You are on page 1of 48

V I T AM I N B1 2 :

M ET ABOLI SM E DAN FU N GSI N Y A DALAM T U BU H

Oleh :
Zulhaida Lubis

DEPARTEMEN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2010

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

I.PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
II.BIOKIMIA DAN FUNGSI VITAMIN B12 ................................................... 3
III. ABSORBSI VITAMIN B12 ......................................................................... 8
IV. TRANSPORT DAN METABOLISME VITAMIN B12.............................. 10
V. DEFISIENSI VITAMIN B12 ........................................................................ 13
VI. KEBUTUHAN DAN SUMBER PANGAN VITAMIN B12....................... 21
VII. PENILAIAN STATUS VITAM,IN B12..................................................... 23
VIII. HEMOGLOBINDAN VITAMIN B12 ...................................................... 28
IX. VITAMIN B12 DAN DAYA INGAT.......................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 38

Universitas Sumatera Utara


PENDAHULUAN

Sampai saat ini masih banyak ditemukan masalah gizi pada anak-anak
baik masalah gizi mikro maupun masalah gizi makro. Prevalensi anemia pada
anak balita 47.0 %, kekurangan vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum
retinol < 20 mcg/dL 50 % anak balita (Depkes 2005). Kasus defisiensi vitamin
B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia belum ada dilaporkan, namun dari
beberapa penelitian di negara lain prevalensi defisiensi vitamin B12 cukup tinggi
pada anak-anak. Penelitian di Kenya menunjukkan bahwa 80,7 % anak usia
sekolah (5 sampai 14 tahun) mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat dan
sedang (Siekmann JH et al. 2003) dan di Guatemala terdapat 33 % anak usia 8-12
tahun yang mengalami defisiensi vitamin B12 (Rogers LM et al 2003). Sementara
pada kelompok dewasa dan usia lanjut sudah ada dilaporkan walaupun juga masih
terbatas. Penelitian Shibly UF (1999) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita Jakarta) menunjukkan bahwa terdapat 30 % defisiensi
vitamin B12 pada penderita PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan 30 % pada non
penderita PJK. Martoatmodjo S dkk (1973) menemukan 28 % ibu hamil
mengalami kekurangan vitamin B12 di daerah dengan pola makan beras (Jawa
Barat) dan 7 % pada ibu hamil di daerah dengan pola makan gaplek dan beras
(Jawa Tengah). Disamping masalah gizi mikro, masalah gizi makro juga masih
tetap menjadi permasalahan gizi anak balita di Indonesia. Prevalensi gizi kurang
(underweight) terus mengalami kenaikan dari 24 % tahun 2000 menjadi 26,1 %,
27,3 % dan 27,5 % pada tahun 2001, 2002 dan 2003 (Depkes 2004) dan 28 %
tahun 2005 (Atmarita 2006).
Defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan fungsi kognitif yang diduga
melalui fungsinya sebagai kofaktor dalam metabolisme zat-zat gizi yang berperan
dalam sistem syaraf pusat dan pembentukan sel-sel darah merah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan
dengan penurunan fungsi kognitif (Bryan J et al 2002; Black 2003; Morris MS et
al 2007). Selain itu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada keadaan
defisiensi vitamin B12 pemberian intervensi dengan vitamin B12 dapat
memperbaiki status vitamin B12 (Eussen SJ et al 2006; Hin H et al 2006;
Dhonukshe-Rutten RAM et al 2005; Siekmann JH et al 2003), sementara

Universitas Sumatera Utara


pengaruhnya terhadap perbaikan fungsi kognitif masih belum konsisten. Vitamin
B12 juga berkaitan erat dengan proses perpindahan neurotransmitter melalui
perannya dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin
syaraf. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan
sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel-sel syaraf (http://www.parhealth.com/druginfo).
Vitamin B12 umumnya ditemukan dalam pangan hewani seperti daging,
susu, dan telur, sehingga diperkirakan anak yang jarang makan makanan tersebut
akan mengalami defisiensi vitamin B12. Sumber pangan hewani umumnya relatif
lebih mahal dibandingkan dengan pangan nabati, sehingga diperkirakan konsumsi
pangan hewani sedikit pada keluarga dengan ekonomi rendah. Tempe sebagai
bahan pangan hasil fermentasi dari kedele juga merupakan sumber vitamin B12
yang potensial dan mengandung sekitar 1.5 mikrogram per 100 gram tempe
kering (http://www.tempeh.info/), atau sekitar 0.36 mikrogram per 100 gram
tempe mentah. Namun konsumsi tempe masih cukup rendah yaitu rata-rata per
orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,45 kg atau sekitar 17
gram per orang per hari, selain itu bioavailabilitasnya juga masih belum diketahui
secara pasti.
Menurut Hardinsyah (2001) sebagian besar anak di Indonesia masih
mempunyai masalah ketidakcukupan gizi terutama zat-zat gizi mikro. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa
hanya setengah dari jumlah anak Indonesia yang memperoleh pangan hewani,
bahkan semakin tua umur anak semakin sedikit persentase yang memperoleh
pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak sejak usia dini sudah
mempunyai resiko kekurangan gizi mikro yang akhirnya berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan anak. Bila anak mendapat ASI (Air Susu Ibu)
sampai usia 2 tahun kemungkinan zat-zat gizi mikro akan tercukupi bahkan dapat
disimpan sebagai cadangan bila ibu dalam kondisi gizi baik. Pada usia pada 4
tahun diperkirakan cadangan gizi mulai berkurang sementara asupan dari
makanan tidak mencukupi, oleh karena itu anak-anak usia ini berisiko mengalami
kekurangan gizi.

Universitas Sumatera Utara


I. BIOKIMIA DAN FUNGSI VITAMIN B12

Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian
terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Vitamin
B12 mempunyai struktur kimia yang besar dan sangat komplek dibandingkan
vitamin lainnya. Vitamin B12 ini termasuk unik diantara vitamin lain karena
mengandung ion logam yaitu cobalt. Untuk alasan ini cobalamin adalah istilah
yang digunakan untuk merujuk senyawa yang mempunyai aktivitas vitamin B12.
Nama yang lebih spesifik untuk vitamin B12 adalah cobalamin. Vitamin B12
terdiri dari cincin corrin (corrin ring) yang terbuat dari 4 “pyrroles” dengan atom
cobalt pada pusat cincin (Gambar 1). Vitamin B12 merupakan kristal berwarna
merah, tahan panas, rusak diatas temperatur 2100 C, dan tidak tahan sinar ultra
violet (FAO/WHO2001; Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)

Gambar 1 Struktur vitamin B12 (cobalamin)


(Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)

Universitas Sumatera Utara


Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain
cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-masing
terikat pada cobal. Bentuk sintetis (buatan) vitamin B12 yang terdapat dalam
suplemen dan pangan fortifikasi adalah cyanocobalamin, dimana sianida terikat
pada logam kobal. Ketiga bentuk vitamin B12 ini diaktifkan secara enzimatik
menjadi methylcobalamin (MetCbl) dan adenosylcobalamin (AdeCbl)
(FAO/WHO 2001; Higdon J 2003). Pada kondisi kekurangan gizi, enzim dalam
tubuh akan terganggu bahkan ada yang rusak, yang menyebabkan penurunan
kemampuan tubuh untuk mensintesis bentuk aktif vitamin B12 dari
cyanocobalamin. Sebagian besar vitamin B12 disimpan dalam hati sebagai
5-deoxydenosylcobalamin (65-70 %), hydroxycobalamin (20-30 %), dan
methylcobalamin (1-5%). Bentuk dominan dalam plasma adalah methylcobalamin
dengan kadar normal 135 - 425 pmol/L (Sauberlich HE 1999).
Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi
biologis penting. Koenzim tersebut ada dua yaitu methylcobalamin yang terdapat
dalam plasma, dan 5-deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati,
sebagian besar jaringan tubuh, dan makanan (Gibson 2005). Di dalam tubuh
vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin
B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim
L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah
L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Gambar 2). Reaksi biokimia yang
menghasilkan succinyl-CoA ini berperan penting dalam produksi energi dari
lemak dan protein. Succinyl CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang
merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh
jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak
dapat dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah
menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase. Keberadaan
methylmalonic acid dalam darah atau yang dikeluarkan melalui urin dapat
merupakan indikator terjadinya kekurangan vitamin B12 (Gibson 2005; Carmel R
2006; Herbert V 1996).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA
menjadi succinyl-CoA (Stabler SP et al 1997)

Peran yang kedua dari vitamin B12 sebagai kofaktor untuk enzim
methyonine synthase. Enzim ini membutuhkan methylcobalamin dan tergantung
pada folat untuk mensintesis asam amino methyonine dari homocysteine.
Methyonin dibutuhkan untuk sintesis S-adenosylmethionine suatu kelompok donor
methyl yang berguna dalam reaksi biologi methylation, termasuk methylation
DNA dan RNA (Gambar 3). Bila reaksi ini rusak akan mempengaruhi
pembentukan DNA yang akhirnya dapat menyebabkan anemia macrocytic
megaloblastic (Sauberlich HE 1999; Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selain itu
methylation DNA diperlukan untuk mencegah kanker. Oleh karena itu bila
fungsi methionine synthase terganggu dapat menyebabkan penumpukan
homocysteine yang dihubungkan dengan peningkatan risiko cardiovasculer.
Vitamin B12 dibutuhkan untuk penyerapan folat, penyimpanan dan
aktivasi untuk bentuk koenzim. Jadi vitamin B12 bekerja secara bersama dengan
folat untuk mendukung replikasi seluler. Kekurangan salah satu vitamin ini dapat
mempengaruhi fungsi keduanya. Peran yang unik juga ditemukan dari vitamin
B12 yaitu dalam pembentukan myelin, suatu lapisan yang melindungi serat-serat

Universitas Sumatera Utara


syaraf. Kerusakan neurologi berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 yang
dapat terjadi tanpa dipengaruhi oleh kecukupan intake asam folat
(http//www.northwestern.edu).

Gambar 3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine


menjadi methionine (Stabler SP et al 1997)

Fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah merah
dan pemeliharaan kesehatan sistem syaraf. Vitamin B12 penting untuk sistesis
DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab
untuk pembentukan sel darah merah (Sauberlich HE 1999). Vitamin B12
berperan dalam berbagai reaksi seluler, dan mempunyai fungsi penting dalam
metabolisme asam folat. Vitamin B12 diperlukan untuk merubah koenzim folat
menjadi bentuk aktif yang dibutuhkan dalam reaksi-reaksi metabolisme penting
seperti sintesis DNA. Tanpa vitamin B12 reaksi-reaksi yang membutuhkan
bentuk aktif folat tidak akan terjadi dalam sel. Jadi, defisiensi vitamin B12 juga

Universitas Sumatera Utara


berperan dalam terjadinya defisiensi folat. Jika terjadi defisiensi vitamin B12,
pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut
dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia. Gejalanya meliputi
keletihan, sesak nafas, kelesuan, pucat serta penurunan kekebalan tubuh terhadap
infeksi. Gejala lain berupa penurunan rasa (untuk makanan), luka pada lidah, dan
gangguan menstruasi (Wardlaw et al 1992).
Fungsi vitamin B12 dalam pemeliharaan sistem syaraf dapat dijelaskan
melalui perannya yang cukup penting dalam metabolisme asam lemak esensial
untuk pemeliharaan myelin. Syaraf dikelilingi lapisan lemak dibungkus oleh
kompleks protein yang disebut myelin. Komposisi myelin terdiri dari sekitar 80 %
lipid dan 20 % protein. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan
kemungkinan dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf (Dhopeshwarkar 1983;
http://www.parhealth.com/druginfo). Penelitian Pfeifer dan Lewis tahun 1979
yang mempelajari pengaruh pemberian diet rendah vitamin B12 pada tikus selama
20 minggu, mengungkapkan bahwa ketiadaan vitamin B12 dapat mengganggu
perubahan linoleat menjadi PUFA rantai panjang (20:4ω6 dan 22:5ω6).
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelainan genetik menyebabkan kerusakan
transformasi vitamin B12 menjadi bentuk koenzim yang dilaporkan dari kematian
seorang bayi berumur 2 tahun, dan terjadi retardasi mental yang berat pada anak
perempuan yang meninggal pada usia 7 tahun (Dhopeshwarkar 1983).
Konsentrasi methionin yang rendah dapat terjadi bila vitamin B12 tidak ada.
Perubahan konsentrasi ini akan menyebabkan berkurangnya aliran asam amino
untuk pembentukan protein di otak. Hipotesis ini didukung oleh Gandy et al pada
tahun 1973 melalui penelitiannya dengan memberikan “1-aminocyclopentane
carboxyc acid” (yang dapat mengganggu reaksi homocystein menjadi methionin)
pada tikus. Penelitian tersebut menunjukkan ketidaknormalan fungsi syaraf yang
ditandai dengan kehilangan rasa, lumpuh, dan “demyelination spinal cord”
(Dhopeshwarkar 1983). Dari beberapa kasus tersebut Dhopeshwarkar
menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan
sistem syaraf pusat. Kerusakan tersebut meliputi pembentukan myelin yang tidak

Universitas Sumatera Utara


sempurna mulai dari sistem syaraf peripheral dan akhirnya pada sistem syaraf
pusat.

