You are on page 1of 134

Realistic Mathematics Education

(RME)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat tuhan kami Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta kesehatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah yang berjudul “Realistic Mathematics Education(RME)”.
Dalam makalah ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran,
untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kami sampaikan kepada Ibu Luluk Faridah,
M.Pd. selaku dosen pembimbing “MKPBM I” yang telah banyak memberikan masukan untuk
makalah ini.
Semua hal itu tidak lepas dari kesalahan , makalah ini masih jauh dari sempurna. Jadi
kami mohon kritik dan saran yang berguna bagi kami untuk esok hari nya.
Demikian makalah ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan semoga bermanfaat.
Terima Kasih .

Lamongan, 24 November 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. 1
DAFTAR ISI............................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................... 5
C. Tujuan ................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... 6
A. Pengertian Realistic Mathematics Education (RME)........................ 6
B. Tipe Matematisasi dalam Realistic Mathematics Education
(RME).............................................................................................. 7
C. Prinsip dan Karakteristik Realistic Mathematics Education
(RME).............................................................................................. 7
D. Ciri-ciri Realistic Mathematics Education (RME)............................ 9
E. Tahap Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) .......... 10
F. Manfaat Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) ...... 11
1. Untuk Siswa ................................................................................ 11
2. Untuk Guru ................................................................................. 12
G. Kelebihan dan Kekurangan Realistic Mathematics Education
(RME) 12
a. Kelebihan .................................................................................... 12
b. Kekurangan ................................................................................. 13
H. Hubungan antara Pendekatan Realistik dengan Kemampuan
Pemecahan Masalah dan Hasil Belajar............................................. 13
a. Hubungan antara pendekatan realistik dengan kemampuan
pemecahan masalah.................................................................... 14
b. Hubungan antara pendekatan realistik dengan hasil belajar....... 15
I. Perbedaan antara Matematika Realistik dengan Matematika
Tradisonal....................................................................................... ` 17
BAB III PENUTUP............................................................................ 19
A. Simpulan................................................................................. 19
B. Saran....................................................................................... 19
Daftar pustaka
Lampiran-lampiran
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang mutlak bagi manusia agar dapat
membangun peradaban bangsanya. Dalam pendidikan itu, manusia diajarkan dengan berbagai
disiplin ilmu sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan diberbagai jenjang pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi adalah matematika.
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat
abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami matematika.
Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga dalam hal ini siswa sangat
lemah.
Jennings dan Dunne (Suharta, 2004) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa rnengalami
kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal ini yang
menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang
bermakna.
Kondisi pembelajaran yang kurang bermakna dialami oleh sekolah-sekolah baik
pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Salah satu asumsi dibalik kurang
memuaskannya kualitas proses pembelajaran matematika adalah disebabkan metode, strategi dan
pendekatan yang digunakan oleh pendidik kurang efektif dalam proses pembelajaran strategi
pembelajaran yang diterapkan oleh guru-guru masih menggunakan pendekatan tradisional atau
mekanistik dimana siswa secara pasif menerima konsep, rumus dan kaidah (mernbaca,
mendengarkan, mencatat, menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide-ide dalam proses
pernbelajaran
Oleh karena itu, perlu adanya inovasi dalam pembelajaran matematika yakni perubahan
dalam strategi pembelajaran termasuk pendekatan pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud RME?
2. Ada berapa tipe matematisasi dalam RME?
3. Apa saja prinsip dan karakteristik RME?
4. Apa saja ciri-ciri RME?
5. Bagaimana langkah-langkah penerapan RME?
6. Apa saja manfaat RME?
7. Apa saja kelebihan dan kekurangan RME?
8. Bagaimana hubungan antara pendekatan realistik dengan kemampuan pemecahan masalah dan
hasil belajar?
9. Apa perbedaan antara matematika realistik dengan matematika tradisional?

C. Tujuan
1. Mengetahui pendekatan Realistic Mathemtics Education (RME)
2. Mengetahui macam-macam tipe matematisasi dalam RME
3. Mengetahui prinsip dan karakteristik RME
4. Mengetahui cirri-ciri RME
5. Mengetahui langkah-langkah penerapan RME
6. Mengetahui manfaat RME
7. Mengetahui kelebihan dan kekurangan RME
8. Mengetahui hubungan antara pendekatan realistik dengan kemampuan pemecahan masalah dan
hasil belajar
9. Mengetahui perbedaan antara matematika realistik dengan matematika tradisional

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Realistic Mathematics Education (RME)
Kata “realistik” merujuk pada pendekatan dalam pendidikan matematika yang telah
dikembangkan di Belanda selama kurang lebih 30 tahun. Pendekatan ini mengacu pada pendapat
Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994) yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan
dengan realita dan kegiatan manusia. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan Realistic
Mathematics Education (RME).
Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran Matematika
Realistik Indonesia (PMRI) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika.
Teori RME ini mengacu fakta pendapat freundenthal (Asmin, 2001) yang juga mengatakan
bahwa "matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari".
Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistikpada
dasarnya pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar
proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara
lebih baik dari pada masa lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realitas
yaitu hal-hal nyata atau konkrit yang dapat dipahami atau diamati peserta didik lewat
membayangkan, sedang yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta
didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta
didik. Lingkungan ini juga disebut juga kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik adalah atau Realistic Mathematics Education (RME)
adalah sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Hans Freudenthal di
Belanda. Gravemeijer (1994: 82) dimana menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai
aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi
pokok persoalan. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika
sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik
awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-
konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.
Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan
masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya
secara langsung. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa dapat mengembangkan
konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dan dunia nyata.

B. Tipe Matematisasi dalam Realistic Mathematic Education (RME)


Menurut Treffers dan Goffree (2003) terdapat dua tipe matematisasi yang dikenal dalam
Realistic Mathematic Education (RME) yaitu:
 Matematisasi horizontal
Proses matematika horizontal pada tahapan menengah persoalan sehari-hari menjadi persoalan
matematika sehingga dapat diselesaikan atau situasi nyata diubah ke dalam simbol-simbol dan
model-model matematika.
 Matematisasi vertikal
Proses matematika pada tahap penggunaan simbol, lambang kaidah-kaidah matematika yang
berlaku secara umum.

C. Prinsip dan Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)


Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat
dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga
prinsip tersebut, yaitu:
 Guided reinvention and progressive mathematizing
Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi
kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan.
Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran.
Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal.
Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian
formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat
menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang
berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara
formal (progressive mathematizing).
 Didactical phenomenology
Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang
termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu:
a. Memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran.
b. Kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.
 Self-developed models
Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual
siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk
menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal
siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan
pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang
dimiliki siswa.
Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan
menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran
matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
 The use of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran matematika realistik
lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai
bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
 Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model), artinya permasalahan atau ide
dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun
model yang mengarah ke tingkat abstrak.
 Students constribution (menggunakan kontribusi siswa), artinya pemecahan masalah atau
penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
 Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
 Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang berbeda
dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara
serentak.

D. Ciri – Ciri Realistic Mathematic Education (RME)


Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan RME memiliki
beberapa ciri, yaitu:
1. Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga
memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual
problem) merupakan bagian yang esensial.
2. Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics).
3. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika di bawah
bimbingan orang dewasa (guru).
4. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus
dari semua aktivitas di kelas.
5. Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah
kontekstual(looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan
mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).

E. Tahap Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)


Berdasarkan prinsip dan karakteristik RME serta memperhatikan berbagai pendapat
tentang proses pembelajaran matematika dengan pendekatan RME di atas, maka disusun
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan RME sebagai berikut :
Langkah 1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari
siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah yang diberikan tersebut. Jika
terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya
terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.
Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu
menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran dan karakteristik
keempat yaitu interaksi.
Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada
pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah, selanjutnya siswa
bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang
dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan
yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa
dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut.
Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua mernggunakan
model.
Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban.
Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan
mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani
mengemukakan pendapatnya meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainya.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah
karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa (students constribution) dan
karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi (interactivity) antara siswa dengan siswa yang
lain.
Langkah 4. Menyimpulkan.
Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik
kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistikyang diselesaikan.

F. Manfaat Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)


Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistic mathematic
education (RME) diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan
kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan
dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Adapun manfaat dari pembelajaraan RME adalah:
a. Untuk Siswa
 Siswa lebih mudah menyelesaikan masalah dikaitkan dengan masalah-masalah dalam kehidupan
nyata.
 Siswa dapat menyelesaikan secara informal sebelum menggunakan secara formal sehingga
mendorong siswa untuk belajar di dalam kehidupan nyata.
 Siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya sendiri dan lebih aktif.
b. Untuk Guru
 Membantu Guru dalam pemahaman masalah.
 Guru dapat mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap konsep masalah yang ada.
 Guru dapat mengaitkan topik dengan masalah kehidupan sehari-hari.
 Guru hanya sebagai fasilitator belajar dan mampu membangun pengajaran yang interaktif.

G. Kelebihan dan Kekurangan Realistic Mathematic Education (RME)


a. Kelebihan
Menurut suwarsono (2001: 5) terdapat kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu:
 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi
manusia.
 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa
tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu
dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang
itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan
membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa
diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian
masalah tersebut.
 Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang utama dan orang
harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika
dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu ( misalnya guru ). Tanpa kemauan untuk menjalani
sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
b. Kekurangan
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru
menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:
 Tidak mudah untuk merubah pandangan yang berdasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai
siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat
untuk dapat diterapkannya RME.
 Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari
siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermaca-macam
cara.
 Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
 Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan
kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

H. Hubungan antara Pendekatan Realistik dengan Kemampuan Pemecahan Masalah dan


Hasil Belajar
a. Hubungan antara pendekatan realistik dengan kemampuan pemecahan masalah.
Belajar melalui pendekatan pemecahan masalah ditujukan kepada pengembangan
generalisasi-generalisasi yang akan membantu individu untuk memecahkan masalah-masalah
yang ditemukannya. Proses pemecahan masalah menghasilkan lebih banyak prinsip yang dapat
membantu pemecahan masalah selanjutnya. Pemecahan terhadap suatu masalah biasanya
dilakukan dengan mempelajari prinsip-prinsip kemudian menerapkannya ke dalam pemecahan
masalah tersebut.
Kemampuan pemecahan masalah dengan pendekatan realistik matematika perlu
diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman menemukan kembali objek-objek matematika
dengan bimbingan guru. Dalam hal ini siswa mengidentifikasi masalah realistik yang kontekstual
harus ditransfer ke dalam masalah bentuk matematika untuk dipahami lebih lanjut melalui
penskemaan, perumusan, pemvisualisasian, siswa mencoba menemukan kesamaan dan hubungan
masalah dan mentransfernya ke dalam bentuk model matematika informal atau formal peranan
guruadalah membantu memberikan gambaran model-model matematika yang cocok untuk
mempresentasekan masalah tersebut.
Untuk memecahkan masalah-masalah matematika, kepada siswa harus diawali dengan
masalah kontekstual, yaitu masalah realistik (dunia nyata), atau setidak-tidaknya masalah yang
dapat dikhayalkan atau dibayangkan sebagai sesuatu yangnyata. Hal ini dengan
mempertimbangkan dua aspek yaitu kecocokan penggunaan konteks dalam pembelajaran, dan
kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali model matematika dari masalah kontekstual
tersebut.
Selain itu diarahkan untuk menyelesaikan model matematika (informal atau formal) dari
masalah kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi, dan prinsip matematika yang berlaku
dan dipahami siswa secara benar untuk mendapatkan jawaban yang benar pula. Pada akhirnya
siswa merumuskan dan menggeneralisasikan jawaban masalah dengan membandingkan jawaban
dengan konteks dan kondisi masalah. Dengan bantuan guru, siswa menunjukkan keterkaitan
konsep, operasi, dan prinsip matematika yang digunakan dan menggeneralisasikannya.
Jadi dalam memecahkan masalah dengan menggunakan pendekatan realistik, siswa
sendiri mengembangkan model-model pemecahan atau pemecahan masalah kontekstual. Model-
model yang dikembangkan sendiri oleh siswa berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan
matematika informal dan pengetahuan matematika formal dari siswa. Siswa mengembangkan
model dari masalah kontekstual dengan menggunakan model matematika yang telah
diketahuinya. Dimulai dengan menyelesaikan masalah kontekstual dari situasi nyata yang siswa,
sudah kenal, kemudian menemukan model dan masalah tersebut, dan selanjutnya diikuti dengan
menemukan model untuk masalah tersebut dan akhirnya mendapatkan penyelesaian masalah
dalam bentuk pcngetahuan matematika yang formal.
b. Hubungan antara pendekatan realistik dengan hasil belajar.
Hasil belajar siswa langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan realitas internal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yang akan dibahas dalam pembahasan ini
hanya faktor siswa dan guru sebagai berikut:
1. Siswa
a) Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa merupakan prinsip yang sangat penting dalam interaksi belajar mengajar. Selama
kegiatan pembelajaran berlangsung, siswa tidak hanya mendengar sejumlah teori-teori secara
pasif, melainkan siswa harus aktif dan sungguh-sungguh dalam semua kegiatan pembelajaran,
seperti mendengar, menulis, tanya jawab, diskusi, praktik dan lain-lain. aktivitas selama
pembelajaran matematika realistik adalah mendengarkan, memperhatikan penjelasan guru atau
teman kelompok, mencatat pertanyaan guru, mengerjakan, mendiskusikan pertanyaan guru
melalui LKS, menyajikan hasil diskusi kelompok, menanggapi jawaban hasil diskusi kelompok
lain, merangkum materi pelajaran, menulis/mengerjakan PR atau kuis, dan perilaku yang tidak
relevan dengan pembelajaran (Sardiman, 2000: 34).
b) Respon Siswa
Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap keberhasilan proses pembelajaran adalah siswa.
Faktor diri siswa yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran tersebut antara lain adalah
perhatian, bakat, minat, intelegensi dan motivasi untuk belajar (Slamet, 2003: 55). Motivasi
dipandang sebagai suatu proses dalam diri siswa yang menyebabkan munculnya tingkah laku ke
arah tujuan yang diharapkan. Motivasi dibedakan atas motivasi instrinsik dan motivasi
ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi yang berasaI dari dalam diri siswa. Sedangkan
motivasi ekstrinsik berasal dari luar diri siswa.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, (Sahabuddin 1999: 63) mengemukakan
bahwa apabila seorang siswa memiliki motivasi tinggi dalam belajar matematika, maka ia akan
mempelajari matematika dengan sungguh-sungguh sehingga ia mempunyai pengertian yang
lebih mendalam dan dengan mudah mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Sedangkan, siswa yang motivasi belajarnya rendah akan menimbulkan kegagalan dalam
belajamya.
Berdasarkan uarain di atas, maka dapat disimnpulkan bahwa seorang siswa yang mempunyai
motivasi tinggi dalam belajar matematika akan memberikan respon positif dan sebaliknya sisvra
yang motivasi belajar rendah akan memberikan respon negatif yang diwujudkan dalam sikap
atau pendapat yang diberikan terhadap proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
2. Guru
Guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Guru
merupakan peIaksana pembelajaran rill kelas, sebab guru yang mampu mengelola proses belajar
akan mempengaruhi mutu pelajaran. Penguasaan materi dan cara penyampaiannya merupakan
syarat mutlak bagi seorang guru. Seorang guru yang tidak menguasai materi matematika dengan
baik, tidak mungkin ia dapat mengajar matematika dengan baik. Demikian juga seorang guru
yang tidak menguasai berbagai cara penyampaian dapat menimbulkan kesulitan siswa dalarn
memahami matematika (Sardiman, 2000:87).
Dari uraian di atas, dalarn kegiatan pengembangan perangkat ini kondisi guru adalah
kemarnpuan guru dalam mengelola pembelajaran matematika realistik yang meliputi
pendahuluan, kegiatan inti, penutup.

I. Perbedaan antara Matematika Realistik dengan Matematika Tradisional


Pada Matematika Tradisional, matematika diletakkan sebagai salah satu mata pelajaran
wajib. Pembelajaran matematika lebih ditekankan pada ilmu hitung dan cara berhitung. Urutan-
urutan materi seolah-olah telah menjadi konsensus masyarakat. Karena seolah-olah sudah
menjadi konsensus maka ketika urutan dirubah sedikit saja protes dan penentangan dari
masyarakat begitu kuat. Untuk pertama kali yang diperkenalkan kepada siswa adalah bilangan
asli dan membilang, kemudian penjumlahan dengan jumlah kurang dari sepuluh, pengurangan
yang selisihnya positif dan lain sebagainya.
Kekhasan lain dari pembelajaran matematika tradisional adalah bahwa pembelajaran
lebih menekankan hafalan dari pada pengertian, menekankan bagaimana sesuatu itu dihitung
bukan mengapa sesuatu itu dihitungnya demikian, lebih mengutamakan kepada melatih otak
bukan kegunaan, bahasa/istilah dan simbol yang digunakan tidak jelas, urutan operasi harus
diterima tanpa alasan, dan lain sebagainya sehingga dalam hal ini guru sangatlah aktif.
Berbeda dengan Matematika Realistik, Menurut Zulkardi (Ermayana: 2003) dalam
matematika realistik guru hanya sebagai fasilitator belajar dan mampu membangun pengajaran
yang interaktif. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk seeara aktif
menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan
persoalan riil dan tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan
aktif rnengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial. Ada beberapa ciri khas
yang menonjol pada pembelajaran matematika realistik. Ciri khas yang pertama adalah
digunakannya masalah atau soal-soal yang berawal dalam kehidupan sehari-hari, yang kongkrit
atau yang ada dalam alam pikiran siswa, sebagai titik awal proses pembelajaran. Ciri khas lain
dalam pembelajaran realistik adalah siswa diperlukan sebagai peserta aktif dalam proses
pembelajaran. Telah disebutkan diatas, pengajaran sering kali diinterpretasikan sebagai aktivitas
yang dilakukan oleh guru, mula-mula ia mengenalkan objek, memberikan satu atau dua contoh
kemudian menanyakan pertanyaan satu atau dua, kemudian meminta kepada siswa yang pasti
untuk lebih aktif dengan memulainya melengkapi latihan-latihan soal dari buku. Umumnya
pelajaran akan berakhir dan terorganisasi secara baik. Pelajaran berikutnya akan mengikuti
pelajaran yang serupa. Akan tetapi pendidikan matematika yang pembelajaran bermula
dari reality membuat pembelajaran menjadi semakin kompleks.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pendekatan realistik adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang menerapkan agar
pembelajaran bertitik tolak pada hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan
berdiskusi, dan berargumentasi dengan teman sekelas. Sehingga mereka dapat menemukan
sendiri, dan pada akhirnya menggunakan matematika dalam menyelesaikan masalah baik secara
individu maupun secara kelompok. Tidak ada satupun model pembelajaran yang diangap paling
baik diantara model- model pembelajaran yang lain. Tiap model pembelajaran mempunyai
karakteristik tertentu dengan segala kelebihan dan kelemahan masing- masing. Suatu model
pembelajaran jika digunakan sesuai situasi dan kondisi pasti akan jadi model pembelajaran yang
baik.

B. Saran
Berdasarkan simpulan dari penulisan ini untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran
realistik penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Diperlukan adanya kesadaran siswa dalam bertanggung jawab terhadap setiap pelajaran yang
dipelajari disekolah.
2. Diperlukan adanya kesadaran antara pengajar dengan siswa agar pembelajaran realistik dapat
berjalan dengan baik.
3. Setiap pengajar diharapkan menguasai bermacam-macam metode pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Yuli. 2012. “MAKALAH Realistic Mathematics Education (RME)”.
(online).http://yuliastuti90.blogspot.co.id/2012/11/makalah-realistic-mathematics-
education.html. Diakses tanggal 23 November 2016 pukul 20:07 WIB.
Hidayat, Taufik. 2016. ” Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik (RME) Dalam Proses
Pembelajaran di Sekolah Dasar”.
(online).https://taufikhidayat93.blogspot.co.id/2016/04/penerapan-model-pembelajaran-
matematika.html. Diakses tanggal 23 November 2016 pukul 20:12 WIB.
Irawatih, Titn. 2016. “makalah RME”. (online).http://titnirawatih.blogspot.co.id/2016/01/makalah-
rme.html. Diakses tanggal 23 November 2016 pukul 20:18 WIB.
Gofur, Abdul. 2016. “SINTAK MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK”.
(online).https://modelpembelajaran1.wordpress.com/2016/02/22/sintak-model-pembelajaran-
matematik-relistik/. Diakses tanggal 23 November 2016 pukul 20:27 WIB
http://irar6pgsd.blogspot.co.id/2013/05/materi-matematika-sdmi-kelas-2-semester.html?m=1
http://bilqissholichah.blogspot.co.id/2015/10/rpp-matematika-mi-sd-kelas-2-materi.html
https://doc-0s-8g-
docs.googleusercontent.com/docs/securesc/ha0ro937gcuc7l7deffksulhg5h7mbp1/7m6dl0gvst00o
7v936kktetr18flddfc/1479837600000/15968041093068808524/*/0B32qQm_NkxHiNUh5N05iY1
81dGM?e=download
MODEL PEMBELAJARAN REALISTIK
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Inovasi Pembelajaran Matematika 1
Dosen pengampu : Aryo Andri Nugroho, S.Si, M.Pd
Disusun oleh:
Kelompok 11, Kelas 3D
1. Fika Nahdliyana 11310153
2. Ika Sulistyarini 11310166
3. Ahmad Ma’ruf 11310181

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
IKIP PGRI SEMARANG
2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
kesehatan kepada penulis karena berkat usaha, kerja keras dan ketekunan serta keridhaan Allah
SWT, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Model Pembelajaran
Realistik” dengan baik. Penulisan makalah ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Inovasi Pembelajaran Matematika.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang penulis peroleh dari buku
panduan yang berkaitan dengan metode-metode pembelajaran yang berkembang di Indonesia,
serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan metode-metode pembelajaran. Tak
lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Inovasi Pembelajaran
Matematika atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah berikutnya.Semoga makalah ini mampu memberikan manfaat dan
mampu memberikan segi positif bagi para pembaca.

Semarang, Oktober 2012

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masalah pendidikan senantiasa menjadi topic perbincangan yang menarik, baik di
kalangan guru, orang tua, lebih lagi di kalangan para pakar pendidikan. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar karena setiap orang berkepentingan dan menginginkan pendidikan yang
terbaik bagi siswa, anak atau generasi penerus bangsa ini. Terlebih lagi masalah pendidikan
matematika selalu menjadi sorotan karena masih rendahnya prestasi belajar siswa pada bidang
studi tersebut. Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika di Indonesia telah lama
dilaksanakan, namun keluhan tentang kesulitan belajar matematika masih saja terus dijumpai.
Rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika bukan semata-mata
karena materi yang sulit, tetapi juga bisa disebabkan oleh proses pembelajaran yang
dilaksanakan. Pentingnya proses pembelajaran ini ditegaskan oleh Soedjadi (1989) yang
menyatakan bahwa: “Betapapun tepat dan baiknya bahan ajar matematika yang ditetapkan
belumlah menjamin akan tercapainya tujuan pendidikan matematika yang diinginkan. Salah satu
faktor penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses belajar yang dilaksanakan”.
Upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran telah diupayakan dengan melaksanakan
pendekatan pembelajaran keterampilan proses dan CBSA, namun masih banyak permasalahan
yang belum dapat diselesaikan, khususnya masalah pembelajaran di kelas. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih terpusat pada
guru, bukan pada siswa.
Ratumanan (2000) menyatakan bahwa dalam pengajaran matematika guru cenderung
mentransfer pengetahuan yang mereka miliki ke dalam pikiran siswa. Siswa sering diposisikan
sebagai orang yang “tidak tahu apa-apa” yang hanya menunggu apa yang guru berikan.
Sementara itu Soedjadi (2001a) menyatakan bahwa dalam kurikulum matematika sekolah di
Indonesia dan dalam pembelajarannya selama ini terpateri kebiasaan dengan urutan sajian
pembelajaran sebagai berikut: (1) diajarkan teori/teorema/definisi (2) diberikan contoh-contoh
dan (3) diberikan latihan soal-soal.
Kebiasaan pembelajaran semacam ini menyebabkan guru mendominasi kegiatan belajar
mengajar, sementara siswa hanya menjadi pendengar dan pencatat yang baik. Hasilnya adalah
siswa yang kurang mandiri tidak berani mengemukakan pendapat sendiri, selalu meminta
bimbingan guru dan kurang gigih melakukan ujicoba dalam menyelesaikan masalah matematika,
sehingga pengetahuan yang dipahami siswa hanya sebatas apa yang diberikan guru.
Pada hakekatnya dalam kegiatan belajar mengajar, yang belajar adalah siswa secara
mandiri. Oleh karena itu hendaknya dalam proses pembelajaran guru memberikan arahan kepada
siswa tentang bagaimana siswa harus belajar. Seperti yang diungkapkan oleh Weinstein dan
Meyer (dalam Arends, 1997: 243) yang menyatakan bahwa:“good teaching includes teaching
students how to learn, how to remember, how to think, and how to motivate themselves”.
Maksudnya pengajaran yang baik meliputi mengajar siswa tentang bagaimana belajar,
bagaimana mengingat, bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri sendiri. Hal ini juga
sejalan dengan pendapat Sumani (2000: 29) yang menyatakan bahwa salah satu kemampuan
yang harus dimiliki guru adalah memotivasi siswanya untuk belajar sendiri, artinya bagaimana
guru mampu menumbuhkan motivasi intrinsic (dari dalam) siswa untuk belajar.
Peran guru dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai fasilitator dan motivator
untuk mengoptimalkan belajar siswa. Guru seharusnya tidak hanya memberikan pengetahuan
jadi, tetapi siswa secara aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri.
Ratumanan (2000) menyarankan agar seharusnya guru berpandangan bahwa matematika
merupakan proses, sehingga pengajaran matematika merupakan suatu usaha membantu siswa
untuk mengkontruksi pengetahuan dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi
sehingga pengetahuan tersebut terkontruksi kembali. Dengan demikian pembelajaran matematika
bukanlah suatu transfer pengetahuan, tetapi lebih menekankan bagaimana siswa membangun
pemahamannya dengan membantu guru.
Selanjutnya Burril (1997: 604) mengemukakan bahwa: Good teaching is not making
learning easy!, is not making hard either. Students, teachers, parents, and administrators should
understand that good teaching means that students are actively engaged in the learning process.
Students are involved with problems, they struggle with ideas, and they take part in the
dialogue”. Maksudnya pengajaran yang baik adalah siswa terlibat aktif dalam proses
pembelajaran. Siswa dilibatkan dalam masalah, mengemukakan ide-idenya, dan terlibat dalam
dialog.
Dari kedua pendapat tersebut, suatu pembelajaran yang baik adalah yang melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Untuk itu orientasi proses pembelajaran
hendaknya diubah, peranan guru yang selama ini mendominasi kegiatan pembelajarn hendaknya
dikurangi dan member peluang yang lebih besar kepada siswa untuk aktif berpartisipasi dalam
proses pembelajaran. Pembelajaran yang terpusat pada guru sudah sewajarnya diubah menjadi
terpusat pada siswa.
Model pembelajaran hendaknya dipilih dan dirancang sedemikian sehingga lebih
menekankan pada aktivitas siswa, sehingga perlu diupayakan mendesain suatu pengajaran yang
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk belajar dengan membangun
pengetahuannya sendiri. Dengan pembelajaran tersebut diharapkan dapat diperoleh prestasi
belajar yang lebih baik.
Model pembelajaran matematika realistik atau yang biasa dikenal denga Realistic
Mathematics Education (RME) merupakan salah satu alternative pembelajaran yang tepat karena
dengan model pembelajaran ini siswa dituntut untuk mengkontruksi pengetahuan dengan
kemampuannya sendiri melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kegiatan
pembelajaran. Ide utama pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran RME adalah
siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) konsep matematika
dengan bimbingan orang dewasa. Prinsip menemukan kembali berarti siswa diberi kesempatan
menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual yang
diberikan pada awal pembelajaran. Berdasarkan soal siswa membangun model dari (model of)
situasi soal kemudian menyusun model matematika untuk (model for) menyelesaikan hingga
mendapatkan pengetahuan formal matematika (Gravemeijer, 1994: 100). Selain itu dalam
pandangan ini, matematika dipandang sebagai suatu kegiatan manusia. Oleh karena itu
pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika sebagau bagian dari
kegiatan manusia. Oleh karena itu pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan realita dan
matematika sebagai bagian dari kegiatan manusia.
Dalam pembelajaran ini, guru berfungsi sebagai pembimbing dalam menyeleksi
kontribusi-kontribusi yang diberikan siswa melalui pemecahan masalah kontekstual. Dalam
memecahkan masalah kontekstual tersebut siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkan
sehingga sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah “informal” sebelum sampai kepada
materi matematika yang lebih “forma” (Soedjadi 2001b:2). Dengan demikian pembelajaran tidak
lagi terpusat pada guru tetapi lebih terpusat pada siswa, dengan kata lain pembelajaran
berlangsung secara aktif yaitu pengajar dan pelajar sama-sama aktif.
Model pembelajaran RME telah dikembangkan di Belanda selama kurang lebih 30 tahun
menunjukkan hasil yang baik. RME juga dikembangkan di beberapa Negara lain seperti USA
(yang dikenal dengan Mathematics in Context), Afrika Selatan, Malaysia, Inggris, Brazil, dan
lain-lain (Fauzan, 2001:1). Laporan dari TIMSS (Third International Mathematics and Science
Study) menyebutkan bahwa berdasarkan penilaian TIMSS, siswa di Belanda memperoleh hasil
yang memuaskan baik dalam keterampilan komputasi maupun kemampuan pemecahan masalah
(dalam Yuwono, 2001:1). Model pembelajaran ini akan menjadi fokus dalam tulisan ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian model pembelajaran realistik ?
2. Apa saja prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik ?
3. Apa saja ciri-ciri model pembelajaran realistik ?
4. Apa saja langkah-langkah pembelajaran matematika realistik ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian pembelajaran matematika realistik, sehingga para guru/calon guru dapat
melakukan kegiatan belajar mengajar dengan baik dan benar.
2. Mengetahun prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik.
3. Mengetahui ciri-ciri model pembelajaran matematika realistik.
4. Mengetahui langkah-langkah pembelajaran matematika realistik, sehingga kegiatan belajar
mengajar dapat berlangsung secara efektik.

