Professional Documents
Culture Documents
Mata kuliah/Semester : Teori Sosiologi dan Antropologi dalam Pendidikan IPS / Dua
Sifat Ujian : Take home examination test
Dosen : Prof. Dr. Endang Komara, M.Si
Batas Akhir Pengumpulan : Senin, 31 Desember 2018, pukul 10.00 WIB.
Email : endang_komara@yahoo.co.id
A. Ketentuan Menjawab
Menurut Bryan S. Turner, dampak dari adanya proses modernisasi yang terjadi di
masyarakat disebut modernitas yang berarti dunia sosial berada di bawah dominasi
estetism, sekulerisasi, klaim universal tentang rasionalitas instrumental, diferensiasi
berbagai lapangan kehidupan dunia, birokratisasi ekonomi, praktik-praktik politik dan
militer, serta moneterisasi nilai-nilai yang sedang berkembang.
Dalam bukunya yang berjudul The Theories of Modernity and Posmodernity, Bryan S.
Turner menjelaskan bahwa istilah ‘modern’ berasal dari istilah latin, ‘modernus’, yang
digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dengan orang Romawi dari
masa pagan yang telah lewat. Selanjutnya istilah tersebut digunakan untuk
menempatkan kondisi masa kini dalam hubungan dengan berlalunya zaman
purbakala, yang muncul dan muncul kembali secara pasti selama periode tersebut di
Eropa ketika kesadaran terhadap zaman baru membentuk dirinya sendiri melalui
hubungan yang diperbarui dengan masa lalu.
Teori Fungsionalisme. Teori fungsionalisme dan teori evolusi merupakan cikal bakal
lahirnya teori modernisasi yang memandang bahwa manusia mengalami perubahan
sosial dari masyarakat yang primitif menjadi masyarakat yang modern. Perubahan
sosial tersebut berlangsung secara bertahap dan perlahan. Dari teori evolusi,
diturunkan beberapa asumsi mengenai teori modernisi yaitu sebagai proses yang
bertahap, proses yang homogen, proses Eropanisasi atau Amerikanisasi, proses yang
bergerak maju, proses yang progresif, dan proses yang tidak instan. Teori
fungsionalisme didasarkan kepada pemikiran Parson bahwa masyarakat adalah
sebuah sistem sosial yang memiliki fungsi yang khas dan saling mendukung satu sama
lain antara subsistem sosial tersebut sehingga tidak mungkin muncul pertentangan
satu sama lain. Berbeda dengan pandangan Smelser bahwa modernisasi tidak harus
berjalan secara dinamis. Pertentangan akan selalu menyertai. Dari teori ini dihasilkan
asumsi mengenai teori modernisasi yaitu sebagai proses yang sistemik, proses
transformasi dan proses yang berlangsung terus-menerus. Dengan didasarkan kepada
teori evolusi dan fungsionalisme, teori modernisasi digunakan untuk mengkaji
persoalan dunia ketiga secara abstrak dan menghasilkan kesimpulan yang bersifat
umum untuk menjadi model yang baku. Teori modernisasi memperoleh beberapa
kritik. Dalam gerakan pembangunan, modernisasi terlalu etnosentris yang mengikuti
nilai-nilai budaya barat, menghilangkan kemungkinan bagi negara dunia ketiga untuk
menjalankan alternatif pembangunan lainnya, dan terlalu optimistis. Karena
menghendaki homogenisasi, modernisasi belum tentu mampu menghapus nilai-nilai
tradisional, belum tentu bertolak belakang, dan belum tentu menghambat
modernisasi. Teori modernisasi dipandang memiliki kecendurangan analisis yang
abstrak dan tidak jelas waktu dan wilayah yang dimaksud. Secara ideologis, dipandang
sebagai produk perang dingin kontra dengan komunisme. Teori modernisasi
dipandang mengehendaki adanya dominasi asing.
Teori dependensi lahir akibat kekecawaan program KEPBBAL yang di Amerika Latin,
krisis teori Marxis ortodok di Amerikan latin dan turunnya kepercayaan terhadap teori
modernisasi. Teori ini didasarkan kepada beberapa asumsi yaitu terjadi suatu keadaan
ketergantungan yang dilihat dari suatu gejala yang sangat umum di negara dunia
ketiga, ketergantungan tersebut diakibatkan oleh faktor luar, ketergantungan
tersebut dilihat dari segi ekonomi yakni mengalirnya surplus ekonomi dari negara
dunia ketiga ke negara maju, ketergantungan ekonomi tersebut melahirkan
pengkutuban akumulasi modal di negara-negara maju menyebabkan ketertinggalan
negara dunia ketiga, dan ketergantungan tersebut kebalikan dari pembangunan.
