You are on page 1of 34

Diskusi Topik

Penyakit Jantung Koroner

Oleh :

PRAGITA AYU SAPUTRI, S.KED


MARDLA ANNISA. S.KED

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
PENYAKIT JANTUNG KORONER

A. Definisi

Penyakit Jantung Koroner (PJK) saat ini merupakan salah satu penyebab

utama kematian di negara maju dan berkembang di bidang penyakit

kardiovaskular. Penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab kematian mencapai

801.000 kematian di US. Penyakit jantung termasuk penyakit arteri koroner,

hipertensi dan stroke menjadi peringkat pertama penyebab kematian di US.1

Penyakit Jantung Koroner merupakan penyakit kardiovaskular yang

disebabkan oleh plak pada arteri koroner jantung. Plak terbentuk dari lemak,

kolesterol, kalsium dan substansi lain di darah. Plak tersebut membuat lumen

pembuluh darah menyempit yang dikenal dengan aterosklerosis. Pada awalnya

proses aterosklerosis ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel,

pembentukan foam cell (sel busa), fatty streaks (kerak lemak), pembentukan

fibrous cap (lesi jaringan ikat) dan proses ruptur plak aterosklerotik yang tidak

stabil. Penyempitan lumen akan menurunkan suplai darah ke jaringan dan

menimbulkan ketidakseimbangan supply and demand yang berakibat pada

iskemia jaringan. Saat pembuluh darah semakin sempit, aliran darah ke

miokardium akan berkurang. Hal ini dapat menimbulkan gejala seperti angina.2

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kelompok penyakit dengan

gejala klinik sesuai dengan iskemia miokardium akut dan termasuk didalamnya

Angina Tidak Stabil (UAP), NSTEMI dan STEMI. Hal tersebut bermanifestasi

tinggi dengan adanya ateroskeloris pada arteri koroner yang dapat meningkatkan

pelayanan kegawatdaruratan dan rawat inap di United State.3


1
B. Epidemiologi

Data di US, rata-rata usia yang menunjukkan gejala PJK adalah 68 tahun

dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3:2. Setiap tahun di US lebih dari

78.000 orang menderita PJK. Tujuh puluh persen memiliki NSTEMI dengan

banyak komorbid baik cardiac atau non cardiac dibandingkan dengan STEMI.4

Berdasarkan diagnosis, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia

tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang. Penderita

penyakit jantung koroner banyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun.

Berdasarkan diagnosis dengan gejala, penyakit jantung koroner cukup banyak

pula ditemukan pada penduduk kelompok umur 15-24 tahun. Berbagai faktor

risiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai dari hipertensi, diabetes,

dislipidemia, kurang aktivitas fisik, diet dan stress.5

C. Faktor risiko

1. Lipid

Dislipidemia sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi untuk

perkembangan dan perubahan secara progresif terhadap PJK. Kolesterol

ditranspor dalam darah dalam bentuk lipoprotein, 75% merupakan lipoprotein

densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20% merupakan lipoprotein

densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL yang

rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara

kadar HDL dan insiden PJK.6

Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat serum

kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : > 160

mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan


2
pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %,

pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari kejadian

PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.6

Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa asam

lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar trigliserid

dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga mempunyai efek

protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai

anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.6

2. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit

jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan kuat

untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan mengurangi risiko

terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung

sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11

% pada perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Meskipun terdapat penurunan

progresif proporsi pada populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun

1996 sebesar 29 % laki-laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal

yang menjadi perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat

pada remaja. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok

pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang

yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko terjadinya PJK akibat merokok

berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20 batang rokok atau lebih

dalam sehari memiliki risiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada

populasi umum untuk mengalami kejadian PJK.6

3
3. Obesitas

Hubungan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK, hipertensi,

angina, stroke, dan diabetes merupakan beban penting pada masalah kesehatan

jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila

setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden

PJK sebanyak 25 % dan stroke / cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5

%. Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,

memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan

dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan

menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan ,

pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.6

4. Diabetes Mellitus

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, progresif, kompleks,

dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang sesuai. Diabetes

mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada system

kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan

pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary

artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya

mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot

jantung.6

Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga

empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait

dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi

insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun sebelumnya. Sumber

4
lain mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar

(200%) untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari pada individu yang tidak

diabet.6

Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK,

juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi

sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan

peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass grafting (CABG)

jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien diabetic

memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis berulang pasca

angioplasty koroner.6

5. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan darah

yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent untuk

terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar dari pada

populasi control. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik

pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif

dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat. The Reykjavik Cohort

Study menemukan bahwa pria dengan riwayat keluarga menderita PJK

mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk menderita PJK (RR=1,75; 95% CI

1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat keluarga menderita PJK mempunyai risiko

1,83 kali lebih besar untuk menderita PJK (RR=1,83; 95% CI 1,60-2,11)

dibandingkan dengan yang tidakmempunyai riwayat PJK.6

5
6. Hipertensi Sistemik

Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk

setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg risiko PJK berkurang

sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi

terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi

ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh

miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat

peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan

infark miokardium.

Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan

darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan

oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi. Penelitian

Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan PJK 4 – 5 kali pada penderita

usia lanjut.

Seseorang dengan faktor risiko tertentu dapat ditentukan stratifikasi

risiko tersebut untuk kejadian kardiovaskuler selanjutnya. Berikut pada kasus

NSTEMI/UAP.

6
Bila skor 0-2(risiko rendah), 3-4 (risiko sedang), 5-7 (risiko tinggi)

dengan masing-masing memiliki risiko kejadian kedua <8,3%, <19,9% dan ≤

41%.6

D. Patogenesis

Manifestasi klinis dari PJK berasal dari adanya proses aterotrombosis.

Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat

komplek dan multifaktor serta saling terkait. Aterotrombosis terdiri dari

aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak

(plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled

macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous yang

mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan

aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai

dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan

fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya

plak aterosklerotik yang tidak stabil.

Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang

peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung

koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya

ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan

trombosis pada SKA.

Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication

pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan

dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak

(fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun

7
pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada

pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan atau penyumbatan pembuluh

darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah

proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh

koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau

infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil

atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses

aterosklerosis yang bersifat tidak stabil atau progresif yang dikenal juga dengan

SKA. 7

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah

koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat

menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).

Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium

karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan

remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).6

D. Patofisiologi Infark Miokard

Ciri dari SKA adalah ketidakseimbangan antara konsumsi oksigen dari

miokardium dan kebutuhan yang disebabkan oleh obstruksi dari arteri koroner.

Ketidakseimbangan ini disebabkan oleh berbagai aspek, kebutuhan oksigen

miokardium dalam aliran darah yang terdapat lesi sehingga terjadi insufisiensi

akut. 8

8
E. Klasifikasi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ektrokardiogram

(EKG) dan pemeriksaan marka jantung, penyakit jantung koroner dibagi menjadi:

1. Angina pektoris stabil.

2. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

9
3. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI:ST segment elevation

myocardial infarction)

4. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment

elevation myocardial infarction).7,8

1. Angina pectoris stabil.

Angina merupakan gejala klinis dengan karakteristik ketidaknyamanan

pada dada, leher, bahu, punggung dan lengan. Ciri khas dari angina adalah

dicetuskan oleh aktivitas atau emosi dan menghilang dengan nitrogliserin. Angina

terjadi pada pasien dengan penyakit jantung koroner dengan keterlibatan banyak

arteri. Nyeri dada dapat dibedakan dalam angina tipikal, angina atipikal dan nyeri

dada non kardiak. Setelah menentukan jenis nyeri dada, dapat ditemukan faktor

risiko yang berhuungan. Angina dapat terjadi pada pasien dengan penyakit katup

jantung, kardiomiopati hipertrofi dan hipertensi tidak terkontrol. Angina juga

dapat muncul pada individu dengan koroner normal dan iskemia miokardium

yang berhubungan dengan spasma dan disfungsi endotel.9

a. Diagnosis

Gejala Klinis yang ditemukan antara lain:

 Angina + sesak napas, kelelahan, mual – muntah, rasa terbakar, restlesness

sampai impending doom.

