You are on page 1of 7

FORM REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


_____________________________________________________________________________________
Nama Dokter Muda : Nia Japlani
Stase : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Identitas Warga
Nama / Inisial : Ny. K Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 30 tahun
Kasus : Memilih Pengobatan Herbal dan Menolak berobat ke dokter
Pengambilan kasus pada minggu ke : 6
Jenis Refleksi: lingkari yang sesuai (minimal pilih 2 aspek, untuk aspek ke-Islaman sifatnya
wajib)
a. Ke-Islaman*
b. Profesionalisme Profesi
c. Sosial Ekonomi
d. Psikologis
e. Aspek lain (Kesehatan)

1. Latar belakang /alasan ketertarikan pemilihan kasus


Pengobatan herbal atau herbal medicine didefinisikan sebagai bahan baku atau
sediaan yang berasal dari tumbuhan yang memiliki efek terapi atau efek lain yang
bermanfaat bagi kesehatan manusia; komposisinya dapat berupa bahan mentah
atau bahan yang telah mengalami proses lebih lanjut yang berasal dari satu jenis
tumbuhan atau lebih. Sediaan herbal diproduksi melalui proses ekstraksi, fraksinasi,
purifikasi, pemekatan atau proses fisika lainnya; atau diproduksi melalui proses biologi.
Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju
dan berkembang adalah yaitu karena meningkatnya usia harapan hidup pada saat
prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern
untuk penyakit tertentu seperti kanker, dan semakin meluasnya akses informasi obat
herbal di seluruh dunia Berdasarkan fakta yang disebutkan di atas, penulis tertarik untuk

Page 1
membahas kasus pengobatan obat herbal. Kasus ini penting karena menyangkut kesehatan
masyarakat.

2. Deskripsi Kasus
Ibu K merupakan warga di Desa Saren, Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen. Ibu K
memiliki suami dan 3 orang anak. Saat penulis melakukan Survey Mawas Diri (SMD) di Desa
Saren, penulis bertemu ibu K yang mengatakan bahwa setiap kali keluarganya sakit, beliau tidak
pernah membawanya ke dokter karena menganggap bahwa obat-obatan yang diberikan oleh dokter
banyak mengandung bahan-bahan kimia yang tidak baik bagi tubuh. Beliau lebih memilih untuk
melakukan pengobatan herbal daripada berobat ke dokter. Beliau mengatakan pengobatan herbal
lebih bisa menyembuhkan dibandingkan dengan pengobatan yang diberikan oleh dokter.

3. Refleksi Kesehatan beserta penjelasan evidence / referensi yang sesuai

Page 2
Dokter, ahli herbal dan ahli thibbun nawabi sebenarnya sama baiknya asalkan
pengobatan dilakukan oleh ahlinya. Untuk dokter, dokter sudah memiliki pendidikan
resmi, bertahap dan diterapkan di semua negara dengan standar yang hampir sama. Dokter
sudah belajar dan diuji apakah sudah layak untuk melakukan pengobatan atau tidak.
Sedangkan untuk herbalis, sampai sekarang belum ada resmi dan diakui oleh pemerintah,
misalnya sekolah herbal atau perguruan tinggi dengan jurusan herbal. Dengan kurikulum
terstandar dan teruji. Inilah yang membuat herbal agak kurang diminati oleh orang. Akan
tetapi cukup banyak ditemukan herbalis yang benar-benar pengalaman, sudah belajar
dengan waktu yang cukup lama walapun tidak formal dan sudah berpengalaman. Untuk
herbalis seperti ini, baik juga untuk pengobatan, bahkan ada metode pengobatan yang
belum ditemukan dalam kedokteran modern ternyata ada metode pengobatannya oleh
herbalis terpercaya. Begitu juga dengan ahli thibbun nabawi.

Demikian jugalah yang ditetapkan oleh agama Islam yang mulia ini. Praktek kedokteran
harus dilakukan oleh ahlinya dan sudah berpengalaman

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ب َق ْب َل ذَ ِلكَ فَ ُه َو ض‬
‫َامن‬ َ َّ‫َم ْن ت َ َطب‬
ٌّ ‫ب َولَ ْم يُ ْعلَ ْم ِم ْنهُ ِط‬

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum
itu maka dia yang bertanggung jawab.”[2]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

Page 3
‫ وأن من تجرأ على ذلك‬، ‫ سواء كان طبا أو غيره‬، ‫أنه ال يحل ألحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو ال يحسنها‬
، ‫ فهو ضامن له‬، ‫ وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما‬. ‫فهو آثم‬

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak
mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya.
Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari
perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya,
maka ia harus bertanggung jawab.”[3]

Ulama sekaligus dokter terkenal di zamannya, Ibnu Qayyim Al-


Jauziyah rahimahullahu berkata,

‫ ولم يتقدم له به معرفة‬،‫الطب وعمله‬


ِ ‫ فإذا تعاطى ِعل َم‬،‫فإيجاب الضمان على الطبيب الجاهل‬
ُ

“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika
melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran
sebelumnya”[4]

