You are on page 1of 6

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM

TENTANG
FEMINIST JURISPRUDENCE
( Metode dan Tokoh )

Ditunjukan Kepada Dosen Mata Kuliah


Filsafat Hukum

Prof. Dr. Asasriwarni, M. H.

Oleh :

AGNES FAJRI
BP. 1833.044

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS EKASAKTI
PADANG
2019
FEMINIST JURISPRUDENCE
( Metode dan Tokoh )

Feminist Jurisprudence (Jurisprudensi Feminis) bisa dilacak, mungkin pada saat


munculnya gelombang fenimisme abad sembilan belas, atau sepuluh tahun yang lalu saat
wanita menyuarakan tentang hukum dan teori legal khususnya. Pluralitas suara mengenai
hal ini semakin kuat di Amerika Utara dan Australia dibandingkan di Inggris. Tulisan
selanjutnya merefleksikan hal ini.
Salah satu penjelasan mengenai Jurisprudensi Feminis melihat sebagai suatu
tembakan mengenai gerakan Studi Hukum yang Kritis (SHK). Prinsip-prinsip SHK pada
tahun tujuh puluhan meliputi “kritik mendasar mengenai logika hukum yang melekat,
doktrin ketidak menentuan dan pemutar balikan, peranan hukum mengenai legitimiasi
hubungan sosial tertentu, dan ketidak absahan hirarki yang diciptakan oleh lembaga
hukum”.
Jurisprudensi Feminis merupakan suatu pengembangan gerakan wanita lebih umum
yang muncul pada akhir 1960an dan awal 1970an dan berada pada puncak dari sosiologi
feminis, filosofi feminis dan sejarah feminis. Semula merupakan pengembangan
keterikatan dari refleksi dan suara wanita yang lebih luas.
Semakin banyaknya wanita yang mempelajari hukum merupakan fenomena tahun
1960an dan sesudahnya juga mempunyai dampak, yaitu mahasiswa wanita mulai
mempertanyakan kurikulum yang mengabaikan isu sentral mengenai keprihatinan wanita
yang meliputi: pemerkosaan, penyiksaan pembantu rumah tangga, fungsi reproduksi,
pembayaran upah yang tidak setara, diskriminasi sex, pelecehan sexua

A. Metode Legal Feminis


Sementara para feminis kontemporer bersama-sama para filosofis modern
memunculkan metateori penting yang membahas mengenai sifat dan status teori itu
sendiri. Misalnya Bartlett membantah bahwa bangunan sosial yang merupakan produk
dari ”struktur dan sumber-sumber yang sangat banyak”, bahwa sejarah, budaya dan
bahasa berada dalam kontrol individual. Dalam tulisannya ”Metode Legal Feminis” dia

1
mengidentifikasi metode-metode yang membuat studi dan praktek hukum diwarnai oleh
jiwa para feminis”. Dia menekankan adanya tiga metode tersebut yaitu: menanyakan
masalah/persoalan-persoalan wanita; alasan mengenai praktek feminis; dan munculnya
kesadaran.
Dalam hal ini dia mengesampingkan metode legal tradisional. Evaluasi terhadap
teorinya mengenai pemikiranlegal feminis berkaitan dengan masalah empiris,
pandangan epistemologi dan penganut faham modern untuk membantah
”posisionalitas”, pengakuan eksistensi, tetapi juga kontingensi, kebenaran-nilai-ilmu
pengetahuan empiris. Kebenaran dilihat sebagai hal yang sesuaisituasi dan bersifat
parsial.
B. Teori Kritis Feminis
Baik teori kritis feminis maupun analisis lainnya keduanya sama-sama berfokus
pada kesetaraan jender dan keyakinan bahwa hal itu tidak akan tercapai melalui struktur
kelembagaan ideologi yang ada. Teori ini sebagian tumpang tindih dan sering
menundang banyak kritik, termasuk dari SHK dan para mahasiswa.
Beberapa teori lainnya berfokus pada ketidaksesuaian doktrin legal yang
konvensional dalam pengertian koheren, konsistensi, dan legitimasi. Komentator lain
menekankan mengenai peranan ideologi legal dalam meligitimasi kondisi sosial yang
tidak adil.
Penganut paham feminis yang kritis sebagaimana pendekatan kritis lain,
berlandaskan pada teori sosial terkini yang memunculkan banyak problematik.
Penganut paham ini mempertegas otoritas mereka ayng didasarkan pada analisis
keyakinan dan pengalaman. Pendekatan yang dilakukan memunculkan teknik-teknik
peningkatan kesadaran organisasi-organisasi feminis kontemporer maupun tradisi-
tradisi filosofi pragmatis. Standar operasinya adalah memulai dengan pengalaman
kongkret, mengitegrasikannya kedalam teori, dan berdasarkan teori tersebut didalami
pemahaman mengenai pengalaman yang telah diperoleh. Katherine Bartlett misalnya
jelas-jelas menekankan pada landasan praktis dan menggunakannya pada ”cara berfikir
/ analisis praktis”. Yang membuat kekuatan unik kaum feminis adalah klaim untuk
berbicara berdasarkan pengalaman wanita, meskipun terdapat banyaknya faktor yang

