You are on page 1of 23

ANALISIS PENYAKIT DIABETES MELITUS

BERDASARKAN HASIL RISKESDAS 2018

Oleh :
Kelompok 4

Elwan Mustawan (NIM 1810912310007)


Mael Heluka (NIM 1810912710001)
Agoestina Try S. (NIM 1810912320016)
Arieva Adenia (NIM 1810912220031)
Fatimah Maulida M. (NIM 1810912320033)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2019
DAFTAR ISI
Halaman
COVER
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v
A. Definisi Diabetes Melitus ............................................................... 4
B. Patofisiologi Diabetes Melitus ...................................................... 5
C. Faktor Resiko Diabetes Melitus ..................................................... 7
D. Penanganan dan Penanggulangan ................................................ 9
E. Skrining Penyakit dan Distribusi Data .......................................... 12
F. Kesimpulan ...................................................................................... 20
G. Saran ........................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pravelensi Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Dokter


Pada Penduduk Umur > 15 Tahun Menurut Provinsi,
2013-2018 ........................................................................................
Tabel 2.2 Pravelensi DMBerdasarkan Pemeriksaan Dokter Pada
Penduduk Umur > 15 Tahun Menurut Provinsi, 2013-2018 .........
Tabel 2.3 Pravelensi Diabetes Melitus BerdasarkanDiagnosis Dokter,
2018 ...............................................................................................
Tabel 2.4 Pravelensi Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Dokter,
2018 ...............................................................................................

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diabetes Dunia .........................................................................

ii
5

A. Definisi
Diabetes mellitus adalah kelainan metabolisme rumit yang diwakili oleh
hiperglikemia berat yang diakibatkan oleh defek sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Pengertian lain mengatakan Diabetes melitus (DM) merupakan
suatu penyakit kronik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia sebagai
akibat berkurangnya produksi insulin, ataupun gangguan aktivitas dari insulin
ataupun keduanya. Survei di seluruh dunia melaporkan bahwa diabetes
mempengaruhi hampir 10% dari populasi. Ini adalah penyebab utama kematian
ketiga (setelah penyakit jantung dan kanker) di banyak negara maju. Usia
terstandar terjadinya diabetes secara global, ditemukan 9,8 persen pada pria
dan 9,2 persen pada wanita dengan ketimpangan regional yang diamati.
Sebagai akibatnya, ada prevalensi diabetes yang lebih tinggi yang diamati di
Asia Selatan, Amerika Latin, Karibia, Asia Tengah, Afrika Utara, dan Timur
Tengah (3,4).
Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1, yang dikenal sebagai
insulin-dependent atau childhoodonset diabetes, ditandai dengan kurangnya
produksi insulin. Juvenile Onset pasien diabetes tergantung pada insulin.
Biasanya ada onset mendadak dan terjadi pada kelompok usia muda dan ada
ketidakmampuan pankreas untuk memproduksi insulin dalam jumlah yang
memadai. Ini mungkin disebabkan oleh virus atau karena autoimunitas. Anak
biasanya kekurangan berat badan, asidosis cukup umum. DM tipe 2, yang
dikenal dengan non insulin dependent atau adult onset diabetes, disebabkan
ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin secara efektif yang kemudian
mengakibatkan kelebihan berat badan dan kurang aktivitas fisik. Adult onset
diabetes adalah bentuk yang tidak tergantung pada insulin, berkembang
perlahan dan biasanya lebih ringan dan lebih stabil. Insulin dapat diproduksi
oleh pankreas tetapi tindakannya terganggu. Bentuk ini terjadi terutama pada
orang yang biasanya kelebihan berat badan. Akidosis jarang terjadi, sebagian
besar pasien membaik dengan penurunan berat badan dan dirawat dengan
5

terapi diet. Sedangkan diabetes gestational adalah penyakit diabetes mellitus


yang terjadi pada kehamilan; sebenarnya kehamilannya sendiri normal, tetapi
terjadi kegagalan dalam mempertahankan kadar gula darah normal. Tingginya
prevalensi DM yang sebagian besar tergolong dalam DM tipe 2 disebabkan oleh
interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis dan paparan terhadap
lingkungan (5, 6, 7).

B. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin
adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas, bila
insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk ke sel yang mengakibatkan
glukosa tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam
darah meningkat (8).
Pada diabetes mellitus tipe 1, terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang
merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon
autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau Langerhans
dan terhadap insulin itu sendiri. Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin
normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam
darah menjadi meningkat (8).
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu (9) :
1) Resistensi insulin
2) Disfungsi sel B pancreas
6

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun
karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin
banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan.
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa
hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi perusakan sel-sel B langerhans
secara autoimun seperti diabetes mellitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut (9).
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukkan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif sering kali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(9).
Adapun gejala DM tipe 1 muncul tiba-tiba pada saat usia anak-anak sebagai
akibat kelainan genetika sehingga tubuh tidak mampu menghasilkan insulin
dengan baik. Gejala-gejalanya adalah sebagai berikut (10):
1) Sering kencing dan dalam jumlah banyak.
2) Terus menerus timbul rasa haus (polidipsi) dan lapar (polifagi).
3) Berat badan terus turun.
4) Penglihatan kabur.
5) Meningkatnya kadar gula dalam darah dan urin.
6) Kelelahan yang berkepanjangan tanpa sebab pasti.
7) Mudah sakit berkepanjangan.
8) Luka yang lama atau tidak kunjung sembuh hingga membusuk.
7

9) Infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita.


10) Impotensi pada pria.
DM tipe 2 biasanya terjadi pada mereka yang telah berusia 40 tahun ke
atas, meskipun sekarang prevalensinya pada remaja dan anak-anak meningkat.
Secara umum, gejala-gejala DM yang telah menahun yaitu sebagai berikut (10):
1) Gangguan penglihatan, pandangan kabur sehingga penderita sering
berganti kacamata.
2) Gatal-gatal dan bisul, biasanya dirasakan pada kulit di ketiak,
payudara, dan alat kelamin.
3) Gangguan saraf tepi (perifer), berupa kesemutan terutama pada kaki
dan terjadi di malam hari.
4) Rasa tebal pada kulit, sehingga terkadang penderita lupa memakai
alas kaki.
5) Gangguan fungsi seksual, berupa gangguan ereksi.
6) Keputihan pada penderita wanita akibat daya tahan tubuh turun.

C. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit tidak menular, termasuk Diabetes Melitus,
dibedakan menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat
berubah misalnya umur, faktor genetik, pola makan yang tidak seimbang jenis
kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik,
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh. Menurut American
Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak
dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first degree relative), umur
=45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000
gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan
berat badan rendah (<2,5 kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas
berdasarkan IMT =25kg/m2 atau lingkar perut =80 cm
8

pada wanita dan =90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,
dislipidemi dan diet tidak sehat (9).
Sebenarnya diabetes merupakan penyakit yang bisa dikontrol karena
hampir 90% nya berkaitan dengan gaya hidup yang tidak sehat, penderita
mampu hidup sehat bersama DM, asalkan mau patuh dan kontrol secara
teratur. Faktor risiko penyakit DM dan penyakit metabolik sangat erat kaitannya
dengan perilaku tidak sehat, serta adanya perubahan gaya hidup seperti diet
tidak sehat dan tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, mempunyai berat badan
lebih (obesitas), hipertensi, dan konsumsi alkohol serta kebiasaan merokok, di
samping faktor-faktor risiko lain seperti usia, jenis kelamin, dan keturunan.
Sumber lain mengatakan sebagian besar faktor risiko dari kasus diabetes
mellitus adalah perubahan gaya hidup yang cenderung kurang aktivitas fisik,
diet tidak sehat dan tidak seimbang, mempunyai berat badan lebih (Obesitas),
hipertensi, hipercholesterolemi, dan konsumsi alkohol serta konsumsi
tembakau (merokok). Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah
penderita polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik
memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi
alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan
kafein (9, 11, 12).
Adapun faktor risiko diabetes berdasarkan tipe diabetes. Faktor risiko
diabetes tipe 1, meskipun tidak pasti, diperkirakan karena keturunan dan infeksi
virus, terutama virus Coxsackie B4, sedangkan faktor risiko diabetes tipe 2
adalah (13) :
1. Banyaknya lemak tubuh: semakin banyak lemak pada jaringan tubuh,
semakin tinggi pula resistensinya terhadap insulin.
2. Perilaku pasif: perilaku pasif akan membuat lemak dalam tubuh tidak
terbakar dan menumpuk. Sebaliknya, aktivitas fisik akan
9

3. membantu mengontrol dan memperbanyak penggunaan glukosa


untuk energi tubuh, sehingga sel pun semakin sensitif terhadap
insulin. Faktor keturunan adanya keluarga dekat yang pernah
mengidap diabetes, meningkatkan risiko terkena diabetes.
4. Usia yang bertambah meningkatkan risiko karena aktivitas fisik
cenderung menurun.

