Professional Documents
Culture Documents
Ketiga, makan dan minum yang melebihi kebutuhan tubuh. Rosyadi Achmad
memberi nasihat, “Makan Anda yang pertama ketika lapar adalah kebutuhan,
sedangkan makan kedua adalah nafsu yang akan membuat Anda bodoh, malas
dan berpenyakit, sebab akan menghasilkan lemak yang tersimpan di bawah
permukaan kulit.” Jangan seperti hewan yang hanya berhenti mengunyah
makanan ketika tidur. Kata Umar bin Khattab r.a, “Jika engkau tidak berlatih
menahan hawa nafsu mulai dari makanan, apakah mungkin engkau bisa
melawan hawa nafsu yang lebih membahayakan.” Makanan halal yang berlebih
bisa mengeraskan hati, maka tentu akan lebih dahsyat dampak negatifnya,
jika makanan itu bersumber dari korupsi, atau cara-cara yang haram lainnya.
Makanlah secukupnya dan belanjakan uang secara hemat, agar Anda memiliki
sisa dana untuk membantu lebih banyak orang yang membutuhkan. Kata nabi
SAW, “Engkau tidak berhak menyebut diri sebagai orang beriman, jika engkau
kenyang di tengah orang-orang yang lapar.”
Keempat, introspeksi yang diabaikan. Setiap muslim harus menyediakan
waktu untuk introspeksi secara rutin. Rukuk dan sujudlah yang lebih lama
untuk bertasbih dan memohon pertolongan Allah untuk berhenti dari
kebiasaan-kebiasaan buruk. I’tikaf di masjid antara lain dimaksudkan untuk
introspeksi atas dosa-dosa kita. Semakin jarang introspeksi dilakukan,
semakin cepat hati Anda mengeras dan membatu.
Kelima, mainan atau game, musik dan video yang tidak mendidik. Kita diajari
Nabi SAW untuk berdoa, “Wahai Allah, berikan cahaya-Mu pada pendengaran
dan penglihatanku.” Artinya, kita meminta Allah untuk dijauhkan dari
pendengaran dan penglihatan yang negatif. Untuk hiburan sejenak tidaklah
dilarang, asal tidak berlebihan dan tidak merusak akhlak. Sering terjadi
kriminalitas dan kejahatan seksual yang dilakukan akibat video-video yang
tidak edukatif. Allah SWT mengingatkan, “Sungguh, pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya harus dipertanggungjawabkan” (QS.Al Isra [17]: 36).
Keenam, tawa atau bergurau yang berlebihan, bahkan terbahak-bahak persis
gelak-tawa setan. Anas r.a bercerita, “Rasulullah SAW pernah berkhutbah
dengan berapi-api, cara yang belum pernah saya saksikan sebelumnya. Beliau
berkhutbah, “Lau ta’lamuna ma a’lam ladlahiktum qalilan walabakaitum
katsira” (andaikan kalian mengetahui apa yang telah saya ketahui, niscaya
kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Para sahabat langsung
menutup muka sambil sesenggukan menangis” (HR. Bukhari Muslim). Imam
Hasan Al Bashri menegur pemuda yang terbahak-bahak, ”Wahai anak muda,
bagaimana kalian bisa tertawa seperti itu, padahal tidak ada jaminan bahwa
engkau masuk surga dan selamat dari siksa?” Sejak itu, pemuda tersebut
bertaubat dan menjadi orang yang saleh.
Para hadirin Yth.
Sekali lagi, marilah kita menjauhi enam sebab kebekuan hati, yang saya
singkat BISA MAIN MATA, yaitu (1) bicara yang berlebihan, (2) shalat yang
ditunda-tunda, (3) makan yang berlebihan, (4) introspeksi yang diabaikan, (5)
mainan yang tidak mendidik, dan (6) tawa yang berlebihan. Kita memohon
kepada Allah semoga Allah menyinari hati kita, sehingga mudah tersentuh
dengan firman Allah dan sabda rasul-Nya. Lunakkan hati, nyalakan pelita di
dada dengan cahaya Nabi tercinta.
ا الى كوكلهكحم ااسنهه ههكواحلكغفهحوهر السر ا
ححيهم اكقهحول ه كقحوالى كهكذا كواكحسكتحغفاهر ك
Referensi: (1) Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Al
Jumanatul ‘Ali, Bandung, 2005; (2) Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Adh Dhabi’i,
Sanabilul Khair, Investasi Akhirat, terjemah: Tsaniananda Fidyatul Ch,
Penerbit: Tinta Medina, Creative Imprint of Tiga Serangkai, Solo, Cet. I, 2016,
hlm. 72-73; (3) Rosyadi Achmad, Terapi Sapu Jagad, Penerbit: Sapu Jagad
Corp, Sidoarjo, cet.1.2015; (4) As Samarqandy, Syekh Nashr bin Muhammad bin
Ibrahim, Tanbighul Ghafilin, Maktabah wa Mathba’ah Al Hidayah, Surabaya, t.t.
hlm. 70; (5) Khalid Muhammad Khalid, Ma’a Umar (Umar Ibnul Khattab Mukmin
Perkasa), terj. Abu Syauqi Baya’syud dan Mustafa Mahdami, Penerbit Media
Idaman, Surabaya, 1989, cet. II (6) Hamka, Tafsir Al Azhar, Pustaka Panjimas,
Jakarta, 1985