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN REALISTIK


Menurut logika masyarakat pada umunya, seseorang berminat mempelajari sesuatu
dengan tekun bila melihat manfaat dari yang dipelajarinya itu dalam hidupnya. Manfaat itu bisa
berupa kemungkinan meningkatkan kesejahteraannya, harga dirinya, kepuasannya dan
sebagainya. Dengan perkataan lain persepsi seseorang tentang sesuatu itu ikut mempengaruhi
sikapnya terhadap sesuatu itu (Marpuang, 2001). Demikian pula dengan pembelajaran
matematika, seseorang anak akan berminat belajar matematika bila anak tersebut mengetahui
manfaat matematika bila anak tersebut mengetahui manfaat matematika bagi diri dan
kehidupannya, karena itu mengaitkan pembelajaran matematika dengan realita dan kegiatan
manusia merupakan salah satu cara untuk membuat anak tertarik belajar matematika.
Pembelajaran matematika dengan mengaitkan matematika dengan realita dan kegiatan manusia
ini dikenal dengan Pembelajaran Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education
(RME) (Freudenthal dalam Gravermeijer, 1994).
Ide utama dari model pembelajaran RME adalah manusia harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang
dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika ini
dilakukan dengan memanfaatkan realita dan lingkungan yang dekat dengan anak. Soedjadi
(2001a:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistic pada dasarnya adalah
pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses
pembelajaran matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu (Soedjadi, 2001a:2). Lebih
lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau konkrit
yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud
dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah,
keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut juga
kehidupan sehari-hari.
Treffers (1991: 32) memformulasikan dua konsep matematisasi yaitu matematisasi
horizontal dan matematisasi vertikal. Dalam matematisasi horizontal siswa dengan pengetahuan
yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari atau dengan kata lain matematisasi horizontal bergerak dari dunia nyata ke dunia
symbol. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan dan
penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasi masalah dunia nyata ke
masalah matematika.
Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses pengorganisasian kembali dengan
menggunakan matematika itu sendiri, jadi dalam matematisasi vertikal bergerak dari dunia
symbol. Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam
rumus, menghaluskan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang
berbeda, perumusan model matematik dan penggenerelisasian.
Proses pembelajaran matematika dengan RME menggunakan masalah
kontekstual (contextual problems) sebagai titik awal dalam belajar matematika. Dalam hal ini
siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu siswa mengorganisasikan masalah dan
mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Siswa bebas
mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan caranya
sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki. Kemudian siswa dengan bantuan atau tanpa
bantuan guru, menggunakan matematisasi vertikal (melalui abstraksi maupun formalisasi) tiba
pada tahap pembentukan konsep. Setelah dicapai pembentukan konsep, siswa dapat
mengalikasikan konsep-konsep matematika tersebut kembali pada masalah kontekstual, sehingga
memperkuat pemahaman konsep.
Gravermeijer (1994:91) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip kunci dalam model
pemebelajaran RME yakni:
a. Petunjuk menemukan kembali/matematisasi progresif (guided reinvention/progressive
mathematizing)
Melalui topik-topik yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang
sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dilakukan dengan cara
memberikan masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi, dilanjutkan
dengan matematisasi. Proses belajar diatur sedemikian rupa sehingga siswa menemukan sendiri
konsep atau hasil (Fauzan, 2001:2).
b. Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)
Topik-topik matematika disajikan kepada siswa dengan mempertimbangkan dua aspek yaitu
kecocokan aplikasi masalah kontekstual dalam pembelajaran dan kontribusinya dalam proses
penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut.
c. Mengembangkan model sendiri (Self developed models)
Dalam menyelesaikan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan
model mereka sendiri, sehingga dimungkinkan muncul berbagai model buatan siswa. Model-
model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik menuju
arah pengetahuan matematika formal, sehingga diharapkan terjadi urutan pembelajaran seperti
berikut “masalah kontekstual” “model dari masalah kontekstual tersebut” “model kea rah
formal” “pengetahuan formal” (Soedjadi, 2001b:4).

2. PRINSIP DAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN REALISTIK


a. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
 Guided Reinvention and Progressive Mathematizing
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi secara
progresif. Melalui topik-topik yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami
proses yang sama membangun dan menemukan kembali tentang ide-ide dan konsep-konsep
secara matematika. Maksud dari mengalami proses yang sama dalam hal ini adalah bahwa setiap
siswa diberi kesempatan yang sama merasakan situasi dan jenis masalah kontekstual yang
mempunyai berbagai kemungkinan solusi. Dilanjutkan dengan matematisasi prosedur pemecah
masalah yang sama, serta perancangan rute belajar sedemikian rupa, sehingga siswa menemukan
sendiri konsep-konsep atau hasil (Fauzan, 2000:4). Prinsip ini sejalan dengan paham
kontruktivitas yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat dikontruksi oleh siswa itu
sendiri.

 Didactical Phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini fenomena
pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Masalah kontekstual ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek
kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak dalam
proses re-invention, artinya rposedur, aturan dan model matematika yang harus dipelajari oleh
siswa tidaklah disediakan oelh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukannya dari masalah
kontekstual tersebut.
 Self Developed Models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Prinsip ini berfungsi menjembatani
jurang antara pengetahuan informal dengan matematika formal. Siswa mengembangkan model
sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual.

b. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik


 Menggunakan masalah kontekstual (Use of Context)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dari sistem
formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan
masalah sederhana yang dikenali oleh siswa.
 Menggunakan model (Use of Models, Bridging by Vertical Instruments)
Dengan menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran
dapat mendorong siswa untuk membentuk model dasar matematika yang dikembangkan sendiri
oleh siswa, sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain
dengan menggunakan instrument-instrumen vertikal seperti, skema-skema, diagram-diagram,
symbol-simbol dan sebagainya.
 Menggunakan kontribusi siswa (Students Contribution)
Kontribusi yang besar pada proses mengajar belajar dating dari siswa, artinya semua pikiran
(kontruksi dan produksi) siswa diperhatikan. Kontribusi dapat berupa aneka jawab, aneka cara,
atau aneka pendapat dari siswa. Misalnya pada pengertian skala, pada awalnya siswa diberi
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi pengertian skala dengan kalimat mereka sendri,
kemudian dari beragam jawaban siswa dikompromikan dan dipakai salah satu pendapat yang
benar. Jika tidak ada yang benar, guru hanya membimbing kea rah pengertian yang benar.

 Interaktivitas (Interactivity)
Mengoptimalkan proses mengajar belajar melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan
guru dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam pembelajaran
matematika realistik. Interaksi terus dioptimalkan samapi kontruksi yang diinginkan diperoleh,
sehingga interaksi tersebut dimanfaatkan.
 Terkait dengan Topik Lainnya (Intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan dan
keterintegrasian antar topik (unit pembelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya
proses belajar mengajar yang lebih bermakna.

3. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK


Berdasarkan prinsip dan karakteristik model pembelajaran RME maka ada beberapa hal yang
menjadi ciri-ciri dari model pembelajaran ini (Nur, 2000: 8), yakni:
a. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis
pada pengalaman yang telah dimiliki siswa, sehingga mereka dengan segera tertarik secara
pribadi terhadap aktivitas matematika yang bermakna.
b. Urutan pembelajaran haruslah menghadirkan suatu aktivitas atau eksplorasi, yaitu siswa
menciptakan dan mengelaborasi model-model simbolik dan aktivitas matematika mereka yang
tidak formal, misalnya menngambar, membuat diagram, membuat tabel atau mengembangkan
notasi informal.
c. Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada komputasi dan hanya
mementingkan langkah-langkah procedural (algoritma) serta keterampilan.
d. Memberi penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah.
e. Siswa mengalami proses pembelajaran secara bermakna dan memahami matematika dengan
penalaran.
f. Siswa belajar matematika dengan pemahaman secara aktif membangun pengetahuan baru dari
pengalaman dari pengetahuan awal.
g. Dalam pembelajaran siswa dilatih untuk mengikuti pola kerja, intuisi – coba – salah –
dugaan/spekulasi – hasil.
h. Terdapat interaksi yang kuat antara siswa yang satu dengan siswa lainnya.
i. Memberikan perhatian yang seimbang antara matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.

4. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK


Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karakteristik PMR uraian di atas, maka
langkah-langkah kegiatan inti pembelajaran matematika realistik dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Langkah 1: Memahami masalah kontekstual.
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk memahami
masalah tersebut. Guru menjelaskan soal atau masalah dengan memeberikan petunjuk/saran
seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang dipahami siswa. Pada langkah ini
karakteristik PMR yang diterapkan adalah karakteristik pertama. Selain itu pemberian masalah
kontekstual berarti memberi peluang terlaksananya prinsip pertama dari PMR.
Langkah 2: Menyelesaikan masalah kontekstual.
Siswa secara individual disuruh menyelesaikan masalah kontekstual pada Buku Siswa
atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih
diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian soal
tersebut. Misalnya: bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya, mengapa kamu berpikir
seperti itu dan lain-lain. Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan kembali tentang idea
tau konsep atau definisi dari soal matematika. Di samping itu pada tahap ini siswa juga diarahkan
untuk membentuk dan menggunakan model sendiri untuk membentuk dan menggunakan model
sendiri untuk memudahkan menyelesaikan masalah (soal). Guru diharapkan tidak member tahu
penyelesaian soal atau masalah tersebut, sebelum siswa memperoleh penyelesaiannya sendiri.
Pada langkah ini semua prinsip PMR muncul, sedangkan karakteristik PMR yang muncul adalah
karakteristik ke-2, menggunakan model.
Langkah 3: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam
kelompok kecil. Setelah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan pada diskusi kelas yang dipimpin
oleh guru. Pada tahap ini dapat digunakan siswa untuk melatih keberanian mengemukakan
pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan gurunya. Karakteristik PMR
yang muncul pada tahap ini adalah penggunaan idea tau kontribusi siswa, sebagai upaya untuk
mengaktifkan siswa melalui optimalisasi interaksi antara siswa dengan siswa, antara guru dengan
siswa dan antara siswa dengan sumber belajar.
Langkah 4: Menarik Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan
siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi, teorema, prinsip atau prosedur
matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan. Karakteristik PMR
yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan interaksi antara guru dengan siswa.

5. KALEBIHAN DAN KESULITAN METODE PEMBELAJARAN REALISTIK


 Kelebihan pembelajaran matematika realistik
Menurut Suwarsono : (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari matematika
realistik, yaitu :
a. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
b. Pembelajaran metematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa matematika
adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya
oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu
dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan
orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan
membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa
diperoleh cara penyelesaian yang tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah
tersebut.
d. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang
harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika
dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk
menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
 Kesulitan dalam implementasi pembelajaran matematika realistik
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar PMR dapat muncul justru menimbulkan kesulitan
tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut yaitu :
1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya
mengenai siswa, guru, dan peranan sosial atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu
merupakan syarat untuk dapat diterapkan PMR.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari
siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam
cara.
3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan
kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Salah satu cara untuk mencoba membuat seorang anak berminat belajar matematika adalah
dengan menginformasikan kemanfaatan matematika bagi diri dan kehidupannya, karena itu
mengaitkan pembelajaran matematika dengan realita dan kegiatan manusia merupakan salah satu
cara untuk membuat anak tertarik belajar matematika. Pembelajaran matematika dengan
mengaitkan matematika dengan realita dan kegiatan manusia ini dikenal dengan Pembelajaran
Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education (RME). Beberapa prinsip dan
karakterritik pembelajaran realistic diantaranya : prinsip Guided Reinvention and Progressive
Mathematizing, Didactical Phenomenology, Self Developed Models dan
karakteristik Menggunakan masalah kontekstual (Use of Context), Menggunakan
model (Use of Models, Bridging by Vertical Instruments), Menggunakan kontribusi
siswa (Students Contribution),Interaktivitas (Interactivity), Terkait dengan Topik
Lainnya (Intertwining). Disamping itu ada beberapa langkah dalam pembelajaran realistic yaitu
memahami masalah kontekstual, menyelesaikan masalah kontekstual,membandingkan dan
mendiskusikan jawaban dan menarik kesimpulan.
2. Saran
Tidak semua metode pembelajaran dapat di gunakan untuk materi pelajaran, maka dari
itu dalam memilih metode pembelajaran harus dapat disesuaikan dengan materi pelajaran yang
dipilih.
Dengan metode pembelajaran realistic, diharapkan siswa mampu mengkontruksi dan
menemukan sendiri pengetahuan konsep melalui bantuan guru yang bersifat terbatas dan juga
dengan pembelajaran realistic ini dapat meningkatkan serta memperbaiki kualitas pembelajaran
matematika.

Daftar Pustaka

Arikunto,S.2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara.


Barnes, Heyley.2004. Realistic Mathematics Education : Eliciting Alternative Mathematical
Conceptual Conceptions of Learners. African journal of Reasearch in SMT Education.
Fadillah, Syarifa. 2006. Pengenalan Pembelajaran Realistik dan Contoh Penerapannya dalam
Pembelajaran Matematika . Jurnal Pendidikan.
Nasution, Hamidah. 2006. Pembelajrn Matematika Realistik Topik Pembagian di Sekolah Dasar.
Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains ISSN:1907-7157.
Suherman, Erman dkk.2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung : Upi
press.
Widjaja, Yeni.2003. Howa Realistic Mathematics Education Approach and Microromputer-
Based Laboratory Worked in Lessons on Graphing at an Indonesia Junior High School. Journal
of science and mathematics Education in Southeast Asia.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


(RPP)

Nama Sekolah : SMP HARAPAN BUNDA


Kelas/ Semester : IX
Mata pelajaran : Matematika
Alokasi Waktu : 1 x pertemuan

A. Standar Kompetensi
Memahami kesebangunan bangun datar dan penggunaannya dalam pemecahan masalah
B. Kompetensi Dasar
1. Mengidentifikasi bangun-bangun datar yang sebangun
2. Mengidentifikasi sifat-sifat dua segitiga sebangun
3. Menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan masalah

C. Indikator
1. Menentukan dua buah bangun datar yang sebangun
2. Menentukan sifat-sifat kesebangunan
3. Menyelesaikan masalah dengan konsep kesebangunan

D. Tujuan Pembelajaran
1. Melalui diskusi siswa dapat menentukan dua buah bangun datar yang sebangun
2. Melalui diskusi siswa dapat menentukan sifat-sifat kesebangunan
3. Melalui diskusi siswa dapat menyelesaikan masalah dengan konsep kesebangunan

E. Materi Pembelajaran
Lampiran
F. Metode pembelajaran : Metode Realistik

G. Pendekatan : Pendekatan Ketrampilan Proses (PKP)

H. Kegiatan Pembelajaran
1. Kegiatan Awal (15 menit)
 Guru bersama siswa mengucapkan salam pembuka.
 Kegiatan apersepsi (anak-anak perhatikan ubin yang ada dibawah kalian! Bagaimanakah
bentuknya?)
 Guru menyampaikan tujuan pembelajaran read more

LAPORAN DISKUSI “REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) ATAU


PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK”
08 Jan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini yang masih menjadi isu panas dalam kualitas pendidikan adalah prestasi siswa dalam
bidang ilmu tertentu. Menyadari hal ini pemerintah bersama-sama dengan para ahli di bidang
pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya reformasi pendidikan
yang telah dibuat oleh banyak pemerintah, termasuk melalui seminar, lokakarya dan materi
pelatihan dalam hal mata pelajaran dan metode pembelajaran untuk bidang studi tertentu seperti
Sains, Matematika dan lain-lain. Namun belum menampakkan hasil memuaskan, baik dari proses
pembelajarannya maupun dari hasil prestasi siswanya.

Dari beberapa mata pelajaran yang disajikan disekolah, matematika adalah salah satu mata
pelajaran yang perlu dilatih dalam system penalarannya. Melalui pengajaran matematika
diharapkan dapat meningkatkan kapasitas keterampilan dan mengembangkan aplikasi. Selain itu
matematika adalah cara berfikir dalam menentukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bahkan matematika adalah adalah metode berfikir logis sistematis, dan konsisten.

Namun matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sebagian siswa sebagai mata
pelajaran yang sulit untuk dipelajari. Apalagi dengan peserta didik yang kerja otak kanan lebih
dominan dalam aktifitas kesehariannya. Dengan asumsi seperti ini, maka pelajaran matematika
akan menjadi sebuah penghambat dalam proses pembelajaran bagi sebagian siswa tersebut.
Sehingga dalam pembelajaran perlu memperhatikan kondisi yang perlu dan dapat mendorong
atau memotivasi peserta didik dalam pembelajaran yang sedang berlangsung. Namun demikian,
dengan berbagai model pembelajaran yang ada memungkinkan guru untuk menyampaikan
materi matematika secara menarik dan menyenangkan. Dalam kondisi peserta didik yang fun
atau bisa dengan tema “belajar matematika dengan menyenangkan” maka perserta didik dapat
mengikuti dengan fun juga, maka mereka tidak merasa kejenuhan dalam belajar matematika.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang ada adalah Pembelajaran matematika realistic atau
yang lebih dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah RME itu?

2. Bagaimanakah langkah-langkah RME?

3. Apa sajakah kelebihan dan kelemahan RME?

4. Bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika?

C. Tujuan

Dari Uraian diatas didapat:

1. Tujuan umum

a. Dapat mengetahui apa itu RME.

b. Dapat mengetahui bagaimanakah langkah-langkah RME.

c. Dapat mengetahui apa sajakan kelebihan dan kelemahan RME.


d. Dapat mengetahui bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika.

2. Tujuan khusus

Dapat mengaplikasikan RME dalam proses pembelajaran.

D. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Secara umum dari ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pembelajaran matematika
utamanya dalam meningkatkan pemahaman konsep belajar matematika siswa. Secara khusus
review ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada strategi pembelajaran matematika.

2. Manfaat praktis

 Bagi siswa

Proses pembelajaran ini dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep matematika
dengan baik.

 Bagi guru

Memberikan masukan kepada guru, khususnya guru matematika, bahwa dalam pembelajaran
matematika dengan pemberian pertanyaan haruslah dapat merangsang motivasi siswa agar
pembelajaran menjadi lebih menarik dan kreatif.

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari
pengalaman.Pembelajaran dalam dunia pendidikan adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.
Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik.

Disisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi
sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar
peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang
ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta
keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi
kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan
pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.

C. Pendekatan Realistik

Pengertian pendekatan realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “sebuah pendekatan pendidikan
yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”.

Menurut Sudarman Benu, (2000: 405) “pendekatan realistik adalah pendekatan yang
menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar
matematika”.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Pengertian RME

1. Sejarah RME

Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai


berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang
dirasakan kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld
dan Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai
sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika.
Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan
pengalaman anak dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai
kemanusiaan. Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal
menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus
memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali”
matematika dengan melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama
matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika
harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968).

Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe
matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada
matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun
dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematisasi vertikal di pihak lain
merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan
langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan
temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol,
sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini
sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991). Hal ini
disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang
artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan
“membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata,
tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu.

2. Pengertian RME

RME adalah pendekatan pembelajaran yang bertolak dari hal-hal yang ‘real’ bagi siswa,
menekankan keterampilan ‘proses of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi,
berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (‘student
inventing’ sebagai kebalikan dari ‘teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika
itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini
peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir,
mengkomunikasikan ‘reasoning-nya’, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat
orang lain. Secara umum, teori RME terdiri dari lima karakteristik yaitu:

1) penggunaan real konteks sebagai titik tolak belajar matematika

2) penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan


cara formal atau rumus.

3) mengaitkan sesama topik dalam matematika

4) penggunaan metode interaktif dalam belajar matematika

5) menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa.

Namun demikian, hendaknya guru juga memperhatikan 3 aspek penilaian yang harus dicapai
dalam pembelajaran, yaitu aspek pemahaman konsep, aspek penalaran dan komunikasi, serta
aspek pemecahan masalah. Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut maka guru dapat
mengembangkan pendekatan atau model dalam proses pembelajaran serta media yang tepat
dalam mendukung belajar peserta didik dalam kelas. Dengan suasana yang menyenangkan
diharapkan peserta didik tidak jenuh lagi dalam belajar matematika, namun sebaliknya,
diharapkan peserta didik dapat termotivasi untuk belajar dengan menyenangkan.

B. Langkah-langkah Metode RME

Untuk dapat melaksanakan PMRI kita harus tahu prinsip-prinip yang


digunakan PMRI dan karakteristik PMRI.

a. Terdapat 5 prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

1. Didominasi oleh masalah- masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber
dan sebagai terapan konsep matematika.

2. Perhatian diberikan pada pengembangan model”situasi skema dan simbol”.


3. Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi
konstruktif dan produktif.

4. Interaktif sebagai karakteristik diproses pembelajaran matematika.

5. Intertwinning (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.

Gravemeijer (dalam Fitri. 2007: 10) menyebutka tiga prinsip kunci dalam pendekatan realistik,
ketiga kunci tersebut adalah:

1. Penemuan kembali secara terbimbing/ matematika secara progresif(Gunded Reinvention/


Progressive matematizing). Dalam menyeleseikan topik- topik matematika, siswa harus diberi
kesempatan untuk mengalami proses yang sama, sebagai koknsep- konsep matematika
dikemukakan. Siswa diberikan masalah nyata yang memungkinkan adanya penyeleseian yang
berbeda.

2. Didaktif yang bersifat fenomena(didaktial phenomology) topik matematika yang akan


diajarkan diupayakan berasal dari fenomenan sehari-hari.

3. Model yang dikembangkan sendiri(self developed models) dalam memecahkan ‘contextual


problem”, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri.
Pengembangan model ini dapat berperan dalam menjembatani pengetahuan informal dan
pengetahuan formal serta konkret dan abstrak.

b. Karakteristik PMRI

Menurut Grafemeijer (dalam fitri, 2007: 13) ada 5 karakteristik pembelajaran matematika
realistik, yaitu sebagai berikut:

1. Menggunakan masalah kontekstual

Masalah konsektual berfungsi sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang
digunakan dapat muncul. Bagaimana masalah matematika itu muncul(yang berhubungan dengan
kehidupan sehari- hari).

2. Menggunakan model atau jembatan

Perhatian diarahkan kepada pengembangan model, skema, dan simbolisasi dari pada hanya
mentrasfer rumus. Dengan menggunakan media pembelajaran siswa akan lebih faham dan
mengerti tentang pembelajaran aritmatika sosial.

3. Menggunakan kontribusi siswa

Kontribusi yang besar pada saat proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid
sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah metode yang lebih formal.
Dalam kehidupan sehari- hari diharapkan siswa dapat membedakan pengunaan aritmatika sosial
terutama pada jual beli. Contohnya: harga baju yang didiskon dengan harga baju yang tidak
didiskon.

4. Interaktivitas
Negosiasi secara eksplisit, intervensi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting
dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai
jembatan untuk menncapai strategi formal. Secara berkelompok siswa diminta untuk membuat
pertanyaan kemudian diminta mempresentasikan didepan kelas sedangkan kelompok yang lain
menanggapinya. Disini guru bertindak sebagai fasilitator.

5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (bersifat holistik)

Aritmatika sosial tidak hanya terdapat pada pembelajaran matematika saja, tetapi juga terdapat
pada pembelajaran yang lainnya, misalnya pada akutansi, ekonomi, dan kehidupan sehari- hari.

c. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik

Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah
dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

 Langkah 1: Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari kepada siswa dan meminta
siswa untuk memahami masalah tersebut,serta memberi kesempatan kepada siswa untuk
menanyakan masalah yang belum di pahami. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini
adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam
pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi

 Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual

Jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan
kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya,
terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.