D. Penanganan dan Penanggulangan


Penderita DM dapat diperbaiki atau dipertahankan kondisinya yang baik
dan mengurangi kemungkinan komplikasi dengan pola diet yang sesuai. Pada
dasarnya, penderita DM harus menghindari makanan yang cepat diserap
menjadi gula darah yang disebut karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula
jawa, sirup, dodol, selai, permen, cokelat, es krim, minuman ringan, dan lain-
lain. Namun sebaliknya, sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat
kompleks yang mengandung lebih dari satu rantai glukosa, sebelum diserap ke
dalam aliran darah akan terurai terlebih dulu menjadi satu rantai glukosa melalui
proses pencernaan. Contoh makanannya yaitu zat-zat tepung dan roti gandum.
Makanan yang mengandung karbohidrat alamiah berserat juga dianjurkan,
misalnya roti yang terbuat dari biji gandum, sayur-sayuran, kacang-kacangan,
serta buah segar (10).
Diet dan olahraga harus dilakukan bersamaan sebagai cara untuk
mengontrol gula darah yang cukup ampuh bagi penderita DM. Selain itu,
olahraga juga membuat insulin bekerja lebih efektif, membantu menurunkan
berat badan, memperkuat jantung, serta mengurangi stres. Olahraga yang
sangat dianjurkan adalalah olahraga aerobik misalnya jalan, jogging, bersepeda,
dan renang.
Penggunaan obat yang tradisional mengharuskan pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis, dalam dosis yang diperlukan tiap
individu dalam kurun waktu tertentu dengan biaya yang paling rendah.
10

Kerasionalan pengobatan terdiri atas ketepatan terapi yang dipengaruhi proses


diagnosis, pemilihan terapi, pemberian terapi, serta evaluasi terapi. Evaluasi
penggunaan obat agar obat-obat yang digunakan tepat, aman dan efisien (14).
Berikut ini ialah pola pengobatan pada penyakit Diabetes Melitus tipe 2
yang meliputi:
1) Penggunaan Obat Antidiabetik
Pada Diabetes Melitus tipe 1, pankreas tidak dapat memproduksi
insulin, sehingga diperlukan pemberian insulin. Pada diabetes melitus tipe
2, pankreas dapat memproduksi insulin, tapi tubuh tidak dapat merespon
insulin tersebut secara normal. Namun, meskipun demikian insulin juga
digunakan pada Diabetes Melitus tipe 2 untuk mengatasi resistensi sel
terhadap insulin dan Pengunaan obat antidiabetik untuk pengobatan
Diabetes Melitus Tipe 2 yang paling banyak digunakan adalah Insulin
tersebut. Pada terapi dengan penggunaan insulin kadar gula darah
sewaktu melebihi rentang 200 mg/dl. Insulin dibutuhkan oleh sel tubuh
untuk mengubah dan menggunakan glukosa darah, dari glukosa sel
membuat energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya. Pasien
Diabetes Melitus tidak memeliki kemampuan untuk mengambil dan
menggunakan gula darah, sehingga kadar gula darah meningkat.
Kemudian sebagai tambahan pasien DM tipe 2 yang memiliki kontrol
glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral
perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi
kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal. Terapi insulin dapat
mencegah kerusakan endotel, menekan proses inflamasi, mengurangi
kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid. Dengan demikian secara
ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang diberikan terapi
insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog,
11

