You are on page 1of 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi

Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia.(who

2014)

2.2 Antibiotik

2.1.1 Pengertian Antibiotik

Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang

memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan

toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat secara semi-

sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat

antibakteri (Tjay & Rahardja, 2015).

Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang dalam

jumlah kecil dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh pertumbuhan

mikroorganisme lain (Harmita dan Radji, 2008).

2.1.2 Penggolongan Antibiotik

Penggolongan antibiotik secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007)

a. Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin (sefaleksin,

sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik, dan golongan

penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen antibakterial alami

yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium chrysognum.


b. Antibiotik golongan aminoglikosida, aminoglikosida dihasilkan oleh jenis- jenis

fungi Streptomyces dan Micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-

sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya, yang

saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama

banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah

kuman gram-positif. Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk

menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya

streptomisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.

c. Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya melalui

injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme

kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman. Spektrum antibakterinya

luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan gram negatif serta kebanyakan

bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba

khusus Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit

kelamin), dan beberapa protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin,

doksisiklin, dan monosiklin.

d. Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap terutama bakteri

gram-positif dan spectrum kerjanya mirip Penisilin-G. Mekanisme kerjanya melalui

pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi.

Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan resistensi. Absorbinya

tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu

paruhnya singkat, maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari.


e. Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh srteptomyces lincolnensis (AS

1960). Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit dar ipada

makrolida,n terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob. Berhubung efek

sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat resistensi terhadap antibiotika

lain. Contohnya linkomisin.

f. Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat

bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim

DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini hanya

dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi.

g. Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrum luas.

Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram positif dan sejumlah

kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa

polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol.

2. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan ada

yang bersifat bakterisid (Anonim, 2008). Agen bakteriostatik menghambat

pertumbuhan bakteri. Sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Perbedaan ini

biasanya tidak penting secara klinis selama mekanisme pertahanan pejamu terlibat

dalam eliminasi akhir patogen bakteri. Pengecualiannya adalah terapi infeksi pada

pasien immunocompromised dimana menggunakan agen-agen bakterisida (Neal,

2006). Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau

membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan

kadar bunuh minimal (KBM). Antibiotik tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari
bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi

KHM (Anonim, 2008).

3. Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai

berikut (Stringer, 2006) :

a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisidal dengan cara

memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel.

Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin, sefalosporin,

karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti

vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.

b. Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau

bakteriostatik dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel

normal dan menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat- obat yang aktivitasnya

menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin,

streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.

c. Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik dan

bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena

hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat- obat yang

memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin,

kolistin.

d. Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti

sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat,

tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam para amino benzoat), dan

glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita tidak
dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif

untuk senyawa-senyawa antimikroba.

e. Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti

metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam

deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA. DNA

girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya dan

terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi DNA.

4. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Kee, 1996) :

a. Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) contohnya seperti tetrasiklin dan

sefalosporin efektif terhadap organism baik gram positif maupun gram negatif.

Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi

yang menyerang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.

b. Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) golongan ini terutama efektif

untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai

untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena

antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif

dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotik berspektrum

luas.

5. Berdasarkan daya hambat antibiotik, terdapat 2 pola hambat antibiotik terhadap kuman

yaitu (Anonim, 2008) :

a. Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh

maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal

kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.


b. Concentration dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan

daya bunuh maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak

perlu mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama. Contohnya pada

antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid.

2.2 Penggunaan Antibiotik

Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik terapi dan

antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada pasien dengan kasus infeksi dan

penggunaannya dapat bersifat empiris atau definitif.13 Terapi empiris merupakan terapi inisial yang

diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis kumannya, sedangkan terapi definitif

merupakan terapi yang diberikan pada kasus infeksi yang telah diketahui kuman penyebabnya

berdasarkan hasil laboratorium mikrobiologi. Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan

pada jaringan tubuh dengan dugaan kuat akan terkena infeksi, seperti pada operasi pembedahan.

