You are on page 1of 34

MODUL

PETROLOGI BATUAN KARBONAT

Oleh:

Widya Annisa

471 415 014

Dosen Pengampu

MUHAMMAD KASIM S.T., M.T

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEOLOGI

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita hanturkan kepada Allah SWT atas nikmat iman,
kesehatan, kesempatan dan kecerdasan yang diberikan-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan pada mata kuliah petrologi batuan karbonat.
Tak lupa pula shalawat dan salam kita kirimkan kepada baginda Rasulullah
SAW yang mana merupakan tokoh percontohan kita sekaligus penyelamat kita
dari gelapnya zaman kebodohan menuju zaman ilmu pengetahuan yang luas
seperti saat ini.
Banyak pihak yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan modul ini.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis baik atas dorongan, semangat, dan motivasinya.
Penulis menyadari benar bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
Masih banyak kesalahan-kesalahan dalam modul yang perlu diperbaiki. Oleh
karena itu, diperlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun sehingga modul
ini dapat jadi lebih baik dan bermanfaat.

Gorontalo, Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
Daftar Gambar.....................................................................................................iii
Daftar Tabel ........................................................................................................iv
1. Pengertian Batuan Karbonat ........................................................................1
2. Genesa Batuan Karbonat..............................................................................2
3. Klasifikasi Batuan Karbonat ........................................................................4
4. Fasies Batuan Karbonat ...............................................................................14
5. Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat Menurut Tucker 1985............18
6. Lingkungan Pengendapan Batuan karbonat Menurut Friedman dan
Reeckmann (1982) .......................................................................................20
7. Mineralogi Batuan Karbonat........................................................................24

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Limestone ..........................................................................................1
Gambar 2. Dolostone ..........................................................................................2
Gambar 3. Ilustrasi kondisi ideal pembentukan batuan karbonat (James &
Bourque, 1992 dalam Rizqi Amelia Melati, 2011)....................................3
Gambar 4. Klasifikasi Folk (1962)......................................................................6
Gambar 5 Tabel Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Dunham (1962).....8
Gambar 6 Klasifikasi Embry dan Klovan (1971) ...............................................12
Gambar 7. Fasies Pengendapan Menurut Wilson (1975)....................................15
Gambar 8. Fasies Pengendapan Menurut Link (1950)........................................18
Gambar 9. Fasies Karbonat Ramp.......................................................................18
Gambar 10. Fasies Karbonat Platform ................................................................19
Gambar 11. Fasies Karbonat Shelves (Shelf) .....................................................20
Gambar 12. Penampang ideal lingkungan pengendapan batuan karbonat
(Friedman & Reeckmann, 1982 dalam Carla Goncalves 2013) ................24
Gambar 13. Diagram yang memperlihatkan posisi relatif mineral aragonit
dan kalsit terhadap kedalaman air laut dan tingkat solubilitas
mineral yang ditunjukkan oleh garis ACD dan CCD pada daerah
tropis. Pembagian zona menjadi 4 zona yaitu zona presipitasi (I),
zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona
dimana tidak ditemukan lagi mineral karbonat (IV) (Sam Boggs
2nd, 1978) ..................................................................................................

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi Grabau.................................................................................5
Tabel 2. Komposisi mineral setiap organisme yang umum dijumpai
pada batuan karbonat modern (Flugel, 1982) ............................................25
Tabel 3. Sifat petrografis mineral pembentuk batuan karbonat (Flugel, 1982) ..26
Tabel 4. Komposisi kimia dan mineral karbonat yang umum
dijumpai (Sam Boggs, 1978) .....................................................................27

iv
1. PENGERTIAN BATUAN KARBONAT
Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih
dari 50% yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau
karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Reijers & Hsu, 1986). Sementarra
itu, menurut Bates & Jackson (1987), batuan karbonat adalah batuan yang
komponen utamanya adalah mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari
50%. Sedangkan batugamping menurut definisi Reijers & Hsu (1986) adalah
batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95%, sehingga tidak semua
batuan karbonat adalah batugamping, namun batugamping merupakan bagian dari
kelompok batuan karbonat.
Batuan karbonat menyusun 10-15% batuan sedimen dan pada umumnya
tersusun atas dua jenis batuan, yaitu:
1. Limestone/Batu Kapur/Batugamping, yang terdiri atas mineral calcite
(CaCO3) atau Mg Calcite (MgCO3).

Gambar. 1. Limestone
2. Dolostone, yang sebagian besar terdiri atas mineral dolomite
[CaMg(CO3)2]. Mineral karbonat sangat mudah larut dalam air asam,
sehingga mereka kebanyakan memiliki porositas dan permeabilitas tinggi
yang membuat batuan ini sangat baik untuk terjadinya reservoir minyak.
Gambar.2. Dolostone
Limestone mudah diamati karena sifatnya yang sangat mudah bereaksi
dengan HCl dan jika melapuk akan berwarna putih atau abu-abu. Sedangkan
Dolostone tidak akan ngecoss (bereaksi) kecuali berupa serbuk dan akan berwarna
coklat jika melapuk, warna coklat ini adalah warna Fe yang sedikit terbentuk
untuk menggantikan Mg.
2. GENESA BATUAN KARBONAT
Batuan karbonat terbentuk melalui proses biologis, biokimia dan presipitasi
anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu cekungan (Scoffin, 1987). Menurut
(Pirson, 1958), batuan karbonat terbentuk pada lingkungan laut dangkal, dimana
pada lingkungan tersebut tidak terjadi pengendapan material asal daratan. Hal ini
memungkinkan pertumbuhan organisme laut misalnya koral, ganggang, bryozoan
dan sebagainya. Cangkang-cangkang dari organisme tersebut mengandung
mineral aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral kalsit. Proses
pembentukan batuan karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut relatif
dangkal. Hal ini dapat terjadi bila ada keseimbangan antara pertumbuhan
organisme dan penurunan dasar laut tempat terbentuknya batuan tersebut,
sehingga dapat menghasilkan batuan karbonat yang tebal.
Sementara menurut (Landes, 1959), selain dipengaruhi oleh lingkungan laut
dangkal dan tanpa adanya pengendapan material asal daratan, pembentukan
batuan karbonat membutuhkan lingkungan pengendapan dengan syarat-syarat
khusus sebagai berikut:
a. Dasar laut yang relatif datar dan stabil
b. Kedalaman laut yang dangkal
c. Suhu air yang relatif hangat (± 38° C)
d. Ombak yang tidak begitu besar
e. Tidak ada arus yang besar dan kuat
f. Kegaraman air laut sekitar 13% (permil)