 Langkah 3 : Menyelesaikan masalah

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada
pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa
bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang
dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan
yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa
dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul
pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model
 Langkah 4 : Membandingkan jawaban

Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya,
bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara
individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan
siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat
pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota
yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan
kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan
kelompok berpasangan. Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil
kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya,
kemudian guru sebagai fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing
siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika
formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi

 Langkah 5: Menyimpulkan

Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan
konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini
adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.

C. Kelebihan dan Kelemahan RME

Beberapa keunggulan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

1. Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.

2. Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.

3. Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.

4. Guru ditantang untuk mempelajari bahan.

5. Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.

6. Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.

Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

1. Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40- 45 orang).

2. Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.

3. Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mampu memahami materi pelajaran.
D. Penerapan RME dalam Pembelajaran

Secara umum, teori RME terdiri dari lima karakteristik yang telah dibahas pada sub bab
sebelumnya, Namun demikian, hendaknya guru juga memperhatikan 3 aspek penilaian yang
harus dicapai dalam pembelajaran, yaitu aspek pemahaman konsep, aspek penalaran dan
komunikasi, serta aspek pemecahan masalah. Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut maka
guru dapat mengembangkan pendekatan atau model dalam proses pembelajaran serta media yang
tepat dalam mendukung belajar peserta didik dalam kelas. Dengan suasana yang menyenangkan
diharapkan peserta didik tidak jenuh lagi dalam belajar matematika, namun
sebaliknya, diharapkan peserta didik dapat termotivasi untuk belajar dengan menyenangkan.

Sebagai ilustrasi berikut ini contoh soal dengan menggunakan kelima karakteristik RME untuk
mengajarkan konsep pembagian di Sekolah Dasar pada usia 8 atau 9 tahun. Guru mengenalkan
masalah yang konteksnya real yaitu: Pedagang telur.

Ibu membeli telur sebanyak 81 butir untuk membuat kue lebaran. Enam telur akan
dibungkus pada satu kantong plastik. Berapa banyak kantong plastik yang dibutuhkan?

Ilustrasinya adalah sebagai berikut:

Guru menggambarkan petunjuk berupa sketsa kantong plastik sebagai model pada papan tulis.

Siswa mulai bekerja dalam suatu group 3 atau 4 orang. Guru berjalan keliling kelas bertanya
seadanya tentang proses memecahkan masalah. Siswa senang sekali akan proses belajar seperti
ini. Setelah sekitar 10 menit, guru mengakhiri bagian pelajaran ini. Siswa di minta untuk
menunjukkan dan menjelaskan solusinya dalam diskusi yang interaktif. Ana hanya
menyalin sketsa yang ada di papan tulis sebanyak yang ia butuhkan untuk mengantongi.

Siswa lain, Ima, memulai dengan cara yang sama, tetapi setelah menggambar dua sketsa kantong
plastik, ia mengubah ke sketsa yang lebih representatif: segi empat dengan angka 6. Setelah
menggambar dua kantong plastik, dia sadar bahwa isi dari lima kantong plastik sama dengan 30
butir telur. Jadi melalui 30 ke 60 dan 72 serta 78. Dan akhirnya ia menambahkan tiga telur
pada kantong plastik yang terakhir

Siswa ke tiga, Riza, mempunyai jawaban yang lebih jauh dalam matematisasi
masalah. Meskipun dia mulai dengan menggambar kantong plastik sebagai model, namun ia
segera menggunakan konsep perkalian yang ia baru pelajari pada pelajaran yang lalu. Ia tulis 6 x
6 = 36 dan didobelkannya 36 ke 72 ditambahkannya 2 kantong plastik tadi untuk mendapatkan
kapasitas 84. Selesai.

Jika kita lihat ketiga macam solusi (dan tentunya banyak solusi lain) kita catat adanya suatu
perbedaan level ‘real’ matematika pada soal ‘real-world’ ini. Banyak guru akan mendebat
bahwa jawaban pertama tidak ada matematikanya sama sekali. Tetapi visualisasi dan skematisasi
(contoh informal matematika) adalah alat yang sangat penting dan berguna dalam matematisasi.
Solusi ketiga, terkaitnya antara konsep perkalian dengan konsep baru yaitu
pembagian, membuat matematika lebih jelas.
BAB IV

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Dimensi pertama dalam model adalah tanggung jawab guru untuk melakukan penawaran
Kondisi yang sesuai untuk belajar matematika siswa. Instruksi yang terpusat pada guru
dikonseptualisasikan dalam cara yang lebih normatif, dimana guru terutama seharusnya
menjelaskan prosedur dan memberikan arah, yang diyakini cukup dalam proses pembelajaran.
2. Dimensi kedua dalam model adalah tanggung jawab guru untuk memulai Siswa untuk
membangun pengetahuan matematika mereka sendiri. Produk yang mencerminkan pendapat
siswa dan guru tentang pengalaman mereka sendiri pelajaran matematika menunjukkan
kesempatan bagi penalaran siswa, untuk menggunakan pengalaman mereka, untuk membangun
pengetahuan matematika.
3. Dimensi Specific Mathematics Content memungkinkan untuk menyoroti keberadaan konten
matematika yang relevan di kelas matematika, menggambarkan sejauh mana guru mengambil
tanggung jawab untuk menekankan isi dan bukan hanya bentuk kerja yang diwakili dalam dua
faktor sebelumnya.

B. Implikasi

Dari kesimpulan di atas memberikan implikasi bahwa penerapan pendekatan matematika


realistik ini dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam
memahami materi matematika. Penerapan pendekatan matematika realistik diharapkan dapat
menarik minat belajar siswa dan mengarahkan siswa untuk aktif dan kreatif dalam proses
pembelajaran yaitu menyelidiki dan memahami konsep matematika melalui suatu masalah dalam
situasi dunia nyata. Sehingga, siswa merasa senang dalam mengikuti proses pembelajaran
dikelas dan siswa lebih mudah dalam memahami materi yang sedang dipelajari.

C. Saran

Berdasarkan simpulan dari penulisan ini untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran
realistik penulis memberikan saran – saran sebagai berikut:

1. Diperlukan adanya kesadaran siswa dalam bertanggung jawab terhadap setiap pelajaran
disekolah.
2. Diperlukan adanya kesadaran antara pengajar dengan siswa agar pembelajaran realistik dapat
berjalan dengan baik.
3. Setiap pengajar diharap
Pendekatan Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)

RME adalah suatu teori pembelajaran dalam pendidikan matematika yang berdasarkan

pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara

nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan

sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal.

Model pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun

1970 oleh institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third

International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal,

aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi.

a. Menemukan masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).

b. Memecahkan masalah (problem solving).

c. Mengorganisasikan bahan ajar (organizing a subject matter).

Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisasikan secara matematis dan

juga ide-ide matematika yang perlu diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan

pengorganisasian ini disebut matematisasi.

Seorang ahli berpendapat sebagai berikut.

Pada RME siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa
mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk
di pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian. Hal tersebut
merupakan proses matematisasi horizontal. Selanjutnya dilakukan matematisasi vertikal, yakni
siswa menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep,
operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa (Armanto, 2001 : 43).
Jadi pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata

ditarik masuk ke dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal adalah proses

pelaksanaan pemecahan masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol matematika sesuai

prosedur matematika. RME ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa

“Matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia”. Ini

berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.

(dalam Depdiknas, 1994 : 21) mengatakan bahwa “Matematika sebagai aktivitas manusia berarti

manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan

bimbingan orang dewasa”. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan

persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas

tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh para siswa (dalam Depdiknas, 2000: 34).

Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informasi,

sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

Dua jenis matematisasi diformulasikan (dalam Depdiknas, 1991 : 25), yaitu

matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian,

perumusan, dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian

masalah dunia riil ke masalah matematika. Contoh dari matematisasi vertikal adalah representasi

hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan

model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat

perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (dalam Depdiknas,

2000 : 17).
Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan

matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu pendekatan mekanistik, empiristik,

strukturalistik, dan realistik (dalam Depdiknas, 2005:95).

1. Pendekatan mekanistik

Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang

diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam

pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.

2. Pendekatan empiristik

Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak

diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horizontal.

3. Pendekatan strukturalistik

Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal,

misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga

suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.

4. Pendekatan realistik

Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik

sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal

diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

Tabel 2.1 Tipe Pendekatan Pembelajaran Matematika

Tipe Matematika Horizontal Matematika Vertikal

Mekanistik - -

Empiristik + -

Strukturalistik - +
Realistik + +

Sumber : Freudenthal , 1991 : 48

Pembelajaran RME mempunyai karakteristik menggunakan konteks dunia nyata, model-

model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (interteinment) (dalam

Depdiknas, 1991 : 35).

a. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”

Pada gambar di atas menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana

“dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk

mengaplikasikan kembali matematika.

Pada Gambar Konsep Matematika (De Lange, 1987 : 15) berpendapat bahwa, “Dalam RME,

pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan

mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung”.

Proses pencairan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De

Lange (1987 : 18) sebagai Matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa

akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa, dapat mengaplikasikan

konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (Applied Mathematization). Oleh

karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-

hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari (Mathematization of everyday

experience ) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (dalam Freudenthal, 2000 : 12).

b. Menggunakan Model-Model (Matematisasi)

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematisasi yang

dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models
merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal

ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.

Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi

model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematis

model-of akan bergeser menjadi model-far masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi

model matematika formal.

c. Menggunakan Produksi dan Konstruksi

Stretland (dalam Depdiknas, 1991 : 45) menekankan bahwa “dengan pembuatan

“Produksi Bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap

penting dalam proses belajar”. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan

masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih

lanjut yaitu untuk mengkontruksi pengetahuan matematika formal.

d. Menggunakan Interaksi

Interaksi antara siswa dan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara

eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak

setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk

informal siswa.

e. Menggunakan Keterkaitan

Dalam RME pengintegrasian unti-unit matematika adalah esensial. Jika dalam

pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh

pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan

pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga

bidang lain.
Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah

yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal

pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep

matematika atau pengetahuan matematika formal, pembelajaran MR dikelas berorientasi pada

karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan

kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal, selanjutnya siswa

diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah

sehari-hari atau masalah di bidang lain. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran

matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai

matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah. Karena matematika realistik

menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu

diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai pengalaman siswa, sehingga siswa dapat

memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-cara

informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau

aspek matematiknya melalui matematika vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-

vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika

(pengetahuan matematika formal).

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika

dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi guru dalam hal ini berperan sebagai

facilitator.

Menurut Davis (dalam Depdiknas, 1996 : 42),

Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada :


1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada permasalahan.
3. Informasi baru harus dihubungkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka
logis yang mentransportasikan, mengorganisasikan, dan menginterprestasikan pengalamannya.
4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berfikir, bukan apa yang mereka katakan atau
tuliskan.
1.1.1 Prinsip – prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Sejalan dengan konsep asalnya, PMRI dikembangkan dari tiga prinsip dasar yang

mengawali RME, yaitu guided reinvention and progressive mathematization, didactial

phenomenology, serta self-developed models (2009:2). Prinsip RME menurut Van den Heuvel-

Panhuizen dalam Supinah (2009 : 75) adalah sebagai berikut.

a. Prinsip aktivitas

Yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik secara mental

maupun fisik dalam pembelajaran matematika. Menurut Freudental, karena ide proses

matematisasi berkaitan dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia,

maka cara terbaik untuk mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan

mengerjakan.

b. Prinsip realitas

Yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik atau

dapat dibayangkan oleh siswa. Tujuan utama adalah agar siswa mampu mengaplikasikan

matematika. Dengan demikian tujuan yang paling utama adalah agar siswa mampu

menggunakan matematika yang mereka pahami untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Prinsip realitas ini tidak hanya dikembangkan pada tahap akhir dari suatu proses pembelajaran

melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar matematika.

c. Prinsip berjenjang
Artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu

dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui

skematisasi memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu

menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.

d. Prinsip jalinan

Artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari

sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat

hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik.

e. Prinsip interaksi

Yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan

kesempatan menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain

untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu

serta menanggapinya.

f. Prinsip bimbingan

Yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan (reinvention) pengetahuan

matematika secara terbimbing.

1.1.2 Standar Penjaminan Mutu PMRI

Untuk melengkapi karakteristik RME, tim pengembang PMRI dalam Quality Assurance

Conference yang diadakan di Yogyakarta tanggal 17-18 April 2009 sepakat menetapkan

beberapa standar penjaminan mutu PMRI. Standar yang ditetapkan diantaranya meliputi standar

guru PMRI, standar pembelajaran PMRI, dan standar bahan ajar PMRI. Standar tersebut dapat
digunakan dan diacu para guru matematika. Berikut ini adalah standar dimaksud yang berkaitan

dengan guru matematika.

a. Standar Guru PMRI

1. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang matematika dan PMRI

serta dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan

belajar yang kondusif.

2. Guru memfasilitasi siswa dalam berfikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif

dan kreativitas siswa.

3. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan

strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.

4. Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan berdiskusi

dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan siswa.

5. Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan prinsip matematika melalui

proses refleksi dan konfirmasi.

b. Standar Pembelajaran Menurut PMRI

1. Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi dalam kurikulum.

2. Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan terbantu belajar

matematika.

3. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru

dan berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.

4. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih

bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh.


5. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta, konsep, dan

prinsip matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat

pemahaman.

c. Standar Bahan Ajar PMRI

1. Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

2. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa

belajar matematika.

3. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga siswa memperoleh

pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.

4. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan

berpikir siswa.

5. Bahan ajar dirumuskan atau disajikan sedemikian sehingga mendorong atau memotivasi siswa

berpikir kritis, kreatif, inovatif serta berinteraksi dalam belajar.

1.1.3 Refleksi dan Penilaian dalam Pembelajaran PMRI

Dalam setiap pembelajaran, refleksi merupakan suatu hal yang utama untuk memberikan

gambaran mengenai proses belajar mengajar yang telah berlangsung sebelumnya. Refleksi

merupakan suatu kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif terhadap proses

pembelajaran, antara lain materi pelajaran, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan

agar dapat memahami dan menangkap maknanya secara lebih mendalam. Dengan demikian,

akan mampu mengungkap tentang apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Apakah yang

dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan? Dengan adanya refleksi guru dapat

mengetahui perkembangan pembelajaran yang dilakukan. Hasil dari refleksi dapat menjadi
gambaran bagi guru dalam mengambil tindakan dalam kegiatan selanjutnya. Pentingnya refleksi

dinyatakan Supinah (2009 : 78) sebagai berikut.

1. Bagi guru

Mendapatkan informasi tentang apa yang dipelajari siswa dan bagaimana siswa

mempelajarinya. Disamping itu, guru dapat melakukan perbaikan dalam perencanaan dan

pembelajaran pada kesempatan-kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang.

2. Bagi siswa

Meningkatkan kemampuan berfikir matematika siswa, disamping itu juga sama halnya

seperti yang dilakukan guru.

Tentang hal-hal yang perlu dalam refleksi menurut Arvold, Turner, dan Cooney dalam

Supinah ( 2009 : 79 ) merekomendasikan siswa untuk memberi jawaban atau respon terhadap

pertanyaan-pertanyaan berikut ini.

1. Apa yang saya pelajari hari ini?

2. Kesulitan apakah yang saya pelajari hari ini?

3. Bagian matematika manakah yang saya suka?

4. Pada bagian matematika manakah saya mengalami kesulitan?

Dari pihak guru, dalam melakukan refleksi baik jika dapat mengikutsertakan metode

mengajar, pedagogi, penyelesaian yang menarik dan bermanfaat baginya serta bagaimana

mengelola suasana belajar yang baik dalam kelas. Dalam RME, penilaian bukan hanya pada

hasil akhir, tetapi juga pada proses pembelajaran itu sendiri. Idealnya, selama kegiatan

pembelajaran, proses penilaian pun dilaksanakan. Ada banyak hal yang dapat digunakan sebagai

sarana untuk melaksanakan penilaian. Diantaranya, kemampuan siswa dalam memecahkan


masalah dengan menggunakan strategi yang berbeda, interaksi siswa, diskusi selama proses

belajar.

Tujuan dilaksanakannya penilaian untuk memberi gambaran informasi tentang proses

belajar mengajar yang telah dilaksanakan dan dapat juga sebagai alat untuk membantu proses

pengambilan keputusan.

De Lange (1987) dalam Zulkardi (2002 : 35) “merumuskan lima prinsip panduan

penaksiran atau penilaian dalam RME”, seperti berikut.

1. Tujuan utama pengujian adalah untuk memperbaiki proses belajar-mengajar.

2. Metode penilaian sebaiknya dapat memudahkan para murid mendemonstrasikan apa yang

mereka tahu ketimbang apa yang tidak tahu.

3. Penilaian sebaiknya mengoperasionalkan semua tujuan pendidikan matematika.

4. Kualitas penilaian matematika tidak ditentukan oleh kemudahan akses terhadap penilaian

objektif.

5. Alat penilaian sebaiknya praktis, cocok dengan praktik sekolah umum.

Dalam RME, proses dan produk berpengaruh penting dalam penilaian sehingga

diharapkan penilaian dilaksanakan baik selama proses interaksi maupun hasil mereka.

Ada beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan. Suryanto (2010) memberikan

beberapa alternatif yang dapat digunakan sebagai sarana penilaian, yaitu.

1. Hasil akhir siswa, dapat berupa jurnal, video, demonstrasi, majalah dinding, seni, maupun hasil

kontruksi model-model matematika.

2. Portofolio siswa merupakan kumpulan karya siswa yang dihasilkan siswa. Dapat berupa gambar,

laporan, hasil analisis suatu permasalahan, ataupun proses penyelesaian suatu masalah.
3. Penyelesaian terhadap pemecahan permasalahan atau tanggapan terhadap pertanyaan terbuka

yang dituangkan dalam tulisan.

4. Kemampuan menginvestigasi permasalahan berkaitan dengan bidang studi lain seperti ilmu

pengetahuan umum, ilmu sosial, ataupun penyelesaian soal-soal matematika itu sendiri.

5. Tanggapan siswa terhadap suatu kasus, situasi, dan permasalahan terbuka yang diberikan guru.

6. Penilaian kinerja siswa baik kelompok atau individu dalam memecahkan permasalahan.

7. Pengamatan langsung terhadap siswa dalam usahanya menyelesaikan suatu permasalahan yang

diberikan guru.

8. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kedalaman pemahaman siswa terhadap permasalahan

yang disampaikan.

9. Mengajukan pertanyaan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk berpikir sehingga guru

mampu menggali informasi terhadap pemahaman siswa.

10. Siswa diberi kesempatan untuk menilai sendiri kemampuannya dalam belajar, disesuaikan

dengan pengembangan yang mereka kembangkan.

2.1.4 Desain Pembelajaran Matematika Realistik

Desain pembelajaran matematika realistik, sebagai berikut.

a. Tujuan

Lange (1995) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan tujuan dalam pendidikan

matematika yaitu:

(1) Lower level

(2) Middle level


(3) Higher order level

Pembelajaran matematika realistik haruslah meliputi semua tingkatan tujuan. Tingkat

rendah lebih difokuskan pada pengetahuan konseptual dan prosedural. Tingkat menengah dan

atas lebih difokuskan kepada kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, berkomunikasi,

dan pembentukan sikap kritis siswa.

b. Materi

Lange (1996) menegaskan bahwa “Materi merupakan asosiasi aktivitas kehidupan nyata

yang sangat spesifik, pengetahuan dan strategi digunakan dalam konteks dari situasi”. Beragam

soal kontekstual digabungkan dalam kurikulum di mulai dari awal.

c. Aktivitas

Peran guru dalam pembelajaran matematika realistik di dalam kelas (Lange, 1996;

Gravemeijer, 1994) adalah sebagai fasilitator, pengatur, penterjemah, dan evaluator sebagai dasar

dari suatu proses matematika, secara umum dapat digambarkan langkah-langkah peran guru

sebagai proses dasar dalam pembelajaran matematika realistik sebagai berikut.

1. Berikan soal kontekstual pada siswa yang berhubungan dengan topik pembelajaran sebagai titik

awal.

2. Pada waktu terjadi interaksi, berikan siswa petunjuk contohnya, dengan menggambarkan tabel

pada papan tulis, memadu siswa seorang-seorang atau dalam kelompok kecil yang sekiranya

membutuhkan bantuan guru.

3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban mereka dengan jawaban

temannya dalam diskusi kelas. Diskusi bertujuan untuk mengarahkan interpretasi siswa dalam

menterjemahkan soal kontekstual dan menyimpulkan solusi yang lebih efisien dari beberapa

jawaban yang bervariasi.


4. Biarkan siswa menemukan solusi dengan cara mereka sendiri. Artinya siswa bebas untuk

membuat pernyataan dengan tingkat kemampuannya, untuk membangun pengalaman dalam

pengetahuan, dan memainkan jawaban pendek pada langkah-langkah yang mereka kerjakan.

5. Berikan soal lain dalam konteks yang sama.

6. Dalam hal lain, peranan siswa dalam pembelajaran matematika realistik harus bekerja sendiri-

sendiri atau kelompok, mereka harus lebih percaya diri sendiri, dan mereka menjawab dengan

free production atau kontribusi.

d. Evaluasi

Lange (1995) merumuskan lima prinsip dalam evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam

membuat evaluasi dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

1. Tujuan dasar tes adalah untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar. Artinya evaluasi

harus dapat mengukur siswa selama pembelajaran, bukan sekedar penyediaan informasi tentang

hasil belajar dalam bentuk nilai.

2. Metode penilaian harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa untuk

menggambarkan apa yang mereka ketahui bukan mengungkapkan apa yang tidak mereka

ketahui. Hal tersebut dapat diadakan dengan memiliki soal yang terbuka, atau mempunyai

strategi jawaban yang berbeda.

3. Tes harus melibatkan semua tujuan dari pendidikan matematika, proses berfikir tingkat rendah,

menengah, dan tinggi.

4. Alat evaluasi harus bersifat praktis, sehingga kontruksi tes dapat disusun dengan format yang

berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan serta pencapaian tujuan yang ingin diungkapkan.
2.1.5 Keunggulan RME

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari

pembelajaran matematika realistik, yaitu.

1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang

keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi

manusia.

2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa

matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa

tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara

penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu

dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan

orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan

membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa

diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian

masalah tersebut.

4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa

dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang

harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika

dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk

menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

1.1.6 Kelemahan RME


Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru

menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu.

1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya

mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan perubahan itu

merupakan syarat untuk dapat diterapkannya RME.

2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran

matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari

siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam

cara.

3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam

menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan

kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

Posted by Ridwan Panji Gunawan at Wednesday, May 29, 2013

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN MATEMATIKA REALISTIK


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika
Dosen pengampu : Dr. Sunismi, M.Pd
Disusun oleh:
LAILATUL FADHILAH (2130720095)
MISBAHUDDIN (2130720096)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
kesehatan kepada penulis karena berkat usaha, kerja keras dan ketekunan serta keridhaan
Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Pembelajaran Kontekstual dan Matematika Realistik” dengan baik. Penulisan makalah
ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika.
Disamping itu juga demi tercapainya pembelajaran baru melalui konsep-konsep yang ada
dalam materi ini.

Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang penulis peroleh dari buku
panduan yang berkaitan dengan metode-metode pembelajaran yang berkembang di Indonesia,
serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan metode-metode pembelajaran.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Strategi Pembelajaran
Matematika atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini.Juga kepada rekan-
rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna.Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan makalah berikutnya.Semoga makalah ini mampu memberikan
manfaat dan mampu memberikan segi positif bagi para pembaca.

