You are on page 1of 22

BAB I

A. LATAR BELAKANG

Peristiwa 11 September 2001 merupakan tragedi nasional yang tidak pernah

diduga oleh seluruh rakyat dunia terutama rakyat Amerika. Dalam hitungan waktu

ribuan jiwa terluka dan jutaan orang lainnya dicekam rasa ketakutan mendalam 1 .

Salah satu symbol kebanggaan Amerika Serikat pada pagi Selasa 11 September 2001

tersebut runtuh akibat serangan jaringan teroris internasional. Menara kembar World

Trade Center dan system keamanan Amerika yang selama ini dianggap canggih

menjadi dipertanyakaan akibat serangan tersebut. Presiden Bush sebagai kepala

negara pada periode tersebut segera mendeklarasikan dimulainya kebijakan war on

terror oleh Amerika Serikat dengan tujuan untuk menghancurkan dan menghilangkan

ancaman terorisme dunia.

Seruan perang disampaikan oleh Presiden Bush dalam pidatonya dengan

slogan “Amerika Diserang” (America Under Attack). Deklarasi perang itu ditujukan

kepada Usamah bin Laden sebagai tersangka utama. Selain itu, pemerintah Amerika

Serikat juga membelah dunia dengan dua opsi : with us or we against (bersama kami

atau kami serang). Pilihan pertama akan memetik “reward” yaitu berupa dukungan

dan bantuan kepada negara-negara yang mendukung kebijakan ini dalam memerangi

terorisme, sedang pilihan kedua akan menuai “punishment” yaitu hukuman yang
                                                            
1
 Buckley, Mary and Rick Fawn. Global Responses to Terrorism : 9/11, The War in Afghanistan and 
Beyond. New York : Routledge. 2003. Hal.12 

17 
 
diberikan kepada negara-negara yang tidak mendukung kebijakan Amerika Serikat

dalam memerangi terorisme2.

Kamis malam 14 September 2001 dalam pidatonya Bush mengajak seluruh

rakyat Amerika untuk perang melawan terorisme. “Perang yang tidak akan usai

sampai seluruh kelompok teroris berjangkauan global itu kalah dan bertekuk lutut”3.

Bush dalam pidatonya juga mengatakan bahwa ini adalah perang untuk keadilan,

sebagai balas dendam atas serangan 11 September 2001. Bush menyebutkan untuk

membuat teroris itu bertekuk lutut, operasi militer adalah pilihan yang tidak bisa

dihindari. Ia menunjuk Usamah bin Laden dan jaringan Al Qaeda sebagai target

utama untuk dihancurkan. Selain itu, pemerintah Afghanistan (Taliban) juga masuk

dalam daftar bidikan, karena melindungi Usamah bin Laden4.

Kebijakan ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan grand strategy

Amerika Serikat pada masa perang dunia kedua karena tidak lagi secara pasif

menggelar kapasitas militer dan sumber dayanya untuk mengurung musuhnya

(seperti yang dimaksudkan George Keenan dalam doktrin Containtment) namun

sekarang Amerika Serikat lebih mengandalkan kapasitas offensif untuk merontokkan

kemungkinan ancaman terror bagi keamanan Amerika Serikat.

Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa para teroris secara langsung

mengancam dan membunuh ribuan jiwa, tanpa ada peringatan atau dialog politik
                                                            
2
 Husaini, Adian. Jihad Osama Versus Amerika. Jakarta : Gema Insani Press. 2001. Hal 47 
3
 Gray, Jerry D. Fakta Sebenarnya Tragedi 11 September, terj. Jakarta : Sinergi Publishing. 2004. Hal 
37. 
4
 Ibid hal 38‐40. 

