You are on page 1of 6

1.

Deskrpsi Penyakit

Aflatoksin terdiri dari kata a, fla dan toksin (a = aspergillus, fla = flavus,
toksin = racun). Aflatoksin merupakan senyawa yang bersifat racun yang
dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus. Aflatoksin sangat berbahaya karena
bersifat toksik, karsinogen, dan mutagen. Efek yang dapat ditimbulkan antara lain
kanker, dapat menurunkan kekebalan tubuh dan menghilangkan nafsu makan.
Aflatoksin merupakan senyawa yang struktur kimianya hampir sama dengan
struktur kimia senyawa-senyawa difuranokumarin (Prabawati, 2006).

2. Etiologi

Aflatoksin adalah salah satu mikotoksin yang dihasilkan oleh sekitar 20


spesies kapang yang termasuk ke dalam tiga kelompok genus Aspergillus, yaitu
kelompok Flavi, Nidulantes, dan Ochraceorosei (Broto, 2018). Aspergillus flavus
mudah tumbuh pada suhu 20-30 °C, kadar air substrat di atas 9 % dan kelembaban
udara 75-85 %. Semakin mudah pertumbuhan kapang A.flavus, maka dengan
sendirinya aflatoksin yang diproduksinya juga meningkat (Prabawati, 2006).

Kapang Aspergillus sp. mudah tumbuh dan menghasilkan toksin pada kisaran
suhu 12-48oC dengan pertumbuhan optimal pada suhu 37o. Kelembaban yang
tinggi memicu perkembangan A. flavus untuk memproduksi aflatoksin.
Sebaliknya, kondisi anaerob menghambat pertumbuhan A. flavus sehingga akan
menurunkan risiko produksi aflatoksin, khususnya pada komoditas serealia dan
aneka kacang.Jenis aflatoksin yang dihasilkan jamur atau kapang dari tiga
kelompok Aspergillus tersebut adalah aflatoksin B1 (AfB1), B2 (AfB2), G1
(AfG1), dan G2 (AfG2) (Broto, 2018). Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu
AFB, AFB 2 , AFG1, dan AFG 2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah
dikenal secara alami dan dijumpai di alam . AFB adalah jenis aflatoksin yang
paling toksik. AFG1 dan AFG2, mempunyai daya racun yang rendah, hanya 1/60-
1/100 kali dibandingkan AFB, dan tidak terlalu berbahaya. Kapang tersebut
banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah kacang-kacangan, beras,
jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya (Rachmawati, 2005).
Gambar 1. Struktur kimiawi aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1,
dan M2 (Broto, 2018).

Aflatoksikosis adalah istilah yang digunakan untuk penyakit yang disebabkan


oleh mengonsumsi makanan yang tercemar aflatoksin. Aflatoksikosis berpengaruh
akut dan kronis pada manusia dan ternak, khususnya ternak monogastrik seperti
unggas, bergantung pada spesies dan kerentanannya terhadap spesies (Broto,
2018).

3. Gejala/Patologi

Aflatoksin menghasilkan efek buruk pada unggas yang mengakibatkan


penurunan kekebalan bahkan menyebabkan kematian. Setelah terpapar pakan
yang terkontaminasi aflatoksin, ayam pedaging mengalami anoreksia, lesu, FCR
yang buruk, penurunan berat badan, laju pertumbuhan yang tertekan dapat diamati
dan unggas bersifat imunosupresif dan telah meningkatkan kerentanan terhadap
stres (mikroba dan lingkungan) (Abidin et al., 2011).

Aflatoksikosis menyebabkan peningkatan ukuran hati, pucat hati, dan


peningkatan ukuran saluran empedu. Aflatoksin dimanifestasikan sebagai lesi di
ginjal dan jaringan limpa. Kekebalan sangat terganggu oleh aflatoksikosi, dan
dapat diukur dengan tes yang berbeda termasuk uji fungsi makrofag dan respon
antibodi terhadap sel darah merah. Burung yang diberi pakan yang terkontaminasi
lebih rentan terserang penyakit (Abidin et al., 2011).

Aflatoksin menyebabkan perubahan lemak, perkembangan vakuola kecil


dalam parenkim hati (degenerasi vakuolar) dan proliferasi saluran empedu di
daerah portal. Ini mempengaruhi bursa Fabricius, di mana organ ini menunjukkan
penipisan sel limfoid. Di ginjal degenerasi tubular telah dilaporkan untuk hewan
yang terkena (Abidin et al., 2011). Secara kasar, terjadi perubahan warna hati
pucat atau kekuningan bersamaan dengan pembesaran ukurannya dan distensi
kandung empedu. Ada pembesaran ginjal dan warnanya pucat dan kemacetan
diamati dengan perdarahan petekie sporadis. Secara mikroskopis, degenerasi
vakuolar, perubahan lemak dan degenerasi hepatosit diamati. Dengan
perkembangan penyakit, timbunan lemak diubah menjadi kista berlemak. Ada
infiltrasi sel limfositik yang berbeda, seperti heterofil dan sel mononuklear.
Kemacetan dan hiperplasia saluran empedu dilaporkan (Kumar dan
Chidambaram, 2009).

