You are on page 1of 39

Makalah akuntansi bank syariah

Tata kelola dalam bank syariah dan IFRS untuk bank syariah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Bank Syariah

Pada jurusan S-I Perbankan Syariah

Dosen pembimbing :
Sufitrayati, S.E., M.Si.

Oleh :
Emiliya Burkiah (160603170)

Julianda Fitri (160603162)

Wita Wahyuni (160603175)

Zuhriati Rahmah (160603181)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PERBANKAN SYARIAH(S1)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIR
DARUSSALAM BANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat
rahmat serta hidayah Nya akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul Tata
kelola dalam bank syariah dan IFRS untuk bank syariah dalam rangka untuk memenuhi tugas
mata kuliah Akuntansi Bank Syariah.

Dalam menyelesaikan karya makalah ini tidak terlepas dari banyak pihak. Saya
mengucapkan banyak terimakasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan mengingat keterbatasan kemampuan saya. Oleh sebab itu, saya sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sebagai
masukkan bagi saya.

Akhir kata saya berharap karya tulis ini dapat bermamfaat bagi pembaca pada
umumnya dan saya sebagai penulis khususnya. Atan segala perhatiannya saya ucapkan
terimakasih.

Banda Aceh, 8 April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULAN ............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................................3

2.1 model tata kelola berdasarkan pemangku kepentingan .......................................................3

2.2 peran dan tanggungjawab dewan syariah ............................................................................5

2.3 permasalahan dalama tata kelola syariah ............................................................................6

2.4 unit kajian syaria dan strktur lainnya ..................................................................................8

2.5 kemajuan dalam tat kelola syariah ....................................................................................10

2.6 pemegang akun investasi sebagai pemangku kepentingan ................................................12

2.7 lembaga keuangan sebagai pemangku kepentingan ..........................................................13

2.8 transparansi dan akuntabilitas, keterbatasan transparansi .................................................14

2.9 transparansi laporan keuangan ..........................................................................................17

2.10 pengaungkapan dan kekuarangan dalam praktik akuntansi ............................................19

2.10.1 Pengertian pengaungkapan dan kekuarangan dalam praktik akuntansi ................19

2.10.2 Tujuan pengungkapan laporan keuangan ..............................................................21

2.10.3 Kepada siapa informasi diungkapkan dan apa yang diungkapkan ........................22

2.10.4 Jenis-jenis atau sifat-sifat pengungkapan dalam laporan keuangan ......................22

2.10.5 Model-model pengungkapan .................................................................................24

2.10.6 Keluuasan dan kerincian pengungkapan ...............................................................29


2.11 IFRS untuk bank syariah .................................................................................................30

2.12 transparansi dan lembaga keuangan syariah ...................................................................31

BAB III PENUTUP ................................................................................. ..............................32

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................33


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

IFRS (International Financial Reporting Standards) menjawab tantangan bagaimana


pelaporan keuangan harus dilakukan. Arus besar dunia sekarang ini sedang menuju ke
dalam satu standar pelaporan. Satu per satu negara di dunia saat ini mulai mengadopsi IFRS.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi yang berwenang dalam membuat standar
akuntansi di Indonesia sejak 1994 telah melaksanakan program adaptasi dan harmonisasi
standar akuntansi internasional IFRS. Pengadopsian IFRS di Indonesia dimulai pada tahun
2008 dimana dilakukan adopsi seluruh IFRS terakhir ke dalam PSAK sampai tahun
2010. Pada tahun 2011 dilakukan persiapan infrastruktur pendukung untuk implementasi
PSAK yang sudah mengadopsi IFRS dan tahun 2012 pengadopsian penuh IFRS bagi
perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik (Purba, 2010).

IFRS (Internasional Financial Accounting Standard) adalah suatu upaya untuk


memperkuat arsitektur keuangan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap
kurangnya transparansi informasi keuangan. Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan
keuangan interim perusahaan mengandung informasi berkualitas tinggi yang menghasilkan
transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan,
menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS dan
dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna (Gamayuni,
2009).

Terdapat beberapa keuntungan dalam mengadopsi IFRS yaitu memudahkan


pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan
yang dikenal secara internasional (enhance comparability). Meningkatkan arus investasi
global melalui transparansi. Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund
raising melalui pasar modal secara global. Menciptakan efisiensi penyusunan laporan
keuangan (Wirahardja, 2010). Terdapat kelemahan dalam mengadopsi IFRS yang
diantaranya adalah Dewan Standar Akuntansi yang kekurangan sumber daya, IFRS berganti
terlalu cepat sehingga ketika proses adopsi suatu standar IFRS masih dilakukan, pihak IASB
sudah dalam proses mengganti IFRS tersebut. Kendala bahasa, karena setiap standar IFRS
harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Infrastuktur profesi akuntan yang belum
siap. Untuk mengadopsi IFRS banyak metode akuntansi yang baru yang harus dipelajari
lagi oleh para akuntan. Kesiapan perguruan tinggi dan akuntan pendidik untuk berganti
kiblat ke IFRS. Support pemerintah terhadap issue konvergensi (Hidayat, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana model tata kelola berdasarkan pemangku kepentingan ?
2. Apa peran dan tanggungjawab dewan syariah ?
3. Apa saja permasalhan dalama tata kelola syariah ?
4. Apa saja unit kajian syaria dan strktur lainnya ?
5. Bagaiman kemajuan dalam tat kelola syariah ?
6. Bagaimana pemegang akun investasi sebagai pemangku kepentingan ?
7. Bagaimana lembaga keuangan sebagai pemangku kepentingan?
8. Apa itu transparansi dan akuntabilitas, keterbatasan transparansi ?
9. Apa itu transparansi laporan keuangan ?
10. Bagaimana pengaungkapan dan kekuarangan dalam praktik akuntansi ?
11. Bagaimana IFRS untuk bank syariah ?
12. Bagaimana transparansi dan lembaga keuangan syariah ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Model tata kelola berdasarkan pemangku kepentingan

Beberapa pengertian tata kelola yang dikemukakan oleh para ahli dan lembaga yang
memiliki perhatian terhadap masalah tata kelola perusahaan

Maati, 1999 in Marc Labie, 2001

‘’Tata kelola perusahaan dapat didefinisikan sebagai seluruh rangkaian tindakan yang
diambil dalam entitas sosial yang merupakan perusahaan untuk mendukung agen ekonomi
untuk mengambil bagian dalam proses produktif, untuk menghasilkan beberapa surplus
organisasi, dan untuk mengatur distribusi yang adil antara mitra, dengan
mempertimbangkan apa yang telah mereka bawa ke organisasi’’(Maati, 1999, hal. xvii
dalam Marc Labie, 2001)

Monks dan Minow, 2004:1

‘’Tata kelola perusahaan dapat didefinisikan sebagai"hubungan antara berbagai peserta


dalam menentukan arah dan kinerja perusahaan”. Mariks (2003) yang mendefinisikan Good
corporate governance sebagai proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan
mengelola bisnis dan urusan–urusan perusahaan dalam rangka meningkatkan kemakmuran
bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama mewujudkan nilai–nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan para
konstituen (stakeholders).’’

Tata kelola perusahaan memiliki empat prinsip dasar yang harus dipenuhi sehingga
dapat berjalan dengan baik (OECD, 2004; Jesover & Kirkpatrick 2005:130), keempat prinsip
tersebut adalah: Tanggung jawab (responsible), Akuntabilitas (Accountability), Keadailan
(Fairness) dan Keterbukaan (Transparency).

1. Tanggungjawab(responsible) Tanggung jawab mengacu pada pengakuan hak semua


pemangku kepentingan seperti yang disediakan oleh hukum dan peningkatan kerja
sama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan utama untuk menciptakan
kekayaan dan perusahaan yang berkesinambungan (Sudarsono dkk,2006:3). Dalam
hal ini bahwa perusahaan harus dapat bekerja sama dengan semua pemangku
kepentingan yang ada dalam operasionalisasi perusahaan sehingga akan tercipta
sinergi yang baik antar perusahaan dan pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (Accountability) Prinsip mengacu kepada sebagai kecenderungan dari
suatu organisasi untuk memberikan penjelasan dan pembenaran kepada para
pemangku kepentingan kunci, terhadap keputusan, tindakan dan kelalaian yang dibuat
oleh manajemen (Arjoon, 2005:4). Selanjutnya Shearer (2002) mengemukakan bahwa
akuntabilitas adalah untuk menentukan sejauh mana stakeholder memiliki akses yang
memadai, akurat, dimengerti, dan up to date terhadap informasi, sebagai dasar dari
tindakan para pemangku kepentingan. Dari kedua pendapat tersebut diketahui bahwa
perusahaan harus memberikan informasi yang luas terhadap semua pemangku
kepentingan atas apa yang telah dan akan manajemen lakukan.
3. Keadilan (Fairness) Yang dimaksud keadilan adalah bahwa perusahaan akan
melakukan tindakan yang adil baik kepada pemegang saham maupun kepada
pemangku kepentingan lainnya seperti kepada penyedia sumber daya (OECD:2004),
pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan operasionalnya, perusahaan
harus dapat memperlakukan semua pemangku kepentingan dengan adil baik
pemegang saham, pemasok maupun pelanggan yang menggunakan produk
perusahaan.
4. Keterbukaan (Transparency) Yang dimaksud keterbukaan adalah Transparansi, berarti
bahwa perusahaan memberikan pengungkapan yang memadai dan tepat waktu tentang
informasi operasi dan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan kepada para
pemangku kepentingan (Pahuja dan Bhatia, 2011). Keterbukaan ini juga menyangkut
keterbukaan mengenai kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan dalam kurun waktu
tertentu.