18 
 
yang memungkinkan terwujudnya kompromi, dan dilakukan dengan sangat

terperinci, tidak memilih korbannya serta dilakukan dalam skala massif. Sebuah

kulminasi teror yang pantas dianggap sebagai wujud sebuah unjustified aggression.5

Terkait penjelasan di atas, indikasi perang melawan terorisme yang

dicanangkan oleh Amerika Serikat memiliki tujuan propaganda bahwa Amerika

sebagai negara super power yang berkepentingan untuk mengatur dan mengamankan

ketertiban dunia dari terorisme dan penggunaan senjata pemusnah masal. Di lain

pihak ada kepentingan lain. Oleh sebab it, menurut pandangan penulis bahwa Global

War on Terrorism yang dicanangkan oleh Amerika memili kepentingan ganda, yaitu

kepentingan idealism dan pragmatism. Artinya Amerika sebagai pemimpin dunia dan

polisi dunia berkewajiban untuk menjaga stabilitas keamanan dunia dari bahaya

senjata pemusnah massal yang dimiliki oleh irak dan terorisme yang bertentangan

dengan nilai-nilai dan karakter bangsa Amerika Serikat yang tertuang di dalam

deklarasi kemerdekaan, piagam perdamaian dan hak asasi manusia. Maka atas dasar

pandangan tersebut penelitian ini menggambarkan analisis dari keberhasilan dan

kegagalan dari kebijakan War on Terrorism. Apakah penerapan kebijakan tersebut

telah tepat sasaran dalam menangani terorisme internasional? Sejauhmana

keberhasilan yang diperoleh oleh pemerintah Amerika? Dengan menganalisis faktor-

faktor yang menjadi indikator keberhasilan maupun kegagalan.

                                                            
5
 Neta C. Crawford, Just War Theory and the U.S. Counter terror War, dalam Perspectives on Politics, 
Vol. 1, No. 1 (Mar., 2003), hal 12 diakses pada 1 april 2014 

19 
 
B. RUMUSAN MASALAH

Penelitian ini mencoba menjelaskan masalah terorisme di Amerika Serikat

seiring dikeluarkannya kebijakan “War On Terrorism” oleh Presiden George W.

Bush pasca serangan 11 September 2001 selama dua periode masa pemerintahannya

dengan memfokuskan pada studi kasus Perang Amerika terhadap Al Qaeda.

Bagaimana evaluasi dari penerapan kebijakan War on Terrorism tersebut? Indikator

apa saja yang menjadi penentu keberhasilan maupun kegagalan dari kebijakan

tersebut?

Bertolak dari latar belakang masalah dan ruang lingkup penelitian yang

dikembangkan di atas, maka rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Sejauhmana keberhasilan dan kegagalan kebijakan“War On Terrorism”

pasca kejadian 11 September 2001 dilihat dari persepsi Amerika Serikat ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penentu keberhasilan maupun

kegagalan dalam menjalankan kebijakan “War On Terrorism”?

20 
 
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Setelah perumusan, langkah selanjutnya adalah perumusan tujuan dan manfaat

penelitian. Tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini adalah :

1. Menelusuri keberhasilan maupun kegagalan penerapan kebijakan War on

Terrorism sejak dikeluarkan oleh Presiden Bush pasca peristiwa 11

September 2001 hingga dua periode masa pemerintahan Bush.

2. Mengungkapkan dampak positif dan negatif yang muncul dari

berlangsungnya penerapan kebijakan War on Terrorism dalam kasus

memerangi terorisme melawan kelompok Al Qaeda terhadap perkembangan

dunia internasional.

Manfaat Penelitian adalah :

1. Untuk memberikan pencerahan dan sumbangan pemikiran dibidang kajian

kebijakan politik khususnya dalam keamanan internasional dengan

pendekatan yang kritis untuk mengungkap implementasi penerapan kebijakan

baru politik luar negeri Amerika Serikat pasca peristiwa 11 September 2001

yang dikenal dengan War On Terrorism.

2. Untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat agar lebih kritis

terhadap terorisme global serta memberi pandangan yang jelas tentang tokoh

terorisme itu sendiri dan strategi dalam melawan tindak terorisme tersebut.

21 
 
D. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan penelitian-penelitian yang mengangkat topik “War on

Terrorism” penulis menemukan bahwa ada banyak penelitian yang membahas

mengenai topik kebijakan luar negeri Amerika Serikat, terorisme, dan kebijakan

“War on Terrorism” yang dikeluarkan Amerika Serikat pasca kejadian 11 September

2001 yang lebih memfokuskan pada respon, dampak dan efek dari serangan terorisme

tersebut. Namun penelitian yang dilakukan itu hanya sebatas mengenai kebijakan dan

respon terhadap kebijakan tersebut, meskipun ada beberapa penelitian yang

membahas mengenai kebijakan “War on Terrorism” dengan memfokuskan pada

dampak dari diberlakukannya kebijakan tersebut serta beberapa kasus seperti Invasi

ke Irak, Perang terhadap Afghanistan dan dampak terhadap kaum Muslim dunia.