merupakan jenis yang baik karena memeliki profil sekresi yang sangat
mendekati pola sekresi insulin normal atau fisiologis (14).
Pada terapi kombinasi, pemberian obat antidiabetik oral maupun
insulin selalu dimulai dengan dosis yang rendah, untuk kemudian secara
bertahap dinaikkan sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Oleh
karena itu dalam hal ini diperlukan manajemen yang baik dalam rangka
kepatuhan pengobatan pasien DM tipe 2, sehingga pengobatan dapat
dilakukan secara teratur dengan dosis yang tepat (14, 15).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil (14).
2) Penggunaan Obat Penyerta
Pengobatan penyakit komplikasi pada pasien Diabetes Melitus tipe 2
menggunakan obat-obat golongan antihipertensi, serta obat golongan
antibiotik. Untuk penderita diabetes melitus dengan hipertensi bisa
menggunakan obat golongan ACE inhibitor (Hongdiyanto, 2014). Analisis
multivariat menyatakan bahwa individu yang tidak patuh minum obat DM
memiliki risiko 3,6 kali untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan
individu yang memiliki patuh minum obat (p=0,012 95% CI: 1,32 - 9,83).
Penelitian Sulistyaningsih juga menunjukkan bahwa pasien diabetes yang
tidak patuh minum obat hipoglikemik oral memiliki risiko 8,6 kali
mengalami peningkatan kadar gula darah yang akhirnya menimbulkan
berbagai komplikasi (15).
Obat terapi diabetes pada umumnya adalah obat hipoglikemik yang
menurunkan kadar glukosa dalam darah. Apabila terjadi ketidakteraturan
dalam minum obat dapat menimbulkan komplikasi kronik lebih dini karena
terjadi hiperglikemi kronis pada penderita DM tersebut yang akan
12

menimbulkan aterosklerosis dan trombosis, serta peningkatan glikosilasi


protein yang mempengaruhi integritas dinding pembuluh darah.
Pengendalian kadar glukosa merupakan upaya yang penting untuk
mencegah progresiitas komplikasi vaskular seperti tekanan darah tinggi
(15).

E. Skrining Penyakit
Skrinning adalah sebuah proses mengidentfikasi orang - orang yang
tampak secara fisik terlihat sehat dan tidak sedang sakit, namun terdapat
kemungkinan mengalami penigkatan faktor resiko penyakit dalam kondisi
tertentu (16).
Skrining adalah tahap mengidentifikasi dugaan suatu penyakit atau cacat
yang belum terlihat baik perorangan maupun secara kelompok melalui berbagai
tahapan penerapan tes, pemeriksaan, atau prosedur lainnya yang diterapkan
dengan cepat (16).
Skrining dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjdinya atau
konsekuensinya dengan cara memeriksa individu-indvidu untuk diidentifikasi
pada waktu tertentu dalam perjalanan alamiah penyakit ketika proses penyakit
tersebut dapat diubah melalui proses intervensi. Skrining bukanlah proses
untuk mendiagonsa suatu penyait (16).
Dalam skrining terdapat 3 tingkatan pencegahan berdasarkan target,
yakni (16):
1. Primary Prevention Targets
Orang-orang yang tidak memiliki tanda/gejala diidentifikasi faktor
risiko secara dini dengan tujuan menghambat dan menahan proses
patologis sebelum tanda dan gejala penyakit menjadi berkembang.
2. Secondary Prevention Targets
Orang-orang dengan penyakit atau mengalami tahapan awal suatu
penyaki diidenifikasi dan diperiksa agar dapat diketahui perkembangan
penyakit tersebut sehingga prognosisnya meningkat.
13

3. Tertiary Prevention Targets


Orang-orang yang mengalami komplikasi penyakit dan perlu
dilakukan proses identifikasi untuk mencegah munculnya gejala-gejala
lain pada kasus komplikasi tersebut.
Kegiatan skrining tidak dapat dilakukan dengan sembarngan begitu saja
tanpa ada alasan dan pertimbangan secara matang. Dikarenakan skrining
adalah proses atau upaya yang sangat penting untuk mencegah dan
mendeteksi suatu penyakit atau faktor resiko terjadinya penyakit lebih awal
(16).
Skrining tidak dapat dilaksanakan atau dilakukan tanpa ada alasan yang
kuat dan pertimbangan yang matang. Dengan demikian pertimbangan yang
harus diperhatikan ssebelum melakukan skrining, yaitu (16):
1. Penyakit yang diskrining merupakan penyakit yang masih terjadi di
masyarakat.
2. Penyakit yang diskrining merupakan penyakit utama dan mendapat
perhatian banyak dari berbagai pihak dan masyarakat
3. Penyakit tersebut memungkinkan untuk di tindak lanjut berupa tes
diagnostik dengan ketersediaan alat
4. Tersedianya failitas untuk menanggulangi penyakit tersebut
5. Biaya relatif murah
6. Tidak melanggar etika dan aturan hukum yang berlaku
7. Tidak membahayakan dan tidak merugikan banyak pihak
Penggunaan skrining terbagi menjadi 2 macam, yakni (16):
1. Skrining untuk Penyakit (Screening for disease)
Skrining ini ditujukan untuk melakukan pada penyakit tertentu saja.
Skrining ini dilakukan dalam ruang lingkup suatu kelompok di masyarakat,
di mana dalam kelompok tersebu tidak terdapat tejadinya fase penyakit
tertentu. Skrining ini dapat mendeteksi lebih dini sehingga
14