Antibiotik profilaksis biasanya diberikan secara intravena. 13-15

2.2.1 Penggunaan Antibiotik di ICU

a. Antibiotik Profilaksis

Antibiotik profilaksis merupakan terapi pencegahan infeksi. Profilaksis sebenarnya

dibagi menjadi dua yaitu profilaksis primer dan propilaksis sekunder (supresi) atau

eradiksi. Profilaksis primer dimaksudkan utuk pencegahan infeksi awal, sedangkan

profilaksis sekunder dimaksudkan untuk pencegahan kekambuhan atau reaktivasi

dari infeksi yang sudah pernah terjadi. (Kurniawan , 2012). Antibiotika sering

dipergunakan secara profilaksis pada penderita yang dioperasi untuk mencegah

infeksi luka dimana diperkirakan kemungkinan akan terjadi atau dimana kalau terjadi

infeksi, konsekuensi infeksi akan berat walaupun kemungkinan infeksinya kecil.


Sepsis pasca bedah merupakan infeksi nosokomial tersering pada pasien yang

mengalami pembedahan. Hal ini merupakan faktor penting yang menambah

kesakitan, waktu rawat yang makin panjang, menambah ongkos perawatan dan

ketidaknyamanan untuk pasien dan keluarganya.

b. Terapi Empirik

Pemberian antibiotika empirik yang rasional harus memperhatikan mikroorganisme

yang biasa terdapat pada tempat infeksi dan pola kerentanan kuman pada rumah sakit

atau unitnya (misal: ICU). Infeksi bedah intraabdomen hampir selalu disebabkan

oleh infeksi campuran gram negative dan gram positif aerob dan anaerob. Oleh

karena itu pemberian antibiotika awal pada kasus ini harus antibiotika dengan

spektrum luas yang mencakup kuman tersebut. Pada kasus pemasangan alat

prostetik, bakteri yang berperan umumnya adalah gram positif kokus seperti Staph.

aureus dan S. epidermidis, tetapi dapat juga disebabkan oleh kuman gram negatif.

c. Terapi Definitif

Terapi antibiotika harus dirubah setelah diperoleh hasil pemeriksaan pewarnaan

gram, kultur, dan sensitivitas. Data sensitivitas dapat menentukan antibiotika mana

yang sedang dipergunakan tetapi tidak aktif terhadap kuman hasil isolasi. Data ini

juga dapat dipergunakan untuk mengganti penggunaan antibiotika dengan antibiotika

lain yang kurang toksik atau yang lebih ekonomis. Infeksi yang berasal dari ICU

biasanya disebabkan oleh kuman yang resisten terhadap antibiotika. Ini biasa terjadi

pada hospital-acquired Staph. Aureus yang sering resisten terhadap methicilin.

Vancomycin biasanya diberikan pada kasus MRSA, tetapi jika kuman sensitif

terhadap penicillin G atau methicilin maka obat ini sebaiknya yang diberikan karena
lebih efektif dan ekonomis dibandingkan dengan vancomycin. Antibiotika yang

sering digunakan untuk infeksi oleh P. aeruginosa adalah antipseudomonas beta-

lactam seperti mezlocilin atau ceftazidime kombinasi dengan aminoglycoside,

dengan tujuan untuk mencegah resistensi dan manfaat sinergi obat.

2.2.2 Indikasi Penggunaan Antibiotik

2.2.3 Penggunaan Antibiotik di Indonesia

Hasil studi di Indonesia, Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari 70%

pasien diresepkan antibiotik. Dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan antibiotik

yang sebenarnya tidak diperlukan. Hasil sebuah studi pendahuluan di New Delhi

mengenai persepsi masyarakat dan dokter tentang penggunaan antibiotik, 25%

responden menghentikan penggunaan antibiotik ketika pasien tersebut mulai merasa

lebih baik, akan tetapi pada kenyataanya penghentian pemberian antibiotik sebelum

waktu yang seharusnya, dapat memicu resistensi antibiotik tersebut. Pada 47%

responden, mereka akan mengganti dokternya jika dokter tersebut tidak meresepkan

antibiotik, dan 18% orang menyimpan antibiotic dan akan mereka gunakan lagi

untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya, sedangkan 53% orang akan

mengobati dirinya sendiri dengan antibiotik ketika sakit. Dan 16% dokter meresepkan

antibiotik pada pasien dengan demam yang tidak spesifik, 17% dokter merasa

pasien dengan batuk perlu antibiotik, 18% dokter merekomendasikan antibiotik

untuk diare dan 49% dokter mengobati telinga bernanah dengan antibiotik.

Penggunaan dan penggunaan antibiotik yang terlalu berlebihan tersebut dapat

memicu terjadinya resistensi antibiotik (WHO, 2011).

