You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Chronic kidney disease (CKD) merupakan kegagalan dalam fungsi ginjal

untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan elektrolit akibat

kerusakan struktur ginjal yang progresif. Chronic kidney disease dapat disebabkan

karena produk akhir metabolisme dalam darah yang tidak dapat di keluarkan

sehingga mengakibatkan uremia (Muttaqin, 2011).

Chronic kidney disease adalah masalah kesehatan pada masyarakat global

dengan prevalensi dan insiden yang meningkat. Insiden pada pasien gagal ginjal

yang menjalani hemodialisa rutin meningkat di dunia dan di Indonesia. Insiden

yang terjadi di Bolivia mencapai 254 per sejuta penduduk di Puerto Rico.

Amerika Serikat, mengalami jumlah kasus baru yang meningkat dua kali lipat

dalam kurun waktu 10 tahun, dari 100 kasus per 1 juta penduduk pada tahun 1980

dan menjadi 181 kasus per 1 juta penduduk pada tahun 1990 (Widiana dkk, 2017).

Pada tahun 2000 kasus gagal ginjal naik menjadi 372 ribu kasus.

Kasus ini meningkat sebanyak 8% setiap tahunnya, 6-20 juta orang

penduduk Negara Amerika Serikat diperkirakan mengalami chronic kidney

disease fase awal. Negara Jepang dan Asia tercatat sebagai negara yang memiliki

populasi End Stage Renal Disease (ESRD) tertinggi sebanyak 1.800 kasus per juta

penduduk, serta 220 kasus baru per tahun. Besarnya populasi ESRD menunjukkan

adanya peningkatan kasus ESRD sebanyak 4,7% dari tahun ke tahun (Dharma,

2015). Data Indonesian Renal Regristry (IRR) dari 249 renal unit yang
melaporkan, bahwa tercatat 30.554 pasien aktif menjalani hemodialisa pada tahun

2015 (Kementerian RI, 2017).

Menurut Global Burden of Disease tahun 2010, chronic kidney disease

merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan

meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2017).

Pravalensi chronic kidney disease berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia

sebesar 0,2% (Riskesdas, 2013). Data World Health Organizations (WHO) pada

tahun 2014 menyebutkan kematian akibat chronic kidney disease di Indonesia

mencapai 2,93% populasi atau sekitar 41.000 orang (Amiranti, 2015). Provinsi

Bali chronic kidney disease terjadi sebanyak 0,2% (Riskesdas 2013). Chronic

kidney disease biasanya disebabkan karena penurunan fungsi ginjal secara drastis

yang berasal dari nefron. Penurunan fungsi ginjal rata-rata 50%, biasanya muncul

tanda dan gejala azotemia sedang, poliuri, nokturia, hipertensi dan anemia

(Prabowo & Pranata, 2014). Pada fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk

dilakukan pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaannya adalah untuk

mengoptimalkan fungsi ginjal.

Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal dapat dilakukan dengan berbagai

cara seperti diet tinggi kalori dan protein, mengontrol hipertensi, optimalisasi dan

pertahankan keseimbangan cairan dan garam, mengontrol ketidak seimbangan

elektrolit, dan mempersiapkan dialisis dan program transplantasi (Margareth TH,

2012). Salah satu terapi pengganti pada pasien chronic kidney disease agar dapat

mempertahankan hidup adalah hemodialisa (HD), dimana hemodialisa merupakan

tindakan atau usaha untuk membersihkan darah dari bahan beracun yang tidak
dapat dikeluarkan oleh ginjal dari dalam tubuh (Suwitra, 2010). Tujuan dari

hemodialisa yaitu memperbaiki komposisi cairan dalam tubuh sehingga dapat

mencapai keseimbangan cairan yang diharapkan untuk mencegah terjadinya

kekurangan atau kelebihan cairan yang dapat mengakibatkan efek signitifikan

terhadap komplikasi kardiovaskuler dalam jangka panjang (Instanti, 2009). Pada

pasien yang menderita penyakit gagal ginjal yang menjalani hemodialisa baik itu

dirawat dirumah sakit atau unit hemodialisa mereka termasuk pasien rawat jalan.

Pasien yang mengalami chronic kidney disease membutuhkan waktu 3-5 jam

dalam menjalani hemodialisa (Suwitra, 2010). Pada pasien chronic kidney disease

keseimbangan cairan dalam tubuh akan terganggu, sehingga intervensi yang dapat

dilakukan adalah pemberian edukasi dalam pembatasan asupan cairan. Jika pasien

tidak melakukan pembatasan asupan cairan, maka akan mengakibatkan

penumpukan cairan pada tubuh.

