan dianggap sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu. Maka, kekuasaan menjadi instrumen yang menuntun
serta membatasi sesuatu hal kepada negaranegara lain. Daripada kekusaan itu sendiri,
lebih difokuskan pada kemampuan penggunaan kekuasaan sebagai pertahanan negara
(Baylis, 2012).

Neorealisme dapat dipahami lebih lanjut dengan beberapa konsep atau asumsi
dasar, sebagai berikut: Sistem internasional bersifat anarki. Keadaan anarki bukan
berarti kekacauan. Keadaan anarki berarti tidak ada otoritas pusat yang mengatur
tindakan negara-negara lain. Sistem internasional menjadi faktor penting dalam
menentukan perlakuan aktor. Negara yang memiliki kedaulatan berusaha untuk
meningkatkan kekuatan militer untuk melindungi dirinya dan meluaskan kekuatan

4
nasional. Negara adalah aktor yang rasional maka selalu mengejar strategi yang
meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan.

Ciri yang dapat ditemukan di sistem internasional adalah bahwa ketidakpastian


menyebabkan kurangnya kepercayaan. Ketidaktauan atas motivasi dari negara lain
membuat negara saling mengawasi satu dengan yang lain.

Ketidaktauan tersebut kadang kala dapat menyebabkan kekeliruan dalam mengambil


kebijakan nasional. Sebab negara-negara ingin mempertahankan kedaulatan dan
kemerdekaan maka kelangsungan hidup negara menjadi motivasi yang paling dasar
atas perlakuan suatu negara.

Neorealisme percaya bahwa kekuatan merupakan sebuah alat untuk mencapai


pertahanan negara (survival), dalam hal ini terbagi menjadi dua pemahaman yakni
defensive structural realism dan offensive structural realism. Offensive structural
realism beranggapan bahwa diperlukan peningkatan kekuatan supaya meraih posisi
hegemoni dalam sistem internasional. Dengan menjadi hegemon, negara dapat
memastikan posisi amannya untuk bertahan dalam sistem yang anarki. Menurut
Mearsheimer dari bukunya yang berjudul “Offensive structural realism mengandung 5
anggapan sebagai asumsi dasarnya, kebanyakan pemikir neorealis menyetujui asumsi
dasar tersebut, 5 asumsi dasar realisme ofensif adalah yang berikut di bawah ini,
(Mearsheimer, 2007)

1. Sistem internasional adalah anarki.


2. Negara yang memiliki Great Power pastinya memiliki kekuatan militer yang
agresif.
3. Negara manapun tidak dapat memperkirakan sepenuhnya maksud dan
keinginan oposisi.
4. Sasaran negara yang memiliki Great Power adalah kelangsung hidup negara itu
sendiri.
5. Negara adalah aktor rasional.

5
Jika, 5 asumsi tersebut bersatu, negara yang memiliki Great Power mendapat motivasi
yang kuat untuk bertindak dan berpikir agresif terhadap oposisi. Dalam kondisi anarki
demikian, masing-masing negara tidak dapat memahami sepenuhnya maksud masing-
masing sehingga timbul kecurigaan terhadap negara yang memiliki kemampuan
ofensif. Sebagai akibat, negara berusaha untuk mengekspansi kekuatan negaranya serta
memberikan kerugian terhadap negara yang berpotensial menjadi musuh atau saingan
untuk menurunkan kekuatannya. Inti dalam hal ini, negara yang memiliki Great Power
bertindak agresif (Mearsheimer, 2007).

Tindakan-tindakan yang bercenderung mengekspansi kekuatan negara akan


berakhir, setelah negara tersebut menjadi hegemon. Sehingga, hendaknya negara-
negara yang memiliki Great Power selalu ingin menjadi satu-satunya hegemon di dunia
namun hal tersebut tidak akan dapat tercapai kecuali negara memiliki kekuasaan nuklir
yang mutlak yang negaranegara lain tidak dapat menerkam. Akan tetapi, objek utama
negara-negara yang memiliki Great Power, tetap saja menjadi hegemon, terutama
hegemon di regionalnya. Setelah menjadi hegemon di regionalnya, mereka
mengintervensi di wilayah lain supaya menjaga Balance of Power, dengan kata lain
berefek sebagai Offshore Balancer (Mearsheimer, 2007)

Sedangkan, Defensive structural realism beranggapan bahwa memaksimalkan


kekuatan dengan menyerang dapat merugikan atau membahayakan keamanan suatu
negara. Dengan pengembangan kekuatan secara agresif dianggap kurang bijak, karena
akan membuat sistem internasional menghukumnya. Pemahaman ini memandang
kekuatan sebagai alat untuk bertahan dari ancaman yang muncul dalam sistem
internasional yang anarki. (Waltz, 1979)

Para pemikir defensif realis yang merujuk pada pemikiran Waltz beranggapan
bahwa negara-negara yang memiliki Great Power yang tujuan akhirnya
memaksimalkan keamanan (security maximize), lebih berfokus menjaga Balance of
Power saat itu daripada mengejar ekspansi kekuatan negaranya. Waltz mengatakan

6
bahwa perhatian yang paling utama dari negara-negara adalah menjaga status quo
terhadap posisi negara dalam sistem internasional. (Waltz, 1979) Setelah itu, para
pemikir defensif realis utama menuruti pandangan yang demikian (Grieco 1988).
Negara-negara yang memiliki Great Power malah harus berhati-hati merekrut kekuatan
yang terlalu banyak, oleh karena mekanisme Balance of Power yang berefek di sistem
internasional. Provokasi seperti mengejar kekuasaan hegemoni, merupakan ‘bunuh
diri’ bagi suatu negara. Karena bukan hanya satu negara saja yang mengejar hal
tersebut namun negara-negara lainpun mengejar hegemoni tersebut (security dilemma)
(Waltz, 1979) sehingga negara-negara dapat menjadi semakin kuat namun di sisi lain
dapat menempatkan mereka di zona yang lebih berbahaya (Glaser, 1997).

2.2 Kepentingan Nasional


Dalam kepentingan nasional peran ‘negara’ sebagai aktor yang mengambil
keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional
berpengaruh bagi masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang
akan menjadi kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut.
Seorang ahli, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai
pelindung wilayah, penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian
karena negara merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya.
Tanpa negara dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun
dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat jadi terbatasi. Sehingga ruang
gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari sebuah negara.

Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini


dapat dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan
sosial-budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin diciptakan
sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar
dapat pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar
dari kepentingan nasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat

7
internasional sebagai negara yang menjalin hubungan yang terlampir dari kebijakan
luar negerinya. Dengan demikian, kepentingan nasional secara konseptual
dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara. Seperti
yang dipaparkan oleh Kindleberger mengenai kepentingan nasional; “…hubungan
antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang dimiliki tiap negara
dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut
membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk menunjang
pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional…”

Pengertian tersebut menjelaskan bahwa keberagaman tiap-tiap negara yang ada


di seluruh dunia memiliki kapasitas yang berbeda. Demikian tercipta dapat terpengaruh
dari domografi, karakter, budaya, bahkan history yang dimiliki negara tersebut.
Sehingga negara saat ingin melakukan kerjasama dapat melihat kondisi dari
keunggulan-keungulan yang dapat menjadi pertimbangan. Pelaksanaan kepentingan
nasional yang mana dapat berupa kerjasama bilateral maupun multilateral kesemua itu
kembali pada kebutuhan negara. Hal ini didukung oleh suatu kebijakan yang sama
halnya dengan yang dinyatakan oleh Hans J. Morgenthau bahwa kepentingan nasional
merupakan Kemampuan minimum negara-negara untuk melindungi dan
mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultural dari gangguan negara-negara lain.
Dari tinjauan itu, para pemimpin suatu negara dapat menurunkan suatu kebijakan
spesifik terhadap negara lain bersifat kerjasama maupun konflik. Adanya kepentingan
nasional memberikan gambaran bahwa terdapat aspek-aspek yang menjadi identitas
dari negara. Hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana fokus negara dalam memenuhi
target pencapaian demi kelangsungan bangsanya. Dari identitas yang diciptakan dapat
dirumuskan apa yang menjadi target dalam waktu dekat, bersifat sementara ataupun
juga demi kelangsungan jangka panjang. Hal demikian juga seiring dengan seberapa
penting identitas tersebut apakah sangat penting maupun sebagai hal yang tidak terlalu
penting.

8
Konsep kepentingan nasional bagi Hans J. Morgenthau memuat artian berbagai
macam hal yang secara logika, kesamaan dengan isinya, konsep ini ditentukan oleh
tradisi politik dan konteks kultural dalam politik luar negeri kemudian diputuskan oleh
negara yang bersangkutan. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kepentingan nasional
sebuah negara bergantung dari sistem pemerintahan yang dimiliki, negara-negara yang
menjadi partner dalam hubungan diplomatik, hingga sejarah yang menjadikan negara
tersebut menjadi seperti saat ini, merupakan tradisi politik. Sedangkan tradisi dalam
konteks kultural dapat dilihat dari cara pandang bangsanya yang tercipta dari karakter
manusianya sehingga menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang dapat menjadi tolak
ukur negara sebelum memutuskan menjalankan kerjasama.