 Durasi tidak lebih dari 10 menit

 Gejala biasanya muncul atau diperparah oleh aktifitas

 Cepat menghilang setelah faktor pencetus dihilangkan

 Diberikan nitrat sublingual semakin mempercepat hilangnya gejala

10
Tatalaksana dari angina stabil adalah untuk mencegah terjadinya infark

miokardium dan mengurangi gejala angina dan iskemia.

Algoritma diagnosis untuk Ischemic Heart Disease:10

2. Angina pektoris tidak stabil (UAP)

Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen

ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal berikut:

11
(1) timbul saat istirahat; (2) lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata

dan merupakan onset baru (dalam 2 bulan) dengan frekuensi cukup sering; dan (3)

bertambah berat, bertambah lama, atau lebih sering dari sebelumnya meskipun

faktor presipitasi dihilangkan.

a. Gejala Klinis dan Diagnosis

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan

angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat

dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas

yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai

muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering

kali tidak ada yang khas.

Menurut pedoman Ameriqan College of Cardiology dan American Heart

Association, perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST

(NSTEMI) adalah apakah iskemia yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat

menimbulkan kerusakan miokardium, sehingga adanya pertanda kerusakan

miokardium dapat diperiksa Diagnosis angina tak stabil bila pasien memiliki

keluhan iskemia, sedangkan kenaikan enzim troponin T dan CKMB tidak terjadi,

dengan ataupun tanpa perubahan EKG seperti adanya elevasi atau depresi segmen

ST yang sebentar maupun adanya gelombang T yang negatif.,8

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk angina pektoris tak stabil adalah:

1. Elektrokardiografi (EKG)

Gambaran EKG penderita angina pectoris tidak stabil dapat berupa depresi

segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang

12
ikatan his dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG

pada UAP bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri

ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan

kembali kegambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu

24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi

gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.

2. Uji latih

EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat

normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer.

Tujuan dari stress test adalah:

a. Menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak

b. Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh

darah utama akan memberi hasil positif kuat.

Pada pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan

menunjukkan tanda resiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat

treadmill. Bila hasilnya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya

positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan

untuk dilakukan pemeriksaan angiografikoroner, untuk menilai keadaan pembuluh

koronernya apakah perlu dilakukan tindakan revaskularisasi PCI karena resiko

terjadinya komplikasi kardiovaskuler dalam waktu mendatang cukup besar.

3. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis

angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal

13
ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding

regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.

4. Foto toraks

Foto toraks biasanya normal pada pasien dengan angina. Pembesaran

jantung dapat menandakan adanya disfungsi pada organ jantung sebelumnya.

5. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima

sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut Europian Society

of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mio nekrosis bila troponin T atau I

positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Resiko kematian

bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.

CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga ditemukan di otot

skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam

beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. Pada dasarnya pengobatan pada

angina pectoris bertujuan untuk memperpanjang hidup dan memperbaiki kualitas

hidup dengan mencegah serangan angina baik secara medical atau

pembedahan.6,7,8

3. NSTEMI

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium

dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri

tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi persentasi gejala yang sering di

temukan pada penderita NSTEMI.

Gejala tidak khas seperti dispnea, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di

lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih

14
besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun. Gambaran EKG, secara

spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan

resiko pada pasien.

Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis

NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam

waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus

digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG.

Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui

nilai normal atas (upper limit of normal, ULN).

Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya

mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang

negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan

diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark miokard akut

meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap

sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam

2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap

hingga 2 minggu. Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang

sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai

normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat.6,8

15
4. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)
STEMI merupakan sindrom yang ditandai dengan gejala klinis seperti

angina tipikal dari iskemia miokard ditambah dengan gambaran EKG dengan ST

elevasi persisten minimal pada 2 lead yang saling berhubungan dan menghasilkan

biomarker nekrosis miokardium. Infark miokardium menunjukkan terbentuknya

suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia total.11

a. Gejala klinis dan Diagnosis

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat

nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih. Nyeri tersebut tidak

membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran

nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini.

16
Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI.

Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan

interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba

untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil.6,11

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi

STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang

menyertai. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi

variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam

setelah bangun tidur.

Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.

Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada

substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda

fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas

jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan

murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara. Selain itu

diagnosis STEMI ditegakkan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang

lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang

lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama

troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis.11

17
F. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut

1. Angina Pektoris Tidak Stabil/UAP

Terapi medikamentosa yang digunakan bertujuan untuk mencegah dan

menghilangkan serangan angina antara lain:12

1. Penatalaksanaan Umum

Pasien dengan gawat nafas, saturasi <90% dapat diberikan oksigen dengan

memonitor pulse oksimeter dan tetap memonitor EKG.

18
2. Obat anti iskemia

a. Nitrat

Nitrat menurunkan keperluan oksigen miokardium dengan meningkatkan

hantaran oksigen ke miokardium. Nitrat memiliki efek vasodilator untuk perifer

dan arteri koroner. Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan

arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat

mengurangi tekanan dinding ventrikel dan kebutuhan oksigen.

b. Morfin Sulfat

Morfin sulfat (1-5mg IV) direkomendasikan pada pasien dengan gejala

yang tidak berkurang dengan pemberian 3 serial NTG tablet.

c. Beta Bloker

Beta Blocker menghambat efek katekolamin pada beta reseptor membrane

sel, yang mengurangi kontraktilitas miokardium, kecepatan sinus AV. Beta bloker

dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut

jantung dan daya kontraksi miokardium. Data-data menunjukkan beta-bloker

dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas dari pasien infark miokard.

Berbagai macam beta-bloker seperti propanolol, metoprolol, atenolol, pada pasien

angina tak stabil yang menunjukkan efektivitas serupa. Kontraindikasi pemberian

beta-bloker adalah pasien dengan asma bronkial, dan pasien dengan bradiaritmia.

d. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium terbagi atas dua golongan yaitu golongan dihidropiridin

seperti nefedipin dan golongan nondihidropiridin seperti verapamil. Golongan

dihidropiridin mempunyai efek vasodilator yang lebih kuat dan penghambatan

nodus sinus maupun nodua AV lebih sedikit dan efek inotropik negatif juga lebih

19
kecil. Namun, kedua golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan

menurunkan tekanan darah.

3. Obat Antiagregasi Trombosit

Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak

stabil maupun infarkl tanpa elevasi ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet

seperti aspirin, tienopiridin, dan GP IIb/IIIa inhibitor telah terbukti bermanfaat.

a. Aspirin

Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi

kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal pada pasien

angina tak stabil. Oooleh karena itu dianjuran untuk diberikan seumur hidup

dengan dosis awal 160mg per hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per hari

b. Tiklopidin

Tiklopidin suatu deriva tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam

pengobatan angina tak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian

Tiklopidin harus diperhatiklan efe granuloditopenia, di mana insidennya 2,4 %.

Dengan adanya klopidrogel yang lebih aman pemakaian tiklopidin mulai

ditinggalkan

c. Klopidrogel

Klopidrogel juga merupakan derivat tienopiridin yang menghambat

agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin dan belum ada laporan

neutropenia. Klopidrogel terbukti dapat mengurangi stroke, infark dan kematian

kardiovaskuler.