II. ABSORBSI VITAMIN B12

Penyerapan vitamin B12 dalam tubuh manusia termasuk unik diantara


vitamin-vitamin lainnya. Penyerapan vitamin B12 berlangsung secara spesifik di
ileum dan tergantung pada intrinsic factor (IF) suatu jenis protein yang diproduksi
oleh sel-sel asam lambung dan berperan sebagai reseptor vitamin B12 (Wardlaw
et al 1992; Herbert V V 1996; WHO 2001; Robert C & Brown DL 2003; Carmel
R 2006). Setelah makanan masuk melalui mulut sampai ke lambung, vitamin B12
dalam pangan dipisahkan dari bahan-bahan lain oleh pepsin lambung yang
aktifitasnya optimal pada pH asam lambung yang normal. Kemudian vitamin B12
berikatan dengan suatu protein yang disebut R-protein yang diproduksi oleh
kelenjar saliva dalam mulut (Gambar 4).

Gambar 4 Absorbsi vitamin B12 dalam saluran pencernaan


(Carmel R 2006)

Universitas Sumatera Utara


Ikatan R-protein-vitamin B12 masuk ke dalam usus halus dan di usus halus R-
protein dipisahkan dengan vitamin B12 oleh enzim tripsin yang dikeluarkan oleh
pankreas. Dalam usus halus vitamin B12 bebas kembali, kemudian berikatan
dengan intrinsic factor. Hasil ikatan intrinsic factor dengan vitamin B12 masuk
ke bagian akhir usus halus yang disebut ileum. Sel-sel ileum menyerap vitamin
B12 dan mentransfernya kedalam darah yang selanjutnya berikatan dengan
transport protein yang dikenal sebagai transkobalamin.
Proses penyerapan vitamin B12 secara normal melalui ikatan vitamin B12
dengan intrinsic factor diperkirakan 30-70 % dapat diserap tergantung pada
kebutuhan tubuh. Kegagalan penyerapan melalui sistem ini vitamin B12 masih
dapat diserap secara pasif melalui proses difusi namun hanya sekitar 1-2 % dari
vitamin B12 yang ada dalam makanan. Penyerapan vitamin B12 dapat terganggu
misalnya karena pembentukan intrinsic factor yang tidak efisien, defisiensi
sintesis R-protein secara genetik, atau adanya infestasi cacing (Robert C & Brown
DL 2003).
Bila terjadi defisiensi vitamin B12 biasanya diperlukan suplemen melalui
oral atau injeksi vitamin B12 yang langsung dapat diserap. Tabel 1
menggambarkan jumlah atau persentase vitamin B12 yang diserap secara aktif
(melalui sistem intrinsic factor) dan secara pasif (tanpa intrinsic factor) dari
pemberian berbagai dosis. Availabilitas vitamin B12 tergantung pada berapa
banyak vitamin B12 yang dipisahkan dari pangan oleh pepsin dan enzim-enzim
lambung lainnya, kemampuan sistem penyerapan melalui intrinsic factor, dan
jumlah vitamin B12 dalam pangan yang dimakan. Jika sistem penyerapan melalui
intrinsic factor sempurna, lebih dari 50 % vitamin B12 yang ada dalam pangan
atau suplemen dapat diserap secara aktif, namun penyerapan melalui sistem
intrinsic factor ini tidak dapat melebihi 2 μg. Pemberian vitamin B12 dengan
dosis 0.25 μg akan diserap sebesar 0.19 μg (75 %). Vitamin B12 yang diserap
secara aktif semakin besar dengan peningkatan dosis mulai dari 0.25 μg sampai 10
μg. Pada pemberian dosis 10 μg penyerapan vitamin B12 secara aktif mencapai
batas optimum yaitu 1.6 μg, dan pemberian diatas dosis tersebut misalnya 50 μg
hanya 1.5 μg vitamin B12 diserap melalui sistem intrinsic factor. Penyerapan
vitamin B12 pada pemberian dosis tinggi seperti dalam suplemen melampaui

Universitas Sumatera Utara


kapasitas intrinsic factor, dan penyerapan vitamin B12 akan terjadi secara pasif
dengan jumlah penyerapan sekitar 1-2 % (Tabel 1).

Tabel 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis


secara oral pada kondisi penyerapan normal dan tidak
normal (tanpa intrinsic factor)

Dosis oral Jumlah yang diserap melalui IF Jumlah yang diserap


(μg) dan non-IF/ pasif secara pasif (non-IF)
μg % μg %
0,25 0,19 75 -
1 0,56 56 0,02 2
2 0,92 46 -
3 - - 0,08 3
5 1,4 28 -
10 1,6 16 0,2 2
50 1,5 3 0,5 1
100 - - 1,8 1,8
500 - - 6 1,2
Sumber: Carmel R (2006)

III. TRANSPORT DAN METABOLISME VITAMIN B12

Vitamin B12 yang masuk ke dalam darah melalui membran sangat


sedikit dan tergantung pada beberapa protein pengikat untuk transport. Segera
setelah vitamin B12 diserap masuk ke dalam saluran darah, transport dan
penggunaannya tergantung pada protein spesifik pengikat kobalamin (cobalamin-
binding protein) yang disebut transcobalamin II (TC II) atau sering disebut TC.
Sedangkan transcobalamin I (TC I) juga berperan mengikat kobalamin dalam
darah namun perannya belum dapat dijelaskan (Carmel R 2006). Kobalamin dari
TC I yang masuk ke empedu sekitar 1,4 μg per hari dan diperkirakan 70 %
diabsorpsi kembali dalam keadaan normal, sisanya dibuang melalui feses. TC II
disintesis oleh beberapa sel termasuk sel-sel khusus endhotelial. Gen
pembentuknya sama dengan IF tetapi berada pada kromosom yang berbeda. TC II
dengan cepat mengantar kobalamin ke semua sel dalam tubuh. Masa hidup holo-
TC II dalam plasma hanya 90 menit. Pertama sekali dan sebagain besar
kobalamin diantar ke hati, tetapi reseptor yang spesifik untuk TC II sebenarnya

Universitas Sumatera Utara


ditemukan pada semua sel dan dalam kompleks holo-TC II oleh pinocytosis
(Carmel R 2006).
Enzim yang mengandung vitamin B12 memindahkan kelompok methyl
dari methylfolate, sementara regenerasi tetrahydrofolat (THF) dari 5,10-
methylene THF diperlukan untuk sistesis thymidilate. Karena methylfolate
merupakan bentuk vitamin yang dominan dalam serum dan hati, dan karena hanya
methylfolate yang mengembalikan folat ke cadangan tubuh melalui proses yang
tergantung vitamin B12, maka bila terjadi defisiensi vitamin B12 akan
menyebabkan folat terperangkap sebagai methylfolate sehingga tidak dapat
digunakan untuk fungsi metabolik. Folat yang terperangkap akhirnya dapat
menyebabkan kerusakan hematologik akibat defisiensi vitamin B12 yang tidak
dapat dibedakan dari defisiensi folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan
kerusakan yang sama sebagai akibat dari ketidakcukupan 5,10-methylene THF
untuk berpartisipasi dalam pembentukan DNA (Herbert V 1996; Beck 2003;
Carmel R 2006).
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5 bahwa pada kondisi normal
penyerapan vitamin B12 dari pangan memerlukan kondisi lambung yang normal;
asam lambung dan enzim yang membebaskan vitamin B12 dari ikatan peptide
dalam pangan oleh proteolisis, kemudian vitamin B12 terikat pada protein saliva
dan sel-sel parietal lambung mengeluarkan intrinsic factor suatu glikoprotein
yang penting untuk absorbsi vitamin B12 dari usus halus. Penyerapan yang
normal juga membutuhkan kondisi pankreas yang normal sehingga tripsin dan
bikarbonat (yang dihasilkan pada pH lebih dari 8) dapat memisahkan vitamin b12
dari protein saliva dan kemudian berikatan dengan intrinsic factor, dan akhirnya
pada kondisi ileum yang normal reseptor sel pemukaan dapat menangkap vitamin
B12 yang terikat pada intrinsic factor dengan batuan ion kalsium. Bila terjadi
gangguan pankreas sehingga ion kalsium tidak tersedia maka penyerapan vitamin
B12 akan terganggu (Herbert V 1996). Penyerapan vitamin B12 dapat diperbaiki
dengan memberikan kalsium, bikarbonat atau cairan pankreas yang dapat
meningkatkan ketersediaan kalsium. Pentingnya kalsium dalam penyerapan
vitamin B12 telah dijelaskan pada suatu studi yang menunjukkan bahwa
penyerapan vitamin B12 yang terganggu akibat penggunaan obat diabetes

Universitas Sumatera Utara


(metformin) karena mengikat kalsium akhirnya dapat diperbaiki dengan
pemberian susu yang kaya kalsium atau tablet kalsium karbonat (Herbert V 1996).

REABSORPTION
INGESTION
(Enterohepatic
1 circulation
Food B 12
*MDR – 0,1 g daily Acid 2
1. Unch Enzymes PH > 6
anged (Food B 12 – 1F Complex) ++
Food B 12 – 1F -
2. Oxidi 1F Ca Surface
Trypsin receptor

TRANSPORT *Releasing
3 Factor
5 ABSORPTIO
8 B 12 - TC
X - B 12 - TC II ++
X - B 12 - TC II B 12 B 12
- Ca In serum B 12 - TC I & Coenzymes
Surface 6 B 12 - TC III
4
ILEAL
Methil B 12 – EPITHELIAL CELL
9 B 12 - binding  7
in serum
DELIVERY EXCRETION
Bile, saliva,
Urine, etc
Methyl - B 12
Other B 12 Forms

14
Succinyl – CoA
oxidation B 12 Methylmalonyl –
+++
B 12* (Co ) Deoxyadenosyl B 12 13 CoA – Mutase

B 12* Reductase L-Methylmalonyl -


DPNH CoA
10
PPPi
B 12* (Co Deoxyadenosyl
12
++ transferase
ATP
B 12* 11
Reductas
e
+
B 12* (Co )
Methionine
Methyl transferase 16
Homocysteine Methyl THF
15
AMe
Methyl

THF TISSUE CELL

Gambar 5 Metabolisme vitamin B12 pada manusia (Herbert V 1996)

Universitas Sumatera Utara


Setelah proses uptake, kobalamin dipisahkan dalam endosom dan masuk
ke sitoplasma terutama berbentuk methylcobalamin, atau diambil oleh
mitokondria. Methylcobalamin diikat oleh methionine synthase dan membantu
remetilasi homocysteine. Deoxyadenosyl cobalamin dalam mitokondria diikat
oleh methylmalonyl-CoA-mutase dan berperan dalam metabolisme propionat.
Tidak ada protein pengikat intraseluler lain yang diidentifikasi untuk kobalamin,
dan tidak ada juga peran metabolik (Herbert V 1996; Carmel R 2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa ginjal juga kaya akan reseptor TC II, yang berperan
penting dalam meminimalkan kehilangan kobalamin melalui urin.
Vitamin B12 dapat disimpan dalam hati. Total simpanan tubuh pada
subyek omnivore dalam keadaan sehat sekitar 2 – 3 mg. kehilangan vitamin B12
dapat terjadi melalui desquamasi epithelium dan sekresi dalam empedu. Sebagian
besar vitamin B12 yang disekresi empedu diabsorbsi kembali dan dapat
digunakan untuk fungsi metabolik. Kehilangan pada orang dewasa diperkirakan
1–3 μg/hari (sekitar 0.1 % dari cadangan dalam tubuh). Jumlah pengeluaran
vitamin B12 melalui stool proporsional dari cadangan tubuh, sehingga
perkembangan defisiensi lebih lambat pada orang yang kekurangan vitamin B12
misalnya vegetarian dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai intrinsic
factor atau yang mengalami malabsorbsi (Gibson 2005).

