Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN ALBUMIN
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK)
(Penelitian di Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN ALBUMIN
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK)
(Penelitian di Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
051111209
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
LEMBAR PENGESAHAN
STUDI PENGGUNAAN ALBUMIN
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK (PGK)
(Penelitian di Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SKRIPSI
Dibuat untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi
pada
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2015
Oleh :
Syarifah Nurul Maulidah
051111209
KATA PENGANTAR
vi
vii
Penulis
viii
RINGKASAN
ix
ABSTRACT
Drug Utilization Study of Albumin
in Patients with Chronic Kidney Disease
(Study at Internal Department
Dr. Soetomo Teaching Hospital Surabaya)
xi
DAFTAR ISI
xiii
xiv
xv
xvi
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
DAFTAR SINGKATAN
TD : Tekanan Darah
TGF-β : Transforming Growth Factor Beta
xxi
BAB I
PENDAHULUAN
1
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN..... SYARIFAH NURUL M.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2
mg/hari, hematuria atau adanya red cell cast pada sedimen urin,
kelainan elektrolit serta kelainan lain karena gangguan tubular,
kelainan histologi, atau ada riwayat transplantasi ginjal.
Abnormalitas dari fungsi ginjal diindikasikan dengan penurunan
GFR (Hudson & Wazny, 2014).
Di negara-negara maju, penyebab umum dari PGK adalah
diabetes mellitus dan hipertensi. Polycystic kidney disease, obstruksi,
dan infeksi juga menjadi penyebab PGK, namun bukan menjadi
penyebab yang umum (Perlman et al., 2014). Berdasarkan jumlah
prevalensi yang telah didapat, PGK merupakan penyakit dengan
prevalensi yang cukup tinggi, diperkirakan mencapai 10% di dunia
(Shah, 2006). Di Amerika Serikat, diperkirakan 13% dari total
populasi atau lebih dari 25 juta orang mengalami PGK. PGK
umumnya dialami individu berusia lebih dari 60 tahun dan yang
mengalami diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular
lain (Hudson & Wazny, 2014). Di Indonesia, pada tahun 2013
jumlah penderita PGK pada umur ≥ 15 tahun yaitu antara 0,1%
hingga 0,5%. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi
Tengah, sedangkan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB,
DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan
Sumatera Selatan. PGK meningkat seiring dengan bertambahnya
umur. Meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%),
diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%),
tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%) (RISKESDAS,
2013).
Penurunan kadar albumin dalam darah merupakan suatu
komplikasi yang umum terjadi pada pasien PGK. Hal ini dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN..... SYARIFAH NURUL M.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8
2.3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, diperkirakan 13% dari total populasi
atau lebih dari 25 juta orang mengalami penyakit ginjal kronis.
Penyakit ginjal kronis umumnya dialami individu berusia lebih dari
60 tahun dan yang mengalami diabetes, hipertensi serta penyakit
kardiovaskular lain (Hudson & Wazny, 2014). Di Indonesia,
prevalensi penyakit gagal ginjal kronis pada umur ≥ 15 tahun
menurut provinsi ialah antara 0,1% hingga 0,5%. Prevalensi tertinggi
terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi
Kalimantan Timur, NTB, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan
Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau. Penyakit ginjal kronis
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam
pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun
(0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur
≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari
perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyrakat pedesaan
(0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerja wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%) (Riskesdas, 2013).
2.3.3 Etiologi
Dari data literatur dapat diketahui bahwa PGK dapat timbul
akibat penyakit intrinsik ginjal primer, abnormalitas anatomi atau
terjadi obstruksi akibat komplikasi sekunder dari penyakit sistemik
lain, dan akibat penanganan PGA yang tidak optimal. Penyebab
paling umum timbulnya PGK adalah diabetes mellitus, hipertensi,
dan glomerulonefritis (Krauss, 2000).