Pada pasien hemodialisa dianjurkan untuk membatasi cairan dalam sehari

(Marantika & Devi, 2014). Jumlah asupan cairan yang harus dibatasi sesuai

dengan jumlah urin yang ada dan ditambah dengan insensible water loss, yaitu

sekitar 200-250 cc/hari. Kepatuhan terhadap pembatasan cairan merupakan faktor

yang sangat penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan

pasien dengan hemodialisa. Diantara semua manajemen, hal harus dipatuhi dalam

terapi hemodialisa yaitu dalam pembatasan cairan yang sangat sulit untuk

dilakukan dan membuat pasien stres serta depresi, terutama jika mereka

mengkonsumsi obat-obatan yang membuat membran mukosa kering seperti

diuretik, sehingga menyebabkan rasa haus dan pasien berusaha untuk minum
(Praticia &Potter, 2005). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan

pembatasan cairan salah satunya adalah pemberian pendidikan kesehatan

(Notoatmodjo, 2012).

Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha

untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau

individu sehingga sasaran memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih

baik dan berpengaruh terhadap perilakunya sehingga seseorang mau melakukan

tindakan untuk memelihara, dan meningkatkan taraf kesehatannya. (Notoatmojo,

2010). Hasil yang diharapkan dari suatu pemberian pendidikan kesehatan adalah

adanya perubahan perilaku kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan oleh seseorang melalui pemberian promosi kesehatan (Notoadmojo,

2012).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Wangaya Denpasar

bahwa pada tahun 2015 jumlah pasien GGK sebanyak 73 orang, pada tahun 2016

sebanyak 78 orang dan pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 81

orang. Studi pendahuluan yang dilakukan dari 20 pasien yang menjalani

hemodialisa terdapat 10 orang (50%) mengalami peningkatan berat badan ≥ 2kg.

Dari fenomena tersebut, bahwa pada pasien chronic kidney disease yang

menjalani hemodialisa kurang dapat mengontrol kepatuhan pembatasan cairan,

maka dari itu peneliti tertarik melakukan penelitian pengaruh edukasi terhadap

berat badan pra dialysis pada pasien chronic kidney disease yang menjalani

hemodialisa di RSUD Wangaya Denpasar.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan urian diatas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian yaitu

“Apakah ada pengaruh edukasi terhadap kenaikan berat badan pra dialysis pada pasien

chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa di RSUD Wangaya Denpasar?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh edukasi terhadap kenaikan berat badan

pra dialysis pada pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa di RSUD

Wangaya Denpasar.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi edukasi pembatasan cairan pada pasien chronic kidney disease

yang menjalani hemodialisa di RSUD Wangaya Denpasar

2. Mengidentifikasi kenaikan berat badan pra dialysis pada pasien chronic kidney

disease yang menjalani hemodialisa di RSUD Wangaya Denpasar

3. Menganalisis pengaruh edukasi terhadap kenaikan berat badan pra dialysis pada

pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa di RSUD Wangaya

Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan

tambahan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan medikal bedah khususnya

mengenai pengaruh edukasi terhadap berat badan pra dialysis pada pasien chronic kidney
disease yang menjalani hemodialisa sehingga dapat dijadikan pedoman dalam upaya

peningkatan profesional keperawatan dan meningkatkan mutu pelayanan.

1.4.2 Manfaat praktis

1.4.2.1 Bagi rumah sakit

Penelitian ini diharapkan bagi perawat dapat digunakan sebagai masukan

untuk meningkatkan komunikasi pada pasien yang menjalani hemodialisa agar

pasien dapat memahami apa yang sudah disampaikan dan dapat dimengerti oleh

pasien.

1.4.2.2 Bagi perawat

Diharapkan perawat dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan

asuhan keperawatan medikal bedah bagi pasien chronic kidney disease dalam

pelayanan kesehatan baik dalam rawat jalan, rawat inap, maupun dalam

keperawatan keluarga dan masyarakat yang berfokus pada pencegahan,

mengetahui tanda gejala dan meningkatkan kepatuhan pembatasan cairan pada

pasien yang menjalani hemodialisa.

