Professional Documents
Culture Documents
Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan penderitaan rakyat Jawa
dibawah pemerintahan Belanda yang licik dan haus kekuasaan. Dari sudut pandang Minke, seorang
penulis pribumi yang begitu mendewakan Eropa, kita dapat melihat kembali sejarah bangsa
Indonesia, serta bercermin melihat diri sendiri. Kita diajak menelusuri pikiran Minke yang
terombang-ambing dalam keyakinannya, sampai akhirnya sadar bahwa ia harus turun dan
memperhatikan bangsanya sendiri.
Minke kehilangan istrinya, Annelies Mellema, pada bagian awal novel. Sahabatnya, Panji Darman
atau Robert Jan Dapperste-lah yang menemani Annelies sampai ajalnya di Belanda. Banyak surat
dikirimkan oleh Panji Darman untuk Minke dan mertuanya, Nyai Ontosoroh. Selama waktu ini,
Minke dan mertuanya (Mama) saling mendukung untuk lepas dari dukacita.
Pandangan Minke akan dunia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya dipengaruhi oleh para teman-
temannya yang kebanyakan orang Eropa, karena ia sendiri adalah lulusan HBS. Ia sering berkirim
surat dan bertukar pikiran dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert),
Salah satu sahabatnya, Jean Marais, adalah seorang seniman berkebangsaan Prancis. Suatu hari ia
meminta Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, dengan tujuan agar bangsanya sendiri dapat
membaca karya Minke. Minke terkejut dan merasa terhina, ia merasa rendah apabila harus menulis
dalam Melayu. Karena percakapan ini, hubungannya dengan Marais menjadi dingin. Hanya karena
Maysaroh, anak Jean, Minke akhirnya mau berbaikan dengan Jean.
Selanjutnya, Minke diminta Maarten Niijman, atasannya di S.N. v/d D., untuk mewawancarai Khouw
Ah Soe dalam Bahasa Inggris, seorang aktivis dari Cina yang berusaha membangunkan bangsanya
dari mimpi-mimpi mereka. Ia dapat melihat Jepang mulai menyamai kedudukan negara-negara Eropa.
Tetapi betapa terkejutnya Minke, saat harian itu terbit, yang tercetak berbeda sekali dengan
wawancara dan tulisan yang telah ia kerjakan! Artikel tersebut berisi tuduhan pada Khouw Ah Soe
yang mengatakan dirinya seorang pelarian. Kejadian ini menyadarkan Minke bahwa Eropa yang
selama ini ia agung-agungkan tidak selamanya benar. “Eropa tidak lebih terhormat daripada kau
sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih
tidak, “ jelas Mama kepadanya. “Kalau mereka bisa disewa siapa saja yang bisa membayarnya,
mengapa iblis takkan menyewanya juga?”
Sepertinya semesta belum mengijinkan Minke untuk tenang, karena setelah itu Kommer, teman Jean
Marais, mendukung apa yang telah Jean katakan sebelumnya. Selama ini Kommer telah
menerjemahkan tulisan Minke ke dalam bahasa Melayu. Kommer mengatakan bahwa Minke tidak
mengenal bangsanya sendiri, karena selama ini ia melihat keadaan dari kacamata Eropa. Minke tidak
terima dikatai seperti itu, tapi ia tidak dapat membuktikan sebaliknya juga.
Karena masih diselimuti kesedihan, Minke dan Mama lalu memutuskan untuk berlibur ke Tulangan,
Sidoarjo, kampung halaman Mama. Mereka menginap di rumah Sastro Kassier, saudara Mama. Mata
Minke menjadi terbuka akan kenyataan bangsanya. Dulu Mama dijual untuk menikahi Tuan
Administratur Mellema. Kini Surati, anak Sastro Kassier, terpaksa menikahi Tuan Administratur
Vlekkenbaaij karena jebakan orang Belanda itu. Untungnya Surati sengaja menularkan cacar dari
kampung sebelah pada Vlekkenbaaij. Jadilah Vlekkenbaaij meninggal, dan Surati yang dulu jelita
kembali ke rumah dengan borok di wajahnya.
Kepercayaan Minke akan Belanda mulai pudar, ia makin bertekad untuk mengenal bangsanya. Maka
menginaplah ia selama beberapa hari di rumah salah satu petani, Trunodongso, yang tinggal bersama
dengan istri dan empat anaknya. Trunodongso bercerita kepadanya mengenai kecurangan-kecurangan
pemerintah Belanda yang sering memaksa dan tidak menepati janji, sementara para petani tidak bisa
berbuat apa-apa untuk menuntut hak mereka.
Minke berjanji pada Trunodongso akan membantunya dengan jalan menuliskan penderitaannya.
