You are on page 1of 22

Referat

PIKA

Oleh :
Dewi Laila Azhar
Irene Stephanie C.G
Mardla Annisa
Olivia Amanda

Pembimbing :
dr. Djusnidar Dja’far Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT JIWA TAMPANPEKANBARU
PERIODE 08 Oktober – 10 November 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Pika”. Penulis
menyusun referat ini sebagai referensi ilmu dan sebagai salah satu syarat dalam
menempuh ujian Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dokter
pembimbing yaitu dr. Djusnidar Dja’far, Sp.KJ atas saran dan bimbingan dalam
menyempurnakan penulisan referat ini.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak memiliki
kekurangan. Saran dan kritikan yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata,
penulis mengharapka semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... 2

1.4 Metode Penulisan .................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3

2.1 Definisi Pika ........................................................................... 3


2.2 Epidemiologi Pika .................................................................. 3
2.3 Etiologi Pika ........................................................................... 4
2.4TerminologiPika ....................................................................... 6
2.4 Diagnosis Pika ........................................................................ 7
2.5TatalaksanaPika ........................................................................ 11
2.6PencegahanPika ........................................................................ 15
2.6PrognosisPika ........................................................................... 16

BAB III KESIMPULAN ........................................................................... ..17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... ..19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pika merupakan salah satu dari gangguan makan dan didefinisikan sebagai
suatu perilaku mengkonsumsi zat-zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama
kurang lebih satu bulan.1 Individu yang terdiagnosis pika dilaporkan menelan
berbagai macam zat non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil,
rambut, es, kuku, kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara geofagia (makan tanah) dan
amilofagia (makan kanji).2
Pika dapat terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari
pika pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah
tropis dan bersuku-suku. Pada beberapa negara pika merupakan hal yang lazim
seperti yang terjadi di negara bagian barat Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pika juga
dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di
beberapa negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri
belum ada data dan informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis ini.3
Insiden pika terjadi pada anak-anak antara usia dibawah 10 tahun yaitu
mencapai hingga 32 persen terutama pada anak-anak berusia 1-6 tahun. Pada anak
yang lebih dari 10 tahun, insiden pika lebih rendah yaitu sekitar 10 %. Kejadian pika
mengalami penurunan linier seiring dengan bertambahnya usia. Pika kadang-kadang
meluas ke golongan remaja namun jarang ditemukan pada orang dewasa tidak yang
mengalamigangguan mental. Pada individu dengan keterbelakangan mental, pika
paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20 tahun.4
Penyebab utama pika belum diketahui sampai sekarang, namun seperti tipe
gangguan makan lainnya, dapat ditimbulkan oleh kombinasi beberapa faktor seperti
malnutrisi atau penderita defisiensi besi, faktor budaya,kelalaian orang tua, kondisi
kelainan mental dan kehamilan.3

1
1.2 Rumusan masalah
Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis,
penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis Pika.

1.3 Tujuan penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah :
1. Memahami dan mengenal cara mendiagnosis dan tatalaksana yang harus
diberikan pada pasien dengan Pika.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya
di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa.
3. Memenuhi salah satu syarat ujian Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa
Tampan Pekanbaru.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu
pada beberapa literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi

Pika merupakan suatu keadaan yang memakan makanan yang tidak

mengandung zat gizi yang berlangsung menetap selama sedikitnya satu bulan.1 Pika

juga merupakan nafsu makan yang aneh, dimana penderita menunjukkan nafsu

makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan,

misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat

kering, dinding tembok, dan sebagainya.2

2.1.2 Epidemiologi

Insiden pika jarang pada anak yang berusia lebih tua dan remaja. Pika lebih

lazim pada anak dan remaja dengan retardasi mental. Pika dilaporkan hingga 15%

individu dengan retardasi mental berat. Pika dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin

dengan angka kejadian sama besar.3

Prevalensi pika yang dilaporkan tinggi pada anak usia dibawah 10 tahun

terutama usia 1 sampai 6 tahun yaitu sekitar 32 %. Sedangkan insiden pika pada usia

diatas 10 tahun, didapatkan prevalensi yang lebih rendah yaitu sekitar 10 % dari

populasi.4

Kasus pika mengalami penurunan linier seiring dengan bertambahnya usia.