Keempat prinsip diatasakan menjadi pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan


operasional perusahaan sehingga semua kegiatan dan keputusan yang diambil oleh
manajemen akan selalu mengedepankan kepentingan semua pemangku kepentingan yang ada
dan diharapkan perusahaan akan beroperasi dengan baik. Dengan penerapan ke empat prinsip
diatas maka akan tercipta mekanisme control yang baik dari dalam perusahaan maupun dari
luar perusahaan sehingga tidak terjadi kesenjangan informasi dan akan tercipta kepercayaan
pemangku kepentingan terhadap perusahaan, dan manajemen akan melakukan kegiatannya
semata-mata untuk memenuhi tujuan dari perusahaan.
2.2 Peran dan Tanggungjawab Dewan Syariah

Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.1
DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas mengembangkan
penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor
keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana. DSN merupakan
satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-
jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud
oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Peran dan tanggung jawab dewan syariah :

1. Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional


dan produk yag dikeluarkan bank.
2. Mengawasi proses pengembangan produk baru bank.
3. Memintak fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru bank yang belum ada
fatwanya.
4. Melakukan review secara berkala atas pemenuha prinsip syari’ah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa
bank.
5. Meminta data dan informasi terkait denga aspek syari’ah dari satuan kerja
bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Wewenang dewan syariah :

1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) di


masing-masing lembaga keuangan Syari’ah dan menjadi dasar tindakan
hukum pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia.

1
Briefcase Book Eduksi Profesional Syariah, Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah, (Jakarta : Renaisan,
2005), h. 13.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang
akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syari’ah pada suatu lembaga keuangan
syari’ah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan
dalam pembahasan ekonomi syari’ah, termasuk otoritas moneter/lembaga
keuangan dalam maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syari’ah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan
Syari’ah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan
apabila peringatan tidak diindahkan.

2.3 Permasalahan dalam tata kelola syariah

Ada dua asas dalam implementasi GCG pada perbankan syariah di Indonesia yaitu
asas Shifat dan Tarik. Asas Shifat seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam
aktivitas bisnis yaitu Shidiq, fathonah, amanah dan tablig. Asas kedua adalah Tarik, dipakai
dalam dunia usaha pada umumnya yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Kedua asas operasional tersebut diperlukan
untuk mencapai kesinambungan (sustainability) dengan memperhatikan kepentingan para
pemangku kepentingan (stakeholders).2

Ada beberapa persoalan mengenai praktik GCG di Indonesia yaitu sebagai berikut:

1. Belum profesionalnya pengelolaan perusahaan (ADB, 1998). Konsentrasi


kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi
antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan serta belum berfungsinya dewan
komisaris.3
2. Konsentrasi kepemilikan dan kontrol meningkatkan ketidaksimetrisan informasi
antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas akan menyulitkan
pemegang saham minoritas untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.4

2
Hamdani, Good Corporate Governance: Tinjauan Etika dalam Praktik Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media,
2016, h 194-195.
3
Herwidayatmo, 2001, dalam Hamdani, Good Corporate Governance: Tinjauan Etika dalam Praktik Bisnis.
Jakarta: Mitra Wacana Media, 2016, h-122.
4
S. Utama, Corporate Governance, Disclosure dan Its Evidence In Indonesia. Part I, Usahawan No. 04, Tahun
XXXII, April 2003, dalam Hamdani, 2016, Good Corporate Governance: Tinjauan Etika dalam Praktik Bisnis.
Jakarta: Mitra Wacana Media, 2016, h-123.
3. Konsentrasi kepemilikan dan kontrol juga menyebabkan lemahnya proteksi hukum
bagi pemegang saham minoritas.5
4. Score keterbukaan yang rendah.

Kendala penerapan GCG di Indonesia dibagi kedalam tiga bagian, yaitu kendala
internal, kendala eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.6

a) Kendala internal, meliputi: kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan


perusahaan, rendahnya tingkat pemahamam dari pimpinan dan karyawan perusahaan
tentang prinsipprinsip good corporate governance, kurangnya panutan atau teladan
yang diberikan oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung
terwujudnya prinsipprinsip good corporate governance, serta belum efektifnya sistem
pengendalian internal.7
b) Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate governance terkait dengan perangkat
hukum, aturan dan penegakan hukum (law enforcement). Secara implisist
ketentuanketentuan mengenai GCG telah ada tersebar dalam UUPT, Undang-undang
dan Peraturan Perbankan, Undang-undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun
penegakannya oleh pemegang otoritas, seperti Bank Indonesia, Bapepam, BPPN,
Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan pengadilan sangat lemah.
c)
Kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. Berdasarkan persentasi kepemilikan
dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang menyebar. Kepemilikan yang
terkonsentrasi akan didominasi oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00%
atau lebih). Kepemilikan yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki
oleh pemegang saham yang banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu
pemegang saham hanya memiliki saham sebesar 5% atau kurang). Salah satu dampak
negatif yang ditimbulkan oleh struktur kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat
mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena pemegang saham yang

5
Ibid
6
Edi Wibowo, 2010, Implementasi Good Corporate Governance di Indonesia. Jurnal ekonomi dan
Kewirausahaan Vol. 10, No. 2, Oktober 2010, dalam Hamdani, 2016, Good Corporate Governance: Tinjauan
Etika dalam Praktik Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2016, h-123.
7
H.E. Djatmiko, 2004, dalam Hamdani, 2016, h-123.
terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat menggunakan sumber
daya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai perusahaan.8

2.4 Unit kajian syariah dan struktur lainnya.

1. Direktorat Perbankan Syari’ah

Lembaga yang menjadi direktorat bagi bank syari’ah adalah Bank Indonesia
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Bank Indonesia (BI) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank
sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu
kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata
uang negara lain. Berikut beberapa peran BI dalam sistem Perbankan Syari’ah :

1. Mengatur dan mengawasi bank syari’ah (BU,UUS,BPRS)


2. Melakukan pengawasan moneter berdasarkan prinsip syari’ah
3. Melakukan langkah-langkah kebijakanuntuk menciptakan lingkungan yang kondusif,
kompetitif, efisien,dan hati-hati bagi industri perbankan syariah melalui :
a. Pengawasan dan pemeriksaan, persiapan aturan dan pengembangan infrastruktur,
dan penelitian
b. Sosialisasi kepasa masyarakat, training kepada SDI bank syariah
c. Peran aktif dalam pembentukan komunitas keuangan Islam

8
Hamdani, 2016, Good Corporate Governance: Tinjauan Etika dalam Praktik Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2016, h-123.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan, pasar
modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Secara lebih lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 21 tersebut.Berikut beberapa peran OJK dalam sistem Perbankan
Syari’ah :