20
4. Obat Anti Koagulan

a. Unfractionated Heparin

Heparin adalah suatu glukosaminogflikans yang terdiri dari berbagai rantai

polisakarida yang berbeda panjangnya denganaktivitas antikoagulan yang

berbeda-beda. Anti trombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja

menghambat trombin dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma lain,

sel darah, sel endotel, yang akan mempengaruhi bioavailabilitas. Kelemmahan

lain dari heparin adalah efek trombus yang kaya akan trombosit dan heparin dapat

dirusak oleh platelet faktor 4.

b. Low molekular weight heparin

LMWH dibuat dengan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.

Dibanding dengan unfractionated heparin, LMWH mempunyai ikatan terhadap

protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih besar dan tidak mudah dinetralisir

oleh faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan

kejadian trombositopenia lebih sedikit. LMWH yang ada di Indonesia ialah

dalteaprin, nadroparin, dan enoksaparin. Kelebihan pemberian LMWH karena

cara pemberiannnya yang mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan

tidak memrlukan pemeriksaan laboratorium

c. Direct trombin inhibitors

Direct trombin inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena

bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh

plasma protein maupun platelet faktor 4. Activated partial trombin time dapat

dipakai untuk memonitoring aktivitas antikoagulasi tetapi biasanya tidak perlu.

Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi

21
pendarahan tetap bertambah. Bivaliudin juga menunjukkan efektivitas yang sama

dengan efek samping pendarahan yang kurang dari heparin.

5. Tindakan invasif dan pembedahan


Prinsipnya bertujuan untuk memberi darah yang lebih banyak kepada otot

jantung dan memperbaiki obstruksi arteri koroner. Ada 4 dasar jenis pembedahan:

a. Ventricular aneurysmectomy : rekonstruksi terhadap kerusakan

ventrikel kiri.

b. Coronary arteriotomy : memperbaiki langsung terhadap obstruksi

arteri koroner.

c. Internal thoracic mammary: revaskularisasi terhadap miokard.

d. Coronary Artery Baypass Grafting (CABG) : hasilnya cukup

memuaskan dan aman yaitu 80%-90% dapat menyembuhkan angina

dan mortabilitas hanya 1% pada kasus tanpa komplikasi.

Tindakan invasif lainnya yaitu:

1. Percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA)

2. Percutaneous rotational coronary angioplasty (PCRA)

3. Laser angioplasty12

2. NSTEMI

Tujuan dari penatalaksanaan NSTEMI adalah untuk menghilangkan

iskemia dan mencegah terjadinya infark miokard lebih lanjut. Pasien dengan

NSTEMI harus distabilkan di unit pelayanan dan dilanjutkan dengan memantau

EKG dan observasi jika ada iskemia baru. Pasien dengan NSTEMI ditangani

dengan antiangina, antiplatelet dan terapi antikoagulan. Pasien dengan angina

22
yang berlanjut, hemodinamik tidak stabil, aritmia tidak terkontrol dan infark

miokard meluas harus dimasukkan ke CVCU.11,12

Terapi untuk NSTEMI:

1. Oksigen

Oksigen diberikan jika saturasi dibawah 90%, gawat nafas dan gejala

mengarah ke hipoksemia.

23
2. Nitrat

Nitrat diberikan 3 kali setiap 5 menit untuk nyeri iskemi yang berlanjut dan

nilai keperluan untuk dipasang Nitrogliserin intravena

Pemasangan NTG intravena dilakukan pada iskemia yang persisten, gagal

jantung dan hipertensi.

Nitrat kontraindikasi terhadap penggunaan baru penghambat fosfodiesterase

3. Terapi analgesik

Morfin intravena bisa digunakan untuk nyeri dada iskemik yang berlanjut

dengan toleransi terhadap anti-iskemik

NSAID(kecuali aspirin) tidak dianjurkan diberikan selama rawatan untuk

NSTEMI karena meningkatkan MACE

4. Penghambat Beta Andrenergik

Pemberian oral dalam 24 jam pertama tidak diberikan pada gagal jantung,

output berkurang, risiko syok kardiogenik atau kontraindikasi beta blocker.