1.4.2.3 Bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian yang telah dilakukan agar dapat digunakan sebagai bahan

wacana sumber pustaka bagi mahasiwa/mahasiswi kesehatan.

1.4.2.4 Bagi peneliti lain

Untuk menambah keilmuan bidang kesehatan dan sebagai bahan informasi

yang dapat dijadikan refrensi untuk penelitian selanjutnya.


1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan telaah literatur, penelitian yang berkaitan dengan judul

penelitian ini adalah :

1. Wantonoro (2015), penelitian yang berjudul “Hubungan Lama Menjalani

Hemodialisis dengan Kepatuhan Pembatasan Asupan Cairan pada Pasien

Gagal Ginjal Kronis di RS PKU Muhammadiyah Unit II Yogyakarta”.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif korelasi dengan

pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian sebanyak 116 pasien

hemodialisis dengan teknik pengambilan sampel secara quota sampling yaitu

sebesar 54 pasien hemodialisis. Analisa data yang digunakan yaitu Kendall

Tau dengan hasil penelitian didapatkan nilai p=0,019 dengan nilai

signitifikasi p<0,05 artinya terdapat hubungan antara lama menjalani

hemodialisis dengan kepatuhan pembatasan asupan cairan pada pasien

chronic kidney disease di RS PKU Muhammdiyah Unit II Yogyakarta.

Perbedaan dari penelitian yang akan dilakukan sekarang adalah variabel

bebas yaitu dukungan keluarga, teknik sampling yang digunakan consecutive

sampling dan tempat penelitian.

2. Sumigar (2014), penelitian yang berjudul “Hubungan Dukungan Keluarga

dengan Kepatuhan Diet pada Pasien Chronic kidney disease di IRINA C2 dan

C4 RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado”. Penelitian ini menggunakan

metode analitik dengan menggunakan pendekatancross sectional. Populasi

dalam penelitian ini sebanyak 52 pasien chronic kidney disease dan

pengambilan data menggunakan cara purposive sampling. Analisa data yang


digunakan adalah uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwaada

hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet pada pasien chronic

kidney disease di Irina C2 dan C4 RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado

dengan nilai p = 0,001 yang berarti nilai p lebih kecil dari α =0,05. Perbedaan

dari penelitian ini adalah tempat penelitian yang akan dilakukan, teknik

sampling yang akan dipakai yaitu consecutive sampling dan variabel terikat

adalah kepatuhan pembatasan cairan pada pasien chronic kidney disease yang

menjalani hemodialisa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Chronic Kidney Disease

2.1.1 Definisi chronic kidney disease

Chronic kidney disease (CKD) merupakan kegagalan dalam fungsi ginjal

untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan elektrolit akibat

kerusakan struktur ginjal yang progresif. Chronic kidney disease dapat disebabkan

karena produk akhir metabolisme dalam darah yang tidak dapat di keluarkan

sehingga mengakibatkan uremia (Muttaqin, 2011). Gagal ginjal terminal (GGT)

merupakan stadium terberat dari penyakit kronik yang irreversible, dimana

penderita harus menjalani terapi pengganti ginjal untuk dapat mempertahankan

hidup (Nurjanah, 2012).

2.1.2 Etiologi chronic kidney disease

Menurut Prabowo dan Pranata (2014), chronic kidney disease (CKD)

menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya, sehingga merupakan penyakit

sekunder (secondary illness). Penyebab yang sering terjadi adalah diabetes

mellitus dan hipertensi. Adapun beberapa penyebab lainnya yaitu Penyakit

glomerular kronis (glomerulonefritis), infeksi kronis (pyelonefritis kronis),

kelainan kongenital (polikistik ginjal), penyakit vaskuler (renal nephorosclerosis),

obstruksi saluran kemih (nephrolithisis).


2.1.3 Tanda dan gejala chronic kidney disease

Laju filtrasi glomerulus (LFG) merupakan gambaran kondisi fungsi ginjal

dan merupakan salah satu kriteria diagnosis chronic kidney disease. Chronic

kidney disease merupakan abnormalitas struktur atau fungsi ginjal selama >3

bulan dengan kriteria LFG <60 mL/ menit/1,73 m2 dengan atau tanpa kerusakan

ginjal, ditemukannya satu atau lebih gejala seperti albuminuria, sedimen urin yang

abnormal, kelainan elektrolit yang berhubungan dengan kelainan tubulus, kelainan

histologi, kelainan yang dideteksi dengan imaging dan riwayat transplantasi

ginjal.