1. Mendorong peran lembaga keuangan syariah dalam pendanaan proyek


infrastruktur melalui sindikasi pembiayaan bank syariah, pembiayaan melalui
pasar modal syariah, penguatan asuransi dan reasuransi syariah.
2. b. Mendorong lembaga keuangan syariah untuk melakukan inovasi produk dan
layanan keuangan syariah yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan
gaya hidup masyarakat seperti digital banking, financial technology (fintech),
dan inovasi produk wakaf.
3. c. Mendorong perluasan akses produk dan layanan keuangan syariah bagi
masyarakat pra sejahtera dan pedesaan dengan produk-produk bank syariah.
2. Dewan Syariah Nasional (DSN)
DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI yang secara struktural
berada dibawah MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang berkaitan
dengan ekonomi syariah, baik yang berhubungan langsung dengan lembaga keuangan
syariah ataupun lainnya.
3. Shareholders
Pemegang saham (shareholder atau stockholder), adalah seseorang atau badan
hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para
pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar
dalam bursa efek berusaha untuk meningkatkan harga sahamnya. Konsep pemegang
saham adalah sebuah teori bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada
para pemegang sahamnya dan pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan
mereka
4. Dewan Pengawas Syariah
DPS terdiri atas 3 orang atau lebih dengan profesi hukum Islam, yang
dipimpin oleh ketua Dewan Pengawas Syariah, berfungsi memberikan Fatwa Agama,
terutama dalam produk-produk bank syariah, baik yang timbul dari
DPS,Komisaris,direksi maupun umat Islam pada umumnya, harus melalui
musyawarah DPS untuk dijadikan Fatwa Agama yang juga disampaikan kepada
direksi secara tertulis dengan tindasan kepada Dewan Komisaris.
5. Dewan Komisaris
Apabila pelaksanaan produk-produk bank syariah kurang ataupun tidak sesuai
dengan Fatwa Agama dari DPS, Komisaris mengadakan musyawarah bersama antara
direksi, DPS, dan Komisaris. Keputusan atau hasil musyawarah tersebut dijadikan
Ftwa Agama baru, yang disampaikan kepada direksi secara tertulis dengan tindasan
kepada Dewan Komisaris.
Dewan komisaris terdiri atas 3 orang atau lebih yang dipimpin oleh seorang komisaris
utama, bertugas dalam pengawasan intern bank syariah, mengarahkan pelaksanaan
yang dijalankan oleh direksi agar tetap mengikuti kebijaksanaan perseroan dan
ketentuan yang berlaku.
6. Direksi
Direksi terdiri atas seorang direktur utama dan seorang atau lebih direktur,
bertugas dalam memimpin dan mengawasi kegiatan bank syariah sehari-hari, sesuai
dengan kebijaksanaan umum yang telah disetujui Dewan Komisaris Dalam RUPS.

2.5 Kemajuan dalam tata kelola syariah.

Di Indonesia, sistem tata kelola syari’ah diatur dalam UU No. 21/2008 yang berisi
tentang menempatkan DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) sebagai pihak penting dalam
pengawasan kepatuhan prinsip-prinsip syari’ah di internal perbankan syari’ah. DPS bertugas
memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai
dengan prinsip syari’ah. Selanjutnya pada level nasional, ada lembaga bernama Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas
dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan
usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dengan
demikian, DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN untuk melakukan pengawasan atas
kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
Meskipun UU Perbankan Syari’ah tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang
DPS, tetapi Bank Indoensia melalui PBI dan SEBI yang dikeluarkan memberikan perincian
dan guidelines terkait dengan DPS beserta pelaksanaan GCG (good corporate governance)
pada bank syari’ah. Pelaksanaan GCG pada bank syari’ah dijelaskan melalui PBI No.
11/PBI/2009. PBI ini secara umum menjelaskan tentang konsep GCG bagi bank syari’ah dan
UUS serta peran dari Dewan Komisaris, Direksi, Komite, dan DPS. Dalam PBI ini juga
dijelaskan tentang format self assessment pelaksanaan GCG pada bank syari’ah. Pada bagian
pengawasan syari’ah dijelaskan tentang mekanisme pengangkatan anggota DPS, masa
jabatan, tugas dan tanggung jawab, mekanisme pelaporan hasil pengawasan DPS dan sanksi
bagi DPS yag tidak menjalankan kewajibannya. Meskipun guidelines ini cukup menyeluruh
tapi belum bisa disebut sebagai model kerangka SG yang menyeluruh bagi bank syari’ah.
Format guidelines GCG ini cenderung hasil penyesuaian dengan guidelines bagibank
konvensional yang sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelumnya. Bedanya hanya
terletak pada keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur organisasi perusahaan.
Penjelasan lebih detail tentang teknis pelaksanaan GCG bagi bank syari’ah diurakan melalui
Surat Edaran BI (SEBI) No. 12/13/DPbS/2010.

Berdasarkan kerangka regulasi, struktur tata kelola syari’ah bagi perbankan


syari’ah di Indonesia menganut 2 (dua) level pengawasan, yaitu pengawasan oleh
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) pada level nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
pada level internal perusahaan. Kedua jenis lembaga pengawas syari’ah ini disebut
dalam UU No. 21/2008 dan PBI No. 6/24/PBI/2004. DSN adalah lembaga bentukan MUI
(Majelis Ulama Indonesia) yang bertugas untuk mengkaji, menggali dan merumuskan nilai
dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariat) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman
dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari’ah (lihat Kumpulan Fatwa DSN MUI
2000-2007). Pada level perusahaan terdapat DPS yang melakukan pengawasan
pelaksanaan fatwa DSN tentang prinsip syari’ah. Proses pengangkatan anggota DPS
merupakan hasil kerjasama antara Bank Indonesia (BI)/Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dengan DSN. Dengan demikian, DPS berperan dalam menjembatani
hubungan antara BI sebagai organisasi pemerintah dan DSN sebagai organisasi non-
pemerintah.

Proses tata kelola syari’ah bagi lembaga keuangan syari’ah mencakup 4 (empat)
aspek, yaitu (i) pengangkatan dan pemberhentian; (ii) komposisi; (iii) persyaratan; dan
(iv) batasan rangkap jabatan bagi anggota Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dan Dewan
Syari’ah Nasional (DSN). Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian DPS di Indonesia
diatur dalam
PBI No.11/3/PBI/2009 dan SEBI No.12/13DPbS/2010. Alur pengangkatannya melalui proses
pengajuan oleh Direksi bank syari’ah kepada BI/OJK setelah mendapatkan persetujuan
dari DSN. Proses penerimaan maupun penolakan berada di tangan BI/OJK berdasarkan
pada pemeriksaan kelengkapan dokumen dan wawancara yang dilakukan. Dengan demikian,
DPS adalah hasil fit dan proper test yang dilakukan oleh BI/OJK dan DSN. Dari segi
komposisi keanggotaan DPS, di Indonesia melalui PBI No.11/3/PBI/2009 memberikan
batasan jumlah yaitu tidak kurang dari dua orang . Satu orang diantara anggota DPS
bertindak sebagai ketua. Pembatasan rangkap jabatan bagi seorang anggota DPS di
Indonesia menurut ketentuan yang ada di SEBI No.12/13/DPbS/2010 hanya dapat
merangkap jabatan sebagai anggota DPS tidak lebih dari 4 (empat) lembaga keuangan
syari’ah dengan rincian 2 (dua) berjenis bank dan 2 (dua) sisa lainnya non- bank.

Tugas dari Dewan Pengawas Syari’ah menurut UU No.21/2008 tentang


Perbankan Syari’ah adalah untuk memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta
mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syari’ah. Operasionalisasi dari
tugas DPS tersebut selanjutnya dijabarkan dalam PBI No.6/24/PBI/2004 yaitu: (i)
memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN; (ii) menilai aspek syari’ah terhadap pedoman operasional, dan
produk yang dikeluarkan bank; (iii) memberikan opini dari aspek syari’ahterhadap
pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank; (iv)
mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada
DSN; dan (v) menyampaikan laporan hasil pengawasan syari’ah sekurang kurangnya setiap
enam (6) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syari’ah Nasional dan Bank Indonesia.

2.6 Pemegang akun investasi sebagai pemangku kepentingan.

Pemegang saham (shareholder atau stockholder), adalah seseorang atau badan hukum
yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para pemegang saham
adalah pemilik dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar dalam bursa
efek berusaha untuk meningkatkan harga sahamnya. Konsep pemegang saham adalah sebuah
teori bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang sahamnya
dan pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka

Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham, termasuk hak
untuk memberikan suara (biasanya satu suara per saham yang dimiliki) dalam hal seperti
pemilihan dewan direksi, hak untuk pembagian dari pendapatan perusahaan, hak untuk
membeli saham baru yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan hak terhadap aset perusahaan
pada saat likuidasi perusahaan.

Berikut beberapa hak yang dimiliki oleh shareholder sebagai pemangku kepentingan :

• Membuat keputusan ekonomi dalam upaya mewujudkan akuntabilitas publik seperti


memilih dewan direksi, memilih DPS, dan memilih auditor eksternal.
• Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS.
• Hak untuk menerima dividen yang dibagikan.
• Menyetujui perubahan anggaran dasar, dan menyetujui laporan tahunan.
• Menentukan jumlah kompensasi/remunerasi untuk anggota Dewan Komisaris dan
Direksi.