Gambar 3. Ilustrasi kondisi ideal pembentukan batuan karbonat (James &


Bourque, 1992 dalam Rizqi Amelia Melati, 2011)

Syarat-syarat kondisi yang ideal untuk pembentukan batuan karbonat antara


lain sebagai berikut:
a. Jernih
Batuan karbonat dihasilkan dari sekresi organisme laut dan
presipitasi dari air laut secara kimiawi. Hal ini mengandung arti bahwa
pembentukan batuan karbonat juga tergantung pada organisme.
Sementara organisme laut membutuhkan kondisi laut yang jernih agar
sinar matahari dapat masuk tanpa terganggu.
b. Dangkal
Dangkal disini diartikan sebagai batas sinar matahari dapat masuk ke
laut. Batas ini sering disebut zona fotik yaitu zona yang dapat ditembus
oleh matahari sebagai syarat utama untuk melakukan proses fotosintesis
oleh organisme. Batas kedalaman yang harus diperhatikan adalah
carbonate compensation depth (CCD) yaitu batas kedalaman untuk
mineral karbonat terendapkan.
c. Hangat
Organisme karbonat biasanya hidup pada temperatur ± 36° C.
Kondisi yang hangat ini berhubungan dengan syarat kedalaman yang
masib bisa ditembus oleh sinar matahari.
d. Salinitas
Batuan karbonat memiliki kisaran salinitas antara 22% - 40% namun
terbentuk pada kisaran 25% - 35%. Oleh sebab itu, lingkungan laut
merupakan kondisi dengan salinitas yang relatif tinggi sehingga batuan
karbonat dapat terbentuk dengan baik.
3. KLASIFIKASI BATUAN KARBONAT
Secara umum, klasifikasi batuan karbonat ada 2 macam, yaitu klasifikasi
deskriptif dan klasifikasi genetik. Klasifikasi deskriptif merupakan klasifikasi
yang didasarkan pada sifat-sifat batuan yang dapat diamati dan dapat ditentukan
secara langsung, seperti fisik, kimia, biologi, mineralogi atau tekstur. Klasifikasi
genetik merupakan klasifikasi yang lebih menekankan pada asal usul batuan.
Parameter sekunder yang digunakan antara lain porositas, sementasi, tingkat
abrasi atau kebundaran butiran, penambahan unsur nonklastik dan sebagainya.
klasifikasi yang dikeluarkan oleh Leighton & Pendexter (1962) telah
membedakan batuan karbonat berdasarkan kandungan kalsit, dolomit dan mineral
pengotornya (non-karbonat). Klasifikasi tersebut menyebutkan bahwa batuan
karbonat (dolostone dan limestone) jika batuan tersebut berkomposisi mineral
karbonat di atas 50%. Sedangkan Tucker dan Wright (1990) mendefenisikan
bahwa batuan karbonat harus mempunyai mineral karbonat di atas 50%.
Sementara batuan yang memiliki kandungan karbonat kecil dari 50% dan
signifikan dipertimbangkan dapat menjadi awalan yang menunjukkan sifat
karbonatan. Berdasarkan pengertian batuan karbonat tersebut di atas kemudian
mengelompokkannya berdasarkan klasifikasi batuan pada buku AAPG Memoir 1
(1962). Secara umum dijelaskan klasifikasi batuan karbonat berdasarkan Dunham
(1962) dan penyempurnaannya dan klasifikasi oleh Folk (1962). Perbedaan kedua
klasifikasi tersebut terletak dari cara pandangnya. Folk membuat klasifikasi
berdasarkan apa yang dilihatnya melalui mikroskop atau lebih bersifat deskriptif,
sedangkan Dunham lebih melihat batuan karbonat dari aspek deskriptif dan
genesis, sehingga dalam klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan
kenampakan dibawah mikroskop tetapi juga kenampakan lapangan (field
observation).
a. Klasifikasi Grabau (1904)
Tabel 1. Klasifikasi Grabau

Menurut klasifikasi Grabau, batugamping dapat dibagi menjadi 5 macam,


yaitu:
1. Calcirudite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih besar
daripada pasir (>2 mm)
2. Calcarenite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya sama dengan pasir
(1/16-2 mm)
3. Calcilutite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih kecil dari pasir
(<1/16 mm)
4. Calcipulurite, yaitu batugamping hasil presipitasi kimiawi, seperti
batugamping kristalin.
5. Batugamping organik, yaitu hasl pertumbuhan secara insitu seperti
terumbu dan stromatolite.
b. Klasifikasi Folk (1959)
Klasifikasi Folk menuntun kita untuk mendeskripsi batuan karbonat tentang
apa yang dilihat dan hanya sedikit untuk dapat menginterpretasikan apa yang
dideskripsi tersebut. Parameter utama yang dipakai pada klasifikasi ini adalah
tekstur deposisi. Folk menyatakan bahwa proses pengendapan batuan karbonat
dapat disebandingkan dengan proses pengendapan batupasir atau batulempung.
Sebenarnya batuan karbonat merupakan batuan yang mudah mengalami
perubahan (diagenesis) oleh karena itu studi tentang batuan karbonat tidak akan
memberikan hasil yang maksimal jika tidak mengetahui proses-proses yang terjadi
pada saat dan setelah batuan tersebut terbentuk. Kelemahan klasifikasi Folk
tersebut diperbaiki oleh Dunham dan membuat klasifikasi baru dengan
mempertimbangkan berbagai aspek.