Selain itu ia juga menulis tentang Surati. Tetapi saat ingin menerbitkan tulisannya tentang
Trunodongso, Niijman menolak. Minke putus asa, memutuskan melanjutkan studinya di Betawi untuk
menjadi dokter. Di tengah perjalanan di laut, ia bertemu dengan Ter Haar yang menceramahinya cara
kerja dan tujuan penjajahan Belanda di Hindia. Minke hampir berkunjung ke kantor koran lokal di
Semarang untuk menulis lagi. Sayang, ia malah dijemput polisi untuk kembali ke Wonokromo, rumah
Mama.
Mama mempunyai berita untuk Minke. Robert, anaknya yang lain, telah meninggal karena sakit dan
ternyata mempunyai anak dengan salah satu gadis desa bernama Minem. Anak itu dinamai Rono.
Mama menampung Minem, tapi pada akhirnya Minem pergi dan meninggalkan anak tersebut di
Wonokromo.
Saat Minke pulang, Mama harus berhadapan dengan anak resmi Tuan Administratur Mellema, Ir.
Maurits Mellema. Karena perebutan warisanlah Annelies meninggal. Dengan bantuan penjaga
keamanan Mama (Darsam), Minke, Jean Marais dan anaknya, serta Kommer, Mama mempertahankan
dirinya dan rumahnya. Novel ditutup dengan Maurits Mellema menunda pengusiran mereka dari
rumah.
Melewati peristiwa-peristiwa tersebut, bertemu dengan berbagai macam orang dan opininya masing-
masing, telah mengubah total cara berpikir Minke. Eropa dulu diagung-agungkannya, Eropa tak
pernah salah, Eropa bisa maju dengan ilmu pengetahuannya, sedangkan pribumi hanya bisa disuruh.
Dengan bantuan sahabat-sahabatnya, pada akhirnya ia melihat juga kebusukan-kebusukan Eropa. Ia
belajar, ternyata sikap seseorang tidak ditentukan oleh kebangsaannya. Ia sadar, sebagai pribumi yang
terpelajar yang menguasai banyak bahasa, ia merupakan salah satu dari segelintir yang bisa
menggerakkan dan memajukan bangsanya sendiri.
“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.”
Sinopsis (Ringkasan Cerita) Novel Anak Semua Bangsa
Cerita diawali dengan kisah Annelis yang harus pergi ke negeri Belanda atas perintah pengadilan berdasarkan
tuntutan Ir. Maurits Mellema. Pram mengisahkan kejadian ini lewat surat-surat Panji Darman kepada Minke dan
Nyai Ontosoroh. Diceritakan bahwa Annelis sakit keras selama di perjalanan. Sesampainya di Belanda, ia
meninggal dunia pasca beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Meninggalnya Ann membuat Minke dan Nyai Ontosoroh benar-benar terpukul. Tapi keduanya bertekad untuk
terus berjuang. Minke sendiri masih tinggal di rumah Nyai meski beberapa kali menyatakan ingin pergi. Ia
merasa tak berkembang di hadapan seorang wanita luar biasa yang menjadi mertuanya itu. Sedangkan di sisi
lain, Nyai berusaha untuk menahannya tetap tinggal di Wonokromo.
Karena masih bimbang, Minke meneruskan aktivitasnya menulis. Dan di sini, ia mendapat kritik pedas dari dua
sahabatnya, Jean dan Kommer. Jean Marais, misalnya, mengatakan ia tak mengenal bangsanya sendiri. Ia
menyindir Minke yang hanya mau menulis dengan Bahasa Belanda dan tak mau menulis dalam Bahasa Melayu.
Minke tersinggung. Selama ini, ia merasa sangat terpelajar seperti orang Belanda karena menggunakan bahasa
tersebut. Ia mengira pemakaian Bahasa Melayu akan merendahkan dirinya seperti pribumi kebanyakan. Jean
yang dulunya serdadu kumpeni itu balik menanyakan pada Minke mengenai perlakuan Belanda pada dirinya.
Apakah Belanda berpihak ke pribumi? Lantas untuk apa menggunakan bahasa yang hanya dimengerti Belanda,
bukannya pribumi?Bukankah dengan menggunakan bahasa pribumi, dia akan dibela oleh sesama
kaumnya?Bukankah dulu Kommer yang indo itu juga membela Minke dengan koran berbahasa Melayu?
Perdebatan panas itu membuat keduanya marah satu sama lain. Tapi anak Jean, Maysaroh berhasil meluluhkan
kedua sahabat itu untuk berbaikan lagi. Minke juga sedikit banyak terpengaruh kritikan sahabatnya. Apalagi saat
koran Belanda tempatnya menulis (S.N v/d D) mempublikasikan tulisan palsu yang menyerang seorang China
yang ia kagumi, Kow Ah Sue. Kow Ah Soe adalah seorang pejuang kemerdekaan China yang pergi ke Indonesia
untuk menghimpun peranakan China supaya bangkit melawan penjajahan di negaranya. Ia ingin China meniru
Jepang yang saat itu mulai bangkit dan mampu duduk sama setara dengan bangsa kulit putih. Rupanya, hal ini
dibenci pemerintah kolonial Belanda termasuk medianya karena dianggap akan memprovokasi pribumi
melakukan hal yang sama.