2.7 Lembaga keuangan sebagai pemangku kepentingan.

Pemangku kepentingan dapat berupa organisasi, komunitas, kelompok sosial


ekonomi, pemerintah, atau lembaga yang berasal dari berbagai dimensi pada setiap tingkat
golongan masyarakat (Iqbal, 2007:90). Setiap subyek tersebut mempunyai potensi,
sumberdaya dan kebutuhan masing-masing. Keterlibatannya dalam pelaksanaan suatu
aktivitas (baik terkait pembangunan maupun tidak) disesuaikan dengan kapasitas yang
dimiliki. Penting untuk diingat bahwa kebutuhan masing-masing pemangku kepentingan
harus terwakili dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut dikarenakan akan
mempengaruhi tingkat kepuasan dari setiap pemangku kepentingan terhadap hasil kegiatan
yang sedang dilaksanakan. Pemangku kepentingan dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok. Kelompok tersebut adalah pemangku kepentingan utama, penunjang, dan kunci
(Crosby, 1992).

Pemangku kepentingan utama merupakan pemangku kepentingan yang menerima


dampak positif dan negatif dari suatu kegiatan. Pemangku kepentingan penunjang merupakan
perantara yang membantu proses penyampaian kegiatan. Pemangku kepentingan kunci yakni
yang mempunyai pengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan
perhatian terhadap kelancaran kegiatan (Iqbal, 2007:90). Pendapat lain mengatakan bahwa,
pemangku kepentingan dapat dibagi menjadi pemangku kepentingan sektor swasta, sektor
publik dan masyarakat sipil (Start dan Hovland, 2010). Berdasarkan pengertian mengenai
pemangku kepentingan tersebut, maka dua klasifikasi pemangku kepentingan tersebut sama
saja, yaitu pemangku kepentingan utama sama dengan masyarakat sipil, sektor swasta sama
dengan penunjang, dan sektor publik sama dengan pemangku kepentingan kunci.

Pemangku kepentingan merupakan aktor-aktor kunci dalam pengembangan

komunitas. Mereka dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan
pemangku kepentingan tersebut akan membawa dampak bagi keberlangsungan komunitas
(Race dan Millar, 2006). Pemangku kepentingan yang terlibat juga akan merasakan dampak
dan manfaat yang timbul (Gonsalves et al, 2005).

Setiap pemangku kepentingan mempunyai berbagai kemungkinan dapat melalukan


disfungsi peran. Disfungsi peran tersebut tentunya akan membawa dampak negatif bagi
keberlanjutan komunitas yang terbentuk. Hal tersebut dikarenakan, pemangku kepentingan
yang berkecimpung secara langsung dalam upaya pembentukan dan pengembangan
komunitas tidak melakukan peran yang semestinya. Padahal peran masing-masing pemangku
kepentingan secara langsung maupun tidak langsung telah ter- plotting sesuai dengan tugas
dan fungsinya yang akan menjadi sebuah tanggung jawab. Akibatnya, disfungsi peran
tersebut dapat menjadi hambatan dalam pengembangan komunitas.

Yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana peran pemangku kepentingan dalam
pembentukan komunitas guna mencapai ketahanan sosial ekonomi masyarakat dengan studi
kasus pembentukan kelompok tabungan perumahan di Kelurahan Panjang Baru, Kota
Pekalongan. Siapa sajakah pemangku kepentingan yang terlibat. Apakah peran pemangku
kepentingan tersebut mempengaruhi keberlangsungan kelompok dan bagaimana implikasinya
terhadap ketahanan sosial ekonomi yang sedang berusaha untuk dibangun.

2.8 Transparansi dan akuntabilitas, kterbatasan transparansi

Transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada
masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui
secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan
sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-
undangan (KK, SAP,2005).

Akuntabilitas adalah mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta


pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara periodik (KK, SAP,2005). Hasil dari akuntansi adalah laporan
keuangan. Pada dasarnya pembuatan laporan keuangan adalah suatu bentuk kebutuhan
transparansi yang merupakan syarat pendukung adanya akuntabilitas yang berupa
keterbukaan pemerintah atas aktivitas pengelolaan sumber daya publik (Mardiasmo, 2006).

Konsep Akuntabilitas dan Transparansi Menurut keputusan Kepala Lembaga


Administrasi Negara (LAN) No.589/IX/6/Y/99 dalam Sitompul (2003), akuntabilitas
diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab
dan menjelaskan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu
organisasi kepada pihak yang memiliki hak/berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban. Oleh karena itu, pemberlakuan undang-undang otonomi daerah harus
dapat meningkatkan daya inovatif dari pemerintah daerah untuk dapat memberikan laporan
pertanggung jawaban mengenai pengelolaan keuangan daerah dari segi efisiensi dan
efektivitas kepada DPRD maupun masyarakat luas.

Osborne (1992) dalam Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa Akuntabilitas ditujukan


untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa,
kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban
tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban
harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung
jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban
berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai, dan lain sebagainya. Konsep pelayanan
ini dalam akuntabilitas belum memadai, maka harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship pada
pihak-pihak yang melaksanakan akuntabilitas.

Konsep pelayanan dalam akuntabilitas selain harus diikuti dengan jiwa


eterpreneurship juga harus diikuti dengan jiwa responsiveness. Hal ini harus dilakukan agar
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat dan tanggap
dalam melayani stakeholder sesuai dengan karakteristik Good Governance menurut UNDP
dan Word Bank. Selain itu, dalam pengantar Standar Akuntasi Pemerintah dinyatakan bahwa
salah satu upaya nyata untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah
yang memenuhi prinsip-prinsip waktu.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tantang Perbendaharaan Negara


Pasal 58 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan
menyelenggarakan sistem pengadilan intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.
Akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana yang transparan dan demokratis
serta adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Oleh karena itu, pemerintah harus
betul-betul menyadari bahwa pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat adalah hal
yang tidak dapat dipisahkan dari publik. Katz (2004) menyatakan bahwa transparansi
merupakan proses demokrasi yang esensial di mana setiap warga negara dapat melihat secara
terbuka dan jelas atas aktivitas dari pemerintah mereka daripada membiarkan aktivitas
tersebut dirahasiakan. Jiwa dari sistem ini adalah kemampuan dari setiap warga negara untuk
memperoleh informasi melalui akuntabilitas pejabat pemerintah atas kegiatan yang mereka
lakukan. Setiap warga negara berhak mengetahui (right to know) untuk setiap aktivitas
penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh setiap pejabat negara baik itu pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya transparansi maka diharapkan setiap warga
negara dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan.

Mekanisme Akuntabilitas Keuangan Dalam pelaksanaan penyajian laporan keuangan


pemerintah daerah, kenyataannya mekanisme akuntabilitas keuangan daerah tidak berjalan
dengan baik terutama kepada masyarakat. Akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan
pemerintah daerah tidak begitu dipahami oleh masyarakat sebagai pemakai. Sebagian besar
masyarakat tidak dalam asumsi memiliki pengetahuan yang memadai tantang aktivitas
pemerintahan dalam pengelolaan keuangan, aset daerah dan akuntansi. Mekanisme
monitoring cost sebenarnya sudah berjalan pada akuntansi sektor publik walaupun belum
seefektif pada sektor privat. Hal ini dapat kita lihat dari adanya keberadaan lembaga
pengawas seperti Badan Pengawas Daerah, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, dan
DPRD. Lembagalembaga tersebut tentunya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi
(Tupoksi) menggunakan biaya yang bersumber dari keuangan negara.
2.9 Transparansi laporan keuangan

Sebuah organisasi yang berhubungan dengan publik atau masyarakat diperlukan


adanya keterbukaan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat sebagai bentuk
pengawasan masyarakat terhadap organisasi yang bersangkutan. Dalam kerangka kebebasan
pers dan upaya menciptakan masyarakat informasi yang memiliki hak dalam mengawasi
jalannya pemerintahan, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Melalui Undang-Undang tersebut, berbagai masalah transparansi informasi,


khususnya yang terkait ataupun dikuasai oleh badan-badan publik harus dibuka untuk
masyarakat sebagai pemohon atau pengguna informasi publik. Adapun dalam UUD 1945
Pasal 28 F, menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia Transparansi merupakan salah satu
karakteristik dari Good Governance.

Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang berlaku


dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh mereka yang
membutuhkan.Menurut Standar Akuntansi Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2005, transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur
kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk
mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya yang dipercayanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-
undangan. Pendapat lain mengatakan transparansi adalah keterbukaan informasi baik dalam
pengambilan keputusan maupun pengungkapan informasi yang material yang relevan dengan
perusahaan.

