You are on page 1of 28

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Kebutuhan Spiritual

a. Definisi

Spiritualitas adalah kata yang sulit dipahami dan didefinisikan. Spiritualitas

berbeda dengan religius, religius adalah kepercayaan yang terorganisir, praktik,

ritual, dan simbol keyakinan kepada Tuhan (Janet, 2014). Spiritualitas

merupakan ajang pencarian diri untuk memahami jawaban atas pertanyaan

tentang kehidupan, tentang makna, dan tentang hubungan yang sakral yaitu

hubungan dengan Tuhan (MacKinlay, 2006)

Tingkat spiritualitas seseorang berhubungan dengan terpenuhinya aspek

kebutuhan spiritual mereka. Kebutuhan spiritualitas adalah kebutuhan untuk

mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban

agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan,

mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan

spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan

untuk mencintai dan dicintai serta rasa ketertarikan, dan kebutuhan untuk

memberi dan mendapatkan maaf (Hamid, 2008)

b. Karakteristik Spiritualitas

Pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan harus memperhatikan

kebutuhan spiritual pasien. Berikut adalah karakteristik spiritualitas menurut

Hamid (2008), antara lain:


1) Hubungan dengan diri sendiri

Hubungan dengan diri sendiri berasal dari kekuatan dalam individu

atau kemandirian. Hubungan tersebut seperti pengetahuan diri tentang siapa

dirinya, apa yang dapat dilakukannya, dan sikap percaya pada diri sendiri,

percaya pada kehidupan/masa depan, dan memiliki ketenangan pikiran,

harmoni atau selarasan dengan diri sendiri.

2) Hubungan dengan alam harmonis

Mampu mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim.

Selain itu juga mampu berkomunikasi dengan alam dengan cara bertanam,

berjalan kaki dan melindungi alam.

3) Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif

Mampu berhubungan baik dengan orang lain, seperti mengasuh anak,

orang tua dan orang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian

(mengunjungi, melayat, dan lain-lain).

4) Hubungan dengan ketuhanan

Hubungan dengan ketuhanan dapat dilihat dari individu agamis atau

tidak agamis, seperti teratur melaksanakan ibadah, selalu berdoa, dan

menjaga alam.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Menurut Craven & Hirnle (2007) terdapat beberapa faktor penting yang dapat

memengaruhi spiritualitas seseorang, antara lain:


1) Usia

Usia sangat berpengaruh terhadap tingkat spiritualitas seseorang. Usia

anak, remaja, dewasa, dan lansia cara pandang mereka terhadap spiritual akan

berbeda. Masa anak-anak merupakan masa bermain dimana anak belum begitu

mengerti tentang spiritual dan bagaimana cara menerapkannya. Masa remaja

adalah masa peralihan dari anak ke dewasa dimana dalam tahap ini seseorang

sedang mencari jati diri dan pendalaman spiritual. Pada masa dewasa seseorang

lebih banyak disibukkan oleh pekerjaan dan waktu untuk beribadah lebih

sedikit dibandingkan usia lansia.

2) Kebudayaan

Latar belakang sosial budaya dan tradisi agama di dalam keluarga

maupun lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi tingkat spiritual, sikap,

tingkah laku, kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini.

3) Keluarga

Peran keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan spiritualitas

anak terutama peran orang tua. Hal ini dikarenakan

keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam

mempersepsikan kehidupan di dunia.

4) Pengalaman hidup

Cara pandang dalam memaknai pengalaman hidup dan kemampuan

koping seseorang dipengaruhi oleh spiritualitas. Pengalaman hidup positif

membuat seseorang bersyukur dan pengalaman negatif dianggap sebagai

cobaan untuk menguji keimananan seseorang.


5) Krisis dan perubahan

Krisis yang dimaksudkan adalah kondisi ketika seseorang menghadapi

penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan bahkan kematian. Pada

pasien dengan penyakit terminal dan prognosis yang buruk, keyakinan spiritual

dan keinginan untuk sembahyang atau berdoa lebih tinggi dibandingkan pasien

dengan penyakit akut. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi

tersebut merupakan pengalaman spiritual, dan juga pengalaman yang bersifat

fisik dan emosional.

6) Terpisah dari ikatan spiritual

Pasien dengan penyakit kronik lebih banyak menghabiskan waktu di

pelayanan kesehatan. Hal tersebut memberikan tekanan tersendiri bagi pasien

yaitu pasien merasa kehilangan kebebasan pribadi. Semakin lama pasien

terpisah dari ikatan spiritual, maka dapat beresiko terjadinya perubahan fungsi

spiritualnya.

