You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

Pertumbuhan janin terhambat adalah masalah obstetrik yang sering

dijumpai dan kompleks. Pertumbuhan janin terhambat (PJT) dicatat dialami oleh

10-15% wanita hamil. Diagnosis PJT pada umumnya ditegakkan saat pemeriksaan

antenatal, akan tetapi beberapa dari janin tersebut tidak terskrining selama

kehamilan sehingga ditemukan ketika bayi telah dilahirkan. Hal ini sangat penting

bagi ahli kebidanan dan perinatologi untuk mengenali PJT karena kondisi janin

seperti ini memiliki hubungan yang signifikan dengan morbiditas dan mortalitas

kelahiran (Suhag, 2013).


Pertumbuhan janin terhambat (PJT) kini merupakan suatu penyakit yang

membutuhkan perhatian bagi kalangan luas, mengingat dampak yang ditimbulkan

jangka pendek berupa resiko kematian 6-10 kali lebih tinggi jika dibandingkan

dengan bayi normal. Dalam jangka panjang terdapat dampak berupa hipertensi,

arteriosklerosis, stroke, diabetes, resistensi insulin, kanker dan sebagainya. Hal

tersebut terkenal dengan barker hipotesis yaitu penyakit pada orang dewasa telah

terprogram sejak dalam uterus (Wiknjosastro, 2014).

Pertumbuhan Janin Terhambat atau (IUGR) merupakan gangguan

pertumbuhan janin dan bayi baru lahir yang meliputi beberapa parameter (lingkar

kepala, berat badan, panjang badan). Banyak istilah yang digunakan untuk

menunjukkan pertumbuhan janin terhambat (PJT) seperti pseudomature, small for

date, dysmature, fetal malnutrition syndrome, chronic fetal distress, IUGR dan

small for gestational age (SGA) (Wiknjosastro, 2014).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 DEFINISI

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) didefinisikan sebagai janin

yang gagal untuk mencapai potensi pertumbuhan dengan tingkat morbiditas

yang merugikan dan dapat menyebabkan kematian. American College of

Obstetricians dan Gynecologists (ACOG) mendefinisikan pertumbuhan janin

terhambat sebagai janin dengan berat diperkirakan di bawah persentil ke-10 .

Tidak semua janin berukuran kurang dari persentil 10 beresiko untuk hasil

perinatal yang merugikan, hanya sebagian kecil. Pertumbuhan janin

terhambat mengacu pada janin yang kecil usia kehamilan dan menampilkan

tanda-tanda lain dari hipoksia kronis atau kekurangan gizi. Kecil masa

kehamilan (KMK) di sini didefinisikan sebagai janin yang berat badannya

kurang dari persentil 10 untuk usia kehamilannya, yang dapat terjadi akibat

pertumbuhannya terhambat (PJT) atau keadaan lainnya (Cunningham, 2014).

Berat bayi lahir rendah yang berukuran kecil pada usia kehamilan

tertentu dianggap mengalami PJT. Pada tahun 1963, Lubchenco

mempublikasi perbandingan yang spesifik antara usia kehamilan dan berat

janin untuk memperoleh ukuran janin yang sesuai dengan usia kehamilan.

Battaglia dan Lubchenco (1967) kemudian mengklasifikasikan janin yang

mengalami small for gestasional age (SGA) yaitu janin dengan berat badan

dibawah persentil 10 untuk usia kehamilannya (Cunningham, 2014).

3
Gambar 1 : kurva pertumbuhan janin (Cunningham, 2014)

Gambar 1 memperlihatkan berat badan , panjang badan dan lingkar

kepala bayi pada usia kehamilan tertentu. Pada setiap kurva, terdpat garis

persentil 90%, 50% dan 10%. Misalnya jika bayi verada pada persentil 10

untuk berat badan, hal ini berarti berat badan bayi kurang 10% dari normal.

Bayi yang berada dibawah 25% untuk berat lahir dan panjang dianggap

mengalami PJT (Murki, 2014).

Terdapat 2 jenis PJT, yaitu moderate dan severe. Moderate adalah PJT

yang berada pada persentil 3 hingga persentil 10 sementara severe adalah PJT

yang berada dibawah persentil 3 (Murki, 2014).

Banyak bayi dengan berat badan di bawah persentil 10 sebenarnya

tidak mengalami pertumbuhan janin yang patologis karena hal tersebut

4
disebabkan oleh faktor biologis. Sebanyak 25-60% bayi dengan SGA

dianggap telah tumbuh sesuai dengan etnis, paritas, berat dan tinggiya.

Mereka berukuran kecil tetapi normal dan tidak memperlihatkan kelaian

metabolik pasca kelahiran seperti yang biasanya terjadi pada PJT (Murki,

2014).

2.2 KLASIFIKASI

1. Simetris
Pertumbuhan janin terhambat tipe simetris merupakan deskripsi yang
diberikan jika kecepatan tumbuh berkurang ekuivalen pada lingkar kepala
(head cimcumference ,HC) dan lingkar abdomen ( abdominal cimcumference,
AC). Pada kebanyakankasus, rasio H:A (Head: Abdomen) akan berada dalam
rentang normal dan akan menunjukkan janin yang kecil secara konstitusional.
Untuk keadaan PJT simetris jarang terjadi pada kehamilan yang patologis/
yang disertai kelainan medis. Pada kasus tersebut, gangguan telah terjadi pada
awal kehamilan dan menyebabkan PJT berat dan prognosis kehamilan yang
sangat buruk (Gondo, 2014).
Janin yang kecil secara konstitusional, kecepatan pertumbuhan pada
kehamilan ini berlanjut sepanjang sentil yang sama. Tidak ada ciri insufisiensi
uteroplasenta ataupun abnormalitas janin pada USG. Sebagai tamahan, nilai
Doppler untuk uterus, umbilicus, dan janin berada dalam rentang normal.
Keadaan ini terjadi pada ibu dengan postur tubuh kecil (Gondo, 2014).
Janin yang kecil secara patologis, kecepatan pertumbuhan pada kehamilan
ini terus menurun dan secara progresif melewati sentil yang lebih rendah.
Kebanyakan dari kehamilan ini mengalami insufisiensi uteroplasenta onset
dini yang berat atau abnormalitas janin, yang khas adalah triploidi. Jika tidak
yakin janin kecil secara konstitusional atau patologis, lakukan scan ulang
(Gondo, 2014).
Pada PJT tipe-1 dijumpai tubuh janin secara keseluruhan berukuran kecil
akibat berkurangnya potensi pertumbuhan janin dan berkurangnya proliferasi