Penelitian yang telah ada sebelumnya yaitu Kebijakan Amerika Serikat Terhadap

Terorisme Internasional Pasca Tragedi World Trade Center.

Penelitian lainnya yaitu Kebijakan Keamanan AS Pasca 11 September :

Analisis Terhadap Dampak Kebijakan George W. Bush “War on Terrorism”,

kemudian penelitian tentang Dampak Kebijakan Amerika Serikat Dalam Perang

Melawan Terorisme Terhadap Masyarakat Muslim menjelaskan berbagai kebijakan

dan program baru yang muncul mengikuti doktrin Bush, serta menjelaskan faktor

tentang adanya kepentingan Amerika Serikat di Irak dan Timur Tengah yang memicu

invasi tersebut.

Penelitian ini dapat dibedakan dari sebelumnya bahwa penelitian ini

meletakkan fokus pada evaluasi keberhasilan maupun kegagalan yang ditemui oleh

22 
 
Amerika Serikat selama proses dijalankannya kebijakan “War on Terrorism” apakah

dengan kebijakan yang di jalankan selama dua periode masa pemerintahan Bush ini

dapat dikatakan berhasil ataupun gagal, dan bila gagal maka apa saja bukti kegagalan

yang di dapat serta apa sajakah bukti dari keberhasilan dari kebijakan contra

terrorisme yang di kenal dengan “War on Terrorism” ini. Dengan memfokuskan

pada studi kasus Perang Amerika terhadap Al Qaeda menjadi hal yang baru bagi

keragamaan penelitian dalam bidang sosial politik sejenis ini karena dengan

memfokuskan pada organisasi terorisme internasional yang telah dikenal seluruh

dunia maka batasan penelitian menjadi lebih spesifik yaitu bagaimana perkembangan

terorisme itu sendiri sejak di berlakukan kebijakan “War on Terrorism” ini. Apakah

ada perubahan yang signifikan dari diterapkan kebijakan tersebut terhadap bibit-bibit

terorisme internasional.

23 
 
E. PENDEKATAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan salah satu kerangka disiplin ilmu Pengkajian

Amerika (American Studies) yang melakukan pendekatan interdisipliner, yaitu suatu

pendekatan yang mengkaji pengalaman Amerika (American Experience) dari

berbagai disiplin, seperti ilmu sastra, antropologi, sejarah, ekonomi, agama dan

politik. American Studies adalah suatu studi interdisipliner (disiplin yang saling

terkait) sebagaimana dikemukakan oleh Robert Meredith 6 bahwa American Studies is

an interdisciplinary discipline with utilitizes social science, literature, history, politic,

economic structure.

Pendekatan teoritis yang digunakan berdasarkan disiplin yang biasa

digunakan dalam American Studies tersebut, mempunyai tiga inti penting, seperti

yang diungkapkan McDowel dalam bukunya American Studies the Minnesota

Program bahwa : ”American Studies moved toward the reconciliation of tenses past,

present, and future, the reconciliation of the academic discipline and the third long-

range goals, that is the reconciliation of region, nation and world. In the other words,

it refer to micro to macro approach.”7

Hal ini dimaksudkan bahwa dalam meneliti topik ini perlu dilihat masa lalu

(past), masa sekarang (present), dan masa akan datang (future); dan ketiga masa itu

saling berkaitan satu sama lain. Dengan melihat sikap dan kebijakan Amerika Serikat

                                                            
6
 Meredith, Robert.ed. American Studies, Essay on Theory and Method. Colombus, Ohio : Charles E. 
Merril Publishing Co. 1968. Hal 11. 
7
  Ibid  hal 5 

24 
 
terhadap isu terorisme di masa dahulu, maka akan terefleksi pada masa sekarang dan

akan datang. Sehubungan dengan pendekatan yang bersifat interdisipliner tersebut,

akan digunakan berbagai disiplin untuk membahas dan memecahkan permasalahan

dalam penelitian ini. Meskipun setiap pendekatan tampak memiliki sudut pandang

yang berbeda, tetapi dalam pendekatan Pengkajian Amerika yang bersifat

interdisipliner, tiap-tiap disiplin tersebut akan saling mendukung untuk digunakan

bersama-sama sesuai dengan relevansi masing-masing dalam membahas penelitian

tersebut hingga tujuan yang dirumuskan tercapai.