Penggunaan carvedilol, metoprolol succinate atau bisoprolol dapat diberikan

sebagai terapi NSTEMI, gagal jantung stabil dan menurunkan fungsi sistolik

Evaluasi kembali pasien dengan kontraindikasi

Ini bisa diberikan untuk terapi lanjut pada fungsi ventrikel kiri yang normal

dengan NSTEMI

Beta blocker intravena memiliki risiko terjadinya syok.

5. CCBs

Pemberian nondihydropyridine calcium antagonist dengan iskemik baru

setelah pemberian beta blocker dan nitrat tanpa kontraindikasi

24
CCBs direkomendasikan untuk gejala iskemik saat pemberian beta blocker

tidak berhasil atau kontraindikasi atau adanya efek samping,

Long acting CCB da nitrat direkomendasikan untuk pasien dengan spasma

arteri koroner

6. Managemen kolesterol

Pemberian statin intensitas tinggi pada pasien tanpa kontraindikasi

Memastikan Profil lemak saat puasa dalam 24 jam.11,12

3. STEMI

Penatalakasanaan terbagi dua, yaitu penatalaksanaan pra rumah sakit dan

rumah sakit.6,7,11,12

a. Penatalaksanaan pra rumah sakit

 Monitoring dan amankan ABC. Persiapan RJP dan defibrilasi

 Beri aspirin dan pertimbangkan beri oksigen, nitrogliserin, dan morfin

jika diperlukan.

 Pemeriksaan EKG 12-sadapan dan interpretasi

 Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan

penerimaan pasien dengan STEMI.

 Bila akan diberi fibronolitik prehospital, lakukan check-list terapi

fibrinolitik.

b. Penatalaksanaan rumah sakit

Penilaian awal di IGD (<10menit)

 Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen

 Pasang jalur intravena

25
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah

 Lengkapi check-list fibrinolitik, cek kontraindikasi

 Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah

 Pemeriksaan sinar X (<30menit setelah pasien sampai di IGD).

 Terapi awal di IGD

 Segera beri oksigen 4L/menit nasal kanul, terutama bila saturasi <94%

Pemberian oksigen dianjurkan dalam 6 jam pertama terapi. Pemberian

oksigen lebih dari 6 jam tidak bermanfaat kecuali pada keadaan :

 Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau

hemodinamik yang tidak stabil

 Pasien dengan tanda bendungan paru

 Pasien dengan saturasi oksigen < 90%

 Beri aspirin 160-325mg dikunyah

Aspirin direkomendasikan untuk semua pasien dengan SKA kecuali

terdapat kontraindikasi. Aspirin diberikan 160-325mg dikunyah untuk

pasien tanpa riwayat alergi, pasien yang belum mendapat aspirin dan

tidak ada bukti perdarahan lambung saat pemeriksaan.

 Nitrogliserin sublingual atau spray

Pemberian nitrogliserin tablet sublingual dapat diulang sampai 3 kali

dengan interval 3-5menit jika tidak ada kontraindikasi.

 Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin

sublingual atau semprot.

26
 Terapi Reperfusi pada STEMI

Terapi referpusi diindikasikan pada gejala yang timbul 12 jam dengan ST

elevasi yang menetap atau Left Bundle Branch Block yang terduga baru. Terapi

referpusi diindikasi pada gejala dengan bukti klinis dan termasuk gejala yang

telah berlangsung lebih dari 12 jam atau nyeri dan perubahan EKG tersendat.6

. Terapi reperfusi pada pasien SKA bertujuan untuk mengembalikan aliran

koroner pada arteri yang berhubungan dengan area infark, mengurangi luas infark,

dan menurunkan mortalitas jangka panjang.