dalam melakukan penanganan menjadi lebih cepat dan pragnosisnya


menjadi lebih baik.
2. Skrining untuk faktor resiko (Screen for risk factor)
Skrining ini ditujukan untuk mendeteksi lebih awal faktor rsikoo
terjadiya suatu penyakit dengan melakukan identifikasi pada individu
dengan faktorr resiko dan modifikasi beberapa faktor, salah satunya
adalah pendekatan untuk pencegahan penyakit.
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas
tidak dapat memproduksi insulin secara adekuat yang atau karena tubuh tidak
dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif atau kedua-duanya
(5, 19).
Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1, yang dikenal sebagai
insulin-dependent atau childhood onset diabetes, ditandai dengan kurangnya
produksi insulin dan DM tipe 2, yang dikenal dengan non-insulin-dependent atau
adult-onset diabetes, disebabkan ketidak mampuan tubuh menggunakan insulin
secara efektif yang kemudian mengakibatkan kelebihan berat badan dan
kurang aktivitas fisik (5, 19).
DM brhubungan dan memiliki keterkaitan dengan faktor risiko yang tidak
dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first degree relative), umur
≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000
gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan
berat badan rendah (<2,5 kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas
berdasarkan IMT ≥25 kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm
pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak
sehat (5, 18).
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic
ovary sindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
15

terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler


seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases), konsumsi alkohol,
faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein (5).
Pasien yang menderita DM dapat mengambil langkah berupa evaluasi
setiap tahunnya untuk mengidentifikasi faktor resiko terjadinya, yaitu dengan
melalui proses skrining berupa neuropati, penyakit pembuluh darah dan
kelainan pada bentuk kaki. Hal ini sangat diperlukan untuk mengatasi terjadinya
komplikasi DM yang lebih kompleks dan cenderung lebih mahal (17).
Melakukan pemeriksaan glukosa agar dapat terkontrol sehigga tidak
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Memeriksa kaki apabila tejadi
kebas dan tidak merasakan sakit pada luka di bagian kaki sehingga dapat
terhindar dari resiko amputasi. Apabila mengaaami neuropati maka segara
dilakukan tindakan penanganan (17).
Segera melakukan pemeriksaan apabila terjadi masalah dan terganggunya
proses di dalam tubuh yang dapat menimbulkan masalah kompleks serta rajin
menjaga kebersihan dan menerapkan pola hidup sehat agar dapat menekan
resiko mengalami penyakit (17).

F. Distribusi Frekuensi Penyakit Berdasarkan Hasil RISKESDAS 2018

Tingkat kejadian penyakit diabetes militus terus mengalami peningkatan


di dunia. Estimasi IDF di tahun 2013 terdapat 382 juta orang yang hidup dengan
diabetes. Namun, diperkirakan 175 juta orang diantaranya belum terdiagnosis
sehingga terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari
dan tanpa pencegahan. Diperkirakan pada tahun 2035 estimasi diabetes akan
menjadi 592 juta orang. Pada tahun 2015 saja terhitung sudah 415 juta jiwa dari
umur 20-79 tahun yang menyandang penyakit diabetes. Angka tersebut
menunjukan peningkatan 4 kali lipat dari tahun 1980an. Diperkirakan kembali
pada tahun 2040 jumlahnya meningkat menjadi 642 juta jiwa(1).
16

Gambar 2.1 Diabetes Dunia

Riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013 dan 2018 melakukan pengumpulan


data dengan 300.000 sampel rumah tangga seluruh wilayah Indonesia
menghasilkan berbagai macam data yang menggambarkan wajah kesehatan
Indonesia, salah satunya data terkait penyakit tidak menular yakni diabetes
militus. Dari hasil riskesdas pravalensi diabetes terus meningkat dari 6,9% (2013)
hingga menjadi 8,9% (2018). Data riskesdas juga menunjukan bahwa daerah
yang memiliki pravelensi tertinggi ialah DKI (Riskesdas, 2018).

