Professional Documents
Culture Documents
PEMBELAJARAN MIKRO
Disusun Oleh :
Nurul Fajar Setiati,Amd.Keb
(163112540120248)
Referensi
1. Pendahuluan
Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan
derajat kesehatan masyarakat. Salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor
kesehatan sebagaimana tercantum dalam Propenas serta strategi Making Pregnancy Safer
(MPS) atau kehamilan yang aman sebagai kelanjutan dari program Safe Motherhood
dengan tujuan untuk mempercepat penurunan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru
lahir (MDG’s, 2010), dalam pernyataan yang diterbitkan di situs resmi WHO dijelaskan
bahwa untuk mencapai target Millennium Development Goal’s, penurunan angka
kematian ibu dari tahun 1990 sampai dengan 2015 haruslah mencapai 5,5 persen
pertahun (antaranews, 2007)
Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu adalah infeksi pada masa nifas
dimana infeksi tersebut berawal dari ruptur perineum. Ruptur Perineum dapat terjadi
karena adanya rupture spontan maupun episiotomi perineum yang dilakukan atas indikasi
antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak, persalinan dengan
menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena apabila episiotomi itu tidak
dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi di
atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada daerah
perineum yang lebih berat (Prawirohardjo, 2005).
Di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus rupture perineum pada ibu
bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan
semakin tingginya bidan yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik.
(Hilmy, dalam http://stikesharapanmama.blogspot.com, 2010).
Di Amerika 26 juta ibu bersalin yang mengalami rupture perineum, 40 %
diantaranya mengalami rupture perineum (Heimburger, dalam http://stikes
harapanmama.blogspot.com, 2009). Di Asia rupture perineum juga merupakan masalah
yang cukup banyak dalam masyarakat, 50 % dari kejadian rupture perineum di dunia
terjadi di Asia (Campion, dalam http://stikes harapanmama.blogspot.com, 2009).
Prevalensi ibu bersalin yang mengalami rupture perineum di Indonesia pada golongan
umur 25-30 tahun yaitu 24 % sedang pada ibu bersalin usia 32 –39 tahun sebesar 62 %.
Dampak dari terjadinya rupture perineum pada ibu antara lain terjadinya infeksi
pada luka jahitan dimana dapat merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada
jalan lahir yang dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih
maupun infeksi pada jalan lahir. Selain itu juga dapat terjadi perdarahan karena
terbukanya pembuluh darah yang tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi
terus menerus. Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya
kematian pada ibu post partum mengingat kondisi fisik ibu post partum masih lemah.
Beberapa faktor penyebab terjadinya rupture perineum terdiri atas faktor ibu seperti:
usia, paritas, partus presipitatus, ibu yang tidak mampu berhenti mengejan, partus yang
diselesaikan dengan buru-buru, edema dan kerapuhan perineum, varises vulva, arkus
pubis yang sempit sehingga kepala terdorong kebelakang dan episiotomi yang sempit,
dan faktor janin antara lain: bayi besar, kelainan presentasi, kelahiran bokong, distosia
bahu (Oxorn, 2010).
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum yang biasanya
disebabkan oleh trauma saat persalinan (Maemunah, 2005).
Robekan perineum bisa terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan selanjutnya. Robekan ini dapat dihindari atau dikurangi
dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat
(Prawirohardjo,2007).
Untuk mengetahui apakah ada tidaknya robekan jalan lahir, maka periksa daerah
perineum, vagina dan vulva. Setelah bayi lahir, vagina akan mengalami peregangan, oleh
kemungkinan edema dan lecet. Introitus vagina juga akan tampak terkulai dan terbuka.
Sedangkan vulva bisa berwarna merah, bengkak dan mengalami lecet-lecet. Untuk
mengetahui ada tidaknya trauma atau hemoroid yang keluar, maka periksa anus dengan
rectal toucher.
B. Laserasi dapat dikategorikan dalam :
1. Derajat pertama: laserasi mengenai mukosa dan kulit perineum, tidak perlu dijahit.
2. Derajat kedua: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit dan jaringan perineum (perlu
dijahit).
3. Derajat ketiga: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit, jaringan perineum dan spinkter
ani.
4. Derajat empat: laserasi mengenai mukosa vagina, kulit, jaringan perineum dan spinkter
ani yang meluas hingga ke rektum. Bila laserasi jalan lahir berada pada derajat III dan
IV: Rujuk segera
Anestesi Lokal
a. Keuntungan Anestesi Lokal :
1. Ibu lebih merasa nyaman (sayang ibu).
2. Bidan lebih leluasa dalam penjahitan.
3. Lebih cepat dalam menjahit perlukaannya (mengurangi kehilangan darah).
4. Trauma pada jaringan lebih sedikit (mengurangi infeksi).
5. Cairan yang digunakan: Lidocain 1 %. Tidak dianjurkan penggunaan lidocain 2
% (konsentrasinya terlalu tinggi dan menimbulkan nekrosis jaringan). Lidocain
dengan epinephrine (memperlambat penyerapan lidocain dan memperpanjang
efek kerjanya).
b. Jahitan Continous
1) Jahitan jelujur
Mudah dipelajari, tidak nyeri, sedikit jahitan, lebih cepat dibuat, lebih
kuat dan pembagian tekanannya lebih rata bila dibandingkan dengan jahitan
terputus. Kelemahannya jika benang putus / simpul terurai seluruh tepi luka
akan terbuka.
2. Jahitan Subkutis
a. Jahitan continous
3. Jahitan Dalam
Pada luka infeksi misalnya insisi abses, dipasang dren. Dren dapat dibuat dari
guntingan sarunga tangan fungsi dren adalah mengelirkan cairan keluar berupa darah
atau serum.
1. Laserasi derajat satu yang tidak mengalami perdarahan, tidak perlu dilakukan
penjahitan.
2. Menggunakan sedikit jahitan.
3. Menggunakan selalu teknik aseptik.
4. Menggunakan anestesi lokal, untuk memberikan kenyamanan ibu.
G. Informasi kesehatan untuk ibu
Setelah dilakukan penjahitan, bidan hendaklah memberikan nasehat kepada ibu. Hal
ini berguna agar ibu selalu menjaga dan merawat luka jahitannya. Adapun nasehat yang
diberikan diantaranya :
1. Menjaga daerah vulva dan perineum ibu selalu dalam keadaan kering dan bersih.
2. Menghindari penggunaan obat-obat tradisional pada lukanya.
3. Mencuci perineum dengan air sabun dan air bersih sesering mungkin.
4. Menyarankan ibu mengkonsumsi nutrisi dan makanan bernilai gizi tinggi.
5. Menganjurkan ibu untuk memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh, atau sedikitnya
minum 8 gelas sehari.
6. Menganjurkan ibu untuk melakukan kunjungan ulang 1 minggu setelah melahirkan
untuk memeriksa luka jahitan
Kesimpulan
Ruptur Perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan
maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi
pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin terlalu cepat. Robekan
perineum terjadi pada hampir semua primipara (Winkjosastro,2005). Tujuan dari
penjahitan perlukaan perineum atau akibat episiotomi adalah : Untuk mendekatkan
jaringan-jaringan perlukaan sehingga proses penyembuhan bisa terjadi, proses
penyembuhan itu sendiri bukanlah hasil dari penjahitan tersebut tetapi hasil dari
pertumbuhan jaringan dan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi akibat perlukaan
yang menyebabkan pembuluh darah terbuka.