Seperti yang dijelaskan oleh Meredith dalam Subverting Culture and Radical

bahwa pengkajian Amerika adalah pendekatan interdisipliner yang melibatkan

pendekatan sosial, sejarah, politik, literature dan lainnya8. Untuk melengkapi hasil

penelitian yang lebih komperehensif juga digunakan pendekatan Pengkajian Amerika

yang diperkenalkan oleh Tremaine Mc Dowell. Mc Dowell menyebut Pengkajian

Amerika merupakan reconciliation of discipline dan reconciliation of tenses 9 .

Reconciliation of disciplines dimaksudkan sebagai kajian yang menggabungkan antar

beberapa disiplin sehingga membentuk penjelasan yang utuh. Reconciliation of tenses

dimaksudkan sebagai analisis masalah yang dilihat dari urutan waktu secara

berkesinambungan. Pendekatan ini dapat dikatakan sebagai pendekatan dari

perspektif sejarah.
                                                            
8
 Meredith, Robert. Subverting Culture, The Radical as Teacher. Miami : Miami University Press. 1969. 
Hal 11. 
9
 McDowell, Tremaine. American Studies, The Minnesotta Program. Minneapollis. The University of 
Minnesota. 1948. Hal 82. 

25 
 
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah. Yaitu pendekatan yang

berorientasi pada awal terjadinya serangan terorisme di Amerika Serikat. Pendekatan

sejarah digunakan untuk menganalisis kejadian-kejadian awal yang menyebabkan

munculnya terorisme global, fakta dan peristiwa dan akibat setelah terjadinya

serangan 11 September 2001 tersebut serta langkah-langkah nyata yang di ambil oleh

Pemerintah Amerika Serikat. Untuk memahaminya pendekatan sejarah ini

berdasarkan suatu lingkup penelitian yang tidak berdiri sendiri namun berdiri di

antara ilmu sosial dan ilmu humaniora. “By definition and by common usage, history

is a branch of knowledge with deals with the past, but, as a discipline which stands

among both the social science and the humanities, history might perhaps be expected

to deal even handedly with past and present 10 . Lalu McDowel juga mengatakan

bahwa sejarah berhubungan dengan kondisi masa sekarang.

Dalam kajian yang bersifat interdisipliner ini, pendekatan politik menjadi

tulang punggungnya. Pendekatan politik ini digunakan untuk melihat seberapa besar

keberhasilan dan kegagalan yang di capai oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam

menjalankan kebijakan politik luar negeri yang baru kontra terorisme tersebut.

Sebagaimana diungkapkan oleh David Easton bahwa politik adalah “authoritative

allocation of values for a society”11.

                                                            
10
 Ibid Hal 8 
11
 Schmidt, Steffen W. American Government and Politics Today. West Publishing Company. 1985. 
Hal 13 

26 
 
Pendekatan dari segi ekonomi digunakan untuk menggambarkan kondisi

perekonomian Amerika Serikat maupun kondisi perekonomian global yang mungkin

berpengaruh terhadap munculnya terorisme dan juga menggambarkan kondisi

perekonomian Amerika Serikat saat menjalankan kebijakan “War On Terrorism”

serta dampak secara global pasca dijalankannya kebijakan tersebut.

Sehubungan dengan pendekatan di atas, suatu kajian akan berhubungan

dengan kajian-kajian yang lain. Dalam kerangka penelitian ini kajian politik sangat

terbuka dan dipengaruhi oleh disiplin-disiplin yang lain, misalnya : kebijakan politik

luar negeri Amerika Serikat juga dipengaruhi oleh ekonominya. Untuk mengkaji

suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan satu kajian ilmu saja. Dalam

penelitian ini juga topik yang khusus tentang terorisme di Amerika Serikat akan

dikaji secara lebih luas dalam lingkup kebijakan maupun secara global.

