You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur hidup manusia (Maryam, 2008).

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang sudah mencapai

usia 60 tahun ke atas. Secara umum proses menjadi lansia didefinisikan sebagai

perubahan yang terkait dengan waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif dan

detrimental. Keadaan tersebut dapat menimbulkan menurunnya kemampuan lansia

dalam beradaptasi dengan lingkungannya (Nugroho, 2008).

2.1.2 Batasan Umur Lansia

Lansia dapat dibedakan berdasarkan batasan umurnya masing-masing. Menurut WHO,

ada empat tahap batasan umur lansia yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45-59

tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75-90

tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008). Menurut

Depkes RI, batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia

lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik

dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok

yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia

65 tahun ke atas dan usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih
dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti,

menderita penyakit berat, atau cacat (Maryam, 2008).

2.1.3 Perubahan pada Lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari perubahan mental, psikososial dan

perubahan fisik (Hutapea, 2005).

1) Perubahan mental

Perubahan mental pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan

fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan. Perubahan

mental yang terjadi pada lansia berupa munculnya sifat egosentrik dan tamak

apabila memiliki sesuatu. Lansia cenderung tetap ingin mendapat peran di

masyarakat dan apabila nanti meninggal, lansia ingin mencapai sorga (Nugroho,

2008).

2) Perubahan sosial

Menurut Nugroho (2008), perubahan sosial yang terjadi pada lansia terjadi karena

perubahan pekerjaan seperti masa pensiun. Bila mengalami pensiun, seseorang

akan mengalami kehilangan yaitu kehilangan finansial, kehilangan status, dan

kehilangan teman untuk bersosialisasi. Sedangkan menurut Azizah (2011),

perubahan sosial yang terjadi pada lansia juga disebabkan oleh perubahan aspek

kepribadian, perubahan dalam peran sosial di masyarakat dan perubahan minat dan

penurunan fungsi.

3) Perubahan fisik
a. Terjadinya perubahan pada sistem indera, dimana lensa mata lansia mulai

kehilangan elastisitas dan menjadi kaku, ketajaman penglihatan dan daya

akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang. Pada sistem pendengaran, mulai

terjadi gangguan pada pendengaran (Nugroho, 2008).

b. Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas paru-

paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan munculnya rasa

sesak dan tekanan darah meningkat (Hutapea, 2005).

c. Perubahan pada sistem kardiovaskuler masa jantung mulai bertambah, ventrikel

kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena

perubahan pada jaringan ikat, konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang

sehingga kapasitas paru menurun (Azizah, 2011).

d. Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh lansia menjadi rentan

terhadap alergi dan penyakit (Hutapea, 2005).

e. Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan uterus

serta terjadinya atrofi payudara pada wanita. Pada laki-laki testis masih dapat

memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur

(Azizah, 2011).

f. Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat, kepekaan bau

dan rasa mulai berkurang, kepekaan sentuhan berkurang dan pendengaran

berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun serta ingatan visual

berkurang (Hutapea, 2005).


g. Perubahan pada sistem perkemihan, pola berkemih menjadi tidak normal seperti

banyak berkemih di malam hari sehingga mengharuskan lansia pergi ke toilet

sepanjang malam. Hal ini menunjukkan kejadian inkontinensia urine meningkat

pada lansia (Azizah, 2011).

h. Terjadi perubahan pada sistem metabolik, yang mengakibatkan gangguan

metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun (Hutapea, 2005).

Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, hampir 80% lansia mengalami

perubahan fisik yang bersifat kronis dan mengganggu mobilitas serta kemandirian

lansia (Potter & Perry, 2005). Perubahan fisik yang paling sering terjadi pada lansia

adalah pada sistem muskuloskeletal, dimana terjadi perubahan pada kolagen yang

merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia dan menimbulkan dampak

berupa nyeri dan penurunan kemampuan otot sehingga lansia mengalami hambatan

dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Azizah, 2011). Penyakit yang paling sering

menyebabkan disabilitas pada lansia adalah golongan penyakit atritis (Depkes RI,

2008).
2.2 Rheumatoid Athritis

2.2.1 Definisi Rheumatoid Athritis

Rheumatoid Athritis (RA) adalah penyakit multisistem kronik yang ditandai oleh

beragam manifestasi klinis dengan awitan penyakit umumnya pada usia antara 35 dan

40 tahun. Gambaran utama adalah sinovitis inflamatorik yang biasanya mengenai sendi

(Leveno, 2009). RA adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan

degenerasi jaringan penyambung dimana membran sinovial mengalami kerusakan

(Corwin, 2009).

2.2.2 Penyebab Rheumatoid Athritis

Menurut John & Johnson (2007), penyebab pasti dari RA masih belum diketahui

meskipun terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang mengalami

penyakit ini. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut ;

1. Genetik

RA dapat terjadi karena memiliki keturunan penyakit ini dalam keluarga. Namun

adanya keturunan RA dalam keluarga tidak akan meningkatkan resiko pada anak-

anak.

2. Infeksi

Beberapa tipe dari atritis terjadi akibat infeksi. Beberapa penelitian mengatakan

bahwa infeksi yang disebabkan oleh bakteri ataupun virus dapat memicu respon

imun yang abnormal akan menyebabkan RA.


3. Lingkungan

Beberapa studi menemukan bahwa perokok berat dan orang yang terpapar asap

rokok lebih mudah terkena RA daripada orang yang bukan perokok. RA juga diduga

disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi yang bereaksi terhadap kolagen tipe 11

dari tulang rawan sendi pasien (Sudoyo, 2007).

2.2.3 Manifestasi Klinis Rheumatoid Athritis

RA merupakan suatu penyakit yang memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.

Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh RA adalah perasaan lelah, anoreksia, berat badan

menurun, demam, poliatritis simetris yang terjadi biasanya pada sendi perifer, kekakuan

sendi pada pagi hari, peradangan sendi kronik yang menyebabkan terjadinya erosi di tepi

tulang, deformitas sendi, terdapatnya nodul-nodul rematoid yang sering berlokasi di

sendi siku dan terjadinya manifestasi ekstra-artikular dimana RA tidak hanya menyerang

sendi namun dapat menyerang organ lainnya seperti jantung yang akan mengakibatkan

terjadinya perikarditis (Price & Wilson, 2005). Berdasarkan penelitian, 90% lansia

mengeluhkan nyeri di sendi-sendi bagian jari, pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki

(Turana, 2005). Pasien RA umumnya merasakan nyeri paling berat terjadi pada pagi hari

membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam hari (Yatim, 2006).

2.2.4 Patofisiologi Rheumatoid Athritis

RA merupakan penyakit autoimun yang terjadi pada individu rentan setelah respon imun

terhadap agen pemicunya yaitu bakteri, mikoplasma atau virus yang


menginfeksi sendi. Meskipun IgG yang memperantarai respon imun awal berhasil

menghancurkan mikroorganisme, namun tubuh cenderung membentuk antibodi lain

yaitu IgM atau IgG. Antibodi tersebut menetap di kapsul sendi sehingga akan

menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan jaringan pada sendi (Corwin, 2009).

Inflamasi awal mengenai sendi sinovial dan kemudian menjadi menebal pada sendi

atrikular kartilago. Penebalan tersebut akan menyebabkan granulasi pada persendian

yang disebut dengan pannus yang apabila panus ini menyebar akan menyebabkan

terjadinya nekrotik pada sendi. Proses inilah yang akan menyebabkan kerusakan pada

sendi dan akan menimbulkan nyeri yang hebat serta deformitas (Suratun, Heryati,

Manurung, Raenah, 2008).