Menurut K/DOQI, faktor resiko dari PGK dibagi menjadi
faktor kerentanan, faktor permulaan, dan faktor progresif. Faktor
2.3.4 Klasifikasi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan kondisi dimana
terjadi kerusakan ginjal dengan nilai LFG <60 ml/menit/1,73 m2
selama ≥3 bulan. PGK telah diklasifikasikan menjadi 5 stadium
2.3.5 Patofisiologi
Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltasi, sklerosis, dan
progresivitas tersebut. Aktivasi jangka panjang dari renin-
angiotensin-aldosteron tersebut sebagian diperantarai oleh growth
PGK. Pada sebagian besar kasus, bila LFG >20 ml/min maka
akan terjadi asidosis sedang (McPhee and Ganong, 2006).
4. Gangguan fosfat, kalsium, dan metabolisme tulang. Faktor
utama patogenesis kelainan ini antara lain penurunan absorbsi
kalsium pada saluran cerna, produksi yang berlebihan dari
hormon paratiroid, gangguan metabolisme vitamin D, dan
metabolik asidosis kronis. Semua faktor tersebut
berkontribusi dalam peningkatan resorpsi tulang.
Hiperfosfatemia juga berkontribusi dalam menimbulkan
hipokalsemia dan akan menstimulasi peningkatan hormon
paratiroid. Peningkatan hormon paratiroid dapat
menyebabkan deplesi kalsium tulang dan berakibat timbulnya
osteomalasia dan osteoporosis (McPhee and Ganong, 2006).
5. Gagal jantung kongestif dan edem paru terjadi karena
kelebihan garam dan air dalam tubuh (McPhee and Ganong,
2006).
6. Abnormalitas jumlah sel darah merah, fungsi sel darah putih,
dan faktor pembekuan. Normokromik, anemia normositik,
dengan gejala lesu, mudah lelah, dan hematokrit berada pada
rentang 20-25%. Anemia pada PGK terjadi karena
berkurangnya produksi eritropoietin ginjal sehingga
menyebabkan menurunnya stimulasi eritropoiesis. Selain itu,
juga disebabkan karena adanya peningkatan kehilangan darah
pada saluran cerna akibat kelainan trombosit, defisiensi asam
folat dan besi, serta kehilangan darah dari proses hemodialisis
atau sampel uji laboratorium (McPhee and Ganong, 2006;
Wilson, 2006).
kadar serum albumin dibawah 2,5 g/dL (Gatta, et al., 2012). Kondisi
rendahnya kadar serum albumin merupakan faktor resiko dan dapat
digunakan sebagai parameter morbiditas dan mortalitas terlepas dari
penyakit yang terlibat (Franch-Arcas, 2001). Selain itu, pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan kadar albumin rendah, memiliki
mortalitas yang lebih tinggi dan waktu inap yang lebih panjang
(Herrmann et al., 1992).
Tabel II.4 Penyebab Hipoalbuminemia dan Implikasinya (Herrmann
et al., 1992)
Penyebab Mekanisme dan Implikasi
Analbuminemia Tidak ada sintesis
Kelaparan Penurunan sintesis albumin, dikaitkan dengan
keluaran klinis yang buruk
Penyakit hati Sebagian besar disebabkan redistribusi, juga
karena peningkatan katabolisme dan
penurunan sintesis
Penyakit ginjal Kebocoran karena albuminuria dan nefrosis,
juga bisa karena dialysis.
Pre-eklamsia Karena redistribusi
Malignan Penurunan sintesis, peningkata katabolisme
dan redistribusi. Aktivitas sitokin juga
berpengaruh (umumnya TNF). Dikaitkan
dengan prognosis yang buruk.
Luka bakar Katabolisme meningkat, kebocoran besar-
besaran pada lokasi luka. Juga karena
penurunan sintesis.
Trauma Respon stress. Peningkatan katabolisme dan
redistribusi.
Pembedahan Respon stress. Redistribusi.
Sepsis Redistribusi, juga karena peningkatan
katabolisme dan penurunan sintesis.
atau melalui ruang antar sel hati dan dinding sinusoid kemudian ke
saluran limfe hati, duktus torasikus dan akhirnya ke dalam
kompartemen intravascular. Hanya albumin dalam plasma yang
mempertahankan volume plasma dan mencegah edema, sedangkan
albumin ekstravaskular tidak. Konsentrasi albumin dalam cairan
interstitial sekitar 60% dari konsetrasi albumin dalam plasma. Waktu
paruh eliminasi albumin sekitar 17 hingga 18 hari. Waktu paruh
distibusinya adalah 15 sampai 16 jam. Tempat utama degradasi
albumin belum diketahui. Untuk individu sehat pada umumnya hati
tidak mempunyai pengaruh pada pengendalian katabolisme albumin,
namun bila ada penyakit organ yang spesifik, hati, ginjal dan usus
dapat menjadi tempat yang penting untuk degradasi. Normalnya
kadar albumin dijaga relatif konstan pada kadar 3,5% hingga 5,5%
b/v atau 4,5 g/dL.