IV. DEFISIENSI VITAMIN B12

Defisiensi vitamin B12 adalah kondisi yang menunjukkan bahwa jumlah


vitamin B12 tidak cukup untuk melakukan fungsi biokimia secara normal. Proses
defisiensi vitamin B12 terjadi secara bertahap yang diawali dari penurunan
cadangan tubuh yang disebut dengan deplesi, namun pada saat ini fungsi biokimia
belum terganggu. Tahap awal defisiensi vitamin B12 ketika terjadi keseimbangan
negatif yang dapat dideteksi dengan penurunan persentase kejenuhan serum TC II.
Keseimbangan negatif merupakan gambaran situasi dimana jumlah vitamin B12
yang diabsorbsi menurun sampai dibawah jumlah yang hilang setiap hari (Herbert
V 1996). Keseimbangan negatif dengan cepat menyebabkan deplesi, dan bila
tidak dilakukan penambahan akan berlanjut menjadi defisiensi (Tabel 2).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2 Tahapan perkembangan status vitamin B12
dari normal sampai defisiensi

Keseimbangan negatif
Deplesi Defisiensi
Stage I Stage II Stage III Stage IV
Normal Early B12 Damaged Clinical
Negative Depletion Metabolism Damage
B12 B12 Deficient B12 Deficiency
Balance Erytropoiesis Anemia
HoloTC II (pg/mL) > 50 Low Low Low Low
TC II % sat. >5% <4% <4% <4% <4%
Holohap (pg/mL) > 180 > 180 < 150 < 100 < 100
dU suppression Normal Normal Normal Abnormal Abnormal
Hypersegmentation No No No Yes Yes
TBBC % sat. > 15 % > 15 % > 15 % < 15 % < 10 %
Hap % sat. > 20 % > 20 % > 20 % < 20 % < 10 %
RBC folate (ng/mL) > 160 > 160 > 160 < 140 < 100
Erythrocytes Normal Normal Normal Normal Macroovalocytic
MCV Normal Normal Normal Normal Elevated
Hemoglobin Normal Normal Normal Normal Low
TC II Normal Normal Normal Elevated Elevated
Methylmalonate Normal Normal Normal High High
Homocysteine Normal Normal Normal High High
Myelin Damage No No No ? Frequent
Sumber: Herbert V (1996)

Serum holoTCII yang rendah dapat dijadikan sebagai indikator awal


terjadinya keseimbangan negative vitamin B12 dan dapat dijadikan sebagai
pengganti Schilling test dan suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 yang
dibawa ke seluruh sel-sel pembentuk DNA (Herbert V 1996). Selanjutnya jika
keseimbangan negatif terjadi dalam waktu yang lama, akan terjadi deplesi vitamin
B12 yang ditandai dengan penurunan konsentrasi holohaptocorin sampai dibawah
150 pg/mL akan tetapi fungsi biokimia masih normal. Keadaan keseimbangan
negatif ini ditemukan juga pada kelompok usia lanjut dengan konsentrasi vitamin
B12 serum yang rendah yaitu < 221 pmol/L atau < 300 pg/mL, sehingga angka ini
juga dapat dijadikan sebagai indikator keseimbangan negatif (Herbert V 1996;
Sauberlich HE 1999).

Universitas Sumatera Utara


Defisiensi vitamin B12 secara klinis menyebabkan kerusakan sistem
hematopoitik sama seperti pada defisiensi asam folat. Macro-ovalocytic
erythrocytes sebagai petunjuk sel darah merah tidak normal, dan terjadi penurunan
hemoglobin. Pada keadaan ini terjadi juga peningkatan kadar methylmalonic acid
(MMA) pada urin namun tidak ditemukan pada anemia akibat defisiensi asam
folat (Gibson 2005).
Defisiensi vitamin B12 merupakan akibat dari kerusakan reaksi enzim
yang memerlukan vit B12. Kerusakan aktifitas pembentukan methionine synthase
dapat meningkatkan level homosistein, sementara kerusakan aktifitas L-
methylmalonyl-CoA mutase menyebabkan peningkatan metabolit dari
methylmalonyl-CoA yang disebut methylmalonic acid (MMA). Seseorang yang
mengalami defisiensi vitamin B12 ringan tidak akan terlihat gejalanya walaupun
level homosistein dan MMA dalam darah meningkat (Gibson 2005; Herbert V
1996).
Akibat dari defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan dalam
tubuh yang disebut sebagai gejala atau efek klinik. Gejala klinik dari defisiensi
vitamin B12 dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu gejala hemotologik,
neurologik dan gastrointestinal, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Gejala hematologik.
Gejala hematologik akibat defisiensi vitamin B12 tidak dapat dibedakan
dari defisiensi folat, yaitu terjadinya anemia megaloblastic disertai gejala anemia
klasik seperti berkurangnya energi dan kemampuan fisik, lemah, sesak nafas, dan
jantung berdebar (Gibson 2005; http//www.parhealth.com/druginfo). Aktifitas
yang berkurang pada methyonine synthase saat defisiensi vitamin B12
menghambat regenerasi tetrahydrofolate (THF) dan menjebak folat dalam bentuk
yang tidak dapat digunakan oleh tubuh, menghasilkan gejala defisiensi folat
padahal folat sebenarnya cukup. Jadi, dalam keadaan defisiensi keduanya (folat
dan vitamin B12) folat tidak tersedia untuk pembentukan DNA. Kerusakan
sintesis DNA ini menyebabkan kecepatan pembelahan sel-sel tulang belakang
lebih cepat dari sel-sel lain, menyebabkan sel-sel darah merah berukuran besar,
tidak matang dan miskin hemoglobin. Keadaan ini disebut anemia megaloblastic
dan gejala untuk penyakitnya disebut anemia pernisius. Suplementasi dengan

Universitas Sumatera Utara


asam folat akan memberikan folat yang cukup untuk digunakan dalam
pembentukan sel-sel darah merah dalam kondisi normal. Namun jika defisiensi
vitamin B12 yang merupakan penyebabnya, hasilnya akan tetap anemia. Jadi,
anemia megaloblastik tidak selalu harus diperbaiki dengan pemberian asam folat
hingga penyebab yang sebenarnya ditetapkan. Karena penurunan (deplesi)
cadangan vitamin B12 tubuh lebih lambat dibandingkan folat, menyebabkan
gejala klinik defisiensi vitamin B12 juga lebih lama muncul. Pada saat terjadi
perubahan biokimia, gejala klinik belum muncul hingga beberapa bulan bahkan
beberapa tahun setelah proses yang menyebabkan defisiensi (misalnya
malabsorbsi) dimulai. Sedangkan perubahan akibat defisiensi folat sudah muncul
dalam beberapa minggu (Carmel R 2006).
2. Gejala Neurologis
Gejala-gejala neurologis defisiensi vitamin B12 meliputi kehilangan rasa,
rasa geli pada tangan dan kaki, susah berjalan dan melangkah tidak normal,
kejang, lekas marah, depresi, dan perubahan kognitif seperti kehilangan
konsentrasi dan ingatan (memory), serta dimensia, disorientasi, namun umumnya
tanpa perubahan kejiwaan (http://www.parhealth.com/druginfo). Walaupun
kemajuan komplikasi neurologik secara umum bertahap, gelaja-gejala tersebut
tidak selalu dapat dikembalikan dengan pemberian vitamin B12 apalagi gejala
tersebut sudah muncul lama. Komplikasi neurologik tidak selalu berhubungan
dengan anemia megaloblastic dan yang mengalami gejala defisiensi vitamin B12
secara klinis hanya sekitar 25 persen kasus. Walaupun defisiensi vitamin B12
diketahui merusak lapisan myelin pada syaraf-syaraf cranial, spinal dan periperal,
proses biokimia yang mempengaruhi kerusakan neurologik belum dipahami
dengan baik (http:/lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12). Efek
neurologik defisiensi vitamin B12 dapat terjadi tanpa anemia, terutama pada orang
tua diatas 60 tahun. Pada dasarnya defisiensi vitamin B12 mempengaruhi syaraf
peripheral dan berlanjut sampai ke spinal cord (http//www.eatright.org).
3. Gejala Gastrointestinal
Sakit lidah, kehilangan selera makan, dan konstipasi telah dihubungkan
dengan defisiensi vitamin B12. Kebenaran dari gejala ini belum jelas, tetapi
mungkin dapat dikaitkan dengan peradangan lambung yang ditemukan pada

Universitas Sumatera Utara


banyak kasus desisiensi vitamin B12, atau Peningkatan kemampuan menyerang
dari kecepatan pembelahan sel-sel gastrointestinal untuk merusak sintesis DNA.
Efek defisiensi vitamin B12 terhadap gastrointestinal menyebabkan sering diare
dan konstipasi, sakit di bagian perut, kembung, dan luka pada lidah. Anoreksia
dan kehilangan berat badan juga merupakan gejala umum kekurangan vitamin
B12. Bahkan ada pendapat bahwa kehilangan kemampuan mendengar (tuli)
karena pertambahan usia juga berhubungan dengan status vitamin B12 dan folat
yang miskin (http://www.parhealth.com/druginfo).
Masih sedikit diketahui tentang prevalensi defisiensi vitamin B12 terutama
pada anak-anak. Namun, karena vitamin B12 hanya terdapat pada pangan
hewani, diperkirakan angka defisiensi vitamin B12 tinggi pada anak-anak yang
jarang atau sedikit makan makanan hewani seperti daging, telur dan susu.
Penelitian di Kenya (Siekmann JH et al 2003) terhadap 555 anak sekolah (5-14
th) menunjukkan 80,7 % anak mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat
dan sedang. Pemberian makanan tambahan di sekolah berupa daging (60-85 g/hr)
dan susu (200-250 ml/hr) atau energi (kalori dari daging dan susu 240-300 Kal/hr)
selama satu tahun ajaran. Sampel darah dan tinja dikumpulkan 2 kali yaitu pada
waktu sebelum dan sesudah satu tahun intervensi untuk menilai parasit pada tinja,
malaria, Hb, serum atau plasma C-reactive protein,ferritin, Zn, Cu, vitamin B12,
folat dan retinol, riboflavin eritrosit. Pada saat baseline, ditemukan prevalensi
yang tinggi untuk defisiensi gizi mikro (Fe, Zn, vitamin A, vitamin B12, dan
riboflavin), dan ferritin rendah pada beberapa anak. Pada akhir intervensi,
plasma vitamin B12 meningkat secara signifikan pada anak yang diberi makan
daging dan susu, prevalensi defisiensi vitamin B12 turun dari 80,7 % menjadi
64,1 % pada kelompok intervensi daging dan 71,6 % menjadi 45,1 % pada
kelompok intervensi susu. Tidak ada perbaikan yang signifikan pada status gizi
mikro lainnya. Kesimpulan yang dapat diperoleh bahwa suplemen dengan
sejumlah kecil daging dan susu dapat menurunkan prevalensi defisiensi vit B12
pada anak-anak.
Rogers LM et al (2003) berdasarkan hasil penelitiannya di Guatemala
terhadap 553 anak sekolah usia 8 sampai 12 tahun dari keluarga sosial ekonomi
rendah menemukan 11 % anak mempunyai kobalamin plasma yang rendah dan

