You are on page 1of 7

EVIDANCE BASED DAN CRITICAL DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

ANALISIS JURNAL
“Non-invasive prenatal testing for aneuploidy: current status and future prospects”

DOSEN PEMBIMBING : NISPI YULYANA, M.KEB

DI SUSUN OLEH :
MEIRISKA EKA SYASMI
P0 5140418029

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU
JURUSAN D IV KEBIDANAN ALIH JENJANG
TAHUN AJARAN 2018/2019
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga Saya dapat menyelesaikan analisi jurnal yang berjudul “Non-invasive
prenatal testing for aneuploidy: current status and future prospects” dengan lancar. Penulisan
ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah Evidance
Based dan Critical dalam Pelayanan Kebidanan serta agar menambah ilmu pengetahuan tentang
kemajuan-kemajuan terbaru dalam ilmu kebidanan.
Harapan Saya, analisis ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Memang analisis ini
masih jauh dari sempurna, maka Saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Bengkulu, Maret 2019

Penulis
Daftar Isi

Cover Makalah
Kata Pengantar………………………………………………………………………….…. i
Daftar Isi ………………………………………………………………………………….. ii
1. Judul Jurnal………………………………………………………………….... 1
2. Abstract ………………………………………………………………………. 1
3. Pendahuluan…………..………………………………………………………. 1
4. Hasil Analisi…………………………………………………........................... 1
5. Kesimpulan……………………………………………………………………. 4
Daftar Pustaka …………….……………………………………………………….………5
1. JUDUL JURNAL
Non-invasive prenatal testing for aneuploidy: current status and future prospects

2. ABSTRACT
 Penulisan abstract dalam Jurnal ini sudah sesuai dengan kaidah penulisan Jurnal, yaitu terdiri
dari 215 kata.
 Bagian abstract jurnal sudah sedikit menjelaskan tentang procedure NIPT atau skrining
utntuk down syndrome dan kelainan genital lainnya. Di bagian abstract sangat ditekankan
bahwa metode NIPT mampu mendeteksi ibu yang memiliki resiko rendah bahkan tinggi
dengan kelainan aneuploidy.