Pada anak, pika biasanya pulih seiring dengan peningkatan usia. Pika kadang-kadang

meluas ke golongan remaja namun jarang ditemukan pada orang dewasa yang tidak

mengalami gangguan mental atau juga bisa terjadi pada ibu hamil. Pada individu

3
dengan keterbelakangan mental, pika paling sering terjadi pada mereka yang berusia

10-20 tahun.1,4

Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kain. Anak-anak

lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil, dan

puntung rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan tanah liat

atau tanah. Pada wanita hamil muda, pika terjadi selama kehamilan pertama pada

masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pika biasanya berhenti pada akhir

kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Pika biasanya

terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan, namun sangat

jarang pada pria remaja dan dewasa.1,3

2.1.3 Etiologi

Defisiensi gizi diduga sebagai salah satu penyebab pika. Selain itu, pada

keadaan tertentu, perasaan “nagih” zat-zat yang tidak dapat dimakan juga dapat

diakibatkan oleh insufisiensi diet. Contohnya, perasaan “nagih” debu dan es kadang-

kadang disebabkan oleh defisiensi besi dan seng, kebiasaan tersebut akan hilang

dengan pemberian zat besi atau seng. Insiden pengabaian dan deprivasi orang tua juga

dikaitkan dengan kasus pika. Teori yang menghubungkan deprivasi psikologis dan

konsumsi zat yang tidak dapat dimakan diajukan sebagai mekanisme kompensasi

untuk memenuhi kebutuhan oral.

Pika juga ditemukan pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya

diatas 1 tahun atau sekitar usia 18 bulan, sebab pada masa itu bayi sedang belajar

merangkak dan suka memasukkan benda-benda yang dipegangnya ke dalam

mulutnya. Tetapi hal tersebut masih dianggap wajar bila masih ditemukan saat usia

4
masih dibawah 18 bulan karena hal tersebut merupakan bagian dari perkembangan

anak. Tetapi hal tersebut akan dianggap sebagai suatu kelainan jika ditemukan diatas

usia 18 bulan dan disertai dengan frekuensi yang sering, sehingga hal tersebut

membutuhkan penanganan khusus.1

Selain itu terdapat kondisi-kondisi tertentu yang dapat meningkatkan faktor risiko

terjadinya pika, yaitu:

a. Diet: orang yang diet mencoba untuk meringankankelaparan dengan makan

zat non-pangan untuk mendapatkanperasaan kenyang.

b. Malnutrisi dan penderita defisiensi gizi. Terutama di negara-negara

terbelakang, di mana orang-orang dengan pika paling sering makan tanah atau

tanah liat.

c. Faktor budaya: Dalam keluarga, agama, atau kelompok yang makan zat non-

pangan, digunakan untuk praktek pembelajaran.

d. Kelalaian orang tua, kurangnya pengawasan, atau kekurangan makanan sering

terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan.

e. Masalah perkembangan, seperti keterbelakangan mental, autisme, cacat

perkembangan lainnya, atau kelainan otak.

f. Kondisi kesehatan mental, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan

skizofrenia.

