Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Aldania Fajrin
6120018040
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURABAYA
2018
1. Definisi Asma
2. Patofisiologi Asma
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyempitan
saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran napas, penebalan
dinding saluran napas dan hipersekresi mucus (N Miglino, 2011).
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai mediator
bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap penyempitan
saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema pada saluran
napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut.
Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga
”remodelling”. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodeling.
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling ini
yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini kadang-
kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses remodeling ini dapat
menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini dikarakteristikan oleh
peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial,
dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau
hiperplasia.
Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti
tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan
hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain
itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos (I Bara, 2010).
lingkungan
Rangsangan alergen.
Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
Infeksi.
Merokok
Obat.
Penyebab lain atau faktor lainnya.
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala
lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri
tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut
dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial,
beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh
adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas,
obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada
pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja
atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.
5. Diagnosis Asma
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan
pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan
terhadap asma adalah :
1. Di dengarkan suara mengi (wheezing) sering pada anak-anak
Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi diagnosis
sama, apabila terdapat :
1. Memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi
5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma
(Sebelum Pengobatan)
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala < 1x/minggu ≤ 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
Tanpa gejala diluar serangan APE ≥ 80% nilai terbaik
Serangan singkat Variabilitas APE < 20%
II. Persisten
Ringan Mingguan APE ≥ 80%
Gejala > 1x/minggu, tapi < > 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
1x/hari APE ≥ 80% nilai terbaik
Serangan dapat mengganggu Variabilitas APE 20-30%
aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
III. Persisten
Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari >1x/minggu VEP1 60-80% nilai prediksi
Serangan menggangu aktivitas APE 60-80% nilai terbaik
dan tidur Variabilitas APE > 30%
Membutuhkanbronkodilator
setiap hari
IV. Persisten
Berat Kontinyu APE ≤ 60%
Gejala terus menerus Sering VEP1 ≤ 60% nilai prediksi
Sering kambuh APE≤ 60% nilai terbaik
Aktivitas fisik terbatas Variabilitas APE > 30%
Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan
7. Asessment
Penilaian asma seharusnya menilai juga pengendalian asma (pengendalian gejala
dan resiko terjadinya efek samping dikemudian hari), masalah terapi, terutama dalam hal
teknik penggunaan inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat berkontribusi
terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk.
8. Tatalaksana
Tujuan jangka panjang tatalaksana asma adalah mengontrol timbulnya gejala dan
mengurangi resiko berulangnya serangan. Hal ini akan mengurangi beban pada pasien,
mencegah kerusakan saluran nafas, dan mengurangi efek samping pengobatan.
Pengobatan pada pasien asma sangat bersifat individual dan diperlukan kerjasama yang
baik antara dokter dan pasien.
Dalam manajemen asma berbasis kontrol, pengobatan farmakologis dan non-
farmakologis disesuaikan dalam siklus yang berkelanjutan dan melibatkan penilaian,
pengobatan dan review. Untuk pasien yang dalam perawatan primer, kontrol gejala
adalah panduan yang baik untuk mengurangi resiko terjadinya eksaserbasi. Oleh karena
itu, dalam manajemen berbasis kontrol, kedua domain manajemen asma (kontrol gejala
dan resiko eksaserbasi) harus diperhitungkan ketika memilih pengobatan asma dan
diperlukan peninjauan respon terapi.
Terapi asma
Jika dibandingkan dengan obat yang digunakan untuk penyakit kronis lainnya,
sebagian besar obat yang digunakan untuk pengobatan asma memiliki rasio terapi
yang sangat baik. Pilihan farmakologi untuk pengobatan asma jangka panjang terbagi
menjadi tiga kategori utama berikut ini :
1. Obat pengontrol (controller) digunakan untuk perawatan pemeliharaan rutin.
Digunakan untuk mengurangi peradangan saluran nafas, mengendalikan gejala,
dan mengurangi resiko dimasa depan, misalnya eksaserbasi dan penurunan fungsi
paru.