Tanda gejala yang akan sering terjadi pada pasien chronic kidney disease

yaitu kulit terasa gatal, mengalami kram otot, kehilangan nafsu makan, berat

badan menurun, lebih sering BAK (buang air kecil) terutama pada malam hari,

mengalami kejang pada otot, mengalami disfungsi ereksi pada pria, nyeri pada

dada akibat cairan menumpuk di sekitar jantung, mengalami gangguan tidur atau

susah tidur, penumpukan cairan yang mengakibatkan pembengkakan pada

pergelangan kaki dan tangan, mengalami gangguan pernafasan/sesak nafas, dan

terdapat darah atau protein dalam urine saat melakukan test urine (Ariani, 2016)

2.1.4 Stadium chronic kidney disease

Table 2.1
Stadium chronic kidney disease
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73 𝒎𝟐
1 Fungsi ginjal normal,tetapi temuan urin, ≥90
abnormalitas strukturatauciri genetik menunjukkan
adanya penyakit ginjal.
2 Penurunan ringan fungsi ginjal, dan temuan lain 60-89
(seperti pada stadium 1) menunjukkan adanya
penyakit ginjal.
3a Penurunan ringan fungsi ginjal 45-59
3b Penurunan sedang fungsi ginjal 30-44
4 Penurunan fungsi ginjal berat 15-29
5 Chronic kidney disease <15

2.1.5 Patofisiologi chronic kidney disease

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya

di ekskresikan oleh urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan

mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah

maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala urea membaik setelah

hemodialisa. Penurunan laju filtrasi glomerulus dapat di deteksi dengan

mendapatkan urin 24jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi

glomerulus akibat tidak berfungsinya glomerulus, klirens kreatinin akan menurun

dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Kadar nitrogen urea darah dan blood

urea nitrogen (BUN) biasanya meningkat.

Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal

karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya

dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,

katabolisme dan medikasi seperti steroid. Selama CKD, beberapa nefron termasuk

glomerulus dan tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak

dan tidak berfungsi lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami

hipertrofi dan menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorpsi tubula juga

meningkat walaupun laju filtrasi glomerulus berkurang. Kompensasi nefron yang


masih utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga

perempat nefron rusak (Baradero, 2009).

2.1.6 Penatalaksanaan chronic kidney disease

Adapun beberapa penatalaksanaan dalam penanganan chronic kidney

disease adalah manajemen diet, dialisis dan transplantasi ginjal (Henny, 2013).

2.1.6.1 Manajemen diet

Pada pasien chronic kidney disease manajemen diet diberikan sejak tahap

awal sampai tahap akhir, dimana tujuan dari manajemen diet ini adalah untuk

membantu dan mempertahankan status gizi secara optimal, mencegah faktor-

faktor pemberat, memperlambat penurunan fungsi ginjal, mengurangi atau jika

mungkin dapat menghilangkan gejala yang mengganggu dan mengatur

keseimbangan cairan dan elektrolit. Jadi, jika pasien gagal ginjal menjalani

manajemen diet yang baik maka penderita akan dapat hidup normal, produktif,

dan menunda melakukan hemodialisa.

2.1.6.2 Dialisis

Dialisis dapat juga dikatakan sebagai cuci darah yang merupakan tindakan

yang harus dilakukan bagi penderita gagal ginjal akut dan kronis. Tindakan ini

dikatakan sebagai terapi pengganti karena berfungsi untuk menggantikan fungsi

dari sebagian fungsi ginjal yaitu ekskresi. Eksresi adalah zat yang berbahaya yang

dibuang oleh tubuh dari hasil metabolisme. Saat ini hemodialisa hanya

mengeluarkan 48% sampai 52% dari toksin uremik, sehingga penderita harus
diberikan pembatasan makanan, minuman yang ketat dan intervensi obat-obatan

agar mengatur aspek-aspek kegagalan fungsi ginjal yang lain.

1. Continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)

Peritoneal dialisis merupakan suatu metode dialisis yang dilakukan

melalui rongga peritonium sebagai kantong tempat cairan dialisis dan

memanfaatkan membran peritonium sebagai filter yang semipermiabel untuk

mengeluarkan sisa metabolisme dan cairan dari darah (Widiana, dkk 2017).