9
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Sejarah Hubungan Sino-Korea

Karakteristik dominan hubungan Sino-Korea, umumnya sejak dari abad 14


hingga 19. Korea sudah mengenal pusat kebudayaan Tiongkok, pengaruh politik,
hubungan yang damai dengan negara tetangga, dan secara otomatis untuk mengatur
permasalahan dalam negeri masing-masing negara. Hubungan penghormatan Sino-
Korea adalah bagian dari strategi yang lebih luas yang mana suatu perintah hirarkis
Sinosentrik telah menyediakan keamanan, identitas kebudayaan Korea tetap nyata dan
jelas, tapi kepemimpinan politiknya bergantung terhadap kesetiaan Tiongkok,
menghormati kebudayaan Tiongkok dan pencapaian birokratisnya. Sistem pemerintah
Korea dan model perintah sosialnya sama seperti Tiongkok.
Secara implisit menyatakan urutan hierarki yang mana golongan atas Korea
tidak hanya menerima seorang peran golongan bawah Tiongkok tetapi juga telah
menyaingi Tiongkok dalam berbagai fase intelektual dan kehidupan sosial. Dinasti Yi
(Chosun) (1392-1910) telah melekat terhadap prinsip kaum ortodoks dalam filsuf
sosial Tiongkok yang lebih keras daripada kasusnya di Tiongkok. Para intelektual
Korea telah meneliti orang-orang klasik Tiongkok, pemerintah birokratis melibatkan
suatu sistem pemeriksaan seperti sistem di Tiongkok. Istilah masyarakat Korea untuk
mendeskripsikan hubungan Sino-Korea, sadae, atau “melayani seorang atasan”,
mencerminkan hubungan sifat dasar hierarkinya.
Raja-raja Korea di Dinasti Yi dengan cara upacara adat telah menerima hak-
hak pemerintah mereka dari pihak pemberi kuasa Tiongkok sebagai ganti untuk suatu
pengertian bahwa Tiongkok akan datang membela Korea dari serangan musuh oleh
“orang-orang biadab” di luar lingkungan kebudayaan masyarakat Tiongkok. Suatu
strategi pertahanan di Tiongkok sebagai penjamin otonomi orang-orang Korea dan
stabilitas meminimalisir ganti rugi pertahanan diri melawan permusuhan dari kedua

10
pihak baik dari Tiongkok maupun negara tetangga lainnya. Sistem ini tertinggal di
akhir abad ke-19, yang pada masa itu mulai masuknya pengaruh Barat dan transisi
menuju sistem modern negaranya. Transisi tersebut merugikan Tiongkok melawan
Jepang sebagai awal modernisasi Asia, dengan Korea sebagai korban utama.
Pengaruh kekalahan Tiongkok terhadap Peninsula Korea dan kebangkitan
Jepang sebagai kolonial imperialis memilik dampak yang tragis untuk kepemimpinan
Korea yang mana tidak dapat membela negaranya melawan ambisi imperial orang-
orang Jepang. Transisi Korea dari pengaruh lingkungan Tiongkok terhadap
pengawasan Jepang telah dilakukan secara lengkap oleh Jepang dengan
memperpanjang masa kekuasaan pemerintahannya dari Korea dan pada akhirya
penggabungan formal dengan Peninsula pada tahun 1910. Di tengah-tengah masa
dekade perang Sino-Jepang, pengaruh Tiongkok di Korea saat itu sedikit, kebanyakan
dalam konteks upaya Jepang untuk memperpanjang kekuasaannya, atau upaya Korea
untuk menyamai Tiongkok terhadap perlawanan imperialis Jepang, asal usul hubungan
antara Gerakan Komunis Tiongkok dengan Gerakan Gerilya Korea yang mana Kim Il-
Sung adalah termasuk bagiannya pada saat itu. Dipisahkan oleh ideologi, pemimpin
politik Korea Selatan pada hakikatnya tidak ada hubungan dengan pemimpin PRC yang
muncul pada tahun 1949.
Keputusan Mao Zedong untuk memasuki Penang Korea pada tahun 1950-1953
membawahi Sukarelawan Masyarakat Tiongkok tertinggal dalam ingatan
kepemimpinan konservatif Korea Selatan, yang mana sampai sekarang telah
mengantarkan pembangunan Korea Selatan selama satu dekade (1998-2008). Diikuti
dengan negosiasi gencatan senjata, yang mana penasihat Tiongkok ikut andil sebagai
bagian terkemuka dalam pembicaraan dengan Amerika Serikat, tidak ada koneksi
antara pemerintah Korea Selatan dengan PRC. Kunjungan Nixon ke Tiongkok pada
tahun 1972 menjadi hal yang mengejutkan bagi kedua pemimpin Korea, oleh sebab itu
mereka mengajukan saluran kontak mereka sebagai respon atas pergeseran
‘pemandangan geografis Asia’. Kesempatan untuk membangun hubungan dengan
rekan PRC sangat lambat dan secara umum membatasi perdagangan Korea Selatan

11
melalui negara-negara Asia lainnya, diplomasi, dan peristiwa politik, seperti pada
tahun 1983 membajak sebuah pesawat Tiongkok yang mendarat di Korea Selatan.
Selama tahun 1980, ideologi dimasukkan kedalam bahasa Korea melalui pemakaian
kata-kata yang umum “Tiongkok Komunis” atau “Tiongkok Merah” yang sebutan
lainnya menjadi PRC. Itu tidak sampai pada saat kesempatan ekonomi dan politik
membutuhkan pembukaan terhadap hubungan baru yang mulai dikembangkan yang
mana secara ideologis rintangan mulai surut.
Tinjauan singkat sejarah ini menunjukkan bahwa hubungan Korea Selatan
dengan Tiongkok dipisahkan menjadi dua bentuk interaksi yang berbeda. Bentuk
dinasti tradisional adalah salah satu di mana Korea memiliki suatu hubungan yang
dekat dengan Tiongkok sebagai pusat ekonomi dan politik di dunianya. Korea telah
dilihat sebagai suatu contoh terhadap bagaimana Kerajaan Menengah lebih memilih
ntuk mengatur hubungan dengan negara-negara tetangganya. Awal dari era modern di
hubungan internasional Asia ditandai sebagai perubahan yang dramatis dalam
hubungan ini dimana Korea Selatan pindah ke orbit Amerika Serikat. Dibawah
peraturan kolonial Jepang, Korea tidak memiliki dasar atas mengejar hubungan dengan
Tiongkok, dan selama Perang Korea, Tiongkok menjadi musuh bagi Korea Selatan.
Tiongkok dan Korea Utara memiliki ikatan tali persaudaraan yang dekat
berdasarkan pada pengalaman revolusi mereka. Perlawanan ideologis Tiongkok
terhadap Korea Selatan menciptakan sebuah jarak, dimana persekutuan dekat Korea
Selatan dengan Amerika Serikat menimbulkan suatu kebijaksanaan yang pasti dalam
bagian pemimpin Tiongkok dihalangi oleh kesetiaan mereka terhadap kader Korea
Utara. Latar belakang sejarah Sino-Korea Selatan mengidentifikasikan celah suatu
gambaran yang acak dari untaian yang mana yang bisa membenarkan persamaan dan
perbedaannya, dengan pembagian garis antara dua bentuk utama ideologi (Scott Snyder
and See-Won Byun dalam buku National Identites and Bilateral Relations, Widening
Gaps in East Asian and Chinese Demonization of the United States Chapter 4 hal : 98-
100).

12
3.1.1 Dinamika Kerja sama Bilateral antara Tiongkok dan Korea Selatan
Dalam upaya mengukuhkan posisinya sebagai satu-satunya regional power di
Asia, keberadaan Amerika Serikat menjadi salah satu tantangan bagi Tiongkok. Hal ini
disebabkan oleh hubungan erat yang dimiliki oleh Amerika Serikat dengan berbagai
negara di Asia, seperti aliansi militer dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan
Taiwan, yang dipandang oleh Tiongkok akan digunakan oleh Amerika Serikat sebagai
pembendung Tiongkok dalam upaya perluasan pengaruhnya, Berdasarkan keadaan
tersebut Tiongkok berupaya untuk meminimalisir pengaruh Amerika Serikat di Asia,
salah satunya dengan melakukan intensifikasi hubungan bilateral dengan berbagai
negara-negara di Asia agar mulai memihak Tiongkok.
Korea Selatan menjadi negara target utama yang diinginkan untuk menjadi
mitra Tiongkok di dalam kawasan. Posisi Korea Selatan ini menjadi penting bagi
Tiongkok didasarkan atas dua alasan, yaitu untuk menarik Korea Selatan dari Amerika
Serikat, dan menjadikan Korea Selatan sebagai mitra pengganti atas tidak lagi
relevannya hubungan kemitraan Tiongkok dengan Korea Utara. Hubungan bilateral
Korea Selatan dan Tiongkok sudah dibentuk sejak tahun 1992, namun interaksi yang
berlangsung diantara keduanya tergolong stagnan, terutama pada tahun 2010 saat
Tiongkok tidak memberikan pernyataan apapun terkait terjadinya penyerangan kapal
militer milik Korea Selatan oleh Korea Utara.
Hubungan kedua negara mulai dinamis sejak tahun 2013, bersamaan dengan
naiknya Presiden Park Geun-hye sebagai presiden Korea Selatan. Hal ini ditandai
dengan beberapa hal seperti: negara pertama yang mengirimkan ucapan selamat atas
pengangakatan Presiden Park Geun-hye, Korea Selatan menolak permintaan Jepang
untuk mengadili Liu Qiang yang merupakan tersangka upaya pembakaran Kuil
Yasukuni, kuil penghormatan atas pejuang yang tewas saat Perang Dunia kedua, dan
mengembalikan tersangka tersebut ke Tiongkok, kunjungan Presiden Park Geun-hye
pada tahun 2013 yang menghasilkan pernyataan bersama antara Korea Selatan dengan

13
Tiongkok untuk memperkuat komitmen kedua negara dalam kemitraan kerjasama
strategis, dan lain-lainnya.
Tiongkok mengembangkan kemitraan yang lebih penting dengan Korea Selatan
dalam beberapa bidang mengenai kepemimpinannya di regional Asia Timur karena
tantangan dari Amerika Serikat ke Asia Timur, terutama dalam bidang militer. Pada
tantangan di sektor militer dan sektor ekonomi, dua kekuatan regional utama tersebut
adalah menjadi perhatian utama Tiongkok untuk menjaga Korea Selatan berada jauh
dari Jepang dan Amerika Serikat dalam kompetisi kekuatan regional. Bagi Korea
Selatan, mengembangkan kemitraan strategis dengan Tiongkok merupakan prioritas
utama. Keterlibatan Tiongkok pada organisasi internasional dan kesepakatan
perdagangan bebas dengan Korea Selatan menunjukkan keseriusan Tiongkok dalam
mempererat hubungan ekonominya dengan Korea Selatan. Sementara itu, pengaruh
kekuatan militer Tiongkok di kawasan Asia Timur diperkuat dan semakin besar karena
adanya keterlibatan Amerika Serikat, terutama Korea Selatan yang selama ini
mempunyai hubungan baik dengan Amerika Serikat dalam hubungan militernya
membuat Tiongkok terganggu.
Hubungan antara Tiongkok dan Korea Selatan telah mengalami perubahan
yang paling konsekuensial dalam bidang politik, ekonomi, budaya, pariwisata, dan
keamanan di Asia Timur. Pada tahun 1992 ketika Tiongkok secara resmi menerima
realitas kedua Korea (Korea Utara dan Korea Selatan), Tiongkok dan Korea Selatan
telah membangun hubungan yang semakin beragam dan interaktif, yang sekarang
digambarkan oleh kedua kepemimpinan sebagai mengejar "Partnership for Strategic
Cooperation" pada tahun 2008. Hubungan pribadi antara Presiden Xi Jinping dan
Presiden Park Geun-hye selama kunjungan kenegaraan mereka ke ibukota masing-
masing pada tahun 2013 dan 2014 lebih jelas mempertegas momentum kemitraan
kerjasama kedua negara. Hubungan ekonomi antara Korea Selatan dan Tiongkok telah
berada pada jalur pertumbuhan yang pesat sejak terbentuknya hubungan diplomatik
formal antara keduanya pada tahun 1987. Perdagangan bilateral mereka berkembang
dengan baik dalam volume dan sebagian besar untuk Korea Selatan ke Tiongkok dalam