Tulisan wawancara Minke pada Ah Soe diubah total oleh S.N v/d D menjadi pemberitaan yang sangat
mendiskreditkan pejuang dari negeri tirai bambu tersebut. Minke kecewa, dan pandangannya bahwa Belanda
adalah bangsa yang beradab mulai goyah. Ah Soe sendiri jadi target pengejaran karena dianggap
membahayakan. Suatu hari, ia datang ke tempat Nyai Ontosoroh dan Minke. Minke menjelaskan duduk
perkaranya. Nyai pun dengan segera menaruh simpati pada pemuda tersebut dan bersedia melindunginya
dengan menempatkannya di bawah pengawasan Darsam.
Di sisi lain, Kommer juga mulai memanasi Minke. Ia mengatakan bahwa sahabatnya itu lebih kenal Belanda
dibanding kaumnya sendiri. Saat diajak Nyai Ontosoroh berlibur ke kampung halamannya di desa sekitar Pabrik
Gula Tulangan, Minke bertekad untuk menjawab kritik Kommer dan Jean. Ia sendiri mulai sadar bahwa ia
memang tak kenal dengan bangsanya sendiri. Ia sadar akan status dirinya sebagai anak priyayi pengagum
Belanda yang lupa akar dirinya sebagai kaum terjajah.
Berjalan-jalan di suatu sore di sekitar pabrik gula, Minke mendengar ada keributan. Ia mendapati ada seorang
petani yang sedang mengamuk. Pelan-pelan, Minke mendekatinya dan mencoba mencari tahu apa yang
membuat petani jawa yang biasanya ramah dan nrimo menjadi beringas seperti itu. Rupanya, akar
permasalahannya terjadi tatkala si petani yang bernama Trunodongso hendak digusur sawah dan rumahnya oleh
pabrik gula. Uang gantinya juga sangat sedikit dan tak sepadan dengan tanah yang harus diserahkan. Tapi
Belanda terus mengancam. Ia pun menjadi satu-satunya petani yang bertahan di antara teman-temannya yang
akhirnya menyerah. Minke membuat laporan peristiwa tersebut dan berjanji akan membantu Truno. Tapi lagi-
lagi, saat kembali ke kota, laporannya disingkirkan oleh koran tempatnya bekerja. Rasa percayanya pada
Belanda pun raib.
Pada satu malam, Nyai dan Minke mendapat kabar meninggalnya Kow Ah Soe saat pemuda tersebut mencoba
meneruskan misinya di Indonesia. Dalam suasana berkabung, tiba-tiba pintu rumah mereka diketuk. Dan
ternyata, Truno yang datang dengan luka menganga di tubuhnya akibat bentrok dengan pabrik gula Belanda.
Nyai bersedia membantu keluarga petani itu. Apalagi setelah tahu bahwa modal usaha dari suaminya dulu
kemungkinan besar berasal dari dirampasnya tanah kaum tani. Nyai Ontosoroh berpikir bahwa pabrik tersebut
berhutang pada semua petani yang digusur suaminya saat menjabat menjadi pimpinan pabrik Tulangan. Selain
bertekad menampung keluarga Truno, ia juga bertekad membuatkan sekolah untuk kaum tani.
Pada saat itu juga, secara mengejutkan Nyai meminta Minke untuk ke Batavia dan melanjutkan sekolah di sana.
Minke menyetujui rencana dadakan tersebut dengan senang meski bimbang melihat Nyai harus mengurus Truno
sendiri. Tapi ia tetap berangkat. Sayangnya, belum lama ia di kapal, ia diminta untuk kembali. Ada sesuatu dari
Nyai yang sangat mendesak: Ir. Maurits Mellema datang ke Hindia Belanda dan kemungkinan besar akan
merampas harta Nyai Ontosoroh dan pabriknya.
Tak punya pilihan lain, Minke akhirnya kembali ke Buitenzorg Wonokromo. Tapi tahu bahwa mereka akan kalah,
Minke hanya memanggil sahabatnya (Jean dan Kommer) untuk menyambut kedatangan Ir. Maurits Mellema.
Ketika yang bersangkutan datang (sekaligus untuk mengembalikan pakaian Annelis yang tertinggal di Belanda),
Minke, Nyai, sampai Jean mengkonfrontir orang tersebut.
Dicap sebagai pembunuh dan perampas harta orang, Maurits Mellema terdiam dan murka karena merasa
terhina. Ia pun meninggalkan Wonokromo untuk sementara waktu sembari diirangi tangis May yang baru tahu
bahwa Annelis telah mati di Belanda. Pasrah, Nyai tak berharap banyak. Tapi Minke mengatakan, “Kita sudah
melawan, Ma. Meski hanya dengan mulut.” Dan dengan kalimat itulah novel ini diakhiri.