2.2 Hemodialisa

2.2.1 Definisi

Menurut Suwitra (2010) kata hemodialisa berasal dari bahasa Yunani,

dimana kata hemo berarti darah dan dialisa berarti memisahkan atau

membersihkan. Jadi hemodialisa merupakan tindakan atau usaha untuk

membersihkan darah dari bahan beracun yang tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal

dari dalam tubuh. Hemodialisa merupakan alat yang terdiri dari dua kompartemen

yaitu darah dan dialisat, dimana alat tersebut dapat menjadi terapi untuk

mengalirkan darah. Dialisat merupakan cairan yang dapat membantu untuk

mengeluarkan sampah uremik seperti ureum dan kreatinin, kelebihan elektrolit

seperti kalium dan sodium dari dalam darah pasien. Selain itu dialisat juga dapat

menggantikan substansi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti kalsium dan

bikarbonat yang dapat membantu menjaga keseimbangan pH tubuh

(Cahyaningsih, 2011).
a. Pelaksanaan hemodialisa

Sebelum memulai hemodialisa, pasien harus menimbang berat badan

untuk mengetahui berat badan prehemodialisa. Setelah itu pasien dipersilakan

berbaring di tempat tidur untuk mulai dilakukannya hemodialisa. Pada beberapa

tempat hemodialisa dapat dilakukan dalam keadaan duduk.Saat pasien sudah

memakai hubungan arteri-vena, perawat akan melakukan penusukan pada jalan

masuk vaskuler. Terdapat dua tusukan yaitu satu untuk mengeluarkan darah dari

pembuluh darah arteri ke mesin dan yang satu lagi untuk memasukkan darah dari

mesin ke dalam pembuluh darah balik.

Kemudian perawat akan memasang perangkat hemodialisa, mengatur

kecepatan aliran darah dan mengatur dosis obat anti pembeku darah. Waktu yang

diperlukan dalam satu sesi dalam hemodialisa adalah 3-5 jam, kemudian frekuensi

hemodialisa yang ideal adalah sebanyak 3x seminggu, tetapi frekuensi di

Indonesia pada umumnya hanya 2x seminggu. Selama proses hemodialisa

berlangsung, pasien diperbolehkan untuk makan, minum, menonton TV,

membaca, dan lain sebagainya. Idealnya, makanan dan minuman yang dikonsumsi

oleh pasien harus ditimbang terlebih dahulu, kemudian pada akhir sesi

hemodialisa diperhitungkan dengan pengurangan berat badan yang terjadi. Selama

itu, perawat harus secara teratur akan mengontrol mesin, mengukur tekanan darah

pasien dan mengawasi setiap hal yang terjadi.

Setelah proses hemodialisa selesai, perawat akan mencabut jarum-jarum

dari pintu masuk vaskuker atau membuka kanul kateter subklavia. Lubang tempat

tusukan akan ditekan sebentar kemudian ditutup dengan plester selama ± 24 jam,
untuk mencegah terjadinya perdarahan. Selanjutnya pasien diminta untuk

menimbang berat badan pasca hemodialisa dan perawat akan menghitung, apakah

ada penurunan berat badan sesuai dengan yang direncanakan. Jumlah

pengurangan berat badan adalah jumlah air yang dikeluarkan dari tubuh pasien

selama proses hemodialisa (Suwitra, 2010).

b. Indikasi hemodialisa

Indikasi dilakukannya hemodialisa pada pasien chronic kidney disease

adalah LFG <15 ml/menit. Keadaan klinis pasien yang memiliki LFG <15

ml/menit tidak selalu sama, sehingga hemodialisa dianggap perlu dilaksanakan

jika ditemukan salah satu hal yaitu keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata,

hiperkalemia, kreatinin tinggi, asidosis berat, kelebihan cairan (Cahyaningsih,

2011).

c. Kontraindikasi hemodialisa

Menurut Suwitra (2010) mengatakan kontraindikasi untuk dilakukannya

hemodialisa adalah pada pasien yang terlalu lemah atau dengan sakit stadium

terminal, tekanan darah pasien rendah, pasien dengan pembekuan darah, pada

pasien yang mengalami gangguan jiwa dan pada pasien yang menolak melakukan

hemodialisa.

d. Komplikasi

Komplikasi terapi hemodialisa mencakup beberapa hal seperti hipotensi,

emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan hemodialisa, dan pruritus.

Hipotensi terjadi selama terapi hemodialisa ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya

hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya hemodialisa


natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat

cairan. Emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak

& Gallo, 2010). Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan

dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan

keseimbangan hemodialisa terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul

sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika

terdapat gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi hemodialisa

ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smeltzer dan Bare, 2008).