7) Isu moral terkait dengan terapi

Terapi medis sering dipengaruhi oleh keyakinan agama pasien, sehingga

konflik antara terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh pasien dan

tenaga kesehatan.

d. Terapi Spiritual

Terapi spiritual berdasarkan Nursing Intervention Classificatin (NIC) 2008

meliputi:
1) Memfasilitasi pertumbuhan spiritual

Memfasilitasi pertumbuhan spiritual pada pasien untuk mengidentifikasi

kapasitas, terhubung dengan, dan berseru kepada sumber makna, tujuan,

kenyamanan, kekuatan, dan harapan dalam hidup mereka. Berikut beberapa

intervensi yang dapat dilakukan yaitu:

a) Tunjukkan kepedulian dan berikan kenyamanan dengan menghabiskan waktu

bersama pasien dan keluarga pasien.

b) Dorong percakapan yang membantu pasien dalam memilah masalah

spiritual.

c) Bantu pasien mengidentifikasi hambatan dan sikap yang menghambat

pertumbuhan atau penemuan diri.

d) Tawarkan individu dan kelompok prayer support.

e) Dorong pasien untuk mengkaji komitmen spiritualnya berdasarkan

keyakinan dan nilai-nilai.

f) Fasilitasi lingkungan yang menunjang meditasi atau perilaku merenung

untuk merefleksikan diri.

g) Merujuk untuk mengikuti support grup

2) Mengembangkan spiritual

a) Perlakukan pasien dengan bermartabat dan hormat

b) Dorong pasien untuk menggunakan komitmen spiritualnya untuk mengatasi

hambatan dan sikap yang menghambat perkembangan spiritual.

c) Gunakan alat untuk memonitor dan mengevaluasi kesejahteraan spiritual

pasien
d) Gunakan tehnik klarifikasi nilai untuk membantu pasien mengklarifikasi

kepercayaan dan nilai

3) Terapi spiritual

Dukungan spiritual dilakukan untuk membantu pasien merasa seimbang

dan memiliki hubungan dengan kekuatan yang lebih besar. Berikut beberapa

intervensi yang dapat dilakukan, yaitu:

a) Gunakan komunikasi terapeutik untuk meningkatkan kepercayaan dan

kepedulian.

b) Dorong individu untuk merenungkan kehidupan di masa lalu dan fokus pada

peristiwa dan hubungan yang memberikan kekuatan dan dukungan spiritual.

c) Berikan privasi dan waktu sendiri bagi pasien untuk melakukan kegiatan

spiritual.

d) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan support group.

e) Ajarkan metode relaksasi, meditasi, dan guide imagery

f) Fasilitasi pasien untuk melakukan meditasi, beribadah, dan kegiatan

keagamaan lainnya

g) Berdoa bersama dengan pasien

e. Manifestasi Perubahan Fungsi Spiritual

Perawat harus memperhatikan perilaku dan ekspresi pasien selama proses

perawatan. Kategori ekspresi kebutuhan spiritualitas adaptif dan maladaptif dapat

memudahkan perawat dalam mengkaji potensial distress spiritual pada pasein

maupun keluarga pasien. Berikut perubahan maladaptif yang harus diperhatikan

menurut (Hamid,2008), antara lain:


1) Verbalisasi distres

Pasien yang mengalami gangguan fungsi spiritual biasanya

mengungkapkan masalah yang dialaminya dan mengekspresikan kebutuhan

untuk mendapatkan bantuan. Kepekaan perawat sangat penting untuk

menyimpulkan masalah yang sedang terjadi pada pasien.

2) Perubahan perilaku

Perubahan perilaku pada pasien seperti perasaan bersalah, takut,

depresi, cemas mungkin menunjukkan adanya distres spiritual. Reaksi setiap

pasien dalam menghadapi akan berbeda-beda.

f. Hubungan Spiritualitas terhadap Kesehatan

Penelitian tentang hubungan antara agama dan kesehatan sudah banyak

dilakukan, dan mayoritas mendapatkan hasil hubungan yang positif dan

dignifikan. Hasil penelitian Koenig tentang hubungan spiritual terhadap

kesehatan, adalah sebagai berikut:

1) Koping dan depresi

Pasien yang dirawat di rumah sakit dan mengandalkan agama memiliki

koping yang lebih baik daripada mereka yang tidak mengandalkan agama.

Selain itu, pasien yang mengandalkan agama memiliki kemungkinan kecil

mengalami depresi, dan bahkan jika mengalami depresi mereka akan pulih

lebih cepat.