Transparansi dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu adanya kebijakan terbuka terhadap
pengawasan, adanya akses informasi sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi
kebijakan pemerintah, dan berlakunya prinsip check and balance (antar lembaga eksekutif
dan legislatif). Tujuan dari transparansi adalah membangun rasa saling percaya antara
pemerintah dengan publik di mana pemerintah harus memberikan informasi akurat bagi
publik yang membutuhkan.
Menurut Mardiasmo dalam Muhammad Rizqi Syahri Romdhon indikator dari
transparansi adalah:

1) Terdapat pengumuman kebijakan mengenai pendapatan, pengelolaan


keuangan dan aset.
2) Tersedia laporan mengenai pendapatan, pengelolaan keuangan, dan aset yang
mudah diakses.
3) Tersedia laporan pertanggungjawaban yang tepat waktu.
4) Tersedia sarana untuk suara dan usulan rakyat.
5) Terdapat sistem pemberian informasi pada publik.

Jika dilihat dari definisi dan kriteria, tidak ada kriteria yang jelas mengenai seperti apa
bentuk laporan keuangan itu sehingga sebuah laporan keuangan dapat disebut sebagai laporan
keuangan yang transparan. Definisi dan kriteria tersebut hanya mencakup transparansi dalam
pengelolaan keuangan, bukan laporan keuangan. Laporan keuangan memang merupakan
salah satu hasil dari transparansi dan akuntabilitas keuangan publik. Hal ini berarti laporan
keuangan yang disusun pun harus memenuhi syarat transparansi. Kriteria dari transparansi
ini adalah adanya pertanggungjawaban terbuka, adanya aksesibilitas terhadap terhadap
laporan keuangan serta adanya publikasi laporan keuangan, hak untuk tahu hasil audit dan
ketersediaan informasi kinerja. Agar laporan keuangan menjadi lebih efektif dan tidak
menyesatkan, seluruh informasi yang relevan seharusnya disajikan dengan cara yang tidak
memihak, dapat dipahami, dan tepat waktu. Inilah yang dikenal dengan prinsip
pengungkapan penuh (full disclosure principle).

Semua fakta-fakta perlu diungkapkan secara terbuka agar laporan keuangan sebisa
mungkin bersifat informatif dan memberi arti bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Pengungkapan fakta-fakta dilakukan guna menghindari adanya laporan keuangan yang
menyesatkan. Di samping laporan utama, terkadang perlu adanya catatan kaki yang memberi
deskripsi lebih jauh sehubungan dengan laporan keuangan itu. Dengan prinsip pengungkapan
ini diharapkan agar investor yang memiliki pengetahuan rata-rata tidak menjadi keliru dalam
menafsir isi laporan keuangan. Oleh karena itu, tidak boleh ada informasi penting atau
kebutuhan informasi rata-rata investor yang hilang atau disembunyikan.
2.10 Pengaungkapan dan kekurangan dalam praktik akuntansi
2.10.1 Pengertian Pengaungkapan dan kekurangan dalam praktik akuntansi
Secara konseptual pengungkapan merupakan bagian integral dari pelaporan
keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan langkah akhir dalam proses
akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk seperangkat penuh statement
keuangan. Evans (2003) dalam Suwardjono(2014) mengartikan pengungkapan
sebagai berikut:

‘’Pengungkapan berarti menyediakan informasi dalam laporan keuangan termasuk


laporan itu sendiri, catatan atas laporan dan pengungkapan yang terkait dengan
laporan. Tidak mencakup pernyataan publik atau pribadi yang dibuat oleh manajemen
atau informasi yang disediakan di luar laporan keuangan.’’

Dari pengertian diatas Evans menyatakan bahwa pengungkapan adalah


penyediaan informasi dalam laporan keuangan termasuk laporan keuangan itu sendiri,
catatan atas laporan keuangan, dan pengungkapan tambahan yang berkaitan dengan
laporan keuangan. Pengertian pengungkapan oleh Evans ini terbatas hanya pada hal-
hal yang menyangkut pelaporan keuangan, pernyataan manajemen atau informasi di
luar lingkup pelaporan keuangan tidak termasuk.

Secara lebih spesifik, Wolk, Tearney, and Dold (2001) dalam Suwardjono (2014)
menginterpretasi pengertian pengungkapan sebagai berikut:

‘’Ditafsirkan secara luas, pengungkapan berkaitan dengan informasi baik dalam


laporan keuangan dan komunikasi tambahan termasuk catatan kaki, peristiwa pasca
laporan, diskusi manajemen dan analisis operasi untuk tahun yang akan datang,
perkiraan keuangan dan operasi, dan laporan keuangan tambahan yang mencakup
pengungkapan segmental dan perluasan di luar historis biaya.’’

Arti dari pengertian pengungkapan menurut Wolk, Tearney, and Dold (2001)
pengungkapan adalah berkaitan dengan informasi baik dalam laporan keuangan
maupun komunikasi tambahan termasuk catatan kaki, peristiwa-peristiwa setelah
tanggal laporan, diskusi dan analisis manajemen, prakiraan keuangan dan operasi, dan
laporan keuangan tambahan yang meliputi pengungkapan segmental dan informasi
pelengkap lebih dari kos historis.
Evans membatasi pengertian pengungkapan hanya pada hal-hal yang menyangkut
pelaporan keuangan. Pernyataan manajemen dalam surat kabar atau media masa lain
serta informasi di luar lingkup pelaporan keuangan tidak masuk dalam pengertian
pengungkapan. Sementara itu, Wolk, Tearney, dan Dold memasukan pula laporan
keuangan segmental dan laporan yang merefleksi perubahan harga sebagai bagian dari
pengungkapan.

Pengungkapan sering juga dimaknai sebagai penyediaan informasi lebih dari apa
yang didapat disampaikan dalam bentuk laporan keuangan formal.

Hal ini tampaknya sejalan dengan gagasan FASB dalam rerangka konseptualnya
sebagai berikut (SFAC no.1 ,prg.5):

“Meskipun pelaporan keuangan dan laporan keuangan memiliki tujuan yang sama,
beberapa informasi bermanfaat lebih baik disediakan oleh laporan keuangan dan
beberapa disediakan lebih baik, atau hanya dapat diberikan, melalui pelaporan
keuangan selain laporan keuangan.”

Pengertian pengungkapan dalam laporan keuangan menurut Stice (2000) dalam


Sidharta dan Sherly Christianti (2007), pengungkapan dalam laporan keuangan adalah
pelaporan rinci sebuah transaksi dalam catatan pada laporan keuangan. Hendriksen
(2002:429) mengatakan secara sederhana, pengungkapan dapat diartikan sebagai
pengeluaran informasi (the release of information).

Pengungkapan laporan keuangan dalam arti luas berarti penyampaian (release)


informasi. Sedangkan menurut para akuntan memberi pengertian secara terbatas yaitu
penyampaian informasi keuangan tentang suatu perusahaan di dalam laporan
keuangan biasanya laporan tahunan. Pengungkapan informasi dalam Laporan
Keuangan dilakukan untuk melindungi hak pemegang saham yang cenderung
terabaikan akibat terpisahnya pihak manajemen yang mengelola perusahaan dan
pemegang saham yang memiliki modal. Informasi dalam Laporan Keuangan harus
disajikan dengan memadai untuk memungkinkan dilakukannya sebuah prediksi
kondisi keuangan, arus kas, dan profitabilitas perusahaan di masa depan.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pengungkapan


(disclosure) adalah informasi yang diberikan oleh perusahaan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan mengenai keadaan perusahaan. Didalam pengungkapan semua
informasi harus diungkapkan termasuk informasi kuantitatif (seperti komponen
persediaan dalam nilai mata uang), dan komponen kualitatif (seperti tuntutan hukum).

2.10.2 Tujuan Pengungkapan Laporan Keuangan


Secara umum, tujuan pengungkapan adalah menyajikan informasi yang
dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan untuk melayani
berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda-beda. Setelah disinggung
bahwa investor dan kreditor tidak homogen, tetapi bervariasi dalam hal
kecanggihannya (sophistication) karena pasar modal merupakan sarana utama
pemenuhan dana dari masyarakat, pengungkapan dapat diwajibkan untuk tujuan
melindungi (protective), informatif (informative), atau melayani kebutuhan khusus
(differential).

1. Tujuan Melindungi
Tujuan melindungi dilandasi oleh gagasan bahwa tidak semua pemakai cukup
canggih sehingga pemakai yang naif perlu dilindungi dengan mengungkapkan
informasi yang mereka tidak mungkin memperolehnya atau tidak mungkin mengolah
informasi untuk menangkap substansi ekonomi yang melandasi suatu pos statemen
keuangan. Dengan kata lain, pengungkapan dimaksudkan untuk melindungi perlakuan
manajemen yang mungkin kurang adil dan terbuka (unfair). Dengan tujuan ini, tingkat
dan volume pengungkapan akan menjadi tinggi.
2. Tujuan Informatif
Tujuan informatif dilandasi oleh gagasan bahwa pemakai yang dituju sudah
jelas dengan tingkat kecanggihan tertentu. Dengan demikian, pengungkapan
diarahkan untuk menyediakan informasi yang dapat membantu keefektifan
pengambilan keputusan pemakai tersebut.
3. Tujuan Kebutuhan Khusus
Tujuan ini merupakan gabungan dari tujuan perlindungan publik dan tujuan
informatif. Apa yang harus diungkapkan kepada publik dibatasi dengan apa yang
dipandang bermanfaat bagi pemakai yang dituju sementara untuk tujuan pengawasan,
informasi tertentu harus disampaikan kepada badan pengawas berdasarkan peraturan
melalui formulir-formulir yang menuntut pengungkapan secara rinci.

