You are on page 1of 17

SEJARAH UANG DARI MASA KE MASA

Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat
diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh
setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi
modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai
alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya
serta untuk pembayaran hutang.Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat
penunda pembayaran.

1.Sebelum tukar menukar(pra barter)

Dulu pada masa pra barter kehidupan manusia masih primitf, dalam usaha memenuhi
kebutuhan, manusia berpikir sederhana dan apa adanya, mereka hidup berkelompok-
kelompok, untuk memenuhi kebutuhannya manusia memanfaatkan yang disediakan oleh
alam yang ada di lingkungannya apabila mereka membutuhkan daging mereka harus berburu,
bila mereka membutuhkan sayuran atau buah-buahan mereka harus memetiknya/mencari di
hutan, sehingga apabila di lingkungan persediaan sudah habis mereka akan berpindah tempat,
kelompok ini dikenal dengan kelompok nomaden. Kelompok orang primitif belum mengenal
cara bercocok tanam, tahunya mereka hanya menghabiskan/ mengkonsumsi yang ada
dilingkungannya.

Syarat-syarat terjadinya barter:

1. Ada barang yang dibutuhkan


2. Ada pihak yang membutuhkan
3. Barang yang ditukarkan dianggap mempunyai nilai yang sama

2.masa tukar menukar(barter)

Pada saat masa ini sebagian besar manusia sudah mulai menetap, karena mereka sudah
mengenal bercocok tanam. Karena jumlah manusia mengalami pertambahan dan kebutuhan
semakin banyak, maka barang dan jasa yang dibutuhkan semakin bertambah pula, untuk
memenuhi kebutuhan yang semakin banyak, manusia melakukan pertukaran barang dengan
barang yang lain, contoh: amel menukar sekeranjang apel dengan daging millik joni

Karena jaman semakin berkembang dan kebutuhan semakain meningkat dan bermacam-
macam, dan muncullah barter banyak masalah di dalam sebuah barter, bagaimana mereka
harus membawa barang yang akan ditukarkan dan bagaimana mencari orang-orang yang mau
diajak barter, dengan kebutuhan yang bermacam-macam tersebut?

Kesulitan barter antara lain :

1. Kebutuhan yang mendesak, akan sulit terpenuhi.


2. Tidak ada patokan perbandingan nilai barang yang akan ditukarkan.
3. Sulit memenuhi kebutuhan yang bermacam-macam.
3.tahab dimana tukar menukar dengan menggunakan uang-barang

Untuk mengatasi kesulitan barter, maka berpikirlah mereka untuk mencari cara bagaimana
barang yang dapat dipergunakan sebagai perantara pertukaran, barang tersebut harus
mendapat persetujuan kelompok-kelompok yang

mengunakan. Ada beberapa jenis barang yang pernah digunakan antara lain, kulit hewan,
ternak, batu berharga, kulit pohon, logam, barang barang perantara pertukaran itu dikenal
dengan namauang barang.

Pada tahap ini, orang sudah mulai berpikir barang perantara sebagai alat pertukaran, maka
dicarilah jenis barang yang dapat mempermudah pertukaran, sebagai syarat sebagai alat
perantara pertukaran barang/uang barang adalah ;

1. Barang tersebut dapat diterima dan dibutuhkan semua orang


2. Barang tersebut dapat ditukarkan kepada siapa saja
3. Mempunyai nilai tinggi
4. Tahan lama

Kesulitan uang barang

1. Sukar disimpan
2. Sukar dibawa kemana-mana
3. Sukar dibagi menjadi bagian yang lebih kecil
4. Kebanyakan uang barang tidak tahan lama
5. Nilai uang barang tidak tetap
Pada tahapan ini jenis uang barang darilogam yang dianggap paling tepat, kuat dan tahan
lama. Pada tahapan ini manusia sudah mengenal cara membuat/memproduksi barang untuk
memenuhi kebutuhan.

4. Uang Pada Masa Kerajaan

1. Uang masa Kerajaan Mataram Kuno

Sejarah dan perkembangan mata uang di Indonesia sudah dimulai sejak masa jaya Kerajaan
Mataram Kuno, yakni sekitar tahun 850 M. Kerajaan ini menggunakan koin-koin emas dan
perak berbentuk kotak sebagai alat tukarnya.
Koin-koin Kerajaan Mataram memiliki tiga satuan berbeda, yang nominalnya paling besar
yakni Masa atau Ma dengan berat 2,4 gram; satu langkah di bawah Ma adalah Atak dengan
berat 1,2 gram, 1 Atak setara dengan ½ Ma; dan Kupang atau Ku dengan berat 0,6 gram, 1
Ku setara dengan ½ Atak.