g. Kehamilan. Pika selama kehamilan lebih sering terjadi pada wanita yang

selama masa kecil mereka atau sebelum kehamilan, memiliki riwayat pika

baik dirinya sendiri, maupun dalam keluarga.6

5
2.1.4 Terminologi Pika

Berikut beberapa terminologi yang digunakan dalam pika sesuai dengan

benda yang dimakannya, antara lain (Tabel 2.1):6

Tabel 2.1 Terminologi Pika

Acuphagia Benda tajam

Amylophagia Laundry pati

Cautopyreiophagia Hasil bakaran

Coprophagia Feses manusia, kotoran hewan

Foliophagia Daun, rumput, biji pohon ek, buah pohon

pinus

Geomelophagia kentang mentah

Geophagia Dirt, Pasir, tanah liat

Lignophagia Kayu, kulit kayu, ranting

Lithophagia Rocks, kerikil, kerikil

Es Pagophagia, Embun beku freezer

Plumbophagia Timbal

Tobaccophagia Puntungrokok

Trichophagia Rambut

6
2.1.5 Diagnosis Pika

Memakan zat yang tidak dapat dimakan secara berulang setelah usia 18 bulan
dianggap abnormal. Onset pika biasanya antara usia 12 dan 24 bulan dan insiden
berkurang seiring bertambahnya usia. Zat khusus yang dikonsumsi bervariasi
bergantung pada kemudahan diperolehnya, dan meningkat sesuai dengan penguasaan
lokkomosi dan meningkatnya kemandirian yang dihasilkan serta berkurangnya
pengawasan orang tua. Biasanya, anak yang masih kecil mengkonsumsi cat, plester,
kawat, rambut, dan pakaian. Sedangkan anak yang lebih tua lebih sering
mengkonsumsi seperti kotoran hewan, debu, batu dan kertas. Akibat klinisnya dapat
ringan hingga mengancam nyawa tergantung dengan benda yang dikonsumsinya. 1

a. Gejala Klinis

Presentasi klinis pika sangat bervariasi dan berhubungan dengan sifat spesifik
dari kondisi medis yang dihasilkan dan zat tertelan. Pada keracunan atau paparan
agen infeksi, gejala dilaporkan sangat bervariasi dan berhubungan dengan jenis toksin
atau agen infeksi tertelan. Gejala pada saluran gastrointestinal (GI) seperti konstipasi,
nyeri perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terlokalisir, mual dan
muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan.2
Pasien mungkin menyembunyikan informasi mengenai perilaku pika dan
menyangkal adanya pika ketika ditanya. Kerahasiaan ini sering mengganggu
diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif. Kisaran luas komplikasi yang
timbul dari berbagai bentuk pika dan keterlambatan diagnosis yang akurat dapat
menyebabkan gejala ringan sampai mengancam nyawa.2

7
b. Pemeriksaan Fisik

Temuan fisik yang terkait dengan pika sangat bervariasi dan berhubungan
langsung dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis selanjutnya. Temuan ini
seperti berikut:

a. Tanda keracunan
b. Tanda infeksi atau infestasi dari parasit
c. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI) dan pada gigi

Toksisitas biasanya adalah keracunan yang paling umum yang terkait dengan
pika. Tanda fisiknya tidak spesifik dan biasanya tak terlihat, dan kebanyakan anak
dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari keracunan
biasanya dapat seperti gejala neurologis (misalnya, mudah tersinggung, lesu, ataksia,
inkoordinasi,sakit kepala, kelumpuhan saraf, papilledema, ensefalopati, kejang,
koma, atau kematian) dan gejala pada saluran GI (misalnya, sembelit, sakit perut,
kolik , muntah, anoreksia, atau diare).2 Toksisitas paling sering terjadi pada pika yaitu
toksisitas akibat keracunan timah yang dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf
pusat pada anak-anak yang sedang berkembang dan pada dewasa akan menyebabkan
perubahan perilaku.7
Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva migrans) dan
Ascariasismerupakan infeksi parasit paling sering yang terkait dengan pika. Gejala
Toxocariasis beragam dan tampaknya terkait dengan jumlah larva yang tertelan dan
organ mana tempat larva bermigrasi. Temuan fisik yang terkait dengan migrans larva
visceral adalah demam, hepatomegali, malaise, batuk, miokarditis, dan encephalitis.2
Infeksi parasit berhubungan dengan geophagia dan coprophagia ( memakan feses).
Ocular larva migrans dapat menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan.7
Manifestasi pada saluran cerna berupa kelainan mekanik usus, sembelit,
ulserasi, perforasi, dan obstruksi usus yang disebabkan oleh pembentukan bezoar dan
konsumsi bahan yang dicerna ke dalam saluran pencernaan. Misalnya memakan
sesuatu seperti rambut dalam jangka waktu lama atau kronik,lama kelamaan akan

