You are on page 1of 12

Hendrik Lie

031814253061
Kelas B (Malam)
TUGAS LEMBAGA JAMINAN
ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 21/PUU-III/2005 DAN NOMOR 67/PUU-XI/2013

PUTUSAN MK NO. 21/PUU-III/2005


Kasus Posisi
PT. Astra Sedaya Finance (PT. ASF) adalah pemegang hak fidusia atas 3 (tiga) unit
mobil (berikutnya Objek Jaminan), dengan dasar: ketiga unit mobil tersebut dibeli oleh
nasabah-nasabah PT. ASF berdasarkan fasilitas pembiayaan dan selanjutnya dijaminkan
kepada PT. ASF secara fidusia. Ketiga mobil tersebut terlibat dalam suatu aktivitas ​illegal
logging,​ sehingga menurut Pasal 78 ayat (13) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang (berikutnya UU Kehutanan), dirampas oleh negara. Berdasarkan
hal tersebut, ketiga mobil tersebut disita oleh Kejaksaan Negeri Sengeti Kabupaten Muaro
Jambi, Provinsi Jambi, sebagai barang bukti dalam perkara pidana.
PT. ASF keberatan dengan hal tersebut. Ia mendalilkan Pasal 78 UU Kehutanan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 29G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (berikutnya disebut UUD
1945). Hal tersebut dikaitkan dengan definisi Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (berikutnya disebut UU 42/1999), yang mana menurut
PT. ASF, dapat dimaknai bahwa telah terjadi penggantian kepemilikan Objek Jaminan ke si
pemegang jaminan fidusia, yang dalam hal ini adalah PT. ASF. Karena pemilik Objek
Jaminan adalah PT. ASF yang beritikad baik dan bukan merupakan pihak dalam perkara
pidana yang mengakibatkan perampasan Objek Jaminan tersebut, maka ia mendalilkan
bahwa hak-haknya harus dilindungi. Berdasarkan hal tersebut, PT. ASF mengajukan
permohonan pengujian UU Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi setelah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut
menjatuhkan putusan yang amarnya adalah menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk
seluruhnya.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi


Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, karena
ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perampasan hak milik secara
sewenang-wenang, meskipun barang atau alat angkut yang dirampas tersebut bukan milik
pelaku kejahatan dan/atau pelanggaran yang dimaksud, melainkan milik pihak ketiga yang
beritikad baik yang seharusnya dilindungi. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU
Kehutanan memang berbeda dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), dan Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika, dan dapat menimbulkan multiinterpretasi dalam penerapannya, namun
tidak berarti pasal tersebut inkonstitusional. Karena:
- hak milik bukanlah hak asasi manusia (HAM) yang bersifat absolut menurut UUD
1945, yang pelaksanaannya wajib tunduk kepada pembatasan oleh undang-undang
semata-mata untuk kepentingan keamanan dan ketertiban umum;
- ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan adalah untuk melindungi kepentingan
nasional;
- hak kepemilikan Pemohon yang diperoleh melalui perjanjian fidusia masih tetap
terlindungi oleh berbagai ketentuan dalam UU 42/1999 dan dalam praktik penerapan
hukum oleh PN Sengeti terdapat kasus serupa yang mana perlawanan (​verzet​)
pemohon atas perampasan hak kepemilikannya atas barang yang dirampas oleh
kejaksaan dikabulkan;
- terjadinya perampasan barang-barang yang merupakan hak kepemilikan pemohon
adalah persoalan penerapan hukum, sehingga bukan merupakan persoalan
konstitusionalitas norma yang terkandung dalam Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan;
- berdasarkan Pasal 103 KUHP, ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHP berlaku juga
terhadap perbuatan pidana yang diatur di peraturan perundang-undangan di luar
KUHP, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang tersebut, sehingga ketentuan
Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan haruslah tetap merujuk pada ketentuan Pasal 39
ayat (1) KUHP.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi memandang walau hak milik dilindungi oleh hukum
internasional dan oleh UUD 1945, tetapi perlu diperhatikan sifat hak milik yang timbul dari
suatu perjanjian penyerahan dan penerimaan hak milik secara fidusia yang merupakan
jaminan atas perjanjian pembiayaan antara kreditur dan debitur. Hak milik yang lahir karena
perjanjian fidusia merupakan ikutan (​accessoir)​ dari perjanjian pokok, yang pada dasarnya
adalah jaminan terhadap perjanjian pembiayaan, yang mana kreditur menyediakan
pembiayaan atas transaksi debitur dengan pihak ketiga.
Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dapat diatasi dengan mengambil objek
jaminan yang masih merupakan hak milik kreditur untuk menjualnya demi memenuhi
pelunasan kewajiban debitur. Jika terdapat sisa setelah kewajiban debitur telah dilunasi, maka
kreditur wajib mengembalikannya kepada debitur. Terdapat pula Pasal 33 UU 42/1999 yang
melarang penerima fidusia untuk melaksanakan haknya sebagai pemilik untuk memiliki
sendiri benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur wanprestasi. Sehingga hak
milik yang didalilkan pemohon atas objek fidusia tidak sama dengan hak milik berdasarkan
hubungan inheren antara pemegang hak milik dengan objek hak milik, akibatnya
perlindungan hukum terhadapnya tidak sama pula.
Tanggung jawab yang timbul akibat perbuatan pidana yang dilakukan dengan Objek
jaminan, tidak dapat dikecualikan (​exoneration​) hanya karena ada perjanjian pembiayaan
yang mengkonstruksikan hak milik ada pada kreditur. Meski pemohon sebagai kreditur tidak
ikut bertanggung jawab pidana, penguasaan debitur atas Objek Jaminan memberikan juga
resiko terhadap Objek Jaminan tersebut yang digunakan atas tanggungannya, dan
perlindungan atas kepentingan umum diutamakan daripada perlindungan atas hak milik
perorangan yang dikonstruksikan dalam perjanjian fidusia. Selain itu, hak tagih kreditur yang
tersisa tetap terlindungi meskipun Objek Jaminan dirampas oleh negara.
Dengan demikian, tidak setiap perampasan hak milik merupakan pertentangan dengan
UUD 1945, karena perampasan tersebut dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan
prinsip ​due process of law​, terlebih hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (​legal
construction​) pada perjanjian jaminan fidusia. Namun hak milik pihak ketiga yang beritikad
baik (​ter goeder trouw, good faith)​ tetap harus dilindungi. Berdasarkan uraian-uraian di atas,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan beserta
penjelasannya tidak ternyata bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan
pemohon harus ditolak.
Analisis
Pertama akan dibahas mengenai konstruksi peralihan kepemilikan berdasarkan UU
42/1999, dan apa saja yang menjadi hak pemegang fidusia. Berikutnya akan dibahas
mengenai perampasan kekayaan yang dimaksud pada Pasal 78 UU Kehutanan. Setelah itu
akan dikaitkan dengan kasus posisi untuk memperoleh suatu kesimpulan mengenai akibat
hukum dari perampasan objek jaminan fidusia berdasarkan Pasal 78 UU Kehutanan.
Pasal 1 angka 1 UU 42/1999 menentukan: “Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Lebih lanjut,
pada Pasal 1 angka 2 UU 42/1999 menentukan: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor
lainnya.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
perjanjian fidusia, terjadi pengalihan kepemilikan suatu benda dari pemilik benda ke
penerima fidusia untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang diutamakan kepada
Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya (asas preferensi, Pasal 27 UU 42/1999).
Perjanjian jaminan fidusia sifatnya adalah perjanjian ikutan (Pasal 4 UU 42/1999),
yang keberlakuannya mengikut pada perjanjian pokok. Manakala perjanjian pokok hapus,
maka perjanjian jaminan fidusia juga hapus menurut Pasal 25 ayat (1) huruf a UU 42/1999.
Hal ini berkaitan dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, yang bergantung pada adanya
piutang yang dijamin pelunasannya. Manakala putang tersebut hapus karena hapusnya utang
atau pelepasan utang, maka jaminan fidusia yang terikut juga ikut hapus. Sebaliknya,
hapusnya jaminan fidusia tidak mengakibatkan hapusnya perjanjian pokok, sehingga jika
setelah musnahnya objek jaminan atau setelah dieksekusi ternyata kewajiban debitur belum
terlunasi, kreditur tetap dijamin dengan keberadaan jaminan umum berdasarkan Pasal 1131
Burgerlijk Wetboek (berikutnya disebut BW). Kecuali jika karena musnahnya objek jaminan
tersebut, si debitur memiliki hak tagih terhadap pihak ketiga (misalnya asuransi), hak tagih
tersebut berdasarkan Pasal 10 huruf b jo. Pasal 25 ayat (2) UU 42/1999 menjadi pengganti
objek jaminan fidusia tersebut.
