You are on page 1of 29

JOURNAL READING

RINITIS ALERGI ANAK DI MASA SEKARANG DAN MASA DEPAN

DISUSUN OLEH:
ITSNAINI MAULIDYA N. G99171021
IMASARI ARYANI G99162041
IVANDER KENT K. G99162042
M. FAKHRI KUSUMAWARDHANI G99172104
NAILATUL ARIFAH G99162048
RAMDAN MUHAMAD G99181052
VINCENTIUS NOVIAN R. G99171046

PEMBIMBING:
dr. Putu Wijaya Kandhi, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK,
BEDAH KEPALA, DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2018
Rinitis Alergi Anak di Masa Sekarang dan Masa Depan
Diterjemahkan dari
Clinical Management Review: Current and Future Directions in Pediatric
Allergic Rhinitis Deborah Gentile, MD, Ashton Bartholow, BS , Erkka Valovirta, MD,
PhD, Glenis Scadding, MD, dan David Skoner, MD
Pittsburgh, Pa; Turku, Finland; dan London, United Kingdom

CRITICAL APPRAISAL

General Description
1. Design : Literature-review.
2. Title : Interesting, concise and straightforward.
3. Authors : Clearly written constitution and there is a correspondence
address.
4. Abstract : Clear and appropriate rules.
5. Introduction : Clearly explain the background, research objectives and
the importance of research.

Level of Evidence
Level 2a (Systematic review of cohort studies)

P-I-C-O Analysis
1. Problems : Epidemiology, comorbidities, pathophysiology, current
treatment, and future direction of pediatric AR.
2. Intervention : No intervention
3. Comparison : No comparison
4. Outcome : The prevalence of AR is increasing in the pediatric
population and is associated with significant morbidity, comorbidities, and
complications. The mainstay of current treatment strategies includes
allergen avoidance, pharmacotherapy, and allergen specific
immunotherapy.
V-I-A Analysis
1. Validity : This study was reviewing several Cohort studies
2. Importance : Reviewing several studies on epidemiology,
comorbidities, pathophysiology, and current treatment of pediatric AR.
3. Applicability : The research may be valuable to give some informations
on epidemiology, comorbidities, pathophysiology, current treatment, and
future direction of pediatric AR.
Rinitis Alergi Anak di Masa Sekarang dan Masa Depan
Diterjemahkan dari
Clinical Management Review: Current and Future Directions in Pediatric
Allergic Rhinitis
Deborah Gentile, MD, Ashton Bartholow, BS , Erkka Valovirta, MD, PhD, Glenis
Scadding, MD, dan David Skoner, MD
Pittsburgh, Pa; Turku, Finland; dan London, United Kingdom

ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Rinitis alergi merupakan masalah umum pada anak
yang secara signifikan mempengaruhi pola tidur, belajar, kinerja, dan
kualitas hidup anak. Selain itu, hal tersebut bergantung pada komorbiditas
yang signifikan dan komplikasi.
TUJUAN: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pembaruan
mengenai epidemiologi, komorbiditas, patofisiologi, pengobatan terkini, dan
arah masa depan rinitis alergi anak.
METODE: Melakukan ulasan di masing-masing bidang, dan hasilnya
digabungkan.
HASIL: Prevalensi rinitis alergi meningkat pada populasi anak dan
dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan, komorbiditas, dan komplikasi.
Strategi penatalaksanaan yang menjadi andalan saat ini meliputi
pencegahan, farmakoterapi, dan imunoterapi alergen spesifik.
KESIMPULAN: Kedepannya, diagnosis akan ditingkatkan dengan
menggunakan test microarrayed recombinant allergen dan terapi akan
diperluas untuk menyertakan perawatan seperti sublingual imunoterapi dan
kombinasi produk.

Kata kunci: Rinitis alergi, Pediatrik, Imunoterapi spesifik, Kortikosteroid


intranasal, Antihistamin, Perubah leukotriens.
PENDAHULUAN
Rinitis Alergi (RA) adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran
pernapasan atas, dan gejalanya meliputi kongesti nasal, rinore, bersin, dan
perasaan gatal. Gejalanya juga dapat mengenai mata, telinga, dan tenggorokan,
termasuk post nasal drip. Terjadi peningkatan prevalensi rinitis alergi dan
diperkirakan mempengaruhi sekitar 60 juta orang di US. Prevalensi RA pada
orang dewasa diperkirakan mencapai angka 10% hingga 30%, dan prevalensi pada
anak-anak diperkirakan mencapai 40%. Selain itu, 80% pasien mengalami gejala
rinits alergi sebelum usia 20 tahun dengan 40% dari angka tersebut dialami saat
usia 6 tahun.
Rinitis alergi sebelumnya digolongkan sebagai penyakit musiman dan/atau
tahunan. Namun, sistem klasifikasi terbaru (Gambar 1) didesain untuk
menggolongkan secara lebih baik kelainan ini serta mencakup kategori rinitis
alergi intermiten dan persisten. Pasien yang mengalami gejala kurang dari 4 hari
per minggu atau kurang dari 4 minggu berturut-turut digolongkan mengalami
rinitis alergi intermiten. Pasien yang mengalami gejala lebih dari 4 hari per
minggu atau lebih dari 4 minggu berturut-turut tergolong dalam rinitis persisten.
Tingkat keparahan rinitis dikategorikan sebagai ringan, sedang, hingga berat.
Penggolongan ini berdasarkan gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan tidur, dan
derajat gejala yang menggangu. Gejala RA dipicu oleh paparan terhadap allergen,
diantaranya, serbuk sari, hewan peliharaan, debu tungau, kecoa, dan hewan
pengerat.
Rinitis alergi dikaitkan dengan morbiditas signifikan dan juga
mempengaruhi kualitas hidup pasien, kesejahteraan emosional, produktivitas, dan
fungsi kognitif. Banyak dari hal tersebut berkaitan dengan rendahnya kualitas
tidur dan gangguan tidur yang dikarenakan oleh rinitis alergi. Rinitis alergi juga
menempatkan beban ekonomi yang besar terhadap system kesehatan US dan
meliputi biaya langsung dan tidak langsung. Bahkan, salah satu estimasi terbaru
menyebutkan total biaya tahunan rinitis alergi berkisar 11.2 triliun USD, yang
mana merupakan 2 kali lipat dari estimasi biaya pada tahun 2000.
Penatalaksanaan rinitis alergi dimulai dari lingkungan sekitar yaitu dengan
mengurangi paparan allergen. Intervensi farmakologis sering kali diperlukan
untuk mengontrol gejala sedang hingga parah, dan penatalaksanaan utama terdiri
dari kortikosteroid intranasal, antihistamin oral dan nasal, dekongestan oral dan
nasal, serta reseptor antagonis leukotrien. Perhatian terhadap potensi efek samping
sistemik kortikosteroid intranasal pada pasien pediatric meliputi ganguan
pertumbuhan dan supresi hormone kortisol. Imunoterapi spesifik merupakan

Frekuensi Gejala

Intermiten Persisten
<4 hari per minggu 4 hari per minggu
Atau < 4 minggu berturut-turut dan > 4 minggu berturut-turut