8
menyebabkan pembentukan massa solid (trichobezoar) didalam lambung atau usus
halus yang akan menimbulkan komplikasi medis. Memakan sbenda yang tajam
seperti kaca, jarum pentul atau paku akan menyebabkan perforasi usus yang
membutuhkan tindakan penutupan operatif. Selain itu, benda asiing tersebut dapat
juga tersangkut di orofaring, esofagus, lambung atau usus halus. Tetapi terkadang
benda-benda tersebut bisa juga mengalami aspirasi. Tetapi pada anak kecil, benda
baik benda yang tertelan atau teraspirasi, bisa tidak terdeteksi berbulan-bulan sampai
saat timbul gejala berupa suara serak, afonia, disfonia, disfagia, batuk, stridor, atau
wheezing muncul.2,7
Kelainan gigi dan mulut dapat terlihat pada pemeriksaan fisik, termasuk abrasi
gigi yang parah, laserasi oral, penyakit pada gusi atau erosi pada enamel gigi.
Biasanya terjadi akibat memasukkan benda-benda tertentu kedalama mulut,
mengunyahnya dan menelan benda tersebut. benda yang dapat merusak mulut dan
gigi yaitu benda-benda yang tajam seperti gelas, paku atau benda-benda keras seperti
batu atau besi.2,7

c. Pemeriksaan penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk menegakkan diagnosis pika.


Tetapi terdapat beberapa tes laboraturium yang dilakukan pada kasus pika karena
biasanya sering ditemukan benilai abnormal. Kadar serum besi dan zinc atau seng
biasanya didapatkan hasil yang rendah pada kasus pika. Dan pada beberapa kasus
juga ditemukan, dengan pemberian zat besi dan seng kebiasaan pika pada anak
tersebut juga akan hilang. Pada anak pika juga bisa datang dengan keadaan anemia
dengan nilai hemoglobin yang rendah. Kadar timah jug sebaiknya harus diperoleh
jika anak yang mengkonsumsi timah karena anak tersebut berisiko untuk mengalami
keracunan timah dan berhubungan dengan terapi.1

9
d. Kriteria diagnosis

Berdasarkan kriteria PPDGJ III, pika digolongkan dalam kelompok


“Gangguan perilaku dan emosional lainnya dengan onset biasanya pada masa kanak
dan remaja (F 98), sedangkan pada dewasa, pika termasuk dalam kelompok gangguan
makan lainnya (F50.8).7

Kriteria diagnosis pika berdasarkan PPDGJ III yaitu :

F98.3 Pika pada masa bayi dan kanak7

- Gejala pika adalah terus menerus makan zat yang tidak bergizi
- Pika dapat timbul sebagai salah satu gejala dari sejumlah gangguan psikiatriyang
luas (seperti autism), atau perilaku psikopatologis yang tunggal; hanya dalam
keadaan yang disebut belakangan ini diguakan kode diagnosis ini. Fenomena ini
paling sering terdapat pada anak dengan retardasi mental, makka harus dibberi
kode diagnosis F70-79. Namun demikian, pika dapat juga terjadi pada anak
(biasanya usia dini) yang mempunyai intelegensia normal

F50.8 Gangguan makan lainnya7

Termasuk : Pika non organic masa dewasa, kehilangan nafsu makan


psikogenik.

Sedangkan kriteria diagnosis pika berdasarkan DSM V adalah:7

- Makan makanan zat tanpa nutrisi, zat yang bukan makanan yang menetap untuk
periode paling sedikitnya 1 bulan
- Memakan zat tanpa nutrisi dan yang bukan makanan tersebut, tidak sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
- Perilaku makan bukan bagian dari praktik yang disetujui oleh budaya atau norma
sosial setempat.

10
- Jika perilaku makan ini muncu sebagai bagian dari gangguan mental lainnya
(seperti retardasi mental, autism spectrum disoreder, skizoferenia) atau kondisi
medis lainnya (termasuk kehamilan), gangguan klinis yang muncul akan cukup
berat dan butuh perhatian klinis tersendiri.
o 307. 52 (F98.3) Pika pada anak-anak
o 307. 52 (F50.8) Pika pada orang dewasa

2.1.6 Tatalaksana Pika

Langkah pertama di dalam terapi pika adalah untuk menentukan penyebabnya


jika memungkinkan. Misalnya, pajanan zat toksik seperti timah, harus ditatalaksana
sesuai terapi keracunan akibat timah. Tetapi sebenarnya, tidak ada terapi definitif
untuk pika. Sebagian besar terapi ditujukan pada edukasi dan modifikasi perilaku dan
pedoman keluarga.1