Gambar 4. Klasifikasi Folk (1962)


Parameter utama yang dipakai pada klasifikasi ini adalah tekstur deposisi.
Folk menyatakan bahwa proses pengendapan batuan karbonat dapat
disebandingkan dengan proses pengendapan batupasir atau batulempung. Menurut
Folk ada 3 macam komponen utama penyusun batugamping yaitu:
1. Allochem, yaitu material karbonat sebagai hasil presipitasi kimiawi atau
biokimia yang telah mengalammi transportasi (intrabasinal), analog
dengan butiran pasir atau gravel pada batuan asal daratan. Allochem ada
empat macam yaitu intraclast, oolite, pellet, dan fosil.
2. Microcrystalline calcite ooze (micrite), yaitu material karbonat yang
berdiameter 1-4 mikron, translucent, dan berwarna kecoklatan (dalam
sayatan tipis). Sedangkan dalam handspecimen, micrite bersifat opak dan
dull, berwarna putih, abu-abu, abu-abu kecoklatan atau hitam. Micrite
analog dengan lempung pada batulempung atau matrik lempung pada
batupasir.
3. Sparry calcite (sparite), yaitu komponen yang berbentuk butiran atau
kristal yang berdiameter >/= 4 mikron (4-10 mikron) dan memperlihatkan
kenampakan yang jernih dan mozaik dalam asahan tipis, berfungsi sebagai
pore filling cement. Sparite analog dengan semen pada clean sandstone.
Berdasarkan perbandingan relatif antara allochem, micrite dan sparite
serta jenis allochem yang dominan.
Prosedur pemberian nama batuan menurut Folk adalah:
1. Jika intraclast >25% intraclast rock
2. Jika intraclast =/< 25% lihat persentase oolite-nya
3. Jila oolite >25% oolitic rock
4. Jika interclast =/< 25% dan oolite =/< 25%, lihat perbandingan antara
fosil dengan pellet, yaitu:
a. Fosil : pellet > 3:1 biogenic rock
b. Fosil : pellet < 3:1 pellet rock
c. Fosil : pellet = 3:1 – 1:3 biogenic pellet rock
Kelemahan utama dari klasifikasi ini adalah tidak dapat menjelaskan batuan
karbonat yang kompleks. Sebagai contoh ketika dalam suatu batuan terdapat a%
pecahan cangkang Pelecypoda, b% Ostrakoda utuh, c% Glaukonit, maka sulit
ditentukan nama batuan tersebut.
Aturan penamaan batuan adalah sebagai berikut: kata pertama adalah jenis
allochem yang dominan dan kata kedua adalah jenis orthochem yang dominan,
contoh: intrasparite, biomicrite, dll.
c. Klasifikasi Dunham (1962)
Dunham membuat klasifikasi batugamping berdasarkan tekstur deposisi
batugamping, yaitu tekstur yang terbentuk pada waktu pengendapa batugamping,
meliputi ukuran butir dan susunan butir (sortasi). Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan pengklasifikasian batugamping berdasarkan
tekstur deposisinya, yaitu:
a. Derat perubahan tekstur pengendapan
b. Komponen asli terikat atau tidak terikat selama proses deposisi
c. Tingkat kelompahan butiran (grain) dan lumpur karbonat

Gambar 5. Tabel Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Dunham (1962)


Terdapat empat dasar klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham 1962
yaitu kandungan lumpur karbonat (mud), kandungan butiran, keterikatan
komponen, dan kenampakan tekstur hasil diagenesis. Tekstur batuan karbonat
yang didominasi oleh kehadiran mud (mikrit) atau mud supported terbagi dua
yaitu batuan yang mengandung butiran lebih dari 10% dan dimasukkan kedalam
mudstone, sedangkan batuan yang kandungan butirannya lebih besar dari 10%
dimasukkan kedalam wackestone. Grain supported atau batuan yang didominasi
oleh butiran adalah tekstur batuan karbonat yang terendapkan pada lingkungan
berenergi sedang – tinggi. Tekstur ini terbagi dua yaitu yang masih mengandung
matriks digolongkan menjadi packstone dan yang tidak mengandung matriks
sama sekali atau grainstone.
Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas, maka Dunham mengklasifikasikan
batugamping menjadi 5 macam, yaitu mudstone, wackestone, packestone,
grainstone, dan boundstone. Sedangkan batugamping yang tidak menunjukkan
tekstur deposisi disebut crystalline carbonate. Fabrik (supportation)
grainsupported (butiran yang satu dengan yang lain saling mendukung) dan
mudsupported (butiran mengambang di dalam matrik lumpur karbonat) digunakan
untuk membedakan antara wackestone dan packestone. Dunham tidak
memperhatikan jenis butiran karbonatnya seperti klasifikasi Folk. Batas ukuran
butir yang digunakan oleh Dunham untuk membedakan antara butiran dan lumpur
karbonat adalah 20 mikron (lanau kasar). Klasifikasi batugamping yang
didasarkan pada tekstur deposisi dapat dihubungkan dengan fasies terumbu
dengan tingkat energi yang bekerja, sehingga dapat untuk interpretasi lingkungan
pengendapan. Klasifikasi ini memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagai berikut:
Kelebihan dari klasifikasi Dunham yaitu sangat mudah digunakan, karena
tidak perlu menentukan jenis butiran secara detail. Jenis butiran tidak
mempengaruhi penamaan batuan. Dapat digunakan untuk menentukan tingkat
diagenesa, karena klasifikasi ini berdasarkan pada fabric sehingga sparit tidak
perlu di deskripsi. Sedangkan kekurangan dari klasifikasi ini adalah pada sayatan
tipis tidak mudah membedakan fabric batuan karena pada sayatan tipus hanya
memberikan gambaran 2 dimensi.
Jenis batugamping menurut klasifikasi Dunham (1962), yaitu sebagai berikut.
a. Mudstone – batuan karbonat, yang mengandung butiran kurang dari 10%,
sinonim dengan kalsilutit, hanya saja tidak menyebutkan spesifik kasar
mengambang dalam matriks.
b. Wackestone – batuan karbonat yang mud supports mengandung lebih dari
10% butiran tetapi antar bbutirnya tidak saling bersinggungan, butiran
kasar mengambang dalam matriks.
c. Packstone – batuan karbonat, grain supported, terdapat kandungan
lumpur dan antar butiran saling bersinggungan.
d. Grainstone – batuan karbonat, tidak terdapat lumpur, grain supported,
dan antar butir saling bersinggungan.
e. Boundstone – batuan karbonat, mengalami pengikaran material orgabik
sewaktu pengendapan yang mengindikasian asal-usul komponen yang
direkarkan bersama selama proses deposisi.
f. Crystalline carbonates – batuan karbonat, tidak menunjukkan tekstur
deposisi, dimasukkan dalam klasifikasi sendiri.
d. Klasifikasi Plumpey Et Al (1962)
Klasifikasi batuan karbonat menurut Plumpey et al, (1962) pada penelitian
digunakan untuk mengetahui kondisi energi ketika fasies batuan karbonat
diendapkan, dimana klasifikasi ini adalah klasifikasi batuan karbonat yang
berdasarkan endeks energi, yang mana indeks energi merupakan salah satu
parameter penting di dalam menentukan lingkungan pengendapan batuan
karbonat. Pembagian indeks energi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Indeks energi I
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang tenang
(quiet water), dicirikan oleh kandungan lumpur karbonatnya yang dapat
mencapai 50%, keadaan fosil-fosilnya masih dalam keadaan yang utuh,
walaupun jarang fosil tersebut dijumpai.
2. Indeks energi II
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang sedikit
bergelombang (intermittently agitated), dicirikan oleh kandungan lumpur
kurang dari 25%, fosil-fosil yang dijumpai masih dalam jumlah yang sedikit
dan keadaan fosilnya masih dalam kondisi yang reatif baik.
3. Indeks energi III
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang
bergelombang lemah (slighty agitated), dicirikan oleh kandungan butirannya
yang dapat mencapai 50% dengan kandungan fosilnya yang menunjukkan
gejala abrasi.
4. Indeks energi IV
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang
bergelombang sedang (moderately agitated), dicirikan oleh kandungan
butirnya yang mencapai lebih dari 50% dengan keadaan fosilnya pada
umumnya telah pecah-pecah