14
bentuk investasi langsung. Pada tahun 2013, presiden Korea Selatan, Park Geun-hye
mengumumkan rencana untuk memindahkan negara ini ke arah "ekonomi kreatif".
Rencana tersebut yang mencatat bahwa ekonomi Korea Selatan telah mencapai
batas strategi yang telah mendorong pertumbuhan ekonomi selama 40 tahun terakhir
dengan bertujuan untuk mempromosikan model pertumbuhan baru berdasarkan inovasi
dan kewirausahaan. Bagi negara yang telah membangun kesuksesannya dalam
kemampuan memproduksi daripada berinovasi, hal ini merupakan pergeseran penting
dalam model pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Perekonomian Korea Selatan
mencatat pertumbuhan tercepat dalam tujuh tahun pada kuartal terakhir, karena
permintaan global untuk barang elektronik di negara tersebut lebih dari mengimbangi
dampak geopolitik regional terhadap perdagangan. Pembentukan hubungan diplomatik
resmi pada tahun 1992 telah membuka bab baru bagi hubungan ekonomi bilateral
antara Tiongkok dan Korea Selatan.
Interaksi ekonomi antara Korea Selatan dan Tiongkok sangat dinamis dan tidak
dapat dipisahkan terkait dengan perkembangan ekonomi Tiongkok yang pesat. Pada
tahun 2005 misalnya, perdagangan dua arah tersebut mencapai lebih dari $ 100 miliar,
menghasilkan surplus perdagangan sebesar $ 23,4 miliar untuk Korea Selatan.
Tiongkok pada tahun 2005 menerima $ 2,6 miliar investasi dari Korea Selatan, yang
dimana merupakan tujuan investasi terbesar Korea Selatan di Tiongkok mencapai $
13,5 miliar. SementaraSementara itu, struktur perdagangannya juga telah berubah.
Pada awal 1990-an, perdagangan dari Tiongkok ke Korea Selatan adalah seperti barang
primer, serta produk-produk karya padat, sementara Tiongkok sering mengimpor
teknologi intensif dan modal produk padat yang diproduksi dari Korea Selatan. Dalam
beberapa tahun terakhir, perdagangan antara kedua negara ini sebagian besar adalah
barang teknologi. Foreign Invested Enterprises (FIEs) terutama yang berinvestasi dari
Korea Selatan memainkan peran penting dalam perubahan struktural dari perdagangan
bilateral.
Kesepakatan perdagangan bilateral antara kedua negara telah membuka
eksportir produk manufaktur yang saling bersaing satu sama lain, yang memungkinkan

15
perdagangan komponen utama untuk pasar seperti teknologi dan mobil. Untuk
pertumbuhan Tiongkok yang melambat, pasar Korea Selatan yang lebih terbuka bisa
menjadi penerima barang penting yang jika tidak terpukul oleh kebangkitan pasar
negara maju lainnya.Menurut professor Politik Internasional dari University of Bristol,
Yongjin Zhang, dalam interview dengan World Finance, mengatakan bahwa sebuah
kesepakatan perdagangan antara Tiongkok dan Korea Selatan memiliki arti ekonomi
yang bermakna. Perdagangan dan investasi bilateral kedua negara telah berkembang
pesat dalam beberapa tahun terakhir, dan kedua belah pihak ingin mendorong
kesepakatan ini. Namun yang lebih penting, sebuah perjanjian perdagangan bilateral
akan memiliki aspek strategis, karena hal itu akan mempengaruhi dinamika regional
Asia Timur pada tingkat keamanan dan ekonomi.
Pada tahun 2008, melalui bidang ekonomi dalam perdagangan bilateral telah
melonjak menjadi $ 186 miliar, naik dari tahun 1992 yang hanya $ 5 miliar, yang
dimana pertumbuhan dari tahun ketahunnya rata-rata 28%, yang secara signifikan lebih
tinggi 19% dari rata-rata pertumbuhan tahunan nasional untuk total periode yang sama.
Pada tahun 2008, volume perdagangan bilateral telah menyumbang 7,2% dari total
perdagangan Tiongkok dan 22,1% dari keseluruhan perdagangan Korea Selatan. 48
Dari bidang ekonomi menunjukkan bahwa pertukaran ekonomi dari people-to-people
antara Tiongkok dan Korea Selatan mencatat ada 837 penerbangan di 47 rute yang
dioperasikan pada tahun 2008 antara 33 kota di Tiongkok dan tujuh kota di Korea
Selatan, serta 47 penerbangan di 10 rute pengiriman barang. Warga Korea Selatan
menyumbangkan satu kelompok komunitas pelajar asing di Tiongkok sebesar 65.000
pelajar, dan di Tiongkok terdapat 25.000 pelajar dari Korea Selatan.
Bagi Korea Selatan, hubungan ekonomi yang paling terpenting adalah dengan
Tiongkok. Kondisi hubungan ini akan sangat menentukan kesehatan dan kesejahteraan
ekonomi Korea Selatan. Menurut World Bank, kenaikan relatif tinggi terjadi antara
tahun 2010 dan tahun 2014, yakni nilai ekspor rata-rata 53,2% dari GDP Korea Selatan.
Korea Selatan juga memiliki rasio perdagangan terhadap GDP yang relatif tinggi.
Statistik ini dihitung dengan menambahkan total impor ditambah total ekspor dibagi

16
dengan GDP harga saat ini. Menurut data dari World Trade Organization (WTO), pada
tahun 2014 Korea Selatan memiliki perdagangan terhadap GDP dari 103,2%. Menurut
data dari WTO, rincian total ekspor ekonomi Korea Selatan menunjukkan bahwa
Tiongkok menguasai 26,1% dari ekspor Korea Selatan. Dengan impor ke Korea
Selatan, Tiongkok juga nomor satu di 16,1%.
Sebaliknya, data untuk Tiongkok menunjukan bahwa Korea Selatan, sementara
mitra dagang terkemuka, sama sekali tidak penting. Dengan kata lain, Tiongkok tidak
tergantung pada Korea Selatan karena Korea Selatan ada di dalamnya. Korea Selatan
menguasai 4,1% ekspor Tiongkok dan memberikan 9,4% dari total impor Tiongkok.
Hubungan ekonomi Tiongkok dengan Korea Selatan adalah kasus dalam asimetri
perdagangan. Kepentingan ekonomi menjadi jauh lebih jelas ketika masuknya
Tiongkok ke WTO pada tahun 2001 dan mengejar pada pertumbuhan ekspor. Pada
tahun 2003, Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar Korea Selatan, dengan ekspor ke
Tiongkok melebihi impor dari Tiongkok dengan margin yang semakin meningkat.
Melihat lebih dekat pada data dari WTO, menunjukkan bahwa Korea Selatan tidak
berdagang secara merata. Mitra dagang utama Korea Selatan adalah Tiongkok.
Komitmen Korea Selatan di Tiongkok jauh melampaui usaha yang lebih
sederhana dari perusahaan Tiongkok di Korea Selatan. Pada tahun 2005, keuntungan
perdagangan dua arah tersebut melampaui $ 100 miliar pada tahun 2011 dan melebihi
$ 200 miliar. Menurut perkiraan, perdagangan Tiongkok mencapai hampir $ 275 miliar
pada tahun 2013, dengan target yang disepakati dari $ 300 miliar pada akhir 2015.
Meskipun penurunan di ekspor Korea Selatan membuat tujuan ini berkurang,
perdagangan Korea Selatan dengan Tiongkok sudah melebihi perdagangan gabungan
dengan Jepang dan Amerika Serikat. Keduanya juga telah berjanji untuk
menyelesaikan negosiasi FTA (Free Tread Agreement) pada akhir tahun 2014, yang
kemungkinan akan memfasilitasi perdagangan dan investasi Setelah beberapa tahun
bernegosiasi, Tiongkok dan Korea Selatan akhirnya telah secara resmi menandatangani
FTA (Free Trade Area) pada tahun 2015. Menteri perdagangan Tiongkok, Gao
Hucheng dan Menteri perdagangan Korea Selatan, Yoon Sang-jick menandatangani

17
dokumen perjanjian tersebut di Seoul, dengan didampingi dengan presiden Xi Jinping
dan presiden Park Geun-hye yang mengirimkan surat-surat yang menyatakan
dukungan dan komitmen mereka terhadap kesepakatan tersebut. Kesepakatan tersebut
diselesaikan pada bulan November 2014. Di sela-sela pertemuan APEC di Beijing,
presiden Xi Jinping dan presiden Park Geun-hye mengumumkan bahwa negosiasi telah
selesai dengan sebuah kesepakatan yang pada akhirnya diharapkan dapat
menghilangkan tarif pada 90% barang yang diperdagangkan antara Tiongkok dan
Korea Selatan.
Kementerian perdagangan Korea Selatan memperkirakan kesepakatan tersebut
akan meningkatkan perdagangan Tiongkok dan Korea Selatan menjadi dari $ 300
miliar per tahun, naik menjadi $ 215 miliar pada tahun 2012, saat negosiasi dimulai.
Hal ini juga diproyeksikan untuk mengangkat GDP Korea Selatan sekitar 1% selama
sepuluh tahun ke depan. Sementara itu, Tiongkok diperkirakan akan melihat kenaikan
GDP sebesar 0,3 persen dalam jangka waktu yang sama berkat FTA. Meskipun
Tiongkok dan Korea Selatan memiliki FTA lainnya, Korea Selatan mengharapkan
kesepakatan ini untuk menghasilkan dividen yang setara dengan ukuran keseluruhan
hubungan perdagangan. FTA dengan Korea Selatan juga merupakan kesepakatan
terbesar Tiongkok dalam volume perdagangan yang berpengaruh.
Sementara itu, Tiongkok bernegosiasi tentang FTA dengan Korea Selatan yang
telah mewakili tingkat liberalisasi perdagangan dan pembukaan pasar yang lebih tinggi
daripada pelaksaan FTA dengan negara-nagara lainnya yang telah dinegosiasikan
Tiongkok. Seorang pejabat Korea Selatan melalui media Yonhap mengatakan setuju
bahwa FTA dengan Korea Selatan menunjukkan bahwa Tiongkok telah menerima dan
membuka pasarnya untuk norma-norma internasional. Kesepakatan-kesepakatan
tersebut memiliki arti yang lebih luas jika dilihat sebagai batu loncatan karena
Tiongkok juga ingin menyelesaikan FTA trilateral yang menghubungkan dirinya,
Korea Selatan, dan Jepang. Selanjutnya, Tiongkok berharap dapat menyelesaikan
negosiasi mengenai Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebuah

18
kesepakatan perdagangan yang menghubungkan 10 negara anggota ASEAN dengan
Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, India, Australia, dan Selandia Baru.
RCEP sering secara langsung menentang dorongan Amerika Serikat untuk
Kemitraan Trans-Pasifik. Namun, pertumbuhan perdagangan Tiongkok dan Korea
Selatan telah melambat sejak tahun 2005 karena sejumlah alasan, termasuk friksi
perdagangan dari langkah-langkah anti-dumping yang diberlakukan oleh kedua belah
pihak, masalah keamanan pangan, menurunnya Foreign Direct Investment (FDI) dari
Korea Selatan ke Tiongkok dan meningkatkan divestasi dari Tiongkok, serta
ketidakpastian terkait dengan penandatanganan bilateral FTA antara negaranegara.
Pergeseran kebijakan pemerintah Lee Myung-bak untuk merevitalisasi hubungan
Korea Selatan dengan Amerika Serikat dan Jepang untuk membangun negara menjadi
“Korea global” lebih lanjut yang dapat mengurangi kecepatan dinamika pertumbuhan
perdagangan bilateral.
Dari tahun 2000 sampai 2014, karena perdagangan global Korea Selatan
meningkat tiga kali lipat dari $ 333 miliar menjadi $ 1,1 triliun, perdagangan Korea
Selatan dan Tiongkok meningkat delapan kali lipat, dari $ 31,2 miliar menjadi $ 235,4
miliar. Akibatnya, pangsa perdagangan barang dagangan Korea Selatan naik dari 9%
menjadi 21 %, dan Tiongkok menjadi sumber impor utama dan tujuan ekspor utama
untuk barang-barang dari Korea Selatan. Pada periode yang sama, total perdagangan
pangsa Amerika Serikat ke Korea Selatan turun dari 20% menjadi 11%, dan saham dari
Jepang dan Uni Eropa juga menurun tajam. Bagian Tiongkok dari perdagangan global
Korea Selatan pada dasarnya lambat selama delapan tahun terakhir. Meskipun
perdagangan jasa antara Korea Selatan dan Tiongkok tetap jauh lebih kecil daripada
perdagangan barang, pertumbuhannya juga telah signifikan selama dua dekade
terakhir. Total dari perdagangan dua arah dibidang jasa meningkat dari $ 4,6 miliar di
tahun 2000 menjadi $ 36,1 miliar pada tahun 2014, tumbuh rata-rata 17% per tahun
(gambar 2.1). Amerika Serikat tetap menjadi mitra utama Korea Selatan, yang
menyumbang 21% dari total perdagangan di bidang jasa. Saham Tiongkok mencapai
16%, naik dari 7% pada tahun 2000. Layanan ekspor Korea Selatan ke Tiongkok

19
tumbuh rata-rata 21% setahun sejak 2000, dibandingkan dengan pertumbuhan layanan
ekspor Korea Selatan ke Amerika Serikat hanya 5% per tahun.

3.1.1.1 Hubungan Ekonomi dan Budaya Tiongkok – Korea Selatan:


Kompetisi di Panggung Global

Pasar global menyediakan tempat untuk mengatur persaingan di antara negara


dan perusahaan. Perbedaan kemampuan dan keunggulan komparatif berkontribusi pada
identitas nasional dengan memberikan karakteristik pengidentifikasian yang
mempengaruhi persepsi internasional tentang suatu negara tertentu dan citra diri negara
tersebut dibandingkan dengan negara yang lain. Pertanyaan dari identitas nasional
dengan begitu dapat dikaitkan dengan pemasaran dan branding. Karena hubungan
ekonomi Tiongkok-Korea Selatan memiliki katalis utama untuk membangun hubungan
politik yang lebih dekat, sebaiknya melihat tren dari ekonomi bilateral untuk
mendapatkan pemahaman tentang potensi konflik identitas nasional yang dapat
meningkat menjadi perselisihan politik. Pada 2010, Tiongkok memiliki 21%
perdagangan luar negeri dari Korea Selatan, proporsi yang lebih besar dari
perdagangan antara Korea Selatan dengan Amerika Serikat dan Jepang. Bergabungnya
Tiongkok kedalam World Trade Organization (WTO) pada 2001 mempercepat
hubungan ekonomi, meninggalkan kesan mendalam di pikiran publik mengenai
masing-masing tempat dalam identitas nasional dan menciptakan kebutuhan untuk
mekanisme politik baru baik itu untuk mengelola masalah bilateral saat kebangkitan
mereka dan memberikan dukungan untuk peluang perdagangan agar lebih meningkat.
Untuk mengevaluasi dampak dari saling ketergantungan ekonomi dan budaya pada
persepsi identitas nasional, dua isu penting itu adalah: (1) dampak pada persepsi publik
satu sama lain; dan (2) dampak pada identitas nasional dari meningkatnya daya saing
Tiongkok di pasar negara-negara dunia ketiga dan sektor tradisional dari kekuatan
ekonomi Korea Selatan. Pertukaran ekonomi dan budaya bisa dilihat sebagai proses
dinamis yang mempengaruhi persepsi identitas.

20
Survey yang dilakukan oleh Korea Trade-Investment Promotion Agency
(KOTRA) menunjukkan bahwa konsumen Tiongkok tertarik pada barang-barang dari
Korea Selatan dengan desain mereka, harga, keandalan, dan kualitas. Pemerintah dan
pebisnis Korea Selatan secara aktif mengambil bagian untuk mempromosikan produk-
produk dan kebudayaan Korea di Shanghai Expo pada Mei-Oktober 2010, KOTRA
melaporkan peningkatan citra publik di Tiongkok tentang perusahaan Korea dengan
menguatkan kesadaran akan brand dalam peralatan rumah tangga, telepon selular,
komputer, dan produk fashion. Popularitas dari produk-produk budaya Korea
berkontribusi pada citra positif Korea selama dekade terakhir melalui “Korean Wave”
(“Hanliu”), sebuah istilah yang diciptakan oleh media Tiongkok pada akhir 1990an di
tengah meningkatnya popularitas drama televisi Korea di Tiongkok. Namun, daya tarik
musik Korea, film, dan hiburan televisi tampaknya berkurang setelah bentrokan publik
atas Koguryo pada 2004. Survey pada 2009 mengindikasikan bahwa 50% dari
responden Tiongkok melihat citra yang bagus pada produk Korea, dan 20% melihat
citra yang buruk, tetapi penemuan bahwa orang Tiongkok yang lebih tua dan
berpendidikan mendominasi kelompok sebelumnya yang juga menunjukkan citra
Korea yang semakin negatif di kalangan generasi muda. Kesuksesan produk-produk
dan pelayanan Korea telah menyebabkan persaingan di perusahaan-perusahaan
Tiongkok, yang menghadirkan tantangan kompetitif di berbagai sektor.
Persepsi negatif tentang Korea Selatan muncul di media Tiongkok, terutama
selama Olimpiade Beijing 2008. Tiongkok tersinggung karena media Korea secara
diam-diam merekam segmen latihan upacara pembukaan yang menyoroti identitas
nasional Tiongkok dan pencapaiannya. Walaupun si penyiar, Seoul Broadcasting
Sytem, meminta maaf atas insiden tersebut, tetapi itu menimbulkan banyaknya
perdebatan kemarahan di acara radio Tiongkok, komentar di surat kabar dan blog
internet. Perselisihan dengan kekerasan selama Olimpiade obor di Seoul antara
mahasiswa Tiongkok dan demonstran Korea yang memprotes pelanggaran hak asasi
manusia di Tiongkok menyebabkan banyaknya curahan di forum internet tentang
sejumlah masalah identitas, termasuk filsafat tradisional, seni dan budaya.

21
Pada beberapa tahun belakangan pandangan Korea Selatan terhadap produk-
produk Tiongkok diwarnai dengan permasalahan mengenai peninjauan kualitas produk
bagi makanan-makanan impor, ancaman yang ditujukan bagi produk-produk Korea
oleh barang-barang asal Tiongkok yang masuk dengan biaya rendah, dan kecurigaan
terhadap maksud dibalik investasi yang dilakukan oleh Perusahaan Shanghai
Automotive International di Perusahaan Ssangyong Motor. Ancaman dari murahnya
produk Tiongkok terberat yang menyerang Korea Selatan pada saat terjadinya
perselisihan mengenai penjualan bawang putih dan kimchi pada tahun 2000 sampai
2005 secara berturut-turut, yang mendorong publik dan juga meninggalkan kesan yang
buruk diantara pejabat-pejabat Korea Selatan mengenai taktik pembalasan
perdagangan milik Tiongkok. Perhatian khusus Korea Selatan tertuju pada keamanan
produk Tiongkok yang meningkat dengan adanya skandal mengenai beberapa produk-
produk makanan yang terkontaminasi oleh zat melamin pada tahun 2008. Presepsi
publik terhadap hal tersebut semakin memburuk hingga pada Oktober 2008 beredar
hasil survey yang menunjukkan bahwa 69% dari responden mengaku lebih khawatir
dengan persoalan terkontaminasinya makanan dengan zat melamin dibandingkan
dengan senjata nuklir milik Korea Utara. Namun, pada saat potensi untuk terjadi
permasaahan semakin meninggi, kedua belah pihak dengan tangkas membuat sebuah
mekanisme baru untuk menangani permasalahan-permasalahan seperti itu baik dalam
level bilateral maupun regional. Seperti contoh: dalam menanggapi produk-produk dan
makanan semenjak tahun 2005.
Meskipun produk-produk kebudayaan Tiongkok belum memiliki dampak yang
besar bagi Korea Selatan, namun tidak dapat disangkal juga bahwa adanya peningkatan
popularitas pembelajaran Bahasa Tiongkok disana. Sebanyak 25% dari pelajar Korea
Selatan menempuh pendidikannya di Tiongkok, dimana Korea Selatan menunjukkan
angka terbesar dari murid-murid asing yang berada di Tiongkok, peningkatannya dapat
dikatakan lebih dari dua kali lipat yang semula berjumlah 29.102 orang menjadi 68.806
pada tahun 2006 dan 2009. Jumlah pelajar Tiongkok yang berada di Korea Selatan juga
meningkat hampir sepuluh kali lipat antara tahun 2004 sampai 2010 menyentuh angka