2.2.2.1 Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan upaya akhir dalam penanganan gagal

ginjal, karena hal ini dilakukan ketika fungsi ginjal sedikit atau tidak ada

fungsinya lagi. Prinsipnya adalah dengan cara mengganti ginjal yang sudah rusak

dengan ginjal sehat yang sudah di donorkan lewat prosedur operasi. Transplantasi

ginjal membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang panjang karena harus

melakukan uji laboratorium untuk mengetahui ginjal yang di donorkan cocok

untuk penderita dan perawatan pasca operasi.

2.3 Pendidikan Kesehatan


2.3.1 Pengertian

Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha


untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau
individu sehingga sasaran memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih
baik dan berpengaruh terhadap perilakunya sehingga seseorang mau melakukan
tindakan untuk memelihara, dan meningkatkan taraf kesehatannya. (Notoatmojo,
2010). Hasil yang diharapkan dari suatu pemberian pendidikan kesehatan adalah
adanya perubahan perilaku kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan oleh seseorang melalui pemberian promosi kesehatan (Notoadmojo,
2012). Menurut Nursalam (2008) pendidikan kesehatan adalah suatu pelayanan
yang dilakukan oleh perawat yang profesional dalam memberikan sebuah
pelayanan untuk pencegahan penyakit atau upaya preventif yang dapat dilakukan
di tatanan klinis ataupun non klinis.

Dengan demikian dapat disimpulakn pendidikan kesehatan adalah suatu


cara untuk menyampaikan informasi mengenai masalah kesehatan yang bertujuan
untuk meningkatkan derajat kesehatannya yang dilakukan oleh seseorang yang
profesional.

2.3.2 Tujuan
Menurut (Mubarak dah Cahyati, 2009) tujuan utama pendidikan kesehatan
yaitu :
a. Menetapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri.
b. Memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya dengan
sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar.
c. Memutuskan kegiatan yang paling tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup
sehat dan kesejahteraan masyarakat
Pada dasarnya tujuan diberikannya pendidikan kesehatan kepada
seseorang meliputi 3 hal yaitu peningkatan derajat kesehatan masyarakat,
peningkatan perilaku masyarakat, peningkatan status kesehatan masyarakat
(Notoadmojo, 2005)
2.3.3 Media Pendidikan Kesehatan
Notoadmojo (2007) mengatakan alat bantu pendidikan yaitu alat-alat yang
digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran.
Media pendidikan dapat memiliki tiga fungsi utama yaitu dapat memotivasi minat
dan tindakan seseorang, menyajikan informasi, dan memberi instruksi (Kemp dan
Dayton dalam Arsyad, 2011). Selain itu Arsyad (2011) mengungkapkan bahwa
terdapat beberapa kriteria dalam pemilihan media pendidikan kesehatan yaitu
sesuai dengan tujuan utama yang ingin dicapai, mendukung isi pelajaran yang
sifatnya fakta, konsep, prinsip atau generalisasi, praktis, luwes, dan bertahan lama,
penggunaannya sesuai dengan kelompok sasaran.
Adapun pengelompokkan jenis-jenis media pendidikan kesehatan (Ashar,
2011)
a. Media Visual yaitu suatu media yang menggunakan indra penglihatan
misalnya media cetak seperti buku, jurnal, peta, gambar.
b. Media Audio yaitu suatu media yang menggunakan indra pendengaran
seperti tape recorder dan radio.
c. Media Audio Visual adalah suatu media yang menggabungkan audio dan
visual atau suatu media yang menggabungkan antara indra penglihatan dan
pendengaran dalam satu proses kegiatan (Rusman, 2012). Contoh dari
media audio visual yaitu program televisi/pendidikan, video/televisi
intruksional, dan program slide suara (sound slide).