Sekitar dua pertiga (65%) dari studi observasional menemukan tingkat

signifikan gangguan depresi lebih rendah atau gejala depresi lebih sedikit

pada mereka yang mengandalkan agama, dan 68% dari studi prospektif
menemukan bahwa seseorang yang memiliki keyakinan spiritual lebih tinggi

diperkirakan lebih kecil kemungkinan mengalami depresi.

2) Bunuh diri dan penyalahgunaan zat

Dari 68 penelitian yang meneliti bunuh diri, 84% menemukan bahwa

kemungkinan kecil bunuh diri atau sikap yang sedikit negatif yaitu pada orang

dengan keyakinan agama tinggi. Dari hampir 140 studi yang telah meneliti

keterlibatan agama dan penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, 90%

menemukan korelasi terbalik yang signifikan secara statistik antara keduanya.

3) Emosi positif

Kesejahteraan dan emosi positif meliputi kegembiraan, harapan, dan

optimisme. Dari 100 studi yang meneliti hubungan ini, 79 menemukan bahwa

seseorang yang beragama tinggi memiliki kesejahteraan, kebahagiaan, dan

kepuasan hidup, daripada mereka yang kurang beragama. Dari 16 penelitian

yang meneliti hubungan antara agama dan tujuan atau makna hidup, 15

menemukan bahwa seseorang yang beragama memiliki tujuan dan makna

dalam hidup lebih besar.

4) Dukungan sosial

Hampir semua penelitian (19 dari 20 studi) yang meneliti agama dan

dukungan sosial menemukan korelasi yang signifikan bahwa seseorang yang

beragama tidak hanya memiliki jaringan dukungan yang lebih besar, tetapi

juga memiliki kualitas jaringan sosial yang lebih tinggi.


5) Kesehatan fisik

Bidang psikoneuroimunologi menyatakan bahwa emosi positif dan

dukungan sosial berdampak pada fungsi kekebalan tubuh yang lebih baik dan

kesehatan jantung yang lebih kuat. Depresi dan isolasi sosial pada penderita

dapat memperburuk kesehatan dan pemulihan yang lambat dari penyakit.

6) Memerlukan layanan kesehatan

Penelitian terhadap 542 pasien (usia enam puluh atau lebih) yang

sering dirawat di Duke University Medical Center, orang-orang yang

menghadiri pelayanan keagamaan 1x/minggu atau lebih adalah 56% dan

memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk dirawat di rumah sakit (p

<0,0001).

7) Implikasi

Ada bukti yang berkembang dari penelitian sistematis bahwa keyakinan

dan praktik keagamaan berkaitan dengan kesehatan mental yang lebih baik,

kesehatan fisik yang lebih baik, dan frekuensi menggunakan pelayanan

kesehatan yang minimal.

2. Regulasi Emosi

Suatu emosi dimulai dengan evaluasi terhadap isyarat emosi, ketika emosi muncul

dan dievaluasi dengan cara tertentu, isyarat emosi memicu terkoordinasinya

kecenderungan respon yang melibatkan pengalaman, perilaku, dan sistem fisiologi,

setelah kecenderungan emosi kemudian memunculkan respon (Gross 2007). Pada

bagian ini, peneliti akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan regulasi

emosi.
a. Definisi Regulasi Emosi

Regulasi emosi merupakan cara individu memengaruhi emosi yang

mereka miliki, memahami emosi ketika mereka merasakannya dan pengalaman

mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut (Gross, 2013).

Regulasi emosi adalah suatu proses untuk mengungkapkan emosi dengan cara

dan kondisi yang tepat (Quirk dan Beer, 2006). Gross (2014) mengatakan

regulasi emosi merujuk pada proses dimana kita terlibat dengan emosi yang kita

miliki, kapan kita memilikinya dan bagaimana kita dapat mengalaminya dan

menunjukkannya emosi tersebut. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan

oleh para ahli maka regulasi emosi adalah cara individu untuk merasakan serta

merespon emosi-emosi yang dimiliki dengan cara yang tepat.

b. Jenis Regulasi Emosi

Menurut Cole (dalam Kusumaningrum, 2012) ada dua jenis pengaturan emosi

yaitu emosi sebagai pengatur dan emosi sebagai yang diatur berarti adanya

perubahan yang tampak sebagai hasil dari emosi yang aktif. Emosi sebagai

pengatur lebih mengarah pada perubahan interdomain. Emosi yang diatur

berhubungan dengan perubahan jenis emosi aktif, termasuk perubahan dalam

pengaturan emosi itu sendiri, intensitas serta durasi emosi yang terjadi dalam

individu, seperti mengurangi stres dengan menenangkan diri.


c. Aspek-aspek Regulasi Emosi

Menurut Gross (2014) terdapat empat aspek regulasi emosi yaitu :

1) Strategies to emotion regulation

Dalam kehidupan perkawinan tentu akan ada masalah yang muncul.