5
seluler semua organ janin. PJT tipe-1 ditandai dengan berat badan, lingkar
kepala dan panjang badan yang berada dibawah persentil ke-10. PJT simetris
ini terjadi selama kehamilan trimester ke-1 dan trimester ke-2 dan angka
kejadiannya kira-kira 20-30% dari seluruh bayi PJT (Hasibuan, 2009).
Sebagai contoh, pada PJT tipe simetris fase awal akan menghasilkan
penurunan yang relatif pada jumlah dan ukuran sel. Misalnya, janin yang
terpapar oleh zat kimia, infeksi virus atau pertumbuhan sel yang tidak normal
mungkin menyebabkan penurunan proporsi ukuran kepala dan tubuh
( Hasibuan, 2009)
Gambaran klinis : (Murki, 2014)
 Pertumbuhan terhambat dimulai di awal gestasi
 Jumlah sel menurun
 Disebabkan oleh faktor instrinsik seperti infeksi kongenital atau
abnormalitas kromosom
 Pada bayi dengan PJT simetris terjadi penurunan ukuran anatomis
termasuk berat, panjang, dan lingkar kepala. Pada beberapa kasus
terdapat perbedaan 3 cm antara lingkar kepala dan lingkar dada.
 PI lebih dari 2
2. Asimetris
Pertumbuhan janin terhambat tipe asimetris adalah deskripsi yang
diberikan jika kecepatan tumbuh kepala janin yang berkurang tidak sama
dengan lingkar abdomenya. Pada kebanyakan kasus, Pertumbuhan janin
terhambat asimetris adalah akibat dari insufisiensi uteroplasenta. Ciri
insifusiensi uteroplasennta yang ditemukan pada USG meliputi abnormalitas
plasenta (danau, klasifikasi, konsistensi seperti jeli) dan berkurangnnya cairan
amnion. Ciri pada janin meliputi kardiomegali ringan, usus hyperechoic, dan
dilatasi usus halus. Adanya ciri-ciri ini akan menunjang ( Gondo, 2014).
Pertumbuhan janin terhambat tipe-2 terjadi karena janin kurang
mendapat nutrisi dan energi, sehingga sebagian besar energi digunakan secara
langsung untuk mempertahankan pertumbuhan organ vital (seperti otak dan
jantung). Hal ini umumnya terjadi akibat insufisiensi plasenta. Pertumbuhan
janin terhambat asimetris mempunyai ukuran kepala normal tetapi lingkar
perut kecil. Pertumbuhan janin terhambat tipe-2 memiliki berat badan yang
kurang dari persentil ke-10, sedangkan ukuran kepala dan panjang badan

6
normal. Pertumbuhan janin terhambat asimetris terjadi pada trimester
terakhir, yang disebabkan karena terjadinya penurunan kecepatan
pertumbuhan ( Hasibuan, 2009).
Pertumbuhan janin terhambat tipe asimetris mungkin diikuti dengan
kehamilan tua yang menyebabkan insufisiensi plasenta dari hipertensi.
Sebagai akibatnya, akan mengurangi transfer glukosa dan simpanan energi di
hepar akan mempengaruhi ukuran sel saja, bukan jumlahnya dan lingkar
abdomen janin yang direfleksikan dengan ukuran liver akan berkurang
(Cunningham, 2014).
Gambaran klinis : (Murki, 2014)
 Keterlambatan pertumbuhan dimulai saat akhir trimester dua atau awal
trimester tiga
 Jumlah sel normal tapi ukuran sel mengecil
 Hambatan pada nutrisi fetal dengan glikogen dan lemak yang terbatas,
menyebabkan kelainan plasenta
 Penurunan berat badan dan panjang fetal akibat Brain Sparing
 Gambaran malnutrisi terbentuk dari lapisan kulit yang tipis, kehilangan
lemak , kehamilan tua.
 Ponderal Index (PI) < 2

3. Campuran
Pada tipe kombinasi,bayi mungkin mengalami pemendekan skeletal,
sedikit pengurangan dari masa jaringan lunak. Jika malnutrisi terjadi dalam
jangka waktu lama dan parah, janin kemungkinan akan kehilangan
kemampuan untuk kompensasi sehingga terjadi peralihan dari PJT kombinasi
menjadi PJT tipe simetris (Hasibuan, 2009)
Gambaran klinis : (Murki, 2014)
 Penurunan jumlah sel dan ukuran sel
 Biasanya muncul saat PJT terjadi akibat kelainan plasenta di masa akhir
kehamilan.
 Memiliki gambaran klinis PJT simetris dan PJT asimetris
 Bayi dengan jumlah sel normal biasanya memiliki keadaan lebih baik
dan memperbaiki perkembangan saraf.

7
PJT tipe simetris PJT tipe asimetris
Insidensi 20-30% Insidensi 70-80%
Terjadi pada trimester ke-1 & ke-2 Terjadi pada trimester ke-3
Kecil secara simetris Kepala lebih besar dari abdomen
Menghambat selular embrionik Menghambat hipertrofi selular
Menurunnya ukuran sel
Indeks ponderal normal Indeks ponderal rendah
Rasio kepala/abdomen dan femur/ Rasio kepala/abdomen dan femur/
abdomen yang normal abdomen yang meningkat
Penyakit genetik, infeksi Insufisiensi pembuluh darah plasenta
Menghambat hipertrofi dan hiperplasia Biasanya keadaan neonatus agak buruk
selular Menurunnya jumlah & ukuran dan membaik bila komplikasi dihindari
sel atau diterapi secara adekuat
Komplikasi neonatus, prognosis buruk Terjadi pada trimester ke-3

Tabel 2 : Perbedaan PJT tipe simetris dan asimetris (Hasibuan, 2009)

2.3 ETIOLOGI

PJT dapat diakibatkan oleh beberapa kondisi seperti infeksi,


penyakit maternal, dan kelainan kromosom, tapi kebanyakan berhubungan
dengan gangguan pertumbuhan plasenta yang terjadi pada awal kehamilan
(Lausman, 2011).
Oksigenasi plasenta yang rendah dipercaya mempunyai peranan penting
terhadap terjadinya PJT berdasarkan hasil observasi yang mengindikasikan
gen pada plasenta yang mengalami hipoksia terhadap kehamilan dengan PJT.
Hipoksia fetus dapat terjadi akibat kegagalan tumbuh atau yang berhubungan
dengan itu, sehingga terjadi invasi tropoblast di desidual dan myometrium
dan kegagalan arteri spiralis, yang menjaga keseimbangan sirkulasi
uteroplasenta. Oksigenasi plasenta yang rendah berhubungan dengan keadaan
patologis plasenta seperti preeklamsia (Lausman, 2011).