Beberapa yang telah dikemukakan di atas diharapkan dapat mempermudah

dalam memecahkan permasalahan secara objektif sehingga dalam memandang segala

persoalan terorisme di Amerika Serikat juga dapat secara objektif.

27 
 
F. KERANGKA TEORI

Guna menjelaskan permasalahan diatas penulis akan menggunakan Rational

Choice dan Foreign Policy Analysis dalam menganalisis penelitian ini. Penggunaan

kedua pendekatan tersebut dinilai mampu untuk mengetahui dan mengukur

keberhasilan dan kegagalan kebijakan War on Terrorism.

Setiap negara memerlukan politik luar negeri, selain sebagai sarana untuk

melakukan interaksi dengan negara lain dalam sistem internasional, kebijakan luar

negeri juga merupakan alat untuk memenuhi kepentingan nasional. Kepentingan

nasional sendiri merupakan suatu entitas yang selalu berubah. Hal ini bisa terjadi

karena dipengaruhi oleh perubahan kondisi domestik proses pembuatan kebijakan

luar negeri, serta kondisi politik dan keamanan internasional (faktor eksternal) yang

selalu berubah. Sejalan dengan definisi Mark R. Amstutz yakni “foreign policy as

explicit and implicit actions of governmental officials designed to promote national

interest beyond a country’s territorial boundaries 12 . Berdasarkan definisi di atas,

dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri adalah aksi nyata yang dirancang oleh

para pembuat kebijakan untuk memenuhi dan menjaga kepentingan nasionalnya

dalam dunia internasional. Dalam kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem,

rangsangan dari lingkungan eksternal dan domestik menjadi input yang

mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dan dikonversi oleh para pembuat

keputusan menjadi output yang dapat berupa berbagai macam kerjasama diantaranya
                                                            
12
 Amstutz , Mark R. International Conflict and Cooperation : an introduction to world politics. 
McGraw Hill.1998. Hal 175 

28 
 
kerjasama bilateral, trilateral, multirateral dan regional demi memenuhi kepentingan

nasional dalam dunia internasional.

Sebagai komponen dalam pembuatan kebijakan luar negeri, Graham T.Allison

menyebutkan bahwa : “National security and national interest are the principal

categories in which strategic goals are conceived. National seeks security and range

of other objectives”13. Pada setiap proses pembuatan kebijakan luar negeri (decision

making process) memang bisa dipengaruhi banyak faktor. Proses pembuatan

kebijakan luar negeri juga melibatkan banyak aktor domestik yang berasal dari

berbagai institusi. Tak jarang dari berbagai aktor yang terlibat dalam proses

pembuatan kebijakan luar negeri itu memiliki kepentingan yang berbeda-beda

sehingga terjadi proses tarik-menarik kepentingan. Namun, kebijakan luar negeri

yang dihasilkan tetap merupakan satu kebijakan yang diyakini bisa memenuhi

kepentingan nasional secara maksimal berdasarkan pertimbangan konsekuensi-

konsekuensi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. dalam hal ini Allison

mengatakan bahwa : “governments select the action that will maximize strategic

goals and objectives”14.

Menurut Allison goals and objectives dalam pembuatan kebijakan luar negeri

merupakan tujuan dari kebijakan yang dibuat. Dengan demikian, kebijakan luar

negeri yang akan diambil merupakan kebijakan yang dinilai bisa memaksimalkan

                                                            
13
 Allison, Graham T. Essence of Decision : Explaning the Cuban Misile Crisis. Boston: Little, Brown and 
Company.  1971. 
14
 Ibid hal 32 

29 
 
pencapaian strategis negara. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat

dalam politik luar negeri Amerika yang pragmatis dan realis.

Definisi Kebijakan Luar Negeri atau Foreign Policy adalah “The decision of
an individual, the deliberations of a committee, the outcome of a policy-making
process, the sum of clashing interests groups, the values of a dominant elite, the
product of a society’s aspirations, the reinforcement of a historical tradition, the
response to an opportunity or challenge elsewhere in the world15.
Asumsi bahwa kebijakan luar negeri merupakan tindakan value-maximizing

menjadikan negara atau pemerintah sebagai aktor rasional. Robert Dahl dan Charles

Linblom mendefinisikan aktor rasional sebagai : “suatu tindakan disebut rasional

kalau tindakan itu secara tepat diarahkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan,

berdasarkan pertimbangan tentang tujuan itu dengan kenyataan tindakan itu

dilakukan” 16 . Dalam proses pembuatan kebijakan, pemerintah dihadapkan dengan

berbagai pilihan kebijakan dimana masing-masing pilihan kebijakan tersebut

memiliki konsekuensi. Negara sebagai aktor rasional akan memilih alternatif

kebijakan yang memiliki konsekuensi paling tinggi (menguntungkan) dalam

memenuhi tujuan yang ingin dicapai (goals and objectives)17.