2.2.4 Efek Samping Antibiotik


Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat menggagalkan

terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat menimbulkan bahaya seperti :

1. Resistensi, ialah tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik yang

merupakan suatu mekanisme alami untuk bertahan hidup. Ini dapat terjadi apabila

antibiotik diberikan atau digunakan dengan dosis yang terlalu rendah atau masa terapi

yang tidak tepat.

2. Suprainfeksi, yaitu infeksi sekunder yang timbul ketika pengobatan terhadap infeksi

primer sedang berlangsung dimana jenis dan infeksi yang timbul berbeda dengan

infeksi primer (Tjay & Rahardja, 2007).

2.2.5 Resistensi Antibiotik

Hasil penelitian pada tahun 2003, Kejadian resistensi terhadap penicilin dan

tetrasiklin oleh bakteri patogen diare dan Neisseria gonorrhoeae telah hampir mencapai

100% di seluruh area di Indonesia (Hadi dkk, 2008). Resistensi terhadap antibiotik bisa di

dapat atau bawaan. Pada resistensi bawaan, gen yang mengkode mekanisme resistensi

ditransfer dari satu organisme ke organisme lain (Anonim, 2008). Secara klinis resistensi

yang di dapat, adalah dimana bakteri yang pernah sensitif terhadap suatu obat menjadi

resisten.

2.2.6 Penggunaan Antibiotik yang Rasional

Kunci untuk mengontrol penyebaran bakteri yang resisten adalah dengan

menggunakan antibiotika secara tepat dan rasional. Pengobatan rasional dimaksudkan

agar masyarakat mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam


dosis yang tepat bagi kebutuhan individunya, untuk waktu yang cukup dan dengan biaya

yang paling terjangkau bagi diri dan komunitasnya (Darmansjah, 2011). WHO

menyatakan bahwa lebih dari setengah penggunaan obat diberikan secara tidak rasional

(WHO, 2001). Menurut WHO, kriteria pemakaian obat yang rasional, antara lain :

a. Sesuai dengan indikasi penyakit Pengobatan didasarkan atas keluhan

individual dan hasil pemeriksaan fisik.

b. Diberikan dengan dosis yang tepat Pemberian obat memperhitungkan umur, berat

badan dan kronologis penyakit.

c. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat. Jarak minum obat

sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.

d. Lama pemberian yang tepat. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam

jangka waktu tertentu.

e. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin. Hindari pemberian obat

yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit.

f. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis obat mudah

didapatkan dengan harganya relatif murah.

g. Meminimalkan efek samping dan alergi obat

2.3. Kombinasi Antibiotik

Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui dengan jelas

kumankuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian kombinasi antimikroba ditujukan untuk

mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin. Selain itu, kombinasi antimikroba juga
digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya resistensi

terhadap obat-obatan antimikroba yang digunakan.8

Daftar Pustaka
8
Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Di Klinik. Dalam : Sudoyo AW et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Cetakan kedua 2010:2896-2900.
13
Alexander RE. Basic Priniciples of Antibiotic Therapy and Prophylaxis. Quintessence
International 1997;28(12).
14
Meer Jvd, Gyssens I. Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital. European Society
of Clinical Micobiology and Infectious Diseases 2001;7(6):12-5.
15
Munckhof W. Antibiotics for Surgical Prophylaxis. Australian Prescriber 2005;28(2).

DAFTAR PUSTAKA

BNF, 2007, British National Formulary 54th Edition, BMJ Publishing Group, London.

Butler, T., 2011, Clin Microbiol Infect., Treatment of Typhoid Fever In The 21st Century:
Promises and Shortcomings, (online),
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21722249), diakses 25 Desember 2016.

Cipolle, R.J, Strand, L.M. & Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, hal : 75, 82-83,
96-101, 116, Mc Graw Hill Company, New York.

Depkes, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Depkesa, 2006, Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Direktorat Bina
Penggunaan Obat Rasional, Jakarta.

Depkesb, 2006, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

DiPiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G. & Posey, L. M., 2008,
Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, hal : 2036, Mc-Graw Hill Company,
New York.
Fauci, S.A. , Kasper, L.D. , Longo, L.D. , Braunwald, E. , Hauser, L.S. , Jameson, L.J, et al.,
2008, Harrison’s Principles of Internal Medicines, 17th Edition, Mc-Graw Hill
Company, New York.