Maternal - Riwayat kehamilan dengan PJT


- Ibu yang bertubuh kecil atau berat badan yang rendah

8
sebelum kehamilan
- Berat badan yang rendah selama kehamilan atau asupan
nutrisi yang tidak adekuat (<1500 kalori/hari)
- Status sosio-ekonomi yang buruk
- Merokok, alkohol atau penggunaan obat-obatan
- Usia pada saat kehamilan yang ekstrim : <16 tahun atau
>35 tahun
- Teknologi reproduksi
- Pasangan baru setelah kehamilan selanjutnya
- Teratogen, antikonvulsan, metotrexat, warfarin
- Penyakit vaskular, hipertensi kronik, diabetes pre-
gestasional, sindrom antiphospolipid antibodi, collagen
vascular disease seperti ( SLE, thrombophilia, penyakit
ginjal, chron’s disease, colitis ulseratif),
- Hipoksia pada dataran tinggi (>10.000 kaki)
- Anemia seperti hemoglobinopathies
Janin - Infeksi kongenital seperti cytomegalovirus, syphilis,
rubelaa, varicella, toxoplasois, tuberculosis, HIV, malaria
kongenital
- Aneuploidies : triploidy, trisomy 13, 18, 21
- Microleteions : 4p-
- Russell silver syndrome
- Sindrom genetik atau anomal janin
Plasenta - Insufisiensi pembuluh darah uteroplasenta
- Chorionic separaton (hematoma, partial abruption}
- Extensive villous infarction
- Marginal atau velamentous cord insertion (regresi
chrion)
- Malformasi uterin (unicornuate uterus)
- Confined placental mosaicism
- Advanced placental maturation

Tabel 1 : Etiologi terjadinya PJT (Lausman, 2011).

a. Faktor ibu
Beberapa data demografik menunjukkan faktor ibu memiliki
hubungan dengan PJT. Perempuan dengan usia reproduksi yang ekstrim,
khususnya ibu hamil dengan usia muda memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk mengalami PJT. Hal yang sama juga terjadi pada ibu hamil dengan usia
tua. Studi yang dilakukan oleh Strobino dkk tidak menemukan hubungan
antara usia dan berat bayi lahir rendah dan melaporkan adanya faktor

9
independen yang dipengaruhi oleh faktor sosial seperti etnis, status ekonomi,
usia saat menarche, tinggi ibu, dan kebiasaan merokok saat kehamilan
(Suhag, 2013).
Ras, status sosio-ekonomi yang rendah dan tinggal pada Negara
berkembang adalah faktor resiko untuk PJT. Wanita dengan status sosio-
ekonomi yang rendah dan tinggal di Negara berkembang pada umumnya
memiliki asupan nutrisi yang buruk, mengalami anemia dan pemeriksaan
antenatal care yang jarang serta masalah kekerasan dalam rumah tangga
mempengaruhi pertumbuhan janin. Berat ibu saat melahirkan, berat ibu saat
sebelum hamil, dan berat badan yang rendah selama kehamilan memiliki
hubungan yang positif dengan PJT. Asupan kalori dan defisiensi nutrisi
tertentu (seperti glukosa, zinc, folat) masih belum jelas memiliki hubungan
dengan PJT (Suhag, 2013).
Beberapa kebiasaan dan kondisi lingkungan diketahui merupakan
faktor resiko PJT. Wanita yang tinggal di dataran tinggi biasanya terpapar
dengan hipoksia kronis dan menyebabkan berat badan lahir rendah. Studi
yang dilaksanakan di Colorado, Peru dan Tibet menunjukkan hubungan yang
langsung antara dataran tinggi dan berat badan lahir rendah. Merokok saat
kehamilan juga memiliki resiko 3,5 kali lebih untuk mengalami PJT
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok (Suhag, 2013).
Faktor ibu yang lainnya seperti faktor uterin (seperti fibroid, anomali
mullerian), penyakit periodontal dan kondisi genetik seperti mutasi gen
angiotensin. Riwayat melahirkan bayi PJT meningkatkan rekurensi PJT
hingga melebihi 25%. Wanita yang memiliki riwayat melahirkan bayi PJT
memiliki resiko dua kali lebih besar untuk mengalami PJT (Suhag, 2013).

b. Faktor Janin
Faktor janin dapat bervariasi mulai dari genetik, malformasi
kongenital, infeksi janin atau penyebab lainnya seperti kehamilan kembar.
Genetik berkontribusi menyebabkan 5-20% terjadinya PJT, khususnya pada
fase awal pertumbuhan janin. Genetik selanjutnya menyebabkan abnormalitas
seperti abnormalitas kromosom misalnya trisomy 21,18,13 dan 16. Trisomi
18 dihubungkan dengan kejadian PJT yang lebih berat dibandingkan dengan
trisomy 21 atau 13 (Suhag, 2013).