Di sisi lain, dalam buku Accounting Theory, Riahi dan Belkaoui (2006)
menjelaskan bahwa tujuan dari pengungkapan diantaranya:
1. Untuk memberikan informasi yang akan membantu investor dan kreditor menilai
resiko dan potensial dari hal-hal yang diakui dan tidak diakui.
2. Untuk membantu para investor menilai pengembalian dari investasi mereka.

2.10.3 Kepada Siapa Informasi Diungkapkan dan Apa yang Diungkapkan

Rerangka konseptual telah menetapkan bahwa investor dan kreditor merupakan


pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan sehingga pengungkapan ditujukan
terutama untuk mereka. Namun, pengungkapan yang dilakukan perusahaan pada
dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi para pemangku
kepentingan, seperti investor, kreditor, pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak lain
yang terkait. FASB misalnya menetapkan tingkat kecanggihan para investor dan
kreditor cukup tinggi sehingga pengungkapan yang diwajibkan dapat dikatakan lebih
sedikit dibandingkan yang dituntut oleh SEC.

SEC menuntut lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan


mempunyai aspek sosial dan publik (public interest). Oleh karena itu, pengungkapan
menuntut lebih dari sekedar pelaporan keuangan tetapi meliputi pula penyampaian
informasi kualitatif maupun kuantitatif. Karena beragam pihak yang dituju lebih luas
dan model pengambilan keputusannya yang kurang dapat diidentifikasi,
pengungkapan cenderung untuk meluas dan jarang menjadi sempit (spesifik).

Telah disebutkan dimuka bahwa pengungkapan meliputi statemen keuangan itu


sendiri dan semua informasi pelengkap. Penyusun standar dan badan pengawas
seperti SEC dan BAPEPAM mengeluarkan ketentuan tentang apa yang harus
diungkapkan. SEC mewajibkan perusahaan publik untuk menyusun dua laporan
tahunan. Satu laporan tahunan harus diserahkan ke SEC untuk memenuhi ketentuan
dan satu laporan tahunan harus disusun untuk keperluan pemegang saham dan pihak
eksternal lainnya.

2.10.4 Jenis-jenis atau Sifat-sifat Pengungkapan Dalam Laporan Keuangan

Pengungkapan laporan keuangan dapat dilakukan dalam bentuk penjelasan


mengenai kebijakan akuntansi yang ditempuh, kontijensi, metode persediaan, jumlah
saham yang beredar dan ukuran alternatif, misalnya pos-pos yang dicatat berdasarkan
historical cost. Sifat atau jenis pengungkapan yang dilakukan perusahaan yang
digunakan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pemakai laporan
keuangan terbagi menjadi dua, yakni pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)
dan pengungkapan wajib (discretionary disclosure).

1. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)

Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan informasi yang dilakukan


secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan yang berlaku
atau pengungkapan melebihi yang diwajibkan.

Perusahaan akan melakukan pengungkapan melebihi kewajiban


pengungkapan minimal jika mereka merasa pengungkapan semacam itu akan
menurunkan biaya modalnya atau jika mereka tidak ingin ketinggalan praktik-
praktik pengungkapan yang kompetitif. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan akan
mengungkapkan lebih sedikit apabila mereka merasa pengungkapan keuangan
akan menampakkan rahasia kepada pesaing atau menampakkan sisi buruk
perusahaan di depan berbagai pihak.

Dengan adanya pengungkapan sukarela ini maka upaya untuk


berkomunikasi secara efektif dengan pembaca-pembaca asing, karena tidak
adanya standar akuntansi di pelaporan yang diterima secara internasional.
Pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan yang dilakukan perusahaan
diluar apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan badan pengawas.

2. Pengungkapan Wajib (Mandatory Disclosure)

Pengungkapan wajib adalah pengungkapan yang dilakukan perusahaan


atas apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan badan pengawas.

Pengungkapan ini merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan


oleh peraturan yang berlaku, dalam hal ini peraturan dikeluarkan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam), namun sebelum dikeluarkan keputusan Ketua
Bapepam Nomor 38/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 mengenai laporan tahunan
bahwa yang dimaksud dengan pengungkapan wajib adalah meliputi semua
pengungkapan informasi dalam laporan keuangan.
2.10.5 Metode-Metode Pengungkapan

Metode pengungkapan berkaitan dengan masalah bagaimana secara teknis


informasi disajkan kepada pemakai dalam satu perangkat laporan keuangan
beserta informasi lain yang berpaut. Metode ini biasanya ditentukan secara
spesifik dalam standar akuntansi atau peraturan lain. Informasi dapat disajikan
dalam pelaporan keuangan sebagai antara lain pos laporan keuangan, catatan kaki
(catatan atas laporan keuangan), penggunaan istilah teknis (terminologi),
penjelasan dalam kurung, lampiran, penjelasan auditor dalam laporan auditor, dan
komunikasi manajemen dalam bentuk surat atau pernyataan resmi.

1. Pos Laporan Keuangan


Informasi keuangan dapat diungkapkan melalui Laporan keuangan dalam
bentuk pos atau elemen laporan keuangan sesuai dengan standar tentang definisi,
pengukuran, penilaian, dan penyajian (jenis laporan, format laporan, klasifikasi
pos, dan susunan pos). Jenis laporan meliputi neraca, laporan laba-rugi, laporan
perubahan ekuitas, dan laporan aliran kas. PSAK No 1 Pasal 39 dan 44, misalnya
menetapkan pengungkapan pos-pos neraca sebagai berikut:

Perusahaan menyajikan aktiva lancar terpisah dari aktiva tidak lancar dan
kewajiban jangka pendek terpisah dari kewajiban jangka panjang kecuali untuk
industri tertentu yang diatur dalam SAK khusus. Aktiva lancar disajikan menurut
ukuran likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo.
suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek, jika (a)
diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi
perusahaan, dan (b) jatuh tempo dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal neraca.

Semua kewajiban lainnya harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka


panjang. Ketentuan diatas mengatur tentang format, klasifikasi, dan susunan
statemen keuangan dalam rangka pengungkapan. Ketentuan yang lain mengatur
tentang pengukuran dan penilaian.

2. Catatan Kaki

Catatan kaki (footnotes) atau catatan atas laporan keuangan (notes to


financial statements) merupakan metode pengungkapan untuk informasi yang
tidak praktis atau tidak memenuhi kriteria untuk disajikan dalam bentuk pos atau
elemen statemen keuangan.Catatan atas laporan keuangan menjadi bagian integral
dari laporan keuangan secara keseluruhan.

Catatan atas laporan keuangan harus disajikan secara sistematis dan


berkaitan dengan pos. Maksud dari sistematis dan berkaitan dengan pos adalah
catatan kaki harus diberikan indeks yang jelas dan teratur sehingga memudahkan
pengacuan. Hendriksen dan Van Breda (1992) merinci lebih lanjut yang dapat
diungkapkan bentuk catatan kaki, yaitu perubahan metoda, hak kreditor atas asset
tertentu, aset atau kewajiban bergantung (contingent), pembatasan atas
pembayaran dividen, transaksi yang mempengaruhi modal saham dan hak
pemegang ekuitas, kontrak eksekutori, dan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.