Arsyad (2007) menyatakan bahwa dalam pengaplikasiannya, audiovisual


bertujuan untuk hiburan, dokumentasi, dan pendidikan. Adapun manfaat dan
karakteristik dari media audio visual dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi
proses penyampaian informasi kesehatan (Munadi, 2008; Smaldino, 2008) yaitu

1) Penyampaian informasi kesehatan tidak terbataskan jarak dan waktu


2) Pemberian tayangan audiovisual mampu menggambarkan peristiwa yang
sudah maupun yang akan dialami secara realistis dalam waktu yang
singkat
3) Dapat diulang-ulang bila perlu untuk menambah kejelasan akan informasi
yang dibutuhkan
4) Pesan yang disampaikan cepat dan mudah diingat
5) Memperjelas penjelasan yang tidak dapat dipahami secara lisan dan
memberikan penjelasan secara realistis
6) Mampu berperan sebagai media utama untuk mendokumentasikan realistis
kondisi kesehatan yang dialami, mampu berperan sebagai storyteller yang
dapat menumbuhkan imajinasi dalam penerimaan informasi dan
memotivasi dalan penerapan informasi yang diperoleh.
Menurut Cheppy Riyana (2007) video edukasi pembelajaran sebagai bahan
ajar bertujuan untuk:
1) Memperjelas dan mempermudah penyampaian pesan agar tidak terlalu
verbalistis
Penggunaan video pembelajaran akan memudahkan individu untuk
menangkap dan memahami materi karena materi yang disampaikan berupa
audio dan visual.
2) Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera peserta yang
diberikan maupun instruktur. Penggunaan video pembelajaran
memudahkan untuk menjelaskan materi karena tidak harus membawa
benda aslinya, menghemat waktu, dan individu tidak harus ke lokasi yang
jauh untuk mengetahui suatu informasi yang mereka inginkan. Cukup
dengan media video saja.
3) Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi
Video pembelajaran dapat digunakan secara bervariasi untuk menjelaskan
materi, sesuai dengan kreativitas.

Krakteristik media video pembelajaran menurut Menurut Cheppy Riyana

(2007) untuk menghasilkan video pembelajaran yang mampu meningkatkan

motivasi dan efektivitas penggunanya maka pengembangan video pembelajaran

harus memperhatikan karakteristik dan kriterianya.

2.4 Interdialytic Weight Gains (IDWG)


Pengendalian intake cairan merupakan salah satu masalah utama
bagi pasien dialisis, karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat
bertahan lebih lama tanpa intake cairan dibandingkan dengan makanan.
Namun bagi penderita penyakit ginjal kronik harus melakukan
pengendalian intake cairan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ginjal
sehat melakukan tugasnya untuk menyaring dan membuang limbah dan
racun ditubuh kita dalam bentuk urin. Apabila fungsi ginjal berhenti, maka
terapi dialisis yang menggantikan tugas dari ginjal tersebut, tetapi pasien
harus melakukan pengendalian intake cairan. Kebanyakan klien yang
menjalani terapi hemodialisis di Indonesia tiap 2 kali perminggu dan
palaksanaan terapi selama 4-5 jam. Itu artinya tubuh harus menanggung
kelebihan cairan diantara dua waktu dialisis. IDWG dapat menjadi
indikator intake cairan pasien selama periode interdialitik yang dapat
mempengaruhi status kesehatan pasien selama menjalani terapi
hemodialisis (Istanti, 2009).

2.4.1 Definisi Interdialytic Weight Gains (IDWG)


IDWG adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan
dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah
cairan yang masuk selama periode interdialitik (Arnold, 2007).

2.4.2 Klasifikasi Interdialytic Weight Gains (IDWG)


Menurut Neumann (2013) IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh
adalah tidak lebih dari 3% dari berat kering. Kozier (2004) dan Yetti
(1999) mengklasifikasikan penambahan berat badan menjadi 3 kelompok,
yaitu berat badan ringan, sedang, dan berat dengan kriteria sebagai berikut
:
Grafik Rentang Prosentase Kenaikan Rentang Kenaikan dalam
Penelitian
1.Ringan : 2% <4% <3,9%
2.Sedang : 5% 4-6% 4-6%
3.Berat : 8% >6% >6%
(Kozier, 2004) (Yetti, 1999)
2.4.3 Pengukuran IDWG
IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan
cairan. IDWG diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien
dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah
berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan
hemodialisis atau berat terendah yang aman dicapai pasien setelah
dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005).
Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah
hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan pasien
setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama (pengukuran I).
Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien ditimbang lagi sebelum
(pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara
pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan
100%. Misalnya BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD
ke 2 adalah 58 kg, prosentase IDWG (58 -54) : 58 x 100% = 6,8 % (Istanti,
2009).