2. Uang masa Kerajaan Jenggala

Kerajaan Jenggala yang berkuasa di wilayah timur Pulau Jawa juga turut menorehkan
sejarah uang Indonesia. Pada masa jayanya, yakni tahun 1042 – 1130 M, koin-koin emas dan
perak tetap digunakan meski terdapat perubahan pada desain dan bentuk.
Selain koin-koin emas dan perak, kerajaan ini juga menggunakan uang kepeng dari Cina
sebagai alat pembayaran resmi (bahkan lebih sering digunakan daripada koin emas dan
perak). Ini adalah bukti pengaruh hubungan dagang dengan bangsa Cina.

3. Uang masa Kerajaan Majapahit

Keberadaan uang di Indonesia pun tidak terlepas dari sebuah kerajaan digdaya di nusantara, Kerajaan
Majapahit.
Berdiri pada 1293 – 1500 M, Kerajaan Majapahit kembali menggunakan mata uang Ma, seperti Kerajaan
Mataram Kuno. Tidak hanya Ma, kerajaan ini juga memiliki satuan mata uang Tahil, yang juga berupa
koin emas.
Selain itu, Kerajaan Majapahit juga menggunakan uang-uang dari emas dan perak dalam berbagai bentuk:
segiempat, setengah atau seperempat lingkaran, segitiga, trapesium, bahkan bentuk yang tidak jelas.
Ini menunjukkan bahwa rupa uang tersebut tidak penting. Selama ada cap bergambar teratai atau
jambangan di permukaannya, uang tersebut bisa digunakan.
Ada juga Gobog Wayang, sebuah keeping uang dengan lubang di tengahnya. Gobog Wayang merupakan
bentuk satuan mata uang yang ada dalam pengaruh budaya Cina.

4. Uang masa Kerajaan Samudra Pasai


Setelah lenyapnya Kerajaan Hindu di Indonesia, zaman berganti menjadi Kerajaan Islam.
Salah satunya adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan yang terletak di ujung Pulau
Sumatera ini mempunyai mata uang yang dinamakan Dirham.

Uang Dirham di Samudra Pasai dikeluarkan oleh Sultan Malik Al Zahir tahun 1297 hingga
1326 dan didominasi oleh tulisan arab dengan nama Malik al Zahir dan Sultan al Adul di sisi
yang lain.

Malik al Zahir adalah petinggi teladan. Uang yang dikeluarkan setiap periode selalu
mencantumkan nama Malik Al Zahir. Nilai 16 Dirham sama nilainya dengan 1 Real Spanyol
atau nilai 5 Dirham sama dengan 1 Silling Inggris.

Dirham Samudra Pasai berkadar emas 70% dan 22 karat. Kemudian dalam perkembangannya
kandungan emas terus diturunkan. Nilai mata uang Dirham dibuat dengan nilai 1 Dirham dan
1/2 Dirham.

5. Uang masa Kerajaan Buton

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara yang menggunakan koin emas dan
perak sebagai alat tukar, Kerajaan Buton memberi warna sendiri pada sejarah Indonesia.
Mereka menggunakan uang berbahan kain tenun sebagai alat tukar. Uang Kerajaan Buton ini
disebut Kampua, terbuat dari sehelai tenunan persegi panjang yang ditenun oleh puteri-puteri
istana. Corak dan desain Kampua dibuat berbeda setiap tahun untuk mengantisipasi
pemalsuan.

6. Uang masa Kesultanan Banten

Dalam sejarah uang Indonesia sebelum era penjajahan, uang Kasha adalah mata uang
Kesultanan Banten. Dibuat pada 1550 – 1596 M, koin emas ini juga mencerminkan pengaruh
Cina pada desainnya dan pengaruh Arab pada ukirannya. Selain itu terdapat pula koin-koin
tembaga dan timah.

7. Uang masa Kerajaan Gowa


Kerajaan yang terkenal dengan kisah patriotik Sultan Hasanuddin ini mengukir sejarah uang
Indonesia dengan mengeluarkan mata uang Jingara.
Jingara menggunakan campuran timah dan tembaga sebagai bahannya.

8. Uang masa Kesultanan Cirebon

Sejarah uang Indonesia pada masa Kesultanan Cirebon juga tidak terlepas dari pengaruh
Cina. Kesultanan Cirebon membuat mata uang dengan bantuan seorang Cina, mata uang
tersebut disebut Picis. Picis terbuat dari timah tipis dan mudah pecah.