2. Obat pereda (reliever) digunakan pada semua pasien untuk menghilangkan gejala,
termasuk pada asma yang berat dan eksaserbasi. Obat ini juga direkomendasikan
untuk pencegahan jangka pendek dari bronkoskonstriksi yang disebabkan oleh
olahraga.
3. Penambahan terapi lainnya yang diberikan pada pasien asma berat, mulai
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami gejala asma persisten dan
eksaserbasi terus menerus walaupun sudah diberikan terapi yang optimal.
Terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secapat mungkin setelah diagnosis
asma ditegakkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, berdasarkan bukti klinis
sebagai berikut :
- Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru
lebih baik dibandingkan jika pemberiaannya dilakukan setelah muncul gejala
selam 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut makan dibutuhkan
dosis ICS yang lebih tinggi.
- Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksasebasi akan mengalami
penurunan fungsi paru yang lebih hebar daripada pasien yang telah menggunakan
ICS
- Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari alergen, iritan, dan
terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
Step 1
- Sputum guided treatment untuk pasien dengan gejala yang persisten dan atau
eksaserbasi walaupun dengan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi atau IC/LABA,
pengobatan dapat disesuaikan dengan eosinofil > 3%. Pada asma berat strategi
ini dapat menurunkan terjadinya eksaserbasi dan atau dosis rendah kortikosteroid
inhalasi.
4. Vitamin D
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum vitamin
D yang rendah terkait dnegan penurunan fungsi paru, peningkatan frekuensi
eksaserbasi, dan penurnan respons kortikosteroid. Sampai saat ini suplementasi
vitamin D belum bisa dikaitkan dengan peningkatan kontrol asma dan penurunan
eksaserbasi.
Tatalaksana non-farmakologis :
Selain tatalaksana farmakologis, terapi non-farmakologis dapat dipertimbangkan untuk
membantu meningkatkan kontrol gejala dan/atau mengurangi resiko dimasa depan.
Berikut beberapa intervensi non-farmakologis yang dapat dilakukan :
- Berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok
- Aktivitas fisik
- Menghindari paparan pekerjaan
- Menghindari obat-obat yang dapat menyebabkan perburukan asma
- Diet
- Mengindari paparan alergen dari luar
- Penurunan berat badan
9. Tatalaksana Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan gejala akut dan sub-akut yang memburuk fungsi paru-paru.
Penurunan aliran udara pada saat ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru-
paru seperti puncak aliran ekspirasi (PEF) atau volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(FEV1), dibandingkan dengan fungsi paru-paru pasien sebelumnya. Pengukuran ini
adalah indikator yang lebih dapat diandalkan untuk menilai keparahan eksaserbasi
daripada gejala. Eksaserbasi parah berpotensi mengancam jiwa dan pengobatannya
membutuhkan penilaian yang cermat dan pemantauan ketat.
Riwayat
Riwayat harus mencakup:
- Waktu timbulnya dan penyebab (jika diketahui) dari eksaserbasi ini
- Beratnya gejala asma, termasuk olahraga yang membatasi atau mengganggu
tidur
- Gejala anafilaksis
- Faktor risiko apa pun untuk kematian terkait asma
- Semua obat pereda dan pengontrol saat ini, termasuk dosis dan perangkat
yang ditentukan, pola kepatuhan, apa saja perubahan dosis terbaru, dan
respons terhadap terapi saat ini.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus menilai:
- Tanda-tanda keparahan eksaserbasi dan tanda-tanda vital (mis. tingkat
kesadaran, suhu, denyut nadi, laju pernapasan, tekanan darah, kemampuan
untuk menyelesaikan kalimat, penggunaan otot-otot aksesori, mengi).
- Faktor-faktor rumit (mis. Anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks)
- Tanda-tanda kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut (mis.
Gagal jantung, jalan napas atas) disfungsi, benda asing yang dihirup atau
emboli paru).