.
5. Indeks energi V
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang
bergelombang kuat (strongly agitated). Dicirikan oleh kandungan
lumpurnya yang kurang dari 5%. Keadaan fosilnya sebagian besar telah
pecah-pecah. Dapat pula batuan karbonat ini tersusun oleh organisme yang
tumbuh dan berkembang di daerah tersebut, seperti koloni koral,
ganggang, stromatoporoid dan lainnya.
e. Klasifikasi Embry dan Klovan (1971)
Klasifikasi ini didasarkan pada tekstur pengendapan dan merupakan
pengembangan dari klasifikasi Dunham (1962) yaitu dengan menambahkan
kolom khusus pada kolom boundstone, menghapus kolom crystalline carbonate,
dan membedakan persen butiran yang berdiameter </= 2 mm dari butiran yang
berdiameter > 2mm. Dengan demikian klasifikasi Embry and Klovan seluruhnya
didasarkan pada tekstur pengendapan dan lebih tegas di dalam ukuran butir yaitu
ukuran grain =/>0,03–2 mm dan ukuran lumpur karbonat <0,03 mm. Berdasarkan
cara terjadinya, Embry & Klovan membagi batugamping menjadi dua kelompok,
yaitu batugamping allochtonous dan batugamping autochtonous. Batugamping
autochtonous adalah batugamping yang komponen penyusunnya berasal dari
organisme yang saling mengikat selama pengendapannya. Batugamping ini dibagi
menjadi 3 yaitu: bafflestone (tersusun oleh biota berbentuk cabang), bindstone
(tersusun oleh biota berbentuk menegak atau lempengan) dan framestone
(tersusun oleh biota berbentuk kubah atau kobis). Batugamping allochtonous
adalah batugamping yang komponennya berasal dari sumbernya oleh fragmentasi
mekanik, kemudian mengalami transportasi dan diendapkan kembali sebagai
partikel padat. Batugamping ini dibagi menjadi 6 macam yaitu: mudstone,
wackestone, packetone, grainstone, floatstone dan rudstone. Dengan demikian
klasifikasi Embry & Klovan sangat tepat untuk mempelajari fasies terumbu dan
tingkat energi pengendapan.
klasifikasi Dunham adalah batuan dimana komponennya saling terikat satu
sama lainnya atau tersusun oleh organisme. Dalam klasifikasi tersebut tekstur
seperti ini dimasukkan kedalam boundstone. Selain ketiga kelompok tekstur di
atas, maka batuan karbonat juga dikelompokkan berdasarkan diagenetiknya, yaitu
jika komponen penyusunnya tidak lagi memperlihatkan tekstur asalnya.
Kelompok batuan ini dikenal sebagai kristallin karbonat (calcite crystalline rocks
dan dolomite crystalline rocks). Tekstur ini oleh Embry & Klovan 1971
menyempurnakannya klasifikasi Dunham (1962) dengan mempertimbangkan
pengaruh energi dan sedimen-sedimen yang terbawa dan terakumulasi pada
batuan tersebut. Embry & Klovan melihat pentingnya ukuran fragmen (butiran)
yang terakumulasi pada batuan yang didominasi oleh matriks. Batuan dengan
tekstur wackestone dengan kandungan butiran lebih besar dari 2 mm, maka
menurut Embry & Klovan bahwa batuan ini erat hubungannya dengan sumber
butiran (fragmen) sehingga perlu memberikan nama khusus yaitu floatstone untuk
menggambarkan lingkungan pengendapannya. Sedangkan pada tekstur grainstone
Embry & Klovan menamakannya sebagai rudstone untuk batuan dengan butiran
lebih besar dari 2 mm.