Beberapa literatur melaporkan berbagai tatalaksana untuk pika, antara lain :7

- Intervensi nutrisi
- Intervensi psikologis
- Intervensi farmakologi
- Intervensi perilaku

a. Intervensi nutrisi
Suplemen gizi sering digunakan untuk mengurangi perilaku pika pada
individu dengan pika. Suplemen zat besi paling sering direkomendasikan, dan
penurunan kejadian pika terjadi pada beberapa kasus. Pika juga efektif diobati dengan
suplemen zinc. Di sebuah lembaga di North Carolina, 54% penduduk dengan perilaku
pika diketahui memiliki kadar zinc atau seng yang rendah. Setelah suplementasi,
perilaku pika menurun dari 23 insiden menjadi 4,3 insiden per orang dalam periode 2
minggu.6

11
b. Intervensi psikologis

Konseling dan psikoterapi telah direkomendasikan untuk individu dengan


pika yang disebabkan gangguan emosional atau psikogenik. Selain itu, orang dewasa
tertekan tentang perilaku pika mereka sendiri, dan orang tua anak-anak dengan pika,
kadang-kadang meminta dan menerima konseling psikologis. Misalnya, jika pika
disebabkan oleh situasi pengabaian atau penganiayaan, tentu saja keadaan tersebut
perlu diubah melalui intervensi psikologis.2,6

c. Intervensi farmakologis

Obat-obatan juga sering digunakan untuk mengobati individu dengan pika.


Obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) salah satu golongan
yang sering digunakan dalam tatalaksana pika karena hasil yang memuaskan saat
diuji coba pada pasien pika. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau
reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di otak. Beberapa jeni SSRi ini antara lain
adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram.8

Selain itu, bupropion yang merupakan golongan obat dari norepinephrine


and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti bisa digunakan sebagai terapi pada
gangguan pika yang persisten, kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang
parah. Jika intervensi perilaku pada pasien pika dengan tujuan untuk mengalihkan
perhatian, seperti menyusun ulang llingkungannya, konseling, dan terapi-terapi
perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi
selanjutnya seperti bupropion.5

d. Intervensi perilaku

Beberapa teknik intervensi perilaku telah digunakan sebelumnya. Teknik yang


dikatakan cepat berhasil antara lain seperti teknik aversi ringan dan penyokongaan
negative (seperti terapi kejut listrik ringan, bunyi yang tidak menyenangkan atau
dengan menggunakan obat emetic). Penyokongan positif, pembentukan model,

12
pembentukan perilaku dan terapi koreksi yang berlebihan (overcorrection) juga telah
digunakan. Dengan meningkatkan perhatian orang tua, stimulasi dan pengasuhan
emosional dapat memiliki hasil positif juga.1

Pendekatan perilaku dan blocking merupakan intervensi perilaku yang sering


digunakan pada terapi pika.

a. Response Effort (Pendekatan perilaku)

Response effort merupakan salah satu terapi pada pika dengan pendekatan
metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha pasien untuk
berusaha memakan sesuatu yang menjadi objek pika dan alternatif lainnya
yang bukan objek pika. Pada penelitian yang dilakukan oleh Piazza et al pada
tahun 2002. Penelitian ini menggunakan tiga orang yang mengalami gangguan
kejiwaan dan yang bisa datang ke klinik Neurobehavioral di Kennedy Krieger
Institute. Pasien pertama memiliki riwayat memakan kunci mobil, batu,
tongkat penunjuk, kotoran, sarung tangan, dan baterai. Pasien kedua memiliki
riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, plastic, dan kotoran. Pasien ketiga
memiliki riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, kotoran, pakaian, sabun,
dan feses.9

Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan yang aman
jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan (seperti kunci
mobil, kotoran, dll) dan benda lain yang menjadi alternative lainnya, dari
kedua benda tersebut akan diletakkan sedemikian caranya sehingga pasien
akan menggunakan low effort atau high effort untuk menjangkau benda-benda
tersebut. Penelitian dilakukan dengan mengamati response effort pada pika
dan benda alternatif lainnya. Pada penelitian ini dibentuk suatu keadaan
dimana benda alternatif diletakkan pada suatu tempat ydimana anak
memerlukan usaha yang tinggi untuk mendapatkannya (high effort),
sebaliknya benda pika diletakkan pada tempat dimana anak tidak perlu
memerlukan usaha yang tinggi untuk mendapatkannya (low effort),

