You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penduduk usia tua atau lanjut usia menurut UU RI Nomor 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lanjut usia adalah mereka yang berumur 60
tahun atau lebih. Meningkatnya usia harapan hidup mengakibatkan
peningkatan jumlah penduduk usia lanjut. Penuaan adalah suatu keadaan
yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua terjadi sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Penuaan merupakan suatu proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahapan kehidupan,yaitu anak, dewasa,
dan tua (Nugroho, 2015).
World Health Organization (2008) dalam Trisnawati (2010) mengatakan
bahwa di benua Asia, khususnya yang berada dikawasan Asia Tenggara,
lansia yang berumur 60 tahun keatas berjumlah ±124 juta orang dan
diperkirakan akan terus meningkat menjadi tiga kali lipat pada tahun 2050
(Trisnawati, 2010). Jumlah lansia di Indonesia telah memasuki era
penduduk struktur lansia, pada tahun 2009 jumlah penduduk berusia diatas
60 tahun sekitar 8,3% atau 19,3 juta jiwa (Komisi Nasional Lanjut Usia,
2010). Wilayah dengan jumlah penduduk lanjut usia paling banyak adalah
Pulau Jawa dan Bali, sekitar 7% (Irawan, 2013). Berdasarkan Provinsi,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki lansia tertinggi yaitu
14,02% dibanding dengan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa
Timur (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010).
Jumlah penduduk lansia pada tahun 2013 sebanyak 18.861.763 jiwa
dengan usia harapan hidup 67,4 tahun. Populasi lansia di Indonesia
diprediksi meningkat sekitar 28,8 juta jiwa atau 11,34% pada tahun 2020 (
Kemenkes RI, 2014). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, menunjukkan bahwa Jumlah lansia di Provinsi DI Yogyakarta
pada tahun 2015 sebanyak 218.060 lansia perempuan dan 247.568 lansia
laki-laki. Total keselurahan lansia di Yogyakarta yang tersebar di 5
Kabupaten dan Kota sebanyak 465.628 jiwa. Kabupaten yang dengan
jumlah lansia sebanyak 156.068 jiwa dan tersebar di 17 Kecamatan (Ditjen
Kependudukan, 2016).
Peningkatan jumlah lansia membutuhkan upaya pemeliharaan serta
meningkatan kesehatan seperti yang disebutkan dalam UU No. 36 tahun
2009 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “upaya pemeliharaan kesehatan bagi
lanjut usia harus ditunjukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
produktif secara sosial maupun ekonomi sesuai dengan martabat
kemanusiaan” yang mana di Indonesia baru dalam taraf perintisan. Pada
ayat 2 menetapkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat
tetap hidup mandiri serta produktif secara sosial dan ekonomis (Maryam,
dkk, 2008).
Penduduk lansia pada umumnya banyak mengalami penurunan akibat
proses alamiah yaitu proses menua (Aging) dengan adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling beriteraksi (Nugroho,
2000). Permasalahan yang berkembang memiliki keterkaitan dengan
perubahan kondisi fisik yang menyertai lansia. Perubahan kondisi fisik pada
lansia diantaranya adalah menurunnya kemampuan muskuloskeletal kearah
yang lebih buruk. Penurunan fungsi muskuloskeletal menyebabkan
terjadinya perubahan secara degeneratif yang dirasakan dengan keluhan
nyeri (Christensen, 2006), kekakuan, hilanganya gerakan dan tanda-tanda
inflamasi seperti nyeri tekan, disertai pula dengan pembengkakan yang
mengakibatkan terjadinya gangguan imobilitas. Dari hasil studi tentang
kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lansia yang dilaksanakan Komnas
Lansia tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita lansia
adalah penyakit sendi (52,3%), penyakitpenyakit send ini merupakan
penyebab utama disabilitas pada lansia (Pusat Komunikasi Publik,
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2008). Diperkirakan pada tahun
2025 lebih dari 35 % akan mengalami kelumpuhan akibat kerusakan tulang
dan sendi (Handono&Isbagyo, 2005).
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi sistemik
kronik yang menyebabkan tulang sendi destruksi, deformitas, dan
mengakibatkan ketidakmampuan (Meiner&Luekenotte, 2006). Prevalensi
penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan Rheumatoid Arhtritis
mengalami peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia. Rheumatoid
Arhtritis telah berkembang dan menyerang 2,5 juta warga Eropa, sekitar 75
% diantaranya adalah wanita dan kemungkinan dapat mengurangi harapan
hidup mereka hampir 10 tahun (Breedveld, 2003) . Di Amerika Serikat,
Penyakit ini menempati urutan pertama dimana penduduk AS dengan
Rheumatoid Arhtritis 12.1 % yang berusia 27-75 tahun memiliki kecacatan
pada lutut, panggul, dan tangan, sedangkan di Inggris sekitar 25 % populasi
yang berusia 55 tahun ke atas menderita Rheumatoid Arhtritis pada lutut.
Perjalanan RA bervariasi, tergantung dari kepatuhan penderita untuk
berobat dalam jangka waktu yang lama. Sekitar 50-70 % penderita dengan
RA akan mengalami remisi dalam 3 sampai 5 tahun dan selebihnya akan
mengalami prognosis yang lebih buruk dan umumnya akan mengalami
kematian lebih cepat 10-15 tahun dari pada penderita tanpa RA
(Williams&Wilkins, 1997). Keadaan penderita akan lebih buruk apabila
lebih dari 30 buah sendi mengalami peradangan dan sebagian besar
penderita akan mengalami RA sepanjang hidupnya (Handono&Isbagyo,
2005). Dengan bertambahnya umur, penyakit ini meningkat baik wanita
maupun laki laki. Puncak kejadianya pada umur 20-45 tahun dan penyakit
Rheumatoid Arhtritis ini sering dijumpai pada usia di atas 60 tahun dan
jarang dijumpai pada usia di bawah 40 tahun (Indonesian Rheumatoid
Assosiation (IRA), 2001). Prevalensi lebih tinggi wanita dibandingkan
dengan laki laki, lebih dari 75% penderita RA adalah wanita (Siswono,
2006). Rheumatoid Arhtritis terungkap sebagai keluhan atau tanda dengan
keluhan utama sistem muskuloskeletal yaitu nyeri, kekakuan, dan spasme
otot serta adanya tanda utama yaitu pembengkakan sendi, kelemahan otot,
dan gangguan gerak (Meiner&Luekenotte, 2006). Gejala Rheumatoid
Arhtritis tersebut oleh masyarakat dirasakan sebagai penyakit sederhana dan
tidak menimbulkan kematian. Breedveld (2003), mengatakan separuh dari
2.800 orang dari 5 negara yang ditanya dalam survei yang dilakukan
”European Public Opinion Survey” tidak berfikir bahwa penyakit
Rheumatoid Arhtritis dengan sendi dapat menganggu kemampuan mereka
untuk bekerja, bahkan sekitar 55% tidak menyadari bahwa hal itu dapat
mengurangi usia harapan hidup. Jika tidak segera ditangani Rheumatoid
Arhtritis bisa membuat anggota tubuh berfungsi tidak normal, sendi akan
menjadi kaku, sulit berjalan, bahkan akan menimbulkan kecacatan seumur
hidup, sehingga aktivitas sehari-hari lansia menjadi terbatas. Selain
menurunkan kualitas hidup, Rheumatoid Arhtritis juga meningkatkan beban
sosial ekonomi bagi para penderita dan tentunya akan menimbulkan
masalah untuk keluarga.
Proses menjadi tua berlangsung secara alamiah terus menerus dan
berkesinambungan, yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan
anatomis, fisiologis, dan biokemis pada jaringan tubuh dan akhirnya akan
mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes
RI, 2001). Ketidakmampuan yang dialami menimbulkan masalah baru
untuk keluarga seperti gangguan mobilitas, ketidakmampuan fisik, dan
menurunya kemampuan melakukan perawatan diri sehingga dibutuhkan
tingkat kemandirian yang baik untuk lansia (Handono&Isbagyo, 2005).
Kemandirian untuk lansia dengan melakukan upaya tindakan preventif
dengan melakukan olahraga secara teratur, melakukan pengaturan pola diet
seimbang dengan mengurangi makanan yang mengandung tinggi purin dan
tinggi protein. Bila nyeri muncul dilakukan sebuah tindakan dengan
menggunakan terapi modalitas diantaranya melakukan kompres hangat
(Brunner&Suddarth, 2002) dan bila ada kemerahan dan bengkak
menggunakan kompres dingin (Meiner&Luekenotte, 2006).
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 17
Maret 2018 di RT 08 Padukuhan Ngrangsan, Desa Selomartani, Kecamatan
Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta terdapat lansia dengan
Rheumatoid Arhtritis.
Berdasarkan masalah tersebut, penulis memilih tema tentang
Rheumatoid Arhtritis ini, karena keluhan yang dirasakan warga sehubungan
dengan Rheumatoid Arhtritis sudah tidak asing lagi dalam lingkungan kita,
terutama pada lanjut usia, sehingga penulis membuat laporan ini agar para
masyarakat terutama keluarga mengetahui tentang Rheumatoid Arhtritis dan
perawatan diri pada penderita Rheumatoid Arhtritis agar mampu
meningkatkan kualitas hidup lansia.