Penilaian obyektif
Penilaian obyektif juga diperlukan karena pemeriksaan fisik saja mungkin tidak
menunjukkan tingkat keparahan eksaserbasi.
- Tingkat saturasi <90% pada anak-anak atau orang dewasa menandakan
perlunya terapi agresif.
- PEF pada pasien yang berusia > 5 tahun
Terapi eksaserbasi pada layanan primer
β2-agonis short-acting inhalasi
Untuk eksaserbasi ringan hingga sedang, pemberian SABA inhalasi berulang
(hingga 4-10 puff setiap 20 menit selama satu jam pertama) biasanya
merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai pembalikan
cepat pembatasan aliran. Setelah satu jam pertama, dosis SABA yang
dibutuhkan bervariasi mulai dari 4–10 isapan setiap 3–4 jam hingga 6–10
isapan setiap 1-2 jam, atau lebih sering. Tidak diperlukan SABA tambahan
jika ada respons yang baik terhadap pengobatan awal (mis. DTP> 60-80% dari
yang diprediksi atau yang terbaik secara pribadi selama 3-4 jam). Pengiriman
SABA melalui pMDI dan spacer atau DPI mengarah ke peningkatan serupa
dalam fungsi paru-paru seperti pengiriman melalui nebulizer. Namun, pasien
dengan asma berat akut tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Rute
pemberian yang paling hemat biaya adalah pMDI dan spacer.
Terapi Oksigen terkontrol
Untuk mencapai saturasi oksigen arteri 93-95% (94-98% untuk anak-anak 6-11
tahun), oksigen harus diberikan dengan kanul atau masker hidung. Pada
eksaserbasi berat, terapi oksigen aliran rendah terkontrol menggunakan
oksimetri nadi untuk mempertahankan saturasi pada 93-95% dikaitkan dengan
hasil fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan terapi oksigen 100%
aliran tinggi. Setelah pasien stabil, pertimbangkan untuk menghentikan
menggunakan oksigen menggunakan oksimetri untuk memandu kebutuhan
akan terapi oksigen yang sedang berlangsung.
Kortikosteroid sistemik
Dosis kortikosteroid sistemik yang direkomendasikan pada dewasa yaitu
prednisolone 1 mg/kgBB/hari, maksimal 50 mg/hari dan pada anak usia 6-11
tahun diberikan prednisolone 1-2 mg/kgBB/hari, maksimal 40 mg/hari.
Kortikosteroid sistemik dapat diteruskan hingga 5-7 hari. Pasien diberi edukasi
tentang efek samping yang dapat terjadi, termasuk gangguan tisur, peningkatan
nafsu makan, dan perubahan mood.
Obat pengontrol
Pasien yang sudah diresepkan obat pengontrol harus diberikan saran tentang
meningkatkan dosis untuk 2-4 minggu ke depan. Pasien yang saat ini tidak
minum obat pengontrol biasanya harus memulai terapi yang mengandung ICS
karena eksaserbasi yang memerlukan perawatan medis menunjukkan bahwa
pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan eksaserbasi di masa depan.
Antibiotik (tidak disarankan)
Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma kecuali ada
bukti kuat infeksi paru-paru (mis. Demam dan dahak purulen atau bukti
radiografi pneumonia). Pengobatan agresif dengan kortikosteroid harus
dilakukan sebelum antibiotik dipertimbangkan.
Meninjau respons
Selama perawatan, pasien harus dimonitor, dan pengobatan dititrasi sesuai dengan
respon mereka. Pasien dengan respons yang sedikit atau lambat terhadap
pengobatan SABA harus dimonitor secara ketat. Bagi banyak pasien, fungsi paru-
paru dapat dipantau setelah terapi SABA dimulai. Pengobatan tambahan harus
dilanjutkan sampai PEF atau FEV1 mencapai level yang lebih tinggi atau
(idealnya) kembali ke kondisi terbaik pasien sebelumnya.
Global Initiative for Asthma (GINA). (2017). Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. GINA.