Malang, 16 Maret 2015

Kelompok 9

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masalah pendidikan senantiasa menjadi topic perbincangan yang menarik, baik di
kalangan guru, orang tua, lebih lagi di kalangan para pakar pendidikan.Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar karena setiap orang berkepentingan dan menginginkan pendidikan yang
terbaik bagi siswa, anak atau generasi penerus bangsa ini.Terlebih lagi masalah pendidikan
matematika selalu menjadi sorotan karena masih rendahnya prestasi belajar siswa pada
bidang studi tersebut.Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika di Indonesia
telah lama dilaksanakan, namun keluhan tentang kesulitan belajar matematika masih saja
terus dijumpai.
Rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika bukan semata-mata
karena materi yang sulit, tetapi juga bisa disebabkan oleh proses pembelajaran yang
dilaksanakan. Pentingnya proses pembelajaran ini ditegaskan oleh Soedjadi (1989) yang
menyatakan bahwa: “Betapapun tepat dan baiknya bahan ajar matematika yang ditetapkan
belumlah menjamin akan tercapainya tujuan pendidikan matematika yang diinginkan. Salah
satu faktor penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses belajar yang
dilaksanakan”. Upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran telah diupayakan dengan
melaksanakan pendekatan pembelajaran keterampilan proses dan CBSA, namun masih
banyak permasalahan yang belum dapat diselesaikan, khususnya masalah pembelajaran di
kelas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya
masih terpusat pada guru, bukan pada siswa.
Ratumanan (2000) menyatakan bahwa dalam pengajaran matematika guru cenderung
mentransfer pengetahuan yang mereka miliki ke dalam pikiran siswa. Siswa sering
diposisikan sebagai orang yang “tidak tahu apa-apa” yang hanya menunggu apa yang guru
berikan. Sementara itu Soedjadi (2001a) menyatakan bahwa dalam kurikulum matematika
sekolah di Indonesia dan dalam pembelajarannya selama ini terpateri kebiasaan dengan
urutan sajian pembelajaran sebagai berikut: (1) diajarkan teori/teorema/definisi (2) diberikan
contoh-contoh dan (3) diberikan latihan soal-soal.
Kebiasaan pembelajaran semacam ini menyebabkan guru mendominasi kegiatan
belajar mengajar, sementara siswa hanya menjadi pendengar dan pencatat yang baik.
Hasilnya adalah siswa yang kurang mandiri tidak berani mengemukakan pendapat sendiri,
selalu meminta bimbingan guru dan kurang gigih melakukan ujicoba dalam menyelesaikan
masalah matematika, sehingga pengetahuan yang dipahami siswa hanya sebatas apa yang
diberikan guru.
Pada hakekatnya dalam kegiatan belajar mengajar, yang belajar adalah siswa secara
mandiri. Oleh karena itu hendaknya dalam proses pembelajaran guru memberikan arahan
kepada siswa tentang bagaimana siswa harus belajar. Seperti yang diungkapkan oleh
Weinstein dan Meyer (dalam Arends, 1997: 243) yang menyatakan bahwa: “good teaching
includes teaching students how to learn, how to remember, how to think, and how to motivate
themselves”. Maksudnya pengajaran yang baik meliputi mengajar siswa tentang bagaimana
belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri
sendiri.Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sumani (2000: 29) yang menyatakan bahwa
salah satu kemampuan yang harus dimiliki guru adalah memotivasi siswanya untuk belajar
sendiri, artinya bagaimana guru mampu menumbuhkan motivasi intrinsic (dari dalam) siswa
untuk belajar.
Peran guru dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai fasilitator dan motivator
untuk mengoptimalkan belajar siswa. Guru seharusnya tidak hanya memberikan pengetahuan
jadi, tetapi siswa secara aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri.
Ratumanan (2000) menyarankan agar seharusnya guru berpandangan bahwa matematika
merupakan proses, sehingga pengajaran matematika merupakan suatu usaha membantu siswa
untuk mengkontruksi pengetahuan dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga pengetahuan tersebut terkontruksi kembali. Dengan demikian
pembelajaran matematika bukanlah suatu transfer pengetahuan, tetapi lebih menekankan
bagaimana siswa membangun pemahamannya dengan membantu guru.
Selanjutnya Burril (1997: 604) mengemukakan bahwa: Good teaching is not making
learning easy!, is not making hard either. Students, teachers, parents, and administrators
should understand that good teaching means that students are actively engaged in the
learning process. Students are involved with problems, they struggle with ideas, and they take
part in the dialogue”. Maksudnya pengajaran yang baik adalah siswa terlibat aktif dalam
proses pembelajaran. Siswa dilibatkan dalam masalah, mengemukakan ide-idenya, dan
terlibat dalam dialog.
Dari kedua pendapat tersebut, suatu pembelajaran yang baik adalah yang melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Untuk itu orientasi proses pembelajaran
hendaknya diubah, peranan guru yang selama ini mendominasi kegiatan pembelajarn
hendaknya dikurangi dan member peluang yang lebih besar kepada siswa untuk aktif
berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang terpusat pada guru sudah
sewajarnya diubah menjadi terpusat pada siswa.
Model pembelajaran hendaknya dipilih dan dirancang sedemikian sehingga lebih
menekankan pada aktivitas siswa, sehingga perlu diupayakan mendesain suatu pengajaran
yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk belajar dengan
membangun pengetahuannya sendiri.Dengan pembelajaran tersebut diharapkan dapat
diperoleh prestasi belajar yang lebih baik.
Model pembelajaran matematika realistik atau yang biasa dikenal denga Realistic
Mathematics Education (RME) merupakan salah satu alternative pembelajaran yang tepat
karena dengan model pembelajaran ini siswa dituntut untuk mengkontruksi pengetahuan
dengan kemampuannya sendiri melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kegiatan
pembelajaran.Ide utama pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran RME
adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) konsep
matematika dengan bimbingan orang dewasa.Prinsip menemukan kembali berarti siswa
diberi kesempatan menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai
soal kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran.Berdasarkan soal siswa membangun
model dari (model of) situasi soal kemudian menyusun model matematika untuk (model for)
menyelesaikan hingga mendapatkan pengetahuan formal matematika (Gravemeijer, 1994:
100).Selain itu dalam pandangan ini, matematika dipandang sebagai suatu kegiatan
manusia.Oleh karena itu pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan realita dan
matematika sebagau bagian dari kegiatan manusia.Oleh karena itu pembelajaran matematika
harus dikaitkan dengan realita dan matematika sebagai bagian dari kegiatan manusia.
Dalam pembelajaran ini, guru berfungsi sebagai pembimbing dalam menyeleksi
kontribusi-kontribusi yang diberikan siswa melalui pemecahan masalah kontekstual. Dalam
memecahkan masalah kontekstual tersebut siswa dengan caranya sendiri mencoba
memecahkan sehingga sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah “informal”
sebelum sampai kepada materi matematika yang lebih “forma” (Soedjadi 2001b:2). Dengan
demikian pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi lebih terpusat pada siswa, dengan
kata lain pembelajaran berlangsung secara aktif yaitu pengajar dan pelajar sama-sama aktif.
Model pembelajaran RME telah dikembangkan di Belanda selama kurang lebih 30
tahun menunjukkan hasil yang baik. RME juga dikembangkan di beberapa Negara lain
seperti USA (yang dikenal dengan Mathematics in Context), Afrika Selatan, Malaysia,
Inggris, Brazil, dan lain-lain (Fauzan, 2001:1). Laporan dari TIMSS (Third International
Mathematics and Science Study) menyebutkan bahwa berdasarkan penilaian TIMSS, siswa di
Belanda memperoleh hasil yang memuaskan baik dalam keterampilan komputasi maupun
kemampuan pemecahan masalah (dalam Yuwono, 2001:1). Model pembelajaran ini akan
menjadi fokus dalam tulisan ini.
2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang terangkum dalam beberapa pertanyaan akan dapat
memudahkan pembaca memperoleh pemahaman dengan singkat tanpa harus kesulitan.
Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian pembelajaran kontekstual?
2. Bagaimana kompenen-komponen dan elemen-elemen pembelajaran kontekstual?
3. Bagaimana pengertian model pembelajaran realistik ?
4. Bagaimana penjelasan dari prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik ?
5. Bagaimana penjelasan dari ciri-ciri model pembelajaran realistik ?
6. Bagaimana penjelasan dari langkah-langkah pembelajaran matematika realistik ?

3. Tujuan
Setiap suatu kepenulisan tentunya mempunyai tujuan tersendiri yang ingin diperoleh
dari penulis atau pemakalah. Dalam strategi pembelajaran matematika realistik ini terdapat
beberapa target yang ingin dicapai diantaranya adalah:
1. Mengetahui pengertian pembelajaran matematika realistik, sehingga para guru/calon guru
dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dengan baik dan benar.
2. Mengetahun prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik.
3. Mengetahui ciri-ciri model pembelajaran matematika realistik.
4. Mengetahui langkah-langkah pembelajaran matematika realistik, sehingga kegiatan belajar
mengajar dapat berlangsung secara efektik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep
belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan
keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya
sebagai anggota masyarakat (Nurhadi, 2003:13).
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru
adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Guru bukanlah sebagai yang paling tahu, melainkan guru harus mendengarkan siswa-
siswanya dalam berpendapat mengungkapkan ide atau gagasan yang dimiliki oleh
siswa. Guru bukan lagi sebagai penentu kemajuan siswa-siswanya, tetapi guru sebagai
seorang pendamping siswa dalam pencapaian kompetensi dasar. Menurut Zahorik
(dalam Mulyasa 2006:219) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam
pembelajaran kontekstual yaitu:
1. Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta
didik;
2. Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta
didik;
3. Pembelajaran harus memperhatikan, pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta
didik;
4. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan menuju bagian-bagiannya secara khusus;
5. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: menyusun konsep
sementara, melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang
lain, merevisi dan mengembangkan konsep;
6. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara langsung apa-apa yang
dipelajari;
7. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang
dipelajari.
Pembelajaran kontekstual ini memungkinkan proses belajar yang tenang dan
menyenangkan, karena pembelajaran dilakukan secara alamiah, sehingga peserta didik dapat
mempraktekkan secara langsung apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran
kontekstual mendorong siswa untuk memahami hakikat, makna, dan manfaat belajar,
sehingga memungkinkan mereka rajin, dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan
kecanduan untuk belajar. Kondisi ini akan terwujud, ketika siswa menyadari tentang
apa yang mereka perlukan untuk hidup, dan bagaimana cara untuk menggapainya.
2. Komponen Pembelajaran Kontekstual
Depdiknas (2002:5) menyatakan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
dengan melibatkan tujuh komponen, yakni:
2.1 Kontruktivisme (Constuctivism)
Kontruktivisme (contructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi)
pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit).
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
2.2 Bertanya (Questioning)
Bertanya (questioning) adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh
siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Bertanya merupakan
strategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai
keterampilan berpikir siswa.
2.3 Menemukan (Inquiri)
Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengikat sepesrangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dalam inkuiri
terdiri atas siklus yang mempunyai langkah-langkah antara lain:

1. Merumuskan masalah,
2. Mengumpulkan data melalui observasi,
3. Menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan
karya lainnya,
4. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas,
atau audiens yang lain.
2.4 Masyarakat belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar (learning community), hasil pembelajaran diperoleh dari
kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antarteman,
antarkelompok, dan antarmereka yang tahu ke mereka yang sebelum tahu. Dalam
masyarakat belajar, anggota kelompok yang terlibat dalam kegiatan masyarakat
memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga meminta informasi yang
diperlukan dari teman bicaranya.
2.5 Permodelan (Modeling)
Pemodelan (modeling) yaitu dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau
pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya
membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaiman guru
menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan
agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian
contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.
2.6 Refleksi (Reflection)
Refleksi (reflection) adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu.
Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja
diterima. Kunci dari itu semua adalah, bagaimana pengetahuan mengendap dibenak
siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide
baru.
2.7 Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian yang sebenarnya (authentic assessement), merupakan prosedur
penilaian pada pembelajaran kontekstual yang memberikan gambaran perkembangan
belajar siswanya. Assessement adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa
perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran
dengan benar.
3. Elemen-elemen dalam Pembelajaran Kontekstual
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang
penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami(experiencing), menerapkan
(applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring).
1. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru
menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah
dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan
informasi baru.
2. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti
menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar
dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta
melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan
masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan
relevan.
4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang
signifikan.Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah
yang komplek dengan sedikit bantuan.Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa
mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus
pada pemahaman bukan hapalan.
4. Penyusunan Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan
rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap
tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang
akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk
mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan
authentic assessmennya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar
rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.
Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program
pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang
membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih
menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional),
sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario
pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
Pertama, nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan
kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi
dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar. Kedua, nyatakan tujuan umum
pembelajarannya. Ketiga, rincilah media untuk mendukung kegiatan itu. Keempat,
buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa. Kelima, nyatakan authentic
assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam
pembelajaran.
5. Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas
Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang
studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran
Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
Pertama, kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
Kedua, laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic.Ketiga,
kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Keempat, ciptakan masyarakat
belajar. Kelima, hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Kelima, lakukan refleksi
di akhir pertemuan. Keenam, lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
6. Pengertian Model Pembelajaran Realistik
Menurut logika masyarakat pada umunya, seseorang berminat mempelajari sesuatu
dengan tekun bila melihat manfaat dari yang dipelajarinya itu dalam hidupnya.Manfaat itu
bisa berupa kemungkinan meningkatkan kesejahteraannya, harga dirinya, kepuasannya dan
sebagainya. Dengan perkataan lain persepsi seseorang tentang sesuatu itu ikut mempengaruhi
sikapnya terhadap sesuatu itu (Marpuang, 2001). Demikian pula dengan pembelajaran
matematika, seseorang anak akan berminat belajar matematika bila anak tersebut mengetahui
manfaat matematika bila anak tersebut mengetahui manfaat matematika bagi diri dan
kehidupannya, karena itu mengaitkan pembelajaran matematika dengan realita dan kegiatan
manusia merupakan salah satu cara untuk membuat anak tertarik belajar matematika.
Pembelajaran matematika dengan mengaitkan matematika dengan realita dan kegiatan
manusia ini dikenal dengan Pembelajaran Matematika Realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME) (Freudenthal dalam Gravermeijer, 1994).
Ide utama dari model pembelajaran RME adalah manusia harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang
dewasa (Gravemeijer, 1994).Upaya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika
ini dilakukan dengan memanfaatkan realita dan lingkungan yang dekat dengan anak. Soedjadi
(2001a:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistic pada dasarnya adalah
pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses
pembelajaran matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu (Soedjadi, 2001a:2).
Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata
atau konkrit yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan,
sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada
baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta
didik.Lingkungan ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
Treffers (1991: 32) memformulasikan dua konsep matematisasi yaitu matematisasi
horizontal dan matematisasi vertikal. Dalam matematisasi horizontal siswa dengan
pengetahuan yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata
dalam kehidupan sehari-hari atau dengan kata lain matematisasi horizontal bergerak dari
dunia nyata ke dunia symbol. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian,
perumusan dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasi
masalah dunia nyata ke masalah matematika.
Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses pengorganisasian kembali dengan
menggunakan matematika itu sendiri, jadi dalam matematisasi vertikal bergerak dari dunia
symbol. Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam
rumus, menghaluskan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang
berbeda, perumusan model matematik dan penggenerelisasian.
Proses pembelajaran matematika dengan RME menggunakan masalah kontekstual
(contextual problems) sebagai titik awal dalam belajar matematika. Dalam hal ini siswa
melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu siswa mengorganisasikan masalah dan
mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut.Siswa bebas
mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan
caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki.Kemudian siswa dengan
bantuan atau tanpa bantuan guru, menggunakan matematisasi vertikal (melalui abstraksi
maupun formalisasi) tiba pada tahap pembentukan konsep.Setelah dicapai pembentukan
konsep, siswa dapat mengalikasikan konsep-konsep matematika tersebut kembali pada
masalah kontekstual, sehingga memperkuat pemahaman konsep.
Gravermeijer (1994:91) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip kunci dalam
model pemebelajaran RME yakni:
a. Petunjuk menemukan kembali/matematisasi progresif (guided reinvention/progressive
mathematizing)
Melalui topik-topik yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses
yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dilakukan dengan
cara memberikan masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi,
dilanjutkan dengan matematisasi. Proses belajar diatur sedemikian rupa sehingga siswa
menemukan sendiri konsep atau hasil (Fauzan, 2001:2).
b. Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)
Topik-topik matematika disajikan kepada siswa dengan mempertimbangkan dua aspek yaitu
kecocokan aplikasi masalah kontekstual dalam pembelajaran dan kontribusinya dalam proses
penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut.
c. Mengembangkan model sendiri (Self developed models)
Dalam menyelesaikan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan
model mereka sendiri, sehingga dimungkinkan muncul berbagai model buatan siswa. Model-
model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik
menuju arah pengetahuan matematika formal, sehingga diharapkan terjadi urutan
pembelajaran seperti berikut “masalah kontekstual” “model dari masalah kontekstual
tersebut” “model kearah formal” “pengetahuan formal” (Soedjadi, 2001b:4).
7. Prinsip Dan Karakteristik Pembelajaran Realistik
Dalam pembahasan mengenai prinsip dan karakteristik akan dibahasa secara
sistematis, mulai dari prinsip terlebih dahulu kemudian karakteristik.
7.1. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Prinsip-prinsip yang ada dalam pembelajaran matematika realistik antara lain sebagai
berikut:
1.Guided Reinvention and Progressive Mathematizing
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi secara
progresif. Melalui topik-topik yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk
mengalami proses yang sama membangun dan menemukan kembali tentang ide-ide dan
konsep-konsep secara matematika. Maksud dari mengalami proses yang sama dalam hal ini
adalah bahwa setiap siswa diberi kesempatan yang sama merasakan situasi dan jenis masalah
kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi. Dilanjutkan dengan matematisasi
prosedur pemecah masalah yang sama, serta perancangan rute belajar sedemikian rupa,
sehingga siswa menemukan sendiri konsep-konsep atau hasil (Fauzan, 2000:4). Prinsip ini
sejalan dengan paham kontruktivitas yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat
dikontruksi oleh siswa itu sendiri.
2.Didactical Phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik.Dalam hal ini fenomena
pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Masalah kontekstual ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek
kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak
dalam proses re-invention, artinya rposedur, aturan dan model matematika yang harus
dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan oelh guru, tetapi siswa harus berusaha
menemukannya dari masalah kontekstual tersebut.
3.Self Developed Models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri.Prinsip ini berfungsi
menjembatani jurang antara pengetahuan informal dengan matematika formal.Siswa
mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual.
7.2 Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Karakteristik yang terdapat dalam pembelajaran matematika realistik antara lain
sebagai berikut:
1.Menggunakan masalah kontekstual (Use of Context)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dari
sistem formal.Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus
merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh siswa.
2. Menggunakan model (Use of Models, Bridging by Vertical Instruments)
Dengan menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal
pembelajaran dapat mendorong siswa untuk membentuk model dasar matematika yang
dikembangkan sendiri oleh siswa, sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke
level pemahaman yang lain dengan menggunakan instrument-instrumen vertikal seperti,
skema-skema, diagram-diagram, symbol-simbol dan sebagainya.
3.Menggunakan kontribusi siswa (Students Contribution)
Kontribusi yang besar pada proses mengajar belajar dating dari siswa, artinya semua
pikiran (kontruksi dan produksi) siswa diperhatikan. Kontribusi dapat berupa aneka jawab,
aneka cara, atau aneka pendapat dari siswa. Misalnya pada pengertian skala, pada awalnya
siswa diberi kebebasan penuh untuk mengidentifikasi pengertian skala dengan kalimat
mereka sendri, kemudian dari beragam jawaban siswa dikompromikan dan dipakai salah satu
pendapat yang benar.Jika tidak ada yang benar, guru hanya membimbing kea rah pengertian
yang benar.
4.Interaktivitas (Interactivity)
Mengoptimalkan proses mengajar belajar melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa
dengan guru dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam
pembelajaran matematika realistik. Interaksi terus dioptimalkan samapi kontruksi yang
diinginkan diperoleh, sehingga interaksi tersebut dimanfaatkan.
5.Terkait dengan Topik Lainnya (Intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan dan
keterintegrasian antar topik (unit pembelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung
terjadinya proses belajar mengajar yang lebih bermakna.

8. Ciri-Ciri Pembelajaran Matematika Realistik


Berdasarkan prinsip dan karakteristik model pembelajaran RME maka ada beberapa hal
yang menjadi ciri-ciri dari model pembelajaran ini (Nur, 2000: 8), yakni:
a. Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan
berbasis pada pengalaman yang telah dimiliki siswa, sehingga mereka dengan segera tertarik
secara pribadi terhadap aktivitas matematika yang bermakna.
b. Urutan pembelajaran haruslah menghadirkan suatu aktivitas atau eksplorasi, yaitu siswa
menciptakan dan mengelaborasi model-model simbolik dan aktivitas matematika mereka
yang tidak formal, misalnya menngambar, membuat diagram, membuat tabel atau
mengembangkan notasi informal.
c. Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada komputasi dan hanya
mementingkan langkah-langkah procedural (algoritma) serta keterampilan.
d. Memberi penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah.
e. Siswa mengalami proses pembelajaran secara bermakna dan memahami matematika dengan
penalaran.
f. Siswa belajar matematika dengan pemahaman secara aktif membangun pengetahuan baru
dari pengalaman dari pengetahuan awal.
g. Dalam pembelajaran siswa dilatih untuk mengikuti pola kerja, intuisi – coba – salah –
dugaan/spekulasi – hasil.
h. Terdapat interaksi yang kuat antara siswa yang satu dengan siswa lainnya.
i. Memberikan perhatian yang seimbang antara matematisasi horizontal dan matematisasi
vertikal.
9. Langkah-Langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karakteristik PMR uraian di atas, maka
langkah-langkah kegiatan inti pembelajaran matematika realistik dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Langkah 1: Memahami masalah kontekstual.
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk memahami
masalah tersebut. Guru menjelaskan soal atau masalah dengan memeberikan petunjuk/saran
seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang dipahami siswa. Pada langkah ini
karakteristik PMR yang diterapkan adalah karakteristik pertama.Selain itu pemberian
masalah kontekstual berarti memberi peluang terlaksananya prinsip pertama dari PMR.
Langkah 2: Menyelesaikan masalah kontekstual.
Siswa secara individual disuruh menyelesaikan masalah kontekstual pada Buku Siswa
atau LKS dengan caranya sendiri.Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih
diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh
penyelesaian soal tersebut. Misalnya: bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya, mengapa
kamu berpikir seperti itu dan lain-lain. Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan
kembali tentang idea tau konsep atau definisi dari soal matematika.Di samping itu pada tahap
ini siswa juga diarahkan untuk membentuk dan menggunakan model sendiri untuk
membentuk dan menggunakan model sendiri untuk memudahkan menyelesaikan masalah
(soal). Guru diharapkan tidak member tahu penyelesaian soal atau masalah tersebut, sebelum
siswa memperoleh penyelesaiannya sendiri. Pada langkah ini semua prinsip PMR muncul,
sedangkan karakteristik PMR yang muncul adalah karakteristik ke-2, menggunakan model.
Langkah 3: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam
kelompok kecil.Setelah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan pada diskusi kelas yang
dipimpin oleh guru. Pada tahap ini dapat digunakan siswa untuk melatih keberanian
mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan gurunya.
Karakteristik PMR yang muncul pada tahap ini adalah penggunaan idea tau kontribusi siswa,
sebagai upaya untuk mengaktifkan siswa melalui optimalisasi interaksi antara siswa dengan
siswa, antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan sumber belajar.
Langkah 4: Menarik Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru
mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi, teorema, prinsip atau
prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru
diselesaikan.Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan interaksi
antara guru dengan siswa.

Sintaks pendekatan matematika realistik dapat dirumuskan sebagai berikut ;


No Fase Aktifitas
1 Menyajikan -
masalah Guru memberikan masalah kontekstual dan
kontekstual(F-1) mengarahkan siswa untuk memamahami masalah
tersebut
- Memberikan motivasi kepada siswa dalam
kelompok untuk mengembangkan
modelyang yang mungkin
- Menjadi fasilitator dan membangun
pembelajaran yang interaktif.

2 Menjelaskan -
masalah Siswa diarahkan untuk mengumpulkan informasi
kontekstual (F-2) dari masalah kontekstual
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
merencanakan penyelesaian sesuai dengan model
of yang diutarakan siswa.
- Memberikan dorongan dan motivasi untuk
melaksanakan dan mengembangkan rencana
penyelesaian yang ditetapkan kelompok/siswa

3 Menyelesaikan -
masalah Siswa melaporkan/mempresentasikan hasil kerja
kontektual (F-3) kelompok. Siswa/kelompok lain menanggapi.
- Guru memimpin diskusi,memberikan
pertanyaan, dan mengarahkan siswa mencapai
tujuan pembelajaran

4. Membandingkan -
dan Guru memberi pertanyaan lisan ketika kegiatan
mendiskusikan jawaban belajar mengajar berlangsung dan memberi
(F-4)
penjelasan tentang materi dan penemuan siswa.
- Siswa memeriksa kembali hasil kerja
kelompoknya
- Menerapkan cara penyelesaian yang terbaik dan
paling tepat dari cara penyelesaian yang telah
didiskusikan sebelumnya.
5. Menyimpulkan (F-5) - guru memberi pertanyaan yang berkaitan dengan
materi lain dalam mata pelajaran matematika atau
materi mata pelajaran lain.
- siswa menghubungkan materi yang sedang
dipelajari dengan materi lain dalam matematika
dan pengetahuan dari mata pelajaran yang lain

10. Kalebihan Dan Kesulitan Metode Pembelajaran Realistik


1. Kelebihan pembelajaran matematika realistik
Menurut Suwarsono : (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari matematika
realistik, yaitu :
a. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
b. Pembelajaran metematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh
siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang
satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri,
asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut.
Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian
yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang tepat, sesuai dengan tujuan dari proses
penyelesaian masalah tersebut.
d. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan
orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep
matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa
kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan
tercapai.
2. Kesulitan dalam implementasi pembelajaran matematika realistik
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar PMR dapat muncul justru menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut yaitu :
1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya
mengenai siswa, guru, dan peranan sosial atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu
merupakan syarat untuk dapat diterapkan PMR.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam
pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan
matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa
diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan
penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Salah satu cara untuk mencoba membuat seorang anak berminat belajar matematika
adalah dengan menginformasikan kemanfaatan matematika bagi diri dan kehidupannya,
karena itu mengaitkan pembelajaran matematika dengan realita dan kegiatan manusia
merupakan salah satu cara untuk membuat anak tertarik belajar matematika. Pembelajaran
matematika dengan mengaitkan matematika dengan realita dan kegiatan manusia ini dikenal
dengan Pembelajaran Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education (RME).
Beberapa prinsip dan karakterritik pembelajaran realistic diantaranya : prinsip Guided
Reinvention and Progressive Mathematizing, Didactical Phenomenology, Self Developed
Models dan karakteristik Menggunakan masalah kontekstual (Use of Context),
Menggunakan model (Use of Models, Bridging by Vertical Instruments), Menggunakan
kontribusi siswa (Students Contribution), Interaktivitas (Interactivity), Terkait dengan
Topik Lainnya (Intertwining). Disamping itu ada beberapa langkah dalam pembelajaran
realistic yaitu memahami masalah kontekstual, menyelesaikan masalah
kontekstual,membandingkan dan mendiskusikan jawaban dan menarik kesimpulan.
2. Saran
Tidak semua metode pembelajaran dapat di gunakan untuk materi pelajaran, maka
dari itu dalam memilih metode pembelajaran harus dapat disesuaikan dengan materi pelajaran
yang dipilih.
Dengan metode pembelajaran realistic, diharapkan siswa mampu mengkontruksi dan
menemukan sendiri pengetahuan konsep melalui bantuan guru yang bersifat terbatas dan juga
dengan pembelajaran realistic ini dapat meningkatkan serta memperbaiki kualitas
pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka

Arikunto,S.2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara.


Barnes, Heyley.2004. Realistic Mathematics Education : Eliciting Alternative Mathematical
Conceptual Conceptions of Learners. African journal of Reasearch in SMT Education.
Fadillah, Syarifa. 2006. Pengenalan Pembelajaran Realistik dan Contoh Penerapannya
dalam Pembelajaran Matematika . Jurnal Pendidikan.
Nasution, Hamidah. 2006. Pembelajrn Matematika Realistik Topik Pembagian di Sekolah
Dasar. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains ISSN:1907-7157.
Suherman, Erman dkk.2001.Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung : Upi
press.
Widjaja, Yeni.2003. Howa Realistic Mathematics Education Approach and Microromputer-
Based Laboratory Worked in Lessons on Graphing at an Indonesia Junior High School.
Journal of science and mathematics Education in Southeast Asia.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


Nama Sekolah : SMP Negeri 2 Indralaya Utara
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas/Semester : VII/Satu
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit
Materi Pokok : Pola Bilangan
A. Kompetensi Inti
1. Kompetensi Inti 1 :
Menghayati dan menghargai ajaran agama yang dianutnya.
2. Kompetensi Inti 2 :
Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi,
gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
3. Kompetensi Inti 3 :
Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya
tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak
mata.
4. Kompetensi Inti 4 :
Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai,
memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung,
menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang
sama dalam sudut pandang/teori.

B. Kompetensi Dasar
2.2. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri dan ketertarikan pada matematika serta memiliki
rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika yang terbentuk melalui pengalaman
belajar.
3.5. memahami pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat generalisasi
(kesimpulan).

C. Indikator Pencapaian Kompetensi


Siswa mampu:
2.2.1. Menunjukkan rasa ingin tahu dalam melakukan penyelidikan suatu pola yang ada di sekitar
siswa.
2.2.2. Bertanggung jawab dalam kelompok belajarnya.
2.2.3. Terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran pola bilangan.
3.5.1. Menentukan pola bilangan bilat.
3.5.2. Menentukan pola bilangan segitiga.

D. Tujuan Pembelajaran
Melalui pengamatan, tanya jawab, penguasaan individu dan kelompok, diskusi kelompok,
siswa dapat:
1. Menunjukkan rasa ingin tahu selama mengikuti proses pembelajaran.
2. Bertanggung jawab terhadap kelompoknya dalam menyelesaikan tugas.
3. Terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
4. Menentukan pola bilangan bulat.
5. Menentukan pola bilangan segitiga.