Teori sistem dunia menganalisa seluruh negara di dunia sebagai suatu sistem yang
tidak terpisahkan. Dengan demikian mengkaji arena cakupan yang lebih luas
dibandingkan teori dependensi, bukan hanya satu negara pinggiran akan tetapi semua
negara pinggiran ditambah negara semi pinggiran, sentral dan juga sistem ekonomi
dunia. Menurut teori sistem dunia arah pembangunan akan mengalami dinamikan
yang naik ataupun turun tidak seperti teori dependensi yang akan selalu bersifat
turun/negatif. Teori ini juga menganalisi pembangunan dari perspektif tiga kutub
yaitu negara sentral, semi pinggiran, dan pinggiran. Metode kajian teori ini didasarkan
kepada kajian dinamika sejarah dunia sebagai suatu sistem yang berlangsung tanpa
bisa dipisahkan.
d. Modernisasi dapat mengakibatkan Culture Shock dan Culture Lag, jelaskan kedua
konsep tersebut dan berikan ilustrasi dan cara mengatasinya.
Akan tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat semu belaka. Alasannya, pada
dasarnya Lévi-Strauss tentunya sepaham dengan para pendahulunya dari abad
kesembilan belas itu bahwa muatan reaksi, pemecahan atau penanggulangan itu akan
berbeda menurut keadaan lingkungan keseluruhan. Akan tetapi menurut Lévi-
Strauss, dan jelas berbeda dengan pendapat teoriwan abad kesembilan belas, muatan
tanggapan itu relatif tidak penting; satu-satunya solah ialah proses mental atau pola
logis-formal dari tanggapan itu. Bagaimanapun halnya, pikiran manusia merupakan
sesuatu yang terprogram. Apakah pikiran itu terdapat dalam suatu matriks budaya
industri-atomik-kapitalistik atau dalam lingkungan pemburu-peramu di padang
Australia Tengah, tatakerja pikiran manusia sama belaka adanya. Begitulah maka
perbedaan antara Lévi-Strauss dengan antropolog abad kesembilan belas sama sekali
tidak menyangkut tatakerja hakiki pikiran manusia, melainkan hanya sehubungan
dengan soal akibat yang terindra dan merupakan hasil kerja pikiran manusia dalam
situasi lingkungan tertentu. Lévi-Strauss tidak berminat pada perbedaan institusi
maupun artefak yang menandai berbagai kelompok manusia. Antropolog abad
kesembilan belas dan juga kebanyakan antropolog kontemporer menaruh perhatian
pada cara “lingkungan” mempengaruhi pikiran manusia yang “tunggal dan sama” itu
(Kaplan dan Manners, 246, 2002).
2. Menurut George Ritzer (Endang Komara, 2005)) bahwa: “there is a ‘minding’ process that
intervenes between stimulus and response. It is the mental process, and not simply the
stimulus, that determines how a man will react’’.
Kesimpulan yang bisa diambil dari pendapat George Ritzer (Endang Komara, 2005)
tersebut adalah adalah bahwa tindakan sesorang dalam proses interaksi itu bukan
semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus
tetapi itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antar
kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melaui
proses belajar, dalam artian memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan
makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan
makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya,
namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya
b. Apa perbedaan dan persamaan antara teologi, metafisik dan positivistik dan berikan
ilustrasinya.
Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga Tahap yaitu Tahap
teologik, lalu meningkat ketahap metafisik, kemudian mencapai tahap akhir yaitu
tahap positivistik.
1. Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut.
Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti
manusia.
Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada
makhluk-makhluk selain insani.Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap.
Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap
bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan
kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan
adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-
gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).
Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur
dalam suatu sistem,sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi.
Ada dewa api,dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan
tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu
dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
2. Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini
sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam
tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatanabstrak, dengan
pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam
sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari
monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis
dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
3. Tahap positivistik
Pada tahap positivistik, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha
mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis
maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam
semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di
belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu
dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian
“menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta
umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan
dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
Persamaan dari ketiga tahap tersebut adalah bahwa ketiga tahapan tersebut berlaku
bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia dan bagi bidang ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini, Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai
oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran
metafisik dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan
perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku
tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku
primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk
“menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-
prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-
metode positif dan ilmiah.
c. Coba analisa lima jenis Penguatan Pendidikan Karakter dan lengkapi dengan
ilustrasinya yang sedang dikembangkan oleh Kemdikbud RI sejak Tahun 2017 di setiap
level pendidikan.
Terdapat lima nilai karakter utama yang bersumber dari Pancasila, yang menjadi
prioritas pengembangan gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK); yaitu
religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan. Masing-
masing nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling
berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan
pribadi.
Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa
yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang
dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan
pemeluk agama lain. Implementasi nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam sikap
cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh
pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, anti
perundungan dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak,
mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.
Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Sikap
nasionalis ditunjukkan melalui sikap apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga
kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air,
menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku,
dan agama.
Adapun nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada
nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab
sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi
tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Seseorang yang berintegritas
juga menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas), serta mampu
menunjukkan keteladanan.
Nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang
lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan
harapan, mimpi dan cita-cita. Siswa yang mandiri memiliki etos kerja yang baik,
tangguh, berdaya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar
sepanjang hayat.
d. Jelaskan melalui Konsep, Fakta, Prinsip dan Prosedur mengenai Keteladanan Guru
Zaman ‘’Now”. Dari perspektif Sosiologi Pendidikan.
Karakter religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royonh adalah konsep
keteladanan yang semestinya dimiliki dan ditampilkan oleh sosok guru dalam rangka
pelaksanaan pendidikan karakter.
Keteladanan guru zaman now seringkali dihadapkan pada situasi masyarakat yang
secara gamblang tidak memberikan teladan bagi peserta didiknya. Rumah yang
menjadi basis pertama pendidikan, yaitu pendidikan keluarga sudah bermasalah.
Keteladanan orang tua zaman kini dipertanyakan. Tindakan buruk orang tua di
masyarakat dipertontonkan kepada anaknya, bahwa seringkali orang tua mendesak
pihak sekolah untuk mengikuti kemauan orang tua. Kondisi yang tidak kondusif di
keluarga pun ini menjadi tantangan guru. Bagaimana guru bisa mengikat dan memikat
peserta didiknya menjadi insan yang lebih baik dari orang tuanya.
Persoalan itu belum cukup, peserta didik sebagai anggota masyarakat juga disuguhi
dengan drama perilaku yang tidak kalah buruknya. Tuturan kebencian, kebohongan,
sodok-sana-sini menjadi pemandangan yang seringkali ditemui peserta didik pada
saat bergaul di masyarakat. Kondisi masyarakat kita longgar dan tidak membawa
angin segar bagi pembentukan karakter peserta didik ketika berinteraksi dengan
masyarakat.
Hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian secara akurat sehingga guru zaman now
tidak berada dalam dua persoalan besar, pertama persoalan yang lahir dari
lingkungan keluarga peserta didik dan persoalan yang terjadi di lingkungan
masyarakat.
Namun demikian, satu hal penting yang patut menjadi prinsip dari seorang guru
adalah berkarakter terlebih dahulu sebelum melakukan pembinaan karakter terhadap
peserta didik. Guru dipandang masyarakat sebagai profesi khusus, yang terkenal
dengan pameo “Guru harus digugu dan ditiru”.Pameo tersebut menyiratkan
pandangan dan harapan masyarakat terhadap guru sangatlah tinggi. Dalam hal ini,
guru tidak lagi dipandang sebagai seorang seorang pendidik di kelas saja, namun guru
dipandang sebagai pendidik dan pengayom di lingkungan masyarakat. Sebagai
konsekuensinya, guru sebaiknya memberikan contoh teladan yang baik kepada
seluruh masyarakat. Bentuk keteladanan ini erat sekali hubungannya dengan
kompetensi yang harus dikuasai oleh guru dengan baik. Sedangkan penguasaan
kompetensi tersebut erat kaitannya dengan usaha peningkatan mutu pendidikan.
Apabila guru menguasai kompetensi tersebut, maka mutu pendidikan dengan
sendirinya juga akan meningkat.
Untuk membantu efektifnya keteladanan yang dicontohkan guru agar tertanam dari
diri peserta didiknya. Pertama, guru perlu dibekali dengan karakter yang pilihan bukan
karakter rendahan yang tidak berkualitas. Hal ini guru menjadi sumber daya manusia
pinilih yang tegak berdiri di depan kelas.
Kedua, orang tua diberikan pembinaan, bisa dari sekolah bekerja sama dengan
keluarga untuk memberikan yang terbaik kepada anaknya. Keluarga yang baik inilah
yang dapat memberikandukungan penuh pada saat guru yang pinilih menanamkan
karakter kepada peserta didiknya. Ada jalinan kerja sama dukung-mendukung antara
guru, keluarga, dan masyarakat.
Pemerintah melalui LPTK perlu menghasilkan lulusan calon guru (sebelum mengikuti
program PPG) sebagai pribadi yang potensial. Artinya, guru zaman now yang pinilih.
Guru yang memiliki pribadi yang unggul, antara lain: memiliki reputasi baik di depan
orang lain, kreatif dan inovatif dalam karya baik seni maupun intelektual, berwawasan
nasionalisme (sebagai wujud sila ketiga Pancasila), kehandalan dalam berkolaborasi/
berteman/ berjejaring secara sosial, dan berkecakapan/berketerampilan yang bisa
diandalkan.
Guru zaman now yang memiliki ciri-ciri tersebutlah yang nampaknya secara potensial
mampu memberikan keteladanan bagi peserta didiknya.
e. Kembangkan salah satu teori Sosiologi dan Antropologi (Grand Theory, Middle
Theory, and Operational Theory) dalam judul Tesis Tentatif Anda.
Dampak Positif