2.2.5 Penatalaksanaan Rheumatoid Athritis

Tujuan dari pengobatan RA adalah untuk menghilangkan nyeri dan peradangan,

mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien, serta mencegah

dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi (Price & Wilson, 2005). Menurut

American Collage Rheumatology, penanganan RA dapat meliputi terapi farmakologis

(obat-obatan), non farmakologis (kompres panas/dingin, masase, relaksasi dan distraksi)

serta tindakan operasi (Purwoastuti, 2009). Penggunaan terapi farmakologis yang sering

diresepkan dokter pada pasien RA adalah DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic

Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan Leflunomid dengan kombinasi obat anti-

inflamasi atau NSAID dan kortikosteroid dosis rendah (Arthritis Foundation, 2014).
Selain dapat menurunkan nyeri RA, terapi farmakologis ini juga dapat menimbulkan

berbagai macam keluhan lain seperti peradangan pada daerah abdomen, perdarahan dan

kerusakan ginjal yang disebabkan oleh efek samping dari NSAID yang memblok

prostaglandin secara keseluruhan (WebMD, 2014). Menurut hasil penelitian penggunaan

terapi non farmakologis pada pasien RA dapat memblok dan menurunkan impuls nyeri

dan digunakan sebagai pertolongan pertama ketika nyeri RA menyerang serta terapi non

farmakologis seperti kompres panas/ dingin dan masase dapat meningkatkan aliran

darah dan mampu meredakan sensasi nyeri (Tamsuri, 2006).

2.3 Nyeri Pada Rheumatoid Athritis

2.3.1 Definisi Nyeri Rheumatoid Athritis

Nyeri merupakan suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Potter

& Perry, 2005). Nyeri RA adalah nyeri yang dirasakan di daerah sendi dan merupakan

permasalahan utama yang paling sering terjadi dan hal yang sangat penting untuk

ditangani (Jenkins, 2011). Nyeri RA akan memberat apabila perjalanan penyakit tidak

diatasi serta akan meningkat seiring dengan ambang nyeri pasien sendiri (Isbagio, 2006).

Nyeri RA akan menimbulkan rasa tidak nyaman, keletihan dan disabilitas pada pasien

(Clair, Pisetsky, Haynes, 2004).


2.3.2 Etiologi Nyeri Rheumatoid Athritis

Menurut Berman, Snyder, Kozier, Erb (2009), penyebab terjadinya nyeri secara umum

adalah adanya trauma mekanik, trauma termal, trauma kimiawi, trauma elektrik,

neoplasma, peradangan dan faktor psikologis. Nyeri pada RA disebabkan oleh proses

peradangan (inflamasi) pada membran sinovial yang terjadi akibat proses fagositosis

yang menghasilkan enzim-enzim dalam sendi dan akan memecahkan kolagen sehingga

menyebabkan edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus.

Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya

adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan menganggu gerak sendi dan

menimbulkan nyeri (Jenkins, 2011).

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Rheumatoid Athritis

Menurut Potter & Perry (2005), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

meliputi usia, jenis kelamin, kebudayaan, perhatian, ansietas, pengalaman sebelumnya,

efek plasebo, dukungan keluarga dan sosial, keletihan dan pola koping. Menurut Ari

(2009), terdapat dua faktor yang berperan dalam beratnya rasa nyeri pada pasien RA

yaitu beratnya penyakit dan ambang nyeri pasien. Makin berat penyakit, maka makin

bertambah pula rasa nyeri yang dirasakan pasien RA dan apabila perjalanan penyakit

dapat dihentikan (remisi), maka rasa nyeri akan berkurang. Pasien dengan ambang nyeri

yang tinggi akan merasakan nyeri ringan dan tidak akan mengganggu aktivitasnya.

Faktor lainnya yang mempengaruhi nyeri pada


pasien RA adalah usia dan jenis kelamin. Insiden RA meningkat pada usia 40 tahun dan

lebih sering terjadi pada wanita (Price & Wilson, 2005).