10
Malformasi kongenital termasuk kelainan jantun kongenital, hernia
diaphragmatikus, defek pada dinding abdomen (omphalocele, gastroschisis),
agenesis atau dysplasia renal, anencephaly dan single umbilical artery juga
dihubungkan dengan PJT (Suhag, 2013).
Infeksi menyebabkan <5% terjadinya PJT. Infeksi yang tersering
adalah virus (rubella, CMV, herpes, varicella, herpes zoster, HIV), dan infeksi
parasit (toxoplasmosis, syphilis, malaria). Infeksi bakteri dianggap sebagai
penyebab yang jarang dari PJT, tetapi chlamydia, mycoplasma, listeria, and
tuberculosis dilaporkan sebagai penyebab PJT. Penyebab tersering PJT di
Negara maju adalah CMV. Mekanisme kerusakan pertumbuhan janin oleh
CMV disebabkan oleh direct cytolysis dan kehilangan fungsi sel pada
beberapa system organ janin. Pada Negara berkembang khususnya di Negara-
negara sub-Saharan Afrika, PJT umumnya disebakan oleh malaria dalam
kehamilan (Suhag, 2013).
PJT diketahui sebagai salah satu komplikasi tersering dari
multigravida dan menyebabkan lebih dari 3% dari semua kasus PJT.
Multigravida memiliki resiko 5-10 kali lebih besar untuk mengalami PJT
dibandingkan dengan primigravida yang insidennya hanya 15-30%. Resiko
PJT tergantung dari banyak faktor seperti jumlah janin, chorionicity, penyakit
kongenital atau abnormalitas tali pusar seperti velamentous cord insertion
atau terdapat dua vena tali pusat (Suhag, 2013).
c. Faktor Plasenta

Insufisiensi plasenta menyebabkan terjadinya PJT sebesar 3% atau


lebih dari seluruh kehamilan. Patogenesis PJT belum sepenuhnya diketahui,
defek pada sirkulasi dan transportasi pada plasenta dapat mempengaruhi
pasokan nutrisi untuk janin sehingga menimbulkan PJT. Penurunan relatif
massa dan fungsi plasenta juga dapat menyebabkan terjadinya PJT. Beberapa
hewan coba menunjukkan gangguan pertumbuhan janin yang melebihi 50%
ketika plasenta diangkat (Suhag, 2013).
Implantasi abnormal seperti plasenta previa dapat menyebabkan
terjadinya suboptimal nutrisi untuk janin. Penyebab tersering lainnya dari
faktor plasenta adalah abrusio plasenta, plasenta akreta, infark plasenta, fetal
villous obliterasi, circumvallate plasenta, dan plasenta hemangioma.

11
Confined placental mosaicism, single umbilical artery, dan velamentous cord
insertion juga dapat menyebabkan terjadinya PJT. Tumor plasenta yang
jarang seperti chorioangioma dapat menurunkan arus uteroplasenta dan dapat
menyebabkan terjadinya PJT. Peneletian terkini oleh Sato dkk menunjukkan
peningkatan prevalensi infark plasenta, thrombosis pembuluh darah janin dan
vilitis kronik pada janin dengan PJT dibandingkan dengan pertumbuhan pada
kehamilan normal (Suhag, 2013).

2.4 EPIDEMIOLOGI

Insiden terjadinya PJT bervariasi di setiap negara, populasi dan ras.


14 hingga 20 juta bayi mengalami PJT di Negara berkembang setiap
tahunnya. Prevalensi PJT di Negara berkembang biasanya terjadi pada bayi
yang dilahirkan di rumah (Murki, 2014).
Pertambahan kasus PJT di Negara berkembang dapat diakibatkan oleh
bayi yang dilahirkan di rumah dengan BBLR (BB<2500gram). Untuk BBLR
dan PJT-BBLR, insiden tertinggi ditemukan di Asia Selatan (28%) dan Asia
Tengah (33%), Negara yang memiliki insiden tinggi untuk BBLR dan PJT-
BBLR adalah Bangladesh (50%, 39%), India (28%, 21%) dan Pakistan (25%,
18%). Untuk Negara Asia lainnya presentasinya , Sri Lanka (19%, 13%);
Cambodia (18%, 12%); Vietnam dan Filipina (11%, 6%); Indonesia dan
Malaysia (8%, 4%); Thailand (8%, 3%), dan Republik Rakyat Cina (RRC)
(6%, 2%) [2] (Murki, 2014)
Sekitar 20% dari hampir 4 juta bayi di USA dilahirkan mengalami
pertumbuhan janin terhambat dan sangat terhambat setiap tahunnya. Pada
tahun 2010, 8,2% bayi dengan berat <2500 gram dilahirkan dan 7,6% bayi
dilahirkan dengan berat >4000 gram serta meskipun mayoritas bayi berat
lahir rendah dilahirkan secara prematur, sekitar 3% merupakan bayi cukup
bulan. Jumlah bayi yang dilahirkan dengan berat <2500 gram telah meningkat
sebesar 20% sejak 1984 dan pada waktu yang sama, insiden bayi yang
dilahirkan dengan berat >4000 gram menunjukkan penurunan (Cunningham,
2014)

12
Kini WHO menganjurkan agar kita memperhatikan masalah ini karena
akan memberikan beban ganda. Di Jakarta dalam suatu survey ditemukan
bahwa pada golongan ekonomi rendah, prevalensi PJT lebih tinggi (14%) jika
dibandingkan dengan golongan ekonomi menengah atas (5%) (Wiknjosastro,
2014)

2.5 PATOFISIOLOGI

Pada kelainan sirkulasi uteroplasenta akibat dari perkembangan plasenta

yang abnormal, pasukan oksigen, masukan nutrisi dan pengeluaran hasil

metabolic menjadi abnormal. Janin menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi

pada trimester akhir sehingga timbul PJT yang asimetrik yaitu lingkar perut

jauh lebih kecil dari pada lingkar kepala. Pada keadaan yang parah mungkin

akan terjadi kerusakan tingkat seluler berupa kelainan nucleus dan

mitokondria (Murki, 2014).

Pada keadaan hipoksia, produksi radikal bebas di plasenta menjadi sangat

banyak dan antioksidan relative kurang ( misalnya : preeklamsia ) akan

menjadi lebih parah. Soothil dan kawan-kawan (1987) telah melakukan

pemeriksaan gas darah pada PJT yang parah dan menemukan asidosis dan

hiperkapnia, hipoglikemi dan eritroblastosis. Kematian pada jenis asimetris

lebih parah jika dibandingkan dengan simetris (Murki, 2014).

Penyebab PJT simetrik adalah factor janin atau lingkungan uterus yang

kronik (diabetes, hipertensi ). Factor janin ialah kelainan genetic

(aneuploidy), umumnya trisomy 21, 13, dan 18. Secara keseluruhan PJT

ternyata hanya sekitar 20 % saja yang asimetrik pada penelitian terhadap

8722 di Amerika (Murki, 2014).