Gambar 6. Klasifikasi Embry dan Klovan (1971)

Tambahan pada klasifikasi ini yaitu dengan membagi lagi kelompok


boundstone menjadi 5 yaitu:
1. Floatstone, batugamping dengan komponen yang lebih besar dari 2 mm
dengan komposisi lebih besar dari 10% matriks supported.
2. Rudstone, batugamping denfan komponen yang lebih besar dari 2 mm
dengan komposisi lebih besar dari 10% komponen supported
3. Bafflestone, terbentuk akibat perilaku organisme seperti baffle,
berdasarkan atas komponen terumbu yang merupakan perangkap
sedimen dan menghapus kolom crystalline carbonates.
4. Bindstone, terbentuk akibat organisme yang terjebak dan menjepit selama
proses deposisi.
5. Framestone, terbentuk oleh aktivitas organisme yang membentuk
kerangka yang keras.
f. Klasifikasi Mount (1985)
Klasifikasi Mount (1985) Proses pencampuran batuan campuran silisiklastik
dan karbonat melibatkan proses sedimentologi dan biologi yang variatif. Proses
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori:
1. Punctuated Mixing. Pencampuran di dalam lagoon antara sedimen dan
silisiklastik di dalam lagoon yangberasal dari darat dengan sedimen
karbonat laut. Proses pencampuran ini terjadi hanya bila ada energi yang
kuat melemparkan material karbonat ke arah lagoon. Energi yang besar ini
dapat terjadi padaa saat badai. Proses ini dicirikan oleh adanya shell bed
yang merupakan lapisan yang mebngandung intraklas-intraklas cangkang
dalam jumlah yang melimpah.
2. Facies Mixing. Percampuran yang terjadi pada batasbatas facies antara
darat dan laut. Suatu kondisi fasies darat berangsur-angsur berubah
menjadi fasies laut memungkinkan untuk terjadinya pencampuran
silisiklastik dan karbonat.
3. Insitu Mixing. Percampiran terjadi di daerah sub tidal yaitu suatu tempat
yang banyak mengandung lumpur terrigenous. Kondisi yang
memungkinkan terjadinya percampuran ini adalah bila lingkungan tersebut
terdapat organisme perintis seperti algae. Apabila algae mati maka akan
menjadi suplai material karbonat.
4. Source Mixing. Proses percampuran ini terjadi karena adanya
pengangkatan batuan ke permukaan sehingga batuan tersebut dapat
tererosi. Hasil erosi batuan karbonat tersebut kemudian bercampur dengan
material silisiklastik. Klasifikasi Mount (1985) merupakan klasifikasi
deskriptif. Menurutnya sedimen campuran memiliki 4 komponen, yaitu:-
Silisiklastik sand (kuarsa, feldspar dengan ukuran butir pasir).- Mud, yaitu
campuran silt dan clay. – Allochem, batuan karbonat seperti pelloid, ooid
dengan ukuran butir > 20 mikrometer.- Lumpur karbonat / mikrit,
berukuran < 20 mikrometer.
4. FASIES BATUAN KARBONAT
Fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi
karakteristik yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur
biologi memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang
ada di bawah, atas dan di sekelilingnya.
Fasies umumnya dikelompokkan ke dalam facies association dimana
fasies-fasies tersebut berhubungan secara genetis sehingga asosiasi fasies ini
memiliki arti lingkungan. Dalam skala lebih luas asosiasi fasies bisa disebut
atau dipandang sebagai basic architectural element dari suatu lingkungan
pengendapan yang khas sehingga akan memberikan makna bentuk tiga
dimensi tubuhnya (Walker dan James, 1992).
Menurut Selley (1985, dalam Rizqi Amelia Melati 2011), fasies
sedimen adalah suatu satuan batuan yang dapat dikenali dan dibedakan
dengan satuan batuan yang lain atas dasar geometri, litologi, struktur
sedimen, fosil, dan pola arus purbanya. Fasies sedimen merupakan produk
dari proses pengendapan batuan sedimen di dalam suatu jenis lingkungan
pengendapannya. Diagnosa lingkungan pengendapan tersebut dapat
dilakukan berdasarkan analisa fasies sedimen, yang merangkum hasil
interpretasi dari berbagai data di atas.
Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies adalah suatu
lapisan atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan karakteristik litologi,
geometri dan sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan di
sekitarnya.
Fasies menurut Gressly (1938), Tiechert (1958), serta Krumbein dan Sloss
(1963), diartikan sebagai tubuh batuan yang memiliki sifat-sifat spesifik
antara lain warna, perlapisan, komposisi, tekstur, fosil dan struktur sedimen,
sedangkan menurut Middleton (1978) dalam Suhendra (2010) fasies adalah
kumpulan dari sifat-sifat dari batuan. Pembagian fasies berdasarkan atas
beberapa aspek yaitu produk batuan, genesa atau proses terbentuknya
batuan, lingkungan dimana batuan terbentuk, dan aspek tektonik.
a. Fasies Wilson, 1975
Wilson (1975) mengemukakan suatu penampang fasies karbonat
yang ideal dengan memperlihatkan jalur fasies secara standar dan
interpretasi lingkungan pengendapan pada tepi paparan berdasarkan
kemiringan, umur geologi, energi air, dan iklim adalah sebagai
berikut.

Gambar 7. Fasies Pengendapan Menurut Wilson (1975)