22
53.461 orang atau dengan presentase 70% dari total siswa asing yang ada di Korea
Selatan. Meskipun kebanyakan orang Korea Selatan tidak menyadari hal ini namun
pada akhirnya muncul sebuah perselisihan pada saat berlangsungnya olimpiade estafet
Obor pada tahun 2008.
Dengan adanya perubahan dalam struktur perdagangan bilateral, kompetisi
antara Tiongkok dan Korea Selatan dalam kunci pasar ekspor telah beralih dari sektor
padat tenaga ke sektor yang lebih tinggi lagi, menghasilkan perselisihan perdagangan
yang baru sejak permasalahan soal Kimchi bermulai pada tahun 2005 dan tantangan
politik yang berpengaruh pada identitas nasional. Federasi dari Industri Korea pada
2010 memperkirakan bahwa Korea Selatan mungkin akan kehilangan keuntungan dari
teknologinya selama lebih dari 4 tahun dalam 8 barang ekspor kunci seperti barang-
barang semikonduktor, otomotif, dan baja dimana secara keseluruhannya
melambangkan 64% dari produk yang di ekspor oleh Korea Selatan pada tahun 2009.
Daya saing Tiongkok dalam pasar global mulai terasa pada tahun 2010, ketika
Tiongkok dapat melampaui Korea Selatan sebagai negara pembuat kapal dan sebagai
pasar terbesar dari Hyundai. Tren global adalah perhatian utama Korea Selatan :
Terlepas dari catatan yang jauh lebih singkat dari proses internasionalisasi, jumlah
investasi modal langsung dari perusahaan Tiongkok mencapai angka 37 Milyar USD
pada akhir 2003 dan melampaui Korea Selatan yang berada di angka 34.5 Milyar USD
di tahun 2005. Juga masuknya 15 perusahaan Tiongkok ke dalam daftar "Fortune
Global 500" melebihi Korea Selatan dengan total 11 perusahaan.
Salah satu masalah yang membatasi citra Korea Selatan adalah perlakuan
khusus dari perusahaan-perusahaan Tiongkok terhadap investor asing. Pengusahan
pabrik milik Korea Selatan telah menghadapi tekanan untuk melakukan pemindahan
penanaman modal ke Tiongkok agar tetap kompetitif di pasar internasional, tetapi
Tiongkok telah menuntut transfer teknologi dan telah menyesuaikan hukum mengenai
investasi untuk memberikan insentif kepada perusahaan yang memberikan produksi
barang yang lebih tinggi terhadap industri Tiongkok. Suatu waktu di Tiongkok, operasi
tersebut mungkin dijadikan sebuah subjek untuk melakukan spionase atau pencurian

23
teknologi inti bersamaan dengan kompetisi lokal dari perusahaan-perusahaan yang
didirikan untuk bersaing untuk saling berhadapan dengan pesaing-pesaing asing.
Meskipun hambatan-hambatan untuk melakukan kegiatan bisnis di Tiongkok tidaklah
unik dan menyulitkan, mereka mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada
kesenjangan identitas nasional karena memberikan sedikit kesan Korea Selatan yang
mendalam. Konflik yang berkaitan dengan identitasnya mungkin akan lebih menonjol
jika Tiongkok menjadi mitra yang lebih maju secara ekonomi, mengikis surplus
perdagangan yang ada di Korea Selatan pada saat ini. Di bawah lingkaran ini, kemajuan
politik dan ekonomi nampaknya bergantung pada Tiongkok yang membangkitkan rasa
ketergantungan ekonomi Korea Selatan terhadap Tiongkok dan membatasi pilihan
Korea Selatan serta daya saingnya dalam pasar global.
Secara keseluruhan, peningkatan intensitas interaksi dari Tiongkok dan Korea
Selatan digambarkan oleh perdagangan antar negara dan tren kebudayaan telah
memberikan dampak positif terhadap hubungan mereka, dengan adanya dampak positif
pada pendekatan jarak diantara keduanya. Namun adanya penolakan terhadap "Korean
Wave" dalam beberapa waktu belakangan dan hilangnya daya tarik dari budaya Korea
Selatan di Tiongkok menimbulkan tantangan yang harus dilalui dengan jangka
panjang. Persoalan tersebut nampaknya muncul untuk memperlihatkan ketidaksukaan
yang semakin besar diantara orang-orang Tiongkok akibat budaya Korea Selatan yang
bersamaan dengan brand-brand milik Korea Selatan. Kegiatan perdagangan secara
berkala dan keamanan produk-produk buatan Tiongkok dalam dekade terakhir ini juga
berkontribusi pada reaksi nasionalis dari kedua belah pihak dengan memadukan isu-
isu lain tentang identitas nasional, termasuk pertentangan sejarah dan sengketa
wilayah. Olimpiade Konfrontasi pada 2008 memicu pergolakan yang cukup singkat.
Pada isu-isu tersebut paling kuat diilustrasikan begaimana perselisihan mengenai
identitas nasional pada tingkat dasar dapat meningkat menjadi ketegangan yang lebih
besar yang memerlukan penanganan khusus dari pemerintah (Scott Snyder and See-
Won Byun dalam buku National Identites and Bilateral Relations, Widening Gaps in
East Asian and Chinese Demonization of the United States Chapter 4 hal : 116-120).

24
3.1.1.2 Posisi Korea Selatan Diantara Tiongkok dan Amerika Serikat

Opini para pejabat dan petinggi Korea Selatan terhadap Tiongkok menunjukan
kecenderungan yang berubah-ubah. Pengaruh Positif Tiongkok menyentuh titik
tertinggi di Korea Selatan pada pertengahan 2004 lalu kemudian mereda. Perbedaan
yang signifikan muncul saat meningkatnya sikap masyarakat Korea Selatan dan sikap
waspada para elit terhadap kebangkitan Tiongkok dan menguatkan kepentingan
nasional Korea Selatan untuk mempertahankan hubungan aliansi yang erat dengan
Amerika Serikat. Penguatan tersebut terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:

a. Reaksi negative Korea Selatan terhadap keberlanjutan sengketa dengan


Tiongkok mengenai pengakuan Korea Selatan terhadap kerajaan Goguryeo
berdasarkan sejarah.
b. Sengketa wilayah antara Korea Selatan dengan Tiongkok terhadap wilayah
yang disebut wilayah Gando muncul, saat perbedaan semakin memburuk
terhadap permasalahan perdagangan dan pengungsi.
c. Meningkatnya pengaruh ekonomi Tiongkok terhadap ekonomi Korea Utara.
Peran ekonomi Tiongkok bahkan melampaui peran dari Korea Selatan dan
muncul terlalu banyak di Korea Selatan untuk berkompromi dan memperumit
upaya Korea Selatan untuk menggunakan kebijakan mengenai perjanjian yang
berkala untuk memfasilitasi reunifikasi Korea dibawah kepemimpinan Korea
Selatan. Keterkaitan ekonomi Tiongkok dan dukungan untuk Korea Utara
terlihat seperti dirancang untuk mengekalkan Korea Utara dan menjadi divisi
yang terkuat di semenanjung Korea Utara.

Pejabat pemerintah Korea Selatan tetap fokus dalam melihat posisi yang
menguntungkan bagi pemerintahan dan negaranya dalam situasi Internasional yang
tidak tetap disekitar semenanjung Korea. Ketika Seoul mendekatkan diri dengan
Tiongkok dengan menggunakan berbagai isu seperti ekonomi, politik dan sebagainya
dan beberapa ilusi mengenai tujuan Tiongkok. Pemerintah Korea Selatan melihat

25
bahwa Tiongkok menggunakan kedekatannya dengan Korea Selatan sebagai bagian
dari persaingan yang dilakukan dengan Amerika Serikat serta Jepang, untuk
memperkuat pengaruh di semenanjung Korea, Timur Laut Asia, dan untuk
menghalangi Amerika Serikat serta Jepang untuk menjalin kerjasama dengan Krea
Selatan untuk menekan Tiongkok.

Sebagai hasil, Korea Selatan mencoba untuk tetap mengabaikan kondisi dimana
mungkin Korea Selatan harus memilih antara Washington dan Tokyo di satu sisi dan
Beijing di sisi lain saat tensi diantara Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok mungkin
meningkat. Mencerminkan kecemasan dari Pemerintah Korea Selatan yang berlanjut,
pemerintah terlihat berupaya mempertahankan keseimbangan yang tepat guna
mempertahankan aliansinya dengan Amerika Serikat dan disaat yang bersamaan terus
meningkatkan hubungan dengan Tiongkok, para pejabat ini secara terus-menerus
menegaskan bahwa aliansi diantara Korea Selatan dan Amerika Serikat harus
mengizinkan hubungan positif antara Amerika Serikat, Korea Selatan dan Tiongkok
dan harus mengabaikan ketegangannya dengan Tiongkok. Dibalik latar belakang
tersebut, para Pejabat Korea Selatan tetap menolak untuk mengikuti Amerika Serikat
dalam menuntut kebijakan yang menentang Tiongkok. Korea Selatan juga secara
menerus merasa keberatan untuk mengizinkan pasukan militer Amerika Serikat di
Korea Selatan untuk menyebar ke beberapa bagian, karena pasukan tersebut mungkin
dapat menyebar di wilayah Taiwan didalam peristiwa konfrontasi Militer Amerika
Serikat – Tiongkok di Selat Taiwan. (Sutter, 2012;196)

3.2 Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) Serta Dampak Terhadap
Diplomasi Korean Wave di Tiongkok
3. 2. 1 Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan
Amerika Serikat telah memberikan usul mengenai penempatan THAAD di
Korea Selatan sudah dimulai sejak 2014. Namun hal tersebut tidak serta merta