13
2.6 GAMBARAN KLINIS

Pertumbuhan janin terhambat pada bayi baru lahir memiliki beragam


gambaran klinis, termasuk :
 Berat badan lebih kecil dibanding usia kehamilan
 Kebanyakan kepala lebih besar dibandingkan ukuran badannya pada PJT
asimetris
 Fontanelle anterior yang besar
 Kehilangan lemak bukal, mukanya memiliki gambaran menciut atau
kelihatan keriput(muka seperti orang tua).
 Abdomen kecil , umbilcal cord tipis sering bercampur dengan mekonium
 Massa otot skeletal dan jaringan lemak subkutaneus menurun disertai
dengan ukuran tangan dan kaki.
 Kuku tangan yang panjang
 Kebanyakan memiliki tangan yang besar disertai lipatan kulit yang banyak
 Lipatan kulit yang longgar pada daerah tengkuk, axilla, scapula dan
selangkangan
 Hilangkan formasi bakal payudara dan genitalia perempuan imatur akibat
kehilangan lemak subkutaneus

2.7 DIAGNOSIS

PJT didagnosis berdasarkan penentuan usia kehamilan yang akurat,


asesmen faktor resiko dan diikuti dengan pemeriksaan USG. Terdapat
beberapa pemeriksaan tambahan untuk mengesampingkan berbagai
penyebab. Diagnosis PJT ditegakkan jika Estimation Fetal Weight (EFW)
dibawah persentil 10 yang pengukurannya menggunakan pengukuran
biometrik (sesuai gambar 2) (Suhag, 2013).

14
Gambar 2 : alur diagnosis PJT1

Langkah pertama untuk mendiagnosis PJT adalah menentukan


taksiran waktu kehamilan, Algoritma untuk memastikan waktu kelahiran
adalah : sebelum 13 minggu kehamilan, jika HPHT dan pemeriksaan USG
memiliki selisih 7 hari, maka kita harus mengikuti hasil pemeriksaan USG,
jika diantara 14 dan 19 usia kehamilan dan jika HPHT dan USG berbeda 10
hari, maka kita juga tetap harus mengikuti hasil pemeriksaan dengan USG
(Suhag, 2013).
Setelah menentukan taksiran usia kehamilan, identifikasi faktor resiko
termasuk riwayat medis sebelumnya sangatlah penting untuk menegakkan
diagnosis PJT. Riwayat medis yang lengkap sangat berguna untuk
mengidentifikasi penyakit sistemik yang dialami oleh ibu seperti hipertensi,
penyakit ginjal, diabetes pregestasional dengan vaskulopati, dan berbagai
penyakit sistemik lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi janin.
Identifikasi terhadap faktor resiko yang bisa dimodifikasi seperti merokok
dan penggunaan obat-obatan dapat memberikan kita tanda untuk melakukan
langkah-langkah preventif terhadap PJT. Monitoring berat badan ibu selama
kunjungan perinatal dapat mengidentifikasi status nutrisi ibu. Pengukuran
tinggi fundus uterus juga dapat memberikan petunjuk terhadap pertumbuhan
janin (Suhag, 2013).
Beberapa modalitas diagnostik PJT adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Fisis
Pengukuran TFU (dalam sentimeter), secara normal dilakukan
dalam 3 minggu, pada usia kehamilan 20 minggu sampai 38 minggu.
Jika TFU kurang dari atau sama dengan 3 cm lebih rendah dari yang
diharapkan pada usia kehamilan tertentu, maka kita mulai mencurigai
adanya PJT (Hasibuan, 2009).

15
b. USG (pengukuran ukuran janin dan cairan amnion)
Pasien yang diduga dengan PJT selanjutnya dapat dievaluasi
dengan menggunakan USG untuk mengidentifikasi anomali janin.
Pada kehamilan yang memiliki resiko tinggi, serial USG atau
pengukuran lingkar perut adalah alat prediksi yang sangat baik. USG
telah digunakan untuk mengkalkulasi perkiraan berat janin selama
bertahun-tahun. Terdapat 4 pengukuran dasar, yaitu diameter
biparetal, lingkar kepala, panjang femur dan lingkar perut, dapat
dilakukan mulai dari usia kehamilan 14 minggu dengan menggunakan
standar guideline AIUM. Pengukuran EFW telah dilakukan
sebelumnya dengan menggunakan beberapa formula dan formula
Hadlock C adalah rumus yang paling sering digunakan (Suhag,
2013).
Hubungan antara PJT dan oligohidramnion telah lama diketahui.
Chauhan dkk telah menemukan bawa 10% ibu dengan
oligohidramnion di suspek dengan PJT. Kelompok wanita tesebut
memiliki resiko 2 kali lebih besar mengalami sectio cesaria untuk
memastikan kondisi denyut jantung janin. Petrozella dkk melaporkan
bahwa penurunan cairan amnion pada usia kehamilan 23-34 minggu
meningkatkan resiko malformasi secara signifikan. Tanpa adanya
malformasi, terdapat 37% bayi dengan berat badan lahir dibawah
persentil 3 yang disertai dengan oligohidramnion, 21% yang cairan
amnionnya di ambang batas dan 4% dengan jumlah normal
(Cunningham, 2014

c. Dopler velocimetry
Dengan tekhnik ini, perlambatan perkembangan plasenta dapat
dideteksi pada pembuluh darah perifer seperti arteri umbilicus dan
arteri middle cerebral. Onset akhir PJT memiliki karakteristik aliran
darah yang abnormal pada ductus venosus, aorta janin serta aliran
keluar pulmoner dan oleh aliran balik arteri umbilicus (Suhag, 2013)
Karakteristik arteri umbilikus yang abnormal adalah tidak
memiliki aliran balik diastol dan hal ini memiliki hubungan yang kuat