2.3.4. Fisiologi Nyeri Rheumatoid Athritis

Fisiologi dari setiap nyeri yang dirasakan pasien adalah sama. Reseptor nyeri adalah

organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan

sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya

terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada

juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Corwin, 2009).

Menurut Potter & Perry (2005), berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatik

dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya yang berbeda-beda

inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor cutaneus

berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah

untuk dialokasi dan didefinisikan.

a. Reseptor A-δ (A-δ fiber)

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri

dihilangkan.
b. Serabut C (C fiber)

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat

pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada

tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena

struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan

sulit dilokalisasi.

c. Reseptor visceral

Reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan

sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap

pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

2.3.5 Karakteristik Nyeri Rheumatoid Athritis

Menurut Mutaqqin (2008), karakteristik nyeri RA dapat dikaji menggunakan PQRST

yang terdiri dari :

1. Provoking Incident (faktor penyebab nyeri).

Nyeri RA dirasakan ketika sendi yang mengalami peradangan digerakkan atau

sering disebut Joint Tenderness on Moving (Mutaqqin, 2008).


2. Quality and Quantity of Pain (kualitas dan kuantitas nyeri).

Nyeri yang dirasakan oleh pasien RA adalah nyeri dengan rasa terbakar di bagian

sendi yang mengalami pembengkakan, nyeri akan berkurang ketika sendi yang

mengalami pembengkakan diistirahatkan (Dewi, 2009).

3. Region

Nyeri RA biasanya terjadi di daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki,

jari-jari tangan dan kaki (Buffer, 2010).

4. Severuty (Scale) of Pain

Nyeri yang dialami oleh pasien RA didapatkan skala nyeri rata-rata enam

mengindikasikan nyeri sedang (Dewi, 2009).

5. Time

Nyeri pada pasien RA digolongkan menjadi nyeri kronis non malignant yang

mengindikasikan nyeri tidak bersifat responsif terhadap metode-metode

pembebasan nyeri (Prasetyo, 2010). Pada umumnya, pasien dengan RA akan

merasakan nyeri paling berat terjadi pada pagi hari, membaik pada siang hari dan

sedikit lebih berat pada malam hari (Yatim, 2006). Nyeri RA juga akan dirasakan

lebih berat saat pasien dalam posisi duduk atau berbaring dalam jangka waktu yang

lama (Jenkins, 2011).

2.3.6 Pengukuran Skala Nyeri Rheumatoid Athritis

Nyeri secara umum dapat diukur dengan berbagai metode yaitu dengan menggunakan

alat pengukuran skala nyeri seperti skala nyeri numerik, deskriptif dan analog visual
(Potter & Perry, 2005). Menurut Datak (2008), pengukuran skala nyeri dengan

menggunakan skala nyeri numerik (Numeric Rating Sace/NRS) merupakan skala yang

paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi

terapeutik.

NRS lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien

menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. NRS merupakan skala nyeri yang paling

sering dan lebih banyak digunakan di klinik. NRS digunakan untuk mengukur intensitas

nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik. NRS mudah digunakan dan

didokumentasikan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri berat tidak


nyeri ringan sedang berat terkontrol
terkontrol

Gambar 1. Skala Nyeri Numerik


(Sumber : http://www.painedu.org)

2.3.7 Penatalaksanaan Nyeri Rheumatoid Athritis

Menurut Jenkins (2011), penatalaksanaan nyeri pada pasien RA adalah sebagai berikut :
1. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

TENS merupakan stimulasi kutaneus yang menggunakan arus listrik ringan yang

dihantarkan melalui elektroda luar dan efektif untuk mengontrol nyeri pasca bedah

serta mengurangi nyeri yang disebabkan prosedur pascaoperasi (Potter & Perry,

2005).

2. Masase

Masase merupakan teknik relaksasi dengan usapan perlahan menggunakan lotion

dan dapat memberikan sensasi hangat dengan mengakibatkan dilatasi pada

pembuluh darah local sehingga mampu menurunkan nyeri pada pasien RA (Kusyati,

2006).