26
membuat Korea Selatan setuju untuk menempatkan sistem THAAD di negaranya.
Pertimbangannya adalah mengenai mahalnya biaya operasional THAAD. Selain itu,
pertimbangan lainnya adalah mengenai efektivitas THAAD dalam melawan ancaman
rudal yang masih diragukan. Serta ketidakinginan Korea Selatan untuk memusuhi
Tiongkok karena memiliki hubungan ekonomi yang dekat.
Dua tahun kemudian, pada Februari 2016 Korea Selatan dan Amerika sepakat
untuk memulai diskusi mengenai penempatan THAAD di Korea Selatan. Munculnya
diskusi ini didorong oleh sikap Korea Utara yang pada Januari 2016 melakukan uji
coba nuklirnya yang keempat. Hal ini dilakukan dengan tujuan menjamin keamanan
bagi Korea Selatan dari rudal balistik Korea Utara. Tepat di bulan Juli 2016, Korea
Selatan dan Amerika Serikat kemudian mengumumkan bahwa secara resmi telah
sepakat mengenai penempatan THAAD di Korea Selatan. (THAAD in the Korean
Peninsula” Institute for Security & Development Policy November 2016 hal 1)

1. Terminal High Altitude Area Defense dan Pentingnya Bagi Keamanan


Korea Selatan

Dalam pidatonya Ahn Chong Ghee, Wakil Menteri Hubungan Luar


Negeri Korea Selatan menyebutkan bahwa adanya Terminal High Altitude Area
Defense (THAAD) adalah salah satu hak Korea Selatan guna mempertahankan
keamanan negaranya dari ancaman rudal Korea Utara. Terlebih jumlah rudal
yang dimiliki Korea Utara sekitar 1000 rudal balistik. Jadi, THAAD adalah
murni untuk mempertahankan diri. Oleh karena itu THAAD murni sebuah
sistem pertahanan.
Dengan alasan sebagai perlindungan bagi negara maka sistem THAAD
yang dipasang di Korea Selatan hanya akan difokuskan ke Korea Utara. Oleh
karena itu THAAD hanya benar-benar fokus kepada perlindungan Korea
Selatan terhadap rudal balistik jarak dekat maupun menengah yang diluncurkan
Korea Utara. THAAD berlokasi di wilayah Seongju. Lahan ini seluas 1.480.000

27
meter merupakan sebuah lapangan golf milik perusahaan Lotte. Kemudian
melakukan pertukaran dengan pemerintah dengan kesepakatan pemerintah
memberikan ganti lahan yang Namyangju dengan luas 67 ribu meter persegi ke
pihak Lotte Alasan Penempatan THAAD di wilayah Seongju dikarenakan dapat
melindungi dua per tiga dari wilayah Korea Selatan.

2. Perlindungan Amerika untuk Korea Selatan

Penerapan sistem THAAD adalah salah satu bentuk komitmen dari


Amerika Serikan untuk melindungi Korea Selatan sebagai negara aliansinya.
Keputusan untuk menempatkan sistem THAAD muncul dari rekomendasi
Jendral Vicent K. Brooks selaku komandan pasukan gabungan Korea Selatan-
Amerika Serikat sebagai tanggapan dari Korea Utara untuk pengembangan
teknologi rudal balistiknya.

3.2.2 Respon Tiongkok Terhadap Penempatan Terminal High Altitude


Area Defense (THAAD) di Korea Selatan

Pemimpin Tiongkok Xi Jinping yang bertemu dengan Presiden Park Geun Hye
pada acara KTT G-20 di Tiongkok telah menyampaikan penolakannya terhadap
penempatan THAAD di Korea Selatan. Menurut Xi Jinping, penempatan THAAD
dapat memberikan dampak buruk pada stabilitas keamanan. Tidak stabilnya kawasan
dan dapat membawa pengaruh buruk bagi negara Tiongkok. Ada beberapa poin
kekhawatiran Tiongkok mengenai THAAD diantaranya adalah: Radar X band THAAD
yang jangkauannya dapat melemahkan penangkal nuklir Tiongkok. Hal ini
dikarenakan rudal X band THAAD yang dapat mendeteksi sebagian besar tes rudal
milik Tiongkok sehingga Amerika dapat mendeteksi setiap rudal yang di luncurkan
Tiongkok, baik rudal yang bersifat umpan atau berhulu ledak. Poin kekhawatiran

28
Tiongkok selanjutnya adalah THAAD yang kurang efektif menangkal rudal Korea
Utara sehingga THAAD akan lebih banyak fokus ke wilayah Tiongkok.
THAAD diancang untuk menghancurkan rudal dengan tingkat ketinggian yang
tinggi sedangkan rudal Korea Utara rudal jarak pendek. Kekhawatiran yang terakhir
adalah menimbulkan ketidakstabilan di Semenanjung Korea. Adanya THAAD di
Semenanjung Korea Selatan akan berakibat kepada perlombaan senjata di kawasan,
menghambat proses pelucutan nuklir serta meningkatkan ketegangan di kawasan.
Sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Korea Selatan yang menempatkan THAAD
tersebut, Tiongkok kemudian melarang segala bentuk Korean Wave secara bertahap.
Pemerintah Tiongkok juga kemudian mengharuskan stasiun televisi untuk mengganti
atau menyunting iklan yang dibintangi oleh orang Korea Selatan ataupun acara yang
menampilkan artis Korea Selatan sebagai bintang tamu. Bukan hanya dibintangi oleh
orang Korea Selatan, larangan ini juga berlaku bagi acara yang diproduksi, didanai dan
segala bentuk yang berhubungan dengan perusahaan Korea Selatan.

1. Larangan Terhadap Korean Music (Kpop)


Dimulai dengan pembatalan konser boyband Korea Selatan EXO pada
Agustus 2016.90 Pada Februari 2017, Tiongkok secara resmi memblokir situs
yang digunakan untuk mengakses musik Korea. Sanksi juga diberlakukan bagi
perusahan yang melanggar dan tetap menggelar konser di Tiongkok berupa
denda sebesar 17 juta won atau 195 juta rupiah oleh pemerintah Tiongkok.

2. Larangan Terhadap Drama Korea, Variety Show dan Iklan


Tiongkok juga menerapkan larangan terhadap Drama Korea dan semua
acara televisi yang berhubungan dengan Korea Selatan. Seperti memutus dan
memblokir akses situs yang menayangkan drama atau Variety Show Korea
Selatan. Cara lainnya adalah dengan perusahaan televisi kabel Tiongkok
melakukan blokir terhadap stasiun TV Korea. Beberapa situs yang

29
menyediakan konten korea juga telah berhenti mengunggah vidio drama
maupun film Korea Selatan.

3. Ditutupnya Lotte
Setelah perusahaan Lotte menyetujui menukar lahan golf miliknya
kepada pemerintah Korea Selatan pada bulan November 2016. Pemerintah
Tiongkok kemudian melakukan tindakan penyelidikan terhadap perusahaan
Lotte yang berada di wilayah Shanghai, Beijing, Shenyang dan Chengdu.
Hingga pada bulan Maret kerjasama yang dilakukan antara Lotte dan Hershey
dalam hal pembangunan pabrik coklat harus diberhentikan. Pemerintah
Tiongkok juga melakukan penutupan supermarket milik Lotte. Jumlah super
market yang ditutup pemerintah Tiongkok berjumlah 85 gerai. Total
keseluruhan supermarket Lotte yang ada di Tiongkok berjumlah 115.97

4. Larangan Impor Kosmetik dan Barang


Penempatan THAAD juga berdampak kepada ekspor kosmetik oleh
Korea Selatan. Beberapa produk kosmetik dari Korea Selatan tidak bisa masuk
ke pasar Tiongkok. Tercatat 19 merek kosmetik dari Korea selatan yang
mendapatkan penolakan izin impor oleh Tiongkok. Beberapa produk tersebut
meliputi lotion, masker, produk pembersih tubuh.98 Bukan hanya kosmetik,
ekspor makanan dari Korea Selatan juga mengalami penurunan karena adanya
aksi boikot ini penurunan itu sebesar 5,6 %. Ekspor lainnya yang mendapat
larangan adalah jenis pembersih udara dan kursi dengan teknologi tinggi
dengan alasan masalah keamanan. Mobil keluaran Korea Selatan bermerek
KIA dan Hyundai juga mengalami penurunan penjualan sebesar 52 % pada
tahun 2017 akibat boikot produk Korea Selatan ini.

30
5. Melarang Penjualan Paket Liburan ke Korea Selatan
Pada 15 Maret 2017, pemerintah Tiongkok mengumumkan larangan
mengenai penjualan paket liburan ke Korea Selatan.100 Pada awalnya,
larangan ini ditujukan hanya untuk agen wisata yang berlokasi di Beijing, tetapi
larangan itu kemudian berlaku bagi seluruh agen wisata di Tiongkok. Kebijakan
ini di umumkan oleh Administrasi Pariwisata Nasional Tiongkok, pasca
melakukan pertemuan resmi dengan seluruh agen tour di Tiongkok. Menurut
data dari Korea Tourism Organization, wisatawan dari Tiongkok mengalami
penurunan yang cukup besar. Data di bulan juni 2017 wisatawan asal Tiongkok
yang mengunjungi Korea Selatan sejumlah 254.930 jumlah ini cukup jauh jika
di bandingkan dengan data jumlah wisatawan Tiongkok di bulan juni 2016 yang
berjumlah 758.534 atau penurunan sejumlah 66%.