Universitas Sumatera Utara


22 % mempunyai kobalamin plasma yang marginal. Peningkatan serum
methylmalonic acid (MMA) dan homosistein plasma lebih tinggi pada anak
dengan kobalamin plasma yang rendah dan marginal dibandingkan dengan anak
yang mempunyai kobalamin plasma normal.
Kasus yang ditemukan di Georgia tahun 2001 menunjukkan bahwa anak
yang diberi ASI oleh ibu vegetarian didiagnosa mengalami defisiensi vitamin
B12, menderita anemia makrositik, dan kerusakan sistem syaraf serta
keterlambatan perkembangan mental (CDC 2003). Penelitian lain terhadap anak-
anak penderita cacing di Spanyol yang dilakukan oleh Olivares et al (2002)
menunjukkan bahwa anak yang terinfeksi cacing giardia lamblia dan enterobius
vermicularis mempunyai kadar vitamin B12 yang lebih rendah dibandingkan
dengan anak yang tidak terinfeksi cacing. Hal ini berhubungan dengan gangguan
penyerapan pada mukosa usus. Oleh karena itu, untuk kasus infeksi parasit selain
penanggulangan infeksi cacing perlu juga dilakukan suplementasi vitamin B12.
Penelitian Allen LH et al (1995) terhadap anak-anak dan dewasa di mexico
menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin B12 yang dinilai berdasarkan
plasma viatmin B12 berkisar antara 19 % sampai 41 %, sementara status plasma
folat normal untuk semua individu. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat 62 %
ibu menyusui yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 ASI rendah.
Beberapa penelitian di Indonesia tentang status vitamin B12 sudah mulai
dilakukan sejak tahun 70 an walaupun masih terbatas pada orang dewasa.
Penelitian Martoatmodjo S dkk (1973) dari Pusat penelitian Gizi dan Makanan
Depkes RI, menunjukkan bahwa terdapat 28 % wanita hamil di daerah Jawa Barat
mengalami kekurangan vitamin B12. Penelitian lain dilakukan oleh Shybli UF
(1999) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, bahwa
pada penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) ditemukan 30 % kasus defisiensi
vitamin B12 dan 82 % defisiensi asam folat. Hal yang sama juga ditemukan pada
nonpenderita PJK yaitu 30 % defisiensi vitamin B12 dan 83 % defisiensi asam
folat. Sehingga Shybli menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara
defisiensi vitamin B12 dan defisiensi folat dengan kadar homocysteine.
Beberapa penelitian di luar negeri terutama di negara maju lebih banyak
mengungkap masalah defisiensi vitamin B12 pada kelompok dewasa dan usia

Universitas Sumatera Utara


lanjut dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini kemungkinan karena anak-anak
umumnya mempunyai kebiasaan makan pangan hewani dan minum susu sehingga
risiko terjadinya defisiensi gizi mikro termasuk vitamin B12 rendah. Sementara
pada kelompok dewasa dan lanjut usia risiko defisiensi vitamin B12 lebih besar
karena pada usia ini mulai mengurangi konsumsi pangan hewani terkait dengan
risiko kolesterol disamping kemampuan penyerapan za-zat gizi juga mulai
menurun. Hin H et al (2006) berdasarkan penelitiannya di Inggris menunjukkan
bahwa terdapat 13 % dari partisipan yang berusia lanjut mengalami defisiensi
vitamin B12. Dengan pemberian intervensi suplemen 1000 mikrogram
intramuskuler per bulan dapat memperbaiki status biokimia vitamin B12
walaupun secara klinis tidak dapat diperbaiki. Penelitian Clarke R et al (2003) di
Inggris menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 10 % pada usia 65-74
tahun dan 20 % pada usia diatas 75 tahun. Selanjutnya berdasarkan penelitiannya
pada usia lanjut di Inggris (Clarke R et al 2004) menemukan bahwa prevalensi
defisiensi vitamin B12 meningkat dengan bertambahnya umur. Defisiensi vitamin
B12 ditemukan pada 1 dari 20 orang yang berumur 65-74 tahun dan 1 dari 10
orang yang berumur diatas 75 tahun. Hao Ling et al (2003) dari China
mengemukakan prevalensi defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa berumur 35-
64 tahun sebesar 11 % di China bagian Selatan dan 39 % di China bagian Utara,
yang selanjutnya mengatakan prevalensi defisiensi vitamin B12 lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria. Sementara Tucker KL et al (2000) berdasarkan
penelitiannya pada orang dewasa berumur diatas 26 tahun menemukan 39 %
mempunyai kadar vitamin B12 plasma < 350 pg/mL.
Berikut ini dikemukakan beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
defisiensi vitamin B12, antara lain :
1. Vegetarian
Orang yang hanya mengkonsumsi pangan nabati (vegetarian) mempunyai
resiko kekurangan vitamin B12 karena tanaman tidak mengandung vitamin B12.
Dengan kata lain vitamin B12 hanya ada dalam pangan hewani. Hal ini dapat
dilihat dari bayi yang diberi ASI eksklusif oleh ibu penganut vegetarian
mengalami gejala defisiensi vitamin B12 pada beberapa bulan pertama setelah
dilahirkan (Brody 1999; American Dietetic Association http//www.eatright.org).

Universitas Sumatera Utara


Oleh karena itu vegetarian dianjurkan untuk memasukkan tempe dan pangan yang
difortifikasi vitamin B12 ke dalam menu makanan sehari-hari.
Gao X et al (2003) dalam penelitian pola makan pada populasi perkotaan
di China menunjukkan bahwa lebih dari 40 % dari kelompok dengan pola sereal
mempunyai plasma homosistein yang tinggi dan konsentrasi asam folat plasma
rendah, 67 % mempunyai konsentrasi plasma vitamin B12 rendah. Pola sereal
mempunyai risiko 4 dan 5.2 kali lebih mungkin mempunyai homosistein yang
tinggi dan vitamin b12 yang rendah dibandingkan kelompok dengan pola buah
dan susu.
2. Anemia Pernisius
Gangguan penyerapan (malabsorbsi) vitamin B12 dapat terjadi selama
proses pencernaan. Suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi
adalah penyakit auto-immun, disebut anemia pernisius. Pada sebagian besar kasus
anemia pernisius, antibodi yang dihasilkan menyerang sel-sel parietal yang
menyebabkan sel parietal tersebut atropi, sehingga kehilangan kemampuan untuk
menghasilkan faktor intrinsik, yang berfungsi mengeluarkan asam hidroklorik.
Anemia pernisius juga terjadi karena ketidakmampuan mengabsorbsi vitamin B12
yang dihasilkan oleh empedu. Diperkirakan vitamin B12 yang dikeluarkan oleh
empedu sekitar 0,3 – 0,5 g/hari. Keadaan ini disebut sirkulasi enterohepatik
vitamin B12 yang menyebabkan tubuh mengalami keseimbangan negatif untuk
vitamin. Walaupun vitamin B12 dalam tubuh cukup untuk persediaan selama 3-5
tahun, anemia pernisius menyebabkan gangguan absorbsi vitamin yang baru
dikonsumsi, ditambah lagi kehilangan vitamin karena keseimbangan negatif. Bila
cadangan vitamin B12 berkurang, akhirnya tahapan defisiensi terjadi sangat cepat,
dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian dalam beberapa bulan
(FAO/WHO 2001; American Dietetic Association http://www.eatright.org).
Anemia pernisius sebagai penyebab defisiensi vitamin B12 merupakan kasus yang
jarang terjadi, mungkin pengaruhnya hanya 1 persen sampai beberapa persen pada
kelompok lanjut usia.
3. Atrophic gastritis
Anggapan terbaru mengatakan bahwa masalah yang lebih umum adalah
hypochlodhydria yang berkaitan dengan atropic gastritis, dimana semakin

Universitas Sumatera Utara


bertambah umur terjadi penurunan kemampuan sel parietal untuk mensekresi
asam hidroklorik (FAO/WHO 2001; American Dietetic Association
http//www.eatright.org). Diperkirakan lebih dari seperempat jumlah lanjut usia
mempunyai berbagai tingkat hypochlodhydria sebagai hasil atrophic gastritis.
Selain itu ada anggapan bahwa pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada
lambung dan usus pada individu yang menderita atrophic gastritis dapat
menurunkan penyerapan vitamin B12. Atrophic gastritis tidak mencegah
penyerapan kembali vitamin yang dikeluarkan empedu, oleh karena itu tidak
menyebabkan keseimbangan negatif sebagaimana terjadi pada penderita anemia
pernisius. Namun, bila terjadi dalam waktu yang lama, jumlah vitamin yang
diabsorbsi dari makanan berkurang akhirnya cadangan vitamin B12 akan habis,
selanjutnya dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12.
4. Konsumsi alkohol berlebih
Orang yang mengkonsumsi alkohol berlebih cenderung mengalami
kekurangan beberapa zat gizi esensial termasuk vitamin B12 (American Dietetic
Association, http//www.eatright.org; Nutrion.gov; http//nutrition.gov).

V. KEBUTUHAN DAN SUMBER PANGAN VITAMIN B12

Hanya sedikit vitamin B12 yang dapat disimpan dalam tubuh. Total
simpanan dalam tubuh sekitar 2-5 mg pada orang dewasa, sekitar 80 % disimpan
dalam hati. Vitamin B12 yang masuk dalam empedu dapat diserap kembali secara
efektif, yang disebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Kelebihan vitamin B12
dikeluarkan melalui ginjal dalam jumlah yang bervariasi mulai dari 1 – 10 μg/hari.
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan
vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari, pada usia 4 –12 tahun
sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 μg/hari.
Sedangkan ibu hamil dan menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2
μg/hari dan 0,4 μg/hari (Tabel 3). Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan
hewani, seperti daging, susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain. Menurut Sauberlich
HE (1999) pangan hewani satu-satunya sumber vitamin B12 dalam penyediaan
pangan. Daging menyumbang sekitar 69 persen, susu 21 persen, dan telur 8,5
persen. Sereal yang difortifikasi dengan vitamin B12 hanya menyediakan sedikit

Universitas Sumatera Utara


sekali vitamin ini yaitu sekitar 1,6 persen. Sedangkan pangan nabati tidak
mengandung vitamin B12, kecuali yang terkontaminasi oleh mikroorganisme
yang diperoleh dari tanah seperti bakteri dan ragi. Salah satu pangan hasil olahan
melalui proses fermentasi adalah tempe ternyata mengandung vitamin B12
sehingga tempe merupakan pangan yang baik sebagai sumber vitamin B12.
Vitamin B12 dalam tempe tidak dibentuk oleh ragi yang ditambahkan saat
pembuatan tempe akan tetapi dibentuk oleh bakteri kontaminan jenis klebsiella
(http://www.ivs-online.org). Namun demikian belum diteliti lebih lanjut tentang
bioavailabilitas dari vitamin B12 yang ada dalam tempe.