Keparahan Gejala

Ringan Sedang-Berat
Semua meliputi Satu atau lebih dari
Tidur normal gangguan tidur
Tidak ada ganguan aktivitas gangguan aktivitas
Tidak ada gangguan kerja atau sekolah gangguan kerja atau sekolah
Terdapat gejala namun tidak mengganggu gejala yang mengganggu

penatalaksanaan yang efektif untuk rinitis alergi, tetapi penggunaannya pada


pasien anak dibatasi oleh ketidaknyamanan dan masalah keamanan.
Pengembangan imunoterapi sublingual sebagai tatalaksana rinitis alergi
menawarkan cara penatalaksanaan yang lebih aman dan nyaman untuk pasien
pediatric dan memiliki potensi untuk memberikan modifikasi penyakit dan
aktivitas preventif bila dikenalkan pada usia dini.
Gambar 1. Klasifikasi Rinitis Alergi
EPIDEMIOLOGI
Sebagian besar data yang terdapat pada literatur berfokus pada rinitis
alergi (RA) pada orang dewasa dan hingga saat ini masih sedikit pengetahuan
mengenai prevalensi, batasan, pengaruh kualitas hidup, dan komorbiditas pada
anak-anak. Dewasa ini, survey nasional Pediatrics Allergies in America (PAA)
memperhatikan lebih dalam mengenai RA pada anak. Survey PAA merupakan
skrining melalui telepon terhadap 35.757 keluarga secara komprehensif untuk
mengidentifikasi subjek anak usia 4-7 tahun denga rinitis alergi. Survey PAA telah
mengidentifikasi 500 anak yang didiagnosa dengan rinitis alergi oleh penyedia
layanan kesehatan dan juga anak yang mendapatkan medikasi untuk rinitis alergi
pada tahun sebelumnya. Perbandingan pada 504 anak tanpa rinitis alergi juga
diidentifikasi. Survey PAA menemukan 13% anak yang didiagnosis rinitis alergi
dan simptomatik dalam setahun terakhir. Estimasi ini jauh dibawah perkiraan
sebelumnya yaitu kisaran prevalensi rinitis alergi antara 10%-40% pada anak di
US. Dalam survey PAA, 61% anak terdiagnosis rinitis alergi pada usia 6 tahun
dan kebanyakan dari anak-anak tersebut telah didiagnosa oleh dokter spesialis
anak yang tidak rutin melakukan test kulit ataupun darah untuk mengonfirmasi
diagnosis rinitis alergi. Kurangnya pemanfaatan pemeriksaan penunjang untuk
rinitis alergi pada survey PAA mungkin menyebabkan pelaporan prevalensi pada
populasi tidak dilaporkan secara keseluruhan.
Pada survey tersebut, 62% dilaporkan hanya terjadi secara musiman dan
37% dilaporkan tahunan. Berdasarkan pelaporan rinitis alergi musiman tersebut,
76% dan 34% dilaporkan mengalami gejala yang lebih buruk saat musim semi
dan musim gugur secara berurutan. Pencetus yang paling umum dari gejala pada
hidung meliputi serbuk sari, debu, dan bulu hewan peliharaan. Selain itu, pemicu
non-alergik seperti cuaca, bau dan wewangian, serta olahraga juga umum
dilaporkan. Dalam survey PAA, 88% dilaporkan bahwa gejala rinitis alergi cukup
atau sangat mengganggu, dan 80% dilaporkan menggunakan obat rinitis alergi
dalam satu tahun terakhir. Kebanyakan kongesti nasal teridentifikasi sebagai
gejala yang paling mengganggu, dilanjutkan dengan sakit kepala, hidung berari,
dan post nasal drip. Batasan rinitis alergi mempengaruhi persepsi kesehatan
keseluruhan partisipan dengan hanya 43% partisipan dengan rinitis alergi
melaporkan kesehatan yang sangat baik dibandingkan dengan 59% dari mereka
yang tanpa rinitis alergi (P < .001). Pada akhirnya, permasalahan fisik, mental,
emosional, dan social lebih sering dilaporkan pada anak dengan rinitis alergi.
Seperti penyakit atopik lainnya, seperti asma, eksim, dan alergi makanan,
prevalensi rinitis alergi pada anak mengalami peningkatan pada beberapa tahun
terakhir. Von Mutius et al malaporkan peningkatan rinitis alergi yang signifikan
musiman pada siswa di Jerman dari 2.3% pada tahun 1991 hingga 5.1% pada
tahun 1996. Peningkatan tersebut dapat dibandingkan dengan yang diamati pada
orang dewasa dalam periode yang sama. Faktor resiko untuk rinitis alergi
pediatrik meliputi atopi, status sosio-ekonomi, dan riwayat penyakit keluarga.
Tucson Children’s Study melaporkan hubungan yang signifikan antara ibu yang
terdiagnosis rinit alergi dengan kejadian rinitis alergi pada anak usia 6 tahun (OR,
2,2; 95% CI, 1.35-3.4). Pembentukkan ekspresi gejala alergi diperkirakan untuk
melibatkan interaksi antara predisposisi genetic serta prenatal termasuk paparan
lingkungan awal pada waktu kritis saat system imun masih dalam masa
perkembangan. Banyak studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
antara paparan lingkungan awal dengan infeksi, polusi udara dalam dan luar
ruangan, dan diet pada perkembangan rinitis alergi anak. Kebanyakan dari studi
tersebut melaporkan hubungan antara rendahnya tingkat paparan terhadap
komponen mikroba, termasuk endotokxin, dengan gejala alergik T Helper 2
(TH2). Studi terbaru pada area ini terfokus pada derajat keanekaragaman mikroba
dengan perkembangan gejala alergik. Studi lain menunjukkan hubungna positif
antara paparan alergen, virus pernapasan, asap rokok, dan komponen polusi luar
ruangan pada awal kehidupan dengan kecondongan perkembangan alergik TH2,
peningkatan IgE, dan peningkatan prevalensi gejala alergik. Penelitian yang lebih
baru menunjukkan hubungan antara pola makan dan nutrisi termasuk masa awal
kanak-kanak, prenatal, dan maternal dengan predisposisi alergik. Secara spesifik,
pola makan tinggi lemak, rendah buah dan sayuran segar, serta defisiensi vitamin
A dan D menunjukkan korelasi dengan asma dan atopi.
KOMORBIDITAS DAN KOMPLIKASI
Rinitis alergi sering disertai dengan komorbiditas dan komplikasi tertentu.
Rinitis alergi sering mendahului perkembangan asma pada anak-anak, dan urutan
ini biasanya disebut mars atopik. Memang, penelitian sebelumnya menunjukkan
hubungan epidemiologi yang kuat antara RA dan asma berupa RA yang terjadi
pada sebagian besar pasien dengan asma, terutama yang didiagnosis selama masa
kanak-kanak. Sebagai contoh, Wright et al menunjukkan bahwa adanya diagnose
RA oleh dokter selama masa bayi dikaitkan dengan risiko berkembangnya asma
sebanyak dua kali lipat pada usia 11 tahun. Selain itu, mereka melaporkan bahwa
sekitar sepertiga anak-anak dengan RA berkembang menjadi asma, sedangkan
hanya 5% anak-anak dengan asma tidak memiliki riwayat RA. Demikian pula,
survei PAA menemukan bahwa di antara anak-anak dengan RA, 39% didiagnosis
menderita asma. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa pada anak-anak RA
dengan asma, rasio terjadinya pada anak laki-laki dan perempuan kira-kira 2: 1.
Survei PAA melaporkan diagnosis asma bersamaan dengan RA pada anak laki-
laki dan perempuan masing–masing sebanyak 45% dan 33%. Banyak penelitian
telah menunjukkan bahwa pengobatan RA akan memperbaiki manifestasi
terjadinya asma. Corren et al menemukan bahwa pengobatan RA dengan
kortikosteroid intranasal (INCS) dengan atau tanpa antihistamin (AH) secara
signifikan menurunkan risiko kunjungan pasien asma pada unit gawat darurat
maupun rawat inap. Penelitian lain menunjukkan bahwa omalizumab dan
leukotriene yang telah dimodifikasi memiliki khasiat terhadap RA dan asma.
Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa penggunaan imunoterapi spesifik (SIT)
pada anak-anak dengan RA dapat mengurangi risiko perkembangan asma
selanjutnya. Novembre et al menunjukkan bahwa anak-anak dengan imunoterapi
sublingual (SLIT) terhadap serbuk sari rumput 3,8 kali lebih mungkin untuk
mengembangkan risiko asma setelah 3 tahun dibandingkan subyek kontrol.
Demikian pula, Niggemann et al menunjukkan bahwa anak-anak yang telah
dirawat selama 3 tahun dengan imunoterapi subkutan (SCIT) terhadap rumput dan
/ atau serbuk sari birch secara signifikan lebih sedikit mengalami asma setelah 5
tahun (OR, 2,68; 95% CI, 1,3-5,7).
Otitis media dengan efusi (OME) adalah masalah medis yang signifikan
terjadi pada anak-anak dengan setidaknya 80% dari semua anak memiliki satu
episode kejadian OME dan 40% memiliki tiga atau lebih episode terjadinya OME
dalam kurun waktu 3 tahun. Tomonaga et alvmelaporkan bahwa pada anak-anak
dengan RA, 21% mengalami OME, sedangkan hanya 6% dari kelompok kontrol
yang mengalami OME. Selain itu, pada anak-anak dengan OME, 50% juga
mengalami RA, sedangkan hanya 17% dari kelompok control yang mengalami
RA. Caffarelli et al menunjukkan hubungan yang signifikan antara gejala AR dan
OME pada pasien pediatrik dan menyimpulkan bahwa RA dapat memainkan
peran dalam patogenesis terjadinya OME. Demikian pula, Chantzi dkk
menemukan bahwa sensitisasi IgE dan obstruksi nasal merupakan faktor risiko
independen pada anak-anak dengan OME. Dengan menggunakan model
penelitian eksperimental, Skoner et al telah menunjukkan rangsangan kuat secara
provokatif terhadap alergen dan mediator alergik menghasilkan penurunan fungsi
pada tabung Eustachian. Survei PAA menunjukkan bahwa anak-anak dengan RA
lima kali lebih mungkin mengalami nyeri telinga yang berhubungan dengan
tekanan selama bulan terburuk ketika mereka sedang mengalami gejala alergi dan
dua kali lipat kemungkinan untuk menjalani operasi (penempatan tabung
typanostomy, adenoidectomy, dan / atau tonsilektomi) dibandingkan kontrol tanpa
RA. Nguyen et al memberikan bukti konfirmasi bahwa proses peradangan