B. BATASAN MASALAH
Penulis membuat asuhan keperawatan gerontik ini dan mengangkat
masalah Rheumatoid Arhtritis pada lansia.

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Menjelaskan pengertian dan melakukan asuhan keperawatan
gerontik dengan Rheumatoid Arhtritis untuk meningkatkan kualitas hidup
lansia.

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi masalah – masalah kesehatan yang ada pada Ny.
SU
b. Melakukan analisa data.
c. Menyusun prioritas masalah.
d. Merumuskan masalah.
e. Membuat diagnosa keperawatan gerontik.
f. Merencanakan intervensi sesuai dengan tindakan keperawatan.
g. Mengimplementasikan rencana yang telah dibuat.
h. Melakukan evaluasi.
i. Mendokumentasikan laporan asuhan keperawatan gerontik.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Lansia dan Keluarga
a. Lansia dan keluarga dapat mengenal masalah kesehatan.
b. Lansia dan keluarga dapat mengambil keputusan yang tepat.
c. Lansia dan keluarga dapat merawat anggota keluarga yang sakit.
d. Lansia dan keluarga dapat mendeteksi secara dini masalah kesehatan
yang ada.
e. Lansia dan keluarga dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas kesehatan
yang ada.

2. Mahasiswa Ners
a. Mampu menerapkan teori yang didapat di bangku perkuliahan.
b. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman.
c. Mampu mengenal kesehatan yang ada dalam masyarakat.
d. Mampu bersosialisasi dengan anggota keluarga dan masyarakat.

You might also like