3.2.3 Respon Korea Selatan Terhadap Larangan Korean Wave di


Tiongkok

Dengan berlakunya larangan Korean Wave di Tiongkok sangat membatasi


ruang gerak Korea Selatan dalam menjangkau pasar terbesaranya. Hal ini berdampak
buruk bagi Korea Selatan, dimulai dari menurunnya ekspor kosmetik serta penurunan
jumlah wisatawan dari Tiongkok yang pada tahun 2017 berjumlah 4.169.353 Jiwa.
Saham manajemen hiburan Korea juga mengalami penurunan pada 21 November 2016.
SM Entertaiment sebanyak 8.2%, YG entertainment 6.9% dan JYP entertaiment
sebanyak 2.8%.
Respon muncul dari masyarakat Korea Selatan. Larangan Korean Wave yang
dikeluarkan Tiongkok membuat masyarakat membenci negara Tiongkok. Hasil ini
didapatkan dari survei yang dilakukan oleh Institut Kebijakan Asan. Survei yang
dilakukan dengan 10.000 masyarakat Korea Selatan dan dilakukan pada 6-8 Maret
2017. Survei tersebut menghasilkan negara Tiongkok menjadi negara yang paling

31
dibenci karena melakukan larangan Korean Wave yang dianggap terlalu berlebihan
oleh masyarakat Korea Selatan.
Satu bulan kemudian, Pemerintah Korea Selatan kemudian memberikan
responnya melalui Ahn Chong Ghee sebagai wakil menteri hubungan luar negeri atau
Vice Minister of Foreign Affairs dalam pidatonya pada acara 2017 World Journalists
Conference pada 03 april 2017. Mengatakan bahwa, blokir terhadap Korean Wave oleh
Tiongkok adalah sebuah tindakan yang kurang tepat. Hal tersebut dianggap terlalu
berlebihan sebagai respon dari penempatan THAAD. Tujuan dari penempatan THAAD
adalah sebuah alat untuk melindungi Korea Selatan dari rudal milik Korea Utara.
THAAD juga tidak akan diarahkan kepada negara ketiga karena memang tidak ada
hubungannya.
Kekawatiran yang ditimbulkan dari Tiongkok sehingga melakukan blokir
terhadap Korean Wave juga dianggap sebuah hal yang akan berdampak kurang baik
bagi Tiongkok sendiri. Korea Selatan adalah salah stau mitra dagang terbesar Tiongkok
juga salah satu tempat investasi utama Tiongkok. Maka menjatuhkan sanksi dengan
memblokir Korean Wave dianggap sebuah hal yang tidak masuk akal. Selain itu,
Tiongkok adalah negara yang rajin memkampanyekan diri sebagai negara yang sangat
mendukung perdagangan bebas. Maka apa yang dilakukan Tiongkok terhadap Korea
Selatan dianggap sebuah diskriminasi dan akan membuat negara maupun perusahaan
lain berpikir dua kali untuk menamkan modalnya kepada Tiongkok.

32
3. 3 Upaya Diplomasi Korean Wave di Tengah Sengketa THAAD Tahun 2016-
2017
3.3.1 Korean Wave Era Kepemimpinan Moon Jae In
Pasca terpilihnya Moon Jae In sebagai presiden Korea Selatan menggantikan
park geun Hye, Moon Jae In menjadikan kebijakan Support but Not Intervense yang
berarti Mendukung tetapi tidak Intervensi sebagai pondasi utama dalam bidang budaya,
meminimalisir intervensi pemerintah dalam bidang tersebut. Kebijakan ini muncul
sebagai respon yang dilakukan pemerintah era kepemimpinan Park Geun Hye yang
telah melakukan intervensi di dunia hiburan di Korea Selatan dengan membuat daftar
hitam artis yang mengkritik Park Geun Hye dan tidak mendukung pemerintahannya.

Moon Jae In juga menuliskan beberapa kebijakan dalam hal kebudayaan dalam
100 Policy Tasks sebagai rencana lima tahun kepemimpinannya. Dalam Korean Wave
ini, terdapat pada tugas nomor 68 yaitu menjamin hak cipta para seniman guna
peningkatan kualitas mereka dan penguatan kesejahteraan. Selanjutnya tugas 69 yaitu
menciptakan lingkungan industri budaya yang adil dan menyebarkan Korean Wave
keseluruh dunia. (100 Policy task five years plan of the administration” Korean Culture
and Information Service)

Pada tugas nomor 69 pada 100 Policy Tasks tentang menyebarkan Korean
Wave ke seluruh dunia ternyata mendapatkan hambatan di Negara Tiongkok.
Hambatan ini terjadi sebagai respon kerjasama Korea Selatan dan Amerika mengenai
terminal THAAD dengan cara melarang penetrasi Korean Wave. Apa yang dilakukan
Tiongkok ini adalah sebuah bentuk tekanan politis pada bidang ekonomi untuk Korea
Selatan. Mengingat Tiongkok adalah pasaryang cukup besar bagi Korea Selatan dalam
penyebaran Korean Wave.

Sebenarnya larangan Korean Wave di Tiongkok sudah terjadi pada era Park
Geun Hye, lalu pada kepemimpinan Presiden Moon Jae In pemerintah Korea Selatan
mulai mengupayakan agar larangan tersebut dapat dihapuskan. Dalam hal ini baik

33
pihak swasta maupun pemerintah resmi Korea Selatan saling bersinergi untuk
menghapuskan larangan Korean Wave di Tiongkok. Akan tetapi Korea Selatan lebih
mengandalkan pihak swasta dalam pelaksanaan diplomasi dibandingkan pemerintah
resmi Korea Selatan itu sendiri. Adapun cara yang dilakukan pihak swasta adalah
sebagai berikut:

1. Merilis Album Versi Tiongkok


Demi menembus pasar Tiongkok, penyanyi asal Korea Selatan merilis
album dengan dua versi, yakni versi Tiongkok dan versi Korea. Seperti grup
penyanyi EXO yang pada 18 Juli 2017 merilis dua versi video klip untuk lagu
terbarunya. Hal ini dapat dilihat di situs Youtube resmi milik manajemen
EXO, SM Entertaiment yang mengunggah video tersebut yang berjudul Ko
Ko Bop dalam versi Tiongkok dan versi Korea.

2. Penyanyi Berkewarganegaraan Tiongkok lebih aktif di Tiongkok


Ditengah sengketa yang terjadi dan larangan Korean Wave di Tiongkok,
beberapa pelaku dunia hiburan yang berkewarga negaraan Tiongkok yang
juga personil anggota grop penyanyi Korea Selatan menjadi lebih banyak aktif
di negaranya. Sebagai contoh, Victoria yang merupakan anggota dari grup
penyanyi Korea FX dan Lay anggota dari grup EXO, yang mana keduanya
lebih aktif di Tiongkok dengan merilis album solo pada bulan Oktober 2017
dan memilih absen pada album terbaru grupnya.

Dalam diplomasi publik, media cetak maupun lunak dapat dijadikan sebagai
saran diplomasi. Begitupun dengan apa yang dilakukan oleh perusahaan hiburan Korea
Selatan. Dengan dibuatnya lagu milik penyanyi Korea Selatan dengan versi Tiongkok,
unsur budaya Korea Selatan seperti musiknya tetap akan tersalurkan dengan bahasa
Tiongkok. Selain itu, para penyanyi yang berkewarganegaraan Tiongkok kini memang
terlihat lebih aktif. Menurut penulis, hal tersebut adalah cara dari perusahaan swasta

34
yang berusaha untuk tetap memenuhi pasar Tiongkok melalui penyanyi yang memang
berkewarganegaraan Tiongkok. Penulis melihat bahwa dengan cara seperti itu, secara
tidak langsung diplomasi melalui Korean Wave tetap berjalan dengan konten-konten
Korean Wave yang dibawa oleh penyanyi tersebut. Meskipun penyanyi
berkewarganegaraan Tiongkok, masyarakat tetap akan menganggap bahwa Victoria
adalah anggota dari grup penyanyi FX yang berasal dari Korea dan Lay sebagai
anggota dari Exo.

Apa yang dilakukan oleh perusahaan hiburan Korea Selatan tersebut


memperlihatkan bahwa antusias masyarakat Tiongkok kepada budaya Korea masih
cukup tinggi dan perusahaan swata Korea Selatan sangat memanfaatkan hal tersebut.
Apa yang dilakukan pihak swasta Korea Selatan menjadi salah satu bukti untuk
pemerintah Tiongkok bahwa masyarakat Tiongkok masih menerima budaya Korea
sehingga diharapkan dapat mendorong pemerintah Tiongkok untuk menyelesaikan
pelarangan Korean Wave di Tiongkok. Dengan cara ini pun dapat kembali membuat
citra Korea Selatan membaik di mata masyarakat Tiongkok, karena meskipun Korean
Wave dilarang di Tiongkok, pihak swasta Korea Selatan masih tetap memperhatikan
pasar di Tiongkok, bahkan banyak fans dari Tiongkok yang kemudian memilih untuk
pergi ke negara lain untuk menonton konser Kpop. Hal ini menggambarkan antusias
masyarakat Tiongkok yang masih tinggi terhadap Korean Wave.

Dalam konteks perusahaan swasta di Korea Selatan, pemerintah ikut campur


dalam menangani dunia entertaiment, Kementerian Sains, TIK, dan Perencanaan Masa
Depan yang berdiri pada tahun 2013 mendorong agar industri swasta agar dapat
bekerjasama dengan pemerintah dan yang paling utama adalah pemerintah
menginginkan agar perusahaan besar kemudian dapat membantu bisnis dan menengah
untuk sukses. (Euny Hong, 2016;265) Dalam Diplomasi Publik disebutkan bahwa pada
pelaksanaan diplomasi dapat dilakukan oleh aktor non negara. Dalam hal ini adalah
perusahaan multinasionalpenulis menggunakan perusahaan SM Entertaiment sebagai
contoh karena perusahaan tersebut termasuk ke dalam sebuah perusahaan hiburan

35
Korea Selatan yang sudah memiliki beberapa anak perusahaan diluar Korea, seperti di
Jepang dan Tiongkok. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan diplomasi Korean Wave ini
perusahaan swasta adalah aktor yang secara tidak langsung juga telah diatur oleh
pemerintah Korea Selatan.

3.3.2 Normalisasi Hubungan antara Tiongkok dan Korea Selatan

Pada 31 Oktober 2017, menteri luar negeri Tiongkok dan Korea Selatan
menyatakan bahwa kedua negara sepakat untuk melakukan normalisasi hubungan yang
sempat renggang karena THAAD. Pasca munculnya kabar mengenai normalisasi
hubungan Tiongkok dan Korea Selatan, secara perlahan larangan Korean Wave di
Tiongkok mulai terbuka.Terlihat grup penyanyi asal Korea Selatan, Mamamoo yang
melakukan rekaman untuk acara musik di dalah satu stasiun TV Tiongkok.