terhadap alergi dapat dilihat pada OME oleh kehadiran TH2 yang dicurigai
berasal dari dalam efusi telinga tengah diperoleh dari anak-anak dengan RA.
Secara kolektif, data ini mendukung peran RA dalam mengakibatkan OME dan
menyediakan alasan rasional untuk evaluasi RA sebagai faktor dalam
pengembangan OME pada anak-anak dengan gejala RA.
Sinusitis adalah komplikasi potensial lain dari RA. Hubungan antara
keduanya mungkin melibatkan rinitis yang menyebabkan obstruksi osteomeatal
yang kompleks atau manifestasi peradangan pada individu. Pada suatu populasi
anak–anak di AS dengan riwayat RA, 53% memiliki gambaran sinus yang
abnormal. Huang dkk menemukan prevalensi sinusitis lebih tinggi pada anak-anak
dengan riwayat RA yang terjadi terus menerus dibandingkan anak-anak dengan
RA musiman dan alergi jamur, hat itu merupakan faktor risiko yang penting untuk
terjadinya sinusitis. The Allergies in American Survey menemukan bahwa pada
43% anak-anak dengan RA yang memiliki masalah pada sinus, anak dengan RA
bila dibandingkan anak-anak tanpa RA secara signifikan lebih banyak mengalami
sakit kepala, nyeri wajah, dan saat penekanan. Selain itu, komplikasi orbital,
termasuk selulitis preseptal, periostitis, dan abses subperiosteal, telah terbukti
terjadi pada anak-anak dengan RA. Holzmann et al mengevaluasi 102 anak yang
mengalami pembengkakan orbital yang didasari RA pada 64,3% disertai dengan
selulitis preseptal, 25% dengan periostitis, dan 76,5% dengan abses subperiostal.
RA harus dipertimbangkan sebagai faktor potensial dalam perkembangan
timbulnya sinusitis dan komplikasinya pada anak-anak dengan gejala AR.
Hidung tersumbat dan obstruksi sebagai akibat dari RA mungkin
berkontribusi terhadap pernapasan pada mulut yang telah dikaitkan dengan
peningkatan insidensi maloklusi ortodontik dan kebiasaan mendengkur. Chng et al
mengidentifikasi RA sebagai faktor risiko terkuat terhadap kebiasaan
mendengkur, dan survei PAA melaporkan bahwa anak-anak dengan RA
mendengkur setiap malam atau hampir setiap malam, dua kali lipat lebih banyak
dibandingkan dengan anak-anak tanpa RA. Pada anak-anak yang mendengkur
karena RA, Obstructive Sleep Apnea (OSA) dapat hadir dan dapat menyebabkan
masalah medis tambahan. Potensi konsekuensi neurobehavioral dari OSA
termasuk kantuk pada siang hari yang berlebihan, gangguan kewaspadaan,
gangguan suasana hati, dan disfungsi kognitif. Komplikasi medis potensial
lainnya dari OSA termasuk hipertensi, diabetes mellitus, disfungsi hati, dan
peningkatan risiko perioperatif. McColley et al menunjukkan bahwa lebih dari
sepertiga anak yang dirujuk untuk polisomnografi memiliki RA. Sudah diketahui
bahwa tidak semua pernafasan melalui mulut dan kebiasaan mendengkur pada
anak-anak disebabkan oleh RA, tetapi harus dimasukkan dalam diagnosis
banding, dan evaluasi lebih lanjut untuk RA harus dilakukan jika dibenarkan
secara klinis.
Gangguan tidur dan rasa kantuk berlebihan, serta kelelahan di siang hari
karena adanya sumbatan dan obstruksi pada hidung merupakan komplikasi utama
dari RA. Di antara remaja dengan RA, Juniper et al menemukan bahwa 78%
subjek tidak memiliki tidur malam yang nyenyak, 75% sulit untuk tidur, dan 64%
terbangun di tengah malam. Pada survei PAA, dilaporkan bahwa 40% anak-anak
dengan RA terdapat gejala gangguan tidur. Kurangnya tidur yang cukup dan
gejala RA seperti bersin, menggosok hidung, dan rhinorrhea juga bisa berdampak
negatif terhadap kinerja sekolah. Meskipun tingkat absensi rata – rata sama di
antara anak-anak dengan dan tanpa RA, presenteeism (atau kinerja yang
berkurang saat di sekolah) adalah dampak yang signifikan dari RA. Dalam survei
PAA, 40% orang tua melaporkan bahwa pada anak mereka, adanya RA
mengganggu kinerja sekolah. Efek gangguan RA terhadap proses belajar
dikonfirmasi dalam percobaan yang dilakukan oleh Vuurman et al. Survei PAA
juga menghasilkan bukti bahwa anak-anak dengan RA mungkin mengalami lebih
banyak masalah mental, emosional, dan sosial anak-anak tanpa RA secara
signifikan. Misalnya, anak-anak dengan RA mengalami lebih sedikit perasaan
positif seperti energik, ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Anak-anak
dengan RA juga melaporkan bahwa kondisi kesehatan sangat mengganggu
aktivitas normal masa kecil mereka.
Komplikasi lain dalam RA pediatrik adalah mudah marah, perilaku
bermasalah, dan gangguan mood. Borres et al mensurvei pasien remaja dengan
AR dan menemukan bahwa sebagian besar dari mereka malu terhadap gejala RA
yang sering timbul. Terdapat pula adanya tumpang tindih antara RA dengan
Attention Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD). Brawley et al menemukan
bahwa 75% anak-anak dengan ADHD melaporkan adanya gejala RA dan bahwa
69% dari mereka memiliki tes kulit alergi yang positif. Hasil ini menunjukkan
bahwa sumbatan hidung, gangguan tidur, dan gejala RA lainnya dapat
berkontribusi terhadap gejala yang terlihat pada ADHD dan, tergantung pada
riwayat klinis, evaluasi dan pengobatan RA mungkin bermanfaat pada anak-anak
yang didiagnosis dengan ADHD dengan gejala klinis RA. Namun, perlu dicatat
bahwa hingga saat ini tidak ada hubungan ada antara tes kulit alergi positif dengan
ADHD.
PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi adalah penyakit pernapasan kronis yang didefinisikan
sebagai peradangan epitel hidung yang ditandai oleh rinore anterior dan posterior,
bersin, dan sumbatan hidung, disebabkan oleh paparan terhadap alergen yang
membuat orang itu tersensitisasi. Manifestasi RA juga bisa berupa mata merah
dan lakrimasi, dan, gejala tambahan berupa gatal pada telinga dan langit-langit
mulut. Komorbiditas lain dari RA telah dijelaskan sebelumnya dalam ulasan ini.
Rinitis alergi adalah bentuk paling umum dari rinitis non-infeksi dan
terkait dengan respon imun yang dimediasi IgE terhadap alergen. Alergen ini
termasuk tungau debu rumah, serbuk sari rumput, serbuk sari pohon, serbuk sari
gulma, kucing, anjing, dan kapang. Dikarenakan tidak adanya pembuktian
terhadap sensitisasi sistemik, maka RA mungkin disebabkan karena produksi IgE
lokal di hidung.
Antibodi IgE dibentuk dari paparan sebelumnya terhadap alergen, terdapat
di permukaan sel mast, dan bersifat spesifik pada alergen tertentu. Pada
pemaparan ulang terhadap alergen, IgE saling terhubung menyilang, dan ini
merupakan sinyal yang mengarah kepada degranulasi sel mast. Proses ini
menghasilkan pelepasan berbagai mediator inflamasi, termasuk histamin. Peran
histamin terhadap penyakit alergi telah didefinisikan dengan baik. Histamin
memediasi efeknya melalui set histamin yang sudah ada pada reseptor (H1, H2,
H3, dan reseptor H4). Efek biologis histamin dalam reaksi alergi terkait dengan
aktivitas reseptor H1, termasuk kontraksi otot polos, bronkospasme, peningkatan
permeabilitas endotel, dan stimulasi saraf sensorik terhadap reseptor batuk. Pada
hidung, menyebabkan timbulnya bersin, gatal, dan rhinorrhea yang berasal dari
respon sel mast terhadap mediasi IgE. Pada sekitar 65% dari subyek, hal ini
ditunjukkan dengan infiltrasi mukosa hidung oleh eosinofil, basofil, dan sel T
yang mengekspresikan berbagai faktor untuk memfasilitasi sintesis IgE (IL-4) dan
untuk merangsang pertumbuhan eosinofil (IL-5). Sumbatan hidung sebagian besar
tidak terpengaruh oleh AH, menunjukkan kemungkinan keterlibatan mediator lain
seperti prostaglandin D2, leukotrien, dan respon fase akhir inflamasi dengan
masuknya sel ke dalam mukosa.
Temuan terbaru menunjukkan bahwa mekanisme lain mungkin terlibat
dalam patofisiologi RA, termasuk identifikasi reseptor H4 yang tidak dihambat
oleh antagonis H1 dan supresi respon alergi yang tidak memadai oleh sel regulator
T (Treg). Sel Treg adalah tipe limfosit T, bersama dengan sel TH2. Pasien dengan
RA sering memiliki sejjumlah besar sel TH2 yang ditemukan di mukosa hidung,
yang berkontribusi terhadap respon inflamasi IgE-mediasi oleh eosinofilik.
Alergen mengaktifkan pelepasan Thymic Stromal Lymphopoietin (TSLP) atau
dapat hadir pada permukaan sel seperti sel dendritik (DC) dan makrofag. TSLP
berada terutama di saluran pernapasan, usus, dan kulit, dan menyebabkan penyakit
hipersensitivitas, yang meliputi asma dan RA. TSLP juga memulai respon terkait
TH2 dengan menstimulasi maturasi DC ke subtipe tipe 2, yang pada gilirannya
menarik sel TH2. Sel-sel TH2 ini melepaskan sitokin seperti IL-4, yang
meningkatkan jumlah sel plasma penghasil IgE, IL-5, yang merekrut eosinofil,
dan IL-13, yang dapat menarik DC. Sel Treg, ketika beroperasi secara efisien,
dapat menekan peradangan dan menyebabkan apoptosis sel TH2 ini. Mereka juga
dapat berkomunikasi dengan sel penyaji antigen (seperti DC) untuk menghambat
perekrutan dan aktivasi sel-sel T inflamasi. Temuan terbaru yang mempengaruhi
patogenesis RA yaitu termasuk di dalamnya jalur peningkatan regulasi sitokin
TH2 melalui epitel.
Selain faktor lingkungan, ada juga komponen yang bersifat genetik pada
RA, seperti yang dilaporkan sebelumnya pada studi monozigot dan kembar
dizigot, meskipun kromosom individu dan gen yang terlibat belum ditentukan
secara definitif.