16
dengan terjadinya PJT. Abnormalitas tersebut merupakan tanda bahwa
janin akan mengalami kegagalan dalam beradaptasi. Tidak adanya
aliran balik diastol telah lama dihubungkan dengan hipoksia, asidosis,
dan kematian janin. Dopler velocimetry dianggap sebagai standar
dalam mengevaluasi PJT. American College of Obstetricians and
Gynecologists (2013) mencatat bahwa penggunaan Doppler
velocimetry akan meningkatkan outcome klinis (Suhag, 2013)

d. Pemeriksaan serologi
Berdasarkan anamnesis dan identifikasi faktor resiko serta
pemeriksaan terhadap infeksi, pemeriksaan serologi ibu seperti IgG
dan IgM untuk CMV, toxoplasmosis dan HSV perlu dilakukan.
Pemeriksaan Rubella juga diperlukan jika pemeriksaan rutin prenatal
tidak menunjukkan hasil yang positif. Terdapat bukti yang kurang
kuat mengenai pentingnya melakukan pemeriksaan rutin
thrombophilia. Akantetapi, pemeriksaan APS (ACA IgG, IgM, lupus
antikoagulan, beta-2 mikroglobulin IgG dan IgM) mungkin
dibutuhkan untuk mengelola infeksi pada kehamilan sekarang dan
untuk yang mendatang (Suhag, 2013)
Pada trimester pertama, rendahnya kadar pregnancy-
associated plasma protein A (PAPP-A) atau human chorionic
gonadotropin (hCG) dan peningkatan serum AFP yang tidak
diketahui penyebabnya memiliki hubungan dengan terjadinya
kelahiran di bawah persentil 10 (Suhag, 2013)

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Janin kecil pada ibu yang ukuran tubuhnya kecil pula. Wanita yang

tubuhnya kecil secara khas akan memiliki bayi yang berukuran kecil pula.

Jika wanita itu memulai kehamilannya dengan berat badan kurang dari 100

pound (<50 kg). Resiko melahirkan bayi yang kecil menurut usia

17
gestasionalnya akan meningkat paling tidak dengan sebanyak dua kali lipat

(Eastman dan Jackson,1986; Simpson dkk.,1975). Pada wanita yang kecil

dengan ukuran panggul yang kecil, kelahiran bayi yang kecil dengan berat

lahir yang secara genetik dibawah berat lahir rata-rata untuk masyarakat

umum, tidak selalu merupakan kejadian yang tidak dikehendaki (Murki,

2014)

2.9 KOMPLIKASI

PJT yang tidak segera diberi tindakan penanganan dokter dapat

menyebabkan bahaya bagi janin hingga menyebabkan kematian. Kondisi ini

disebabkan karena terjadinya kondisi asupan nutrisi dan oksigenasi yang

tidak lancar pada janin. Jika ternyata hambatan tersebut masih bisa di

tangani kehamilan bisa dilanjutkan dengan pantauan dokter, sebaliknya jika

sudah tidak bisa ditangani maka dokter akan mengambil tindakan dengan

memaksa bayi untuk dilahirkan melalui operasi meski belum pada

waktunya. (Suhag, 2013).

Komplikasi pada PJT dapat terjadi pada janin dan ibu : (Suhag, 2013).

1. Janin

Antenatal : gagal nafas dan kematian janin

Intranatal : hipoksia dan asidosis

Setelah lahir :

a. Langsung:

 Asfiksia

 Hipoglikemi

18
 Aspirasi mekonium

 DIC

 Hipotermi

 Perdarahan pada paru

 Polisitemia

 Hiperviskositas sindrom

 Gangguan gastrointestinal

b. Tidak langsung

Pada simetris PJT keterlambatan perkembangan dimulai dari

lambat dari sejak kelahiran, sedangkan asimetris PJT dimulai sejak

bayi lahir di mana terdapat kegagalan neurologi dan intelektualitas.

Tapi prognosis terburuk ialah PJT yang disebabkan oleh infeksi

kongenital dan kelainan kromosom.

2. Ibu

 Preeklampsi

 Penyakit jantung

 Malnutrisi

2.10 PENATALAKSANAAN

1. Deteksi dini (skrining)

Deteksi dini kasus-kasus berisiko tinggi akan hambatan

pertumbuhan intrauterin perlu dikerjakan karena akan memberi cukup

19
waktu untuk merencanakan dan melakukan suatu intervensi yang

diperlukan atau membuat rencana kerja sebelum terjadi kerusakan pada

janin. Perlu perhatian yang serius pada pasien hamil risiko tinggi

seperti hipertensi, ibu perokok atau peminat alkohol atau narkoba,

keadaan gizi jelek karena malnutrisi, ibu dengan penambahan berat

badan yang minimal dalam kehamilan, pernah melahirkan bayi

dengan hambatan pertumbuhan intrauterine atau kelainan kongenital,

diabetes, anemia (Wiknjosastro, 2014).

2. Menghilangkan faktor penyebab

Gizi wanita hamil lebih bergantung kepada jumlah kalori

yang masuk dari pada komponen kalori itu sendiri. Wanita hamil

perlu mengkonsumsi 300 kalori lebih banyak dari pada yang

dikonsumsinya sebelum hamil dengan kandungan protein 1,5 gram/kg

per hari. Dengan demikian penambahan berat badan dalam kehamilan

pada keadaan normal bila dicapai 12 sampai 16 kg. Kurang gizi,

merokok, alkohol, dan penyalahgunaan obat-obatan dan sebagainya

perlu diatasi terutama dalam masa hamil (Wiknjosastro, 2014).

3. Meningkatkan aliran darah ke uterus

Pada keadaan sistem vaskular berdilatasi maksimal jumlah darah

yang mengalir kedalam uterus berbanding langsung dengan tekanan

darah maternal. Semua pekerjaan fisik yang berat akan mengurangi

jumlah darah yang mengalir ke dalam uterus sehingga memberatkan

keadaan janin yang telah menderita hambatan pertumbuhan intrauterin.

20
Oleh karena itu semua pekerjaan fisik dilarang pada kehamilan dengan

hambatan pertumbuhan intrauterine (Wiknjosastro, 2014).