Setiap negara menggunakan kebijakan luar negeri sebagai instrumen untuk

mencapai kepentingan nasional. Untuk mencapai hal tersebut, negara sebagai aktor

yang rasional berusaha untuk memilih tiap pilihan alternatif untuk memaksimalkan
                                                            
15
 Rosenau, J.N. 1976. World Politics; an introduction. New York: The Free Press. hal 2. 
16
 Robert Dahl and Charles Lindblom, Politics, Economic and Welfare (Harper 1953) hal.38. dalam 
Mochtar Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, LP3ES. Jakarta. 1994. Hal 
274. 
17
 Allison, Graham T. Essence of Decision : Explaning the Cuban Misile Crisis. Boston: Little, Brown and 
Company.  1971. Hal. 33 

30 
 
benefit dan meminimalkan cost yang diterima. Untuk menganalisa cost dan benefit

yang diterima oleh negara, maka pada penelitian ini akan menggunakan teori pilihan

rasional (rational choice). Rational choice theory atau teori pilihan rasional dalam

ilmu Hubungan Internasional terbentuk di awal 1960-an. Teori pilihan rasional

diartikan sebagai instrumen mengenai maksud-tujuan atau pilihan dari tujuan-terarah

suatu aktor18.

Menurut Graham T Allison proses pembuatan kebijakan luar negeri dilakukan

oleh aktor yang mana masing-masing berperan sebagai pemain. Hubungan antar aktor

secara umum digambarkan dalam proses tarik ulur satu sama lain (pulling and

hauling). Kebijakan luar negeri dipahami sebagai political outcomes 19 . Menurut

Allison outcomes bukanlah penyelesaian yang dipilih oleh para aktor tetapi

merupakan hasil dari kompromi, koalisi dan kompetisi antar aktor. Kemampuan dan

keahlian dari para aktor itulah yang menentukan hasil akhir dari proses pengambilan

keputusan20.

Senada dengan Allison Richard, Synder juga menyatakan bahwa pembuatan

kebijakan politik luar negeri tidak dapat dilepaskan dari peran manusia sebagai

pengambil keputusan. Pengambilan keputusan (decision making) diuraikan sebagai

proses yang menyangkut pemilihan dari sejumlah masalah yang terbentuk secara

                                                            
18
 Jackson, Robert & Geor Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka 
Belajar. 2009. Hal 297. 
19
 Allison, Graham T. Essence of Decision : Explaning the Cuban Misile Crisis. Boston: Little, Brown and 
Company.  1971. hal.37 
20
 Ibid. hal.38 

31 
 
rasional dan pemilihan sasaran-sasaran alternatif yang ingin diterapkan dalam urusan

negara yang dipikirkan oleh para pembuat keputusan21.

Keamanan nasional dan kepentingan nasional merupakan prinsip utama dan

tujuan strategis dalam menyusun kebijakan luar negeri22. Untuk memutuskan pilihan

apa yang akan diambil oleh aktor, teori pilihan rasional berupaya untuk memberikan

penjelasan mengenai pilihan optimal bagi para pembuat keputusan. Teori pilihan

rasional merupakan teori yang digunakan untuk menjawab mengenai apakah

keputusan yang diambil terbaik dan dapat dikatakan berhasil untuk mencapai

kepentingan dari aktor di lingkungan internasional. Penjelasan lebih rinci mengenai

teori pilihan rasional dinyatakan oleh Stephen M. Waltz dalam jurnalnya 23 . Ia

menyatakan bahwa:

“1. Rational choice theory is individualistic: social and political outcomes are
viewed as the collective product of individual choices (or as the product of choices
made by unitary actors).
2. Rational choice theory assumes that each actor seeks to maximize its
“subjective expected utility.” Given a particular set of preferences and a fixed array
of possible choices, actors will select the outcome that brings the greatest expected
benefits.
3. The specification of actors’ preferences is subject to certain constraints: (a)
an actor’s preferences must be complete (meaning we can rank order their

                                                            
21
 Snyder, Richard C., H.W Bruck, and Burton Sapin, . Foreign Policy Decision‐ 
Making: An Approach to the Study of International Politics. Glencoe: Free 
Press, 1962. Hal 60. 
22
 Allison, Graham T. Essence of Decision : Explaning the Cuban Misile Crisis. Boston: Little, Brown and 
Company.  1971. Hal 33 
23
 “Rigor or Rigor Mortis? Rational Choice and Security Studies,” MIT Press Journals, Spring diakses 
pada 20 maret 2014 

32 
 
preference for different outcomes); and (b) preferences must be transitive (if A is
preferred to B and B to C, then A is preferred to C).”24
Pada penjelasan di atas terdapat tiga poin yang dijelaskan oleh Waltz

mengenai teori pilihan rasional. Pertama, teori pilihan rasional bersifat individu yaitu

hasil-hasil sosial dan politik dipandang sebagai produk kolektif atas pilihan individu

(atau sebagai produk dari pilihan yang dibuat oleh aktor kesatuan). Waltz

menambahkan mengenai aktor kesatuan (negara) pada aktor teori pilihan rasional,

yang sebelumnya dijelaskan oleh Latsis yaitu individu. Kedua, Waltz mengasumsikan

bahwa aktor berusaha memaksimalkan kepentingannya, hal tersebut dilakukan oleh

aktor dengan mengambil suatu pilihan yang akan membawa hasil maksimal terhadap

pencapaian kepentingannya.

Ketiga, teori pilihan rasional memfokuskan preferensi dari aktor terhadap

kendala tertentu, contohnya aktor memiliki beberapa pilihan. Waltz pada intinya

menyatakan bahwa teori pilihan rasional merupakan alat untuk membuat kesimpulan

logis tentang bagaimana manusia (atau negara) membuat keputusan. Dari penjelasan

mengenai teori pilihan rasional dapat disimpulkan bahwa teori pilihan rasional

merupakan instrumen mengenai maksud dan tujuan atau pilihan terarah dari negara

untuk mencapai kepentingannya di lingkungan internasional. Teori pilihan rasional

digunakan pada penelitian ini untuk menganalisa apa maksud dan tujuan dari negara,

dan untuk menganalisa cost dan benefit dari pilihan yang dilakukan negara untuk

mencapai kepentingannya.
                                                            
24
 http://mitpress.mit.edu/journals diakses pada 10 maret 2014 

33 
 
Konsep rational choice berasumsi rasionalitas yaitu bahwa suatu pilihan

diambil atas dasar perhitungan atau kalkulasi untung dan rugi (cost and benefit

calculation) bukan pada pertimbangan moralitas baik buruk yaitu bagaimana seorang

aktor memutuskan sebuah kebijakan dengan memperhitungkan secara rasional.

Ketika menjalankan sebuah kebijakan yang berdasarkan dengan konsep Rational

Choice ada beberapa hal yang saling berkaitan satu dan lainnya. Tidak dapat

melupakan aktor yang terkait yang menjalankannya yaitu unitary actor. Dikatakan

bahwa negara sebagai aktor rasional seperti dalam pendekatan realisme klasik yang

memandang kekuasaan (hegemony), kekuatan (power) dan kedaulatan (sovereignty)

sebagai satu kesatuan.

Power didefinisikan sebagai kemampuan total dari suatu negara yang meliputi

kekayaan alam, kekayaan sintetis (buatan) hingga kemampuan sosio-psikologi. Pada

dasarnya setiap manusia (negara) ingin mendapatkan power, mempertahankan, dan

memperluas kekuasaan jika hal ini berbenturan dengan yang lain maka akan

menimbulkan “struggle for power“. Perhatian utama realisme politik ialah pada

negara. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan

nasionalnya (national interest).