Tabel 3 Kecukupan vitamin B12 berdasarkan kelompok umur

Kelompok Umur AKG (μg/hr)


0 - 6 bl 0,4
7 - 12 bl 0,5
1 - 3 th 0,9
4 - 6 th 1,2
7 - 9 th 1,5
Pria
10 - 12 th 1,8
13 - 15 th 2,4
16 - 18 th 2,4
19 - 29 th 2,4
30 - 49 th 2,4
50 - 64 th 2,4
65 + th 2,4
Wanita
10 - 12 th 1,8
13 - 15 th 2,4
16 - 18 th 2,4
19 - 29 th 2,4
30 - 49 th 2,4
50 - 64 th 2,4
65 + th 2,4
Ibu hamil (+an)
- Trimester 1 0,2
- Trimester 2 0,2
- Trimester 3 0,2
Ibu menyusui (+ an)
- 6 bulan pertama 0,4
- 6 bulan kedua 0,4
Sumber: Setiawan B & Rahayuningsih S (2004)

Universitas Sumatera Utara


VI. PENILAIAN STATUS VITAMIN B12

Status vitamin B12 dalam tubuh dapat ditentukan dengan menggunakan


berbagai indikator dan metode penilaian. Berikut ini akan diuraikan beberapa
indikator dan jenis penilaian status vitamin B12 serta kekuatan dan kelemahan
setiap indikator..
1. Vitamin B12 dalam serum
Dari seluruh vitamin B12 dalam serum, 20 persen terikat pada protein
transport transcobalamin (TC II), sisanya 80 % merupakan ikatan campuran
glyco-protein B12, dikenal sebagai TC I dan TC III, dan akhirnya diketahui
sebagai haptocorrin (Herbert V 1996; Gibson 2005; Carmel R 2006). Menurut
Sauberlich HE (1999) konsentrasi vitamin B12 serum dapat memberi informasi
status gizi vitamin B12, karena cadangan vitamin B12 dalam tubuh yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 serum yang rendah. Sedangkan menurut
Herbert V (1996) pengukuran vitamin B12 dalam serum merupakan indikator
defisiensi vitamin B12 yang relatif terlambat karena pada keadaan normal 80 %
dari total vitamin B12 dalam serum terikat pada holohaptocorrin, dan hanya 20 %
yang yang terikat sebagai holotranscobalamin II dalam serum. Holohaptocorrin
menggambarkan vitamin B12 dalam cadangan tubuh (terutama di hati), yang
mengalami penurunan dengan lambat sesuai dengan terjadinya keseimbangan
negatif vitamin B12.
Serum holotranscobalamin II adalah protein yang bersirkulasi dalam darah
mengantar vitamin B12 ke sel-sel pembentukan DNA. Keseimbangan negatif
merupakan gambaran situasi dimana sejumlah vitamin B12 yang diabsorbsi setiap
hari menurun sampai di bawah jumlah yang hilang setiap hari. Keseimbangan
negatif yang cepat menyebabkan deplesi, jika tidak diperbaiki akan berlanjut
menjadi defisiensi. Serum holoTC II rendah merupakan indikator awal terjadinya
keseimbangan negatif, suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 untuk sintesis
DNA. Pada saat keseimbangan negatif terjadi, konsentrasi serum vitamin B12
menurun sampai nilainya antara 150 sampai 100 pg/mL; namun fungsi biokimia
masih dalam keadaan normal (Herbert V 1996).
Allen RH et al (1990) mengemukakan bahwa penilaian kobalamin serum
adalah tes diagnostik yang penting untuk defisiensi vitamin B12 terutama untuk

Universitas Sumatera Utara


tujuan screening karena sebagian besar pasien yang mengalami defisiensi vitamin
B12 secara klinis mempunyai level vitamin B12 serum yang rendah. Walaupun
pada akhirnya ada studi terbaru yang menunjukkan keadaan sebaliknya, dimana
orang yang mempunyai serum vitamin B12 rendah tidak selalu mengalami
defisiensi vitamin B12. Methylmalonic acid (MMA) dan homosysteine dalam
serum meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12. Namun akhirnya
diketahui juga bahwa homosysteine serum tidak spesifik karena tidak selalu
meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12 sedangkan methylmalonic acid
serum selalu meningkat. Oleh karena itu methylmalonic acid lebih tepat
digunakan sebagai indikator terjadinya defisiensi vitamin B12.
Penentuan cut off point untuk defisiensi vitamin B12 masih beragam
pendapat. Menurut Gibson (1990) konsentrasi serum vitamin B12 pada keadaan
normal untuk orang sehat berada pada kisaran 200 – 900 pg/mL (148 – 682
pmol/L). Nilai dibawah 100 pg/mL (74 pmol/L) selalu menunjukkan keadaan
defisiensi vitamin B12 dan dihubungkan dengan anemia megaloblastik.
Sedangkan FAO/WHO tahun 1988, merekomendasikan penggunaan cut off point
di bawah 80 pg/mL (59 pmol/L) untuk defisiensi vitamin B12. Menurut Gibson
(2005) total vitamin B12 serum adalah tes biokimia yang dapat digunakan secara
rutin untuk screening defisiensi vitamin B12 karena konsentrasinya
menggambarkan intik vitamin B12 dan sekaligus cadangan dalam tubuh, namun
sensitifitasnya rendah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian terhadap usia lanjut
yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 serum rendah sampai normal (111-295
pmol/L atau 150-400 pg/mL) mempunyai fungsi biokimia yang tidak normal.
Beberapa peneliti lain menggunakan cut off point 300 pg/mL sebagai batas bawah
keadaan normal untuk vitamin B12 (Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999;
Siekmann 2003; Eussen SJ et al 2006) dengan alasan bahwa pada batas tersebut
sering sudah mulai dapat ditemukan tanda-tanda klinis defisiensi vitamin B12.
Penilaian konsentrasi vitamin B12 serum dapat dilakukan dengan
“microbiological assay” dan “radioisotope dilution methods” atau disebut
“Radioassay”. Metode “radioisotope dilution methods” memberi hasil yang lebih
tinggi dari penilaian mikrobiologi. Metode radioisotop sangat sederhana,
memerlukan waktu yang singkat, dan tidak dipengaruhi oleh antibiotik atau

Universitas Sumatera Utara


kemoterapetik kanker (Gibson 2005). Metode lain yaitu AxSYM System yang
merupakan penilaian mikropartikel enzim intrinsic factor untuk menentukan
jumlah vitamin B12 dalam serum atau plasma manusia (Abbott Laboratories
2005).

2. Vitamin B12 dalam eritrosit


Penilaian eritrosit untuk vitamin B12 mempunyai keterbatasan, beberapa
hasil diperoleh dengan nilai yang tidak dapat membedakan antara kondisi subyek
normal dengan defisiensi. Selain itu konsentrasi vitamin B12 eritrosit juga
cenderung rendah pada saat terjadi defisiensi folat karena vitamin B12 berperan
penting untuk pemanfaatan folat oleh se-sel darah merah. Dengan demikian
vitamin B12 dalam eritrosit kurang spesifik (Gibson 2005).
3. Methylmalonic acid (MMA)
Methylmalonic acid (MMA) merupakan hasil dari methylmalonyl-CoA
yang terakumulasi bila terjadi defisiensi vitamin B12 yang membatasi aktifitas
methylmalonyl-CoA mutase. Konsentrasi MMA serum meningkat bila terjadi
defisiensi vitamin B12, tetapi tidak terjadi pada defisiensi asam folat. Ekskresi
MMA melalui urin juga meningkat bila terjadi defisiensi vitamin B12 (Sauberlich
HE 1999). Sehingga konsentrasi methylmalonic acid dalam urin dan serum sering
digunakan untuk screening defisiensi vitamin B12. Peningkatan konsentrasi
methylmalonic acid dalam serum atau plasma merupakan indikator awal
terjadinya defisiensi vitamin B12. Pengukuran serum MMA telah berhasil
mengidentifikasi subyek dengan defisiensi vitamin B12, bahkan dengan defisiensi
subklinik. Pengukuran MMA lebih sensitif untuk mengukur defisiensi vitamin
B12 dibandingkan dengan pengukuran konsentrasi vitamin B12 serum.
Menurut Bolann et al (2000) untuk diagnostik awal status vitamin B12
dapat dilakukan melalui penilaian kobalamin serum. Bila dengan diagnostik
tersebut tidak dapat diperoleh hasil yang jelas, maka dilakukan pengujian kadar
MMA dan homocystein yang akan memberikan pembedaan tambahan, yang
berarti MMA lebih spesifik untuk penilaian status vitamin B12.
Secara tradisional ada anggapan bahwa status vitamin B12 yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 dalam serum atau plasma yang rendah.

Universitas Sumatera Utara


Namun akhir-akhir ini pendapat tersebut telah dibantah oleh beberapa ahli yang
mengatakan bahwa proporsi orang yang mempunyai level vitamin B12 normal
kenyataannya mengalami defisiensi vitamin B12. Selanjutnya dikatakan bahwa
peningkatan homocysteine plasma dan MMA plasma lebih sensitif sebagai
indikator status vitamin B12 (FAO/WHO 2001). Hal ini didukung oleh Klee
(2000) yang mengatakan bahwa homocysteine dan methylmalonicacid adalah
indikator metabolik yang paling baik untuk defisiensi vitamin B12 dan folat pada
level jaringan. Namun, dikatakan juga bahwa belum ada “gold standard” untuk
mendiagnosis kondisi kelainan vitamin B12, dan masih ditemukan kontroversi
dalam pemilihan diagnostik tersebut.
Methylmalonic acid (MMA) dapat diukur dengan metode gabungan “gas-
chromatography mass-spectrometry” dalam serum dan urin (Carmel R 2004;
Gibson 2005). Metode ini sangat sensitif dan reliabel untuk mengukur
methylmalonic acid dalam urin. Namun, tehnik mengukurannya agak sulit dan
waktunya lama karena memerlukan sampel urin selama 24 jam. Sedangkan
sampel urin sesaat dapat digunakan untuk keperluan screening. Pada kondisi
normal 1,5 sampai 2 mg mehyilmalonic acid yang dikeluarkan melalui urin per 24
jam, sedangkan bila terjadi defisiensi vitamin B12 dapat mencapai 300 mg per 24
jam (Gibson 2005). Konsentrasi MMA serum dikategorikan normal bila
konsentrasi MMA serum < 638 nmol/L, kadar MMA serum  638 nmol/L
dikategorikan defisiensi vitamin B12 (Sauberlich HE 1999).
4. Homocysteine
Homocysteine adalah bentuk antara dari metabolisme asam amino esensial
yang mengandung sulfur yaitu methionine. Homocycteine akan dirubah kembali
menjadi methionine pada proses remetilasi yang tergantung pada folat dan
kobalamine, atau transformasi menjadi cysteine melalui enzim yang tergantung
pada vitamin B6 yaitu cystathionine B synthase. Namun konsentrasi
homocysteine plasma tidak dapat menunjukkan apakah subyek defisiensi vitamin
B12 atau folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan peningkatan total
homocysteine plasma. Kelebihan intik protein dan methionine dapat
meningkatkan homocysteine dalam plasma dengan meningkatkan sintesis
homocysteine (Sauberlich HE 1999). Dengan demikian kadar homocysteine

Universitas Sumatera Utara


plasma kurang spesifik sebagai indikator defisiensi vitamin B12. Konsentrasi total
homocysteine plasma dapat diukur dengan “fluorescent atau electrichemical
detection”, prosedur “enzymatic” atau dengan metode “capillary gas
chromatography mass spectrometry” (Gibson 2005).

5. Deoxyuridine suppression test (DxdUST)


Penilaian ini digunakan untuk mendeteksi defisiensi vitamin B12 dan/atau
folat. Dalam penilaian ini, sum-sum tulang, lymposit darah periperal, atau
sampel darah keseluruhan dari individu dipreinkubasi dalam tes tube dengan
nonradioaktif deoxyuridine dan kemudian dengan prekursor radioaktif DNA
(Herbert V 1996; Gibson 2005).
Penilaian dengan Deoxyuridine suppression test ini telah digunakan
dalam beberapa penelitian. Namun prosedurnya agak sedikit lambat dan
membosankan untuk dilakukan, tidak praktis dan tidak reliable untuk digunakan
secara luas (Sauberlich HE 1999; Gibson 2005).
6. Schilling test
Bila defisiensi vitamin B12 telah didiagnosa, hal yang penting diketahui
adalah apakah penyebabnya gangguan penyerapan. Hal ini dapat diperoleh
dengan menentukan absorbsi pemberian dosis rendah secara oral (0,5 – 2 μg)
dalam keadaan puasa, dengan mengukur pengeluaran dari urin. Prosedur ini
disebut dengan “Schilling test”. Namun schilling test mempunyai beberapa
kelemahan antara lain tes ini tidak mempunyai standar yang baik diantara
laboratorium; waktu yang diperlukan cukup lama sejak diberi dosis oral sampai
dikeluarkan melalui urin, level isotop dosis, dan lamanya pengumpulan urin
(Gibson 2005).
Berdasarkan uraian diatas tentang beberapa indikator penilaian status
vitamin B12 berikut pada Tabel 4 diuraikan secara ringkas kekuatan dan
kelemahan berbagai metode dan indikator penilaian status vitamin B12. Dari
beberapa jenis indikator dan metode penilaian status vitamin B12 yang dijelaskan
masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, dengan demikian dalam
pemilihan indikator atau metode yang digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan
penelitian serta mempertimbangkan situasi dan kondisi subyek dan lapangan

Universitas Sumatera Utara


penelitian serta ketersediaan sarana pendukung seperti laboratorium beserta
peralatan dan metodenya.