9. Uang Kesultanan Sumenep

Sejarah uang Indonesia di Kesultanan Sumenep terkait dengan masuknya Spanyol ke


Indonesia. Kesultanan Sumenep menggunakan uang Spanyol sebagai alat tukar. Selain itu,
kerajaan ini juga memanfaatkan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.

5.Sejarah Uang Indonesia Masa Penjajahan

Perekonomian Indonesia di masa penjajahan Belanda tidak terlepas dari peran


pemerintahan kolonial Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
VOC menyebarluaskan penggunaan mata uang Gulden Hindia-Belanda dalam kegiatan
perekonomian di nusantara. Selain gulden, mata uang lain yang digunakan khususnya di
wilayah Sumatra dan Jawa adalah dolar Sumatra dan rupiah Jawa (keduanya hanya bertahan
sampai tahun 1824 Masehi). Keduanya punah karena pemerintah kolonial menegaskan
penggunaan gulden.
Gulden pada sejarah uang Indonesia sempat ditarik dari peredaran karena berukirkan
Ratu Wilhelmina dengan rambut yang terurai. Penarikan dari peredaran ini dilakukan karena
dianggap sebagai penggambaran tidak sopan kepada seorang bangsawan.
Gulden berjaya di Indonesia untuk waktu yang relatif lama. Bahkan pada masa pemerintahan
kolonial Jepang pun mata uang Belanda ini masih digunakan.
Hanya saja, pada gulden di masa penjajahan Jepang tertera tulisan “De Japansche Regering”
(“pemerintah Jepang”). Selain itu, pemerintah kolonial Jepang juga mengedarkan mata
uangnya sendiri, yaitu Dai Nippon Teikoku Seihu.
Selain gulden dan mata uang Jepang, mata uang lain yang pernah beredar dalam masa sejarah
Indonesia adalah mata uang rupiah Hindia-Belanda. Mata uang ini diperkenalkan di tahun
1944 tetapi hanya bertahan satu tahun karena terimbas peperangan (Perang Dunia II).

6.Sejarah Uang Indonesia Pasca-Kemerdekaan

Dalam sejarah Indonesia, mata uang yang secara resmi beredar pada awal masa
kemerdekaan adalah mata uang Jepang, gulden Hindia-Belanda, dan mata uang De Javasche
Bank.
Inflasi mata uang sempat terjadi pada mata uang Jepang, terkait kekalahannya dalam
Perang Dunia II.
Rakyat kecil Indonesia adalah pihak yang paling dirugikan atas inflasi tersebut, karena
rakyat kecil Indonesia saat itu paling banyak menggunakan mata uang Jepang dalam kegiatan
ekonomi sehari-hari.
Kerugian rakyat kecil dalam sejarah uang Indonesia diperparah dengan diturunkannya
kebijakan Panglima AFNEI yang menduduki Indonesia tahun 1946. Kebijakan tersebut berisi
pemberlakuan mata uang NICA sebagai alat transaksi resmi di Indonesia. Kebijakan ini
menuai protes dari pihak pemerintah Indonesia karena mata uang NICA dianggap merugikan
rakyat pribumi dan mengacaukan stabilitas perekonomian Indonesia yang baru saja merdeka.
Sikap protes pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan dikeluarkannya kebijakan pelarangan
menggunakan mata uang NICA dalam bertransaksi.
Langkah besar sejarah uang Indonesia yang pertama dalam mengatasi dilema penggunaan
mata uang dengan pasukan AFNEI adalah diterbitkannya ORI (Oeang Republik Indonesia).
Pada 26 Oktober 1946, pemerintah Indonesia dengan tegas dan berani mengeluarkan mata
uang baru dan melarang penggunaan mata uang asing mana pun, termasuk NICA.
Rakyat Indonesia yang baru merdeka mendukung sepenuhnya langkah berani ini. Rakyat
banyak menggunakan ORI, sebagai simbol keberpihakannya kepada pemerintah Indonesia.
Pada masa penggunaan mata uang ORI inilah, Indonesia menggoreskan perubahan-perubahan
besar di bidang perbankan, seperti berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat
Indonesia (BRI), dan sebagainya.
Pendirian bank-bank nasional ini sebenarnya merupakan bentuk akuisisi pemerintah
Indonesia terhadap aset-aset peninggalan para pemerintah sebelumnya, terutama pemerintah
penjajah Jepang.
Dalam perkembangan ekonomi dan sejarah uang Indonesia, mata uang ORI hanya digunakan
hingga tahun 1949.

Selanjutnya, Bank Indonesia memperkenalkan Rupiah sebagai mata uang resmi Indonesia.
Rupiah, yang berasal dari kata rupee, yaitu mata uang India sebenarnya sudah ada sejak masa
pemerintahan penjajahan Belanda, tetapi kalah pamor dibandingkan mata uang gulden.