Kepemilikan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang awalnya berada di
tangan pemilik benda, di dalam perjanjian jaminan fidusia telah berpindah kepada penerima
fidusia. Meski demikian, penguasaan benda tersebut tetap berada pada pemilik benda. Sifat
kepemilikan oleh penerima jaminan fidusia timbul manakala debitur atau pemberi fidusia
wanprestasi, sehingga objek jaminan fidusia dieksekusi menurut Pasal 29 ayat UU 42/1999
dengan cara: (1) pelaksanaan titel eksekutorial Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 oleh penerima
fidusia; (2) penjualan objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui
pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; (3) penjualan di
bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia demi
keuntungan bersama para pihak. Pemberi fidusia berdasarkan Pasal 30 UU 42/1999
berkewajiban menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi
jaminan fidusia. Kewajiban pemberi fidusia tersebut menimbulkan hak bagi penerima fidusia
untuk menerima objek jaminan fidusia tersebut. Hak penerima fidusia tersebut termasuk pula
dengan meminta bantuan kepada pihak yang berwenang manakala pemberi fidusia tidak
menyerahkan objek jaminan fidusia tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, sifat kepemilikan dari penerima fidusia baru bisa
dilaksanakan setelah pemberi fidusia atau debitur wanprestasi, namun sifat kepemilikan
tersebut hanya bersifat khusus untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan. Manakala
tidak terjadi wanprestasi, maka penguasaan benda tetap berada pada pemilik benda. Terlebih
pada Pasal 33 UU 42/1999 telah dilarang dengan tegas janji yang memberi kewenangan bagi
penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur
cidera janji. Karenanya, sifat kepemilikan dari penerima fidusia ini bukanlah kepemilikan
dalam pengertian hak milik, melainkan hanya kepemilikan dalam hal kepentingan kreditur
untuk memperoleh pelunasan atas kewajiban debitur. Demi hukum, peralihan kepemilikan
seluruhnya dan sepenuhnya dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia dianggap tidak
pernah terjadi, atau batal demi hukum.
Kemudian mengenai perampasan kekayaan yang dimaksud pada Pasal 78 UU
Kehutanan. Berdasarkan putusan MK No. 67/PUU-XI/2013, ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU
Kehutanan haruslah tetap merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHP berdasarkan
ketentuan Pasal 103 KUHP. Pasal 39 ayat (1) KUHP menentukan: “barang-barang kepunyaan
terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan
kejahatan, dapat dirampas.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat terlihat beberapa unsur:
- Barang-barang;
- kepunyaan terpidana;
- Yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja digunakan untuk melakukan kejahatan.
Kemudian berdasarkan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan memiliki rumusan sebagai
berikut: “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk
alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.” Berdasarkan ketentuan
tersebut dapat terlihat beberapa unsur:
- Semua hasil hutan;
- Dari hasil kejahatan dan pelanggaran;
- Dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya;
- Yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini.
Merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (berikutnya KUHAP), yang menentukan: “benda yang berada
dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan
penyelidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat
(1).” Lebih lanjut pada Pasal 39 ayat (1) huruf b KUHAP, yang menentukan: “Yang dapat
dikenakan penyitaan adalah benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.”
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditemukan suatu kesamaan unsur-unsur
sebagai berikut: Barang atau alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan dapat disita.
Terlepas dari pembuktiannya, pada kasus posisi telah disebutkan bahwa Objek Jaminan telah
dilakukan penyitaan oleh kejaksaan sebagai barang bukti dalam perkara pidana. Ketentuan
Pasal 39 ayat (1) huruf b KUHAP sendiri merupakan akibat dari sifat hukum publik pada
hukum pidana. Pada putusan ​in casu juga telah ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 78 ayat
(15) UU Kehutanan adalah untuk melindungi kepentingan nasional, dan bahwa kepentingan
umum didahulukan terlebih dahulu daripada kepentingan pribadi.