Menurut Gross (2014) regulasi emosi dapat muncul ketika masing-masing

individu mampu mengatasi suatu masalah dalam hubungan dengan cara

yang baik. Ketika individu mampu mengatasi masalah maka individu

tersebut mampu menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi yang

berlebihan dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah

merasakan emosi yang berlebihan.

2) Engaging in goal directed behavior

Individu mampu untuk tidak terpengaruh oleh emosi yang dirasakannya.

Ketika individu merasakan emosi, mereka dapat tetap berpikir dengan baik

dan melakukan sesuatu dengan baik tanpa terpengaruh oleh emosi tersebut.

Bahkan emosi yang terlalu positif dapat memberikan pengaruh yang kurang

baik, hal ini menyebabkan individu menjadi kurang peka terhadap

lingkungan di sekitar kita.

3) Control emotional responses

Kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan

respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada

suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan

menunjukkan respon emosi yang tepat.


4) Acceptance of emotional response

Kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan

emosi tertentu dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut. Menyadari

bahwa emosi bukanlah hal yang seharusnya ditutupi. Dalam memperkuat

teori yang dikemukakan oleh Gross (2014), Capacchione (2007) juga

mengungkapkan bahwa mampu merasakan, mengekspresikan dan

memahami emosi merupakan hal yang sangat penting dan menjadi indikator

emosi yang sehat.

Emosi yang sehat merupakan emosi yang dapat diregulasi. Berikut

adalah penjelasan Lucia Capacchione (2007) mengenai emosi yang sehat :

1) Embracing your emotional self

Capacchione (2007) mengatakan bahwa emosi merupakan respon dari

keadaan di sekeliling individu, sebuah emosi yang muncul mampu

memunculkan emosi yang lainnya. Sebelum mengekspresikan perasaan

yang dimiliki, individu diajak untuk mengenali emosi yang sedang

dirasakan, apa yang menyebabkan emosi itu muncul dan membantu individu

untuk melihat apa yang dapat dilakukan dengan emosi yang sedang muncul

tersebut.

2) Expressing Your Feelings

Capacchione (2007) menunjukkan emosi yang sedang dirasakan adalah hal

yang sangat penting. Emosi bukanlah sesuatu yang seharusnya dihindari,


diabaikan atau diasingkan. Semua orang dapat mengekspresikan semua

emosi yang dimilikinya melalui cara yang diinginkan.

3) Understanding Your Feelings

Ketika emosi yang sedang dirasakan muncul maka memberi perhatian

kepada emosi dan berusaha memahami apa yang sebenarnya dirasakan dan

tidak berusaha untuk menutupi emosi tersebut merupakan hal yang penting.

Capacchione (2007) mengatakan bahwa tidak baik untuk mengabaikan

emosi yang sedang dirasakan. Misalnya ketika menolak emosi negatif maka

individu cenderung menutupinya dan berusaha menunjukkan wajah bahagia.

d. Ciri-ciri Individu yang dapat melakukan Regulasi Emosi

Goleman (2007) mengemukakan bahwa individu yang dapat melakukan regulasi

emosi memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu :

1) Dapat mengendalikan diri, maksudnya adalah mampu mengelola emosi dan

impuls yang buruk dengan cara yang baik.

2) Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain.

3) Memiliki sikap yang hati-hati.

4) Memiliki adaptibilitas, maksudnya adalah mampu beradaptasi dalam

perubahan dan mampu menangani tantangan yang muncul.

5) Mampu menangani keadaan yang membuatnya frustasi.

6) Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungan di sekitarnya

Gambaran emosi negatif seperti kaget (shock), stres, tidak sabar, marah,

menangis, sedih. Menurut Abdullah, (Ayu dan Zulkaida dalam Kusumaningrum

PSYCHO IDEA, Tahun 14. No.2, Juli 2016 ISSN 1693-1076 4 2012) stres adalah
sebuah kata sederhana yang sudah tidak asing lagi diucapkan sehari-hari oleh setiap

individu dan selalu menggambarkan kondisi, jika dapat akan dihindari oleh setiap

individu karena sering berarti collaps, down, shock, panik, pingsan, pikiran buntu,

lemah ingatan, pusing dan sebagainya.