4. Melakukan fetal surveillance antepartum

Sebelum melaksanakan program fetal surveilllance yang intensif

perlu diperhatikan bahwa janin tidak dalam keadaan cacat kongenital

misalnya trisomi yang sering bersama dengan hambatan pertumbuhan

intaruterin simetris yang berat. Jika diduga ada keadaan yang demikian

lebih dahulu perlu dilakukan pemeriksaan kariotip janin untuk

konfirmasi. Cairan ketuban (diperoleh melalui amniosintesis) atau

darah tali pusat (diperoleh melalui kordosintesis) dapat dipakai

untuk pemeriksaan kariotip janin. Program surveillance antepartum

sudah boleh dimulai pada usia kehamilan 24 minggu bila diagnosis

hambatan pertumbuhan intrauterin telah ditegakkan. Beberapa uji

penilaian yang perlu dikerjakan sampai kehamilan diterminasi adalah

uji tanpa beban untuk memonitor reaktivitas jantung janin (2x

seminggu), pengurangan volume cairan ketuban dan hambatan

pertumbuhan kepala dengan memantau pertumbuhan DBF dengan

ultrasonografi setiap minggu. Disamping itu bila perlu dilakukan

penilaian kesehatan janin melalui pemeriksaan-pemeriksaan profil

biofisik, Doppler velocymetri aliran darah arteri umbilikalis, dan

pemeriksaan gas darah janin (Wiknjosastro, 2014).

5. Uji tanpa beban

21
Telah disepakati bahwa hasil uji tanpa beban yang menghasilkan

akselerasi 15 beat per menit atau lebih yang berlangsung paling tidak

selama 15 detik sebanyak 2 kali atau lebih dalam tempo 20 menit

pengamatan dianggap normal atau disebut rekaman yang reaktif. Jika

pada uji tanpa beban yang dilakukan setiap minggu tidak terdapat

rekaman yang reaktif, maka langkah berikut adalah melakukan uji

beban kontraksi (Wiknjosastro, 2014).

6. Uji beban kontraksi

Uji beban kontraksi dibuat untuk mendeteksi kekurangan suplai

oksigen uteroplasenta yang sampai ke fetus selama uterus berkontraksi.

Menurut Poseiro dkk bila kontraksi uterus menyebabkan kenaikan

tekanan intrauterin melebihi 30 mmHg, tekanan di dalam miometrium

akan melebihi tekanan di dalam arteri dan darah yang

mengandung oksigen tidak lagi bisa masuk ke dalam ruang intervillus.

Untuk menimbulkan kontraksi uterus yang cukup kuat sehingga terjadi

efek tersebut diatas dan memenuhi syarat untuk uji beban kontraksi

(Contraction Stress Test atau CST) dapat diperoleh dengan beberapa

cara seperti : (Wiknjosastro, 2014).

a. Merangsang puting susu ibu (disebut Nipple Stimulation Test atau

NST)

b. Memberi infus larutan encer oksitosin (disebut Oxytocin

Challenge Test atau OCT)

22
c. Dalam masa partus dimana telah ada his spontan. Pada OCT

pasien diberi infus larutan encer oksitosin (10 unit oksitosin dalam

1000 ml cairan penghantar seperti larutan Ringer Laktat).

Dengan demikian setiap 2 tetes larutan mengandung 1 ml

oksitosin. Dimulai dengan kecepatan 1 sampai 2 mU (2 sampai 4

tetes) per menit yang secara bertahap tiap 15 menit dinaikkan

sampai terdapat tiga his dalam 10 menit. Bila pada rekaman

terdapat deselerasi lambat yang persisten berarti janin dalam

keadaan hipoksia akibat dari insufisiensi fungsi plasenta. Uji

beban kontraksi memakan waktu yang lama dan mempunyai

pengaruh yang memberatkan hipoksia pada janin. Kedua hal ini

tidak terdapat pada uji tanpa beban.

d. Terminasi kehamilan lebih awal

Bila semua hasil pemeriksaan fetal surveillance normal terminasi

kehamilan yang optimal dilakukan pada usia kehamilan 38 minggu.

Jika serviks matang dilakukan induksi partus. Sebaliknya bila hasil

fetal surveillance menjadi abnormal dalam masa pemantauan

sebelum mencapai usia kehamilan 38 minggu, kematangan paru

janin perlu dipastikan dengan pemeriksaan rasio lesitin/sfingomielin

air ketuban. Bila ternyata paru-paru janin telah matang (rasio L/S=

2 atau lebih) terminasi kehamilan dilakukan bila terdapat:

(Wiknjosastro, 2014).

 Uji beban kontraksi positif

 Oligohidramion

23
 BPD tidak bertambah lagi yang berarti otak janin berisiko

tinggi mengalami disfungsi.

e. Monitoring Antepartum

Setelah ditetapkan tidak ada kelainan janin, perlu dipertimbangkan

bila janin akan dilahirkan. Bagi situasi di Indonesia, saat yang tepat

ialah bergantung pada arus darah arteri umbilical dan usia gestasi.

Arteri umbilikalis dan usia gestasi. Arteri umbilikalis yang tidak

memiliki arus diastolic (absent diastolic flow) bahkan adanya arus

terbalik (reverse flow) akan mempunyai prognosis buruk berupa

kematian janin dalam < 1 minggu. Usia optimal untuk melahirkan

bayi ialah 33-34 minggu dengan pertimbangan sudah dilakukan

pematangan paru. Pemeriksaan kardiotokograi akan membantu

diagnosis adanya hipoksia janin lanjut berupa deselerasi lambat

denyut jantung. Skor fungsi dinamik janin plasenta yaitu upaya

mengukur peran PJT pada profil biofasik akan membantu

menentukan saatnya terminasi kehamilan (Wiknjosastro, 2014).

Penggunaan stimulasi akustik penting untuk meningkatkan

sensitivitas, mengingat terdapat positif palsu pada janin yang tidur.

Dengan stimulasi, janin terpaksa dibangunkan sehingga terhindar

dari gambaran non reaktif. Skor maksimum ialah 10 dimana

dianggap janin masih baik. Dengan demikian, bila hasil penilaian

ditemukan < 6, maka dapat dicurigai adanya asidosis (sensitivitas

80%, spesifisitas 89%), sehingga sebaiknya dipilih melahirkan

dengan seksio sesarea. Sebaliknya bila ditemukan nilai yang ≥ 6

24
maka perlu dipertimbangkan melahirkan bayi dengan induksi.