13
sehinggapasien akan menjangkau objek pika dan memakannya. Pada keadaan
tersebut didapatkan, jika kita menurunkan usaha untuk menjangkau benda
alternative juga akan menurunkan frekuensi kejadian pika. Jadi keseimpulan
pada penelitian tersebut, para orang tua atau yang merawat pasien pika harus
menyimpan benda-benda yang berbahaya untuk dimakan di tempat-tempat
yang aman, dan meletakkan benda-benda pengalih perhatian (benda alternatif)
di tempat-tempat yang menarik untuk pasien sehingga bisa mengurangi
frekuensi pika pada pasien.9

b. Response Blocking

Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu yang


merawat atau menjaga pasien pika agar tidak mengambil benda (bukan
makanan) untuk dimakan. McCord dan Grosser pada tahun 2205 melakukan
penelitian tentang response blocking pada pasien pika yang dilakukan selama
10 menit selama 3 sampai dengan 5 hari setiap minggu. Pada penelitian ini,
pasien ditempatkan di ruangan tertutup yang di dalamnya terdapat kertas segi
empat yang dilekatkan ke lantai dan di atas kertas tersebut disimpan benda-
benda (bukan makanan) yang biasa dimakan oleh pasien pika. Lalu ada
seorang terapis yang ada di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari benda yang ada
di atas lantai. Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-apa (tidak
mencegah / mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas kertas.
Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah berjarak 0.3 m dari
mulut pasien, pada percobaan ketiga, terapis mencegah pasien mengambil
benda di atas kertas.10

Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah maka
pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan makanan tersebut,
walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan sudah diambil maka
efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak mau menjatuhkan makanan tersebut.
Hasil dari pencegahan ini akan efektif jika perawat atau seseorang yang

14
menjaga pasien mencegah pasien mengambil benda-benda berbahaya untuk
dimakan. Sehingga, kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika
dilakukan setelah pasien mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus
dilakukan usaha untuk mencegah pasien menjangkau benda-benda berbahaya
untuk dimakan tersebut.10

2.1.7Pencegahan Pika

Cara efektif untuk mencegah agar anak tidak memiliki perilaku pika tidak lain
adalah peran orang tua. Orang tua harus aktif menjaga anaknya yang masih dalam
tahap pengenalan dari benda-benda yang berbahaya, dan mengenalkannya dengan
benda-benda yang aman untuk anak seusia tersebut. Hal seperti itu sangat perlu
sebagai upaya pencegahan agar pika tidak terjadi pada anak. Orang tua juga
sebaiknya rutin memeriksakan anak untuk mengecek apakah tidak ada bahan
berbahaya yang pernah ditelan oleh anak. Namun jika anak sudah memiliki kebiasaan
itu, maka orang tua harus bisa tegas dan intensif untuk menyembuhkan kebiasaan
anak. Kenyataannya sekarang banyak orang tua yang kasian melihat anaknya
menangis karena ingin makan serbuk bata atau bedak sehingga mereka
membiarkannya makan sekehendak anak. Cara tersebut jelas salah dan merupakan
kesalahan akibat ketidaktahuan orang tua dalam mendidik anaknya. Karena bentuk
rasa kasihan seperti itu bukanlah wujud kasih sayang orang tua kepada anak,
melainkan justru malah membahayakan kesehatan anaknya.4

Orang tua tidak boleh menuruti keinginan anaknya jika meminta benda-benda
asing untuk dimakan, orang tua juga harus mengawasi anak ketika bermain. Ketika
anak lapar dan ingin makan, orang tua bisa memanfaatkan hal tersebut untuk
mengenalkannya jenis-jenis makanan yang sehat dan bergizi dengan tujuan untuk
mengalihkan perhatian anak pada benda yang ingin dimakan ke makanan yang betul-
betul layak untuk dimakan. Rangsang otak anak dengan makanan-makanan yang
bergizi ketika dirinya lapar, ketika otak terbiasa dengan rangsangan dari makanan
maka lama kelamaan perhatian anak akan teralihkan dari benda-benda asing yang

15
ingin dia makan. Untuk mencegah dan mengobati pika, orang tua perlu meluangkan
waktunya untuk menemani anak bermain, mengajarkannya makanan yang baik,
menjauhkannya dari benda-benda keras dan berbahaya, serta menjaga kebiasaan tidur
anak sehingga anak dapat tumbuh dengan sehat dan jauh dari pika eating disorder.4