Gambar Uang di Indonesia :


.

Pada awalnya seorang pemilik koin emas yang ingin mengamankannya dari bahaya akan
menitipkannya pada seorang pandai emas atau seseorang yang memiliki peti yang kuat dan
loket untuk penebusannya. Ia akan meninggalkannya tentu saja dengan syarat ia dapat
menariknya kembali, semuanya atau sebagiannya setiap saat ia perlukan.

Misalnya ada 11 orang menitipkan misalnya 100 keping emas pada seorang pemilik peti
penyimpanan; maka orang ini akan menjadi bankir mereka. Mereka akan datang kepadanya
dari waktu ke waktu, masing-masing menarik sebagian uang mereka yang akan dipakai atau
menyerahkan sejumlah uang lain untuk disimpan.

Dengan segera diketahui pada prakteknya jumlah uang yang ditarik dalam jangka waktu
tertentu, katakanlah sebulan telah digantikan oleh depositor dengan kecepatan rata-rata
tertentu: yakni meski ada jumlah tertentu ada sejumlah terkait yang didepositkan. Tetapi di
antara arus masuk dan arus keluar, selalu ada sejumlah besar cadangan di tangan. Selalu ada
sejumlah besar cadangan emas dan perak di tangan orang yang dipercayai menyimpannya.

Dalam praktek diketahui bahwa secara permanen sisa uang yang tak terpakai ini ada sejumlah
sepuluh kali dari jumlah yang perlu disiapkan untuk memenuhi permintaan penarikan.

Di tangan si bankir yang mendapatkan kepercayaan sebelas nasabah yang menitipkan uang,
ada sebanyak 1100 Poundsterling dengan 1000 Pounds dari yang 1100 ini sepenuhnya
menganggur dalam waktu tertentu. Cukup bagi si bankir untuk hanya menyimpan yang 100
Pound itu sebagai cadangan untuk memenuhi permintaan penarikan sebab ia bisa
mengandalkan arus masuk deposit baru sebebasnya untuk memenuhi seberapapun arus
penarikan terjadi. Si Jones boleh jadi menarik 10 Pound dari 100 Pound tabungannya untuk
keperluan tahun baru, tapi pada Candlemas sebulan kemudian, ia akan membayarkan 10
Pound yang ia ambil itu untuk kembali ditabung. Dengan demikian cuma 1/10 dari jumlah
total, yang harus disimpan oleh si bankir untuk memenuhi kewajibannya. Sisanya –
sekurangnya ia gelapkan, ini penggelapan karena seseorang menggunakan milik orang lain
yang dipercayakan kepadanya demi tujuan pribadi.
Tapi karena terbiasa, penggelapan ini lama-kelamaan dianggap wajar. Maka pada akhirnya si
bankir merasa aman bila ia hanya mencadangkan 1/10 dari uang yang, berdasarkan hukum
dan moral, ia wajib membayarkannya saat diminta. Sisanya yang 9/10 ia dapat gunakan untuk
apa saja yang ia mau, khususnya diutangkan dengan riba.

Tapi itu baru awal dari cerita. Sebab sebagaimana kita ketahui, para bankir akan menerbitkan
‘tanda terima’, kuitansi, atau istilah resminya ‘janji pembayaran’ (promissory note), sebagai
bukti penitipan koin emas itu. Oleh nasabahnya, kuitansi itu diterima seolah sebagai benar-
benar pembayaran. Kertas ini, hari ini kita sebut sebagai cek.

Kemudian beredar dari satu tangan ke tangan yang lain untuk sewaktu-waktu di-cash kan
(ditukar dengan koin emas di bank). Secarik kertas inipun di bawah hukum alat tukar (law of
legal tender) akhirnya menjadi uang itu sendiri. Dengan instrumen ini para bankir
mendapatkan keuntungan secara luar biasa karena, dengan mengeluarkan kerta-kertas ‘janji
pembayaran’ ini, telah menciptakan uang dari kehampaan.

Anda dan saya dengan 1100 Poundsterling dapat mengupah 11 orang untuk membangunkan
sebuah rumah untuk kita dalam waktu 6 bulan. Tapi seorang bankir dengan 1100 Pound dapat
sekaligus membangun 10 rumah. Anda dan saya dapat meminjamkan uang kita yang 1100
Pound itu dengan 5% bungan dan mendapatkan 50 Pound dalam setahun; tapi seorang bankir,
dengan dasar yang sama, dapat memperoleh sebanyak 550 Pound dalam setahun.