Perundingan kemudian dilanjutkan oleh Presiden Korea Selatan, Moon Jae In


dan Pemimpin Tiongkok Xi Jinping. Kedua pemimpin Negara ini melakukan
pertemuan disela-sela forum KTT APEC di Da Nang, Vietnam pada 11 November
2017. Dalam pertemuan ini Korea Selatan dan Tiongkok sepakat untuk memulihkan
kerjasama. Presiden Moon Jae In juga mengutarakan dampak dari pelarangan Korean
Wave di Tiongkok yang mengakibatkan Lotte yang secara terpaksa harus menjual toko
miliknya, penurunan wisatawan dan masih banyak dampak yang lainnya. Maka dari
hal tersebut, Korea Selatan meminta agar Tiongkok dapat membantu dalam hal
kerjasama ekonomi, budaya, dan pariwisata. (The Diplomat, 2017)

Pasca pertemuan presiden Korea Selatan dan Tiongkok, kedua negara semakin
aktif berkomunikasi guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Pertemuan
kembali di gelar oleh kedua negara pada 22 November 2017 dengan perwakilan para
menteri luar negeri dari tiap negara. Pada pertemuan ini, beberapa agenda dibahas
seperti mengatur kunjungan Presiden Moon Jae In ke Tiongkok pada pertengahan
Desember. Bertujuan untuk menjadi momentum kedua negara memperbaiki hubungan

36
bilateral. Dalam permasalahan nuklir Korea Utara, Korea Selatan dan Tiongkok
sepakat untuk melakukan cara damai dalam penyelesaiannya melalui dialog. Tiongkok
kemudian menegaskan komitmen yang akan menerapkan Resolusi Dewan Kemanan
PBB guna menciptakan kawasan untuk berdialog.

Akhirnya sesuai perencanaan yang telah disepakati kedua negara, Moon Jae In
kembali mengunjungi Tiongkok pada 13-16 Desember 2017. Kunjungannya ke
Tiongkok kali ini bersama 260 delegasi yang terdiri dari beberapa perusahaan dan
organisasi dari Korea Selatan. Perusahaan hiburan SM Entertaiment dan Wemade
Entertaiment juga masuk ke dalam daftar delegasi. Keikutsertaan dua agensi hiburan
Korea Selatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kebangkitan Korean
Wave di Tiongkok. Seperti perusahaan SM Entertaiment yang melakukan audisi global
di Tiongkok untuk bergabung dengan perusahaan yang kemudian dijadikan penyanyi
maupun aktif di dunia peran. Hal ini kemudian dapat menarik minat masyarakat
Tiongkok untuk lebih mengetahui Korean wave. (Korea News, 2017)

Selanjutnya Pada 14 Desember 2017, presiden Korea Selatan, Moon Jae In,
menghadiri acara Korea-Tiongkok Economic and Trade Partnership di Tiongkok pada
tanggal 14 Desember 2017. Kehadiran Moon Jae In sekaligus membuka secara resmi
acara Korea-Tiongkok Economic and Partnership 2017. Acara diselenggarakan dengan
tujuan untuk memberi kesempatan bagi para pengusaha kecil dan menengah dari Korea
Selatan dan pembeli dari Tiongkok untuk bertemu satu sama lain guna membangun
kemitraan.

Selain ditemani oleh delegasi para pengusaha, kunjungan Moon Jae In ke


Tiongkok juga di temani EXO CBX dan Song Hye Kyo. Kunjungan yang dilakukan
Moon Jae in ke Tiongkok adalah kunjungan pertamanya setelah resmi menjadi presiden
Korea Selatan pada Mei 2017. Kehadiran aktris Song Hye Kyo yang cukup terkenal di
Tiongkok karena kesuksesan drama Descendent Of the Sun dan grup penyanyi EXO
CBX pada acara ini memperlihatkan niat baik Moon Jae In untuk kembali menjalin

37
hubungan ekonomi bilateral yang baik dengan Tiongkok yang sempat terputus karena
kesepakatan Korea Selatan dan Amerika mengenai THAAD.

Sasaran dari diplomasi kebudayaan adalah pendapat umum dari suatu


masyarakat tertentu dalam hal ini adalah Tiongkok, dengan harapan dapat
mempengaruhi para pengambil keputusan. Song Hye Kyo dan EXO CBX berperan
sebagai pihak yang bertugas untuk meyakinkan pihak Tiongkok tentang keseriusan
Korea Selatan memperbaiki hubungan bilateral yang telah renggang. Dengan bentuk
konferensi yang mana aktris dan grup penyanyi Korea Selatan hadir pada pembukaan
forum resmi pemerintah yang bertujuan untuk menjalin persahabatan yang sempat
merenggang dengan sarana kesenian dan perdagangan, melihat kehadiran Song Hye
Kyo dan EXO CBX untuk meresmikan kerjasama ekonomi Korea Selatan dan
Tiongkok. Dalam upaya mendapatkan opini publik, media ikut berperan dalam hal ini,
dengan kehadiran Song Hye Kyo dan EXO CBX media kemudian menerbitkan berita
mengenai keikutsertaan mereka dalam acara kenegaraan yang kemudian akan dilihat
oleh masyarakat Tiongkok. Sehingga menurut penulis hal tersebut kemudian akan
membuat masyarakat Tiongkok lebih mengetahui usaha Korea Selatan mengenai
keseriusannya dalam upaya membatalkan larangan Korean Wave di Tiongkok. Hal ini
dapat menjadi nilai lebih bagi pemerintah Korea Selatan dalam memperlihatkan
kesungguhan untuk menyelesaikan keteganan yang terjadi antara kedua Negara.

Setelah melalui beberapa pertemuan, kedua negara menemukan titik terang.


Tiongkok memutuskan untuk mencabut larangannya terkait penyebaran Korean Wave
dan kembali membuka pasarnya untuk Korea Selatan. Kedua negara tersebut juga
sepakat untuk melakukan kerjasama pada Olimpiade Musim Dingin PyeongChang dan
Paraolimpiade yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2018 dan menjadi
simbol Olimpiade Perdamaian Korea Selatan dan Tiongkok.

38
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setiap negara pasti memiliki produk kebudayaan yang beraneka ragam. Tidak
banyak negara yang menggunakan kebudayaan sebagai alat diplomasi oleh negaranya.
Tidak banyak negara juga yang menjadikan kebudayaan sebagai salah satu hal
terpenting dalam kenegaraan. Korea Selatan adalah negara yang menjadikan
kebudayaan sebagai alat yang penting bagi negara guna menopang kesuksesan
beberapa sektor perekonomian Korea Selatan. Begitupun di era kepemimpinana Moon
Jae In, setelah dipilih oleh masyarakat Korea Selatan untuk menggantikan Park Geun
Hye sebagai presiden. Moon Jae In merasa bahwa Korean Wave, terlebih dunia
entertaiment sangat penting bagi negara. Hal itu karena Korean Wave memiliki
pengaruh kepada perekonomian Korea Selatan. Adanya larangan Korean Wave di
Tiongkok, dikarenakan penempatan Terminal High Altitude Are Defense memberikan
dampak bagi Korea Selatan. Tiongkok merupakan pasar yang besar bagi Korea Selatan
dalam menyebarkan Korean Wave nya. Secara otomatis Tiongkok menyumbangkan
pemasukan bagi kas negara Korea Selatan. Cara penyebaran Korean Wave di pasar
Tiongkok di tengah sengketa Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) cukup
memberikan dampak positif. Meskipun, pada pelaksana tersebut adalah tidak hanya
pemerintah yang berperan, tetapi pihak swata juga ikut mengatasi permasalahan
tersebut. Kedua negara saling membutuhkan satu sama lain, Korea Selatan
membutuhkan Tiongkok sebagai mitra perdagangan yang besar begitupun Tiongkok
yang membutuhkan produk Korea Selatan guna pemenuhan kebutuhan masyarakatnya
selain itu, Tiongkok juga membutuhkan Korea Selatan sebagai tempat berinvestasi para
pengusahanya. Putusan mengenai pemasangan Terminal High Altitude Area Defense

39
di Korea Selatan banyak menimbulkan respon kurang positif dari negara Tiongkok
yang merasa sistem ini cukup meresahkan Tiongkok.

40
DAFTAR PUSTAKA

Buku

AW, Suranto. 2010. Globalisasi, Komunikasi & Informasi. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Ellen, Kim. 2014. Common Misconceptions about the Tiongkok-South Korea


Relationship. Georgetown Journal of Asian Affairs.

Hong, Euny. 2016. Korean Cool. Yogyakarta: Bentang.

Jackson, Robert dan Sorensen, George. 2009. Pengantar Studi Hubungan


Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Rozman, Gilbert. 2013. National Identites and Bilateral Relations, Widening


Gaps in East Asian and Chinese Demonization of the United States. Washington D.C.

Rudd, Kevin. 2015. U.S-Tiongkok 2: The Future of U.S-Tiongkok


Relations under Xi Jinping. Washington D.C: The Brookings Institution.
Rudy, Teuku May. 1992. Teori Etika dan Kebijakan HI. Bandung: Angkasa.

Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Sutter, Robert. 2012. Chinese Foreign Relations: Power and the Policy since

the Cold War. Inggris: Rowman & Littlefield Publisher, Inc.

41
Jurnal

Cheong, Young-rok. 2005. Impact of Tiongkok on South Korea’s Economy, dalam


http://keia.org/sites/default/files/publications/09.Cheong.pdf Hal. 63, diakses pada
tanggal 28 Maret 2019.
Schott, Jeffrey J., Jung, Eujin, dan Cimino-Isaacs, Cathleen. 2015. An Assesment
of the Korea-Tiongkok Free Trade Agreement.

Swaine, Michael D. Chinese Views on South Korea’s Deployment of THAAD,


dalam http://www.hoover.org/sites/default/files/research/docs/clm52ms.pdf diakses
pada tanggal 20 Maret 2019.

Tae Young dan Dal, Yong Jin. Cultural Policy in the Hallyu: An Analysis of
Cultural Diplomacy Embedded in Presidential Speeches. International Journal of
Communication Simon Fraser University, Canada. Diakses pada Oktober 2016.

Zou, Shengqi. 2010. Sino-South Korean Trade Relations From Boom to Recession,
dalam http://www.eai.nus.edu.sg/publications/files/BB508.pdf diakses pada tanggal 28
Maret 2019.

Website

100 Policy Task Five Years Plan of the Administration Korean Culture and
Information Service.

About the THAAD System. 2014. http://www.fi-


aeroweb.com/Defense/THAAD.html. (diakses: 27 Maret 2019).

Clint Work “South Korea and Tiongkok Make Amends. What Now?” The
Diplomat, 18 November 2017, tersedia di https://thediplomat.com/2017/11/south-
korea-and-Tiongkok-makeamends-what-now/;

42
Korea News, Sohn Jiae dan Kim Yong Shin. “Presiden Moon Visit To
Tiongkok” 06 Desember 2017 [Berita On-line]
http://english1.president.go.kr/korea/korea.php?srh%5Bboard_no%5D=29&srh%5Bv
iew_mode%
5D=detail&srh%5Bseq%5D=20064&srh%5Bdetail_no%5D=207&srh%5Bpage%5D
=;

43

You might also like