2.4.4 Faktor-Faktor yang berpengaruh terhadap IDWG


Berbagai faktor yang mempengaruhi IDWG antara lain faktor dari
pasien itu sendiri (internal) dan faktor eksternal seperti faktor fisik dan
psikososial. Faktor-faktor yang berpengaruh pada kenaikan berat badan
interdialitik antara lain (Arnold, 2007) :
1. Intake Cairan
Prosentase air di dalam tubuh manusia 60%, dimana ginjal yang sehat
akan mengekskresi dan mereabsorpsi air untuk menyeimbangkan osmolalitas
darah. Sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis mengalami kerusakan dalam pembentukan urin sehingga dapat
menyebabkan kelebihan volume cairan dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008).
2. Rasa Haus
Pasien PGK meskipun dengan kondisi hipervolemia, sering mengalami
rasa haus yang berlebihan yang merupakan salah satu stimulus timbulnya
sensasi haus (Black & Hawks, 2005). Merespon rasa haus normalnya adalah
dengan minum, tetapi pasien-pasien PGK tidak diijinkan untuk berespon
dengan cara yang normal terhadap rasa haus yang mereka rasakan. Rasa haus
atau keinginan untuk minum disebabkan oleh berbagai faktor diantaraya
masukan sodium, kadar sodium yang tinggi, penurunan kadar potasium,
angiotensin II, peningkatan urea plasma, urea plasma yang mengalami
peningkatan, hipovolemia post dialisis dan faktor psikologis (Istanti, 2009).
3. Dukungan sosial dan keluarga
Tindakan hemodialisis pada pasien PGK dapat menimbulkan stress
bagi pasien. Dukungan keluarga dan sosial sangat dibutuhkan untuk pasien.
Dukungan keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan
berhubungan dengan kepatuhan pasien untuk menjalankan terapi (Sonnier,
2000).
4. Self Efficacy
Self Efficacy yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa
mengeluarkan energi positif melalui kognitif, motivasional, afektif dan proses
seleksi. Self Efficacy dapat mempengaruhi rasa percaya diri pasien dalam
menjalani terapinya (hemodialisis). Self Efficacy yang tinggi dibutuhkan untuk
memunculkan motivasi dari dalam diri agar dapat mematuhi terapi dan
pengendalian cairan dengan baik, sehingga dapat mencegah peningkatan
IDWG Bandura (2000) dalam (Istanti, 2009).
5. Stress
Stress dapat mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit
didalam tubuh. Stress meningkatkan kadar aldosteron dan glukokortikoid,
menyebabkan retensi natrium dan garam. Respon stress dapat meningkatkan
volume cairan akibatnya curah jantung, tekanan darah, dan perfusi jaringan
menurun. Cairan merupakan salah satu stressor utama yang dialami oleh
pasien yang menjalani hemodialisis (Potter & Perry, 2006).
Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit juga menimbulkan stress pada
pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan
pasien. Dampak psikologis pasien PGK yang menjalani HD dapat
dimanifestasikan dalam serangkaian perubahan perilaku antara lain menjadi
pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita. Pasien
merasa mengalami kehilangan kebebasan, harapan umur panjang dan fungsi
seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan yang akhirnya timbul suatu
keadaan depresi (Rustiana, 2012). Menurut Istanti (2009) stress pada pasien
HD dapat menyebabkan pasien berhenti memonitoring asupan cairan, bahkan
ada juga yang berhenti melakukan terapi hemodialisis, kejadian ini secara
langsung dapat berakibat pada IDWG.

2.4.5 Komplikasi IDWG


Peningkatan berat badan selama periode interdialitik mengakibatkan

berbagai macam komplikasi. Komplikasi ini sangat membahayakan pasien kerena

pada saat periode interdialitik pasien berada dirumah tanpa pengawasan dari

petugas kesehatan. Sebanyak 60%-80% pasien meninggal akibat kelebihan intake

cairan dan makanan pada periode interdialitik (Istanti, 2009). Sedangkan (Hudak

& Gallo, 1996) menyampaikan bahwa adanya kelebihan cairan yang melebihi

IDWG dapat dimanifestasikan : tekanan darah meningkat, nadi meningkat,

dispnea, rales basah, batuk, edema. IDWG yang berlebihan pada pasien dapat

menimbulkan masalah, diantaranya yaitu : hipertensi yang semakin berat,

gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal yang dapat meningkatkan

kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan hemodialisis, meningkatnya resiko

dilatasi, hipertropi ventrikuler dan gagal jantung (Smeltzer & Bare, 2002).

You might also like