Ini juga belum akhir dari cerita, karena dengan berlakunya janji pembayaran tersebut sebagai
uang itu sendiri, para bankir dapat melipat gandakan uangnya lagi, dengan cara menciptakan
utang kepada para nasabah. Dengan teknik cadangan sebagaian ini, seorang bankir kemudian
dapat memperbanyak ‘uang’ -nya sampai jumlah hampir tak terbatas, dengan jalan
mengutangkan (tepatnya: membukukan utang) dengan bunga tersebut. Dalam istilah
perbankan praktek ini disebut sebagai ‘ekspansi kredit’. Syarat cadangan sebagian atau
fractional reserve requirement lazimnya pada mulanya adalah antara 8-10%. Dengan
teknologi yang lebih baru, kartu kredit, sebuah bank bahkan praktis dapat membukukan utang
dengan demikian menciptakan uang tanpa cadangan sama sekali.

Di Indonesia, pasca liberalisasi sektor perbankan pada 1988, persyaratan cadangan ini
bahkan menjadi sangat kecil, diturunkan dari 15% menjadi 2%. Ini bibit yang menjadi awal
malapetaka bangsa ini yang satu dekade kemudian ketika sektor perbankan in Indonesia
rontok. Kita akan dengan luas kembali membahas nasib bangsa Indonesia yang kini terjebak
dalam permainan para rentenir global ini di bawah nanti. Kemampuan menciptakan kredit
inilah yang memberikan oligarki keuangan kekuatan politik yang
sebenarnya. Sejumlah bukti-bukti lain akan diberikan di bawah nanti, baik di masa awal
konsolidasi kapitalisme (abad ke-19) maupun di zaman mutakhir kini. Bank-bank kini
menciptakan kredit dalam bentuk utang nasional, pada dasarnya, untuk tujuan apa saja –
mulai dari perang, proyek ‘pembangunan’, bahkan ‘reformasi politik’. Tujuan utang bagi para
rentenir adalah demi memperbanyak utang itu sendiri, karena dengan begitu mereka
menciptakan kekayaan dengan cepat dan mudah. Tapi bagi sebuah bangsa, utang nasional
apalagi yang merupakan ‘kredit politik’ seperti yang dikenal sebagai Structural Adjusment
Loan dari IMF, dapat berarti ‘utang untuk menggali kuburnya sendiri’. Contoh kasusnya
utang kepada Daulah Utsmani dan, semakin dapat dibuktikan kebenarannya, yang diberikan
kepada bangsa kita sendiri sebagaimana kita alami hari-hari ini. Kita akan melihat fakta-
faktanya di bawah nanti.

Semuanya sudah makin jelas kini. Tapi masih ada juga kesalahpahaman lain tentang uang
kertas dan implikasinya. Sebagian beranggapan bahwa uang kertas lebih memajaki
(membebani) kaum yang kaya yang punya lebih banyak uang daripada kaum miskin yang
lebih sedikit memegangnya. Ini kekeliruan fatal, karena yang sebaliknyalah yang terjadi.
Inflasi adalah pajak yang jauh lebih dibebankan kepada orang miskin. Sebab, meskipun
inflasi menurunkan nilai semua mata uang dalam suatu waktu tanpa melihat siapa yang
memilikinya, inflasi lebih menguntungkan orang-orang yang tengah berutang. Sebab, mereka
yang berutang, akan melunasinya dengan nilai uang yang secara riel lebih kecil dari nilai asal
yang menjadi kewajibannya semula. Karena yang mendapatkan kredit ini kebanyakan adalah
orang kaya, merekalah yang lebih diuntungkan oleh sistem ini, dengan dua alasan:

1. Inflasi menurunkan nilai riel uang yang harus dibayarkan oleh debitur kaya tersebut.

2. Sistem uang kertas memberikan keistimewaan eksklusif yang luar biasa kepada orang kaya
berupa akses untuk mendapatkan modal dari perbankan.

Secara keseluruhan sistem uang kertas adalah suatu bentuk ketidakadilan berupa pajak yang
paling berat bagi warga negara, terlepas dari kelas sosial dan kondisi lainnya, demi
keuntungan segelintir pribadi-pribadi. Semakin banyak uang yang diciptakan dalam bentuk
kredit yang dikeluarkan oleh bank, semakin tinggi pajak yang harus ditanggung oleh
masyarakat. Tingkatnya melebihi inflasi, karena harus kita tambahkan di sini dengan tidak
meratanya peredaran uang, karena berlakunya formula ‘uang-datang-kepada-uang’.
Seseorang yang akan meminta kredit kepada bank, katakanlah Rp. 1 Milyar, harus
menyediakan ekuitas senilai yang sama, Rp 1 Milyar. Mungkinkah Rp 1 Milyar ini
disediakan oleh seorang nelayan di Muara Angke? Kredit perbankan hanya akan datang
kepada kaum kaya, yang akibatnya akan makin mempertajam jurang ketimpangan antara si
kaya dan si miskin.