E. Materi Ajar
Siswa SMP/MTs mempelajari Pola Bilangan untuk pertama kali adalah pada Kompetensi
Dasar (KD) ini.KD ini dipelajari dalam beberapa kali pertemuan. Ada beberapa tahapan
kemampuan berurutan yang harus dilalui siswa dalam mempelajari KD ini, yaitu:
1. Menentukan pola dari suatu susunan bilangan atau gambar;
2. Menyelesaikan pola dari suatu susunan bilangan atau gambar;
3. Menggunakan konsep pola bilangan untuk menduga dan membuat generalisasi (kesimpulan).
F. Metode Pembelajaran
Pendekatan scientific, pendekatan kontekstual, pembelajaran kooperatif.

G. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Waktu
Pendahuluan1. Guru memberi salam dan mengajak siswa berdoa. 10 menit
2. Guru menanyakan kabar dan mengecek kehadiran
siswa.
3. Guru mengkomunikasikan tujuan belajar yang
diharapkan akan dicapai siswa.
4. Guru menginformasikan cara belajar yang akan
ditempuh (pengamatan disertai tanya jawab, latihan
kelompok, pembahasan latihan secara klasikal,
presentasi hasil latihan).
5. Guru menunjukkan foto-foto (Lampiran 1) yang
memuat pola yang ada di alam (putik bunga, papan
catur, kain khas Palembang, speedometer) sebagai
contoh, siswa mengamati foto-foto tersebut.
6. Guru memotivasi siswa untuk menentukan adanya
pola lain di sekitar siswa selain yang telah ada di foto
yang ditunjukkan.
Inti Mengamati 60 menit
1. Siswa mengamati gambar yang ada dalam kegiatan 1
dan 2 pada LKS (Lampiran 2).
Menanya
2. Siswa menanyakan pola/keteraturan yang ada pada
gambar.
3. Siswa menanyakan cara untuk menentukan pola dari
bangun/bilangan yang ada pada gambar.
Mengeksplorasi
4. Siswa berdiskusi secara berkelompok untuk
mencermati pola-pola yang ada pada kegiatan 1 pada
LKS. Anggota kelompok saling memeriksa,
mengoreksi dan memberi masukan.
5. Siswa berdiskusi secara berkelompok untuk
mencermati pola-pola yang ada pada kegiatan 1 pada
LKS. Anggota kelompok saling memeriksa,
mengoreksi dan memberi masukan.
Mengasosiasi
6. Siswa menyimpulkan pola yang ada dalam kegiatan 1
dan 2 pada LKS.
7. Siswa dapat menemukan pola bilangan bulat.
8. Siswa dapat menemukan pola bilangan segitiga.
9. Siswa dapat menyelesaikan permasalahan terkait pola
bilangan bulat dan pola bilangan segitiga yang terdapat
pada buku teks dan soal buatan guru.
Mengkomunikasikan
10. Salah satu anggota kelompok mempresentasikan hasil
diskusi kelompoknya di depan kelas.
11. Secara klasikal, siswa dan guru menanggapi hasil
presentasi meliputi tanya jawab untuk
mengkonfirmasi, melengkapi informasi atau memberi
penguatan atas suatu pendapat.
Mencipta
12. Siswa menggambarkan bangun yang mempresentasika
pola bilangan bulat dan pola bilangan segitiga.
Penutup 1. Siswa dengan bimbingan guru merangkum isi 10 menit
pembelajaran yaitu pola bilangan bulat dan pola
bilangan segitiga.
2. Setiap kelompok diberikan penghargaan berkaitan
dengan aktivitas kelompok.
3. Siswa melakukan refleksi dipandu oleh guru.
4. Guru memberi pekerjaan rumah.
5. Guru menginformasikan garis besar isi kegiatan pada
pertemuan berikutnya.
6. Guru mengakhiri pelajaran dengan mengucapkan
salam.

H. Alat/Media/Sumber Pembelajaran
1. Alat/Media/Sumber pembelajaran : foto-foto, Lembar Kerja Siswa.
2. Sumber belajar : Buku Matematika SMP/MTs Kelas VII.
I. Penilaian (Lampiran 3)
1. Penilaian Sikap
a. Teknik penilaian : Non tes
b. Bentuk instrumen : Observasi
2. Penilaian Pengetahuan
a. Teknik penilaian : Tes
b. Bentuk instrumen : Uraian
3. Penilaian Keterampilan
a. Teknik penilaian : Non tes
b. Bentuk instrumen : Observasi

Mengetahui, Indralaya, 27 Desember 20


Kepala SMP Negeri 2 Indralaya Utara Guru Mata Pelajaran,

Ismiet, S.Pd. Nyiayu Fraisa Fatiyah, S.Pd.


LEMBAR OBSERVASI PERKEMBANGAN SIKAP

Mata Pelajaran :Matematika


Kelas/Semester :VII/1
Kompetensi Dasar : Nomor 2.2, 3.5
Nama Siswa : _______________________
Kelas / Kelompok : _______________________

Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.


Nilai
No Aspek yang diukur
1 2 3 4
1. Kesungguhan mencari pola lain yang ada di sekitar siswa.
2. Kesungguhan siswa mencari pola bilangan.
3. Fokus dalam aktivitas pembelajaran di kelas.
4. Kemauan melibatkan diri dalam aktivitas di kelas atau diskusi
kelompok.
5. Mendengarkan usul, pendapat atau pertanyaan teman lainnya.
6. Mengajukan usul, pendapat atau pertanyaan.
7. Membantu teman lain yang membutuhkan.
8. Fokus menyelesaikan tugas individu dan kelompok.
9. Teliti dalam mengerjakan tugas.
10. Mendapatkan nilai yang baik.

Keterangan nilai Kriteria


Selalu =4 A = Total Skor 32-40
Sering =3 B = Total Skor 24-31
Jarang =2 C = Total Skor 16-23
Tidak pernah = 1 D = Total Skor 10-15

LEMBAR PENILAIAN PENGETAHUAN

Nama Siswa : _________________ Tanggal : ________________


Kelas : _________ Waktu : 40 menit
Petunjuk :
1. Berdoalah sebelum mengerjakan soal.
2. Jawablah pada lembar jawaban yang telah disediakan.
3. Selesaikan soal berikut dengan singkat dan jelas.

SOAL
1. Sepotong tali yang panjangnya 1 meter dipotong menjadi 2 bagian yang sama panjang. Hasil
potongannya dipotong kembali menjadi dua, begitu seterusnya. Berapa banyak potongan tali
setelah 5 kali proses pemotongan?
2. Lengkapilah barisan bilangan berikut:
a. 3, 5, 8, ..., ...
b. 1x2, 2x3, 3x4, ..., ...
c. 72, 90, ..., 132, ...
d. 90, 79, 68, ..., 46, 35, ...
3. Pada suatu pesta ulang tahun terdapat kursi-kursi yang disusun dengan aturan tertentu. Baris
pertama ada satu kursi, baris kedua ada lima kursi, baris ketiga ada sembilan kursi, baris
keempat ada tiga belas kursi, dan seterusnya.
a) Tuliskan pola dari susunan kursi-kursi tersebut!
b) Berapa banyak kursi pada baris ke sepuluh?
c) Berapa jumlah kursi seluruhnya dari baris pertama hinggan baris ke sepuluh?

Penskoran :
Nomor
Penyelesaian Skor
Soal
1. 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, ... 10
Banyaknya potongan tali adalah 256

2. a. 12, 17 4
b. 4x5, 5x6 4
c. 110, 156 4
d. 57, 24 4

3. a. Baris pertama : 1 10
Baris kedua : 5
Baris ketiga : 9
Baris keempat :13
...
...
...
Dan seterusnya.
Setiap baris ditambah empat dari bilangan baris sebelumnya.

b. Kursi pada baris ke sepuluh : 37 10

c. Jumlah kursi dari baris pertama sampai baris ke sepuluh : 10

1 + 5 + 9 + 13 + 17 + 21 + 25 + 29 + 33 + 37 = 190
Total skor maksimal 56
Perhitungan nilai akhir dalam skala 1 – 100 sebagai berikut :
Nilai akhir = Perolehan Skor X 100
Total Skor Max

LEMBAR PENILAIAN KETERAMPILAN

Menggunakan Menunjukkan
Menggambarkan strategi yang kemampuan
Total
No. Nama Siswa pola bilangan sesuai dan mempertahankan
Skor
beragam pendapat
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1.
2.
3.
4.

dst

Keterangan Skor :

Sangat Baik = 4
Baik =3
Cukup =2
Kurang =1
Kriteria :

A = Total Skor 12 – 16
B = Total Skor 8 – 11
C = Total Skor 5 – 7
D = Total Skor 4

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


Nama Sekolah : SMP
Kelas/Semester : VIII/Dua
Mata Pelajaran : Matematika
Materi Pokok : Lingkaran
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit (1 pertemuan)
A. Kompetensi Inti
Memahami dan menerapkan kemampuan (factual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan
rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan
kejadian tampak mata.

B. Kompetensi Dasar
3.6 Memahami unsur, keliling, dan luas lingkaran.

C. Indikator Pencapaian Kompetensi


1. Menemukan rumus keliling lingkaran.
2. Menyelesaikan masalah atau soal-soal berkaitan dengan keliling lingkaran.

D. Tujuan Pembelajaran
Melalui Proses pengamatan dan diskusi peserta didik dapat:
1. Menemukan rumus keliling lingkaran
2. Menunjukkan ketelitian, mandiri dan tanggung jawab
3. Menunjukkan kerja sama dan komunikasi dalam kerja kelompok
Melalui proses mencoba, dan mengkomunikasikan peserta didik dapat:
4. Mengukur keliling lingkaran
5. Menyelesaikan masalah atau soal-soal berkaitan dengan keliling lingkaran

E. Materi Pembelajaran
1. Fakta
Masalah kontekstual yang berkaitan dengan keliling lingkaran
2. Konsep
Keliling lingkaran
3. Prosedur
a. Langkah-langkah mengukur keliling lingkaran
b. Langkah-langkah menyelesaikan masalah nyata mengenai keliling lingkaran

F. Metode Pembelajaran
1. Pendekatan : Matematika Realistik
2. Model Pembelajaran : Kooperatif
3. Metode : Ceramah, diskusi kelompok, dan tanya jawab

G. Alat/Media/Bahan
1. Alat/media : Benda-benda berbentuk lingkaran, power point,
benang
2. Bahan ajar : Agus, Nuniek Avianti. (2007).
Mudah Belajar Matematika untuk kelas VIII Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.
Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.Sugijono dan Cholik. (2005).
Matematika untuk SMP kelas VIII.Jakarta: Erlangga.

H. Kegiatan Pembelajaran
N
o Kegiatan Pembelajaran Setting/Format Pembelajaran
.
1. Guru menyiapkan kondisi fisik kelas, Siswa menampilkan karakter
memberi salam, dan memimpin do’a. religious.
2. Guru mengecek kehadiran siswa Siswa menampilkan karakter
disiplin dan peduli terhadap orang
lain.
TINGKAT PENDAHULUAN
3. Guru memberikan pertanyaan mengenai Siswa aktif dalam mengajukan
definisi lingkaran. pendapat.
4. Guru menunjukkan penggunaan keliling Siswa menampilkan karakter rasa
lingkaran dalam kehidupan sehari-hari. ingin tahu.
TINGKAT PENGEMBANGAN MODEL SIMBOLIK
1. Guru mengelompokkan siswa terdiri dari 2- Siswa menampilkan karakter
3 orang. tanggungjawab individu dan
sosial.
2. Guru memberikan LKS dan Siswa menampilkan karakter
mempersilahkan siswa berdiskusi dalam kreatif dan bekerja sama dalam
kelompok untuk menyelesaikan “LKS 1” kelompok untuk menyelesaikan
berkaitan dengan menyelesaikan masalah tugas kelompok.
yang berkaitan dengan menemukan rumus
keliling lingkaran.
3. Guru meminta perwakilan kelompok untuk Siswa menampilkan karakter
menyampaikan hasil jawaban mereka. percaya diri.
4. Guru membuka ruang tanya jawab kepada Siswa aktif dalam menggunakan
kelompok lain untuk memberikan tanggapan ide dan pendapat.
terhadap hasil yang disajikan. Siswa menampilkan karakter
menghargai dan peduli terhadap
orang lain.
5. Guru mengevaluasi tentang hasil yang Siswa aktif dalam mengemukakan
disampaikan siswa. ide dan pendapat.
Kemudian memberikan kesimpulan Siswa menampilkan karakter
menggunakan bantuan power point. menghargai dan peduli terhadap
orang lain.
TINGKAT PENJELASAN DAN ALASAN
6. Guru mengevaluasi hasil pencapaian Siswa aktif bekerja sama dalam
pemahaman siswa dengan menggunakan menyelesaikan tugas kelompok.
soal berkaitan dengan keliling lingkaran
pada “LKS 2”
7. Guru mengevaluasi presentasi hasil kerja Siswa aktif mengemukakan ide
siswa untuk mengetahui pencapaian KD. dan pendapat.
TINGKAT PENUTUP
1. Guru memberikan evaluasi untuk Siswa aktif mengemukakan ide
mengetahui pengetahuan siswa mengenai atau pendapat dan dapat menarik
materi lingkaran yang dipelajari. kesimpulan dari materi yang
disampaikan.
2. Guru memberikan pekerjaan rumah yang Siswa menampilkan karakter
berhubungan dengan materi yang telah tanggung jawab.
dipelajari untuk mengetahui keberhasilan
proses pembelajaran.

I. Penilaian

1. Penilaian Proses

Teknik Waktu Instrumen


No Aspek yang dinilai Keterangan
Penilaian Penilaian Penilaian
1. Ketelitian Pengamatan Proses Lembar
2. Kemandirian Pengamatan
3. Kerjasama (terlampir)
4. Tanggungjawab

2. Penilaian Hasil
Indikator Penilaian
Pencapaian Bentuk
Teknis Instrumen
Kompetensi Instrumen
Menyelesaikan Tes Uraian 1. Budi ke sekolah naik sepeda
masalah atau soal- tertulis menempuh jarak 706,5 m.
soal yang berkaitan Ternyata roda sepedanya
dengan keliling berputar 500 kali untuk
lingkaran. sampai ke sekolah, berapakah
panjang jari-jari roda tersebut?
2. Seorang pengusaha akan
membuat komedi putar seperti
gambar di samping.
Jika tempat duduk dengan
panjang 1 m pada dru molen
sebanyak 22 buah dan masing-
masing tempat duduk berjarak
2 m, berapakan panjang jari-
jari dru molen?

J. Pedoman Penskoran

1. Soal nomor 1
Diketahui : jarak = 706,5 m (skor 2)
Banyak putaran = 500
Ditanyakan : panjang jari-jari roda?
Jawab :
Jarak = banyak putaran x keliling roda (skor 2)
↔ 706,5 = 500 × (skor 2)


↔ (skor 2)
Jadi, jari-jari rodanya adalah 0.225 m.

2. Soal nomor 2
Diketahui : Banyak tempat duduk = 22 buah (skor 2)
Panjang tempat duduk = 1 m
Jarak antar tempat duduk = 2 m
Ditanyakan : jari-jari dru molen (jari-jari lingkaran)?
Jawab :
Keliling lingkaran = (skor 2)
↔ (skor 2)


↔ r = 10,5 (skor 2)
Jadi, jari-jari dru molennya adalah 10,5 m. (skor 2)

K. Sumber Belajar
1. Agus, Nuniek Avianti. (2007). Mudah Belajar Matematika untuk kelas VIII sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
2. Sugijono dan Cholik. (2005). Matematika untuk SMP kelas VIII. Jakarta: Erlangga.
 Pendekatan Realistik
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan olehHans Frudenthal di
Belanda. Realistic Mathematics Education (RME) adalah pendekatan pengajaran yang
bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real’ bagi siswa, menekankan ketrampilan ‘proses of doing
mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehinggga
mereka dapat menemukan sendiri (‘student inventing’ sebagai kebalikan dari ‘teacher
telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik
secara individu maupun secara kelompok. (Zulkardi, 2009)
Pengertian pendekatan realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “sebuah pendekatan
pendidikan yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu
sendiri”.
Menurut Sudarman Benu, (2000: 405) “pendekatan realistik adalah pendekatan yang
menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar
matematika”. Matematika Realistik yang telah diterapkan dan dikembangkan di Belanda
teorinya mengacu pada matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika
merupakan aktifitas manusia.
Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik, strategi- strategi informasi siswa
berkembang ketika mereka menyeleseikan masalah pada situasi- situsi biasa yang telah
diakrapiniya, dan keadaan itu yang dijadikannya titik awal pembelajaran pendekatan realistik
atau Realistic Mathematic Education(RME) juga diberi pengertian “cara mengajar dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelediki dan memahami konsep
matematika melalui suatu masalah dalam situasi yang nyata”. (Megawati, 2003: 4). Hal ini
dimaksudkan agar pembelajaran bermakna bagi siswa.
Realistic Mathematic Education(RME) adalah pendekatan pengajaran yang bertitik
tolak pada hal- hal yang real bagi siswa(Zulkardi). Teori ini menekankan ketrampilan proses,
berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat
menemukan sendiri(Student Invonting), sebagai kebalikan dari guru memberi(Teaching
Telling) dan pada akhirnya murid menggunakan matematika itu untuk menyeleseikan
masalah baik secara individual ataupun kelompok.
Pada pendekatan Realistik peran guru tidak lebih dari seorang fasilitator, moderator
atau evaluator. Sementara murid berfikir, mengkomunikasikan argumennya,
mengklasifikasikan jawaban mereka, serta melatih saling menghargai strategi atau pendapat
orang lain.
Menurut De Lange dan Van Den Heuvel Parhizen, RME ini adalah pembelajaran yang
mengacu pada konstruktifis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika.(Yuwono:
2001)
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa RME atau pendekatan Realistik
adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sehari- hari sebagai sumber
inspirasi dalam pembentukan konsep dan mengaplikasikan konsep- konsep tersebut atau bisa
dikatakan suatu pembelajaran matematika yang berdasarkan pada hal- hal nyata atau real bagi
siswa dan mengacu pada konstruktivis sosial.

Tujuan Pendekatan Realistik (RME)


Tujuan Pembelajaran Matematika Realistik sebagai berikut:

a. Menjadikan matematika lebih menarik,relevan dan bermakna,tidak terlalu formal dan


tidak terlalu abstrak

b. Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.


c. Menekankan belajar matematika “learning by doing”.
d. Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika tanpa menggunakan penyelesaian
yang baku.
e. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.

(kuiper&kouver,1993)

Prinsip-Prinsip Pendekatan Realistik (RME)


Terdapat 5 prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Menggunakan konsep atau situasi.


b. Menggunakan model : "model of" dan "model for"
c. Menggunakan hasil pemikiran siswa sendiri.
d. Interactivity.
e. Intertwinning (saling mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya).

Gravemeijer(dalam Fitri. 2007: 10) menyebutkan tiga prinsip kunci dalam pendekatan
realistik, ketiga kunci tersebut adalah:

 Penemuan kembali secara terbimbing/ matematika secara progresif(Gunded


Reinvention/ Progressive matematizing). Dalam menyeleseikan topik- topik
matematika, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama,
sebagai koknsep- konsep matematika dikemukakan. Siswa diberikan masalah nyata
yang memungkinkan adanya penyeleseian yang berbeda.
 Didaktif yang bersifat fenomena(didaktial phenomology) topik matematika yang akan
diajarkan diupayakan berasal dari fenomenan sehari-hari.
 Model yang dikembangkan sendiri(self developed models) dalam memecahkan
‘contextual problem”, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model
mereka sendiri. Pengembangan model ini dapat berperan dalam menjembatani
pengetahuan informal dan pengetahuan formal serta konkret dan abstrak.

Karakteristik Pendekatan Realistik (RME)


Menurut Grafemeijer (dalam fitri, 2007: 13) ada 5 karakteristik pembelajaran
matematika realistik, yaitu sebagai berikut:

a. Menggunakan masalah kontekstual

Masalah konsektual berfungsi sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana
matematika yang digunakan dapat muncul. Bagaimana masalah matematika itu
muncul(yang berhubungan dengan kehidupan sehari- hari).

b. Menggunakan model atau jembatan

Perhatian diarahkan kepada pengembangan model, skema, dan simbolisasi dari


pada hanya mentrasfer rumus. Dengan menggunakan media pembelajaran siswa akan
lebih faham dan mengerti tentang pembelajaran aritmatika sosial.

c. Menggunakan kontribusi siswa

Kontribusi yang besar pada saat proses belajar mengajar diharapkan dari
konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah
metode yang lebih formal. Dalam kehidupan sehari- hari diharapkan siswa dapat
membedakan pengunaan aritmatika sosial terutama pada jual beli. Contohnya: harga
baju yang didiskon dengan harga baju yang tidak didiskon.

d. Interaktivitas

Negosiasi secara eksplisit, intervensi, dan evaluasi sesama murid dan guru
adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal
siswa digunakan sebagai jembatan untuk menncapai strategi formal. Secara
berkelompok siswa diminta untuk membuat pertanyaan kemudian diminta
mempresentasikan didepan kelas sedangkan kelompok yang lain menanggapinya.
Disini guru bertindak sebagai fasilitator.

e. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya(bersifat holistik)

Aritmatika sosial tidak hanya terdapat pada pembelajaran matematika saja,


tetapi juga terdapat pada pembelajaran yang lainnya, misalnya pada akutansi,
ekonomi, dan kehidupan sehari- hari.

Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik


Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat
yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran
dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

 Langkah 1: Memahami masalah kontekstual

yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari


kepada siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut,serta memberi
kesempatan kepada siswa untuk menanyakan masalah yang belum di pahami.
Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu
menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan
karakteristik keempat yaitu interaksi

 Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual

jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru


menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk
atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan
yang belum dipahami

 Langkah 3 : Menyelesaikan masalah

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek


matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi
pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan
caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga
dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya.
Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat
memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul
pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model

 Langkah 4 : Membandingkan jawaban

Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman


sebangkunya, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah
diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru
mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di
sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga
kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih
lama dalam pembentukannya.
Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa
telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan. Setelah diskusi berpasangan
dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing
ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan
modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan
sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi,
abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi

 Langkah 5: Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan
suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang
muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.

Kelebihan Pembelajaran Matematika Realistik


Beberapa keunggulan/kelebihan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

a. Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.
b. Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.
c. Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.
d. Guru ditantang untuk mempelajari bahan.
e. Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.
f. Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.

Kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik


Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:

a. Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40- 45 orang).


b. Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
c. Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mampu memahami materi pelajaran.

http://sakinahninaarz009.blogspot.com/2014/06/macam-macam-pendekatan-pembelajaran.html

MODEL PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION


(RME)

MODEL PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME)


a. Pengertian RME
Pembelajaran matematika realistik adalah atau Realistic Mathematics Education (RME)
adalah sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di
Belanda. Gravemeijer (1994: 82) dimana menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai
aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi
pokok persoalan. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika
sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik
awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-
konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.

Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan


kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan
masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya
secara langsung. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa dapat mengembangkan
konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dan dunia nyata.

b. Komponen RME
Dalam pembelajaran matematika realistik ada tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar
dalam merancang pembelajaran.
• Reinvention dan Progressive Mathematization (“penemuan terbimbing’ dan proses
matematisasi yang makin meningkat). Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip
reinvention, para siswa diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses
saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi
dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan
berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk
mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan
masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta
mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara
nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing).

• Didactical phenomenology (Fenomena yang mengandung muatan didaktik). Gravemeijer


(1994: 90) menyatakan, berdasarkan prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang
termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i)
memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii)
kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing. Topik-
topik matematika yang disajikan atau masalah kontekstual yang akan diangkat dalam
pembelajaran harus mempertimbangan dua hal yakni aplikasinya (kemanfaatannya) serta
kontribusinya untuk pengembangan konsep-konsep matematika selanjutnya. Terkait dengan
hal di atas, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab yaitu :bagaimana kita
mengidentifikasi fenomena atau gejala yang relevan dengan konsep dan gagasan matematika
yang akan dipelajari siswa, bagaimana kita harus mengkonkritkan fenomena tau gejala tersebut,
apa tindakan didaktik yang diperlukan untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan
seefisien mungkin.

• Self-developed models (Pembentukan model oleh siswa sendiri), Gravemeijer (1994: 91)
menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi
kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani
jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa
mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan
akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki
siswa. Dengan generalisasi dan formalisasi model tersebut akan menjadi berubah menjadi
model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis.
Pada akhirnya akan menjadi pengetahuan dalam formal matematika.

Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa


karakteristik dan komponen sebagai berikut.

1. The use of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran matematika realistik
lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai
bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.

2. Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model), artinya permasalahan atau
ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata
maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.

3. Students constribution (menggunakan kontribusi siswa), artinya pemecahan masalah atau


penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.

4. Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.

5. Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang


berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep
secara serentak.

c. Penerapan Model RME di Kelas


Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik,
misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum
mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan
pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami
pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian
menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat
berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki
dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan
siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan
untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam
masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Home › metode pembelajaran
Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
By Muchlisin Riadi Selasa, 31 Oktober 2017 Add Comment

Pengertian Realistic Mathematics Education (RME)

Ilustrasi Belajar Matematika

Pendidikan matematika realistis atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebuah
pendekatan belajar matematika yang menempatkan permasalahan matematika dalam kehidupan
sehari-hari sehingga mempermudah siswa menerima materi dan memberikan pengalaman langsung
dengan pengalaman mereka sendiri. Masalah-masalah realistis digunakan sebagai sumber
munculnya konsep-konsep atau pengetahuan matematika formal, dimana siswa diajak bagaimana
cara berpikir menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi pokok persoalan.

Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan pertama kali oleh Freudenthal pada tahun
1971 di Utrecht University Belanda. Menurut Freudenthal bahwa belajar matematika adalah suatu
aktivitas, sehingga kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada
siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi
masalah-masalah nyata (Yuwono,2001:17).

Berikut ini beberapa pengertian pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dari beberapa
sumber:

Baca Juga

 Tujuan, Unsur dan Langkah-langkah Debat Aktif


 Pengertian, Strategi dan Langkah Pembelajaran Reciprocal Teaching
 Model Pembelajaran Probing Prompting

 Menurut Hadi (2005:19), Realistic Mathematics Education (RME) digunakan sebagai titik
awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika. Penjelasan lebih lanjut bahwa
pembelajaran matematika realistis ini berangkat dari kehidupan anak, yang dapat dengan
mudah dipahami oleh anak, nyata, dan terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan
sehingga mudah baginya untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya dengan
menggunakan kemampuan matematis yang telah dimiliki.
 Menurut Aisyah (2007), Realistic Mathematics Education (RME) merupakan suatu
pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk mendekatkan matematika
kepada siswa. Masalah-masalah nyata dari kehidupan sehari-hari yang dimunculkan sebagai
titik awal pembelajaran matematika. Penggunaan masalah realistis ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa matematika sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.
 Menurut Rahayu (2010:15), Realistic Mathematics Education (RME) merupakan suatu
pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan realitas dan lingkungan
sebagai titik awal dari pembelajaran.
 Menurut Tarigan (2006:3), Realistic Mathematics Education (RME) menempatkan realitas
dan pengalaman nyata siswa dalam kehidupan sehari-hari sebagai titik awal pembelajaran
serta menjadikan matematika sebagai aktivitas siswa. Siswa diajak berpikir cara
menyelesaikan masalah yang pernah dialami.
 Menurut Muhsetyo dkk (2007), Realistic Mathematics Education (RME) dimaksudkan untuk
memulai pembelajaran matematika dengan cara mengaitkannya dengan situasi dunia nyata
disekitar siswa. Hal ini menandakan bahwa RME memiliki semangat yang sama dengan
pembelajaran bermakna dimana matematika dapat disesuaikan dengan berbagai situasi
yang beragam.

