You are on page 1of 3

KEPEMIMPINAN RABBANI

Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag


Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya & Penulis Buku “60 Menit Terapi Shalat Bahagia”

sumber gambar: https://www.ted.com/topics/leadership

َ َ‫ٱَّلل َو َٰلَكِن ُكونُواْ َر َٰ هبنِيِۧنَ بِ َما ُكنت ُ ۡم تُعَ ِل ُمونَ ۡٱل ِك َٰت‬
‫ب َوبِ َما ُكنت ُ ۡم‬ ِ ‫ب َو ۡٱل ُح ۡك َم َوٱلنُّب هُوة َ ث ُ هم يَقُو َل لِلنه‬
ِ ‫اس ُكونُواْ ِعبَادٗ ا لِي مِ ن د‬
ِ ‫ُون ه‬ َ َ ‫ٱَّللُ ۡٱل ِك َٰت‬
‫َما َكانَ ِلبَش ٍَر أَن ي ُۡؤتِيَهُ ه‬
٧٩ َ‫ت َد ُرسُون‬ ۡ

Tidaklah mungkin seseorang yang diberi Allah al Kitab, al hikmah dan kenabian, lalu dia berkata
kepada manusia, “Jadilah kalian penyembah aku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi
(dia pasti berkata), “Jadilah kalian manusia rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab
dan karena kamu tetap mempelajarinya (QS. Ali Imran [03]: 79).
Ayat di atas turun ketika Nabi SAW kedatangan beberapa pendeta Yahudi dan Nasrani di Madinah.
Ketika diajak Nabi memeluk Islam, mereka menjawab sinis, “Apakah kamu menyuruh kami
menyembahmu seperti kaum Nasrani menyembah Isa?” Nabi mengatakan, “ma’adzallah, semoga
Allah melindungi saya. Sama sekali bukan itu maksud saya.”
Ayat di atas menegaskan bahwa, pertama, tidaklah mungkin nabi-nabi, termasuk Nabi SAW yang
mendapat tugas kenabian dengan bekal kitab suci dan diberi kecerdasan lalu berkhianat atau
menyalahi perintah dengan menyuruh manusia menyembah dirinya selain Allah. Pengkhianatan
adalah dosa bagi manusia biasa, maka apalagi bagi seorang nabi. Kedua, semua nabi justru
menyuruh manusia menjadi manusia rabbani atau manusia berketuhanan, yaitu dekat kepada
Tuhannya, mendalami firman-firman-Nya dan berakhlak seperti akhlak-Nya. Menurut Quraish Shihab,
rabbani adalah muslim yang terus menerus mempelajari kitab suci dan mengajarkannya kepada
manusia. Menurut Ibnu Abbas r.a, muslim rabbani adalah ulama, hukama (ahli hikmah dan
filsafat), fuqaha’ (ahli hukum) yang menguasai ilmu dan filsafat, sehingga memahami makna terdalam
dari firman-firman Allah, dan mengetahui berbagai rahasia dari semua ciptaan Tuhannya, lalu
mengajarkannya kepada orang lain.
Jika dikaitkan dengan kepemimpinan, maka kepemimpinan rabbani adalah kepemimpinan yang
berbasis ilmu ketuhanan dan ilmu-ilmu lainnya untuk memberikan pelayanan terbaik, kesejahteraan
dan keadilan untuk masyarakat yang dipimpinnya. Nabi SAW memberi contoh tanggungjawab
kepemimpinannya sampai detik-detik terakhir hidupnya. Ketika Jibril mengatakan bahwa tugasnya
sebagai pengantar wahyu sudah berakhir, Nabi SAW bertanya, ”Siapa yang akan mengurusi umatku
sesudah aku mati?” Allah SWT lalu mewahyukan kepada Jibril, ”Beritakan kepada kekasihku, Aku
tidak akan menelantarkan umatnya. Beritahukan pula, ia orang pertama yang dikeluarkan dari bumi
kelak pada hari kiamat, dan dialah yang akan memimpin semua manusia saat itu. Dialah pula yang
Aku ijinkan pertama kali memasuki surga.” Nabi SAW lalu terlihat ceria, kemudian menggosok gigi
dengan siwak sebelum bersyahadat untuk menutup kehidupan selamanya.

Sepanjang hidupnya, yang dipikirkan Nabi SAW hanya satu, yaitu keadaan atau nasib orang-orang
yang dipimpinnya. Ia mencintai umatnya seperti seorang ibu kepada anaknya, atau kakak kepada
adik-adiknya. Kisah pendek ini merupakan tamparan keras bagi siapapun pemimpin negeri ini yang
mengutamakan partainya dan menomor-duakan rakyatnya. Waktu yang semestinya untuk mengurus
rakyat terkuras untuk mengurus partai dan menambah pundi-pundi kekayaan keluarga, sedangkan
untuk mengurus rakyat hanya dengan sisa-sisa energi yang telah terkuras sebelumnya.