STRATEGI TERAPI MASA KINI


Strategi terapi terbaru dari rhinitis alergi terangkum dalam Tabel I termasuk
menghindari faktor pencetus, alergen, serta penggunaan SIT. Kerjasama yang efektif
antara keluarga pasien, pasien dan tim medis juga penting untuk keefektifitasan terapi
RA. Berikut adalah ringkasan strategi tersebut.
TABEL I. Strategi pengobatan saat ini untuk RA anak
Menghindari alergen dan pemicu yang relevan
Farmakoterapi
Oral atau AH
Kortikosteroid intranasal (INCS)
Kortikosteroid sistemik (pengobatan akut jangka pendek)
Antagonis reseptor leukotriene
Antikolinergik intranasal
Cromolyn Intranasal
Anti-IgE
Imunoterapi spesifik (SIT)
Imunoterapi subkutan (SCIT)
Imunoterapi sublingual (SLIT)
Bedah (jarang diperlukan)
Partnership
Pasien / pengasuh
Penyedia medis

Menghindari alergen
Minimnya frekuensi hay fever saat musim semi mengindikasikan menghindari
alergen dapat efektif mencegah RA. Sayangnya, menghindari alergen secara penuh
seringkali tidak memungkinkan, terutama alergen diluar ruangan. Beberapa studi kecil,
dengan design yang buruk, menunjukan bahwa pada anak dengan RA yang menghindari
alergen dari debu, sebagian besar menyebutkan tidak ada keuntungan yang bermakna.
Pengatur suhu nocturnal adalah sebuah perangkat baru yang mendistribusikan aliran
udara laminar yang telah difilter, alat tersebut menggantikan alergen di udara dari zona
pernapasan. Perangkat ini telah terbukti memperbaiki alergi yang kurang terkontrol pada
asma anak-anak dan hal tersebut menunjukkan beberapa manfaat dalam terapi rhinitis
(Boyle, komunikasi personal). Bukti tentang menghindari alergen yang berasal dari
peliharaan masih kurang menunjukan hasil yang bermakna. Menghindari pemicu rhinitis
lainnya, seperti asap rokok, polutan luar ruangan, asap, dan iritasi, adalah hal yang baik.
Mengelola saline dengan semprotan, tetesan, atau irigasi ditunjukkan untuk
meningkatkan kontrol gejala RA pada subjek dengan pemakaian INCS.