Ganiswarna, S. G., Setiabudy, R., Suyatna, F. D., Ascobat, P., Nafrialdi, Ganiswarna, V. H. S.,
dkk., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

Hansten, P.P. & Horn, R.J., 2004, Managing Clinically Important Drug Interactions, Fact and
Comparissons, USA.

Haryanti, S., Dewi, D. R. & Wirawan, A., 2009, Evaluasi Penggunaan Obat Demam Tifoid pada
Pasien Anak Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Soewondo Kendal Periode Januari-Juni
2007, Media Farmasi Indonesia, Vol. 4 No. 2. Joenoes, N. Z., 2004, Ars Prescribendi
Resep yang Rasional, Edisi II, Airlangga University Press, Surabaya.

Juwono, R., 2004, Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi Ketiga,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Katzung, B. G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Khan, A. M., Yousaf, M. N. & Mahmoud, T., 2004, Current Trends in the Management of

Typhoid Fever, in Gomal Journal of Medical Sciences July-Dec., 2004, Vol. 2, No. 2.

Mansjoer , A., Wardhani, W. I., Suprohaita & Setiowulan, W., 2001, Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Medscape, 2011, Drug Interaction Checker, (online),


(http://www.reference.medscape.com/drug-interactionchecker), diakses tanggal 25
Desember 2016.

Muninjaya, 2004, Manajemen Kesehatan, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Musnelina, L., Afdhal, A. F., Gani, A. & Andayani, P., 2004, Analisis Efektivitas Biaya
Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Kloramfenikol dan Seftriakson di
Rumah Sakit

Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002, Makara Kesehatan, Vol. 8 No. 2 Desember 2004 : 59-64.
Park, J. Y., Kim, K. A. & Kim, S. L.,2003, Chloramphenicol Is a Potent Inhibitor of Cytochrom
P450 Isoforms CYP2C19 and CYP3A4 in Human Liver Microsomes, in Antimicrob.
Agents Chemother. November 2003 vol. 47 no. 11 3464-3469.

Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, Leskonfi Media, Depok.


Rahmatifa, 2006, Identifikasi Drug Related Problems Pada Pasien Demam Tifoid Pediatrik Di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Surakarta Tahun 2005, Skripsi, Fakultas farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Rahmawati, F., Handayani, R. & Gosal, V., 2006, Kajian Retrospektif Interaksi Obat di RS
Pendidikan Dr. Sardjito, dalam Majalah Farmasi Indonesia, 17 (4), 177-183, 2006.

Siregar, C., 2003, Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan, Penerbit Buku kedokteran EGC,
Jakarta.

Soedarmo, S.S.P., Soemarno S.P., Gama H. & Hadinegoro, 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis, Edisi 1, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 35 Soedarto,
2007, Sinopsis Kedokteran Tropis, Airlangga University Press, Surabaya.

Southwick, F., 2003, Infectious Disease in 30 Days, McGraw Hill Company, New York.

Stockley, I. H. & Lee, A., 1999, Drug Interaction, 3rd Edition, Churcill Livingstone, London.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P. & Kusnandar, 2008, ISO
Farmakoterapi, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta.

Tatro, D.S., 2001, Drug Interaction Facts, Edisi 6, Fact and Comparissons, A Wolter Klowers,
St. Louis.

Tjay, H. T. & Rahardja, K., 2007, Obat-obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya, Edisi VI, Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Vinh, H., Parry, C. M., Hanh, V. T., Chinh, M. T., House, D., Tham, C. T., et al., 2004, Pediatr
Infect Dis J., Double Blind Comparison of Ibuprofen and Paracetamol for Adjunctive
Ttreatment of Uncomplicated Typhoid Fever, (online),
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15014297), diakses 25 Desember 2016.

Walker, R. & Edwards, C., 2006, Clinical Pharmacy and Therapeutics, 3rd Edition, Churchill
Livingstone, London.

WHO, 2003, Background Document : The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid
Fever by World Health Organization, (online), (www.who.int-/vaccines-documents/),
diakses 4 Desember 2011.

Yuliati, S., 2009, Identifikasi Drug Related Problems Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat,
Dosis dan Interaksi Obat pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi
Surakarta tahun 2007, Skripsi, Fakultas farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.

You might also like