Albumin menjaga tekanan osmotik darah dan transport
senyawa endogen maupun senyawa eksogen. Albumin membentuk
kompleks dengan asam lemak bebas (free fatty acids), bilirubin,
berbagai hormon (seperti kortison, aldosteron, dan tiroksin), triptofan
dan senyawa-senyawa lain. Kebanyakan obat bersifat asam lemah
(anionik) berikatan dengan albumin melalui ikatan elektrostatik dan
hidrofobik. Obat-obat bersifat asam lemah seperti salisilat,
fenilbutazon dan penisilin terikat kuat dengan albumin.
Bagimanapun, kekuatan ikatan obat dengan albumin berbeda-beda
pada tiap-tiap obat (PPARSDS, 2003; Shargel et al., 2005).
Pemberian preparat albumin pada keadaan sehat tidak
dieksresi oleh ginjal. Penyakit ginjal dapat memperngaruhi degradasi
dan sintesis. Pada sindorma nefrotik, albumin plasma dipertahankan
2. Kesalahan Dosis
1. Besar dosis
2. Frekuensi
3. Dosis terlalu tinggi atau rendah
4. Tidak ada maksimum dosis pada resep yang
dibutuhkan
5. Lamanya terapi
6. Cara pemakaian
3. Kesalahan Terapetik
1. Indikasi
2. Kontraindikasi
3. Monitoring
4. Interaksi antar obat
5. Pemberian monoterapi tidak tepat
6. Pemberian terapi yang salah (misalnya dua obat dalam
satu kategori diberikan bersamaan)
2.6.2 Kesalahan dalam Pemberian Obat
1. Kesalahan dalam pemberian ke pasien dan ruangan
2. Jenis obat
3. Bentuk sediaan
4. Besar dosis
5. Waktu pemberian obat
2.6.3 Kesalahan dalam Administrasi
1. Kelalaian (obat tidak diberikan)
2. Obat tidak dipesankan
3. Peracikan obat
4. Bentuk sediaan
5. Cara pemberian
6. Teknik administrasi
7. Dosis
8. Waktu pemberian obat
9. Kepatuhan pasien
2.6.4 Kesalahan Medikasi yang dapat Berdampak Fatal
1. Kesalahan telah terjadi tetapi obat tidak sampai ke
pasien
2. Kesalahan telah terjadi dan obat telah sampai ke
pasien, tetapi tidak mengakibatkan efek yang
merugikan
a. Obat tidak diberikan
b. Obat diberikan tetapi tidak membahayakan
3. Kesalahan telah dilakukan dan meningkatkan
frekuensi dalam memonitoring pasien, tetapi tidak
membahayakan
4. Kesalahan telah dilakukan dan dapat membahayakan
a. Terjadi kerusakan sementara yang memerlukan
pengobatan
b. Terjadi kerusakan sementara yang meningkatkan
lama rawat inap
c. Terjadi kerusakan permanen
d. Pasien hampir meninggal
5. Kesalahan yang mengakibatkan pasien meninggal
(Bemt and Egberts, 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
43
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN..... SYARIFAH NURUL M.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
44
Ginjal Terapi
Albumin
Disfungsi Jenis albumin :
Cara
1. Albumin 5%
2. Albumin 20% pemberian:
GFR ↓ 3. Albumin 25% Infusi drip
Durasi pemberian :
PGA PGK < 4 jam, dengan kecepatan
infus 1-2 ml/menit
Proteinuria Fisikokimia:
Bersifat amfoter
Uremia Terkoagulasi oleh panas
BM ±65.000 Da
↓Sintesis asam Konsentrasi dalam cairan interstitial ±60%
amino melalui proses pasteurisasi dengan
pemanasan pada suhu 60o C selama 10 jam.