Farmakoterapi
Pengobatan RA yang kurang adekuat adalah hal yang sering kali terjadi dan
berhubungan dengan ketidak tepatan diagnosis serta penolakan terhadap beberapa
pengobatan, seperti INCS, yang kurang dimanfaatkan meskipun catatan keamanannya
baik. Panduan pedoman terapi diringkas dalam Gambar 2, mungkin melibatkan lebih dari
satu agen terapeutik, dan yang mengontrol gejala yang lebih baik serta meningkatkan
kualitas hidup daribandingkan pengobatan yang tak terarah.

Gambar 2. Algoritma tatalaksana RA. Berdasarkan menghindari allergen dan iritan dan

Gambar 2. Algoritma tatalaksana RA. Berdasarkan menghindari allergen dan


iritan dan SIT jika memungkinkan

Antihistamin oral atau intranasal. Antihistamin generasi kedua efektif untuk RA ketika
diberikan secara oral dan intranasal dan umumnya ditoleransi dengan baik, meskipun obat
obat tersebut mungkin menyebabkan sedasi. Antihistamin generasi kedua yang dapat
diberikan secara oral adalah cetirizine, fexofenadine, loratadine, desloratadine, dan
levocetirizine, serta semua sediaan over-the-counter (OTC) produk kecuali desloratadine.
Generasi kedua AH intranasal yang dapat digunakan adalah azelastine dan olopatadine
serta obat obat yang tersedia dengan resep dokter (Tabel II). Antihistamin generasi
pertama seharusnya tidak lagi digunakan, mengingat indeks terapeutik yang tidak
menguntungkan.

TABEL II. Antihistamin yang digunakan pada RA anak


Formulasi OTC/Resep Umur/dosis
Loratadine Oral OTC 2-6 taun: 5 mg 1x1 hari
>6 tahun: 10 mg 1x1 hari
Desloratadine Oral Resep 6-11 bln: 1 mg 1x1 hari 1-
5 tahun: 1.25 mg 1x1 hari
6-11 tahun: 2.5 mg 1x1
hari >12 tahun: 5 mg 1x1
hari
Cetirizine Oral OTC 6 bln-12 bln: 2.5 mg 1x1
hari 12 bln-2 tahun: 2.5
mg 1x1 hari /2x1 hari atau
5 mg 1x1 hari 2-5 tahun:
2.5-5 mg 1x1 hari >6
tahun: 5-10 mg 1x1 hari
Levocetirizine Oral Resep 6 bln-5 tahun: 1.25 mg
setiap malam 6-11 tahun:
2.5 mg setiap malam >12
tahun: 2.5-5 mg setiap
malam
Fexofenadine Oral OTC 2-11 tahun: 30 mg 2x1
hari >12 tahun: 60 mg
2x1 hari atau 180 mg 1x1
hari
Olopatadine (665 mg / Inhalasi Resep 6-11 tahun: 1 semprotkan
semprot) setiap hidung 2x1 hari
>12 tahun: 2 semprotkan
setiap hidung 2x1 hari
Olopatadine (665 mg / Inhalasi Resep 5-11 tahun: 1 semprotkan
semprot) setiap hidung 2 X 1 HARI
>12 tahun: 1-2
semprotkan setiap hidung
2x1 hari
Azelastine/fluticasone Inhalasi Resep >12 tahun: 1 semprotkan
(137 mg / 50 mg / setiap hidung 2x1 hari
semprot)
Kortikosteroid intranasal. INCS adalah agen terapi paling efektif pada orang dewasa
yang dibuktikan dengan meta-analisis. Keefektifan pada terapi INCS lebih baik, atau
sama, dengan kombinasi AH dan antileukotriene agent. INCS mengobati komponen
inflamasi RA. Hasil dari sejumlah besar studi yang dirancang dengan baik, mendukung
penggunaan INCS pada anak-anak dan remaja (Tabel III dan IV). Sebuah ulasan
Cochrane baru-baru ini melaporkan bukti yang mendukung efektivitas INCS tetapi
sayangnya tidak termasuk dalam randomized controlled clinical trials yang berkualitas
karena rancangan mereka memasukkan penggunaan obat penyelamat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa efek INCS dapat terjadi dimulai dalam satu hari setelah dimulainya
terapi. INCS juga bisa meningkatkan resiko konjungtivitis, asma dan hiperaktivitas.
Secara umum, INCS dapat ditolerir dengan baik. Produk baru yang bias digunakan sekali
sehari, termasuk fluticasone propionate, mometason, dan flutikason furoat, lebih disukai
karena obat obat tersebut telah terbukti tidak mengurangi kecepatan pertumbuhan selama
1 tahun terapi dibandingkan dengan produk yang lebih tua seperti beclomethasone dan
budesonide.

TABEL III. Kortikosteroid intranasal yang digunakan pada RA anak


Usia/Dosis
Fluticasone propionate (50 >4 tahun: 1-2 semprot tiap hidung 1x1
mg/semprot) hari
Fluticasone furoate (27.5 >2 tahun: 1-2 semprot tiap hidung 1x1
mg/semprot) hari
1 KALI SEHARI Mometasone (50 2-12 tahun: 1 semprot tiap hidung 1x1
mg/semprot hari >12 tahun: 2 semprot tiap hidung 1x1
hari
Beclomethasone (Qnasal) (80 >12 tahun: 2 semprot tiap hidung 1x1 hari
mg/semprot)
Beclomethasone (Beconase) (42 >6 tahun: 1-2 semprot tiap hidung 2 kali
mg/semprot) sehari (max 4 semprot tiap hidung 2 kali
sehari)
Ciclesonide (Zetonna) (37 >12 tahun: 1 semprot tiap hidung 1x1 hari
mg/semprot)
Ciclesonide (Omnaris) (50 >6 tahun: 2 semprot tiap hidung 1x1 hari
mg/semprot) >12 tahun: 2 semprot tiap hidung 1x1 hari
(perennial allergic rhinitis)
Budesonide (32 mg/semprot) 6-12 tahun: 1-2 semprot tiap hidung 1x1
hari >12 tahun: 1-4 semprot tiap hidung
1x1 hari
Flunisolide (25/29 mg/semprot) 6-14 tahun: 2 semprot tiap hidung 2 kali
sehari >14 tahun: 2 semprot tiap hidung 2
kali sehari/3x1 hari (max 8 semprot tiap
hidung 1x1 hari)
Azelastine/fluticasone (137 mg/50 >12 tahun: 1 semprot tiap hidung 2 kali
mg/semprot) sehari

TABEL IV. Pengobatan RA anak di masa depan


Penggunaan alergen rekombinan microarrayed untuk diagnosis
Melakukan uji klinis lebih banyak pada anak-anak muda
Dampak reformasi perawatan kesehatan
Terapi baru
INCS semprot kering (beclomethasone dan ciclesonide)
Produk kombinasi (intranasal AHs / INCSs)
SLIT Sublingual
Saklar Generik dan OTC
Peran spesialis alergi / imunologi

Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik jarang digunakan pada pasien anak


dengan RA karena tersedia alternatif yang lebih efektif dengan profil keamanan yang
lebih baik. Beberapa studi tentang terapi kortikosteroid sistemik dilakukan pada orang
dewasa dan menunjukkan bahwa dosis 30 mg adalah dosis yang efektif. Kortikosteroid
injeksi tidak dianjurkan karena kortikosteroid injeksi berhubungan dengan atrofi lokal
pada kulit dan otot, berkurangnya mineralisasi tulang, dan gangguan pertumbuhan. Dalam
beberapa kejadian, pengobatan kortikosteroid sistemik diperlukan pada anak-anak dengan
RA, terapi singkat dengan 10 hingga 15 mg prednisolon oral sehari selama 3 hingga 7
hari dan pertimbangkan di rujuk.

Antagonis reseptor leukotrien. Montelukast efektif untuk RA baik waktu singkat


maupun waktu yang lebih lama, hal tersebut sesuai dengan dua studi pediatri yang
dirancang dengan baik, tetapi kecil, sama dengan dua meta-analisis pada studi dewasa.