3. Kompres panas/dingin

Kompres panas/ dingin dapat melebarkan pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi

darah, dan mengurangi kekakuan (Alimul, 2008).

4. Distraksi

Distraksi merupakan suatu suatu tindakan pengalihan nyeri dengan memberikan

stimulus yang menyenangkan dan menyebabkan pelepasan endorphin (Potter &

Perry, 2005).

5. Aktifitas

Aktifitas fisik akan mampu melepaskan endofin dan mampu mengurangi nyeri yang

dirasakan pasien RA (Jenkins, 2011).


6. Splinting

Splinting merupakan sebuah terapi okupasional yang bermanfaat dalam menurunkan

nyeri pada sendi ketika beraktifitas (Jenkins, 2011).

7. Obat Farmakologis

Analgesik merupakan pengobatan yang paling umum untuk mengatasi nyeri.

Terdapat tiga jenis analgesik yaitu Non- narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid

(NSAID), analgesic narkotik atau opiat dan obat tambahan (adjuvan) atau

koanalgesik (Potter & Perry, 2005).

8. Pembedahan

Tindakan pembedahan dilakukan apabila pasien RA mengalami nyeri yang menetap

dan dapat mencegah pergeseran sendi (Jenkins, 2011).

2.3.8 Kompres hangat jahe

Kompres hangat merupakan terapi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rasa

nyaman, mengurangi atau membebaskan nyeri, mengurangi atau mencegah terjadinya

spasme otot dan memberikan rasa hangat (Alimul, 2008). Selain itu, kompres hangat

berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah serta menstimulasi sirkulasi darah, dan

mengurangi kekakuan. Indikasi pemberian kompres hangat adalah untuk pasien yang

mengalami perut kembung, pasien yang mengalami kedinginan, pasien dengan radang

sendi, pasien yang mengalami kejang otot, pasien yang mengalami abses ataupun

hematoma (Kusmiati, 2009). Kompres hangat seringkali di kombinasikan


dengan rempah-rempah, salah satu jenis rempah-rempah yang sering digunakan adalah

jahe.

Secara historis, jahe telah digunakan dalam pengobatan Asia untuk mengobati sakit

perut, mual, dan diare. Sekarang jahe digunakan obat tradisional untuk pascaoperasi

mual seperti gejala mual, kemoterapi, dan kehamilan, rheumatoid arthritis,

osteoarthritis dan nyeri sendi dan otot. Rimpangnya yang mengandung zingiberol dan

kurkuminoid terbukti berkhasiat mengurangi peradangan dan nyeri sendi melalui

aktifitas COX-2 yang menghambat produksi PGE2, leukotrien dan TNF- pada

sinoviosit dan sendi manusia (NCCAM, 2006).

Menurut Susanti (2014), sebelum dilakukan pengompresan jahe dibersihkan dan

ditumbuk terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam air yang telah dihangatkan.

Setelah itu, handuk dimasukkan ke dalam air hangat jahe dan diperas dahulu sebelum

dilakukan pengompresan. Kompres dilakukan di daerah yang mengalami nyeri.

Kompres hangat jahe dilakukan selama 10-15 menit. Menurut Utami (2005), kompres

hangat jahe merupakan jenis terapi tradisional yang dapat menurunkan intensitas nyeri

pada pasien RA selain itu efek farmakologis pada jahe adalah memiliki rasa pedas dan

panas, berkhasiat sebagai pencahar, antiemeltik dan antirematik. Komponen utama dari

jahe adalah senyawa gingerol (Misrha, 2009).

Pengaruh kompres hangat jahe terhadap nyeri adalah sesuai dengan teori gate control

yang mengatakan bahwa stimulasi kulit mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori
A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui

serabut C dan deta-A berdiameter kecil. Gerbang sinap menutup transmisi impuls nyeri.