Prinsip Realistic Mathematics Education (RME)

Menurut Gravemeijer (1990:90), terdapat tiga prinsip dalam Realistic Mathematics Education (RME),
yaitu sebagai berikut:

1. Guided Reinvention dan Progressive Mathematization. Melalui topik-topik yang disajikan


siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami sendiri yang sama sebagaimana konsep
matematika ditemukan.
2. Didactial Phenomenology. Topik-topik matematika disajikan atas dua pertimbangan yaitu
aplikasinya serta konstribusinya untuk pengembangan konsep konsep matematika
selanjutnya.
3. Self Developed Models. Peran Self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari
situasi real ke situasi konkrit atau dari matematika informal ke bentuk formal, artinya siswa
membuat sendiri dalam menyelesaikan masalah.

Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)

Menurut Treffers, karakteristik Realistic Mathematics Education (RME) adalah menggunakan dunia
nyata, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment) unit
belajar. Penjelasan masing-masing karakteristik adalah sebagai berikut (Suharta, 2001:3-5):

1. Menggunakan dunia nyata. Pembelajaran matematika tidak dimulai dari sistem formal,
tetapi diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata). Dimana dalam hal ini siswa
menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
2. Menggunakan model-model. Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model
matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self
developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi konkret ke situasi abstrak
atau dari situasi informal ke situasi formal.
3. Menggunakan produksi dan konstruksi siswa. Siswa memiliki kesempatan untuk
mengembangkan strategi-strategi informal dalam memecahkan masalah yang dapat
mengarahkan pada pengkonstruksian prosedur-prosedur pemecahan. Dengan produksi dan
konstruksi, siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang siswa anggap
penting dalam proses belajar. Dengan bimbingan guru, siswa diharapkan dapat menemukan
kembali konsep matematika dalam bentuk formal.
4. Menggunakan Interaktif. Interaksi antar siswa dan dengan guru merupakan hal yang sangat
mendasar dalam proses pembelajaran matematika realistis.
5. Keterkaitan (intertwinment) unit belajar. Dalam pembelajaran matematika realistis, unit-
unit matematika berupa fenomena-fenomena belajar saling berkaitan dan sangat diperlukan
sekali. Dengan keterkaitan ini akan memudahkan siswa dalam proses pemecahan masalah.

Sedangkan menurut Aisyah (2007), terdapat lima karakteristik Realistic Mathematics Education
(RME) sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika, yaitu:

1. Pembelajaran harus dimulai dari masalah yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang
digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat
langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka. Sebab
pembelajaran yang langsung diawali dengan matematika formal cenderung menimbulkan
kecemasan matematika (mathematics anxiety).
2. Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai dengan abstraksi
yang harus dipelajari siswa. Model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam
kehidupan siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang
juga ada di sekitar siswa.
3. Siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan
masalah nyata yang diberikan guru. Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan
strategi penyelesaian masalah sehingga diharapkan akan diperoleh berbagai varian dari
pemecahan masalah tersebut.
4. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antar guru dan siswa maupun siswa
dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika. Siswa
dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan siswa lain, bertanya, dan menanggapi pertanyaan
serta mengevaluasi pekerjaan mereka.
5. Hubungan diantara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan
masalah lain dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling terkait dalam
menyelesaikan masalah.

Fase dan Langkah Realistic Mathematics Education (RME)

Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme
dengan mengutamakan enam prinsip dalam tahapan pembelajarannya, yaitu (Karunia dkk, 2015:40-
41):

1. Fase Aktivitas. Pada fase ini, siswa mempelajari matematika melalui aktivitas doing, yaitu
dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain secara khusus. Siswa diperlakukan
sebagai partisipan aktif dalam keseluruhan proses pendidikan sehingga mereka mampu
mengembangkan sejumlah mathematical tools yang kedalaman serta liku-likunya betul-
betul dihayati.
2. Fase Realitas. Tujuan utama fase ini adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini, pembelajaran dipandang suatu
sumber untuk belajar matematika yang dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari
melalui proses matematisasi. Matematisasi dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal.
Matematisasi horizontal memuat suatu proses yang diawali dari dunia nyata menuju dunia
simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung makna suatu proses perpindahan
dalam dunia simbol itu sendiri.
3. Fase Pemahaman. Pada fase ini, proses belajar matematika mencakup berbagai tahapan
pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan solusi informal yang
berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema, sampai dengan menemukan
prinsip-prinsip keterkaitan.
4. Fase Intertwinement. Pada tahap ini, siswa memiliki kesempatan untuk menyelesaikan
masalah matematika yang kaya akan konteks dengan menerapkan berbagai konsep, rumus,
prinsip, serta pemahaman secara terpadu dan saling berkaitan.
5. Fase Interaksi. Proses belajar matematika dipandang sebagai suatu aktivitas sosial. Dengan
demikian, siswa diberi kesempatan untuk melakukan sharing pengalaman, strategi
penyelesaian, atau temuan lainnya. Interaksi memungkinkan siswa untuk melakukan refleksi
yang pada akhirnya akan mendorong mereka mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi
dari sebelumnya.
6. Fase Bimbingan. Bimbingan dilakukan melalui kegiatan guided reinvention, yaitu dengan
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencoba menemukan sendiri
prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui kegiatan pembelajaran yang secara
spesifik dirancang oleh guru.

Sedangkan langkah-langkah penerapan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) adalah


sebagai berikut (Hobri, 2009:170-172):

1. Langkah 1: Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah kontekstual dan


siswa memahami permasalahan tersebut.
2. Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal
dengan memberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu
yang belum dipahami siswa. Penjelasan ini hanya sampai siswa mengerti maksud soal.
3. Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individu menyelesaikan
masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Guru memotivasi siswa untuk
menyelesaikan masalah dengan cara mereka dengan memberikan
pertanyaan/petunjuk/saran.
4. Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru menyediakan waktu dan
kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara
berkelompok. Untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi kelas.
5. Langkah 5: Menyimpulkan Dari diskusi, guru mengarahkan siswa menarik kesimpulan suatu
prosedur atau konsep, dengan guru bertindak sebagai pembimbing.

Kelebihan dan Kekurangan Realistic Mathematics Education (RME)

Kelebihan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) antara lain sebagai berikut:

1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak mudah lupa dengan
pengetahuannya.
2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas
kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika.
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya.
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok.
5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya.
6. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat.
7. Pendidikan berbudi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang
sedang berbicara.

Sedangkan kekurangan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) antara lain sebagai
berikut:

1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan
menemukan sendiri jawabannya.
2. Membutuhkan waktu yang lama bagi siswa yang memiliki kemampuan yang rendah.
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai.
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi atau
memberi nilai.

Daftar Pustaka

 Yuwono, Ipung. 2001. Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Malang: FMIPA UN


Malang.
 Suharta, I Gusti Putu. 2001. Pembelajaran Pecahan Dalam Matematika Realistik, Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME). Surabaya.
 Tarigan, Daitin. 2006. Pembelajaran Matematika Realistik. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
 Gravemeijer. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freundenthal
Institute.
 Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin:
Tulip.
 Aisyah, Nyimas. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Dirjen Dikti
Depdiknas.
 Rahayu, Tika. 2010. Pendekatan RME Terhadap Peningkatan Prestai Belajar Matematika
Siswa Kelas 2 SD N Penaruban I Purbalingga. Yogyakarta: UNY.
 Muhsetyo, Gatot dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
 Karunia, Eka Lestari dan Yudhanegara, Mokhammad Ridwan. 2015. Penelitian Pendidikan
Matematika. Bandung: Refika Aditama.

Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran


Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Statistik Blog Saya

 148.066 hits

Tulisan Terakhir

 PERSIAPAN UN 2013
 SOAL TUGAS PERBAIKAN NILAI
 Pembelajaran Penemuan Terbimbing
 Pembahasan Soal UN Matematika 2009/2010
 Latihan Ujian Nasional dan Ujian Sekolah 2011

Kata Bloger Lain

Nahnudin pada Realistic Mathematic Education…

Ety Wulandari pada Realistic Mathematic Education…

ayu pada Realistic Mathematic Education…

Indah pada Realistic Mathematic Education…

Contoh Soal dan Pemb… pada Tips dan Trik Pengerjaan Soal-…

Pembelajaran matematika realistik adalah padanan Realistic Mathematics Education (RME),


sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda.
Gravemeijer (1994: 82) mengungkapkan
Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as
an activity.
Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik
dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal yang menyatakan matematika sebagai suatu
aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer (1994: 82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan
sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan
mengorganisasi pokok persoalan. Menurut Freudenthal aktivitas-aktivitas itu disebut
matematisasi.
Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas Gravemeijer (1994: 91)
menyatakan
Mathematics is viewed as an activity, a way of working. Learning mathematics means doing
mathematics, of which solving everyday life problem is an essential part.
Gravemeijer menjelaskan bahwa dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas
maka belajar matematika berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup
sehari-hari merupakan bagian penting dalam pembelajaran.
Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers (dalam Fauzan,
2002: 33 – 34) dalam pernyataan berikut ini
The key idea of RME is that children should be given the opportunity to reinvent
mathematics under the guidance of an adult (teacher). In addition, the formal mathematical
knowledge can be developed from children’s informal knowledge.
Dalam ungkapan di atas Treffers menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika
realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali
matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan pula bahwa
pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali) berdasar
pengetahuan informal yang dimiliki siswa.
Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang terhadap
pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk
menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang
dimilikinya. Dalam pandangan ini matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang
dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa.
Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (dalam
Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan
vertikal dengan penjelasan seperti berikut ini
Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbol,
while vertical mathematization means moving within the world of symbol.
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa matematisasi horisontal menyangkut proses
transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam bentuk simbol. Sedangkan matematisasi
vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Contoh
matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah
dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa. Sedangkan contoh matematisasi vertikal adalah
presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model
matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan
penggeneralisasian.
Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange (1987: 101)
mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu
pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik. Pengkategorian keempat
pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi
(horisontal atau vertikal) dalam masing-masing pendekatan tersebut, seperti yang tergambar
dalam Tabel 2.1. di bawah.

Tabel 2. 1 Matematisasi horisontal dan vertikal


dalam pendekatan-pendekatan matematika

Jenis Pendekatan Matematika Horizontal Matematika Vertikal

Mekanistik – –

Empristik + –

Strukturalistik – +

Realistik + +

Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis “pendekatan terhadap
jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “ berarti kecil atau tidak ada sama sekali
tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak
bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup
besar, baik pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika dibandingkan dengan
tiga pendekatan yang lain.
Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan
dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip
tersebut, yaitu (1) guided reinvention and progressive mathematizing (2) didactical
phenomenology dan (3) self-developed models.
1. Guided reinvention and progressive mathematizing. Menurut Gravemijer (1994: 90),
berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami
proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat
dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip
reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini
strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk
keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan
beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari
tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal
(progressive mathematizing)
2. Didactical phenomenology. Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini
penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik
disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus
diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh
dalam proses progressive mathematizing.
3. Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat
mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model
mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan
matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya.
Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu
yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa.
Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi
lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut ini. Karena hal ini maka
beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul dalam pembelajaran matematika.
Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa
karakteristik sebagai berikut:
1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan
keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi
belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan
dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat
abstrak.
3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep
didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan
siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat
memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika
realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan berlandaskan pada filsafat
kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh orang
yang belajar secara aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan
mentransferkan konsep itu dari satu orang ke orang lain. Tetapi seseorang yang sedang
belajar semestinya diberi keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam
mengkonstruk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara
memberikan permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang
telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Sebagai akibat dari peningkatan aktivitas siswa
dalam pembelajaran matematika realistik adalah berkurangnya dominasi guru. Dalam
pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.
A. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Meninjau karakteristik interaktif dalam pembelajaran matematika realistik di atas tampak
perlu sebuah rancangan pembelajaran yang mampu membangun interaksi antara siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan lingkungannya. Dalam hal ini, Asikin
(2001: 3) berpandangan perlunya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkomunikasikan ide-idenya melalui presentasi individu, kerja kelompok, diskusi
kelompok, maupun diskusi kelas. Negosiasi dan evaluasi sesama siswa dan juga dengan guru
adalah faktor belajar yang penting dalam pembelajaran konstruktif ini.
Implikasi dari adanya aspek sosial yang cukup tinggi dalam aktivitas belajar siswa tersebut
maka guru perlu menentukan metode mengajar yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan
tersebut. Salah satu metode mengajar yang dapat memenuhi tujuan tersebut adalah
memasukkan kegiatan diskusi dalam pembelajaran siswa. Aktivitas diskusi dipandang
mampu mendorong dan melancarkan interaksi antara anggota kelas. Menurut Kemp (1994:
169) diskusi adalah bentuk pengajaran tatap muka yang paling umum digunakan untuk saling
tukar informasi, pikiran dan pendapat. Lebih dari itu dalam sebuah diskusi proses belajar
yang berlangsung tidak hanya kegiatan yang bersifat mengingat informasi belaka, namun
juga memungkinkan proses berfikir secara analisis, sintesis dan evaluasi. Selanjutnya perlu
pula ditentukan bentuk diskusi yang hendak dilaksanakan dengan mempertimbangkan
kondisi kelas yang ada. Karena pembelajaran dalam rangka penelitian ini dilaksanakan dalam
sebuah kelas yang pada umumnya beranggotakan 40 sampai 44 siswa dengan penempatan
siswa yang sulit untuk membentuk kelompok diskusi besar, maka interaksi antar siswa
dimunculkan melalui diskusi kelompok kecil secara berpasangan selain diskusi kelas.
Mendasarkan pada kondisi kelas seperti uraian di atas serta beberapa karakteristik dan prinsip
pembelajaran matematika realistik, maka langkah-langkah pembelajaran yang dilaksanakan
dalam penelitian ini terdiri atas:
Langkah – 1. Memahami masalah kontekstual
Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa. Selanjutnya guru
meminta siswa untuk memahami masalah itu terlebih dahulu.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah
menggunakan konteks. Penggunaan konteks terlihat pada penyajian masalah kontekstual
sebagai titik tolak aktivitas pembelajaran siswa.
Langkah – 2. Menjelaskan masalah kontekstual.
Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah kontekstual. Pada
langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan seperlunya
yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah
interaktif, yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan
siswa. Sedangkan prinsip guided reinvention setidaknya telah muncul ketika guru mencoba
memberi arah kepada siswa dalam memahami masalah.
Langkah – 3. Menyelesaikan masalah kontekstual.
Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara individual berdasar
kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan. Siswa
mempunyai kebebasan menggunakan caranya sendiri. Dalam proses memecahkan masalah,
sesungguhnya siswa dipancing atau diarahkan untuk berfikir menemukan atau
mengkonstruksi pengetahuan untuk dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk
memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan
bantuan.
Pada tahap ini , dua prinsip pembelajaran matematika realistik yang dapat dimunculkan
adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-developed models.
Sedangkan karakteristik yang dapat dimunculkan adalah penggunaan model. Dalam
menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan membangun model atas masalah
tersebut.
Langkah – 4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi sepasang siswa mendiskusikan
jawaban masing-masing. Dari diskusi ini diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati
oleh kedua siswa. Selanjutnya guru meminta siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan jawaban yang dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk
atau memberikan kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang
dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan
menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini adalah interaktif
dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga
antara guru dengan siswa. Dalam diskusi ini kontribusi siswa berguna dalam pemecahan
masalah.
Langkah – 5. Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan mengenai
pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang telah dibangun bersama.
Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul adalah interaktif
serta menggunakan kontribusi siswa.

B. Teori Belajar yang Relevan dengan Pembelajaran Matematika Realistik


Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran matematika realistik
dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat konstruktivis. Sedangkan menurut
Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang belajar dapat dipandang sebagai salah satu
pendekatan yang dikembangkan sejalan dengan teori psikologi kognitif. Inti dari
konstruktivisme dalam bidang belajar adalah peranan besar yang dimiliki siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan
diri lebih sebagai fasilitator belajar. Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang relevan
dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget, teori Vygotsky,
teori Ausubel dan teori Bruner.
1. Teori Piaget
Piaget (dalam Ibrahim, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak memiliki potensi untuk
mengembangkan intelektualnya. Pengembangan intelektual mereka bertolak dari rasa ingin
tahu dan memahami dunia di sekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia
sekitarnya akan mendorong pikiran mereka untuk membangun tampilan tentang dunia
tersebut dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau
skemata (jamak). Suparno (1997: 30) menggambarkan skema sebagai suatu jaringan konsep
atau kategori. Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat memproses dan
mengidentifikasi suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia dapat menempatkannya
pada kategori/ konsep yang sesuai.
Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah
berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di sekitarnya. Proses adaptasi ini
tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut serta melibatkan asimilasi,
akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya (Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah proses
kognitif yang dengannya seseorang dapat mengintegrasikan persepsi, konsep atau
pengalaman baru ke dalam skema yang dimilikinya. Melalui asimilasi, skema seseorang
berkembang namun tidak berubah. Dengan demikian perkembangan skema seseorang berarti
terjadinya pengayaan persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu
asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk mengadaptasikan
dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga pengertianya berubah.
Proses kognitif asimilasi tidak selalu dapat dilakukan seseorang . Hal ini terjadi jika
rangsangan baru yang diterimanya tidak sesuai dengan skema yang dimilikinya. Jika hal ini
terjadi, maka akan dilakukan proses akomodasi. Melalui proses akomodasi, pikiran seseorang
akan membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan tersebut atau memodifikasi
skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1997: 32).
Dalam mengembangkan pengetahuannya, proses asimilasi dan akomodasi terus berlangsung
dalam diri seseorang. Keduanya terjadi tidak berdiri sendiri. Kedua proses ini berlangsung
dalam keseimbangan yang diatur secara mekanis. Proses pengaturan keseimbangan ini
disebut equilibrium (Suparno, 1997: 32). Namun dalam menerima suatu pengalaman baru
dapat terjadi suatu keadaan sedemikian hingga terjadi ketidakseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Keadaan ini disebut sebagai dissequilibrium. Ketidakseimbangan ini muncul
pada saat terjadi ketidaksesuaian antara pengalaman saat ini dengan pengalaman baru yang
mengakibatkan akomodasi. Jika terjadi ketidakseimbangan maka seseorang dipacu untuk
mencari keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Menurut Dahar (1991: 182)
seseorang yang mampu memperoleh kembali keseimbangannya akan berada pada tingkat
intelektual yang tinggi dari sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori
Piaget memandang kenyataan atau pengetahuan bukan sebagai objek yang memang sudah
jadi dan ada untuk dimiliki manusia, namun ia harus diperoleh melalui kegiatan konstruksi
oleh manusia sendiri melalui proses pengadaptasian pikirannya ke dalam realitas di
sekitarnya..
Lebih lanjut Piaget (dalam Atkinson, 1999: 96) menjelaskan bahwa dalam tahap-tahap
perkembangan intelektualnya seorang anak sudah terlibat dalam proses berpikir dan
mempertimbangkan kehidupannya secara logis. Proses berpikir tersebut berlangsung sesuai
dengan tingkat perkembangan anak. Agar perkembangan intelektual anak berlangsung
optimal maka mereka perlu dimotivasi dan difasilitasi untuk membangun teori-teori yang
menjelaskan tentang dunia sekitarnya (Ibrahim, 1999: 19). Berkaitan dengan upaya ini Piaget
(dalam Ibrahim, 1999:18) berpendapat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
melibatkan anak bereksperimen secara mandiri, dalam arti:
a. Mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi.
b. Memanipulasi tanda dan simbol
c. Mengajukan pertanyaan
d. Menemukan jawaban sendiri
e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan
pada saat yang lain
f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.
Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang
sejalan dengan pandangan Piaget di atas. Pembelajaran matematika realistik yang
dikembangkan dengan berlandaskan pada filsafat konstruktivis, memandang pengetahuan
dalam matematika bukanlah sebagai sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada
siswa, namun sebagai hasil konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam
pembelajaran matematika realistik siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran itu
sendiri, sedangkan guru berperan lebih sebagai fasilitator. Implikasi dari pandangan ini
adalah keharusan bagi guru untuk memfasilitasi dan mendorong siswa untuk terlibat aktif
dalam proses pembelajaran. Siswa harus didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan bagi
dirinya. Untuk keperluan tersebut maka siswa perlu mendapat keleluasaan dalam
mengekspresikan jalan pikirannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
Untuk mewujudkan situasi dan kondisi belajar yang demikian maka dalam mengelola
pembelajaran guru perlu memperhatikan beberapa pandangan Piaget. Diantaranya adalah
guru perlu mendorong siswa untuk berani mencoba berbagai kemungkinan cara untuk
memahami dan menyelesaikan masalah. Dalam ini aktivitas mengkonstruksi pengetahuan
oleh siswa diwujudkan dengan memberikan masalah kontekstual. Masalah kontekstual
tersebut dirancang sedemikian hingga memungkinkan siswa untuk membangun
pengetahuannya secara mandiri.
2. Teori Vygotsky
Matthews dan O’Loughlin (dalam Suparno, 1997: 41) berpendapat bahwa teori Piaget
dikembangkan dengan penekanan yang lebih pada aspek personal. Teori ini dipandang terlalu
subjektif dan kurang sosial, sehingga faktor masyarakat dan lingkungan kurang diperhatikan
dalam proses pengembangan intelektual seorang anak.
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (dalam Ibrahim, 1999: 18) berpendapat bahwa proses
pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak terlepas dari faktor interaksi
sosialnya. Melalui interaksi dengan teman dan lingkungannya, seorang anak terbantu
perkembangan intelektualnya. Pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial
dalam perkembangan intelektual anak tampak dari empat ide kunci yang membangun
teorinya.
a. Penekanan pada hakikat sosial
Ide kunci pertama ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial
dalam proses belajar anak. Vygotsky (dalam Nur, 1999: 3) mengemukakan bahwa anak
belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebayanya. Dalam proses belajar
yang demikian, seorang anak yang sedang belajar tidak hanya menyampaikan pengertiannya
atas suatu masalah kepada dirinya sendiri namun ia juga dapat menyampaikannya pada orang
lain di sekitarnya. Pembelajaran kooperatif yang terjalin oleh intraksi sosial peserta belajar
memberi manfaat berupa hasil belajar yang terbuka untuk seluruh siswa dan proses berpikir
siswa lain terbuka untuk siswa yang lain.
b. Wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development).
Vygotsky menjelaskan adanya dua tingkat perkembangan intelektual, yaitu tingkat
perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Pada tingkat perkembangan aktual
seseorang sudah mampu untuk belajar atau memecahkan masalah dengan menggunakan
kemampuan yang ada pada dirinya pada saat itu. Sedangkan tingkat perkembangan potensial
adalah tingkat perkembangan intelektual yang dicapai seseorang dengan bantuan orang lain
yang lebih mampu. Tingkat perkembangan potensial terletak di atas tingkat perkembangan
aktual seseorang. Perubahan dari tingkat perkembangan aktual menuju ke tingkat
perkembangan potensial tidak terjadi secara langsung dan otomatis. Perubahan itu
berlangsung dengan melalui proses belajar yang terjadi pada wilayah perkembangan terdekat.
Wilayah perkembangan terdekat terletak sedikit di atas perkembangan aktual seseorang.
Menurut Slavin (1994: 49) seorang anak yang bekerja dalam wilayah perkembangan terdekat
terlibat dalam tugas-tugas yang tidak mampu diselesaikannya sendiri. Ia memerlukan
kehadiran orang yang lebih mampu untuk membantunya. Dengan mengerjakan serangkaian
tugas belajar di wilayah perkembangan terdekat seorang anak diharapkan mencapai tingkat
kecakapan tertentu pada waktu selanjutnya. Dengan demikian proses belajar di wilayah
perkembangan terdekat dapat dipandang sebagai suatu proses transisi atau peralihan dari
tingkat perkembangan aktual ke tingkat perkembangan potensial.
c. Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship)
Ide kunci ini adalah gabungan dua ide kunci yang pertama, yaitu hakikat sosial dan
perkembangan daerah terdekat . Menurut Vygotsky, dalam proses pemagangan kognitif
seorang siswa secara bertahap mencapai kepakaran dalam interaksinya dengan seorang pakar,
orang dewasa atau teman sebayanya dengan pengetahuan yang lebih (Nur, 1999: 5).
Implementasi dari ide ini adalah pembentukan kelompok belajar kooperatif heterogen
sehingga siswa yang lebih pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai dalam
menyelesaikan tugasnya.
d. Perancahan (Scaffolding)
Scaffolding atau perancahan (anak tangga) adalah suatu prinsip yang mengacu kepada
bantuan yang diberikan oleh orang dewasa atau teman sebaya yang kompeten. Dalam proses
pembelajaran bantuan itu diberikan kepada siswa dalam bentuk sejumlah besar dukungan
pada tahap awal pembelajaran. Selanjutnya bantuan itu makin berkurang dan pada akhirnya
tidak ada sama sekali sehingga anak mengambil alih tanggung jawab secara penuh terhadap
apa yang dikerjakan setelah ia mampu melakukannya (Slavin, 1997: 48).
Ide kunci ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang perlunya pemberian tugas-tugas
komplek, sulit dan realistik kepada siswa. Melalui pemecahan masalah dalam tugas yang
diterimanya, seorang siswa diharapkan dapat menemukan keterampilan-keterampilan dasar
yang berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran yang terjadi lebih menekankan
pada model pengajaran top-down (Nur, 1999: 5). Pembelajaran yang demikian berlawanan
dengan model bottom-up tradisional, dimana keterampilan-keterampilan dasar diberikan
secara bertahap untuk mewujudkan keterampilan yang lebih kompleks.
Implikasi yang muncul atas pandangan Vygotsky dalam pendidikan anak adalah perlu adanya
suatu dorongan kepada siswa untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya yang punya
pengetahuan lebih baik yang dapat memberikan bantuan dalam pengembangan
intelektualnya. Lebih luas daripada itu, para konstruktivis menekankan agar para pendidik
memperhatikan keberadaan situasi sekolah, masyarakat dan teman di sekitar seseorang yang
dapat mempengaruhi pengembangan intelektual seorang siswa (Cobb dalam Suparno, 1997:
96).
Salah satu karakteristik dalam pembelajaran matematika realistik adalah penemuan konsep
dan pemecahan masalah sebagai hasil sumbang gagasan para siswa. Kontribusi gagasan
tersebut dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi
antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan
lingkungannya. Dengan demikian, selain ada aktivitas mental yang bersifat personal, dalam
pembelajaran matematika realistik guru perlu mendorong munculnya interaksi sosial antar
anggota kelas dalam proses mengkonstruk pengetahuan. Melalui interaksi sosial tersebut
siswa yang lebih mampu berkesempatan menyampaikan pemahaman yang dimilikinya pada
siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan bagi siswa yang lebih lemah tersebut
memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual ke perkembangan potensial atas bantuan
siswa yang lebih mampu. Sedangkan di sisi lain guru mempunyai peran dalam membantu
siswa yang mengalami kesulitan dengan memberi arah, petunjuk, peringatan dan dorongan.
Dengan demikian tampak bahwa proses pembelajaran matematika realistik sejalan dengan
teori Vygotsky yang memberi tekanan pada pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan
intelektual anak.
Dalam hal ini, interkasi sosial antar anggota kelas diwujudkan melalui tahap mendiskusikan
dan menegosiasikan penyelesaian masalah di tingkat kelompok maupun tingkat kelas. Dalam
diskusi kelompok maupun kelas tersebut guru perlu mendorong semangat saling berbagi dan
menghargai pandangan pihak lain. Sedangkan interaksi yang dapat dibangun oleh guru
dengan para siswa adalah dengan memberikan bantuan seperlunya tanpa harus membatasi
keleluasaan siswa mengekspresikan ide-idenya.
3. Teori Ausubel
Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis yaitu belajar menghafal
dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut Nur (1999: 38) belajar menghafal
mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau hubungan-hubungan, misal tabel perkalian dan
lambang-lambang atom kimia. Sedangkan menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika
informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga
siswa tersebut mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya
(Hudojo, 1988: 61).
Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep yang dimiliki seseorang
mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep yang terhubung satu dengan yang lain
secara bermakna melahirkan kaidah yang berguna dalam pemecahan masalah (Winkel, 1991:
57). Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang
dipelajari secara bermakna akan memungkinkan untuk diterapkan ke situasi yang lebih luas
dalam kehidupan nyata (Nur, 1999: 34).
Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika pengetahuan yang semestinya dapat diajarkan
secara bermakna tetapi diajarkan dengan menghafal akan menghasilkan pengetahuan inert.
Pengetahuan inert adalah pengetahuan yang sesungguhnya dapat diterapkan untuk situasi
yang lebih umum, tetapi pada kenyataannya hanya dapat diterapkan dalam situasi khusus
(Nur, 1999: 38). Siswa yang hanya menghafal suatu konsep tanpa benar-benar mengerti
isinya merupakan bentuk dari korban verbalisme (Winkel, 1991: 58).
Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah penggunaan konteks.
Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika realistik berarti bahwa lingkungan
keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi
belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa
merupakan bahan yang berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang
menjadi titik tolak aktivitas berfikir siswa. Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi
siswa karena masih berada dalam jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual seorang siswa harus
dapat mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan permasalahan tersebut.
Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah kontekstual jika ia
mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga
harus dapat menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah
kontekstual tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam
pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.
4. Teori Bruner
Bruner (dalam Hudojo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar
tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta mencari hubungan antara konsep-konsep
dan struktur-struktur tersebut. Menurut Bruner pemahaman atas suatu konsep beserta
strukturnya menjadikan materi itu lebih mudah diingat dan dapat dipahami lebih
komprehensif.
Mirip dengan seperti apa yang dikemukakan Piaget, Bruner berpendapat adanya tiga tahap
perkembangan mental yang dilalui peserta didik dalam proses belajar. Namun ketiga tahap
berpikir menurut Bruner ini tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Tiga tahap
perkembangan mental menurut Bruner (dalam Hudojo, 1988: 57) tersebut adalah:
a. Enactive. Dalam tahap ini seseorang mempelajari suatu pengetahuan secara aktif dengan
menggunakan/ memanipulasi benda-benda konkrit atau situasi nyata secara langsung.
Contoh masalah yang dirancang untuk materi pembelajaran PLSV di antaranya ditujukan
untuk mengkonstruk prinsip yang dapat digunakan untuk memperoleh persamaan-persamaan
yang ekuivalen. Untuk hal tersebut misalnya dapat diajukan masalah yang memuat ide
tentang kesetimbangan neraca, seperti berikut ini.
Masalah : KELINCI PERCOBAAN
Dalam kegiatan praktikum Biologi, siswa kelas I A menggunakan kelinci sebagai objek
percobaan. Mereka perlu mengetahui berat hewan ini. Pengukuran berat kelinci dilakukan
dengan cara meletakkan kelinci dan 2 buah anak timbangan 4 ons di satu lengan. Sedangkan
lengan neraca yang lain diisi 3 buah anak timbangan 8 ons. Hal ini menyebabkan neraca
dalam keadaan setimbang. Tentukan berat kelinci tersebut dan jelaskan bagaimana caramu
menentukan berat kelinci itu.
Dalam tahap enactive seorang siswa dapat menyelesaikan masalah ini dengan memanipulasi
seperangkat neraca dan anak-anak timbangan buatannya untuk memodelkan neraca
sesungguhnya. Pada tahap ini mereka memanipulasi benda-benda konkrit untuk
menyelesaikan masalah di atas.
b. Ikonic. Pada tahap ini kegiatan belajar sesorang sudah mulai menyangkut mental yang
merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini tidak lagi dilakukan manipulasi
terhadap benda konkret secara langsung, namun anak sudah dapat memanipulasi dengan
menggunakan gambaran dari objek.
Sesuai dengan pandangan Bruner di atas, Masalah: Kelinci Percobaan di atas dapat
direpresentasikan lebih dengan gambar berikut ini.