Gambaran emosi positif seperti sabar, ikhlas, acceptance, pasrah, harapan,

empati. Peran penting emosi positif dalam penyesuaian individu terhadap stress dapat

dijelaskan melalui the broaden-and-build theory of positive emotions yang

disampaikan oleh Frederickson 1998. Menurut teori ini, emosi positif dan negatif

memiliki perbedaan dan fungsi-fungsi adaptif yang saling melengkapi, termasuk juga

efek-efek kognitif maupun psikologisnya (Gross, 2007).

Al-Jauziyah (dalam Hidayati 2007) mengartikan kata sabar adalah mencegah

dan menghalangi. Karena sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan

diri, maka sabar merupakan salah satu tingkatan yang harus di jalan dalam

mendekatkan diri kepada Allah. Sabar mempunyai tiga unsur, yaitu ilmu, hal, dan

amal. Sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang. Secara terminologis sabar

berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha

Allah (Ilyas,2009).

Problem-problem yang dialami pada pasien gagal ginjal kronik antara lain

bosan dengan keadaannya dan mudah lelah menyebabkan subjek mudah marah,

subjek menyadari semua merupakan bagian dari hidupnya, sesuai dengan teori

(Gross & Thompson, 2007) ekspresi penindasan merupakan suatu bentuk modulasi

respon yang melibatkan hambatan perilaku ekspresif emosi yang terus menerus.

Penindasan adalah strategi yang berfokus pada respon, munculnya relatif belakangan
pada proses yang membangkitkan emosi. Strategi ini efektif untuk mengurangi

ekspresi emosi negatif.

3. Gagal Ginjal Kronik

a. Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak

mampu mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit

(Baradero, Dayrit & Siswadi 2009, h. 124). Penumpukan ureum dalam darah

(uremia) pada pasien penyakit ginjal kronik mengakibatkan pasien memerlukan

tindakan terapi hemodialisis secara bekelanjutan dan menetap. Uremia juga

dapat meracuni keseluruhan organ penting manusia termasuk otak, sehingga

pada pasien penyakit ginjal kronik memerlukan perawatan yang holistik

(Hidayati & Wahyuni, 2012, h. 9). Sindrom GGK merupakan permasalahan

bidang nefrologi dengan angka kejadiannya masih cukup tinggi, etiologi luas

dan komplek, sering tanpa keluhan maupun gejala klinik kecuali sudah ke

stadium lanjut (Setya, 2014).

Penuranan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi

setiap manusia seiring bertambahnya usia, namun hal ini tidak menyebabkan

kelainan atau menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas wajar yang

dapat ditolerir ginjal dan tubuh. Tetapi oleh berbagai sebab dapat terjadi

kelainan dimana penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat/progresif sehingga

menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini disebut

gagal ginjal kronik. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron

telah hancur. Nilai GFR nya kurang dari 15 % dari keadaan normal (GFR
normal = 90 - 120 mL/min/1.73 m 2) dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10

ml / menit atau kurang (Wijaya, 2013).

b. Etiologi

Naga (2012, h. 349) menjelaskan bahwa penyakit gagal ginjal muncul

tidak hanya disebabkan oleh satu sebab saja, melainkan berbagai macam hal.

Banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologisnya bermacam-macam,

tetapi pada hakekatnya disebabkan karena destruksi nefron yang progresif.

Pusposuharto (2016) menjelaskan bahwa sebagian besar penyakit ginjal

menyerang nefron, mengakibatkan kehilangan kemampuannya untuk

menyaring. Kerusakan pada nefron dapat terjadi secara cepat, sering sebagai

akibat pelukaan atau keracunan. Tetapi kebanyakan penyakit ginjal

menhancukan neefron secara perlahan dan diam-diam. Kerusakan biasanya

dirasakan setelah beberapa tahun atau bahkan dasawarsa. Sebagian besar

penyakit ginjal menyerang kedua buah ginjal sekaligus. Gagal ginjal kronik

dapat disebabkan sebagai berikut :

1) Adanya infeksi : pielonefritis kronik

2) Mempunyai penyakit peradangan : Glumerulonefritis

3) Penyakit vascular hipertensi : nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna

stenosis arteria renalis.

4) Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistematik,

poliarteritis nodosa, sklerosis sistematik progresif.