Dalam sejarah, Umar bin Khattab r.a pernah bertindak cepat, memberhentikan gubernur Syria yang
terbukti melakukan penyelewengan, lalu mengangkat Sa’id bin Amir sebagai penggantinya, semata-
mata karena potensi dan akhlaknya. Belum lama menjabat, Said mendapat ujian dari istrinya
yang menuntut rumah dan fasilitas yang serba mewah. Said tidak tunduk kepada kemauan istri, tetap
hidup sederhana, bahkan memberikan gajinya kepada fakir miskin. Menghadapi istri yang marah dan
kecewa, Said mengarahkan pandangannya ke atas, seraya berkata, ”Wahai istriku, Allah sedang
memperlihatkan pada saya para syuhada’, teman-temanku bercengkerama dengan para bidadari
yang amat cantik. Jika engkau tidak bisa mengikuti cara kepemimpinan saya, maka saya lebih suka
memilih bidadari itu daripada engkau.”

Suatu saat, Umar mendapat laporan, bahwa gubernur yang baru itu sering terlambat ke kantor,
beberapa kali absen, menolak didatangi rakyat di malam hari, dan sering pingsan di saat kerja.

Umar meminta klarifikasi Said bin Amir di depan rakyatnya. Inilah rekaman keterangannya, “Saya
sebenarnya tidak ingin membuka rahasia ini. Tapi, baiklah, terpaksa saya harus ceritakan semuanya.
Pertama, saya sering terlambat ke kantor, karena saya tidak punya pembantu, dan saya harus
mengaduk roti sendiri, lalu shalat dhuha, dan barulah ke kantor. Kedua, saya absen ke kantor dua
kali sebulan, karena ketika satu-satunya baju saya ini dicuci, saya harus menunggunya sampai kering
dan baru bisa saya pakai ke kantor. Ketiga, saya menolak anda semua ke rumah malam hari, karena
siang hari saya maksimalkan mengurus rakyat dan malam hari saya khususkan untuk bersujud
kepada Allah. Keempat, benar, saya sering pingsan ketika di kantor. Inilah yang perlu saya jelaskan
lebih detail, sebab saya memiliki pengalaman pahit yang tidak bisa saya lupakan.

Sa’ad melanjutkan, “Sebelum masuk Islam, saya menyaksikan Hubaib Al Anshari disiksa orang kafir
secara keji disertai cacian yang menyakitkan hati, ”Kami akan melepas kamu, jika nabimu
menggantikanmu untuk kami hajar di sini?” Hubaib menjawab, ”Aku tidak akan rela nabiku disiksa
walaupun hanya dengan tusukan duri.” Saat itulah, tubuhnya dicincang-cincang, dan saya hanya
berpangku tangan. Saya takut kelak ditanya Allah, mengapa saya diam dan tidak melakukan
pembelaan sedikitpun. Setiap kali saya mengingat kejadian itu, saya lemas dan langsung
pingsan.” Mendengar klarifikasi tersebut, Umar bin Khattab menunduk haru, lalu bangkit memeluk
erat dan mencium kening Said bin Amir sambil berkata, ”Saya bangga dan bersyukur, saya tidak
salah memilihmu sebagai seorang pemimpin.”
Nabi SAW memberi tauladan kepemimpinan rabbani, yaitu dekat dengan Allah dan mengutamakan
pelayanan umat. Umar bin Khattab memberi tauladan memilih pejabat yang benar-benar profesional,
bukan berdasar hubungan keluarga, setoran atau mahar politik, strategi “dagang sapi,” dan
sebagainya. Komitmen, kejujuran, ketulusan, kecerdasan, dan kecekatan harus menjadi
pertimbangan utama. Untuk apa memilih orang cerdas, kalau terhadap uang negara ia tukang kuras?
Untuk apa pula bergelar doktor kalau koruptor? Utamakan pejabat rabbani, dan ukurannya bukan
berapa kali ia umrah atau berhaji.

Negeri ini terkenal kaya raya, dan hanya pemimpin rabbani yang bisa mengantarkannya menjadi
negara besar setelah China dan India di kemudian hari. Andalah calon pemimpin itu!

Surabaya, 30/09/2017

Referensi: (1) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol.2, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p.
161 (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 3, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 217-219. (3) Khalid,
Muhammad Khalid, Rijalun Haular Rasul (Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah), CV
Diponegoro, Bandung, Cet VI, 1988.

You might also like