Itulah, boleh jadi, sisi terburuk dari sistem uang kertas: perpajakan terselubung, yang tidak
terlihat karena tidak mudah, dan tidak pernah, dihitung seperti halnya inflasi. Secara
keseluruhan itulah kapitalisme, yang ditopang oleh dua sumber daya hidupnya, riba sebagai
jantung kiri dan pajak sebagai jantung kanannya. Dalam skala global kapitalisme,
sebagaimana akan segera kita perlihatkan di bawah ini, telah menggantikan kekuatan militer
sebagai alat untuk mengendalikan (baca: menjajah) warga masyarakat.

Selain alat dan cara penjajahannya ada perbedaan penting lain pada kolonialisme baru
dibanding yang lama yang patut diketahui, meski pelaku dan korbannya sama. Ketika
kolonialisme berlangsung secara fisik-militer, para pelakunya memperalat suatu
pemerintahan (nasional) untuk menduduki secara fisik – di bawah ancaman militer – suatu
pemerintahan (nasional) lainnya. Di balik layar adalah para rentenir dan pedagang yang
mengeruk kekayaan dari bangsa yang dimangsanya. Kini, dalam kolonialisme baru, para
pelakunya tidak lagi memperalat suatu pemerintahannya secara langsung, tapi melalui
jaringan finansial multilateral (IMF dan Bank Dunia), yang memaksa pemerintahan nasional
korban untuk melegalkan operasi-operasi mereka. Sejumlah lembaga multilateral lain, seperti
ISO (International Standard Organization), WIPO ( World Intellectual Property Organization)
dan sejenisnya, dengan yang terutama adalah WTO (World Trade Organization), memainkan
peran yang sama di sektor jasa dan perdagangan. Di belakang mereka kemudian berbondong-
bondong perusahaan-perusahaan Multinasional (Multinational Corporation atau MNC) untuk
mereguk kekayaan dari tempat mereka beroperasi.

Kita akan membahas hal ini dengan lebih luas berikut ini. Marilah kita kembali ke fakta-fakta
sejarah, dengan mulai mengacu pada peristiwa abad ke-19, yang merupakan masa-masa
konsolidasi kekuatan kapitalisme dunia. Kita akan melihat peristiwa di negeri Muslim, yakni
Mesir, dan implikasinya kemudian bagi Daulah Utsmani. Terakhir kita longok keadaan
negeri kita sendiri, Indonesia.

7.Proses perubahan mata uang menjadi Rupiah

Pada Desember 1951, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai
bank sentral. Sesuai dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia
tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia di mana
Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral.

Di saat yang sama, Bank Indonesia juga merilis uang rupiah yang berlaku sebagai alat
pembayaran. Terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang
sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Pemerintah RI
menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp 5, sedangkan Bank Indonesia
menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp 5 ke atas.

Di tahun 1952 hingga 1953, Bank Indonesia mulai merilis uang kertas baru, mulai dari 1
Rupiah hingga 100 Rupiah. Ini menandai periode baru dalam sejarah Rupiah di mana
penerbitan dan peredaran uang kertas Rupiah kini menjadi tugas Bank Indonesia. Sedangkan
uang koin masih ditangani oleh Pemerintah secara terpisah.

Barulah pada masa Orde Baru, Bank Indonesia diberi wewenang untuk mencetak dan
menerbitkan uang, baik dalam bentuk koin ataupun kertas, serta mengatur peredarannya.

Uang inilah yang terus berkembang menjadi alat pembayaran yang diterima hingga kini. Asal
nama Rupiah sendiri berasal dari rupee (India) dan rupia (Mongolia) yang berarti perak.
8.Uang rupiah baru emisi 2016

Uang Rupiah Baru 2016

Bank Indonesia pada Desember 2016 mengeluarkan 11 uang rupiah Emisi 2016 dengan
gambar pahlawan baru. Peluncuran uang rupiah baru ini dilakukan‎ langsung oleh Presiden RI
Joko Widodo.

Uang rupiah baru yang diluncurkan tersebut terdiri atas tujuh pecahan uang rupiah kertas dan
empat pecahan uang rupiah logam. Uang rupiah baru ini akan menampilkan 12 gambar
pahlawan nasional.

Uang rupiah kertas yang diterbitkan terdiri atas nilai nominal Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20
ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. Sedangkan uang rupiah logam terdiri
atas pecahan Rp 1.000, Rp 500, Rp 200, dan Rp 100.