Gambar 2.1. Model informal sebuah masalah persamaan


Pemanipulasian dengan gambar seperti di atas lebih abstrak dibanding dengan
pemanipulasian benda konkrit tahap enactive sebelumnya.
c. Simbolic. Tahap terakhir ini adalah tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung
dan tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran objek.
Sebagai contoh dari perkembangan mental siswa pada tahap simbolik ini adalah saat siswa
sudah mengetahui bahwa salah satu prinsip untuk memperoleh persamaan yang ekuivalen
adalah dengan mengurangi kedua ruas persamaan. Dengan mengetahui prinsip ini apabila
mereka menemui persamaan 2x + 4 = 9 + x maka secara terurut mereka dapat memperoleh
persamaan-persamaan yang ekuivalen seperti 2x + 4 – 4 = 9 + x – 9 atau 2x – x + 4 = 9 + x –
x . Dalam memanipulasi simbil-simbol tersebut mereka sudah tidak lagi memerlukan
gambaran seperti pada tahap ikonik.
Selain teori tentang tahap perkembangan mental di atas, pendapat Bruner yang lain yang
sesuai dengan penelitian ini adalah teorema konstruksi (construction theorem) dan teorema
notasi (notation theorem). Melalui teorema konstruksi, Bruner (dalam Pudjohartono, 2003:
23) berpendapat bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mempelajari konsep atau prinsip
matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep atau prinsip tersebut. Alasannya adalah
jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari suatu konsep atau prinsip maa
mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam
representasi itu. Selanjutnya mereka lebih mudah mengingat pengetahuan itu serta lebih
mudah menerapkannya dalam konteks yang lain yang sesuai. Dalam teorema ini, sekali lagi
Bruner menekankan perlunya penggunaan representasi konkret yang memungkinkan siswa
untuk aktif.
Sedangkan melalui teorema notasi Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 25) menjelaskan
bahwa representasi dari suatu materi akan lebih mudah dipahami siswa apabila didalam
representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar yang berada dalam tahap operasi konkret kalimat
yang berbunyai “ tentukan sebuah bilangan bulat yang jika ditambah 6 hasilnya 9” akan lebih
mudah dinyatakan dalam bentuk persamaan “ ….. + 6 = 9”. Namun persamaan x + 6 = 9
merupakan representasi yang lebih sesuai untuk siswa SLTP.

Daftar Bacaaan

Asikin, M. 2001. “Realistic Mathematics Education (RME): Prospek dan Alternatif


Pembelajarannya”. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika di UNNES
Semarang. Tanggal: 27 Agustus 2001.

Fauzan, A. 2001. “Pengembangan dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat


Pembelajaran Geometri untuk Siswa Kelas IV SD Menggunakan

Pendekatan RME”. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics

Mathematic Education (RME) di UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001.

Freudental, H. 1973. Mathematics as an Educational Task. Dordrecht: Reidel Publising.

—————-.1991. Revisiting Mathematics Educational. Dordrecht: Reidel Publising.

Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudental


Institute.

Hudoyo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

————–.1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstrukstivis. Malang:


PPs. IKIP Malang.

Kemp, J.E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran. Terjemahan oleh: Asril Marjohan.
Bandung: ITB.

Nur, M., Wikandari, P. dan Sugiarto, B. 1998. Teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya: PPS.
IKIP Surabaya.

Nur, M dan Wikandari, P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan
Konstrukstivis dalam Pengajaran. Edisi ke-3. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA
Sekolah. UNESA Surabaya.

Nur, M., dkk. 2002. Lampiran Laporan Pengembangan Perangkat Pembelajaran


Kontekstual Untuk MIPA Bagi Siswa Kelas III SLTP Cawu 3. Pusat Sains dan Matematika
Sekolah PPs. UNESA Surabaya.

Nur, M. 2001. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dalam Rangka Menunjang


Implementasi Kurikulum 1994 di Indonesia dan Malaysia”. Makalah disajikan pada
Improving Teaching Proficiency of Indonesia Junior and Senior Secondary Science Teachers
di Seameo-Recsam Penang Malaysia. Tanggal 14-18 Maret 1998.

Soedjadi, R.. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti
Depdikbud.

———-. 2001 a. “Pemanfaatan Realitas dan lingkungan dalam Pembelajaran Matematika”.


Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education (RME) di
UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001.

———-. 2001 b. “Pembelajaran Matematika berjiwa RME (Suatu Pemikiran Rintisan Ke


Arah Upaya Baru)”. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic
Education (RME) di UNESA Surabaya, Juni 2001.

———-. 2001 c. “Pembelajaran Matematika Realistik (Pengenalan Awal dan Praktis)”.


Makalah disapaikan kepada para guru SD/MI terpilih di Surabaya.
Suparno, P. 1996. Filsafat kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Van de Walle, J. A. 1980. Elementrary School Mathematics Teaching Developmentally. New


York: Longman.

Van den Heuvel – Panhuizen, M. 1985. Assesment and Realistic Mathematics Education.
Freudenthal Institute: Untrecht University.

Yuwono, I. 2001.”RME (Realistics Mathematics Education) dan Hasil Studi awal


Implementasinya di SLTP”. Makalah Seminar disajikan pada Seminar Nasional Realistics
Mathematic Education (RME) di UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001.

Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik (RME) Dalam


Proses Pembelajaran di Sekolah Dasar

Penulis Admin Karyatulisku

Tags

Kuliah

Makalah

Model Pembelajaran

Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided
reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu
matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam
menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui
proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).

Model Pembelajaran RME

Prinsip RME

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi),


pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-
twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial,
sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan)
Baca Juga :

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Head Together) Lengkap dengan Referensi

Model Pembelajaran Cooperative Script Pembahasan Lengkap dengan Daftar Pustaka

Model Pembelajaran TGT : Pengertian, Karakteristik, SIntaks, Kelebihan dan Kekurangan

A. Pengertian Model Pembelajaran Realistik

Pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebuah
pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer
menjelaskan bahwa RME dapat digolongkan sebagai aktivitas yang meliputi aktivitas pemecahan
masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Matematika realistik yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan
realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan
sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.

Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang
karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan
kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre
(1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar
ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut pandangannya
matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan
terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain memandang
matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu
kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada pebelajar
untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya. Artinya dalam
pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem
tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau
“matematisasi” (Freudental,1968).

Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe matematisasi
dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal
siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi
dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-
konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi
horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal
bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda
maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991).

Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang
artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan”
ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya
harus melalui cara itu.

Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam matematika dapat dibedakan
menjadi empat yaitu, mekanistik, empiristik, struturalistik, dan realistik.

Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisonal dan didasarkan pada apa yang diketahui
dari pengalamn sendiri (diawali dari yang lebih sederhana sampai ke kompleks) dalam pendekatan
ini siswa dianggap sebagai mesin.

Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep – konsep matematika tidak
diajarkan dan diharapkan siswa mampu menemukan melalui matematika horizontal. Pendekatan
mekanis dan empiris tidak banyak diajarkan di lingkungan sekolah.

Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya


pengajaran penjumlahan cara panjang yang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu
konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.

Pendekatan realistik merupan pendekatan dengan menggunakan metode matematisasi horizontal


dan vertikal dan mendekatan ini sebagai pangkal tolak pembelajaran.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah
metode pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan
pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan
mengpalikasikan konsep – konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau dalam
bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini
yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai
untuk memecahkan masalah.

B. Prinsip-Prinsip Model Pembelajaran Matematika Realistik (RME)

Ada tiga unsur prinsip utama dalam pembelajaran Matematika realistik yaitu : a) guided reinvention
and progresive mathematizing , b) didactical phenomenology dan c) self – developed models. Ketiga
prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan kembali terbimbing /


pematematikaan progresif)

Prinsip ini menghendaki bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, dari masalah konstektual
yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa
diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali
konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip,
sifat – sifat dan rumus – rumus itu ditemukan. Prinsip ini mengacu pada pandangan konstruktivisme,
yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan
dari guru, melainkan dari siswa sendiri.

2. Didactical phennomenology (fenomena pembelajaran)

Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di
dalam menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan
metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan, yaitu : a) untuk mengungkap
berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, b) untuk
dipertimbangkan pantas tidaknya masalah konstektual itu digunakan sebagai poin – poin untuk
suatu proses pematematikaan progresif. Dari penjabaran di atas menunjukan bahwa prinsip ke 2
Pembelajaran matematika Realistik ini menekankan pada pentingnya masalah konstektual untuk
memperkenalkan topik – topik matematika kepada siswa.
3. Self development models ( model – model dibangun sendiri)

Menurut prinsip ketiga, model – model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan
informal dan formal matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk
menemukan sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan.
Sebagai konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun
siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya.
Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus menunjukan bahwa sifat bottom
up( dari bawah ke atas) mulai terjadi. Model – model tersebut diharapkan untuk mampu mengubah
kepada bentuk matematika yang formal.

C. Karakteristik Model Pembelajaran Realistik atau RME

Pembelajaran Matematika Realistis mencerminkan pandangan matematika tertentu mengenai


bagaimana anak belajar matematika dan bagiamana matematika harus diajarkan. Pandangan ini
tercermin dalam enam karakteristik yaitu : kegiatan, nyata, bertahap, saling menjalin, interaksi, dan
bimbingan.

1. Kegiatan
Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan seluruh
perangkat perkakas dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan dalam
situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian – bagian masalah tersebut dan
dikembangkan secara bertahan

2, Nyata (kontekstual)

Matematika realistis harus memungkinkan peserta didik dapat menerapkan pemahaman


matematika dan perkakas /alat matematikannya untuk memecahkan masalah. Hanya dalam
pemecahan masalah peserta didik dapat mengembangkan alat matematis dan pemahaman
matematis.

3. Bertahap

Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahapan pemahaman, yaitu dari
kemampuan menemukan pemecahan informal yang berhubungan dengan konteks, menuju
penciptaan berbagai tahap hubungan langsung dan pembuatan bagan.

4. Saling menjalin (keterkaitan)


Hal ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik – topik seperti kesadaran akan
bilangan, mental aritmetika, perkiraan (estimasi) dan algoritma.

5. Interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Pendidikan harus
dapat memberikan kesempatan bagi para peserta didik untuk saling berbagi dan strategi dan
penemuan mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan
temuan ini, peserta didik mendapat ide untuk memperbaiki strateginya.

6. Bimbingan
Pengajar maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan peserta
didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses pembelajaran yang lentur
untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui
proses hafalan.

Sementara menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa


karakteristik dan komponen sebagai berikut.

1. The use of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran matematika


realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan
sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model), artinya permasalahan
atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi
nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3. Students constribution (menggunakan kontribusi siswa), artinya pemecahan masalah atau
penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang
berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu
konsep secara serentak.

D. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Matematika Realistik (RME)

KELEBIHAN
1. Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional
kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari – hari dan
kegunaan matematika pada umumnya.
2. Pembelajaran matematika reaslistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional
kepada siswa bahwa matematika adalah suatu kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan
oleh siswa
3. Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional
kepada siswa bahwa cara penyelesaian masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama
antara satu siswa dengan siswa yang lainnya.
4. Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional
kepada siswa bahwa untuk menemukan suatu hasil dalam matematika diperlukan suatu
proses.
5. Karena membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak pernah lupa
6. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas
kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika.
7. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka, karena sikap belajar siswa ada nilainya.
8. Memupuk kerjasama dalam kelompok.
9. Melatih keberanian siswa karena siswa harus menjelaskan jawabannya.
10. Melatih siswa untuk terbiasa berfikir dan mengemukakan pendapat.
11. Mendidik budi pekerti.

KEKURANGAN

1. Upaya penerapan Pembelajaran matematika realistik membutuhkan perubahan yang sangat


mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekan dan juga diperlukan
waktu yang lama.
2. Pencarian soal – soal kontekstual yang memenuhi syarat – syarat yang dituntut
pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap topik yang akan
dipelajari , terlebih lagi soal – soal tersebut harus diselesaikan dengan berbagai macam cara.
3. Upaya mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah juga merupakan salah satu kerugian
pembelajaran matematika realistik
4. Metode Pembelajaran matematika realistik memperlukan partisipasi siswa secara aktif baik
fisik maupun mental.

E. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Realistik (RME)


Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya
diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan
pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi
bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk
yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar
memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru
diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan
matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis
pecahan.

Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa
dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk
menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari
atau dalam bidang lain.

Secara lebih jelas, maka langkah-langkah penerapan pembelajaran ini dapat diterapkan menjadi lima
langkah, yaitu:

1) Memberikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.


2) Mendorong siswa menyelesaikan masalah tersebut, baik individu maupun kelompok.
3) Memberikan masalah yang lain pada siswa, tetapi dalam konteks yang sama setelah diperoleh
beberapa langkah dalam menyelesaikan masalah tersebut.
4) Mempertimbangkan cara dan langkah yang ditentukan dengan memeriksa dan meneliti, kemudian
guru membimbing siswa untuk melangkah lebih jauh ke arah proses matematika vertikal.
5) Menugaskan siswa baik individu maupun kelompok untuk menyelesaikan permasalahan lain baik
terapan maupun bukan terapan.

Contoh Penerapan Dalam Pembelajaran Matematika Materi


Perkalian

Perkalian adalah penjumlahan yang berulang sebanyak “n” dan berlaku sifat komutatif dan asosiatif.
Menurut David Glover (2006:20). materi perkalian materi esensial yang cukup lama proses
penanamannya. Bahkan, kalau sudah disajikan dalam soal cerita seringkali siswa mengalami
kesulitan.

Untuk itu guru harus mampu menemukan suatu cara agar bisa membawa siswa lebih mudah dalam
penanaman konsep materi tesebut dengan membawa anak ke situasi permasalahan yang nyata
dalam kehidupan sehari-hari yang sering dialami siswa, misalnya dalam penanaman konsep
perkalian, dengan cara guru mengajukan pertanyaan, “ 3 ekor ayam, kakinya ada berapa ?” Dengan
masalah seperti ini, jawaban anak diharapkan akan bermacam-macam. Salah satunya adalah
banyaknya kaki ayam adalah 2 + 2 + 2. Jika tidak ada yang menyatakan dengan 3 x 2, maka kita dapat
mengenalkan tentang notasi atau lambang atau konsep perkalian, yaitu 3 x 2. Jadi, dengan
pertanyaan tadi diharapkan siswa dapat membangun atau mengkontruksikan pengetahuannya
sendiri. Dari jawaban pertanyaan itu dimunculkan konsep perkalian. Jadi, bukan guru yang langsung
mengumumkan, namun siswa yang mendapatkan arti 3 x 2.

Pembelajaran dengan pendekatan realistik adalah suatu konsep pembelajaran yang menghubungkan
materi pelajaran dengan situasi nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan
matematika oleh siswa sendiri. Masalah konteks nyata merupakan bagian inti dan dijadikan sebagai
starting point dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik ini.

Dengan demikian pembelajaran realistik merupakan suatu sistem pembelajaran yang didasarkan
pada penelitian kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga guru harus merencanakan pengajaran
yang cocok dengan tahap perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa,
memfasilitasi pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan latar belakang dan keragaman
pengetahuan siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan pelaksanaan assessmen
otentiknya, sehingga pembelajaran mengarah pada peningkatan kecerdasan siswa secara
menyeluruh untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

Pengertian Model Pembelajaran Matematika Realistik

Model pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematic Education(RME) adalah


pendekatan pengajaran yang bertitik tolak pada hal- hal yang real bagi siswa (Zulkardi). Teori
ini menekankan ketrampilan proses, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan
teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri(Student Invonting), sebagai
kebalikan dari guru memberi(Teaching Telling) dan pada akhirnya murid menggunakan
matematika itu untuk menyeleseikan masalah baik secara individual ataupun kelompok.

Model Pembelajaran Matematik Realistik

Ide utama dari model pembelajaran matematika realistic / RME adalah manusia harus
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika
dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer).Upaya untuk menemukan kembali ide dan
konsep matematika ini dilakukan dengan memanfaatkan realita dan lingkungan yang dekat
dengan anak.

Soedjadi mengemukakan bahwa model pembelajaran matematika realistik pada dasarnya


adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar
proses pembelajaran matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu.

Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata
atau konkrit yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan,
sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada
baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik.
Lingkungan ini disebut juga kehidupan sehari-hari.

Menurut De Lange dan Van Den Heuvel Parhizen, RME ini adalah pembelajaran yang
mengacu pada konstruktifis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika.(Yuwono:
2001)

Model pembelajaran matematika realistik atau Realistik Mathematics Education (RME)


pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970 oleh institut
Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International
Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000.

Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi.


a. Menemukan masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).
b. Memecahkan masalah (problem solving).
c. Mengorganisasikan bahan ajar (organizing a subject matter).

Mengenai model pembelajaran matematika realistik Armanto menjelaskan, Pada RME siswa
belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual.

Dengan kata lain, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam
soal bentuk matematika untuk di pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan, dan
pemvisualisasian.

Baca artikel ini juga >>>>> Model Pembelajaran

Sintak / Langkah – Langkah Model Pembelajaran Matematika Realistik

langkah – langkah model pembelajaran matematika realistik di dalam proses


pembeajaran matematika (Waraskamdi.2008) adalah:

1. Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian siswa)

2. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran

3. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai
dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam
pelajaran secara bermakna

4. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pelajaran tersebut

5. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap


persoalan/masalah yang diajukan

6. Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan


terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju
terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian
yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil
pelajaran.

Baca artikel ini juga >>>>> Model Pembelajaran Problem Posing

Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Matematika Realistik

Kelebihan model pembelajaran matematika realistik

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari model
pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi
manusia.

2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh
siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara
yang satu dengan orang yang lain.

4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan
orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep
matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa
kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan
tercapai. (Suwarsono.2001)

Baca artikel ini juga >>>>> Model Pembelajaran Terbuka

Kesulitan dalam implementasi model pembelajaran matematika realistik

Kesulitan-kesulitan model pembelajaran matematika realistik , yaitu:


1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya
mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu
merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR.

2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam


pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan
matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa
diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan
penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Realistic Mathematics
Education (Rme) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Dan Aktivitas Pada
Pokok Bahasan Pertidaksamaan Siswa Kelas X Sma N 9 Ambon.

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada era globalisasi seperti saat ini, pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan
pokok bagi masing-masing individu. Suatu bangsa akan dipandang sebagai bangsa yang maju
apabila mutu pendidikan suatu bangsa telah maju pula. Sesuai dengan perkembangan zaman,
banyak ilmu-ilmu pengetahuan yang makin berkembang dengan pesat khususnya dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan IPTEK sangat erat hubungannya
dengan perkembangan ilmu matematika. Peranan matematika terhadap ilmu pengetahuan
yang lain sangat besar, maka matematika adalah ilmu yang penting dan memerlukan
penanganan yang serius.

Matematika merupakan suatu ilmu yang terorganisir secara sistematik dan merupakan
pelayan ilmu lainya , selain untuk kepentingan sendiri baik untuk kepentingan teoritis
maupun kepentingan praktis. Pentingnya matematika dikemukakan oleh Lisnawati bahawa
jatuh bangunnya suatu negara dewasa ini tergantung dari kemajuan di bidang matematika.
Jadi berdasarkan pendapat tersebut matematika sangat penting peranannya untuk kemajuan
suatu negara , semakin meningkat pola pikir rakyatnya. Dengan berkembangnya pola pikir
rakyatnya maka semakin berkembanglah pola kehidupan suatu negara.

Namun dilihat dari realita saat ini, prestasi siswa khususnya mata pelajaran matematika
belum memuaskan , baik dari segi penguasaan konsep maupun penggunaanya dalam
menyelesaikan soal-soal. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyak siswa yang merasa
kesulitan dalam menghadapi soal-soal yang dimodifikasi. Para siswa lebih mudah
mengerjakan soal-soal yang bentuknya sama persis dengan soal yang dicontohkan oeh guru.
Hal ini disebabkan kurangnya minat atau motivasi siswa terhadap mata pelajaran matematika.

Salah satu ciri penting matematika adalah memiliki obyek abstrak, sehingga kebanyakan
siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Menurut Soedjadi (2000: 41), sifat abstrak
tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika
sekolah. Namun sebagai seorang guru, harus berusaha mengurangi sifat abstrak tersebut
sehingga memudahkan siswa menangkap materi yang diberikan. Ada tiga syarat utama yang
harus dimiliki oleh guru agar mampu menjadi guru yang baik yaitu: (a) bahan ajar, (b)
ketrampilan mengajar, dan (c) evaluasi pembelajaran. Sebagai guru perlu memahami cara-
cara penyampaian materi pelajaran. Jadi disamping penguasaan materi, cara menyajikan atau
menyampaikan materi matematika merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai seorang
guru matematika.

Sekolah Menengah Atas atau biasa disingkat SMA sebagai lembaga pendidikan tingkat
menenengah merupakan suatu wadah yang mengajarkan budi pekerti dan tingkat intelektual
yang tinggi, sehingga diharapkan output dari sini merupakan output yang siap saing dalam
tingkat diatasnya. Materi yang sangat banyak tentu membawa konsekwensi siswa harus
menerima keadaan yang dapat menyebabkan minat belajar siswa semakin menurun jika tidak
diimbangi dengan proses belajar yang bervariasi.