Catatan kaki memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan catatan


kaki adalah:

1. Mengungkapkan informasi non kuantitatif tanpa harus mengganggu penyajian


utama dalam statemen keuangan.
2. Mengungkapkan kualifikasi (pengecualian) dan pembatasan pos-pos tertentu
dalam statemen keuangan.
3. Mengungkapkan rincian pos-pos tertentu yang dianggap penting tanpa
mendistraksikan jumlah total suatu pos atau tanpa mengganggu susunan
penyajian pos-pos dalam statemen.
4. Mengungkapkan hal-hal yang bersifat kuantitatif atau deskriptif yang tidak
memenuhi kriteria pengakuan tetapi penting untuk disampaikan atau yang
mempunyai arti penting sekunder.
5. Mempertahankan laporan keuangan sebagai ciri sentral pelaporan keuangan
dengan ringkas dan jelas meskipun catatan kaki merupakan bagian
integralnya.
6. Kelemahan catatan kaki harus dipertimbangkan dalam pengembangan standar
akuntansi:
7. Catatan kaki sering dilewatkan oleh pembaca karena memuat banyak kalimat
daripada angka sehingga dianggap sulit dibaca.
8. Catatan kaki kurang menjelaskan sendiri (self-explanatory) dibanding
penyajian pos dalam statemen keuangan. Misalnya pos di Kas dan Bank
Rp100.000 di neraca.
9. Kompleksitas perusahaan cenderung menempatkan catatan kaki menjadi
sasaran atau fokus pelaporan daripada statemen keuangan itu sendiri.
10. Catatan kaki sering dijadikan substitusi untuk menyajikan suatu informasi
sebagai pos laporan keuangan.
11. Catatan kaki dapat membingungkan pembaca kalau isinya menegasi atau
berlawanan dengan apa yang disajikan dalam statemen keuangan. Keraguan
pembaca akan timbul bila catatan kaki bersifat meringankan apa yang
sebenarnya material.
3. Penjelasan Dalam Kurung

Penjelasan singkat berbentuk tanda kurung mengikuti suatu pos dapat


dijadikan cara untuk mengungkapkan informasi. Informasi yang dapat disajikan
dalam tanda kurung yaitu metode akuntansi, makna suatu istilah, ketermasukan
suatu unsur, penilaian alternatif, dan acuan (misalnya schedule). Pengungkapan
dalam bentuk tanda kurung lebih merupakan konvensi daripada sebagai ketentuan
standar akuntansi.

Contoh pengungkapan dalam kurung:

Sediaan barang (pasar Rp540.000)............................................Rp500.000

Piutang wesel (diskonan Rp100.000)........................................Rp700.000

Kos barang terjual (Lampiran 3)................................................Rp600.000

Utang obligasi (Rp50.000 jatuh tempo 1 Maret 2005)..............Rp500.000

Aset tetap (neto, Rp800.000 dijadikan jaminan utang).............Rp3.400.000

4. Istilah Teknis
Istilah teknis dan strategik merupakan bagian dari pengungkapan. Istilah
yang tepat harus digunakan secara konsisten untuk nama pos, elemen, judul, atau
subjudul. Nama elemen merupakan hal yang sangat strategik karena merupakan
objek penting dalam akuntansi. Penyusun standar banyak menggunakan istilah-
istilah teknis untuk mempresentasikan suatu realita atau makna dalam akuntansi.
Di Indonesia, istilah teknis perlu diterjemahkan untuk keperluan pelaporan
dalam bahasa Indonesia dan pendidikan. Karena standar akuntansi akan digunakan
sebagai acuan baik bagi penyusun laporan maupun oleh pembelajar akuntansi,
penyusun standar harus menciptakan istilah dengan penuh kecermatan dan mendidik
para anggota profesi tentang istilah teknis tersebut. Oleh karena itu, penyusun standar
harus mempunyai pengetahuan dasar tentang bahasa (Inggris dan Indonesia) agar
istilah tidak diciptakan dengan perasaan dan telinga saja tetapi dengan kaidah yang
tepat.

5. Lampiran
Penggunaan lampiran merupakan metode pengungkapan. Laporan keuangan
merupakan salah satu bentuk ringkasan untuk pengambilan keputusan investasi dan
kredit yang dapat dipandang sebagai keputusan strategik. Laporan keuangan utama
dapat dipandang seperti ringkasan eksekutif dalam pelaporan manajemen (internal).
Rincian, laporan tambahan, daftar rincian (schedule), atau semacamnya dapat
disajikan sebagai lampiran atau disajikan dalam seksi lain yang terpisah dengan
laporan utama.

Hendriksen Van Breda membedakan antara laporan tambahan dan skedul.


Laporan tambahan berfungsi untuk menambah informasi lebih dari yang dimuat
dalam laporan keuangan utama atau untuk menyajikan kembali informasi dalam
laporan utama dalam susunan atau format yang berbeda. Laporan tambahan biasanya
tidak merupakan bagian dari laporan keuangan yang dicakupi oleh laporan auditor.
Artinya, laporan tambahan bukan bagian dari lampiran laporan auditor. Daftar rincian
berisi penjabaran atau rincian suatu pos yang dimuat dalam laporan utama.misalnya
rincian penjualan atas dasar produk, rincian piutang usaha, dan rincian aset tetap atas
dasar jenisnya.

6. Komunikasi Manajemen
Manajemen dapat menyampaikan informasi kualitatif atau nonfinansial yang
dirasa penting untuk diketahui pemakai laporan melalui berbagai cara. Wawancara
manajer dengan wartawan (jumpa pers) merupakan salah satu bentuk pengungkapan
atau komunikasi manajemen. Manajemen merupakan pihak yang paling tahu tentang
apa yang terjadi dibalik apa yang disampaikan melalui laporan keuangan.
Komunikasi manajemen secara resmi dapat disampaikan bersamaan dengan
penerbitan laporan tahunan dalam bentuk surat ke pemegang saham (letter to
shareholders), laporan dewan komisaris, laporan direksi, dan diskusi analisis
manajemen (DAM).

Surat ke pemegang saham dari direksi yang dimuat dalam laporan tahunan
biasanya memuat tanggapan atau penjelasan umum direksi tentang apa yang telah
dicapai dan upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan serta apa yang akan dilakukan
dalam kaitannya dengan visi dan misi perusahaan. Laporan dewan komisaris berisi
pandangan umum tentang kinerja manajemen secara keseluruhan. Laporan ini
biasanya juga berisi tentang persetujuan dewan komisaris terhadap laporan keuangan
yang disajikan manajemen serta usulan yang berkaitan dengan dividen dan usulan lain
sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perseroan.

Laporan direksi berisi tentang penjabaran lebih lanjut dari surat ke pemegang
saham yang menjelaskan atau menguraikan perubahan-perubahan penting dalam
posisi keuangan dan hasil operasi tahun berjalan dibanding tahun sebelumnya.
Penjelasan tersebut diuraikan dalam konteks visi/misi perusahaan, kondisi ekonomik,
dan kondisi ketidakpastian masa datang serta kebijakan yang telah dilaksanakan
beserta alasan-alasannya. Kebijakan ini biasanya berkaitan pula dengan taksiran,
pertimbangan, dan asumsi yang digunakan dalam laporan keuangan. Dengan kata
lain, penjelasan manajemen (direksi) tentang pengaruh finansial transaksi, kejadian,
dan keadaan tertentu terhadap perusahaan merupakan hal penting yang menambah
kebermanfaatan informasi keuangan.

7. Catatan Dalam Laporan Auditor


Pengungkapan oleh manajemen lebih dari apa yang dapat disampaikan melalui
seperangkat penuh statemen keuangan. Pengungkapan yang bermanfaat dapat pula
dilakukan oleh pihak lain yaitu auditor independen. Pengungkapan yang dinilai
auditor telah memadai dan wajar sesuai dengan PABU secara automatis akan
terefleksi dalam laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan asersi dan
representasi manajemen sehingga pengungkapan adalah kewajiban manajemen bukan
auditor. Auditor hanya meyakinkan bahwa pengungkapan sudah cukup berdasarkan
standar pelaporan.
Pengungkapan auditor yang dianggap penting dan bermanfaat adalah
pengungkapan informasi yang berkaitan dengan hal-hal yang menghalangi auditor
untuk menerbitkan laporan auditor bentuk standar (sering disebut pendapat wajar
tanpa syarat).

Auditor harus menjelaskan dalam laporan auditor keadaan-keadaan yang


menyebabkan tidak dipenuhinya syarat dan menunjukkan pengaruhnya terhadap
kewajaran statemen keuangan secara keseluruhan. Pengungkapan oleh auditor pada
umumnya berkaitan dengan antara lain hal-hal sebagai berikut:

1. Perubahan akuntansi dan konsistensi.


2. Keraguan tentang kelangsungan perusahaan.
3. Persetujuan atas penyimpangan dari PABU.
4. Penekanan suatu hal dalam statemen atau kejadian.
5. Pengaitan nama auditor dengan statemen keuangan tak auditan.
6. Statemen keuangan komparatif yang salah satu diaudit auditor lain.
7. Pembatasan lingkup audit dan independensi auditor.

