You are on page 1of 7

NAMA : SYAFRIDA ARYANI

KELAS : X IPS 2

AKHLAK DALAM ISLAM


Akhlak merupakan salah satu dari pilar ajaran Islam yang memiliki kedudukan yang sangat penting.
Akhlak merupakan buah yang dihasilkan dari proses menerapkan aqidah dan syariah/ibadah. Ibarat
pohon, akhlak merupakan buah kesempurnaan dari pohon tersebut setelah akar dan batangnya
kuat. Jadi, tidak mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri seseorang jika dia tidak memiliki aqidah
dan syariah yang baik. Akhir-akhir ini istilah akhlak lebih didominasi istilah karakter yang sebenarnya
memiliki esensi yang sama, yakni sikap dan perilaku seseorang.

Nabi Muhammad saw. dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka
bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat.
Misi Nabi ini bukan misi yang sederhana, tetapi misi yang agung yang ternyata untuk
merealisasikannya membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari 22 tahun. Nabi
melakukannya mulai dengan pembenahan aqidah masyarakat Arab, kurang lebih 13 tahun, lalu Nabi
mengajak untuk menerapkan syariah setelah aqidahnya mantap. Dengan kedua sarana inilah (aqidah
dan syariah), Nabi dapat merealisasikan akhlak yang mulia di kalangan umat Islam pada waktu itu.

Tujuan dari kajian tentang akhlak ini adalah agar para mahasiswa memiliki pemahaman yang baik
tentang akhlak Islam (moral knowing), ruang lingkupnya, dan pada akhirnya memiliki komitmen
(moral feeling) untuk dapat menerapkan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari (moral
action). Dengan kajian ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki sikap, moral, etika, dan karakter
keagamaan yang baik yang dapat dijadikan bekal untuk mengamalkan ilmu yang ditekuninya di
kehidupannya kelak di tengah masyarakat.

Pengertian Akhlak
Secara etimologi, istilah Akhlak berasal dari bentuk jamak khuluk yang berarti watak, tabiat, perangai
dan budi pekerti. Imam al-Ghazali memberi batasan khuluk sebagai : “Khuluk adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa
pertimbangan dan pemikiran mendalam”. Dari pengertian ini, suatu perbuatan dapat disebut baik
jika dalam melahirkan perbuatan-perbuatan baik itu dilakukan secara spontan dan tidak ada paksaan
atau intervensi dari orang lain.

Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahdzibul Akhlak menjelaskan bahwa “khuluk ialah keadaan gerak jiwa
yang mendorong kearah melakukan perbuatan tanpa pertimbangan dan pemikiran”. Dalam buku
tersebut dijelaskan bahwa gerak jiwa meliputi dua hal. Pertama, alamiah dan bertolak dari watak
seperti adanya orang yang mudah marah hanya karena masalah sepele atau tertawa berlebihan
karena mendengar berita yang tidak memprihatinkan. Kedua, keadaan jiwa yang tercipta melalui
kebiasaan, atau latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena dipikirkan dan
dipertimbangkan, namun pada tahapan selanjutnya keadaan tersebut menjadi satu karakter yang
melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Oleh karena itu, pendidikan akhlak
sangat diperlukan untuk mengubah karakter manusia dari keburukan ke arah kebaikan.
Hubungan Antara Akidah Dengan Akhlak
Sesuai dengan pengertian di atas, akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan Ikhsan sebagai
refleksi sifat dan jiwa yang secara spontan dan terpola pada diri seseorang sehingga melahirkan
perilaku yang konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasarkan keinginan tertentu.
Semakin kuat dan mantap keimanan seseorang, semakin taat beribadah maka akan semakin baik
pula akhlaknya. Dengan demikian, akhlak tidak dapat dipisahkan dengan ibadah dan tidak pula dapat
dipisahkan dengan akidah karena kualitas akidah akan sangat berpengaruh pada kualitas ibadah
yang kemudian juga akan sangat berpengaruh pada kualitas akhlak.

Akidah dalam ajaran Islam merupakan dasar bagi segala tindakan muslim agar tidak terjerumus
kedalam perilaku-perilaku syirik. Syirik disebut sebagai kezaliman karena perbuatan itu
menempatkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak
menerimanya. Oleh karena itu muslim yang baik akan menjaga segala ryang memiliki akidah yang
benar, ia akan mampu mengimplementasikan tauhid itu dalam bentuk akhlak yang mulia (akhlakul
karimah). Allah berfirman dalam surat Al-An’am (06) : 82 :

Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.

Orang yang mendapat petunjuk adalah mereka yang tahu bersyukur, sehingga perbuatan mereka
senantiasa sesuai dengan petunjuk Allah. Inilah yang dimaksud dengan akhak mulia. Dengan
demikain ada hubungan yang amat erat antara akidah dengant akhlak, bahkan keduanya tidak dapat
dipisahkan.