5) Gangguan kongerital dan hereditas : penyakit ginjal polikistik dan asidosis

tubulus ginjal.
6) Penyakit metabolik : hipertensi, diabetes militus, gout, hiperparatiroidisme

dan amiloidosis.

7) Faktor penyebab penyakit gagal ginjal kronik karena tekanan darah tinggi

atau penyakit hipertensi ini terjadi jika tekanan darah yang terjadi pada

pembuluh darah ini mengalami suatu peningkatan dan jika tidak di obati,

maka penyakit hipertensi ini bisa mengalami puncak yang utama pada

masalah serangan jantung, stroke, atau juga penyakit gagal ginjal kronik.

c. Patofisiologi

Reviati (2013) menjelaskan bahwa patofisiologi gagal ginjal kronik pada

awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tetapi dalam

perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan

massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang

masih tersisa sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul

vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya

hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah

glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan

penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah

tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas aksis renin-angiotensin-

aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis

renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth faktor seperti

transforming growth faktor β (TGF β). Beberapa keadaan yang juga dianggap

berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah


albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia. Dalam perjalanan

penyakitnya, terdapat 5 tahap gagal ginjal kronik:

1) Pada stadium paling dini (tahap I) gagal ginjal , terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reserve), dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) basal

masih lebih dari 90%.. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi

penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan

kadar urea dan kreatinin serum.

2) Pada tahap II, LFG 60-89 %, pasien masih belum merasakan keluhan

(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan urea dan kreatinin serum.

3) Pada tahap III, LFG 30-59%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan

lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.

4) Pada tahap IV, LFG 15 -29%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda

uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan

metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual dan muntah. Pasien juga

mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas

maupun saluran cerna, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air, hipo

atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit natrium dan kalium.\

5) Pada tahap V, dengan LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan

komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi

pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal, pada keadaan

ini pasien dikatakan berada pada stadium gagal ginjal terminal

Gagal ginjal kronik (GGK) menjadi masalah besar dunia karena sulit

disembuhkan, biaya perawatan dan pengobatannya mahal yang mempengaruhi


kualitas hidup pasien. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Supriyadi-, Wagiyo dan Widowati tahun di RSUD Kota Semarang tahun 2011

dengan hasil terdapat perbedaan yang signifikan pada kualitas hidup pasien

GGK sebelum dan sesudah menjalani terapi hemodialisis.

d. Tanda dan gejala

Muhammad (2012, hh. 40-41) menjelaskan bahwa gagal ginjal kronis

mengalami tanda dan gejala sebagai berikut :

1) Gangguan pada gastrointestinal

a) Anoreksia, mual, dan muntah akibat adanya gangguan metabolisme

protein dalam usus dan terbentuknya zat-zat toksit.

b) Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur, yang

kemudian diubah menjadi ammonia oleh bakteri, sehingga napas

penderita berbau ammonia.

c) Cegukan (belum diketahui penyebabnya).

2) Gangguan sistem hematologi dan kulit

a) Anemia karena kekurangan produksi eritropoetin.

b) Kulit pucat dan kekuningan akibat anemia dan penimbunan urokrom.

c) Gatal-gatal akibat toksis uremik.

d) Trombositopenia (penurunan kadar trombisit dalam darah).

e) Gangguan fungsi kulit (fagositosis dan kematosis berkurang).

3) Gangguan Sistem Saraf dan Otak

a) Miopati, kelainan dan hipertropi otot.


b) Ensipalopati metaboli; lemah, tidak bisa tidur, dan konsentrasi

terganggu.

4) Sistem kadiovaskuler

a) Hipertensi.

b) Dada teras nyeri dan sesak napas.

c) Gangguan irama jantung akibat sclerosis dini.

d) Edema.

5) Gangguan sistem endokrin

a) Gangguan seksual/libido; fertilitas dan penurunan seksual pada laki-laki

serta gangguan menstruasi pada wanita.

b) Gangguan metabolisme glukosa retensi insulin dan gangguan sekresi

insulin.

6) Gangguan pada sistem lain

a) Tulang mengalami osteodistrofi renal.

b) Asidosis metabolik.

f. Penatalaksanaan hemodialisis

Pusposuharto (2016) menjelaskan bahwa penanganan gagal ginjal kronik

berdasarkan tingkat keparahannya untuk tingkat keparahan gagal ginjal yang

menentukan dari jenis penanganan gagal ginjal kronik yang diberikan. Untuk

beberapa kasus, biasanya kerusakan yang terjadi di ginjal dan juga suatu

sirkulasi tubuh yang bisa dihindari dengan cara minum obat-obatan yang

berguna dalam mengontrol dan mengendalikan tekanan darah serta bisa


membantu untuk menurunkan kadar kolesterol yang ada didalam darah. Selain

itu, penggunaan obat-obatan yang diberikan biasanya untuk mengendalikan

dan juga untuk membantu mencegah penyakit gagal ginjal kronik agar tidak

berkembang sehingga tubuh tidak mengalami kehilangan hampir semua dari

fungsi ginjal. Keadaan yang seperti ini biasanya sering disebut dengan gagal

ginjal permanen atau mengalami established renal failuer atau ERF.