BAB IV
METODE PENELITIAN
46
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN..... SYARIFAH NURUL M.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
47
3. Dosis
Merupakan takaran albumin yang diterima pasien
dalam sekali pemberian, yaitu 20 gram.
4. Frekuensi pemberian
Merupakan jumlah penggunaan albumin yang
diterima pasien pada setiap pemberian, dinyatakan dalam
botol perhari.
5. Cara pemberian
Merupakan cara pemberian albumin pada pasien
PGK, yaitu infusi drip.
6. Durasi pemberian
Merupakan durasi yang dibutuhkan pada setiap
pemberian sediaan infus albumin yang diterima oleh pasien,
dinyatakan dalam jam.
7. Capaian terapi
Merupakan hasil pada pasien yang dilihat dari data
laboratorium albumin pre dan albumin post pemberian
terapi albumin.
8. Data laboratorium
Merupakan data hasil pemeriksaan laboratorium
pasien yang mengalami PGK dan mendapat terapi albumin,
meliputi albumin, serum kreatinin, dan proteinuria.
9. Data klinik
Data yang berhubungan dengan kondisi pasien yang
memerlukan terapi albumin, meliputi tekanan darah, RR,
nadi, edema, suhu, KU, dan GCS.
Kriteria inklusi :
1. Pasien dengan diagnosis Penyakit Ginjal Kronik (PGK).
2. Pasien mendapat terapi albumin.
3. Pasien dengan data laboratorium sebelum dan sesudah
pemberian terapi albumin.
Kriteria eksklusi:
Pasien PGK dengan penyakit
penyerta yang dapat menyebabkan
hipoalbuminemia, meliputi luka
bakar, sepsis, cedera otak, dan
stroke.
Hasil
BAB V
HASIL PENELITIAN
52
yang tidak sama pada setiap pasien. Berikut adalah grafik durasi
pemberian albumin pada pasien PGK yang akan ditampilkan pada
Gambar 5.1.
3 jam
(2 pasien)
4 jam 16,7%
(4 pasien)
33,3%
3 jam 15 menit
(1 pasien)
8,3%
3 jam 30 menit
(5 pasien)
41,7%
Keterangan :
- Terdapat 1 pasien menerima 2 kali terapi albumin (pasien
nomor 10).
- Dosis pemberian albumin adalah sama pada setiap pasien
yaitu 20 g (20% dalam 100 mL).
Tidak
sesuai
(8,3%)
Sesuai
(91,7%)
0,40
0.45 0,36±0,02
0,32±0,02
0.35 (11 pasien)
BAB VI
PEMBAHASAN
65
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN..... SYARIFAH NURUL M.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
66
ratanya dapat dilihat pada Tabel V.4. Untuk melihat pola kenaikan
kadar albumin pre dan albumin post dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Kesesuaian pemberian dosis terapi albumin dapat
diidentifikasi dari perhitungan kebutuhan dosis albumin secara
teoritis antara kadar albumin yang diharapkan dan kadar albumin pre
pemberian dengan mengkonversikan data dengan berat barat pasien.
Selanjutnya hasil dari perhitungan teoritis tersebut dibandingkan
dengan dosis albumin yang diberikan pada pasien. Pada penelitian
ini kadar albumin yang diharapkan adalah 2,5 g/dL. Rumus
perhitungan kebutuhan albumin dapat dihitung berdasarkan
PPARSDS tahun 2003. Perhitungan dosis kebutuhan albumin
dikonversikan dengan data berat badan pasien dan kadar albumin
pre. Dalam hal ini kadar albumin yang diharapkan adalah 2,5 g/dL
karena dikatakan bahwa pasien membutuhkan terapi albumin ketika
kadar albuminnya <2,5 g/dL. Hasil perhitungan kebutuhan albumin
pasien dapat dilihat pada Tabel V.5 dan Gambar 5.3. Dari tabel
tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan jumlah terbanyak yaitu
11 (91,7%) pasien, dosis pemberian albumin telah sesuai dengan
dosis albumin yang dibutuhkan. Sedangkan 1 (8,3%) pasien lainnya
pemberian dosis albumin tidak sesuai dengan dosis yang dibutuhkan.