Kompres menggunakan air hangat akan meningkatkan aliran darah, dan meredakan

nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi, seperti bradikinin, histamin, dan

prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal. Panas akan merangsang serat saraf yang

menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan ke otak

dihambat (Potter & Perry, 2005).

2.3.9 Back massage

Back massage adalah suatu pijatan menggunakan sentuhan tangan di daerah punggung

dengan lotion/balsem yang dapat memberikan sensasi hangat dan mengakibatkan

dilatasi pada pembuluh darah lokal. Intervensi back massage difokuskan pada area

punggung bagian bawah yaitu dari segmen spinal T.12 sampai L.4. Vasodilatasi

pembuluh darah akan meningkatkan peredaran darah pada area yang diusap sehingga

aktivitas sel meningkat dan akan mengurangi rasa sakit serta menunjang proses

penyembuhan luka (Kusyati, 2006). Back massage berfungsi untuk menghilangkan

nyeri, bekerja dengan cara mendorong pelepasan endorphin sehingga memblok

transmisi stimulus nyeri. Cara lainnya adalah dengan mengaktifkan transmisi serabut

saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi

nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap

untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2005). Sensasi hangat back massage juga

dapat meningkatkan rasa nyaman. Nilai


terapeutik yang lain dari termasuk mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan

relaksasi fisik dan psikologis pasien (Kusyati, 2006).

Back massage dilakukan sekitar 10 menit untuk mendapatkan hasil yang maksimal

dalam mengurangi keluhan nyeri (Tamsuri, 2006). Menurut Wijanarko & Riyadi (2010),

posisi seseorang saat akan diberikan back massage hendaknya dalam posisi yang rileks

agar bagian yang akan di massage tidak mengalami ketegangan. Posisi yang dianjurkan

adalah posisi tidur telungkup dan duduk. Posisi tidur telungkup yang baik adalah kedua

lengan lurus ke bawah di samping badan, kepala dipalingkan ke samping dan diletakkan

diatas bantal yang tidak terlalu tinggi atau bila tidak ada bantal, dapat melibatkan kedua

tangan yang diletakkan di bawah dagu. Lengan diletakkan di samping badan, dengan

telapak tangan menghadap ke atas. Untuk posisi duduk, punggung diposisikan tegak.

Kaki, tangan, leher dan kepala dalam keadaan rileks srta tidak ada bagian tubuh yang

kontraksi.

Menurut Bambang (2011), teknik back massage terdiri dari effleurage (mengusap),

petrissage (mencubit), friction (menggosok) dan tapotement (menepuk). Effleurage

merupakan tipe masase yang melibatkan gerakan yang panjang, perlahan dan halus

dilakukan saat memulai dan mengakhiri pijatan (Berman, Snyder, Kozier, Erb, 2009).

Gerakan ini bertujuan untuk meratakan minyak dan menghangatkan otot agar lebih

rileks. Effleurage dilakukan dengan telapak tangan dan jemari rapat dan bergerak

dengan kuat dari bokong menuju bahu dan gerakan lebih ringan dari bahu menuju

bokong (Sinclair, 2006). Petrissage adalah tindakan mencubit atau menjepit


beberapa bagian kulit dengan menggunakan ujung jari (Anastasia, 2009). Tindakan

ini dilakukan secara ringan dan berirama serta bertujuan untuk memperlancar

penyaluran zat-zat dalam jaringan ke dalam pembuluh-pembuluh darah dan getah

bening (Sinclair, 2006). Friction merupakan gerakan memberi tekanan pada kulit

untuk memperlancar sirkulasi darah, mengaktifkan kelenjar kulit, menghilangkan

kerut dan memperkuat otot kulit (Bain, 2006). Gerakan terakhir adalah tapotement

yang merupakan gerakan ketukan yang berturut-turut dan cepat menggunakan

bagian samping tangan atau ujung jari. Khasiat gerakan Tapotement yaitu

menyegarkan otot-otot, melancarkan peredaran darah dan getah bening pada tempat

yang diurut (Potter &Perry, 2005).

You might also like