Tabel 2.1 Pravelensi Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Dokter Pada Penduduk Umur >
15 Tahun Menurut Provinsi, 2013-2018
Dilakukan pemeriksaan glukosa plasma untuk memastikan diagnosis
diabetes. Riset kesehatan dasar melakukan pemeriksaan gula darah untuk
mendapatkan data proporsi penderita diabetes di Indonesia pada penduduk
yang berumur lebih dari 15 tahun.

Tabel 2.2 Pravelensi DMBerdasarkan Pemeriksaan Dokter Pada Penduduk Umur > 15 Tahun
Menurut Provinsi, 2013-2018

Selain dengan penunjukan pravelensi penderita diabetes diatas umur 15


tahun, riskesdas juga membedakan pravalensi berdasarkan jenis kelamin dan
wilayah tempat tingggal.
Tabel 2.3 Pravelensi Diabetes Melitus BerdasarkanDiagnosis Dokter, 2018

Data dari riskesdas menunjukan bahwa pravalensi diabetes militus pada


perempuan lebih tinggi dan terlihat bahwa wilayah perkotaan cenderung
meiliki jumlah penderita diabetes lebih banyak dibbanding pedesaan.
Berdasarkan umur pravalensi tertinggi ditunjukkan pada kisaran umur 55-64

20
tahun yakni 6.3%. Dari data terlihat bahwa pada umur 15-24 tahun pun juga
sudah ada yang menderita diabetes militus. Usia 40-an tahun merupakan umur
yang rentan terjadinya obesitas karena kurang aktif dalam beraktivitas sehari-
hari. Kurangnya aktivitas meningkatkan risiko timbulnya DM. Pada anak-anak
dan remaja rentan mengalami DM tipe 1. Salah satu penyebabnya adalah
seringnya konsumsi makanan cepat saji. Umur merupakan risiko terjadinya DM
tipe 2. Kenaikan kadar gula darah sangat berhubungan dengan umur, sehingga
pravalensi DM tipe 2 akan terus naik seiring dengan meningkatnya umur dan
mengakibatkan semakin tinggi pula gangguan toleransi glukosa. Diabetes
biasanya akan muncul saat sudah memasuki usia rentan, yaitu umur >45 (2).
Pada riskesdas 2018 juga menunjukan perbedaan pravalensi diabetes
militus berdasarkan pada tingkat pendidikan dan pekerjaan sebagai berikut:
Tabel 2.4 Pravelensi Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Dokter, 2018

Dalam data riskesdas tersebut menggambarkan bahwa orang yang


memiliki pendidikan lebih tinggi yakni D1/D2/D3 di banding orang yang hanya
sampai pada tingkat sekolah dasar saja memiliki pravalensi lebih tinggi. Hal ini
menggambarkan bahwa rendah tingginya pendidikan sesorang tidak menutup
kemungkinan orang tersebut akan terkena penyakit diabetes militus (DM). Data
tersebut juga memperlihatkan pravalensi diabetes berdasarkan pada jenis
pekerjaan dan data tersebut menujukan bahwa orang yang bekerja dikantoran

20
lebih rentan terkena diabetes militus. Hal ini menampakan bahwa gaya hidup
yang dimiliki seseorang juga akan mempengaruhi kerentanannya terhadap
suatu penyakit. Dari data pravalensi diabetes militus berdasarkan jenis
pekerjaan serta wilayah tinggal menunjukkan bahwa pendapatan perkapita
dan gaya hidup yang modern perkotaan yang serba cepat dan penuh tekanan
menyebabkan peningkatan pravalensi penyakit degeneratif seperti diabetes
militus. Factor herediter, gaya hidup dan faktor lingkungan merupakan faktor
penyebab tingginya morbiditas DM dari waktu ke waktu (2).