1. Basin Fasies
Lingkungan basin fasies merupakan lingkungan yang terlalu
dalam dan gelap bagi kehidupan organisme benthonic dalam
menghasilkan karbonat, sehingga adanya karbonat tergantung pada
pengisian oleh material yang berukuran butir sangat halus dan
merupakan hasil reruntuhan planktonik.
2. Open Shelf Fasies
Open shelf fasies merupakan lingkungan air yang mempunyai
kedalaman dari beberapa puluh meter sampai beberapa ratus meter,
umumnya mengandung oksigen, berkadar garam yang normal dan
mempunyai sirkulasi air yang baik.
3. Toe of Slope Karbonat Fasies
Toe of slope karbonat fasies merupakan lingkungan yang berupa
lereng cekungan bagian bawah, dengan material-material endapannya
yang berasal dari daerah-daerah yang dangkal. Kedalaman, kondisi
gelombang, dan kandungan oksigen masih serupa dengan open shelf
fasies.
4. Fore Slope Fasies
Fore slope fasies merupakan lingkungan yang umumnya terletak
diatas bagian bawah dari “oxygenation level” sampai diatas batas
dasar yang bergelombang, dengan material endapannya yang berupa
hasil rombakan.
5. Organic (ecologic) Reef Fasies
Organic (ecologic) reef fasies mempunyai sifat karakteristik dari
ekologinya bergantung kepada energi air, kemiringan lereng,
pertumbuhan organisme, banyaknya kerangka atau jalinan organisme,
bagian yang ada di atas permukaan dan terjadinya sedimentasi.
6. Sand on Edge of Platform Fasies
Sand on edge of platform Fasies merupakan daerah pantai yang
dangkal, daerah gosong-gosong pada daerah pantai ataupun bukit-
bukit pasir. Kedalamannya antara 5-10 meter sampai diatas
permukaan lau, pada lingkungan ini cukup memperoleh oksigen, akan
tetapi jarang dijumpai kehidupan organisme laut.
7. Open Platform Fasies
Open platform fasies terletak pada selat, danau dan teluk dibagian
belakang daerah tepi paparan. Kedalamannya hanya beberapa puluh
meter saja, dengan kadar garam yang bervariasi dan sirkulasi airnnya
sedang.
8. Restricted Platform Fasies
Restricted platform fasies merupakan endapan sedimen yang
halus yang terjadi pada daerah yang dangkal, pada telaga ataupun
danau. Sedimen yang lebih kasar hanya terjadi secara terbatas yaitu
pada daerah kanal ataupun pada daerah pasang surut. Lingkungan ini
terbatas untuk kehidupan organisme, mempunyai salinitas yang
beragam, kondisi reduksi dengan kandungan oksigen, sering
mengalami diagenesa yang kuat.
9. Plarform Evaporite Fasies
Plarform evaporite fasies merupakan lingkungan supratidal
dengan telaga pedalaman dari daerah ambang terbatas atau “restricted
marine” yang berkembang kedalam lingkungan evaporate (sabkha,
salinitas dan bergaram). Mempunyai iklim panas dan kering, kadang-
kadang terjadi air pasang. Proses penguapan air laut yang terjadi akan
menghasilkan gypsum dan anhidrit.
b. Fasies Link, 1950
Fasies karbonat menurut Link tahun 1950 dibagi menjadi 3 fasies
yaitu sebagai berikut.
1. Fasies Terumbu Belakang (back reef) merupakan fasies yang terdiri
dari perselingan antara batugamping dan dolomit, red beds, endapat
evaporit, pasir serpih dan sebagainya.
2. Fasies Terumbu Inti (reef core) merupakan fasies yang empunyai
terumbu yang masif berongga, dengan dolomit dan batufamping
yang lapuk berwarna merah kelabu sampai putih dan sering
terdapat indikasi adanya hidrokarbon.
3. Fasies Terumbu Muka (force reef) merupakan fasies yang terdiri
dari perselingan antara batugamping dan pasir, warna cokelat,
mengandung minyak bumi.
Gambar 8. Fasies Pengendapan Menurut Link (1950)
5. LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN KARBONAT MENURUT
TUCKER 1985
Menurut Tucker tahun 1985 dijelaskan bahwa endapan karbonat pada laut
dangkal terbentuk pada 3 macam lokasi yaitu Platform, Shelf, dan Ramps.
a. Fasies karbonat ramp
Fasies karbonat ramp merupakan suatu tubuh karbonat yang sangat besar
yang dibangun pada daerah yang positif hingga ke daerah paleoslope,
mempunyai kemiringan yang tidak signifikan, serta penyebaran yang luas dan
sama. Pada fasies ini energi transportasi yang besar dan dibatasi dengan
pantai atau intertidal.

Gambar 9. Fasies Karbonat Ramp


b. Fasies karbonat platform
Fasies karbonat platform merupakan suatu tubuh fasies karbonat yang
sangat besar dmana pada bagian atas lebih kurang horisontal dan berbatasan
langsung dengan shelf margin. Sedimen sedimen terbentuk dengan energi
yang tinggi.

Gambar 10. Fasies Karbonat Platform


c. Batas platform
Transisi dari shelf ke slope berpengaruh pada perubahan yang cepat dari
pola fasies karbonat. Pola pertama yang dicari oleh kebanyakan interpreter
adalah bentuk mound yang merepresentasikan reef. Beberapa contoh dengan
seismik yang bagus adalah karbonat Cretaceous di timur laut Amerika Serikat
dan Teluk Meksiko, karbonat Jurassic di Maroko, karbonat Miosen di Papua
Nugini dan karbonat Permian di Texas Barat. Beberapa buildup dapat
mencapai ketinggian melebihi 1000 meter. Salah satu signature kunci adalah
adanya refleksi shingled kecil yang miring ke arah lingkungan paparan
(shelf). Ini adalah hasil dari transpor endapan karbonat oleh badai dan arus
dari puncak reef menuju bagian dalam platform. Signature internal dari
buildup biasanya adalah hilangnya amplitudo dan kemenerusan walaupun ini
tidak selalu benar. Karena kemiringan utama dari slope karbonat dapat
melebihi 300 maka transisi dari buildup ke slope bagian atas dapat terjadi
secara mendadak.
d. Fasies karbonat shelf
Fasies Shelves (shelf) lokasi pengendapan karbonat relatif sempit ratusan
meter sampai beberapa km saja. Endapan karbonat pada daerah ini dicirikan
dengan adanya break slope pada daerah tepi paparan, terdapatnya terumbu
dan sand body karbonat. Kompleks terumbu pada fasies ini terbagi menjadi
Fasies terumbu muka (Force reef), inti terumbu (reef core) dan terumbu
belakang (back reef).