Sebelum memberikan terapi referpusi sebaiknya ditentukan terlebih

dahulu rumah sakit yang memiliki Intervensi Koroner Perkutan dan waktu uang

dibutuhkan kurang dari 2 jam. Jika tidak ada, dapat dipertimbangkan terapi

fibrinolitik.6,11,12

27
 Terapi fibrinolitik

Terapi fibrinolitik dapat deiberikan dalam 12 jam sejak awitan yang

cepat (door-drug<30 menit) dapat membatasi luasnya infark dan mengurangi

angka kematian. Beberapa jenis obat fibrinolitik yang tersedia seperti alteplase

recombinant, reteplase, tenecplase dan streptokinase. Beberapa hal yang perlu

diperhatikan pada terapi fibrinolitik adalah

 Fibrinolisis bermanfaat pada pasien dengan :

 ST elevasi atau LBBB baru

28
 Infark miokard yang luas

 Pada usia muda dengan risiko perdarahan intraserebral yang rendah

 Tindakan Percutaneous coronary intervention (PCI) primer atau

Intervensi Koroner Perkutan Primer

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan

dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120

menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien

dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik.

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi

antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP seperti

clopidogrel loading dose 600 mg diikuti 150 mg per hari sesegera mungkin

sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena seperti heparin,

enoksaparin. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg).

29
TERAPI JANGKA PANJANG STEMI

Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI

adalah:6,11,12

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,

dengan ketat

2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa

henti

3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12

bulan setelah STEMI

4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien

dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri

5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera

mungkin sejak datang

6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk

rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa

memandang nilai kolesterol inisial

7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal

ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior. Sebagai

alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan

8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal

ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia

30
G. Komplikasi Penyakit Jantung Koroner

Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering

memberikan komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel fibrilasi 95%

meninggal sebelum sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi

ventrikel kiri/gagal jantung dan hipotensi/syok kardiogenik, gagal jantung,

hipotensi, regurgitasi katup.

H. Prognosis Penyakit Jantung Koroner

Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:

1. Wilayah yang terkena oklusi

2. Sirkulasi kolateral

3. Durasi atau waktu oklusi

4. Oklusi total atau parsial

5. Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:

1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit

2. Total mortalitas 15-30%

3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%

4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%6,11,12

31
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association, American Stroke Association. Heart Disease


and Stroke Statistics 2017 At-a-Glance; 2017

2. National Heart Foundation. Coronary heart disease. 2009

3. Mayo Clin Proc. 2009 Oct; 84(10): 917–938. Acute Coronary Syndromes:

Diagnosis and Management, Part I Amit Kumar, MD and Christopher P.

Cannon, MD

4. AHA. AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Non–

ST-Elevation Acute Coronary Syndromes. A Report of the American

College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice

Guidelines; 2014

5. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. Info datin. Situasi

kesehatan jantung; Jakarta: 2014

6. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskuler Indonesia. Pedoman


tatalaksana sindrom koroner akut Edisi ketiga. Centra Communications.
2015

7. Direktorat bina farmasi komunitas dan klinik ditjen bina kefarmasian dan
alat kesehatan departemen kesehatan. Pharmaceutical care untuk pasien
penyakit jantung koroner: fokus sindrom koroner akut; Jakarta: 2006

8. Sabatine MS, Cannon CP. Approach to the patient with chest pain.
In:Benow RO, Braunwalk E, editors. In: Braunwald’s Heart Disease:
ATextbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier/Saunders, 2012:1076–86.

9. ACC/AHA/ACP–ASIM. Guidelines for the Management of Patients With


Chronic Stable Angina: Executive Summary and Recommendations A
Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on
Management of Patients With Chronic Stable Angina)

32
10. ACCF/AHA/ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS Guideline or the Diagnosis
and Management of Patients With Stable Ischemic Heart Disease:
Executive Summary; 2012

11. AHA/ACC. Guideline for the Management of Patients With Non–ST-


Elevation Acute Coronary Syndromes. A Report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines 2014

12. ACC/AHA. Guidelines for the Management of Patients With Unstable


Angina and Non–ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. 2000

33

You might also like