Managemen terapi harus sesuai dosis dan indikasi

Demikian juga dengan obat yang digunakan, haruslah seorang dokter atau herbalis tahu
benar obat dan herbal tersebut, bagaimana indikasinya, untuk penyakit apa (tentunya ia
harus mampu mendiagnosis), tahu campurannya, tahu efek sampingnya dan sebagainya,

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

Page 4
‫فقد اتفق األطباء على أن المرض الواحد يختلف عالجه باختالف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير‬
‫وقوة الطبيعة…ألن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو‬
‫هي القوة وأحدث ضررا آخر‬

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai
dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi,
kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan
penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika
dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[5]

KEDOKTERAN MODERN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN HERBAL


APALAGI THIBBUN NABAWI

Ada sebagian kecil kaum muslimin yang masih kurang memahami prinsip herbal dan
thibbun nabawi. Mereka terlalu kaku dan keras, atau bisa jadi ada kepentingan dunia dan
bisnis dibalik hal ini. Mereka salah paham mengenai pengobatan khususnya thibbun
nabawi dan kedokteran barat modern. Kesalahpahaman tersebut berdampak timbul
angapan bahwa kedokteran barat modern bertentangan semua dengan thibbun nabawi,
sikap anti total terhadap pengobatan barat modern, kemudian jika memilih pengobatan
selain thibbun nabawi berarti tidak cinta kepada sunnah serta dipertanyakan keislamannya.
Padahal kedokteran barat modern bisa dikombinasikan dengan thibbun nabawi atau
dipakai bersamaan. Dan juga ada beberapa tulisan-tulisan mengenai hal ini yang
menyebar melalui dunia nyata dan dunia maya. Oleh karena itu, dengan mengharap
petunjuk dari Allah Ta’ala kami mencoba mengangkat tema ini.

Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 tahun 2016,


diketahui bahwa ajaran islam mendorong umatnya untuk selalu menjaga kesehatan yang
dapat dilakukan dengan upaya preventif seperti imunisasi dan apabila sakit segera
berobat agar sehat kembali. MUI juga menjelaskan bahwa penolakan oleh sebagian

Page 5
masyarakat terhadap imunisasi baik karena kepercayaan dalam agama maupun
Acuan standar untuk menguji efikasi suatu jenis terapi atau pengobatan adalah uji
pandangan bahwa imunisasi mendahului takdir dan vaksin didahulukan kehalalannya
klinik acak (RCT = randomized clinical trial). Demikian halnya dengan obat herbal.
tidak menyebabkan imunisasi menjadi haram untuk dilakukan.
Sebelum memanfaatkan atau menggunakan suatu obat herbal, seharusnya pasien, dokter
Berdasarkan Fatwa MUI, dasar hukum imunisasi adalah mubah, sebagai usaha
atau apoteker mengecek tingkat pembuktikan/klaim efikasi (khasiat) suatu obat herbal
atau ikhtiar untuk membentuk kekebalan tubuh dan mencegah penyakit tertentu.
atau tumbuhan obat. Data klinik (evidence-based) tersebut merupakan tuntutan utama
Imunisasi tentunya harus menggunakan vaksin yang halal. Vaksin yang haram dilarang
sebagian besar dokter terhadap obat herbal. Sebab, jika obat herbal tersebut tidak diteliti
kecuali dalam keadaan kondisi al-Dlarurat (kondisi terpaksa yang apabila imunisasi
kandungan dan manfaatnya dikhawatirkan dapat membuat pasien yang menderita suatu
tidak dilakukan dapat mengancam jiwa) atau al-Hajat (kondisi terdesak yang apabila
penyakit semakin memburuk karena didalam obat herbal belum ada takaran yang pas untuk
imunisasi tidak dilakukan akan menyebabkan penyakit berat atau kecacatan), belum
dikonsumsi oleh masyarakat. Minimnya kemampuan untuk mengakses informasi terkini
ditemukan vaksin yang halal dan suci serta diperoleh keterangan tenaga medis yang
suatu obat herbal adalah salah satu masalah dalam pembelajaran obat herbal yang
kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
perlu ditangani sejak dini. Mahasiswa kedokteran harus dibekali dengan teknik
Ketentuan tersebut berlandaskan beberapa dalil, yaitu:
mengakses informasi terkait obat herbal baik melalui internet maupun buku teks,
buku acuan standar ataupun jurnal sehingga dapat membuktikan kebenaran efek obat
herbal sesuai dengan penelitian yang ada (BPOM, 2015).

Imunisasi merupakan cara preventif untuk mencegah datangnya penyakit. Program ini
dijalankan berdasarkan ilmu kesehatan dan sudah dibuktikan kebenarannya, maka bagi
masyarakat yang masih anti terhadap vaksin, sama saja dengan membiarkan dirinya
diserang oleh penyakit.

Page 6
4. Refleksi Keislaman beserta penjelasan / referensi yang sesuai

Umpan balik dari pembimbing

…………………………….,…………………...
TTD Dokter Pembimbing TTD Dokter Muda

----------------------------------- --------------------------------

Page 7

You might also like