2
mempengaruhi seperti waktu, budaya, tingkatan kehidupan masyarakat, suku bangsa,
ethis, orientasi sexual, dan usia.
Dalam konteks legal, isu mendesak adalah mengenai legitimasi berdasarkan jenis
kelamin yang hendaknya tidak didasarkan pada situasi perbedaan jenis kelamin, tetapi
apakah pengakuan legal adanya perbedaan jender akan mengurangi atau mendorong
disparitas jender dari aspek kekuatan, status, dan jaminan ekonomi yang memerlukan
penyesuaian kontekstual, bukan pilihan berdasarkan katagori. Oleh karena itu perluasan
perspektif teori dan aliansi politik memegang peranan penting.
C. Legalisme Liberal
Dari sudut pandang filosofi dan pragmatik, kritik legal kaum feminis beresiko
kecil dalam menentang kaum liberal dibandingkan dengan SHK. Target utamanya
adalah kesetaraan jender, apapun latar belakang keluarganya, dan aliansinya dalam
perjuangan politik. Oleh karena itu ketika para ilmuwan feminis yang kritis menentang
kaum liberal mereka sering melakukan hal tersebut apapun landasannya.
Penentangannya cenderung berfokus pada bentuk tertentu leiberalisme yang melekat
dalam struktur legal dan politik yang ada dan juga pada refleksi bias jender.
Konsep otonomi menjadi isu sentral gerakan wanita Amerika karena sejak
awalnya, otonomi dimulai dari adanya hambatan otoritas pria dan peranan tradisional.
Kaum feminis mengemukakan pentingnya hubungan sosial dalam mepertajam
preferensi individual. Dari perspektif ini, tidak ada konsepsi masyarakat yang baik dan
tepat untuk dimunculkan melalui teknik baku liberal.
Sementara para feminis yang krits setuju dengan adanya perbedaan, sumber
perbedaan atau implikasi perbedaan jender. Dalam hal ini suatu pendekatan kritis
mereka adalah terhadap pertimbangan kontekstual kebutuhan nilai-nilai prosedural.
Langkah awal yang mendesak adalah melakukan perombakan dikotomi yang jelas
terlihat antara formalism dan informalisme yang secara tradisional terstruktur
membantah proses penyelesaian perselisihan alternatif. Perbedaan utama antara kaum
feminis yang kritis dan teori hukum yang kritis lainnya meliputi peranan daripada hak.
Kerangka kerja yang berorientasi pada hak dapat menjauhkan kita dari pilihan-pilihan