Setidaknya adalah 1 : 100 dari pengidap penyakit gagal ginjal kronik stadium

tiga yang mengalami penyakit gagal ginjal. Pengidap dari penyakit gagal ginjal

biasanya memerlukan perawatan yang lebih lanjut untuk menggantikan fungsi

dari ginjal.

Reviati (2013) menjelaskan bahwa penyakit ginjal tidak dapat

disembuhkan, dalam arti mengembalikan ke keadaan semula sebelum sakit,

yang dimaksud dengan pengobatan disini adalah mencegah semakin

bertambahnya kerusakan pada ginjal dengan cara mengatasi penyebab gagal

ginjalnya. Gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, tujuan

penatalaksanaan gagal ginjal kronik, adalah untuk:

1) Memperlambat kerusakan ginjal yang terjadi

2) Mengobati penyakit yang mendasari

3) Mengobati komplikasi penyakit

4) Menggantikan fungsi ginjal yang sudah tidak dapat berfungsi normal

Reviati (2013) menjelaskan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal

yang lebih parah, dan mengatasi faktor yang memperburuk fungsi ginjal maka

diperlukan kontrol gula darah yang baik pada pasien Diabetes Mellitus, kontrol
tekanan darah tinggi dan pengaturan pola makan yang sesuai dengan kondisi

ginjalnya. Pada gagal ginjal kronik, ada beberapa obat-obatan yang bersifat

toksik untuk ginjal yang harus dihindari atau bila harus diberikan harus

disesuaikan dosisnya, antara lain:

1) Analgesik: aspirin, ibuprofen

2) Fleet atau phospho-soda enema karena mengandung fosfor yang tinggi.

3) Laxative dan antasida yang mengandung magnesium dan aluminium.

4) H 2 reseptor antagonis: cimetidine dan ranitidine.

5) Decongestan seperti pseudoephedrine, phenylpropanolamine, terutama bila

tensi pasien tinggi.

6) Obat obat herbal.

Pasien gagal ginjal akut umumnya memerlukan terapi cuci darah sebagai

terapi suportif yang bersifat sementara karena fungsi ginjal bisa kembali ke

normal, tetapi pada gagal ginjal kronik memerlukan terapi seumur hidup

sebagai terapi pengganti ginjal kecuali dilakukan operasi cangkok ginjal untuk

mengganti ginjal yang rusak. Idealnya cuci darah dilakukan semingga 2-3 kali.

Apabila pasien ingin mengurangi frekuensi dialysis, maka harus membatasi diet

protein dan air lebih ketat, yang mempunyai konsekuensi terjadi malnutrisi

kurang disarankan. Penundaan cuci darah dapat berisiko terjadi komplikasi

seperti pembengkakan paru, kejang-kejang, penurunan kesadaran, gangguan

elektrolit yang berat, perdarahan saluran cerna, gagal jantung bahkan bisa

terjadi kematian (Kristanto, 2011).


4. Hemodialisis

a. Definisi

Terapi hemodialisis merupakan suatu cara yang dilakukan untuk

mengeluarkan zat terlarut yang tidak diinginkan melalui difusi dan hemofiltrasi

untuk mengeluarkan air yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan

(O’Callaghan 2007, h. 96). Proses hemodialisis mengalihkan darah pasien dari

tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian

darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien (Baradero, Dayrit, & Siswadi2008, h.

136). Tindakan hemodialisis dapat mengeluarkan sampah tubuh, kelebihan

cairan dan membantu menjaga keseimbangan elektrolit dan pH (keseimbangan

asam dan basa) pada kadar yang dapat ditoleransi tubuh (Cahyaningsih, 2011,

h.13).

b. Tujuan

Nursewian (2012) menjelaskan bahwa tujuan dilakukannya hemodialisis

adalah sebagai berikut :

1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-

sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa

metabolisme yang lain.

2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang

seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.


3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi

ginjal.

