Professional Documents
Culture Documents
031814253061
Kelas B (Malam)
TUGAS LEMBAGA JAMINAN
ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 21/PUU-III/2005 DAN NOMOR 67/PUU-XI/2013
Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi berakibat pada suatu hak tagih yang lebih tinggi
kedudukannya daripada hak preferensi. Berdasarkan Pasal 1131 BW, segala kebendaan
debitur menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 BW mengatur
manakala terdapat lebih dari satu kreditur, dalam hal ini mereka sama-sama memiliki hak
tagih atas segala kebendaan debitur menurut perbandingan hak mereka, kecuali jika di antara
mereka terdapat alasan yang sah untuk didahulukan. Alasan untuk didahulukan antara lain
adalah hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik (Pasal 1133 BW). Hak istimewa ialah suatu
hak yang oleh undang-undang diberikan kepada kreditur sehingga tingkatnya lebih tinggi
daripada kreditur lainnya, semata-mata karena sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah
lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh peraturan
perundang-undangan (Pasal 1134 BW).
Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi a quo, ketentuan Pasal 1149 angka 4 BW
menentukan bahwa upah buruh termasuk piutang yang diistimewakan, tepat di bawah
biaya-biaya perkara (yang juga didahulukan daripada gadai dan hipotik), biaya-biaya
penguburan, semua biaya pengobatan dari yang sakit hingga penghabisan. Upah buruh
sebagai piutang yang diistimewakan peringkatnya berada di bawah gadai dan hipotik
berdasarkan Pasal 1134 paragraf 2 BW, karena tidak ditentukan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasca putusan Mahkamah Konsitusi a quo, mengenai frasa “yang didahulukan
pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 tentang pelunasan utang dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit, harus dimaknai sebagai didahulukan atas semua jenis kreditur
termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum
yang dibentuk Pemerintah, khusus untuk upah pekerja/buruh. Putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan perintah konstitusi, sebagai lembaga yang bersifat negative legislator karena
dapat menganulir dan/atau mencabut keberlakuan suatu ketentuan hukum jika bertentangan
dengan konstitusi, dan putusannya berlaku erga omnes (terhadap semua orang), sehingga
frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 tidak berlaku
sepanjang tidak dimaknai sebagaimana amar putusan a quo.
Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan mengenai upah pekerja/buruh yang
termasuk sebagai hak istimewa menurut Pasal 1134 paragraf 2 BW jo. Pasal 1149 angka 4
BW dirombak. Perombakan yang terjadi adalah timbulnya alasan bagi upah pekerja/buruh
untuk didahulukan daripada gadai dan hipotik, sehingga upah pekerja/buruh berkedudukan
atau berperingkat lebih tinggi daripada gadai dan hipotik (termasuk juga Hak Tanggungan,
vide Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan) karena
ditentukan khusus dalam peraturan perundang-undangan sebagai didahulukan daripada gadai
dan hipotik, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003 pasca putusan
Mahkamah Konstitusi a quo.
Sementara mengenai hak-hak pekerja/buruh yang lainnya (selain upah pekerja/buruh)
pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan
hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari
kreditur separatis. Kreditur separatis yang dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi a
quo adalah pemegang hak-hak berupa jaminan, yaitu hipotik, gadai, fidusia, dan hak
tanggungan. Berdasarkan uraian tersebut, hak-hak pekerja/buruh yang lainnya (selain upah
pekerja/buruh) merupakan piutang yang bersifat istimewa saja berdasarkan Pasal 1134
paragraf 2 BW, sehingga kedudukannya tetap berada di bawah gadai dan hipotik.