Tabel 4 Kekuatan dan kelemahan beberapa indikator/metode


penilaian status vitamin B12

No Indikator /Metode Kekuatan Kelemahan

1 Vitamin B12 serum/ Metode sederhana, Hanya 20 % vitamin


Transcobalamin II (TC II) waktu singkat B12 yang terikat
Metode : Radioassay pada TC II, kurang
sensitif
2 Vitamin B12 dalam eritrosit - Kurang spesifik,
sulit dibedakan
dengan defisiensi
folat

3 Methylmalonic acid (MMA) Cukup Spesifik dan Teknik pengukuran


dalam serum atau urin Sensitif, Metode sulit, waktu relatif
Metode: gas chromatography- reliable lama, bila
mass spectrometry menggunakan urin
perlu sampel urin
selama 24 jam

4 Homocystein plasma - Kurang spesifik,


sulit dibedakan
dengan defisiensi
folat
5 Deoxyuridine suppression test - Prosedur agak
(DxdUST) lambat,
membosankan,
kurang praktis, dan
tidak reliable
6 Schilling test Dapat mengukur Belum ada standar
tingkat absorpsi yang baku,
waktunya lama

VII. HEMOGLOBIN DAN VITAMIN B12

Hemoglobin adalah suatu molekul protein dalam sel-sel darah merah yang
membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh, dan membawa
kembali karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Besi yang terkandung
dalam hemoglobin akan memberi warna merah pada darah. Sebagaimana
umumnya protein, “blueprint” untuk hemoglobin dibuat dalam DNA (bahan dasar

Universitas Sumatera Utara


pembentuk gen). Hemoglobin terbuat dari dua protein yang sama disebut “stick
together”. Kedua protein ini harus ada agar hemoglobin dapat mengambil dan
melepas oksigen secara normal. Komponen protein tersebut adalah Alpha dan
Betha. Pada saat seseorang belum lahir (janin) protein betha tidak ada, yang ada
protein gamma dan digantikan secara otomatis pada saat seseorang lahir
(http://sickle.bwh.harvard.edu/hemoglobin.html).
Level hemoglobin ditunjukkan sebagai jumlah hemoglobin dalam gram
per desiliter darah (g/dl). Batas normal hemoglobin tergantung pada umur dan
mulai remaja dibedakan menurut jenis kelamin. Bila kadar hemoglobin lebih
rendah dari batas normal maka seseorang disebut anemia. Batasan normal yang
digunakan di Indonesia yang ditetapkan oleh Depkes RI (2003) adalah :
 Anak balita : 11 g/dl
 Anak usia sekolah : 12 g/dl
 Wanita dewasa : 12 g/dl
 Pria dewasa : 13 g/dl
 Ibu hamil : 11 g/dl
 Ibu menyusui >3 bln : 12 g/dl

Dalam hubungannya dengan vitamin B12 dapat dijelaskan dari fungsi


vitamin B12 pada pembentukan hemoglobin. Vitamin B12 berperan sebagai
koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi biologis penting. Ada dua bentuk
koenzim tersebut yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5-
deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan
tubuh, dan makanan (Gibson, 2005). Salah satu fungsi vitamin B12 sebagai
kofaktor untuk L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim ini membutuhkan
adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-
CoA. Reaksi biokimia ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan
protein. Succinyl-CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan
pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen. Sehingga bila terjadi
terjadi kekurangan vitamin B12 dalam tubuh akan berpengaruh pada pembentukan
hemoglobin (Carmel R 2006; Herbert V 1996; Wardlaw G et al 1992). Penelitian
Kartika V dkk (1998) di Bogor menunjukkan bahwa intervensi melaui pemberian

Universitas Sumatera Utara


tablet yang berisi campuran besi, folat dan vitamin B12 paling efektif menurunkan
anemia defisiensi vitamin B12 dibanding tablet besi + vitamin B12 atau besi +
folat.

VIII. VITAMIN B12 DAN DAYA INGAT

Daya ingat (ingatan) anak merupakan suatu proses yang terjadi di otak
tentunya sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan organ otak dan bagaimana
stimulasi atau rangsangan diberikan agar otak dapat berkembang optimal
menjalankan fungsinya.
Keadaan gizi sejak janin dalam kandungan sampai bayi lahir dan usia dini
perlu terus dipertahankan secara optimal sampai anak usia sekolah, karena akan
berpengaruh pada perkembangan otak. Menurut Pollit (1990) apabila anak lahir
dengan berat badan rendah akan mengalami gangguan fungsi kognitif dan
kecerdasan intelektual pada usia sekolah. Kekurangan gizi pada masa bayi hingga
usia 2 tahun dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan
kemampuan motoriknya, bahkan dapat mengakibatkan cacat permanen.
Gizi yang tidak seimbang, gizi buruk, serta derajat kesehatan anak yang
rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan
menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, menyimpan,
memproduksi dan merekonstruksi informasi. Selanjutnya dikatakan bahwa
pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua mengasuh dan
memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun stimulasi
psikososial untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan
bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak pada
kondisi yang tidak baik. Keadaan gizi pada usia dini yang terus dipertahankan
secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar pada
perkembangan otak (Jalal F 2003)
Banyak penelitian yang menilai dampak defisiensi gizimikro pada
perkembangan anak merupakan pengaruh langsung, kemungkinan melalui
perubahan anatomi syaraf atau neurotransmission. Namun demikian, ada
kemungkinan lain bahwa perubahan perilaku berhubungan dengan defisiensi
gizimikro disamping perawatan anak, sehingga mempengaruhi perkembangan

Universitas Sumatera Utara


anak dimasa selanjutnya (Black 2003). Faktor yang berpengaruh terhadap sintesis
neurotransmitter di dalam syaraf antara lain keberadaan prekursor dan enzim-
enzim. Prekursor tersebut tidak dapat disintesis oleh otak sehingga harus
diperoleh dari sirkulasi darah. Kadar prekursor dalam plasma darah secara
normal berfluktuasi tergantung pada asupan makanan dan daya serap
(bioavailabilitas). Pada kondisi normal, peningkatan konsumsi makanan yang
mengandung prekursor akan menstimulasi pembentukan neurotransmitter.
Namun laju prekursor memasuki otak bervariasi sesuai dengan konsentrasinya
dalam plasma (Kanarek dan Mark-Kaufman 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa
sejumlah vitamin juga mempunyai peranan yang penting dalam mendukung
fungsi syaraf pusat dan perkembangan manusia. Vitamin ini meliputi tiamin,
niasin, piridoksin, cobalamin (vitamin B12), dan asam folat, yang sudah banyak
dibuktikan melalui penelitian terhadap hewan percobaan.
Vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat mempengaruhi fungsi kognitif
terutama melalui perannya sebagai kofaktor dalam pembentukan dan
pemeliharaan sistem syaraf pusat (Bryan J et al 2002) melalui dua proses
mekanisme. Pertama, disebut hipotesis hypomethyllation bahwa vitamin B secara
langsung mempengaruhi penghambatan penyediaan methyl yang diperlukan pada
reaksi-reaksi komponen sistem syaraf pusat seperti protein, pospolipid, DNA;
metabolisme neurotransmitter seperti monoamin (depamin, norepineprin, dan
serotonin), melatonin, yang berperan penting untuk status neurologi dan psikologi.
Kedua, hipotesis homosyistein, bahwa asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12
secara tidak langsung dan mungkin dalam waktu yang lama berpengaruh pada
otak melalui cerebrovasculature, dan berfungsi memelihara integritas sistem
syaraf pusat melalui perannya dalam mencegah penyakit vasculer, yang sangat
penting dalam fungsi kognitif.
Beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan antara defisiensi
vitamin B12 dengan penurunan fungsi kognitif pada subyek kelompok dewasa
dan usia lanjut telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Bryan J et al (2002) di
Australia menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dari supelemen
vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat terhadap kemampuan memori yang
diukur melalui kecepatan pemerosesan, kemampuan mengingat dan mengenal

Universitas Sumatera Utara


serta kemampuan verbal. Sedangkan penelitian Lewerin C et al (2005) pada
kelompok lanjut usia di swedia, menunjukkan bahwa plasma homosistein dan
serum Methyl Malonic Acid (MMA) yang tinggi berkorelasi terbalik dengan
kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Pemberian vitamin B12 secara
oral dapat menormalkan kadar plasma homosistein dan serum MMA, walaupun
tidak berpengaruh pada kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Hal ini
kemungkinan disebabkan penurunan fungsi kognitif saat kekurangan vitamin
tidak dapat dikembalikan (irreversible) atau mungkin dosis dan lama pemberian
yang kurang tepat. Penelitian lain oleh Ellen MW et al (2002) dari pusat
penelitian kedokteran University of Pittsburgh, mengemukakan bahwa subyek
dengan level vitamin B12 yang rendah secara signifikan mempunyai skor kognitif
yang lebih rendah dan skor demensia yang lebih tinggi dibandingkan subyek yang
mempunyai level vitamin B12 normal.
Selain berkaitan dengan defisiensi vitamin B12, penurunan fungsi kognitf
sering juga dihubungkan dengan zat gizi lain seperti asam folat yang merupakan
komponen penting dalam pembentukan hemoglobin disamping zat gizi lain.
Quadri P et al (2004) mengemukakan bahwa defisiensi folat dapat mendahului
terjadinya Alzheimer Disease (AD) dan Vascular Dementia (VaD).
Hiperhomosisteinemia atau tingginya kadar homosistein dalam darah juga
merupakan faktor risiko awal terjadinya penurunan kognitif pada lanjut usia,
walaupun perannya dalam demensia masih belum jelas sehingga masih diperlukan
studi longitudinal. Morris MS et al (2007) dalam penelitiannya pada kelompok
usia lanjut di Amerika menemukan bahwa status vitamin B12 yang rendah
berhubungan dengan anemia dan penurunan fungsi kognitif walaupun serum folat
tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa bila status vitamin B12 normal dan
konsentrasi folat tetap tinggi akan dapat mencegah penurunan fungsi kognitif. Hal
ini menunjukkan vitamin B12 berkaitan dengan fungsi kognitif. Hasil penelitian
Mooijaart SP et al (2005) menunjukkan peningkatan serum homosistein dan
penurunan asam folat dihubungkan dengan penurunan kognitif pada lanjut usia,
tetapi tidak dapat diprediksi besarnya penurunan kognitif tersebut. Namun
demikian penelitian lain oleh Eussen SJ et al (2006) menemukan bahwa
suplementasi oral dengan vitamin B12 atau dikombinasi dengan asam folat selama

Universitas Sumatera Utara


24 minggu pada lanjut usia tidak dapat memperbaiki fungsi kognitif. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif sulit dikembalikan menjadi
kondisi normal, sehingga yang paling baik dilakukan adalah pencegahan agar
tidak terjadi penurunan fungsi kognitif.
Hubungan antara defisiensi vitamin B12 dengan fungsi kognitif pada
anak-anak juga menjadi topik bahasan yang cukup menarik walaupun masih
terbatas. Studi kasus anemia bayi dan ibu ( yang tidak mampu menyerap vitamin
B12) atau ibu vegetarian. Bayinya akan berisiko untuk terhambatnya
perkembangan – milestones. Studi observasi anak-anak yang defisiensi vitamin
B12 dari ibu yang hanya mengkonsumsi pangan nabati di Belanda mengalami
hambatan perkembangan motorik dan bahasa dibandingkan dengan bayi dari ibu
yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani. Pada usia 12 tahun, anak-anak
dari ibu yang makan pangan nabati mempunyai tingkat ‘methilmalonic acid’ lebih
tinggi dan skor yang lebih rendah pada penilaian kognitif (termasuk Raven’s
progressive matrices, Digit Span dan Block Design) dibandingkan anak-anak dari
ibu yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani (Black 2003).
Penelitian Kustiyah (2004) terhadap murid sekolah dasar kelas empat, lima
dan enam di kabupaten Bogor, tentang pengaruh pemberian makanan kudapan
terhadap perubahan kadar glukosa darah, hemoglobin dan daya ingat anak. Daya
ingat anak diukur dengan metode mengingat kata dan gambar. Dari penelitian
tersebut diperoleh hasil bahwa pemberian makanan kudapan berpengaruh positif
nyata terhadap kadar glukosa darah. Sedangkan konsumsi protein dan zat besi
berpengaruh positif terhadap kadar hemoglobin. Dengan mengontrol variabel
konsumsi karbohidrat, konsumsi protein dan kadar hemoglobin, kadar glukosa
darah berpengaruh positif sangat nyata terhadap daya ingat anak terhadap
gambar. Sedangkan daya ingat terhadap kata dipengaruhi secara nyata oleh kadar
hemoglobin dan konsumsi energi.
Sungtthong R et al (2002) dalam studinya pada anak-anak sekolah di
Thailand menemukan bahwa terjadi peningkatan fungsi kognitif sejalan dengan
meningkatnya kadar hemoglobin pada anak yang mengalami defisiensi besi, akan
tetapi tidak terjadi perubahan kadar hemoglobin pada anak-anak yang mempunyai
serum ferritin normal. Anak-anak dengan anemia defisiensi besi mempunyai

Universitas Sumatera Utara


fungsi kognitif yang rendah (IQ point dibawah rata-rata), sedangkan anak-anak
yang tidak mengalami defisiensi besi dan kadar hemoglobinnya normal
mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik (IQ point diatas rata-rata).
Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, berikut ini pada Tabel 5 dapat
dilihat beberapa penelitian yang berkaitan dengan vitamin B12 dengan berbagai
disain dan subyek penelitian.