Sementara 12 gambar pahlawan yang menjadi latar belakangnya, antara lain Ir. Soekarno, Dr
(HC) Drs. Mohammad Hatta, Dr. G.S.S.J. Ratulangi, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Frans
Kaisiepo, Dr. K.H. Idham Chalid, Mohammad Hoesni Thamrin, Tjut Meutiah, I Gusti Ketut
Pudja, Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang, Dr. Tjiptomangunkusumo dan
Prof.Dr.Ir. Herman Johanes.

Uang rupiah tahun emisi 2016 ini memiliki desain yang simpel dengan perpaduan warna
yang yang lebih terang dari cetakan sebelumnya. Pecahan yang baru ini juga memiliki tingkat
keamanan yang terbilang cukup tinggi di dunia karena sudah menerapkan 3 level
pengamanan. Uang kertas Rupiah yang diterbitkan BI ini diklaim menjadi salah satu mata
uang yang memiliki tingkat pengamanan tertinggi di dunia
9. Perkembangan Uang Dari Tunai Ke No-Tunai

Masuknya era teknologi dan informasi yang semakin canggih dan layanan jaringan internet
diberbagai belahan negara di dunia semakin cepat dari 2G,3G hingga 5G menjadikan pola
pokir atau mindset manusia atau masyarakat terus melakukan terobosan dan inovasi di
berbagai bidang terutama pada sistem keuangan yang dimana sistem keuangan ini perlu
ditingkatkan dalam beberapa hal yakni layanan kemudahan dalam bertransaksi,keamanan
dalam melakukan transaksi hal ini perlu ditingkatkan mengingat saat ini kemudahan akses
jaringan yang semakin cepat dari suatu tempat ke tempat lain bahkan dari suatu negara ke
negara lain untuk bertransaksi atau jual beli baik antar warga negara,antar bisnis,antar
lembaga dan antar pemerintahan,apalagi ditambah adanya perjanjian Masyarakat Ekonomi
Asean atau Asean Economic Community (AEC) menimbulkan maraknya terjadi peredaran
dan pencetakan uang palsu di Indonesia dan penipuan dalam transaksi jual beli serta
banyaknya oknum tertentu melakukan korupsi,serta penyimpangan-penyimpangan pengadaan
barang dan jasa proyek penyelenggaraan anggaran baik daerah,provinsi dan pemerintah pusat
dan swasta serta tindakan-tindakan kriminalitas lainnya dalam transaksi uang dimana sesuai
dengan Undang-Undang No.25 tahun 2003
Demi menjaga stabilitas ekonomi yang akan datang,meningkatkan system keamanan
keuangan yang lebih baik,mencegah praktek-praktek penyimpangan serta mengajak semua
elemen masyarakat untuk ikut serta dalam Gerakan National Non-Tunai serta mengedukasi
elemen masyarakat dalam menguraingi pemakaian uang tunai. Bank Indonesia dalam
menjalankan mandat tersebut mengacu pada empat prinsip kebijakan sistem pembayaran,
yakni keamanan, efisiensi, kesetaraan akses dan perlindungan konsumen.

• Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko likuiditas, risiko
kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan dimitigasi dengan baik oleh setiap
penyelenggaraan sistem pembayaran.
• Prinsip efisiensi menekankan bahwa penyelanggaran sistem pembayaran harus dapat
digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung masyarakat akan lebih murah
karena meningkatnya skala ekonomi.
• Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti bahwa Bank Indonesia tidak
menginginkan adanya praktik monopoli pada penyelenggaraan suatu sistem yang dapat
menghambat pemain lain untuk masuk.
• Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran untuk
memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.
.
Secara garis besar Sistem pembayaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu Sistem pembayaran
tunai dan Sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan mendasar dari kedua jenis sistem
pembayaran tersebut terletak pada instrumen yang digunakan. Pada sistem pembayaran tunai
instrumen yang digunakan berupa uang kartal, yaitu uang dalam bentuk fisik uang
kertas dan uang logam, sedangkan pada sistem pembayaran non-tunai instrumen yang
digunakan berupa Alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), Cek, Bilyet Giro, Nota
Debit, maupun uang elektronik.
Untuk masyarakat awam yang kurang mengikuti arus informasi, sepertinya transaksi non
tunai merupakan sesuatu hal yang asing atau baru. dikarenakan kebiasaan keseharian mereka
yg selalu melakukan transaksi langsung dengan alat pembayaran atau yang disebut transaksi
tunai. Dalam beberapa kasus,bertransaksi dengan transaksi non-tunai sebenarnya sangat
aman. Di tengah tingginya kriminalitas saat ini pasti lebih beresiko membawa uang tunai kem
anapun kita pergi.
Bayangkan saja ketika membawa uang banyak untuk berbelanja ke mall lalu tiba-tiba tas
atau dompet kita di copet. Pasti 100% uang kita akan hilang dengan mudah. Sebaliknya,
bagaimana jika anda membawa alat pembayaran transaksi non-tunai dan tidak membawa
uang tunai terlalu banyak? Jika terjadi kerampokkan kita hanya perlu segera menghubungi
pihak bank bisa melalui telephone ataupun langsung ke bank tersebut untuk melakukan
pemblokiran segala transaksi. Sehingga dana yang ada dalam alat bantu tersebut akan
dibekukan.