G. Kesimpulan

Diabetes melitus adalah kelainan metabolisme rumit yang diwakili oleh


hiperglikemia berat akibat defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
DM diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 ditandai dengan kurangnya produksi
insulin dan DM tipe 2. Pada DM tipe 1, terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Pada DM tipe 2, jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor
insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang
masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.
Faktor risiko penyakit DM adalah umur, faktor genetik, pola makan yang
tidak seimbang, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan,
pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, IMT,
penerapan perilaku tidak sehat, kurang aktivitas fisik, obesitas, hiperternsi,
konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, dan perubahan gaya hidup berupa diet
tidak sehat.
Penderita DM dapat diperbaiki atau dipertahankan kondisinya yang baik
dan mengurangi kemungkinan komplikasi dengan pola diet dan aktivitas fisik
yang sesuai. Obat yang digunakan untuk menangani DM adalah obat
antidiabetik dan obat penyertanya. Pasien yang menderita DM dapat
mengambil langkah berupa evaluasi setiap tahunnya untuk mengidentifikasi
faktor resiko terjadinya, melakukan pemeriksaan glukosa, dan memeriksa kaki

20
apabila tejadi kebas. Apabila mengalami neuropati maka segara dilakukan
tindakan penanganan. Hal ini diperlukan untuk mengatasi terjadinya komplikasi
DM yang lebih kompleks.
Dari hasil riskesdas pravalensi DM terus meningkat dari 6,9% (2013) hingga
menjadi 8,9% (2018). Data riskesdas juga menunjukkan bahwa daerah yang
memiliki pravelensi tertinggi ialah DKI. Selain itu, prevalensi DM pada
perempuan lebih tinggi dan terlihat bahwa wilayah perkotaan cenderung

20
memiliki jumlah penderita DM lebih banyak dibanding pedesaan. Berdasarkan
umur pravalensi tertinggi ditunjukkan pada kisaran umur 55-64 tahun.

H. Saran
Puskesmas sebaiknya melakukan peningkatan pelayanan promotif dan
preventif dengan penyuluhan mengenai Diabetes melitus kepada pasien dan
keluarga pasien maupun kepada masyarakat. Dan untuk pelayanan kuratif dapat
berupa perawatan dan melakukan pemantauan pasien DM setiap bulan agar tidak
terjadi komplikasi.
Saran untuk penderita sebaiknya mengkonsumsi makanan yang tinggi serat
terutama yang mengandung indeks glikemik rendah, mengurangi makanan yang
menyebabkan peningkatan berat badan, dan rutin melakukan olahraga. Selain itu,
pasien DM harus tetap melakukan aktivitas fisik di rumah dengan melakukan
olahraga aerobik, melakukan aktivitas fisik yang menunjang untuk penguatan otot.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kitaw D. A literature review on global occupational safety and health practice


& accidents severity. International Journal for Quality Research 2016; 10(2):
279-310.
2. Pelealu CP. Penerapan aspek hukum terhadap keselamatan dan kesehatan
kerja (studi kasus: proyek The Lagoon Tamansari Bahu Mall). Jurnal Sipil
Statik 2015; 3(5): 331 -340.
3. Noor ARAC, dkk. Aspek hukum keselamatan dan kesehatan kerja terhadap
tenagakerja di UD.Dinamis abadi Kota Palu. PROMOTIF: Jurnal Kesehatan
Masyarakat 2017; 7(2): 131-135.
4. Darmayanti E. Perlidungan hukum terhadap pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) pada perusahaan. Jurnal Cendekia Hukum 2018; 3(2):
283-196.
5. Chinda T. Organizational Factors Affecting Safety Implementation in Food
Companies in Thailand. International Journal of Occupational Safety and
Ergonomics 2015; 20(2): 213-225.
6. Oluoch I, dkk. Effects of occupational safety and health hazards’ exposure on
work environment in the water service industry within Kisumu county–Kenya.
IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology
2017; 11(5): 46-51.
7. Asumeng M, dkk. Occupational safety and health issues in Ghana: strategies
for improving employee safety and health at workplace. International Journal
of Business and Management Review 2015; 3(9): 60-79.
8. Marhavilas P, dkk. International occupational health and safety
management-systems standards as a frame for the sustainability: mapping
the territory. Sustainability 2018; 10(10): 1-26.
9. Fitriana L. Wahyuningsih A. S. Penerapan sistem manajemen kesehatan dan
keselamatan kerja di PT. Ahmadaris. Higela: jurnal of publick Health Reseacrh
and development 2017; 1(1): 29-30.
10. Najihah K, ddk. Pelaksanaan serta pemantauan evaluasi kinerja k3 dan
implikasinya terhadap terjadinya kecelakaan kerja di PTPN III tebing tinggi
2018; 8(1): 43-54.
11. Lumempow, o.e, ddk. Penerapan standar kompotensi kerja nasional
indonesia 2018; 6(12): 1085-1086.

16

You might also like