Gambar 1. Proventriculus menunjukkan nekrosis parsial mukosa, dan


edema submukosa (Kumar dan Chidambaram, 2009).
Gambar 2. Degenerasi lemak pada hati (Kumar dan Chidambaram, 2009).

Gambar 3. Toksisitas aflatoxicosis hati pucat dan kuning perubahan warna


(tengah dan kanan atas) (Kumar dan Chidambaram, 2009).

4. Data Epidemologi

Pada awal tahun 1960 di Inggris terjadi malapetaka keracunan yang tidak
teratasi yang mengakibatkan hilangnya anak ayam dalam jumlah besar. Dalam
waktu yang singkat sindrom keracunan yang sama terjadi pada anak itik, ayam
dan babi. Hal ini dipelajari ternyata bahwa malapetaka itu ada hubungannya
dengan makanan yang diperdagangkan yang berisi kacang dan ikan, sehingga
toksisitasnya dapat dihilangkan dengan mengganti kedelai dan milk kering.
Seargent dan kawan-kawan, yang pertama mengkaitkan toksisitas dengan
pencemaran jamur beberapa strain dari Aspergillus flavus dan memberikan nama
generik "aflatoksin" kepada prinsip beracun (Prabawati, 2006).
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang sejak tahun 1960 sampai
sekarang masih menjadi perhatian para ilmuwan tetutama ilmuwan negara-negara
yang mempunyai iklim tropik seperti Indonesia. Iklim tropik ini akan memberi
peluang yang cukup besar untuk tumbuhnya kapang yang menghasilkan aflatoksin
(Prabawati, 2006).

5. Diagnosa

Teknik kromatografi cair lapisan tipis (KLT) telah digunakan untuk


estimasi aflatoksin B1 (AFB1) yang terdapat dalam jaringan ayam broiler. AFB1
dalam jaringan setelah pemberian oral AFB1 menggunakan HPLC. Teknik yang
sama digunakan oleh beberapa peneliti HPLC Untuk Estimasi Aflatoksin Dan
Level Lebih Dari 1 Ppb Diestimasi Oleh Tlc (Abidin et al., 2011).

6. Pengobatan/Pencegahan

Pemilihan kualitas komoditas menjadi faktor kunci keberhasilan upaya


pengurangan cemaran aflatoksin pada pakan. Pemisahan atau pembuangan biji
rusak (menyimpang dari standar mutu) akan mengurangi cemaran aflatoksin
maupun material asing lainnya (Broto, 2018). Perawatan untuk Aspergillosis
tidak efektif karena obat yang digunakan tidak mencapai jamur yang berdinding
oleh radang respon burung dan karena itu, terisolasi dari aliran darah. Penyakit
ini memiliki prognosis yang buruk ketika infeksi pada jaringan luas dan hanya
obat sistemik yang digunakan. Hasil pengobatan terbaik jika lesi granulomatuos
dikeringkan dan pengobatan topikal bersamaan dengan terapi sistematis diberikan.
Perawatan aspergillosis melibatkan penggunaan satu atau lebih agen antijamur
sistemik. Obat-obatan yang umum digunakan termasuk itraconazole,
ketoconazole, clotrimazole, miconazole, fluconazole dan Amphotercin B. Dari
obat-obatan ini, itraconazole adalah pilihan pengobatan penyakit (Girma et al.,
2016).
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., A. Khatoon dan M. Numan. 2011. Mycotoxins In Broilers:


Pathological Alterations Induced By Aflatoxins And Ochratoxins,
Diagnosis And Determination, Treatment And Control Of Mycotoxicosis.
World's Poultry Science Journal, Vol. 67,
Broto, Wisnu. 2018. Status Cemaran Dan Upaya Pengendalian Aflatoksin Pada
Komoditas Serealia Dan Aneka Kacang. J. Litbang Pert. Vol. 37 No. 2: 81-
90.
Girma, Genene., Mengestie Abebaw, Mebrie Zemene, Yergashewa Mamuye Dan
Gashaw Getaneh. 2016. A Review On Aspergillosis In Poultry. Journal Of
Veterinary Science &Technology Vol. 7, No. 6.
Kumar, Raja., Dan Chidambaram Balachandran. 2009. Histopathological Changes
In Broiler Chickens Fed Aflatoxin And Cyclopiazonic Acid. Journal
Veterinarski Arhiv 79 (1), 31-40.
Prabawati, Susy Yunita. 2006. Aspek Kimiawi Racun Afiatoksin Dalam
Bahan Pangan Dan Pencegahannya. Kaunia, Vol. Ii, No. 2.
Rachmawati, Sri. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak Di Indonesia :
Persyaratan Kadar Dan Pengembangan Teknik Deteksi-Nya. Wartazoa
Vol. 15 No . I .

You might also like