Maka tidak dapat dikatakan bahwa negara telah sewenang-wenang merampas hak
milik penerima fidusia dalam hal objek jaminan fidusia tersebut disita karena suatu perbuatan
pidana yang dilakukan oleh pemberi fidusia atau debitur, selama perampasan tersebut telah
dijalankan berdasarkan proses hukum (​due law process​). Terlebih kepemilikan objek jaminan
fidusia oleh penerima fidusia hanyalah sebatas untuk jaminan pelunasan utang debitur, yang
tidak sama dengan kepemilikan dalam arti yang sepenuhnya. Karena sifat perjanjian jaminan
fidusia adalah perjanjian ikutan, hapusnya objek jaminan fidusia tidak berakibat pada
hapusnya perjanjian pokok. Perampasan berdasarkan Pasal 78 UU Kehutanan berakibat pada
pelelangan untuk negara berdasarkan Pasal 79 ayat (1) UU Kehutanan. Dengan demikian,
manakala objek jaminan dilelang menurut Pasal 79 ayat (1) UU Kehutanan, perjanjian
jaminan fidusia menjadi hapus. Hapusnya perjanjian jaminan fidusia mengakibatkan
hilangnya hak kebendaan kreditur yang semula merupakan penerima fidusia, tetapi tidak
menghilangkan haknya atas pelunasan kewajiban debitur berdasarkan jaminan umum Pasal
1131 BW.

PUTUSAN MK NO. 67/PUU-XI/2013


Kasus Posisi
Pada 25 Maret 2003, disahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan (berikutnya UU 13/2003), yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam
suatu hubungan industrial, sekaligus mengatur mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU
13/2003, upah dan hak-hak lainnya dari para pekerja/buruh merupakan utang yang
didahulukan pembayarannya. Namun pada pelaksanaan putusan pailit, kata “didahulukan”
ditempatkan setelah pelunasan terhadap:
1. Utang negara dan biaya kurator;
2. Kreditur separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan;
3. Kreditur preferen;
4. Kreditur Konkuren.
Sementara pada Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (berikutnya disebut UUD 1945), ditentukan: “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.” Ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum karena tidak terdapat penafsiran yang tegas mengenai klausula
“didahulukan pembayarannya.” Mengingat ketentuan Pasal 1134 ayat (2) jo. Pasal 1137
Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah dirubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(berikutnya disebut UU Perpajakan), terdapat urutan peringkat penyelesaian tagihan kreditur
setelah selesainya kreditur separatis, yaitu upah buruh masih harus menunggu urutan setelah
tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah untuk
didahulukan. Terlebih Pasal 1149 BW menentukan bahwa piutang buruh terhadap
perusahaan/majikan berkedudukan sebagai kreditur preferen, yang didahulukan daripada
kreditur konkuren. Berdasarkan uraian tersebut, tampak pertentangan secara nyata yang
berakibat tidak tercapai kepastian hukum yang adil.
Berdasarkan hal tersebut, para pemohon mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi


Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa pokok permohonan adalah pengujian
konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU
13/2003 tentang pelunasan utang dalam hal perusahaan dinyatakan pailit yang tidak
mendahulukan pembayaran upah pekerja/buruh, melainkan pembayaran:
1. Utang negara dan biaya kurator;
2. Kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan;
3. Kreditor preferen; dan
4. Kreditor konkuren.
Tujuan negara ini dibentuk adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Politik
pembentukan UU 13/2003 adalah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan, yaitu untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat
sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Karenanya oleh UU
13/2003 diberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak yang mendasar bagi tenaga kerja
dan pekerja/buruh, sekaligus untuk mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan
usaha.
Pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan serupa dengan substansi pengujian
konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor
18/PUU-VI/2008, karenanya perlu dikutip beberapa pertimbangan putusan tersebut:
pernyataan pailit oleh hakim adalah satu peletakan sita umum (​algemene beslag)​ terhadap
seluruh harta kekayaan seorang debitur untuk dapat membayar semua tagihan kreditur secara
adil, merata, dan seimbang, yang dilakukan dengan asas ​paru passu pro rata parte,​
mengingat kedudukan kreditur pada dasarnya adalah sama, kecuali ada alasan untuk
didahulukan. Alasan yang didahulukan dapat berupa alasan karena kreditur yang sejak awal
diperjanjikan untuk penyelesaian tagihannya didahulukan dan terpisah (​separate​) dengan hak
untuk melakukan eksekusi terhadap harta yang dijaminkan, kemudian pada urutan berikutnya
adalah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah,
barulah kemudian tagihan utang buruh. Tak disangkal pula bahwa kedudukan pekerja/buruh
dalam perusahaan adalah unsur mendasar yang menggerakkan proses usaha, selain modal
sebagai unsur yang esensial. Karenanya dalam membuat kebijakan hukum, hak-hak
pekerja/buruh tidak boleh termarginalisasi dalam kepailitan namun juga tidak mengganggu
kepentingan kreditur (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan.
Berdasarkan tujuan pembentukan negara dan ketentuan konstitusionalitas
sebagaimana terurai di atas, yang akan dipertimbangkan adalah dasar hukum bagi adanya hak
tagih masing-masing kreditur dan dasar hukum adanya peringkat pembayaran. Pada putusan
18/PUU-VI/2008 permohonannya ditolak, dan hak tagih atas upah pekerja/buruh tetap
sebagaimana peringkat yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Tetapi terkait dengan
norma yang diturunkan dari tujuan negara dan ketentuan konstitusionalitas pada UU 13/2003
terkait dengan peringkat kedudukan para kreditur harus dipertimbangkan.
Dasar hukum adanya hak tagih masing-masing kreditur adalah sama, kecuali hak
tagih negara. Dasar hukum hak tagih bagi kreditur separatis dan bagi pekerja/buruh
sama-sama berasal dari perjanjian yang dilakukan dengan debitur. Dasar hukum kewajiban
kenegaraan adalah peraturan perundang-undangan. Terdapat perbedaan kedudukan yang
disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing berhubung dengan faktor-faktor tertentu, dari
aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, terdapat perbedaan yang
secara konstitusinalitas signifikan.
Aspek subjek hukum dari perjanjian jaminan adalah dilakukan di antara subjek
hukum berupa pengusaha dan pemodal, yang secara sosial ekonomis dapat dikonstruksikan
setara. Sementara pada perjanjian kerja, dilakukan antara subjek hukum berupa pengusaha
dan pekerja/buruh. Akibatnya kedudukan sosial ekonomis antara pengusaha dan
pekerja/buruh adalah berbeda: pekerja/buruh secara sosial ekonomis lebih lemah dan lebih
rendah daripada pengusaha, meski pengusaha dan pekerja/buruh saling membutuhkan.
Karena pekerja/buruh secara sosial ekonomis berkedudukan lebih lemah dan lebih rendah
daripada pengusaha, dan hak-hak pekerja/buruh telah dijamin oleh UUD 1945,
undang-undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-hak para
pekerja/buruh tersebut.
Dari aspek objek, pada perjanjian jaminan, objeknya adalah properti, sementara pada
perjanjian kerja, objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan jasa dalam
kerangka memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga pekerja/buruh. Dengan
demikian, kedudukan objek dalam perjanjian jaminan dan perjanjian kerja adalah berbeda:
properti dan orang. Karena hukum dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia,
sehingga tentu yang harus diutamakan adalah kepentingan manusia terhadap diri dan
kehidupannya harus menjadi prioritas di atas kepentingan manusia akan properti, yaitu
berperingkat sebelum kreditur separatis.
Dari aspek risiko, bagi pengusaha risiko adalah bagian yang wajar dalam pengelolaan
usahanya, selain keuntungan dan/atau kerugian, sehingga merupakan ruang lingkup
pertimbangannya dalam menjalankan usaha, bukan merupakan ruang lingkup pekerja/buruh.
Sementara bagi pekerja/buruh, upah merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup
bagi diri dan keluarganya. Adalah tidak adil jika pekerja/buruh ditanggungkan sesuatu yang
bukan merupakan bagian dari keturutsertaannya. Selain itu hak untuk hidup dan
mempertahankan kehidupan berdasarkan Pasal 28A ayat (1) UUD 1945 merupakan hak
konstitusionalitas, dan berdasarkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 adalah hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun, dan berdasarkan ayat (4) dan ayat (5), negara dalam hal ini
pemerintah wajib melindungi, memajukan, dan memenuhinya dalam peraturan
perundang-undangan.