Sumber Akhlak
Pembicaraan tentang Akhlak berkaitan dengan persoalan nilai baik dan buruk. Oleh karena itu
ukuran yang menjadi dasar penilaian tersebut harus merujuk pada nilai-nilai agama Islam. Dengan
demikian, ukuran baik buruknya suatu perbuatan harus merujuk pada norma-norma agama, bukan
sekedar kesepakatan budaya. Kalau tidak demikian, norma-norma akan berubah seiring dengan
perubahan budaya, sehingga sesuatu yang baik dan sesuai dengan agama bisa jadi suatu saat
dianggap buruk pada saat bertentangan dengan budaya yang ada.

Dalam Islam, akhlak menjadi salah satu inti ajaran. Fenomena ini telah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat al–Qalam (4) :
Artinya : “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Keseluruhan akhlak Rasulullah ini juga diungkapkan oleh Aisyah r.a. saat ditanya tentang akhlak
Nabi. Saat itu Aisyah berkata : “Akhlak Nabi adalah Al Qur’an”. Demikian juga disebutkan dalam Al
Qur’an surat Al Ahzab (33) : 21.

Artinya : Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Dengan demikian bagi umat Islam, untuk menunjuk siapa yang layak dicontoh tidak perlu sulit sulit,
cukuplah berkiblat kepada akhlak yang ditampilkann oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis
dinyatakan : “orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi
pekertinya” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah). Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh at
Turmudzi dari Jabir r.a., Rasulullah menyatakan : “Sungguh di antara yang paling aku cintai, dan yang
paling dekat tempat duduknya dengan aku kelak pada hari kiamat adalah orang yang paling baik
akhlaknya diantara kamu”.

Merujuk pada paparan di atas, sumber akhlak bagi setiap muslim jelas termuat dalam Al Qur’an dan
hadis Nabi. Selain itu, sesuai dengan hakekat kemanusiaan yang dimilikinya, manusia memiliki hati
nurani (qalbu) yang berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan baik dan buruk. Hal tersebut
sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Wabishah tatkala beliau
bertanya tentang kebaikan (al-birr) dan dosa (al-itsm) dalam dialog seperti yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad sebagai berikut :

“Hai Wabishah, bertanyalah kepada hatimu sendiri, kebaikan adalah sesuatu yang jika kamu lakukan,
jiwamu merasa tentram, sedang dosa adalah sesuatu yang jika kamu lakukan, jiwamu bergejolak dan
hatimu pun berdebar debar meskipun orang banyak memberi tahu kepadamu (lain dari yang kamu
rasakan).”

Berkaitan dengan hati nurani, muncul persoalan, dapatkah dijamin bahwa hati nurani selalu
dominan dalam jiwa manusia sehingga suaranya selalu didengar, mengingat dalam diri manusia
terdapat dua potensi yang selalu bertolak belakang yaitu potensi yang mengarah kepada kebaikan
(taqwa) dan potensi yang mengarah pada keburukan (al-fujur), dimana kekuatan yang lebih
menonjol tentunya menjadi dominan dalam mempengaruhi keputusan suatu persoalan.

Oleh karena itu, agar hati nurani seorang muslim selalu dalam kondisi kepada kebaikan, maka ia
harus selalu disucikan. Seorang muslim perlu menjaga rutinitas dan kontinuitas ibadah, berusaha
untuk selalu mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah, membaca sejarah orang orang terdahulu
serta selalu berusaha untuk saling menasehati dengan sesamanya.

Macam-macam Akhlakul Karimah


Dalam Al Qur’an dan hadis banyak dijelaskan bagaimana perilaku (akhlak) yang sesuai dengan aturan
Islam. Seperti misalnya di dalam Al Qur’an surat Asy-Syams (91) : 7-10 yang berbunyi :

Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa barang siapa ingin mencapai kebahagiaan hidup, hendaknya dia
mensucikan jiwanya dari sifat sifat tercela dan berusaha memiliki ketakwaan yang tinggi. Artinya, dia
harus selalu berusaha meningkatkan ketakwaan dengan cara yang benar.

Ayat lain di dalam Al Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk menahan hawa nafsunya,
sebagaimana terdapat dalam surat an-Naazi’at (79) : 40-41 yang berbunyi :

Artinya : “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).”
Dalam Al Qur’an surat Ali Imron (3) : 200, Allah swt berfirman

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.”

Ayat di atas mengajarkan kepada manusia untuk tetap tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai
ujian dan cobaan yang menimpa dirinya dalam kehidupannya.
Al Qur’an surat at-Taubah (09) : 119 mengajarkan kepada manusia untuk bertakwa dan jujur dalam
setiap perbuatan.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar.”

Jujur hendaknya tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Salah satu perilaku
jujur misalnya saat menjalani ujian semester. Sebagai seorang muslim, hendaklah mahasiswa tidak
tergoda untuk berlaku curang dengan cara menyontek atau menekan dosen yang mengajar untuk
memberi nilai yang diinginkannya, padahal tidak sesuai dengan kemampuan dirinya.

Dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja
profesional sesuai dengan ilmu dan ketrampilan yang dimilikinya. Salah satu hadis yang diriwayatkan
oleh imam Malik, Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Turmudzi dan Nasa’i dari Abu Hurairah yang
menyatakan : “Sungguh, seandainya kamu mencari kayu seikat yang dibawa di atas punggung (untuk
kemudian dijual) , lebih baik bagimu daripada minta minta kepada seseorang yang mungkin diberi
atau ditolak.”
Hadis ini dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadi pengemis, yang bekerja dengan
mengandalkan belas kasihan orang lain.

Berkaitan dengan berbagai bentuk akhlakul karimah, Ibnu Miskawaih menunjukkan berbagai macam
kebajikan sebagai berikut:

1. Kearifan
Pandai (al-dzaka), kecepatan dalam mengembangkan kesimpulan yang melahirkan pemahaman
Ingat (al-dzikru), kecepatan dan kemampuan berimajinasi
Berfikir (al-ta’aqqul), kemampuan untuk menyesuaikan antara ide dengan realitas
Kejernihan pikiran (shafau al-dzihni), kesiapan jiwa menyimpulkan hal yang dikehendaki.
Ketajaman dan kekuatan otak (jaudat al-dzihni), kemampuan jiwa untuk merenungkan masa lalu
atau sejarah.
Kemampuan belajar dengan mudah (suhulat at-ta’allum), kekuatan dan ketajaman jiwa dalam
memahami sesuatu.

2. Kesederhanaan
Rasa malu (al-haya’)
Tenang (al-da’at)
Sabar (as-shabru)
Dermawan (al-sakha’)
Integritas (al-hurriyah)
Puas (al-qana’ah)
Loyal (al-damatsah)
Berdisiplin diri (al-intizham)
Optimis atau berpengharapan baik (husn-al-huda)
Kelembutan (al-musalamah)
Anggun berwibawa (al-wiqar)
Wara’

3. Keberanian
Kebesaran jiwa
Tegar
Ulet
Tabah
Menguasai diri
Perkasa

4. Kedermawanan
Murah hati (al-karam)
Mementingkan orang lain (al-itsar)
Rela (al-nail)
Berbakti (al-muwasah)
Tangan terbuka (al-samahah)

5. Keadilan
Bersahabat
Bersemangat sosial (al-ulfah)
Silaturrahmi
Memberi imbalan (mukafa’ah)
Baik dalam bekerja sama (husn al-syarikah)
Kejelian dalam memutuskan persoalan (husn al-qadha)
Cinta (tawaddu)
Beribadah kepada Allah
Taqwa kepada Allah
Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa untuk mencapai martabat manusia sempurna, manusia harus
memiliki syarat syarat sebagai berikut:
Isyqo Muhabbat, artinya kecintaan yang sangat mendalam kepada Allah yang akan melahirkan rasa
kasih sayang terhadap makhluk-makhluk-Nya.
Syaja’ah, artinya keberanian yang tertanam di dalam pribadi seseorang sehingga berani beramar
ma’ruf nahi munkar.
Faqr, artinya orang yang memiliki pendirian yang teguh dan perwira sehingga mempunyai rasa
kemandirian yang tinggi, tidak suka tergantung kepada orang lain.
Tasamuh (toleransi), artinya semangat tenggang rasa yang ditebarkan diantara sesama manusia
sehingga mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan.
Kasbi halal, artinya usaha-usaha yang sesuai dengan ketentuan agama (halal).
Kreatif, artinya selalu mencari hal-hal barun untuk meingkatkan kualitas kehidupan.

Ancaman Akhlak Dalam Kehidupan Modern


Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa paling tidak ada tiga macam ancaman terhadap akhlak
manusia dalam kehidupan modern dewasa ini, yaitu ananiyyah, madiyyah dan naf’iyyah.

Ananiyyah artinya individualisme, yaitu faham yang bertitik tolak dari sikap egoisme, mementingkan
dirinya sendiri, sehingga mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri. Orang orang yang
berpendirian semacam ini tidak memiliki semangat ukhuwah Islamiyah, rasa persaudaraan dan
toleransi (tasamuh) sehingga sulit untuk merasakan penderitaan orang lain. Padahal seseorang baru
dikatakan berakhlak mulia tatkala ia memperhatikan nasib orang lain juga.

Madiyyah artinya sikap materialistik yang lahir dari kecintaan pada kehidupan duniawi yang
berlebihan. Hal demikian dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Hud (11) : 15-16 yang berbunyi

Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan., Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah
di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka
kerjakan.”

Naf’iyyah artinya pragmatis yaitu menilai sesuatu hanya berdasarkan pada aspek kegunaan semata.
Ketiga ancaman terhadap akhlak mulia ini hanya akan dapat diatasi manakala manusia memiliki
pondasi aqidah yang kuat dan senantiasa melakukan amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT.

You might also like