Tabel 5 Beberapa hasil studi tentang defisiensi vitamin B12 dengan berbagai
disain penelitian

No Sumber Tempat/ Disain, subyek Intervensi


negara
1 Eussen SJ et al Belanda Double blind placebo Suplemen kapsul
2006 controlled trial, 195 orang - 1000 μg vitamin B12
usia lanjut (≥ 70 tahun) - 1000 μg vitamin B12 +
400 μg asam folat
- selama 24 minggu

2 Hin H et al Inggris Cross sectional study Khusus yang mempunyai


2006 dilanjutkan intervensi 3 serum vitamin B12 < 133
bulan, 1000 orang usia pmol/L diberi suplemen
lanjut (≥ 75 tahun) 1000 μg intramuscular/
bulan selama 3 bulan

3 Eussen SJ et al Belanda Randimized parallel group Suplemen vitamin B12


2005 double blind dose finding secra oral, dosis 2.5, 100,
trial, 120 orang usia lanjut 250, 500, 1000 μg
selama 16 minggu

4 Dhonukshe- Belanda Two double blind - Susu fortifikasi vit B12


Rutten RAM et al randomized controlled 1000 μg/125 ml /hari
2005 intervention study, usia - Kapsul vitamin B12 1000
lanjut yang defisiensi μg/hr
vitamin B12 ringan (≥ 70 - Selama 12 minggu
tahun)

Lanjutan
5 Tucker KL et al Amerika Randomized double blind Intervensi 1 cangkir sarapan
2004 Serikat trial sereal yang difortifikasi
189 orang usia 50-85 tahun dengan 440 μgasam folat,
1.8 mg vitamin B6 dan 4.8
μg vitamin B12 selama 14

Universitas Sumatera Utara


minggu

6 Siekmann JH et Kenya Eksperimen: studi efek Makanan tambahan


al 2003 pangan hewani secara - daging sapi 60-85 g/hr
random menurut sekolah, - susu 200-250 ml/hr
555 anak sekolah (5-14 - Suplemen energi
tahun) - selama 1 tahun

7 Lewerin C et al Swedia Placebo-controlled Kapsul berisi 0.5 μg vitamn


2000 randomized study B12 + 0.8 μg asam folat + 3
mg vitamin B6
Diberikan selama 4 bulan

8 Rustan E dkk Indonesia Randomised clinical trial Suplemen kapsul 200 mg


2001 with double blinded placebo ferrosus sulfat dan 0.25 mg
controlled study asam folat
74 ibu hamil anemia

Lanjutan
9 Kartika V dkk Indonesia Eksperimental study suplementasi pil besi + folat
1998 155 WUS yang anemia + vitamin B12

10 Clarke R et al Inggris Cohort study 1993-2003,


2007 1648 orang

11 Hoey L et al Inggris Cross sectional study,


2007 662 orang dewasa

12 Morris MS et al Boston Cross sectional study,


2007 Amerika 1458 orang umur ≥ 65
tahun

Universitas Sumatera Utara


13 Bor MV et al Denmark Cross sectional study
2006 Wanita postmenopause
(41-75 tahun)

Lanjutan
14 Clarke R et al Inggris Cross sectional study,
2004 3511 orang usia lanjut ≥ 65
tahun

15 Quadri P et al Itali Cross sectional study


2004 228 usia lanjut

16 Rogers LM et al Guatemala Cross sectional study, 553


2003 anak sekolah (8-12 tahun)

17 Clarke R et al Inggris Cross sectional study


2003 1562 orang usia lanjut ≥ 65
tahun

18 Monsen AB et al Norwegia Cross sectional study


2003 700 anak umur 4 hari – 19
tahun

Lanjutan
19 Hao Ling et al China Cross sectional study
2003 2407 orang dewasa (35-64
tahun)

Universitas Sumatera Utara


20 Kwan LL et al Amerika Cross sectional study
2002 Serikat 449 orang Hispanic dan 154
orang nonHispanic umur
60-93 tahun

21 Sungtthong R et Thailand Cross sectional study


al 2002 427 anak sekolah

22 Shibly UF Indonesia Cross sectional study


1999 70 orang penderita PJK
36 orang nonpenderita PJK

Lanjutan
23 Tucker KL et al Amerika Cross sectional study
2000 Serikat 2999 orang dewasa umur ≥
26 tahun

24 Martoatmodjo S Indonesia Cross sectinal study


dkk 1973 - 217 wanita hamil
triwulan II dan III

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Adkins Y, Lonnerdal B. 2003. Potensial host-defense role of human milk


vitamin B12-binding protein, haptocorrin, in the gastrointestinal tract of
breastfed infant as assesed with porcine haptocorrin in vitro. Am J Clin
Nutr 77: 1234-1240

Aicardi J. 1992. Diseases of the Nervous System in Childhood. Clinics in


Developmental Medicine No. 115/118

Allen LH. 1994. Vitamin B12 metabolism and status during pregnancy, lactation
and infancy. Adv Exp Med Biol 352: 173-186

Allen et al. 2000. Vitamin B12 deficiency and malabsorbtion are highly prevalent
in rural Mexican communities. Am. J Clin Nutr 62:1013-1019.

Allen LH et al. 2000. Lack of hemoglobin response supplementation in anemic


Mexican preschoolers with multiple micronutrient deficiencies. Am.
J Clin Nutr 71(6):1485-1494

Allen RH, Stabler SP, Savage DG, Lindenbaum J. 1990. Diagnosis of cobalamin
deficiency I: usefulness of serum methylmalonic acid and total
homocysteine concentrations. Am J Hematol 37(2): 139

Ames BN. 2001. DNA damage from micronutrient deficiencies is likely to be a


major cause of cancer. Mutat Res 475(1-2): 7-20

Ames BN. 2002. Micronutrient/metabolite Intake and Metabolic harmony. Am


J Clin Nutr April 2002.

Antony AC. 2003. Vegetarianism and Vitamin B12 (Cobalamin) Deficiency. Am


J Clin Nutr 78(1): 3-6

Atmarita. 2006. Analisis Antropometri Balita (SUSENAS 1989–2005).Depkes RI.

BAPPENAS. 2004. Indonesia Progress Report on the Millenium Development


Goals. Jakarta.

Berk, L.E. 1989. Child Development. Boston, London, Sydney, Toronto. Allyn
and Bacon

Black MM. 2003. Micronutrient Deficiencies and Cognitive Functioning. J.Nutr.


133:3927S-3931S.

Universitas Sumatera Utara


Bolaman Z et al. 2003. Oral versus intramuscular cobalamin treatment in
megaloblastic anemia: a single-center, prospective, randomized, open-
label study. Clinical Therapeutics. Dec:25(12):3124-3134.
Bolann et al. 2000. Evaluation of Indicator of Cobalamin Deficiency Defined as
Cobalamin-induced Reduction in Increased Serum Methylmalonic Acid.
Clinical Chemistry 46: 1744-1750.

Bor MV et al. 2006. A daily intake of approximately 6 µg vitamin B-12 appears


to saturate all the vitamin B-12–related variables in Danish
postmenopausal women. Am J Clin Nutr 83:52-58

Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry. San Diego, San Fransisco, New York,
Boston, London, Sydney, Tokyo. Academic Press.

Bryan J, Calvares E, Hughes D. 2002. Short-Term Folate, Vitamin B-12 or


Vitamin B-6 Suplementation Slightly Affects Memory Performance But
Not Mood in Women of Various Ages. J.Nutr. 132:1346-1356.

Calvagna M. Vitamin B12. American Dietetic Association


(http://www.eatright.org) [September 2007].

Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross
AC, Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and
Disease. Ed ke-10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.

[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2003. Neurologic


Impairment in Children Associated With Maternal Dietary Deficiency of
Cobalamin–Georgia, 2001. Centers for CDC MMWR 52 (4):61-64.

Choi S. 1999. Vitamin B12 deficiency: a new risk factor for breast cancer?
Nutrition Review 57: 250-260

Choi S et al 2004. Vitamin B12 deficiency induces Anomalies of base


substitution and methylation in the DNA of rat colonic epithelium.
J Nutr 134: 750-755

Clarke et al. 2003. Screening for vitamin B12 and folat deficiency in older
persons. Am J Clin Nutr 77: 1241-1247.

Craik FIM, Lockhart RS. 1972. Levels of processing: A framework for memory
research. Journal of Verbal Learning and Verbal behavior 11:61-684.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Profil Kesehatan Indonesia 2001.


Jakarta. Depkes RI.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan


Tantangan di Masa Datang. Jakarta. Depkes RI

Universitas Sumatera Utara


[Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Gizi Dalam Angka. Jakarta. Depkes RI

Dhonukshe-Rutten R AM et al. 2005. Effect of supplementation with cobalamin


carried either by a milk product or a capsule in mildly cobalamin-
deficient elderly Dutch persons. Am J Clin Nutr 82:568-574

Dhopeshwarkar. 1983. Nutrition and Brain Development. New York. Plenum


Press.

Durand C, Mary S, Brazo P, Dollfus S. 2003. Psychiatric manifestations of


vitamin B12 deficiency: a case report. Encephale. Nov-Des:29(6):560-
5.

Dusseldorp M et al. 1999. Risk of persistent cobalamin deficiency in


adolescents fed a macrobiotic diet in early life. Am J Clin Nutr
69(4):664-671

Ellen MW et al. 2002. Cognitive and behavioral correlates of low vitamin B12
levels in elderly patients with progressive dementia. Am J Geriatr
Psychiatry 10:321-327.

Eussen SJ et al. 2006. Effect of oral vitamin B-12 with or without folic acid on
cognitive function in older people with mild vitamin B-12 deficiency: a
randomized, placebo-controlled trial. Am. J Clin Nutr. 84(2): 361-370.

Eussen SJ et al. 2005. Oral Cyanocobalamin Supplementation in Older People


With Vitamin B 12 Deficiency. Arch Intern Med 165:1167-1172.

[FAO/WHO] Food and Agriculture Organization/World Health Organization.


2001. Human Vitamin and Mineral Requirements. Food and Agriculture
Organization of United Nation and World Health Organization.

Feldman, RS. 2003. Development Across the Life Span. Upper Sodde River. New
Jersey.

Gani. 1992. Indikator Kualitas Manusia dan Penduduk. Jakarta. Prisma LP3ES.

Gao X et al. 2003. Dietary pattern is associated with homocysteine and B


vitamin status in an urban chinese population. J Nutr 133(11): 3636-
3642

Garcia et al. 2002. Is low-dose oral cobalamin enough to normalize function in


older people?. J Am. Geriatr 50: 1401-1404

Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford


University Press.