2.10.6 Keluasan Dan Kerincian Pengungkapan

Luas pengungkapan berkaitan dengan masalah seberapa banyak informasi yang harus
diungkapkan, disebut dengan tingkat pengungkapan (levels of disclosure). Evans (2003: 336)
dalam Suwardjono (2008) mengidentifikasikan tiga pengungkapan yang dilakukan
perusahan, yaitu

a. Adequate Disclosure (Pengungkapan Cukup)

Adequate disclosure merupakan konsep yang sering digunakan, yaitu


pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku, sehingga
angka-angka yang disajikan dapat diinterpretasikan dengan benar oleh investor.

b. Fair Disclosure (Pengungkapan Wajar)

Fair disclosure secara tidak langsung merupakan tujuan etis agar memberikan
perlakuan yang sama kepada semua pemakai laporan dengan menyediakan informasi
yang layak terhadap pembaca potensial.

c. Full Disclosure (Pengungkapan Penuh)


Full disclosure menyangkut kelengkapan penyajian informasi yang diungkap
secara relevan. Scott (1997) dalam Suwardjono (2008) menunjukkan dua manfaat
pengungkapan penuh yang dapat dicapai secara simultan, yaitu terdapat kemungkinan
investor membuat keputusan investasi menjadi lebih baik dan meningkatkan
kemampuan.

2.11 IFRS untuk bank syariah

Terkait adanya adopsi IFRS, beberapa hal yang mencakup isu-isu standarisasi antara
lain: AOSG (2010) telah merinci isu-isu penting terkait dalam kaitannya dengan konvergensi
IFRS, isu-isu penting tersebut dikelompokkan berdasarkan empat cakupan topik yaitu
substansi mengungguli bentuk, ukuran probabilitas, time value of money, isu-isu yang lain.
Isu-isu penting tersebut akan dipaparkan berdasarkan cakupan pengertiannya, seperti yang
ada di bawah ini.

1. Substansi Mengungguli Bentuk merupakan suatu prinsip akuntansi yang disajikan


secara wajar dalam suatu transaksi atau peristiwa lain sehingga memerlukan
pencatatan agar dapat disajikan sesuai dengan substansi dan realita ekonomi. Isu yang
muncul kemudian adalah ketika pembuat standar konvensional menganggap substansi
mengungguli bentuk terpisahkan dengan pelaporan keuangan, ada keraguan tentang
penerimaan dari perspektif Islam. Beberapa percaya bahwa substansi mengungguli
bentuk akan membuat suatu transaksi keuangan syariah hampir tidak bisa dibedakan
dan dibandingkan dengan akuntansi konvensional.
2. Ukuran Probabilitas (Probability Criterion)
“Konsep probabilitas digunakan untuk merujuk pada tingkat ketidakpastian bahwa
manfaat ekonomi masa depan berhubungan dengan item tersebut akan mengalir ke
atau dari entitas.” (Ayat 4, 40). IFRS mengakui biaya-biaya tertentu ketika
kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa depan dapat dipastikan. Misalnya,
mengarahkan penurunan nilai (impairment) diakui ketika penurunan tersebut
diharapkan terjadi. Masalah yang muncul di sini adalah apakah ada larangan syariah
terhadap pengakuan aset-aset kewajiban, pendapatan, dan biaya didasarkan pada
ketika kemungkinan tersebut terjadi?
3. Time Value of Money
Konsep time value of money telah diklaim oleh sebagian besar ahli Islam sebagai
suatu yang diharamkan karena adanya unsur riba didalamnya. Konsep time value
of money merupakan kembangan dari teori-teori bunga yang ada (theory of interest),
dari berbagai panadangan para ekonomi kapitalis sepanjang masa. Dalam classical
theory of interest tokoh yang sangat terkenal adalah Smith dan Ricardo, mereka
berpendapat bahwa bunga merupakan kompensasi yang dibayarkan oleh peminjam
(borrower) kepada si pemberi pinjaman (lender) sebagai balas jasa atas keuntungan
yang diperoleh dari uang yang dipinjamkan.

2.12 Transparansi dan lembaga keuangan syariah

Pengaplikasian prinsip transparansi memiliki peranan yang sangat penting

didalam kegiatan praktek usaha perbankan. Kewajiban bank syariah untuk memberikan
informasi secara jelas, lengkap, dengan bahasa yang mudah dimengerti mengenai produk
layanan kepada Konsumen memiliki arti yang penting bagi nasabah bank syariah. 9 Karena
pada umumnya didalam praktek, informasi mengenai produk yang ditawarkan oleh bank
tidak dijelaskan secara detail dan berimbang mengenai manfaat, risiko, maupun biaya-biaya
yang akan muncul maupun yang melekat pada suatu produk tersebut.

9 Pasal 2 Huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 POJK.07 Tahun 2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Beberapa pengertian tata kelola yang dikemukakan oleh para ahli dan lembaga yang
memiliki perhatian terhadap masalah tata kelola perusahaan
Maati, 1999 in Marc Labie, 2001
‘’Tata kelola perusahaan dapat didefinisikan sebagai seluruh rangkaian tindakan
yang diambil dalam entitas sosial yang merupakan perusahaan untuk mendukung
agen ekonomi untuk mengambil bagian dalam proses produktif, untuk menghasilkan
beberapa surplus organisasi, dan untuk mengatur distribusi yang adil antara mitra,
dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka bawa ke organisasi’’(Maati,
1999, hal. xvii dalam Marc Labie, 2001)

Tata kelola perusahaan memiliki empat prinsip dasar yang harus dipenuhi
sehingga dapat berjalan dengan baik, keempat prinsip tersebut adalah: Tanggung
jawab (responsible), Akuntabilitas (Accountability), Keadailan (Fairness) dan
Keterbukaan (Transparency).

2. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan
syariah.
Peran dan tanggung jawab dewan syariah :
6. Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional
dan produk yag dikeluarkan bank.
7. Mengawasi proses pengembangan produk baru bank.
8. Memintak fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru bank yang belum ada
fatwanya.
9. Melakukan review secara berkala atas pemenuha prinsip syari’ah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa
bank.
10. Meminta data dan informasi terkait denga aspek syari’ah dari satuan kerja
bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
3. Ada beberapa persoalan mengenai praktik GCG di Indonesia yaitu sebagai berikut:
a. Belum profesionalnya pengelolaan perusahaan (ADB, 1998). Konsentrasi
kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan
afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan serta belum
berfungsinya dewan komisaris.
b. Konsentrasi kepemilikan dan kontrol meningkatkan ketidaksimetrisan
informasi antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham
minoritas akan menyulitkan pemegang saham minoritas untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
c. Konsentrasi kepemilikan dan kontrol juga menyebabkan lemahnya
proteksi hukum bagi pemegang saham minoritas.
d. Score keterbukaan yang rendah.
4. Unit kajian syariah dan struktur lainnya.
1.) Direktorat Perbankan Syari’ah.
2.) Dewan Syariah Nasional (DSN)
3.) Shareholders
4.) Dewan Pengawas Syariah
5.) Dewan Komisaris
6.) Direksi
5. Kemajuan dalam tata kelola syariah.
Di Indonesia, sistem tata kelola syari’ah diatur dalam UU No. 21/2008 yang
berisi tentang menempatkan DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) sebagai pihak penting
dalam pengawasan kepatuhan prinsip-prinsip syari’ah di internal perbankan syari’ah.
DPS bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan
bank agar sesuai dengan prinsip syari’ah. Selanjutnya pada level nasional, ada
lembaga bernama Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa
tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dengan demikian, DPS adalah perpanjangan
tangan dari DSN untuk melakukan pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional
bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
6. Pemegang akun investasi sebagai pemangku kepentingan
bagaimana peran pemangku kepentingan dalam pembentukan komunitas guna
mencapai ketahanan sosial ekonomi masyarakat dengan studi kasus pembentukan
kelompok tabungan perumahan di Kelurahan Panjang Baru, Kota Pekalongan. Siapa
sajakah pemangku kepentingan yang terlibat. Apakah peran pemangku kepentingan
tersebut mempengaruhi keberlangsungan kelompok dan bagaimana implikasinya
terhadap ketahanan sosial ekonomi yang sedang berusaha untuk dibangun.
DAFTAR PUSTAKA

Djarwanto, Pokok-pokok Analisa Laporan Keuangan, (Yogyakarta: BPFE, 1997),10.

Farid Hamid dan Heri Budianto, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 331.

Hery, Teori Akuntansi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 114.

Jurnal Bimas Islam Vol. 8, No. I 2015, h. 87-120

Muindro Renyowijoyo, Akuntansi Sektor Publik: Organisasi Non Laba, Edisi 2, (Jakarta: Mitra

Wacana Media, 2010), 14.

Mardi P. Purba, Profesi Akuntan Publik di Indonesia..., 24.

Peraturan Menteri Negara BUMN No.: ‚Per-01/Mbu/2011 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara‛,
Pasal 1, Ayat 1.

http://repository.unpas.ac.id/12904/3/BAB%201%20new.pdf

You might also like