Gambar 11. Fasies Karbonat Shelves (Shelf)

6. LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN KARBONAT MENURUT


FRIEDMAN DAN REECKMANN (1982)
a. Peritidal (tidal flat)
Peritidal dibagi menjadi 3 sub-lingkungan antara lain supratidal,
intertidal dan subtidal
1. Supratidal
a. Merupakan lingkungan yang terletak di atas batas pasang tertinggi
b. Merupakan lingkungan yang berkembang di atas pengaruh laut
normal yang jarang terairi. Terdiri atas sub-lingkungan : sabkha,
salt marsh, brindpond, coastal pond.
c. Sifat endapan tergantung pada iklim
d. Peloidal wackstone biasa dijumpai
e. Fauna terbatas seperti gastropoda, algae, foraminifera, dan
ostracoda.
f. Adanya air asin dan air tawar menjadikan supra tidal zona penting
g. untuk terjadinya alterasi diagenetik awal
h. Energi rendah
2. Intertidal
a. Merupakan lingkungan terletak antara pasang rata-rata tertinggi
dan terendah, dimana perubahan yang teratur antara pasang dan
surut terjadi.
b. Proses sedimentasi terjadi sacara ritmik yang mencerminkan proses
pasang surut periodic.
c. Kehidupan cukup melimpah tetapi dengan kondisi ekstrim karena
biota harus beradaptasi dengan pasang surut, suhu, ph, salinitas dan
kimia air yang berfariasi.
d. Iklim mempunyai pengaruh penting, sebagai contoh algae mats
hanya dapat terbentuk di daerah arid
e. Terdiri dari sub-lingkungan: fore shore, beach, tidal channel, levee,
mangrove, swamp dan beach ridge.
f. Merupakan zona untuk terjadinya alterasi diagenetik awal termasuk
pembentukan dolomite dan evaporit.
g. Litologi yang dijumpai: oolitic grainstone, bioklast grainstone,
interclast strom deposited.
h. Merupakan zona dengan tingkat energi tinggi, tergantung terhadap
pengaruh pasang surut, arus angin, arus, dan ada tidaknya barrier.
Porositas biasanya lebih baik dibandingkan pada supratidal.
i. Litologi yang dijumpai : wackstone, packstone hingga grainstone.
3. Subtidal
a. Merupakan daerah yang terletak pada pasang surut rendah.
b. Umumnya merupakan zona dengan energi rendah, dengan aktivitas
arus dan gelombang yang tinggi, tingkat energi masih tinggi dan
sedimen yang dijumpai sama dengan zona intertidal.
c. Merupakan zona dimana koral tumbuh, ooid terbentuk,
pembentukan channel, delta dan bioclastic shoal.
d. Merupakan lingkungan penting untuk pengendapan karbonat
e. Mikrofauna beraneka ragam tergantung pada salinitas air
f. Litologi yang dijumpai: wackstone, packstone hingga grainstone.
b. Kompleks tepian paparan (shelf margin)
1. Dicirikan dijumpai pasir karbonat dan terumbu
2. Terumbu di jumpai di tepian paparan, dimana kerangkanya yang di
rigid mampu menahan aksi gelombang dan bahkan adanya aksi
gelombang, biota tersebut mendapat nutrisi dari laut dalam.
Ada 3 tipe organik build up :
a. Tipe 1- downslope lime-mud accumulation
1) Terbentuk oleh akumulasi lumpur karbonat dan rombakan
organic yang bergerak menuruni lereng
2) Membentuk endapan lumpur bioklastik atau mounds belt yang
linier pada lereng depan dari tepian paparan (sejajar sumbu
gawir)
b. Tipe 2 – knoll reefs sepanjang profil dengan lereng landau
1) Tepian paparan tersusun oleh mounds, organik frame building
dan kelompok terpisah atau organisme yang berkembang diatas
wave base dan akumulasi rombakan.
c. Tipe 3 – frame built organic reef
1) Tepian paparan berupa frame-constructed reefs seperti
kumpulan koral-algae dengan kehidupan sessile yang
berkembang diatas wave base.
2) Tepian paparan biasanya mempunyai lereng curam dan talus
derbis
3) Pasir karbonat berasal dari terumbu atau hewan dan tumbuhan
yang hidup di tepian paparan dan terakumulasi sepanjang daerah
di tepian paparan dan terakumulasi sepanjang daerah antar
tepian paparan dan slope.
c. Lereng (Slope)
1. Terletak di atas batas bawah air yang teroksigen dan diatas sampai di
bawah wave base
3. Kemiringan lereng sekitar 400 dan biasanya tidak stabil
4. Proses deposisi : didominasi oleh transportasi sedimen dari tepian
paparan kearah laut oleh proximal turbidity atau high density sediment
gravity flow dan slide/slump
5. Partikel berbutir halus terendapkan secara suspensi membentuk
lapisan tipis mudstone sementara slump, derbis flow dan arus turbidit
mengendapkan sedimen berbutir kasar, seperti breksi, konglomerat,
atau pasir karbonat
6. Pola fasies dipengaruhi oleh relief tepian paparan
d. Basin
1. Kedalaman mencapai ratusan meter dan berada dibawah wave base.
2. Kolom air teroksigensi, salinitas air laut normal dan sirkulasi arus baik
tetap lemah.
3. Didominasi oleh partikel yang berbutir sangat halus yang berasal dari
cangkang mikroorganisme planktonik yang akan membentuk chalk
pada saat terlitifikasi.
4. Fauna bentos laut dalam hadir dan terawetkan dalam bentuk fosil utuh
atau pecah. Burrow melimpah dan perlapisan nodular umumnya
dijumpai.
Gambar 12. Penampang ideal lingkungan pengendapan batuan karbonat
(Friedman & Reeckmann, 1982 dalam Carla Goncalves 2013)