4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang

lain.

c. Prinsip-prinsip hemodialisis

Arifsyah (2015) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip hemodialisis adalah

sebagai berikut :

1) Akses vaskuler

Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik

biasanya memiliki akses permanen seperti fistula atau graf sementara.

Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.

2) Membran semi permeable

Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk

mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat

terjadi.

3) Difusi

Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan

pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi, berpindah dari area yang

konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradient konsentrasi

tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat

pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.

4) Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan

akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan

tersebut.

5) Ultrafiltrasi

Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai

ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk

tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane adalah

sebagai berikut:

a) Tekanan positif

Merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam

membrane. Pada dialisis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan

resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan

positif mendorong cairan menyeberangi membrane.

b) Tekanan negative

Merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh

pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negatif menarik

cairan keluar darah.

c) Tekanan osmotik

Merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang

berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.

Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan

membrane permeable terhadap air.

d. Efek samping hemodialisis

Efek samping yang dapat terjadi pada pasien hemodialiasis adalah

ketidaknyamanan, meningkatkan stress dan mempengaruhi kualitas hidup

diantaranya kesehatan fisik, psikologis, status sosial ekonomi dan dinamika

keluarga (Farida 2010). Perubahan psikososial diantaranya terjadi stress

fisiologis dan psikologis juga dapat berkontribusi menimbulkan penurunan

fungsi seksual pasien yang mengalami penyakit gagal ginjal kronik

(Pezeshki & Ghazizadeh 2008, h. 446).

e. Komplikasi hemodialisis

Nursewian (2012) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada

penderita hemodialisis adalah sebagai berikut :

1) Ketidakseimbangan Cairan

a. Hipervolemia

Temuan berikut ini mengisyaratkan adanya kelebihan cairan

seperti tekanan darah naik, peningkatan nadi, dan frekuensi pernafasan,

peningkatan tekanan vena sentral, dispnea, batuk, edema, penambahan

berat badan berlebih sejak dialisis terakhir.

b. Hipovolemia

Petunjuk terhadap hipovolemia meliputi penurunan tekanan darah,

peningkatan frekuensi nadi, pernafasan, turgor kulit buruk, mulut

kering, tekanan vena sentral menurun, dan penurunan haluaran urine.


Riwayat kehilangan banyak cairan melalui lambung yang menimbulkan

kehilangan berat badan yang nantinya mengarah ke diagnosa

keperawatan kekurangan cairan.

c. Ultra filtrasi

Gejala ultra filtrasi berlebihan adalah mirip syok dengan gejala

hipotensi, mual muntah, berkeringat, pusing dan pingsan.

d. Rangkaian ultra filtrasi (diafiltrasi)

Ultrafiltrasi cepat untuk tujuan menghilangkan atau mencegah

hipertensi, gagal jantung kongestif, edema paru dan komplikasi lain

yang berhubungan dengan kelebihan cairan seringkali dibatasi oleh

toleransi pasien untuk memanipulasi volume intravaskular.

e. Hipotensi

Hipotensi selama dialysis dapat disebabkan oleh hipovolemia,

ultrafiltrasi berlebihan, kehilangan darah ke dalam dialiser,

inkompatibilitas membran pendialisa, dan terapi obat antihipertensi

f. Hipertensi

Penyebab hipertensi yang paling sering adalah kelebihan cairan,

sindrom disequilibrium, respon renin terhadap ultrafiltrasi, dan ansietas.

g. Sindrome disequilibrium dialisis


Dimanifestasikan oleh sekelompok gejala yang diduga disfungsi

serebral dengan rentang dari mual muntah, sakit kepala, hipertensi

sampai agitasi, kedutan, kekacauan mental, dan kejang.

2) Ketidakseimbangan elektrolit

Elektrolit merupakan perhatian utama dalam dialisis, yang normalnya

dikoreksi selama prosedur adalah natrium, kalium, bikarbonat, kalisum,

fosfor, dan magnesium.

3) Infeksi

Pasien uremik mengalami penurunan resisten terhadap infeksi, yang

diperkirakan karena penurunan respon immunologik. Infeksi paru

merupakan penyebab utama kematian pada pasien uremik.

4) Perdarahan dan heparinisasi

Perdarahan selama dialysis mungkin karena konsidi medik yang

mendasari seperti ulkus atau gastritis atau mungkin akibat antikoagulasi

berlebihan. Heparin adalah obat pilihan karena pemberiannya sederhana,

meningkatkan masa pembekuan dengan cepat, dimonitor dengan mudah dan

mungkin berlawanan dengan protamin.

You might also like