Mengenai hak-hak pekerja/buruh yang lain, tidak sama atau berbeda dengan upah
pekerja/buruh yang merupakan hak konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945. Karenanya adalah wajar terkait pembayaran hak-hak lainnya berada pada peringkat
setelah upah pekerja/buruh. Karena sesungguhnya negara memiliki sumber pembiayaan lain,
sedangkan bagi pekerja/buruh upah adalah satu-satunya sumber untuk mempertahankan
hidup bagi diri dan keluarganya.
Pada amarnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 95 ayat (5) UU 13/2003
adalah bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas
semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor
lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak
pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor
lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis.”

Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi berakibat pada suatu hak tagih yang lebih tinggi
kedudukannya daripada hak preferensi. Berdasarkan Pasal 1131 BW, segala kebendaan
debitur menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 BW mengatur
manakala terdapat lebih dari satu kreditur, dalam hal ini mereka sama-sama memiliki hak
tagih atas segala kebendaan debitur menurut perbandingan hak mereka, kecuali jika di antara
mereka terdapat alasan yang sah untuk didahulukan. Alasan untuk didahulukan antara lain
adalah hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik (Pasal 1133 BW). Hak istimewa ialah suatu
hak yang oleh undang-undang diberikan kepada kreditur sehingga tingkatnya lebih tinggi
daripada kreditur lainnya, semata-mata karena sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah
lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh peraturan
perundang-undangan (Pasal 1134 BW).
Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi ​a quo,​ ketentuan Pasal 1149 angka 4 BW
menentukan bahwa upah buruh termasuk piutang yang diistimewakan, tepat di bawah
biaya-biaya perkara (yang juga didahulukan daripada gadai dan hipotik), biaya-biaya
penguburan, semua biaya pengobatan dari yang sakit hingga penghabisan. Upah buruh
sebagai piutang yang diistimewakan peringkatnya berada di bawah gadai dan hipotik
berdasarkan Pasal 1134 paragraf 2 BW, karena tidak ditentukan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasca putusan Mahkamah Konsitusi ​a quo​, mengenai frasa “yang didahulukan
pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 tentang pelunasan utang dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit, harus dimaknai sebagai didahulukan atas semua jenis kreditur
termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum
yang dibentuk Pemerintah, khusus untuk upah pekerja/buruh. Putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan perintah konstitusi, sebagai lembaga yang bersifat ​negative legislator karena
dapat menganulir dan/atau mencabut keberlakuan suatu ketentuan hukum jika bertentangan
dengan konstitusi, dan putusannya berlaku ​erga omnes (terhadap semua orang), sehingga
frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 tidak berlaku
sepanjang tidak dimaknai sebagaimana amar putusan ​a quo​.
Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan mengenai upah pekerja/buruh yang
termasuk sebagai hak istimewa menurut Pasal 1134 paragraf 2 BW jo. Pasal 1149 angka 4
BW dirombak. Perombakan yang terjadi adalah timbulnya alasan bagi upah pekerja/buruh
untuk didahulukan daripada gadai dan hipotik, sehingga upah pekerja/buruh berkedudukan
atau berperingkat lebih tinggi daripada gadai dan hipotik (termasuk juga Hak Tanggungan,
vide Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan) karena
ditentukan khusus dalam peraturan perundang-undangan sebagai didahulukan daripada gadai
dan hipotik, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 pasca putusan
Mahkamah Konstitusi ​a quo​.
Sementara mengenai hak-hak pekerja/buruh yang lainnya (selain upah pekerja/buruh)
pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan
hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari
kreditur separatis. Kreditur separatis yang dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi ​a
quo adalah pemegang hak-hak berupa jaminan, yaitu hipotik, gadai, fidusia, dan hak
tanggungan. Berdasarkan uraian tersebut, hak-hak pekerja/buruh yang lainnya (selain upah
pekerja/buruh) merupakan piutang yang bersifat istimewa saja berdasarkan Pasal 1134
paragraf 2 BW, sehingga kedudukannya tetap berada di bawah gadai dan hipotik.

You might also like