3
nilai yang perlu dan ketidakjelasan dasar-dasar mengenai kepentingan yang
diakomodasikan.
Dikotomi yang sering ada adalah antara hak dan hubungan atau hak dan
tanggungjawab. Hak tidak hanya menjamin otonomi personal, tetapi juga
mencerminkan hubungan antara individu dan komunitas. Hak dapat menekankan
tanggungg jawab dan tanggungjawab dapat mengimplikasikan hak. Sebagai contoh, hak
wanita terhadap otonomi fungsi reproduktif merupakan suatu prasyarat terhadap
kesetaraan sosial mereka, tanpa kontrol harga diri individual mereka, wanita tidak dapat
menghadapi tantangan steretipe kelompok dan hambatan peran yang memperkuat status
minoritas mereka.
Kritik kaum feminis kontemporer yang efektif pasti radikal dalam artian literal
yang berakar pada ketidaksetaraan. Tanpa kepedulian luar biasa kaum subteranian,
potensi radikal kaum feminis tidak akan diperhatikan. Sebagaimana gerakan lain yang
menuntut perubahan revolusioner, kaum feminis menghadapi tantangan konstan di
radikalisasi. Dalam hal ini, Carol Gilligan mengamati bahwa anak kecil perempuan dan
laki-laki akan menghadapi masalah moral yang berbeda. Anak laki-laki cenderung
mengambil keputusan moral secara legalistik, mereka beranggapan bahwa otonomi
individual merupakan nilai tertinggi. Dalam hal ini, dia merujuk sebagai etika hak atau
etika keadilan. Sedangkan anak perempuan tampak lebih memperhatikan etika
kepedulian. Mereka menganggap bahwa hubungan terjadi dalam situasi yang
seharusnya, sebagaimana kesetaraan. Mereka lebih memperhatikan keragaman fakta,
peraturan, dan hubungan untuk dapat menemukan solusi yang unik dari setiap masalah
yang juga unik.
Berkaitan dengan hal ini, Gilligan beranggapan bahwa perbedaan suara wanita
dapat dimasukkan dalam hak kita dan ke dalam sistem legal yang berdasarkan
peraturan. Menurut Gilligan, kita harus berfikir bahwa ada sistem yang dapat memenuhi
semua pertimbangan yaitu peraturan, hak, hubungan dan kesetaraan, yang disebut
sebagai kaum incorporation. Kaum incorporation beranggapan bahwa masalah
ketidaksetaraan sosial berkaitan dengan supremasi pria semata-mata merupakan
kumpulan acak irrasionalitas.

4
Dalam suasana genderisasi, etika yang berdasarkan hak dan kepedulian tidak
dapat dicampuradukkan. Pria lebih rasional dibandingkan wanita. Meskipun psikologi
feminis mengajukan konsepsi yang berbeda mengenai nilai genderisasi, yaitu bahwa
wanita sepenuhnya rasional, namun masyarakat tidak dapat menerimanya karena pria
sudah terdapat pandangan bahwa pria rasional.
Pendekatan ketidaksetaraan berusaha untuk mendapatkan generalisasi yang
sesungguhnya dan juga stereotipe yang meskipun tidak berdasarkan pada biologi,
namun memiliki arti kebenaran sendiri berdasarkan sejarah ketidaksetaraan. Pendekatan
ketidaksetaraan berarti bahwa kita harus berpikir lebih luas mengenai kesetaraan apa
yang diinginkan. Hambatan dalam hal ini lebih pada persepsi dan komitmen.
Metode feminis hadir melalui peningkatan kesadaran yang tidak dapat
diverifiaksikan dengan metode tradisional. Oleh karena itu kita menggunakan kerangka
kerja epistemologi yang mengabaikan keingintahuan kita, dan merupakan proses
transformatif yang melekat dengan memvalidasikan pengalaman yang diperoleh wanita.
Pendekatan feminis menganggap justifikasi secara serius, lebih jujur dan efisien untuk
mencapai legitimasi. Standar legal kaum feminis untuk kesetaraan merupakan prinsip
dalam memperoleh landasan moral di depan pengadilan. Dalam memisahkan
yurisprudensi maskulin antara liberalisme legal dan teori legal kritis saat ini adalah
dalam artian politik.
D. Tokoh – Tokoh Feminist Jurisprudence
Tokoh-tokoh penting yang telah berjasa mengembangkan feminist jurisprudence
adalah sebagai berikut :
1. Ann C. Scales
2. Catherine Mackinnon
3. Christine A. Littleton
4. Robbin West
5. Lucinda M. Finley
6. Deborah L. Rhode
7. Katherine T. Barlett
8. Patricia A. Cain

You might also like