Dalam transaksi non-tunai, keuntungan yang pasti paling digemari oleh kaum wanita adalah
dengan menggunakan alat bantu transaksi non-tunai kita dapat mendapatkan banyak
potongan harga, dan atau cash back dari berbagai tenant(penyewa). Mungkin sebagian besar
dari pembaca yang berpikiran konvensional masih merasa ketakutan untuk beralih dari
transaksi tunai ke transaksi non-tunai.

Tujuan dari transaksi non-tunai adalah :


1) 1.Salah satu cara untuk meningkatkan transparansi dan pencegahan korupsi dalam
pelayanan public. Hal ini awalnya dicetuskan karena tingginya penerimaan uang tunai
di loket yang menyebabkan tingginya peluang untuk korupsi.
2) 2.Menekan kriminalitas, sehingga setiap orang dapat bertransaksi dengan aman, cepat,
mudah, terkontrol, mengurangi waktu perhitungan uang sekaligus meminimalisir
kesalahan dalam menghitung uang dan mengurangi waktu mengantri.

Jenis transaksi non-tunai :


1.Kartu Kredit

Kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank untuk pembayaran barang atau jasa yang
pembayarannya bisa dilunasi di bulan selanjutnya. Selain ada bunga ketika tagihan telat di
bayar, kartu jenis ini memberikan banyak manfaat lain. Karena ada berbagai macam promosi
yang dilakukan oleh pihak bank setiap waktunya.

2.Kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri)


Kartu ATM akan didapatkan ketika membuka tabungan dan menyimpan uang di bank.
Kartu ini akan menjadi penolong ketika anda sibuk dan tidak sempat untuk mengantri di teller
bank ataupun anda harus melakukan transaksi di malam hari (karena ATM buka 24 jam).
Kartu ATM bisa digunakan untuk menarik uang, mentransfer atau mendebit langsung dari
rekening saat kamu berbelanja. Penggunaan kartu ini biasanya dilakukan di gerai ATM,
supermarket terdekat atau pun tenant. Pihak bank bahkan mendorong nasabahnya untuk
melakukan transaksi di gerai ATM bila nilai transaksi
Rp5 juta ke bawah.

3.E-Money (Uang Elektronik)

Gambar : Kartu E-Money

Sebuah kartu elekronik yang dijadikan alat pembayaran atas dasar nilai uang yang disetorkan
terlebih dahulu. Jumlah setoran berkisar antara Rp 1 juta (chip based) hingga Rp 5 juta
rupiah (Server based). Dana disimpan secara elekronik dan digunakan untuk pembayaran
yang transaksinya dilakukan secara elektronik.

Manfaat transaksi non-tunai :

1.Keamanan lebih terjamin dengan adanya pin dan tanda tangan di alat pembayaran. Dengan
demikian transaksi anda akan jauh lebih aman daripada menggunakan uang tunai.

2.Menekan biaya pengelolaan uang rupiah dan cash handling.

3.Meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian.

4.Dapat memberantas korupsi yang telah merajalela di Indonesia, karena seluruh transaksi
dapat terlacak dengan jelas dan pasti.

5.Promo dan berbagai macam keuntungan lain dari pihak bank yang dapat diperoleh
dimanapun dan kapanpun. Misalnya saja di restoran, supermarket atau toko baju.
.
6.Sudah pasti keuntungan berhutang barang belanjaan kepada Bank karena tagihan dari
belanjaan anda bulan ini akan keluar bulan depan.

7.Tenant atau penyewa dapat mengatur uang tunai yang tersedia di outlet sehingga
keamanan outlet dapat lebih ditingkatkan.

8.Seluruh transaksi akan tercatat dengan baik.

9.Menghemat waktu karena tidak perlu mengantri di teller, sebagai ganti waktu untuk
mengantri Anda dapat melakukan hal lain yang lebih menguntungkan.

You might also like