Universitas Sumatera Utara


Gutama, 2004. Aspek Gizi dan Stimulasi Pendidikan Anak Dini Usia. Di dalam:
Hardinsyah, Puruhita A, editor. Inovasi Pangan dan Gizi untuk
Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. Prosiding Seminar dan
Workshop; Jakarta, 7-8 Mei 2004. Jakarta. American Soybean
Association.

Hao Ling et al. 2007. Vitamin b-12 deficiency is prevalent in 35- to 64-year-old
Chinese adults. J. Nutr. 137:1278-1285

Hardinsyah. 2001. Complementary Feeding and Caring Practices. Di dalam:


Hardinsyah, editor. Optimizing Early Child Nutrition. Proceeding from
the National Seminar and Workshop; Jakarta September 26-27 2001.

Healton EB, Savage DG, Brust JC, Garrett TJ, Lindenbaum J. 1991. Neurologic
aspect of cobalamin deficiency. Medicine (Baltimore) 70(4):229-245.

Herbert. 1996. Vitamin B-12. Di dalam: Ziegler EG, Filer L, editor. Present
Knowledge in Nutrition. Washington DC. ILSI Press.

Hermann W et al. 2003. Vitamin B12 status, particularly holotranscobalamin II


and methylmalonic acid concentration, and hyperhomocysteinemia in
vegetarian. Am J Clin Nutr. 78:130-136

Herzlich B, Herbert V. 1988. Depletion of serum holotranscobalamin II. An


early sign of negative vitamin B12 balance. Lab Invest. 58(3):332-337.

Higdon J. 2003. Vitamin B12. Linus Pauling Institute Oregon State University.

Higgins MM. Vitamin B12: A Key to Healthy Aging.


(http://www.oznet.ksu.edu/humannutrition/vitB) [[Oktober 2005].

Hin H et al. 2006. Clinical relevance of low serum vitamin B12 concentrations in
older people: the Banbury B12 study. Age and Aging 35(4): 416-422

Hoey L et al. 2007. Effect of a voluntary food fortification policy on folate,


related B vitamin status, and homocysteine in healthy adults. Am J Clin
Nutr 86(5): 1405-1413

Hokin, Bevan D, Butler, Terry. 1999. Cyanocobalamin (vitamin B12) status in


Seven-day Adventist ministers in Australia. Am J Clin Nutr 70: 576S-
578S.

Hop LT, Berger J. 2005. Multiple micronutrient suplementation improves


anemia, micronutrient status, and growth of Vietnamese infants: Double-
Blind, Randomized, Placebo-Controlled Trial. J Nutr 135:660S-665S

http://www.vegsoc.org/info/b12.html [Maret 2005). Vitamin B12.

Universitas Sumatera Utara


http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12/ [Maret 2005]. Vitamin
B12.
http://www.naturalstandard.com/ [Februari 2006). Vitamin B12.

http://sickle.bwh.harvard.edu/hemoglobin.html [September 2007). Hemoglobin.

http://en.wikipedia.org/wiki/Anemia [September 2007]. Red blood cell size.

Hvas AM, Juul S, Gerdes LU, Nexo E. 2000. The marker of cobalamin
deficiency, plasma methylmalonic acid, correlates to plasma creatinine.
J Intern Med 247(4): 507-512

Jalal F. 2003. Pendidikan Input Tumbuh Kembang Anak. http://www.pikiran


rakyat/9september 2003[Maret 2005]

Kanarec dan Mark-Kaufman. 1991. Nutrition and Behavior: New Perspective.


New York. Van Nostrand Reinhold.

Kartini dan Kartono, 1985. Paranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta. CV.
Rajawali.

Kelly G. 1997. The coenzyme form of vitamin B12: Toward an understanding


of their therapeutic potential. Alt Med Rev 2(5): 459-471

Klee. 2000. Cobalamin and Folate Evaluation:Measurement of Methylmalonic


Acid and Homocysteine vs Vitamin B12 and Folate. Clinical Chemistry
46: 1277-1283.

Kustiyah L. 2004. Kajian Pengaruh Intervensi Makanan Kudapan Terhadap


Perubahan Kadar Glukosa Darah dan Daya Ingat Anak Sekolah
Dasar[Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Laurinda L et al. 2002. Low Vitamin B-12 Intake and Status Are More Prevalent
in Hispanic Older Adults of Caribbean Origin Than in Neighborhood-
Matched Non-Hispanic Whites. J. Nutr. 132:2059-2064

Lewerin et al. 2005. Significant correlation of plasma homocysteineand serum


methylmalonic acid with movement and cognitive performance in
elderly subjects but no improvement from short-term vitamin therapy: a
placebo-controlled randomized study. Am. J Clin Nutr. 81(5):1155-
1162.

Lindenbaum J et al. 1988. Neuropsychiatric disorders caused by cobalamin


deficiency in the absence of anemia or macrocytosis. The New England
J Med 318(26): 1720-1728.

Universitas Sumatera Utara


Lindenbaum J, Rosenberg IH, Wilson PW, Stabler SP, Allen RH. 1994.
Prevalence of cobalamin deficiency in the framingham elderly
population. Am J Clin Nutr 60: 2-11

Louwman et al. 2000. Signs of impaired cognitive function in adolescents with


marginal cobalamin status. Am. J Clin Nutr. 72(3):762-769.

Lucas. 1993. Perkembangan Anak Usia sekolah. Jakarta. PT Rajawali.

Mario TP, Sujarweni VW. 2006. SPSS untuk Paramedis. Ardana Media. Yokyakarta.

Mooijaart SP et al. 2005. Homocysteine, vitamin B-12, and folic acid and the risk
of cognitive decline in old age: the Leiden 85-Plus Study. Am J Clin
Nutr. 82(4): 866-871

Morgan, King RA, Weisz JR, Schopler J. 1986. Introduction to Psychology.


Seven Edition. New York: McGraw-Hill International Editions.

Morris MS, Jacques PF, Rosenberg IH, Selhub J. 2007. Folate and vitamin B12
status in relation to anemia, macrocytosis, and cognitive impairment in
older Americans in the age of folic acid fortification. Am J Clin Nutr
85(1): 193-200.

Myerson RM. 1989. Nutrient are necessary to prevent and treat anemia – vitamin
B12, folic acid and iron. Better Nutrition (1989-90).
(http://en.wikipwdia.org/wiki/Anemia) [Mei 2005].

[NIH] National Institutes of Health. Dietary Supplement Fact Sheet: Vitamin


B12. NIH Clinical Center USA.gov.
(http://ods.od.nih.gov/factsheet/vitaminb12.asp [September 2007)

Nelson DL, Reed VS, Walling JR. 1976. The pictorial superiority effect. Journal
of Experimental Psychology: Human Learning and Memory 2: 523-528

Norman DA. 1976. Memory and Attention: An Introduction to Human


Information Processing. San Diego: Jhon Wiley & Sonc, Inc.

Obeid R, Munz W, Jager M, Schmidt W, Herrmann W. 2005. Biochemical


indexes of the vitamin in cord serum are predicted by maternal B vitamin
status. Am J Clin Nutr 82:133-139

Olivares, Ramona, Jesus, Maria, Antonio. 2002. Vitamin B12 and Folic Acid in
Chidren with Intestinal Parasitic Infection. J of the Am College of Nut,
21(2):109-113.

Paivio A. 1971. Imagery and Verbal Process. New York: Holt, Reinehart and
Winston, Inc.

Universitas Sumatera Utara


Pezacka EH, Jacobsen DW, Luce K, Green R. 1992. Glial cells as a model for
the role of cobalamin in the nervous system: impaired syntesis of
cobalamin coenzymes in culturd human astrocytes following short-term
cobalamin-deprivation. Biochem Biophys Res Commun 184(2): 832-839

Pollit. 1990. Malnutrition and Infection in the classroom. Paris UNESCO.

Quadri P et al. 2004. Homocystein, folate, and vitamin B12 in mild cognitive
impairment, Alzheimer disease, and vascular dementia. Am J Clin Nutr
80(1): 114-122

Rajan S et al. 2002. Response of elevated methylmalonic acid to three dose


levels of oral cobalamin in older adults. J Am Geriatr 50(11): 1789-
1795

Reenan J. 2006. Clinical Manifestations of Vitamin B12 deficiency: An


overview of the biochemical and physiological functions of vitamin B12
and the symptoms of vitamin B12 deficiency. Virtual Mentor 8(6): 392-
396

Robert C, Brown DL. 2003. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician 67:
979-986, 993-994.

Rogers LM et al. 2003. High Prevalence of Cobalamin Deficiency in Guatemalan


Schoolchildren : Associations with Low Plasma Holotranscobalamin II
and Elevated Serum Methylmalonic Acid and Plasma Homocysteine
Concentrations. Am J Clin Nutr. 77(2): 433-440

Ruscin et al. 2002. Vitamin B12 deficiency associated with histamine2-receptor


antagonists and a proton-pump inhibitor. Annals of Parmacotherapy
36:812-816

Rutten RAM et al. 2005. Effect of supplementation with cobalamin carried either
by a milk product or a capsule in mildly cobalamin-deficient elderly
Dutch persons. Am J Clin Nutr 86: 568-574

Sauberlich. 1999. Assessment of Nutritional Status. Second edition. Boca Raton,


London, New York, Washington DC CRC Press.

Savage DG, Lindenbaum J 1995. Neurological complications of acquired


cobalamin deficiency: clinical aspects. Baillieres Clin Haematol.
8(3):657-78

Seifort KL, Hoffnung RJ. 1997. Child and Adolescent Development. Houghton
Zifflin Company. New York

Universitas Sumatera Utara


Setiawan B dan Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.

Shibly UF. 2007. Hubungan Kadar Homosistein Plasma Dengan Asam Folat Dan
Vitamin B12 Serum Pada Penderita PJK di RSJHK. Bagian Kardiologi
FKUI/RSJHK. http://www.kardiologi-ui.com/ [April 2008].

Siekmann JH et al. 2003. Kenyan School Children Have Multple Micronutrient


Deficiencies, But Increased Plasma Vitamin B12 Is The Only Detectable
Micronutrient response to Meat or Milk Suplementation. J. Nutr.
133:3972s-3980s.

Stabler SP, Lindenbaum J, Robert A Allen. 1997. Vitamin B-12 deficiency in the
elderly: current dilemmas1’2, Am J Clin Nutr 66:741-9

Stabler SP. Vitamin B12. dalam Present Knowledge in Nutrition. Ninth


edition. Washington DC. ILSI Press.

Stopeck, Alison. 2000. Links between Helicobacter pylori infection, cobalamin


deficiency, and pernicious anaemia. Archives of Internal Med
160:1229-1230

Sungthong R, Mo-suwan L, Chongsuvivatwong V. 2002. Effects of haemoglobin


and serum ferritin on cognitive function in school children. Asia Pac
J Clin Nutr 11(2): 117-122

Syarief H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas: suatu Telaah


Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga [Orasi Ilmiah pada
pengukuhan Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga]. Bogor: Fakultas Pertanian Instutut Pertanian Bogor.

Tucker KL et al. 2000. Plasma vitamin B-12 concentrations relate to intake


source in the Framingham Offspring Study. Am J Clin Nutr 71(2):514-
522

Unicef. 1998. The State of the World’s Children 1998. Oxford University Press.

Uyanto SS. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu. Jakarta.

Wardlaw G, Insel PM, Seyler MF. 1992. Contemporary Nutrition. Issues and
Insights. St Louis, Baltimor, Chicago, London, Philadelphia, Sydney,
Toronto. Mosby Year Book.

Werbach M. 2000. Nutritional strategies for treating chronic fatigue syndrome.


Alter Med Rev 5(2): 93-108

WHO. 1995. Physical Status: The Use and Interpretation of Antropometry.


World Health Organization. Geneva.

Universitas Sumatera Utara


Wolter M, Hermann S, Hahn A. 2003. B vitamin status and concentrations of
homocysteine and methylmalonic acid in elderly German women. Am
J Clin Nutr 78(4): 765-772.

48

Universitas Sumatera Utara

You might also like