Akibat oligohidramnion, mungkin terjadi kompresi tali pusat atau

sudah terjadi insufisiensi plasenta (deselerasi lambat) sehingga

dapat membahayakan janin mengalami asidosis. Dalam hal itu

sebaiknya dipertimbangkan seksio sesarea. Pemeriksaan gas darah

tali pusat sangat dianjurkan untuk membantu manajemen

pascakelahiran (Wiknjosastro, 2014).

Pengobatan dengan kalsium bloker, betamimetik, dan hormone

ternyata tidak mempunyai dasar dan bukti yang bermakna.

Jika pertumbuhan janin menjadi datar (plateau) dan ICA menurun,

atau tonus bayi atau gerakan janin menghilang, maka lakukan

surveilans lebih intensif 2-3 kali per minggu, atau rawat inap dan

buat rencana persalinan. Pemeriksaan Doppler abnormal (ED flow

absent atau reserved) merupakan tanda untuk melakukan intervensi

segera, mungkin terminasi kehamilan (Wiknjosastro, 2014).

Jika kehamilan <34 minggu, berikan kortikosteroid untuk ibu. Jika

kehamilan cukup ( >37 minggu ), monitor ketat ibu dan janin, dan

diskusikan untuk di terminasi kehamilan. Tempat persalinan pada

kasus IUGR harus mempunyai fasilitas yang memadai, termasuk

Sp.OG, Sp.A dan perinatologis, Sp.An, dan akses untuk melakukan

SC (Wiknjosastro, 2014).

Di daerah terpencil, petugas kesehatan harus menentukan apakah

pasien harus dilakukan terminasi kehamilan atau dirujuk.

25
Aspirin dosis rendah direkomendasikan pada wanita dengan

insufisiensi plasenta sebelumnya, termasuk IUGR dan preeklamsi.

Harus dimulai saat usia kehamilan 12-16 minggu, dilanjutkan

sampai 36 minggu (Wiknjosastro, 2014).

Aspirin dosis rendah direkomendasikan pada wanita dengan 2 atau

lebih factor risiko termasuk hipertensi gestasional, obesitas, usia >

40 tahun, riwayat ART (assisted repro tech), pregestasional DM,

kehamilan multiple, riwayat solusio plasenta, riwayat infark

plasenta. Dimulai antara usia 12-16 minggu, dilanjutkan sampai 36

minggu (Wiknjosastro, 2014).

f. Monitoring intrapartum

Dalam persalinan perlu dilakukan pemantauan terus menerus sebab

fetus dengan hambatan pertumbuhan intrauterin mudah menjadi

hipoksia dalam masa ini. Oligohidramnion bisa menyebabkan tali

pusat terjepit sehingga rekaman jantung janin menunjukkan

deselerasi variabel. Keadaan ini diatasi dengan memberi infus

kedalam rongga amnion (amnioinfusion). Pemantauan dilakukan

dengan kardiotokografi kalau bisa dengan rekaman internal pada

mana elektroda dipasang pada kulit kepala janin setelah ketuban

pecah/dipecahkan dan kalau perlu diperiksa pH janin dengan

pengambilan sampel darah pada kulit kepala. Bila pH darah

janin < 7,2 segera lakukan resusitasi intrauterin kemudian disusul

terminasi kehamilan dengan bedah. Resusitasi intrauterin dilakukan

dengan cara ibu diberi infus (hidrasi maternal) merebahkan dirinya

26
kesamping kiri, bokong ditinggikan sehingga bagian terdepan lebih

tinggi, berikan oksigen kecepatan 6 I/menit, dan his

dihilangkan dengan memberi tokolitik misalnya terbutalin 0,25 mg

subkutan (Wiknjosastro, 2014).

2.11 PROGNOSIS

Kasus PJT yang sangat parah dapat berakibat janin lahir mati

(stillbirth) atau jika bertahan hidup dapat memiliki efek buruk jangka

panjang dalam masa kanak-kanak nantinya. Kasus-kasus PJT dapat

muncul, sekalipun Sang ibu dalam kondisi sehat, meskipun, faktor-faktor

kekurangan nutrisi dan perokok adalah yang paling sering. Menghindari

cara hidup berisiko tinggi, makan makanan bergizi, dan lakukan kontrol

kehamilan (prenatal care) secara teratur dapat menekan risiko munculnya

PJT (Murki, 2014).

BAB III

KESIMPULAN

PJT adalah gangguan pertumbuhan pada janin dan bayi baru lahir yang

meliputi semua parameter (lingkar kepala, berat badan, panjang badan), yang

beratnya dibawah 10 persentil untuk usia gestasinya. Banyak istilah yang

dipergunakan untuk menunjukkan pertumbuhan janin terhambat (PJT) seperti

pseudomature, small for date, dysmature, fetal malnutrition syndrome, chronic

fetal distress, IUGR dan small for gestational age (SGA).

27
PJT diklasifikasikan menjadi PJT simetris, asimetris, dan kombinasi

keduanya. Etiologinya dapat berasal dari ibu, uteroplasenta, maupun dari janin itu

sendiri. Bayi-bayi yang dilahirkan dengan PJT biasanya tampak kurus, pucat, dan

berkulit keriput. Tali pusat umumnya tampak rapuh dam layu dibanding pada bayi

normal yang tampak tebal dan kuat. PJT muncul sebagai akibat dari berhentinya

pertumbuhan jaringan atau sel.

Diagnosis PJT dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, riwayat penyakit

ibu (factor resiko), pemeriksaan fisik (TFU yang tidak sesuai dengan usia

kehamilan), dan pemeriksaan penunjang (Dopler, NST, USG).

PJT dapat menyebabkan komplikasi baik pada janin maupun pada ibu,

mulai dari yang ringan hingga yang paling berat, nahkan dapat menyebabkan

kematian janin.

Dengan penatalaksanaan yang baik, mulai dari pemeriksaan antenatal

sampai setelah bayi dilahirkan, dapat mengurangi resiko kematian ibu dan janin.

Beberapa penyebab dari PJT tidak dapat dicegah. Faktor seperti diet, istirahat, dan

olahraga rutin dapat dikontrol. Menghindari cara hidup berisiko tinggi, makan

makanan bergizi, dan lakukan kontrol kehamilan (prenatal care) secara teratur

dapat menekan risiko munculnya PJT.

28
29

You might also like