Terdapat 1 pasien yang menerima 2 kali terapi albumin yaitu pasien
nomor 10.
Faktor yang mempengaruhi capaian albumin pada pasien
PGK diantaranya yaitu proteinuria, uremia, dan sintesis asam amino
dalam tubuh. Dalam hal ini sintesis asam amino dalam tubuh tidak
dapat diketahui karena tidak dilakukan pengamatan. Proteinuria yang
terdeteksi secara klinis merupakan hal yang abnormal dan biasanya
yang kontinyu dari fungsi ginjal itu sendiri. Pada Gambar 5.5 terlihat
bahwa banyaknya jumlah pasien meningkat seiring dengan tingkat
keparahan PGK. Dari data tersebut terlihat bahwa PGK merupakan
penyakit yang bersifat progresif dan penurunan fungsi ginjal akan
menyebabkan komplikasi lain seperti hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler lainnya yang turut berkontribusi dalam
perkembangan penyakit ini (NKF, 2002). Pada Tabel V.7 dapat
dilihat kenaikan kadar albumin dan kenaikan nilai GFR dari masing-
masing pasien. Seharusnya kenaikan kadar albumin selaras dengan
kenaikan nilai GFR karena semakin rendah nilai GFR maka tingkat
kebocoran ginjal (proteinuria) semakin besar dan kenaikan albumin
semakin kecil (Nitsch, 2013). Namun dalam penelitian ini, terdapat
beberapa pasien yang menunjukkan kenaikan albumin yang tinggi
tapi memiliki nilai GFR yang rendah, atau sebaliknya. Hal tersebut
menandakan bahwa tidak hanya kecukupan albumin saja yang
dibutuhkan agar terapi dapat maksimal, melainkan ada faktor-faktor
lain yang mendukung supaya target terapi dapat tercapai diantaranya
adalah nutrisi yang cukup (Campbell et al, 2014). Semakin turunnya
GFR, fungsi ekskresi ginjal terganggu dan menyebabkan terjadinya
uremia sehingga menyebabkan menumpuknya metabolit toksik yang
mengganggu kerja liver. Liver tidak mampu mengimbangi hilangnya
albumin dan kadar albumin pada sirkulasi menurun, menyebabkan
edema seringkali terjadi (Campbell et al, 2014).
Selain itu, kenaikan kadar albumin juga dipengaruhi oleh
kemampuan tubuh untuk mensistesis asam amino. Kemampuan
sintesis pada individu normal sekitar 100-200 mg/kg BB/hari
(Shargel et al., 2005). Kemampuan sintesis ini dipengaruhi asupan
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang studi penggunaan
albumin pada pasien PGK di Instalasi Rawat Inap Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan jumlah sampel 11
pasien, dapat diambil kesimpulan:
1. Capaian terapi albumin dilihat dari kadar albumin pre,
albumin post, dan kenaikan kadar albumin, serta kesesuaian
pemberian dosis albumin berdasarkan perhitungan. Seluruh
sampel penelitian mengalami kenaikan kadar albumin
setelah diberikan terapi dengan kenaikan yang bervariasi
tiap pasien. Rata-rata kenaikan kadar albumin sebesar
0,31±0,02 g/dL. Dari perhitungan kebutuhan albumin
didapatkan 91,7% pasien telah diberikan dosis yang sesuai
dengan dosis albumin yang dibutuhkan, sedangkan 8,3%
pasien lainnya diberikan dosis albumin yang tidak sesuai
dengan dosis yang dibutuhkan.
2. Faktor yang mempengaruhi kenaikan kadar albumin yaitu
proteinuria, uremia, dan sintesis asam amino dalam tubuh.
3. Masalah terkait obat yang terjadi yaitu adanya indikasi
namun tidak diberikan terapi, sebesar 16,6%.
3.2 Saran
1. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium sebelum dan
sesudah pemberian albumin dengan interval waktu yang
sama pada setiap pasien untuk mengetahui data aktual
supaya hasil penelitian lebih representatif.
78
SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN..... SYARIFAH NURUL M.
ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 2
SURAT KELAIKAN ETIK
LAMPIRAN 3
TERAPI LAIN