7. MINERALOGI BATUAN KARBONAT


Pembentukan mineral karbonat tidak lepas dari kondisi air (tawar dan asin)
dimana batuan karbonat tersebut terbentuk. Walaupun mineral karbonat dapat
terbentuk pada air tawar dan laut, namun informasi banyak diperoleh dari kondisi
air laut.
Terdapat variasi kedalaman laut (hingga ribuan meter) dimana mineral-
mineral karbonat dapat terbentuk, namun produktifitas terbentuknya mineral
karbonat hanya pada wilayah dimana cahaya matahari dapat tembus (Light
saturation zone). Tingkat produktifitas mineral karbonat paling tinggi yaitu pada
kedalaman 0–20 meter dimana cahaya matahari efektif menembus kedalaman ini.
Selain kedalaman laut, produktifitas mineral karbonat juga ditentukan oleh
organisme penyusun batuan karbonat. Beberapa jenis organisme mempunyai
komposisi mineral karbonat yang tertentu seperti koral yang umum dijumpai
sebagai penyusun batuan karbonat modern memiliki komposisi mineral aragonit,
sedangkan organisme lainnya seperti algae, foraminifera umumnya tersusun oleh
mineral kalsit (1).
Tabel 2. Komposisi mineral setiap organisme yang umum dijumpai pada
batuan karbonat modern (Flugel, 1982)

Indikasi organisme tersebut sebenarnya juga menjadi indikasi lingkungan


pengendapan yang paling baik. Hal ini juga berlaku jika ditinjau dari segi
mineralogi organisme tersebut. Koral misalnya yang berkomposisi aragonit,
dimana aragonit hanya ditemukan pada kedalaman hingga 2000 meter, maka
dapat dikatakan bahwa koral yang menyusun batuan karbonat umumnya pada
lingkungan laut dangkal.
Menurut Milliman (1974), Folk (1974) dan Tucker dan Wright (1990)
mengungkapkan bahwa mineral karbonat yang penting menyusun batuan karbonat
adalah aragonit (CaCO3), kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Selain
mineral utama tersebut beberapa mineral sering pula dijumpai dalam batuan
karbonat yaitu magnesit (MgCO3), Rhodochrosite (MnCO3) dan siderit (Fe CO3).

Tabel 3. Sifat petrografis mineral pembentuk batuan karbonat (Flugel, 1982)

Jenis mineral yang umum dijumpai tersebut mempunyai karakteristik yang


tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas. Walaupun
ketiganya umum dijumpai pada batuan karbonat namun yang paling umum adalah
kalsit khususnya untuk batuan-batuan tua. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan atau diagenesa dimana mineral aragonit cenderung berubah menjadi
kalsit, seperti yang terlihat pada tabel 3.
Tabel 4. Komposisi kimia dan mineral karbonat yang umum dijumpai (Sam
Boggs, 1978)

Ketiga mineral utama tersebut mempunyai lingkungan pembentukan


tersendiri. Mineral aragonit terbentuk pada lingkungan yang mempunyai
temperatur tinggi dengan penyinaran matahari yang cukup, sehingga batuan
karbonat yang tersusun oleh komponen dengan mineral aragonit merupakan
produk laut dangkal dengan kedalaman sekitar 2000 meter, namun perkembangan
maksimum adalah hingga kedalaman 200 meter. Sedangkan mineral kalsit
merupakan mineral yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan kulit bumi.
Mineral kalsit tersebut masih bisa ditemukan hingga kedalam laut mencapai 4500
meter.

Gambar 13. Diagram yang memperlihatkan posisi relatif mineral aragonit dan
kalsit terhadap kedalaman air laut dan tingkat solubilitas mineral yang
ditunjukkan oleh garis ACD dan CCD pada daerah tropis. Pembagian zona
menjadi 4 zona yaitu zona presipitasi (I), zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi
aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan lagi mineral karbonat (IV) (Sam
Boggs 2nd, 1978)
Terjadinya perbedaan tersebut tidak hanya terjadi oleh karena perbedaan sinar
matahari yang bisa masuk tetapi juga disebabkan oleh temperatur air laut,
kandungan Mg2+, saturasi dari konsentrasi (CO3)2- serta fisiologi biotanya (Tucker
dan Wright, 1990).
Diagram yang diperlihatkan pada (gambar 10) di atas secara berangsur
berubah atau mendangkal seiring dengan perubahan latitude, dimana semakin
kearah kutub, maka zona-zona tersebut semakin mendangkal. Perubahan tersebut
terjadi oleh perbedaan cahaya matahari yang bisa masuk kedalam air laut.
Kedalaman air laut yang bisa tertembus oleh sinar matahari semakin tinggi pada
posisi dekat dengan equator atau khatulistiwa. Oleh karena itu pada daerah-daerah
equatorial merupakan wilayah yang menjadi tempat berkembangnya terumbu
modern yang baik. Sebaliknya zona yang menjauh dari daerah equatorial maka
kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya matahari semakin dangkal
sehingga semakin kurang baik perkembangan terumbunya.
DAFTAR PUSTAKA
Maryanto, S., 2012. Rekaman Proses Diagenesis Berdasarkan Data Petrografi
Pada Batugamping Formasi Sentolo di Lintasan Hargorejo, Kokap
Kulomprogo. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 7, No. 2, pp. 87-99.
Moore, C. H., 1997. Carbonate Diagenesis and Porosity, Developments in
Sedimentology 46. Amsterdam: Elsevier Science B.V.
Praptisih dkk., 2012. Fasies Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat Formasi
Parigi di Daerah Palimanan, Cirebon. Riset Geologi dan Pertambangan,
Vol. 22, No. 1, pp. 33-43.
Shima, J., 2014. Analisis Fasies dan Permodelan Sikuen Stratigrafi Batuan
Karbonat Lintasan Korindo, Formasi Wainukendi, Kabupaten Supiori,
Papua. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Semarang: Universitas
Dipenogoro.
Tucker, M. E. and Wright V. P., 1990. Carbonate Sedimentology, Blackwell
Science Ltd., United Kingdom.
Tucker, M. E., Wright, V. P., dan Dickson, J. A. D., 1990. Carbonate
Sedimentology. London: William Clowes Ltd.
Walker, R. G., 1984. Facies Models. Canada: Geological Association of Canada.
Wilson, J. L., 1975, Carbonate Facies in Geologic History: Springer-Verlag,
Berlin, 471 p.
Wiratama, K., 2012. Lingkungan Pengendapan Karbonat Menurut M. E. Tucker
1985.
http://khariswiratama.blogspot.co.id/2013/10/lingkunganpengendapan-
karbonat-menurut.html. Di akses pada tanggal 29 September 2015.

You might also like