Antikolinergik intranasal. Antikolinergik efektif dalam mengendalikan pengeluaran


cairan dalam hidung tetapi tidak untuk gatal, bersin atau hidung tersumbat.
Penggunaannya pada anak-anak belum dievaluasi dengan baik.
Dekongestan intranasal. Dekongestan topikal bisa digunakan secara singkat untuk
obstruksi nasal yang parah. Namun, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
rhinitis medikamentosa yang ditandai oleh rebound pembengkakan mukosa hidung.

Cromolyn Intranasal. Ini adalah pengobatan efektif yang lemah untuk RA. Aman, tetapi
terdapat beberapa kerugian yaitu perlu digunakan tiga hingga empat kali sehari.

Anti-IgE. Omalizumab telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA)
Amerika Serikat (AS) untuk pengobatan pada pasien usia 12 tahun dan lebih tua dengan
asma alergi berat dan juga telah terbukti tingkatkan RA pada pasien-pasien ini. Namun,
saat ini FDA tidak setuju untuk pengobatan RA. Bahkan, jika disetujui, penggunaannya
akan menjadi mahal dan kemungkinan besar tidak tercakup oleh asuransi untuk
pengobatan RA tanpa asma alergi berat yang bersamaan.

Specifik immunotherapy
SIT adalah pengobatan spesifik penyakit alergi dengan memediasi IgE dengan
pajanan alergen berulang yang relevan dengan jalur subkutan atau sublingual.

Imunoterapi subkutan. SCIT melibatkan suntikan berulang dengan ekstrak alergen yang
disediakan untuk pasien dengan RA berat dengan kontrol tidak mempunyai gejala atau
efek samping dengan farmakoterapi. Terapi harus dimulai oleh dokter terlatih dalam
diagnosis, pengobatan, dan tindak lanjut dalam hal anak-anak dengan RA. Diharuskan
ada riwayat yang jelas tentang RA yang diinduksi allergen dengan bukti IgE spesifik.
Diperlukan persiapan atau ekstrak alergen yang terstandarisasi sebelum test dimulai.
Penyakit yang signifikan, obstruksi saluran napas tetap, dan asma berat merupakan
kontraindikasi. Faktor yang terkait dengan efek samping yang parah adalah asma yang
tidak stabil, paparan alergen yang tinggi selama terapi, penyakit penyerta seperti infeksi
parah, dan staf perawatan kesehatan yang tidak berpengalaman. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa pretreatmenti AH dapat mengurangi tingkat efek samping.
Pretreatment dengan anti-IgE telah berhasil digunakan meminimalkan reaksi yang
merugikan selama eskalasi dosis tetapi mahal dan tidak mungkin ditanggung oleh
asuransi.
Sebuah ulasan Cochrane melaporkan kemanjuran SCIT namun tidak termasuk
studi yang dilakukan secara eksklusif pada anak-anak. Data terbaru menunjukkan
efektivitas SCIT pada anak-anak dengan alergi terhadap serbuk sari dan tungau debu
rumah. SCIT umumnya ditoleransi dengan baik pada anak-anak, tetapi paramedis yang
terlatih harus mengurus SCIT, dan fasilitas resusitasi lengkap harus tersedia untuk
mengatisipasi reaksi sistemik yang mungkin terjadi. SCIT dapat mengubah riwayat alami
penyakit alergi di masa kanak-kanak. Sebuah penelitian kohort pada anak usia 6 hingga
14 tahun dengan RA dan tanpa asma persisten secara acak diberikan SCIT selama 3 tahun
atau berada dalam grup kontrol terbuka. Kelompok yang secara aktif diobati memiliki
lebih sedikit RA dan asma gejala setelah 3 tahun (OR, 2,52). Sepuluh tahun setelah
random assignment, 149 subjek yang berusia 16 hingga 25 tahun dievaluasi kembali.
Pada tahap ini, terjadi perbaikan yang signifikan pada RA tetap dan kemungkinan asma
yang berkembang secara signifikan juga berkurang pada subjek yang diobati dengan
SCIT (OR, 2,5; 95% CI, 1,1-5,9). Setelah disesuaikan dengan hiperresponsif bronkus dan
status asma di baseline serta semua pengamatan selama 10 tahun follow up (anak-anak
dengan atau tanpa asma pada awal, n ¼ 189; 511 observasi), OR untuk ketiadaan asma
adalah 4,6 (95% CI, 1.5-13.7) dalam kelompok yang diobati dengan SCIT. Dalam
kelompok studi tentang anak-anak AS dengan RA, mereka yang masuk dalam kelompok
SCIT menghemat biaya perawatan 33% ($ 1625).

Imunoterapi sublingual. SLIT juga efektif pada orang dewasa dan anak-anak.
Keuntungan utamanya adalah hanya pada dosis yang pertama yang membutuhkan
pengawasan medis, dan dosis harian berikutnya dapat diaplikasikan di rumah. Systematic
review terbaru pada tahun 2011 melaporkan efektivitas SLIT untuk RA karena serbuk sari
dan debu rumah tungau. Kedua protokol dosis kontinu dan intermitten menunjukkan
keberhasilan terapi. Dua ekstrak rumput komersial dalam bentuk tablet larut telah
menerima otorisasi pasar Eropa untuk pasien setidaknya 5 tahun. Kedua produk ini
hampir diajukan untuk dipertimbangankan untuk persetujuan oleh FDA AS.
Dalam uji klinis terkontrol, SLIT tampaknya lebih aman daripada SCIT, dan efek
sampingnya biasanya terbatas pada saluran udara bagian atas dan saluran gastrointestinal.
Namun, saat ini tidak ada data atau pengalaman yang cukup terkait sediaan SLIT untuk
memastikan bahwa itu sepenuhnya aman. Ini terutama berlaku pada subjek dengan
riwayat anafilaksis dan / atau asma persisten sedang sampai berat yang biasanya
dikeluarkan dari partisipasi fase III uji klinis SLIT. Kejadian anafilaktik jarang terjadi
dengan SLIT dan tidak ada kematian yang dilaporkan. Saat ini, tidak cukupnya data dan
pengalaman dengan SLIT yang tersedia untuk dikonfirmasi keamanan. Bukti terbaru
menunjukkan persistensi klinis dan manfaat imunologi setelah 3 tahun penggunaan terus
menerus, mirip dengan yang diamati SCIT. Selain itu, beberapa perubahan lokal oral yang
unik untuk SLIT telah dilaporkan. Kontrol uji coba efek SLIT jangka panjang pada AR
dan asma saat ini sedang dilakukan, dan ada optimisme yang bahwa SLIT akan menjadi
terapi yang efektif untuk AR dan mungkin mencegah perkembangan asma.

Operasi
Pembedahan jarang diperlukan pada anak-anak dengan RA dan / atau sinusitis
dengan pengecualian anak-anak dengan masalah lain yang signifikan seperti cystic
fibrosis atau defisiensi imun.

Kerjasama
Seperti halnya pengobatan jangka panjang, kerjasama di antara pasien, perawat,
dan tenaga medis akan membantu untuk memaksimalkan respon terhadap pengobatan
RA. Kepastian tentang kebutuhan akan perawatan dan keamanannya sangat penting.
Penyedia harus meninjau secara spesifik tentang bagaimana, kapan, dan mengapa mereka
mengambil resep obat untuk RA. Khususnya, untuk anak-anak dengan RA yang menetap,
pentingnya menegaskan keteraturan terapi, bahkan pada gejala-gejala yang tidak muncul
lagi. Ini mirip dengan pendekatan yang digunakan untuk pengobatan asma persisten, dan
setiap hari pengobatan akan meminimalkan peradangan persisten pada RA dan berpotensi
mengurangi efek merusak infeksi saluran pernapasan bagian atas.