2.1.7 Prognosis Pika

Prognosis pika beragam, meskipun pada anak dengan intelegensi normal,


gangguan ini paling sering dapat pulih secara spontan. Pada anak, pika biasanya pulih
seiring dengan meningkatnya usia. Pada wanita hamil, pika biasanya terbatas pada
masa kehamilan saja. Meskipun demikian, pada beberapa orang dewasa, terutama
mereka yang megalami retardasi mental, pika dapat berlanjut hingga bertahun-tahun.
Terbatasnya data epidemiologi pada populasi pika menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan sulitnya menentukan progonosis pika lebih lanjut.1

16
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu makan

terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya

tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering,

dinding tembok, dan sebagainya. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti

sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual

dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan. Terapi yang dapat diberikan

diantaranya dengan farmakologis yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan

Bupropion, serta non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.

3.2 Saran

Cara efektif untuk mencegah agar anak tidak memiliki perilaku pica tidak lain

adalah peran orang tua. Orang tua harus aktif menjaga anaknya yang masih dalam

tahap pengenalan dari benda-benda yang berbahaya, dan mengenalkannya dengan

benda-benda yang aman untuk anak seusia tersebut. Hal seperti itu sangat perlu

sebagai upaya pencegahan agar pica tidak terjadi pada anak. Orang tua juga

sebaiknya rutin memeriksakan anak untuk mengecek apakah tidak ada bahan

berbahaya yang pernah ditelan oleh anak. Namun jika anak sudah memiliki kebiasaan

itu, maka orang tua harus bisa tegas dan intensif untuk menyembuhkan kebiasaan

anak. Kenyataannya sekarang banyak orang tua yang kasian melihat anaknya

17
menangis karena ingin makan serbuk bata atau bedak sehingga mereka

membiarkannya makan sekehendak anak. Cara tersebut jelas salah dan merupakan

wujud dari ketidaktahuan orang tua dalam mendidik anaknya. Karena bentuk rasa

kasihan seperti itu bukanlah wujud kasih sayang orang tua kepada anak, melainkan

justru malah membahayakan kesehatan anaknya.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA. Gangguan Makan dan Pemberian Makan pada Masa
Bayi atau Masa Kanak Awal. Dalam: Muttaqin H, Sihombing RN, editor.
Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis (terjemahan). Jakarta: EGC;
2010. hal. 607-8

2. Hassan R, Alatas H.Pika. BukuKuliahIlmuKesehatanAnak. Jakarta:


BagianIlmuKesehatanAnakFakultasKedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta.
2000.Available from URL: http://www.heionline.org/docs/training/pika.pdf

3. Young, S. L. Pika in Pregnancy: New Ideas About an Old Condition.Annu


Rev Nutr. Aug 21 2010;30:403-22.

4. Hagopian LP, Rooker GW, Rolider NU. Identifying Empirically Supported


Treatments for Pika in Individuals with Intellectual Disabilities. Res
DevDisabil. Nov-Dec 2011;32(6):2114-20.

5. Ginsberg DL. Bupropion SR for Nicotine-Craving Pika in a Developmentally


Disabled Adult: Primary Psychiatry.2006;13(12):28-30.

6. Stielgler LN. Understanding Pika Behaviour. Focus on Autism and Other


Developmental Disabilities. 2005;20(1):30-1

7. Maslim R. Pika pada masa bayi dan kanak dan Gangguan Makan lainnya pada
dewasa. Dalam : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM V. Jakarta: PT. Nuh Jay; 2013.92,148

8. Morrow A. Condition & Disease: Eating & Weight Disorder. Available from:
http://www.omnimedicalsearch.com/conditions-disease/pika-
disoredertreatment-options.html

9. Piazza C, Henry SR, Kris M. Keeney, et al. Varying Response Effort in The
Treatment of Pika Maintained by Automatic Reinforcment: Journal Of
Applied Behavior Analysis. 2002; 35: 233-46

10. McCord B, Jason W G. An Analysis Of Response-BlockingParameters In The


Prevention Of Pika: Journal Of Applied Behavior Analysis. 2005; (38): 391-4

19

You might also like