“within the realist paradigm, the purpose of statecraft is national survival in


a hostile environment. To this end, no means are more important than the
acquisition of power and no principle is more important than self-help. In this
conception, state-sovereignty, a cornerstone of international law, gives heads
of state the freedom and responsibility to do whatever is necessary to advance
the state’s interest and survival” (Kegley 2008,33).

34 
 
Dalam konsep Decision Maker dipahami bahwa para pelaku pengambilan

kebijakan memiliki kekuasaan penuh dan rasional (Powerfull and Rational) karena

pada rasionalitas yang paling penting adalah prosesnya dan tidak memperdulikan

hasilnya yang mana tidak menilai sebuah keputusan dari tingkat moralitas atau

baik/buruk. Maka benar dengan pemahaman kaum realist yang memandang bahwa

jarak antara satu perang ke perang yang lain adalah damai dan kaum realist

memandang bahwa realisme tentang damai adalah menunda atau menahan sebuah

perang. Menurut kaum realist konflik antara negara itu adalah sesuatu yang tidak

dapat dihindari (conflictual) baik yang muncul karena konflik dari dalam maupun

serangan dan ancaman yang datang dari luar. Pada akhirnya dapat dikemukaan bahwa

dalam Role Theory posisi dan proses lah yang terpenting dan bukan karakteristik

pelaku (actor).

Dengan demikian maka keputusan dan kebijakan yang diambil oleh unitary

actor dalam konsep Rational Choice dapat menjadi salah satu pendekatan analisa

yang mampu mengukur keberhasilan yang dicapai dan kegagalan dari perspektif

Amerika dan dampak yang didapat oleh dunia internasional dengan diberlakukannya

kebijakan “War on Terrorism”.

Menganalisa foreign policy sebagai bentuk proses rasionalitas atau disebut

foreign policy making as rational process menurut Allison bahwa Rational decision-

making model terbentuk dari aktor kesatuan (unitary actor) yang menjalankan peran

sebagai rasional aktor dalam pengambilan sebuah keputusan. Kebijakan luar negeri

35 
 
tersebut menjadi sebuah langkah dalam menangani konflik maupun permasalahan

yang dihadapi negara. Seperti dikatakan dalam kaitannya mengenai Rational

Decision-Making Model adalah bahwasanya sebagai “foreign policy as results from

an intellectual process where the actors choose what is the best for the country and

select”. Maka dalam rasionalitas pengambilan kebijakan sebagai tujuan menjalankan

kebijakan yang terbaik bagi negara.

36 
 
G. METODE PENELITIAN

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini penulis menekankan pada

studi pustaka (review) baik berupa buku, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen,

internet serta sumber-sumber lain. Apabila data-data yang diperlukan sudah

terkumpul maka dianalisis dan diinterpretasikan.

2 Metode Pengolahan Data

Metode penelitian yang akan dipakai dalam mengolah data adalah metode

kualitatif dengan jenis diskriptif analitis, yaitu dengan cara mengumpulkan fakta-

fakta yang terkait dan dapat menunjang proses menganalisis serta menginpretasikan

sesuai dengan fakta-fakta yang sudah berhasil dikumpulkan.

37 
 
H. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I membicarakan pengantar, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

masalah, kerangka teori, pendekatan penelitian, metode penelitian yang terdiri dari

metode pengumpulan data dan metode pengolahan data, tujuan dan manfaat

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II membicarakan tentang latar belakang dimunculkannya kebijakan “War on

Terror” dan faktor-faktor yang menjadi pendorong dikeluarkan kebijakan tersebut.

Bab III membicarakan tentang implementasi kebijakan “War on Terror”yaitu

langkah-langkah apa saja kah yang dilakukan dalam mewujudkan kebijakan tersebut.

Bab IV membahas tentang keberhasilan dan kegagalan dari kebijakan “War on Terror

mengapa kebijakan tersebut dapat dikatakan berhasil dan tidak berhasil selama masa

pemerintahan Presiden Bush. Apa sajakah faktor penentu dari keberhasilan dan

kegagalan kebijakan perang terhadap terorisme yang di terapkan oleh Amerika

Serikat.

Bab V merupakan kesimpulan dari hasil penelitian ini dan juga bagaimana feedback

yang di dapat oleh Indonesia dari penerapan kebijakan contra terorisme yang

diterapkan oleh Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir.

38 
 

You might also like