PENGOBATAN MASA DEPAN


Diagnosa
Metode diagnostik menjadi perhatian, dengan alergi yang secara
predominan melakukan tes kulit dan dokter umum dan dokter anak umumnya
menguji IgE spesifik alergen dalam darah. Tes darah sebelumnya disebut RAST,
tetapi selama 20 tahun terakhir, banyak kemajuan teknologi telah membuat tes itu
menjadi usang. Tes yang lebih baru, lebih canggih, akurat, dan sensitif telah
menggantikan tes RAST. Termasuk tes darah IgE ImmunoCAP Spesifik, yang
memberikan peningkatan signifikan atas tes RAST. Ini adalah metode pengujian
paling sensitif yang tersedia saat ini dan merupakan metode yang sangat diterima
yang digunakan di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. ImmunoCAP juga
telah diterima oleh FDA sebagai ukuran kuantitatif IgE spesifik alergen,
menunjukkan akurasi dan reliabilitas di seluruh rentang klinis. Tes ini didukung
oleh National Institutes of Health dan organisasi kesehatan lainnya seperti
America Academy of Allergy, Asthma and Immunology. Namun, banyak dokter
umum dan dokter anak tidak dapat menginterpretasi hasil tes darah tersebut secara
memadai. Oleh karena itu, mereka gagal mendiagnosis alergi dan menggunakan
hasil untuk memberikan saran yang akurat tentang langkah-langkah pengendalian
alergi.
Ketersediaan alergen rekombinan microarrayed untuk pengujian
diagnostik di masa depan kemungkinan akan mengubah diagnostik untuk RA
secara luar biasa. Keuntungan utama dari mengadopsi platform multipleks adalah
IgE spesifik ribuan alergen berpotensi dapat diuji secara paralel dengan hanya
sejumlah kecil serum. Kekuatan dan kelemahan dari tes alergi yang didefinisikan
secara molekuler dan platform microarray ditinjau, tetapi potensi untuk resolusi
yang lebih besar antara reaktivitas klinis dan sensitisasi asimtomatik dengan
bentuk plat ini tampaknya menjanjikan.
Spesifisitas respon imun adaptif, termasuk IgE, terletak pada tingkat
submolekular. Oleh karena itu, ada batasan yang signifikan untuk menggunakan
respon IgE terhadap ekstrak alergen keseluruhan antigenik yang kompleks sebagai
biomarker penyakit, dan keterbatasan ini telah ditinjau di tempat lain. Ini telah
memicu pengembangan diagnostik molekuler atau component-resolved
diagnostics (CRD), juga dikenal sebagai diagnosis alergi molekuler, dimana
molekul alergen individu digunakan untuk mengkarakterisasi spesifisitas IgE
pasien. CRD tersedia di Eropa sebagai salah satu panel dari alergen terpilih
(rekombinan dan murni alami) yang dapat digunakan dalam enzim fluoresen
immunoassay (FEIA; ImmunoCap) atau uji berbasis microarray (Immuno Solid
phase Allergen Chip) lebih dari 100 molekul. Di Amerika Serikat, CRD hanya
tersedia sebagai alat penelitian. Keuntungan utama menggunakan microarray
untuk CRD adalah IgE spesifik dalam jumlah besar alergen dapat diuji dengan
hanya sejumlah kecil serum.
Meskipun telah banyak dilakukan dengan alergen makanan, aeroallergen
saat ini yang relevan dengan RA dan sedang dikembangkan untuk CRD termasuk
pohon dan serbuk sari rumput (rekombinan Phlp 1, 2, 5, dan 6 dan Bet v 1 dan 2),
dan serbuk sari ragweed dan mugwort (alam dan rekombinan Amb a 1, 5, 6, 8, 9
dan Art v 1, 3, 4, 5, 6).
Pada tahun 2003, Jahn-Schmid dkk membandingkan rekahan alergen
rekombinan terbatas dengan pengujian konvensional dengan penggunaan 50
subjek dengan dugaan alergi birch atau rumput dan sekelompok kontrol. Protein,
termasuk Phlp1, 2, 5, dan 6 dan Bet v1 dan 2, dicetak, dan IgE spesifik dideteksi
dengan antibodi sekunder berlabel fluorophore. Kisaran dinamis yang serupa,
kepekaan, dan spesifisitas terdeteksi dibandingkan dengan CAP-FEIA
konvensional. Tingkat konkordansi antara microarray dan teknik CAP-FEIA
adalah 100% dan 94. Semua kontrol negatif, adalah negatif pada kedua tes.
Korelasi antara tes melebihi 0,9. Namun, kurangnya pengujian provokasi subjek
sangat merusak kesimpulan yang dapat dibuat dari ini dan penelitian yang lebih
besar lainnya.
Diagnostik CRD masih dalam tahap awal, dan penelitian yang lebih besar
dengan desain yang lebih baik akan diperlukan untuk mengevaluasi secara kritis
kekuatan diagnostik dan prognostik CRD dibandingkan dengan modalitas tes
yang ada.

Panduan
Pedoman praktik klinis nasional / internasional tentang pengelolaan RA
dikembangkan selama 15 tahun terakhir dan telah memperbaiki perawatan pasien
dengan RA. Anak-anak dengan RA, pedoman merekomendasikan bahwa lebih
banyak penelitian dilakukan pada anak-anak kecil, menekankan bahwa RA sering
tampak dan kurang terdiagnosis pada anak-anak prasekolah, dan mengenali
pentingnya penatalaksanaan anak dengan RA di sekolah.
Efek potensial dari reformasi kesehatan
Akses ke perawatan alergi dan pengelolaan RA tidak diragukan lagi akan
terpengaruh oleh reformasi sistem perawatan kesehatan Amerika. Sumber-sumber
pembayaran, termasuk pemerintah, pengusaha, asuransi, dan individu, akan
menjadi instrumen dalam menentukan arah perawatan kesehatan RA di Amerika
Serikat. Penelitian baru dari Truven Health Analytics, Harvard dan University of
Michigan menemukan bahwa ketika copayment meningkat, pemangkasan kerja
dan produktivitas menurun, kemungkinan besar karena memilih untuk tidak
mencari perawatan.
Pengambilan keputusan medis untuk kondisi ini sebagian besar berada di
tangan nonspesialis, tetapi bisa bergeser lebih ke dalam arena perawatan primer
atau bahkan tidak memerlukan keterlibatan dokter sama sekali dengan pergeseran
dari resep ke status OTC untuk banyak obat RA. Sistem yang digunakan oleh
pembayar pihak ketiga untuk menentukan penerimaan HCPs juga akan menjadi
penting. Di Amerika Serikat, ini termasuk konsep biaya untuk layanan, perawatan
terkelola, sistem kapitasi, Kelompok Diagnosis terkait, Skala Nilai Relasi
Berbasis Sumber Daya, Klasifikasi Pembayaran Rawat Jalan, dan konsep terkait.