3. PENDAHULUAN
Pada point pendahulan, peneliti menjelaskan perjalanan peneliti-peneliti sebelumnya
mengenai kehamilan down syndrome, dijelaskan dahulu bahwa usia ibu lanjut, didefinisikan di
sebagian besar daerah sebagai lebih dari 35 tahun, adalah satu-satunya sarana yang populasi
umum dinilai sebagai risiko dari kelainan kromosom janin. Kurang dari sepertiga kehamilan
down sindrom didiagnosis sebelum lahir dan dari mereka yang menjalani diagnosis prenatal
invasif hanya sekitar 2% memiliki kelainan kariotipe janin 1, sebuah angka yang sebanding
dengan kesempatan 0,5-1% kariotipe janin 1, sebuah angka yang sebanding dengan kesempatan
0,5-1% kariotipe janin 1, sebuah angka yang sebanding dengan kesempatan 0,5-1% dari
kematian janin prosedur terkait terkait dengan amniosentesis atau chorionic villus sampling
(CVS) 2.
Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, pengenalan serum markers ibu pada trimester
kedua, dalam bentuk 'ganda', 'tiga' dan 'quad' pengujian penanda, meningkat secara signifikan
kinerja skrining untuk aneuploidi. Proporsi kehamilan Down sindrom didiagnosis lebih dari dua
kali lipat dan kelainan kromosom ditemukan di sebanyak 4% dari orang-orang yang ditunjuk
sebagai 'layar-positif' 3.
Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, dari orang-orang yang ditunjuk sebagai 'layar-
positif' skrining aneuploidi bergeser ke trimester pertama dengan test 'gabungan', yang
menggunakan pengukuran ultrasound dari kuduk ketebalan tembus (NT) bersama-sama dengan
konsentrasi ibu serum protein plasenta human chorionic gonadotropin (hCG) (bebas ß, utuh serum
protein plasenta human chorionic gonadotropin (hCG) (bebas ß, utuh serum protein plasenta
human chorionic gonadotropin (hCG) (bebas ß, utuh atau total) dan kehamilan terkait plasma
protein-A (Papp-A). Saat protocol skrining tersedia juga menggabungkan penanda USG tambahan
dan skrining berurutan menggunakan dua sampel darah, satu di pertama dan satu pada trimester
kedua, dengan atau tanpa NT. Akibatnya, skrining kinerja telah meningkat sehingga lebih dari
sembilan-persepuluh kasussindrom Down dapat didiagnosis sebelum lahir 4 dan hasil dari
pengujian invasif telah meningkat menjadi sekitar 6%.
Menurut jurnal tersebut, tes NIPT mampu mendekteksi beberapa kelainan kromosom yang
sering terjadi seperti trisomi 13 (Patau Syndrome), trisomi 18 (Edward Syndrome), trisomi 21
(Down Syndrome), Klinifelter Syndrome hingga Turner Syndrome. Semua kelainan kromosom
ini bisa dikenali keberadaannya sejak dari masa kehamilan menggunakan tes NIPT.
Jurnal ini juga menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh dokter dan penyedia layanan
kesehatan publik ketika mempertimbangkan kepada siapa NIPT akan ditawarkan dan mengenai
konsekuensi melakukannya, saran-saran praktis tentang bagaimana menerapkan teknologi baru
dan kuat ini ke dalam praktek klinis rutin, dan beberapa indikasi bagaimana kita berharap
pengujian ini untuk memperluas. Kami focus terutama pada deteksi kelainan kromosom janin,
mengakui bahwa teknologi pada akhirnya akan digunakan untuk menguji untuk berbagai gangguan
genetik lainnya.
Dijelaskan, alasan mengapa harus melakukan skrinning Down Syndrome pada
pemeriksaan kehamilan dikarena dalam konteks saat ini adalah penting untuk membedakan
diagnosis prenatal aneuploidi dari skrining antenatal. Sebuah tes diagnostik dilakukan pada villi
chorionic memerlukan cairan ketuban atau darah janin untuk pemeriksaan, yang mana nanti
hasilnya akan menginformasikan keputusan apakah harus mengakhiri kehamilan. Sebaliknya,
skrining antenatal tidak bertujuan untuk menjadi definitive, namun dirancang untuk
mengidentifikasi wanita yang berada pada risiko tinggi aneuploidies umum untuk menjamin
diagnosis prenatal invasive.
Kelemahan dari procedure NIPT ini adalah resiko keguguran karena dilakukan
amniosintesis, tapi apabila prosedur dilakukan sesuai dengan protab yang ada, maka resiko
keguguran atau kehilangan janin akan kecil atau jarang terjadi. Selain itu, biaya yang relative
mahal juga membuat procedure ini jarang dilakukan, karena tidak semua mengerti dan paham
bahwa ternyata procedure skrining aneuploidy ini penting untuk dilakukan. Peneliti berharap,
dengan adanya NIPT mampu dengan cepat mendeteksi aneuploidi diawal kehamilan dengan
mengurangi resiko keguguran.

4. KESIMPULAN
Dari Jurnal diatas, dapat disimpulkan, bahwa kebanyakan kasus down syndrome
ditemukan dari wanita yang hamil pada usia 35 tahun ke atas. Yang mana aneuploidi dapat
dilihat pada manusia sebagai gangguan genetik; misalnya, sindrom Tuner dan sindrom Down,
Dengan melakukan metode NIPT secara optimal untuk aneuploidi janin akan akurat, sederhana,
murah, dilakukan diawal kehamilan dan sepenuhnya kompatibel dengan metode skrining
prenatal yang ada sehingga risiko dikembangkan menggunakan pendekatan yang berbeda dapat
dikombinasikan.
Banyak metode yang dipertimbangkan dapat kembali didefinisikan untuk memungkinkan
untuk mendeteksi ketidakseimbangan kromosom lainnya. MPS yang akan membantu proses
ini meliputi pemilihan urutan optimal untuk analisis, penyesuaian untuk komposisi dasar dan
penggunaan platform sekuensing yang menyediakan akurasi pembacaan hasil lab lebih tinggi,
dan bisa mendeteksi down syndrome lebih awal. Sehingga obgyn bisa memberikan pilihan
kepada Ibu untuk melakukan terminasi kehamilan dan tetap terus melanjutkan kehamilan sesuai
dengan resiko dan segala kemungkinan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

P. BENN*, H. CUCKLE† and E. PERGAMENT‡. Non-invasive prenatal testing for aneuploidy:


current status and future prospects. Ultrasound Obstet Gynecol 2013; 42:15–33

https://www.popmama.com/pregnancy/second-trimester/fx-dimas-prasetyo/artis-yang-jalani-tes-
nipt-untuk-deteksi-masalah-kromosom

You might also like