Terapi
Klorofluorokarbon semprotan kering steroid intranasal dihentikan
beberapa tahun yang lalu karena Protokol Montreal, meninggalkan Amerika
Serikat dengan kelimpahan semprotan air basah. Memang, tidak ada pilihan
semprot kering yang tersedia sampai saat ini ketika dua formulasi menerima
persetujuan FDA, beclomethasone dan ciclesonide. Semprotan kering ini memiliki
karakteristik yang berbeda dan mungkin lebih disukai oleh populasi pasien
tertentu, termasuk anak-anak dan remaja, pasien dengan hidung sehingga diblokir
semprotan berair kembali keluar, dan pasien yang tidak menyukai perasaan
limpasan di bagian belakang hidung dari semprotan berair. Semprotan steroid
intranasal baru lainnya adalah formulasi berair fluticasone furoate. Studi
pertumbuhan dilakukan sesuai dengan panduan FDA baru-baru ini menunjukkan
efek kecil (0,27 cm / tahun) dari fluticasone furoate pada pertumbuhan masa
kanak-kanak. Indikasi untuk mengobati okular selain gejala hidung telah diterima
untuk banyak agen yang lebih baru.
Peran AH intranasal dalam manajemen RA telah menjadi sumber
perselisihan dalam iterasi terbaru dari pedoman RA. Rhinitis Alergi dan
Dampaknya pada pembaruan Asma menyatakan bahwa AH intranasal tidak boleh
digunakan untuk RA abadi dan mempromosikan penggunaan generasi kedua. AH
oral di atas AHS intranasal untuk orang dewasa dan anak-anak dengan RA
musiman dan antagonis reseptor leuko-triene untuk RA. Sebagai tanggapan
sekelompok ahli yang terkemuka menulis editorial untuk mendukung Parameter
Praktik Rhinitis AS, yang merekomendasikan AHS intranasal sebagai yang
pertama terapi lini.
Meskipun banyak penelitian telah melihat kombinasi INCS dengan AH
atau LRA, sebagian besar menyimpulkan bahwa terapi kombinasi tidak lebih
efektif daripada monoterapi dengan INS. Namun, tipe terapi kombinasi RA yang
berbeda telah muncul dan terlihat menjanjikan. Uji coba terbaru yang
menggabungkan AH intranasal dan INCS telah memberikan bukti kuat bahwa
terapi ganda seperti itu lebih berkhasiat daripada terapi dengan salah satu agen
saja pada pasien dengan tingkat sedang hingga berat RA.
Salah satu peluang terbesar dalam waktu dekat adalah ketersediaan SLIT
yang sudah ada dibandingkan dengan SCIT konvensional. Uji coba SIT yang
terbaik dan terlengkap kini telah dilakukan dengan SLIT pada orang dewasa dan
anak-anak dan menunjukkan reduksi yang sangat signifikan dan konsisten pada
gejala nasal dan okular dan penggunaan mediasi. Percobaan lain menunjukkan
manfaat terus-menerus yang dipertahankan setidaknya 2 tahun setelah kursus 3
tahun SLIT terapi tablet, mewakili kemungkinan efek penyakit memodifikasi. Ada
kemungkinan bahwa kedua tablet rumput dan ragweed akan tersedia secara
bersamaan di Amerika Serikat, dan tablet untuk serbuk sari pohon, tungau debu,
kucing, dan anjing bisa tersedia di masa depan yang lebih jauh. Kenyamanan
administrasi rumah, kurangnya kebutuhan untuk pengambilan gambar yang
menyakitkan, dan profil keamanan yang ditingkatkan harus memberikan
kesempatan dan manfaat terbesar bagi pasien anak dan alergi. Kepatuhan dengan
terapi harian (dibandingkan suntikan mingguan) akan menjadi tantangan
berkelanjutan seperti terapi yang diberikan secara kronis. Di tengah perdebatan
yang berkembang adalah peran SLIT antigen tunggal pada pasien dengan
kepekaan alergen multiple. Secara tradisional, SIT telah disesuaikan untuk
memasukkan semua alergen di mana pasien alergi. Namun, praktik ini belum
divalidasi dalam uji klinis besar, dirancang dengan baik, acak, double-blinded.
Sebagian besar studi keamanan dan kemanjuran SIT telah dilakukan dengan
ekstrak alergen tunggal meskipun sebagian besar pasien mengalami
polisensitisasi. Seperti yang diringkas dalam Gambar 3, data yang muncul
menunjukkan bahwa induksi toleransi kekebalan terhadap satu antigen atau
alergen tertentu dapat menyebabkan penstabilan kekebalan tubuh oleh sel efektor
lain dengan antigen atau spesifisitas alergen yang berbeda. Baru-baru ini, hasil
dari beberapa penelitian telah mengimplikasikan berbagai kekebalan sel termasuk
DC dan sel Treg, dan sitokin, termasuk IL-10 dan TGF-b. Hasil ini memiliki
implikasi yang mendalam yang dapat secara signifikan mempengaruhi dan
menyederhanakan pengobatan masa depan pasien polysensitized.
Treg sel dengan spesifisitas
untuk satu Ag dapat
mensekresikan faktor
supresif yang memiliki
potensi untuk menghambat
sel-sel Teff tetangga dengan
spesifisitas Ag yang berbeda.

Untuk mencapai banyak


target, pertimbangan harus
diberikan kepada pilihan
yang tepat dari target alergen
untuk TI dan waktu TI (usia,
musim)

Gambar 3. Supresi kekebalan bystanders. IM: Imunoterapi, Teff: Sel T efektor.


Diambil dari Anuradha Ray, PhD, dari University of Pittsburgh School of
Medicine

Pengaruh perubahan generik / OTC


Tantangan dan peluang yang signifikan dihadapi oleh dokter spesialis anak
sub alergi dan anak-anak dengan RA. Salah satunya adalah beralih resep ke OTC
dari banyak obat yang digunakan untuk mengobati RA anak. AHS menjadi produk
OTC beberapa tahun yang lalu. Perubahan itu meningkatkan akses pasien anak
pada AHS, merupakan salah satu alasan tidak perlunya memeriksakan anak ke
spesialis anak sub alergi, dan memungkinkan perusahaan asuransi untuk
mengalihkan biaya untuk perawatan semacam itu kepada pasien. Upaya serupa
untuk mengganti INCS ke OTC tidak berhasil beberapa tahun yang lalu tetapi
baru-baru ini telah dimulai kembali. Masalah keamanan yang terkait dengan
penggunaan yang pantas dan tidak pantas pada anak-anak merupakan penghalang
utama. Situasi itu hanya memburuk, namun, karena penelitian yang baru-baru ini
dilakukan dengan penggunaan rekomendasi desain yang ketat dari panduan FDA
telah menunjukkan efek pertumbuhan dari intranasal fluticasone furoate, dan
publikasi follow-up terbaru dari studi Childhood Asthma Management Program
menunjukkan orang dewasa yang diterapi dengan kortikosteroid inhalasi (ICS)
untuk asma pada masa anak-anaknya sedikit lebih pendek daripada yang tidak
diobati dengan ICS. Selain itu, kami memiliki sedikit atau belum ada data pada
efek pertumbuhan dari salah satu pendekatan terapeutik yang paling umum untuk
anak-anak dengan RA dan asma, yaitu kombinasi penggunaan INCS dan ICS.
Selain itu, efek perilaku neuropsikiatri langka telah dilaporkan setelah
penggunaan montelukast.
Bioekuivalensi dan konsistensi dalam pelabelan keamanan obat generik
menjadi perhatian. Produk generik mungkin memiliki variabilitas dosis yang lebih
besar dan bahan insipien yang berbeda dari obat-obatan bermerek. Faktor-faktor
ini berpotensi menghasilkan efikasi dan keamanan yang berbeda selama peralihan
menuju generik. Selain itu, meskipun mandat dari FDA, hampir 80% dari
produsen generik menghasilkan label yang berbeda dari produk bermerek.
Relevansi klinis keseluruhan dari ketidaksesuaian ini tidak diketahui tetapi hal ini
bertentangan dengan harapan pasien, provider, dan FDA. Akhirnya, munculnya
ketersediaan formulasi generik untuk AHS dan INCS dan yang lebih terbaru,
montelukast telah mengakibatkan perusahaan asuransi sering membutuhkan uji
coba kegagalan produk generik sebelum memberikan pasien akses ke produk
nongenerik, yang menghabiskan waktu yang berharga dari staf kantor dalam
menyelesaikan dokumen yang dibutuhkan. (Tabel II)
Tantangan dan peluang yang dihadapi alergi pediatrik dan anak-anak
dengan RA dapat diatasi dengan perencanaan yang matang, berdasarkan bukti dan
upaya terpadu dari semua pihak yang berkepentingan.

You might also like