Berdasarkan data yang diperoleh nilai rata-rata siswa kelas X SMA N 4 Ambon pada mata
pelajaran matematika setiap semesternya selalu kurang dari 6. Selama ini proses
pembelajaran matematika masih memakai cara yang konvensional yaitu guru aktif memberi
informasi dan siswa pasif menerima informasi sehingga siswa tidak terlibat secara aktif dan
tidak mendapat kesempatan memunculkan ide-ide kreatif dalam menemukan alternatif untuk
memecahkan masalah, selain itu masih banyak siswa yang menganggap pelajaran matematika
itu sangatlah sulit, hal ini dipengarui oleh beberapa guru yang kurang kreatif dalam
memberikan suatu materi.

Berbagai metode telah diupayakan oleh guru untuk membantu siswa dalam pemahaman dan
memacu supaya aktivitas siswa dapat meningkat dengan baik. Beberapa rekomendasi hasil
study yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada cara belajar dan mengajar yang
terbaik (Nisbet dalam JICA,2003) maka pendekatan elistik perlu dipertimbangkan untuk
dijadikan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika salah satunya dengan upaya
meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa melalui pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) pada pokok bahasan Pertidaksamaan.

RME adalah pendekatan pembelajaran matematika yang berbasis pada matematisasi


pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika
dalam kehidupan sehari-hari(Suharta,2001). RME menekankan bahwa pendidikan
matematika harus dikaitkan dengan realita sehari-hari sesuai yang dapat dibayangkan oleh
peserta didik dan matematika sebagai kegiatan manusia dimana peserta didik diberi
kesempatan mempunyai pengalaman yang sama seperti proses penemuan konsep-konsep
matematika ditemukan oleh para penemunya (Zukardi dalam Linawati,2005). Dengan
menggunakan metode ini diharapkan para siswa akan termotivasi dan prestasinya akan
meningkat dalam mengerjakan tugas maupun latihan yang diberikan.

Walaupun masalah realistik yang diungkapkan tidak dapat selamanya berasal dari aktifitas
sehari-hari, tetapi masalah itu diberikan berupa konteks yang dapat diimajinasikan dalam
pilkiran peserta didik.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis bermaksut untuk


mengadakan penelitian tentang “ Pembelajaran Matematika Dengan
Pendekatan Realistic Mathematics Education (Rme) Untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Dan Aktivitas Pada Pokok Bahasan Pertidaksamaan Siswa
Kelas X Sma N 9 Ambon.

Rumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah:

1. Apakah dengan melalui pendekatan Realistic mathematics Education (RME) dapat


meningkatkan hasil belajar siswa pada bahasan pertidaksamaan siswa kelas X SMA N 3
Ambon 2013/2014?
2. Apakah dengan melalui pendekatan Realistic mathematics Education (RME) dapat
meningkatkan aktivitas siswa pada bahasan pertidaksamaan siswa kelas X SMA N 3 Ambon
2013/2014?
3. Tujuan Penelitian

Sesuai Rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui seberapa besar kemampuan matematika siswa dapat meningkat setelah
mempelajari pokok bahasan Pertidaksamaan siswa kelas X SMA N 4 Ambon 2013/2014
melalui pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).
2. Untuk mengetahui bagaimana aktivitas belajar matematika siswa dapat meningkat setelah
mempelajari pokok bahasan Pertidaksamaan siswa kelas X SMA N 4 Ambon 2013/2014
melalui pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat bagi bagi siswa


2. a) Membangun kemampuan dalam mempelajari pokok bahasan Pertidaksamaan
3. b) Memberikan keberanian pada siswa sehingga siswa dapat mengemukakan pendapat
secara terbuka.
4. c) Memberikan kesempatan siswa supaya dapat mengapresiasikan kemampuanya pada
mata pelajaran matematika.
5. d) Dapat meningkatkan motivasi dan aktivitas belajar matematika.
6. Manfaat bagi guru
7. a) Memberikan wawasan bagi guru tentang bagaimana pembelajaran matematika yang
efektif dan efisien
8. b) Memotivasi para guru untuk memaksimalkan metode pembelajaran yang digunakan
supaya tujuan pembelajaran matematika di sekolah dapat terwujud.
9. c) Guru akan lebih berpengalaman dalam memilih strategi pembelajaran.
10. Manfaat bagi peneliti

Bagi peneliti dapat mengembangkan pengetahuan yang telah didapat selama perkuliahan dan
menerapkanya dalam kehidupan nyata.

Penegasan Istilah

1. Hasil belajar matematika

Hasil belajar matematika dalam penelitian ini adalah berupa skor dari tes formatif yang
dikerjakan peserta didik. Jika skor dari test tersebut menunjukkan hasil yang tinggi dengan
melihat banyaknya peserta didik yang mendapatkan nilai yang lebih bagus dari sebelumnya.
Ini berarti hasil belajar matematika peserta didik meningkat.

2. Aktifitas belajar matematika

Aktifitas belajar matematika dalam penelitian ini adalah berupa pengamatan terhadap tingkah
laku didalam kelas, aktifitas belajar matematika dianggap meningkat apabila antusiasme
persentase peserta didik didalam memperhatikan pelajaran matematika di kelas meningkat.

3. Pertidaksamaan
Pertidaksamaan merupakan salah satu materi yang diajarkan pada siswa SMA kelas X
semester genap, yang materinya meliputi:

1. Tinjauan ulang : interval


2. Pertidaksamaan

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Belajar

Jika telah membaca dari berbagai sumber, maka banyak dijumpai berbagai pengertian tentang
belajar yang pendefinisiannya satu dengan yang lain berbeda, antara lain Belajar bukan suatu
tujuan tetapi suatu proses untuk mencapai tujuan (Oemar, 2005: 29), Herman Handoyo
(1990: 1) mengemukakan belajar adalah proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan
tingkah laku. Slavin (1994: 152) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan individu
yang desebabkan oleh pengalaman. Gegne (1977: 3) menyatakan bahwa belajar merupakan
perubahan disposisi atau kecakapan manusia yang berlangsung dalam periode tertentu dan
perilaku itu tidak berasal dari proses pertumbuhan.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar berkaitan dengan perubahan
perilaku yang terjadi karena didahului oleh proses pengalaman dan perubahan perilaku
tersebut bersifat permanent. Ada seperangkat faktor yang memberikan kontribusi belajar
adalah kondisi internal dan eksternal pembelajar (Fitriyati, 2004: 11). Kondisi internal
mencakup kondisi fisik, seperti kesehatan tubuh; kondisi psikis, seperti kemampuan
intelektual, emosional; dan kondisi sosial, seperti kemampuan bersosialisasi dengan
lingkungan.

Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu struktur, isi, dan fungsi. Struktur atau skemata
merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia
berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin
pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi
adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual.
Fungsi itu sendiri terdiri dari organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan organisme
kemampuan untuk mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi
sitem-sistem yang teratur dan berhubungan.

Fungsi kedua yang melandasi perkembangan intelektual adalah adaptasi. Semua organisme
lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan
mereka. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang
lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang
sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Sedangkan dalam
proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam
mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya.
Pembelajaran

Pembelajaran adalah upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan,
potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi
optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa (Suyitno, 2004: 1).
Menurut Soedjadi (2000: 6) pembelajaran matematika adalah kegiatan pendidikan yang
menggunakan matematika sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Pembelajaran yang baik menurut aliran Gestlat yaitu suatu usaha untuk memberikan materi
pelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik mudah mengorganisasikannya (mengatur)
menjadi suatu pola bermakna (Max Darsono, 2000).

Pembelajaran bermakna pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam


lingkungan sekitar, memotivasi siswa untuk aktif, dan membarikan kebebasan siswa untuk
berkretivitas dalam melakukan pembelajaran secara optimal. Pengalaman adalah sebagai
sumber penngetahuan dan ketrampilan, bersifat pendidikan, yang merupakan satu kesatuan
tujuan murid (Oemar, 2005: 29).

Suatu proses pembelajaran dapat dikatakan efektif bila seluruh komponen yang berpengaruh
terhadap peoses pembelajaran dapat saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan.
Berdasarkan petunjuk pelaksanaan peoses pembelajaran. Depdikbud (1994) dilelaskan bahwa
komponen-komponen yang berpengaruh terhadap peoses pembelajaran meliputi siswa,
kurikulum, guru, metodologi, sarana prasarana dan lingkungan.

Ada seperangkat faktor yang memberikan kontribusi belajar adalah kondisi internal dan
eksternal pembelajar (Fitriyati, 2004: 11). Kondisi internal mencakup kondisi fisik, seperti
kesehatan tubuh; kondisi psikis, seperti kemampuan intelektual, emosional dan kondisi sosial,
seperti kemampuan bersosialisasi dengan lingkungan. Kesempurnaan dan kualitas kondisi
internal yang dimiliki oleh pembelajar akan berpengaruh terhadap kesiapan, prosesm dan
hasil belajar. Kondisi eksternal mencakup variasi dan kesukaran materi (stimulus) yang
dipelajari (direspon), tempat belajar, iklim, suasana lingkungan dan budaya belajar
masyarakat.

Motivasi Belajar

Menurut Catur (2003) Prinsip-prinsip belajar adalah hal-hal yang sangat penting yang harus
ada dalam proses belajar dan pembelajaran. Kalau hal-hal tersebut diabaikan dapat dipastikan
pencapaian hasil belajar tidak optimal. Prinsip-prinsip yang terkait dengan belajar terutama
berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

Faktor kesiapan baik fisik maupun psikologis merupakan kondisi awal suatu kegiatan belajar,
kondisi fisik yang tidak kondusif misalnya sakit dan kondisi psikologis yang kurang baik
misalnya gelisah, tertekan, tidak menguntungkan bagi kelancaran belajar.

1. Perhatian

Perhatian adalah pemusatan psikis tertuju pada suatu objek. Belajar sebagai suatu aktivitas
yang kompleks sangat membutuhkan perhatian dari siswa yang belajar.

2. Motivasi
Motivasi adalah motiv yang sudah menjadi aktif saat orang mekukan aktivitas. Siswa harus
mempunyai motivasi belajar sehingga belajar akan tercapai.

3. Keaktifan siswa

Yang mekukan kegiatan belajar adalah siswa, oleh karena itu siswa harus aktif . Dengan
bantuan guru siswa harus mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya.

4. Keterlibatan langsung siswa

Dalam kegiatan belajar dan pembelajaran siswa harus terlibat langsung, sehingga siswa akan
mudah memahami dan mengingat apa yang telah dipahami oleh siswa.

5. Pengulangan belajar

Materi pelejaran ada yang mudah dan ada yang sukar, untuk mempelajarinya siswa perlu
membaca, berfikir, mengingat dan mengadakan latihan. Dengan latihan berarti siswa
mengulang-ulang materi yang telah dipelajari sehingga materi tersebut makin mudah di ingat.

6. Materi pelajaran yang merangsang dan menantang

Keberhasilan belajar sangat dipengaruhi oleh rasa ingin tahu anak terhadap suatu persoalan.

7. Balikan dan penuatan terhadap siswa

Balikan adalah masukan yang sangat penting baik bagi siswa maupun guru. Penguatan adalah
suatu tindakan yang menyenagkan dari guru terhadap siswa yang telah berhasil melakukan
suatu perbuatan. Dengan penguatan diharapkan siswa termotivasi untuk mengulangi
perbuatan yang baik itu.

Pendekatan Pembelajaran Matematika

Suyitno, A (2006: 6) mengemukakan pendekatan pembelajaran adalah suatu prosedur yang


digunakan untuk mencapai tujuan pembelajarannya, yakni tercapainya kompetensi dasar yang
diharapkan. Ruseffendi dalam Fitriyati (2004: 9), mengemukakan bahwa pendekatan
pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijakan yang ditempuh guru atau siswa dalam
pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses atau materi
pembelajaran itu, umum atau khusus dikelola. Sedangkan Suherman, E (1994: 220)
menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran merupakan suatu konsep atau prosedur yang
digunakan dalam membahas suatu bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Soedjadi dalam Fitriyati (2004: 9), membedakan pendekatan pembelajaran matematika


menjadi dua, sebagai berikut.

1. Pendekatan materi (material approach), yaitu proses penjelasan topik matematika tertentu
menggunakan materi matematika lain.

Pendekatan pembelajaran (teaching approach), yaitu proses penyampaian atau penyajian


topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya.
Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

Pengertian Realistic Mathematics Education (RME) Kata realistik mengacu pada pendekatan
dalam pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Nederlands (Belanda) selama
kurang lebih 33 tahun, yang dimulai sekitar tahun 1970. pendekatan ini mengacu pada
pendapat Freudental (dalam Gravemeijer, 1994), yang menyatakan bahwa matematika harus
dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan suatu aktivitas manusia. Ini berarti
matematika harus dekat dengan siswa dan matematika harus dikaitkan dengan situasi
kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan matematika dapat diaplikasikan terhadap hal-hal
yang real bagi kehidupan manusia sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar
melakukan aktivitas pada topik-topik dalam matematika. Pendekatan yang semacam ini
dikatakan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)

Ada lima karakteristik Realistic Mathematics Education (RME) (Suyitno, 2004: 37) adalah

1. a) Penggunaan konteks real sebagai titik tolak belajar matematika.

Pembelajaran diawali dengan masalah yang kontekstual (nyata) yang berkaitan dengan materi
yang diajarkan pada siswa, masalah kontekstual tersebut dimulai dari masalah-masalah yang
sederhana dan dekat dengan siswa.

1. b) Penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum


menggunakan secara formal atau menggunakan rumus.

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan
sendiri oleh siswa, sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman
yang lain dengan menggunakan instrumen-instrumen vertikal seperti model-model, skema-
skema, diagram-diagram, simbol-simbol dan sebagainya (Eny,2004:14). Penyelesaian
masalah diselesaikan secara informal sesuai cara berfikir siswa, penyelesaian secara informal
yang dikerjakan siswa satu dengan yang lainnya berbeda kemudian diselesaikan dengan
menggunakan rumus.

c). Adanya upaya pengaitan sesama topik dalam pelajaran matematika

Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, oleh karena itu keterkaitan antar topik
harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran matematika yang lebih
bermakna.

Mengoptimalkan proses pembelajaran interaksi melalui siswa dengan siswa, siswa dengan
guru, dan siswa dengan sarana dan prasarana yang ada merupakan hal yang penting dalam
pembelajaran pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).

d). Adanya upaya untuk menghargai keberagaman jawaban siswa dan kontribusi siswa.

Kontribusi dari siswa pada proses pembelajaran sangat diharapkan, artinya semua usaha dan
pikiran siswa dalam konstruksi dan produksi pemecahan masalah perlu diperhatikan dan
dihargai
Pelaksanaan Realistic Mathematics Education (RME) di sekolah

Menurut Suyitno (2004) implementasi Realistic Mathematics Education (RME) disekolah


yaitu:

1. a) Guru menyiapkan 1 atau 2 soal realistik yang ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari
untuk dikerjakan secara informal atau coba-coba.
2. b) Guru mengumpulkan hasil pekerjaan siswa.
3. c) Guru mengoreksi hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada penghargaan terhadap
keberagaman jawaban siswa dan kontribusi siswa.
4. d) Guru dapat menyuruh beberapa siswa untuk menjelaskan temuannya di dalam kelas.
5. e) Dengan tanya jawab, guru dapat mungkin mengulang jawaban siswa.
6. f) Guru menunjukkan langkah formal yang diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut.

Menurut Fitriyati (2004: 18) Langkah-langkah pembelajaran Pendidikan matematika


Realistik adalah sebagai berikut.

Langkah 1: memahami masalah kontektual.

Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa
untuk memahami masalah tersebut. Langkah ini mengacu pada karakteristik pertama
pendidikan matematika realistik, yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai starting
point dalam pembelajaran.

Langkah 2: menjelaskan masalah kontektual.

Guru memberi penjelasan seperlunya terhadap bagian-bagian dari masalah (soal), yang belum
dipahami siswa. Langkah ini mengacu pada karakteristik ke empat, yaitu adanya interaksi
antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.

Langkah 3: menyelesaikan masalah kontektual.

Siswa secara individu menyelesaikan masalah kontektual dengan cara mereka sediri. Cara
pemecahan dan jawaban berbeda lebih diutamakan. Prinsip pendidikan matematika relistik
yang muncul dalam langkah ini adalah prinsip ketiga yaitu self developed models. Sedangkan
karakteristik dari pendidikan matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah
karakteristik kedua yaitu menggunakan model.

Langkah 4: membandingkan dan mendiskusikan jawaban.

Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan atau
mendiskusikan jawaban soal secara berkelompok dan selanjutnya memeriksa atau
memperbaiki dengan mendiskusikan di dalam kelas. Langkah ini akan melatih siswa untuk
mengeluarkan ide dan berinteraksi antar siswa dan siswa dengan guru sebagai pembimbing.
Karakteristik dari pendidikan matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah
karakteristik ketiga dan keempat, yaitu menggunakan kontribusi siswa dan interaksi antara
siswa yang satu dengan yang lain.

Langkah 5: menyimpulkan.
Dari hasil diskusi guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau
prosedur. Karakteristik dari pendidikan matematika realistik yang muncul pada langkah ini
adalah karakteristik keempat, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai
pembimbing.

Materi Pertidaksamaan

Dengan mengingat kembali pengetahuan tentang persamaan pada bab sebelumnya akan
memudahkan dalam memahami pertidaksamaan.

Jika tanda”=” pada persamaan diganti dengan salah satu dari tanda “>”, “ <”,”” atau “”, maka
diperoleh bentuk pertidaksamaan.sekarang kita akan memahami tentang beberapa bentuk
pertidaksamaan.

1. a) Pertidaksamaan Linier

Bentuk umum dari pertidaksamaan linier adalah:

f(x) > 0 f(x) 0

f(x) 0 f(x) 0

dan f(x) dalam bentuk linier.

Sifat-sifat :

Kedua ruas pertidaksamaan dapoat ditambah dengan bilangan yang sama

Kedua ruas pertidaksamaan dapat dikalikan dengan bilangan yang sama, jika dikalikan
dengan bilangan yang positif maka arah pertidaksamaan tetap , tetapi jika dikalikan dengan
bilangan negatif maka arah pertidaksamaan akan berubah.

Contoh :

Tentukan penyelesaian dari 3x + 4 > 10

Jawab :

3x + 4 > 10

3x + 4 – 4 >10 – 4

3x > 6

x>

x>2

b) Pertidaksamaan Kuadrat
Pengertian

Pertidaksamaan kuadrat adalah pertidaksamaan dengan salah satu atau kedua ruas
mengandung variabel dengan pangkat tertinggi (berderajat) dua.

Bentuk umum pertidaksamaan kuadrat:

ax2 + bx +c < 0

ax2 + bx +c 0

ax2 + bx +c 0

ax2 + bx +c 0,

dengan syarat dengan a, b , c 0

Contoh pertidaksamaan kuadrat:

1. 3x2 < 3x +2
2. 2x2 + 3x +1 0
3. 2x2 < 3x +3
4. 9x2 81
5. Penyelesaian Pertidaksamaan Kuadrat

Pertidaksamaan kuadrat dapat diselesaikan dengan bantua garis bilangan atau sketsa grafik.

Langkah-langkah:

1. Ubah ruas kanan menjadi nol, dengan cara menambah negatif pad kedua ruas suku-suku
ruas kanan.
2. Tentukan akar-akar/pembuat nol ruas kiri.
3. Lukis akar-akar pada garis bilangan.
4. Tentukan nilai-nilai x (+ atau -)pada setiap interval
5. tentukan HP, yaitu daerah yang nilainya memenuhi seperti yang diminta.
6. Kerangka berfikir

Sebaik apapun kurikulum dan bahan ajar yang diterapkan, belum tentu menjamin tercapainya
tujuan pendidikan matematika yang diinginkan. Salah satu faktor pneting untuk mencapai
tujuan pendidikan yang diinginkan adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan. Proses
pembelajaran yang baik yaitu pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam
lingkungan sekitar, memotivasi siswa untuk aktif, dan membarikan kebebasan siswa untuk
berkretivitas dalam melakukan pembelajaran secara optimal.

Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistic mathematics education (RME) yaitu


pembelajaran dengan mengaitkan konsep matematika dengan kehidupan nyata yang
menuntut keterlibatan siswa secara aktif, kreatif, dan terampil dalam menyelesaikan masalah
sehingga siswa mempunyai pengalaman dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri.
Pengalaman adalah sebagai sumber penngetahuan dan ketrampilan, bersifat pendidikan, yang
merupakan satu kesatuan tujuan murid (Oemar: 2005: 29). Kebebasan siswa dalam
berkreatifitas merupakan proses penalaran siswa dalam memecahkan masalah, semakin baik
kemampuan penalaran siswa, akan berdampak terhadap peningkatan hasil belajar siswa.

1. Hipotesis Tindakan

Dari beberapa teori pendukung dan kerangka berfikir di atas dapat dirumuskan suatu
hipotesis yaitu pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) dapat meningkatkan hasil belajar dan aktifitas belajar siswa kelas X SMA
N 4 Ambon

1. Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan
hasil belajar siswa yaitu siswa dikatakan tuntas belajar memperoleh nilai ≥ 6,5 dan ketuntasan
klasikal 70%.

BAB III

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan melibatkan satu kelompok. Kelompok
eksperimen dalam penelitian ini adalah kelas yang diajar dengan menggunakan pendekatan
Realistic Mathematics Education (RME).

1. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Penelitian: Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran
2013/2014.
2. Lokasi Penelitian:Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 4 Ambon..

Populasi dan Sampel

1. Populasi: Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 4 Ambon
pada tahun ajaran 2013/2014
2. Sampel: Sampel dalam penelitian ini adalah 20 orang siswa kelas X SMA Negeri 4 Ambon.

Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri 4
Ambon tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 20 orang.

Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pendekatan Realistic Mathematik Education
(RME).

2. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah materi pertidaksamaan.

Instrument Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar matematika, lembar
pengamatan aktivitas siswa, lembar aktivitas guru selama pembelajaran, dan respon siswa
terhadap kegiatan pembelajaran melalui angket.

1. Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar (THB) digunakan untuk memperoleh informasi tentang penguasaan siswa
terhadap materi setelah pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian ini tes hasil belajar
dilaksanakan dalam satu waktu yaitu post-test. Post-test digunakan untuk mengetahui hasil
belajar matematika siswa setelah diberikan perlakuan. Pemberian skor pada hasil tes ini
menggunakan skala berdasarkan teknik kategorisasi standar yang ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Sanimbar, 2011) yaitu: a. Kemampuan 85 % – 100
% atau skor 85 – 100 dikategorikan sangat tinggi. b. Kemampuan 65 % – 84 % atau skor 65 –
84 dikategorikan tinggi. c. Kemampuan 55 % – 64 % atau skor 55 – 64 dikategorikan sedang.
d. Kemampuan 35 % – 54 % atau skor 35 – 54 dikategorikan rendah. e. Kemampuan 0 % –
34 % atau skor 0 – 34 dikategorikan sangat rendah.

2. Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa

Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa selama proses
pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).
Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
menentukan efektifitas suatu pembelajaran.

1. Tugas dan Reaksi Tugas


2. Keterampilan melaksanakan tugas belajar di rumah.
3. Keterampilan membuat rangkuman dari tugas yang diberikan.
4. Keterampilan membuat pertanyaan berkualitas yang dimunculkan (jumlah pertanyaan).
5. Keterampilan membuat daftar pertanyaan yang berkualitas.

1. Partisipasi Mengawali Pembelajaran.

1. Keterampilan mengikuti jalannya pembelajaran (proses kesiapan).


2. Keterampilan mengungkapkan pendapat (bertanya/menjawab pertanyaan).
3. Keterampilan memecahkan masalah yang ada.
1. Partisipasi dalam Proses Pembelajaran.
4. Keterampilan bekerja sama dengan teman.
5. Keterampilan beradaptasi dengan teman.
6. Keterampilan dalam menjawab pertanyaan (kesiapan).
7. Keterampilan mengatasi masalah.
8. Keterampilan dalam memberi kesempatan teman kelompok untuk aktif.
9. Keterampilan berperan sebagai pemimpin dalam kelompok.
1. Menutup Jalannya Pembelajaran.
10. Keterampilan merangkum hasil pembelajaran.
11. Keterampilan menutup kegiatan.
12. Lembar Pengamatan Aktivitas Guru Selama Pembelajaran
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas guru selama proses
pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).
Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini kemudian digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk menentukan efektifitas suatu pembelajaran. Dalam penelitian ini aspek
yang diamati adalah:

1. Menyampaikan tujuan pembelajaran


2. Memotivasi siswa
3. Mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan materi prasyarat
4. Mempresentasikan materi pokok yang mendukung tugas belajar kelompok dengan cara
demonstrasi
5. Mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar
6. Membimbing kelompok pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME) dalam bekerja dan belajar.

4. Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

Data respon siswa terhadap kegiatan diperoleh melalui angket. Angket tersebut diisi oleh
siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) dan selanjutnya data ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
menentukan efektifitas suatu pembelajaran. Respon siswa yang ditanyakan meliputi pendapat
maupun komentar siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME).

1. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap Tahun Ajaran 2013/2014, dengan tiga tahap
yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data.

1. Tahap persiapan

Adapun kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah: a. Mempersiapkan perangkat
pembelajaran matematika yang berhubungan dengan materi pelajaran. b. Mempersiapkan
instrument penelitian. c. Mempersiapkan observer.

2. Tahap pelaksanaan

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang
telah disusun dalam rencana program pembelajaran.

3. Tahap analisis data

Kegiatan pada tahap ini adalah menganalisis data yang diperoleh dari tahap pelaksanaan.
Data-data yang dianalisis adalah data-data yang berupa data kuantitatif maupun data
kualitatif.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis terhadap keefektifan
pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME),
didukung oleh hasil analisis data dari 4 komponen keefektifan, yaitu: (1) hasil belajar siswa
atau ketuntasan klasikal, (2) aktivitas siswa, (3) respon siswa, dan (4) aktivitas guru. Kegiatan
analisis data terhadap keempat komponen itu adalah sebagai berikut:

1. Analisis data hasil belajar siswa

Data tentang hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik
deskriptif yaitu skor rata-rata dan standar deviasi, median, frekuensi, persentase, nilai
terendah dan nilai tertinggi yang dicapai oleh siswa.

2. Analisis Data Aktivitas Siswa

Data hasil pengamatan aktivitas siswa meliputi menghitung frekuensi rata-rata aspek tiap
pertemuan dilakukan dengan cara menjumlahkan frekuensi aspek yang dimaksud dibagi
banyak siswa yang diamati. Selanjutnya menghitung persentase aspek tiap pertemuan
dilakukan dengan cara membagi frekuensi rata-rata aspek tiap pertemuan dengan jumlah
frekuensi semua aspek pada pertemuan tersebut dan dikalikan 100%. Indikator keberhasilan
aktivitas siswa dalam penelitian ini ditunjukkan dengan sekurang-kurangnya 75% siswa
terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

3. Analisis Data Aktivitas Guru

Data hasil pengamatan aktivitas guru meliputi menghitung frekuensi rata-rata aspek tiap
pertemuan dilakukan dengan cara menjumlahkan frekuensi aspek yang dimaksud dibagi
banyak aspek yang diamati. Selanjutnya menghitung persentase aspek tiap pertemuan
dilakukan dengan cara membagi frekuensi rata-rata aspek tiap pertemuan dengan jumlah
frekuensi semua aspek pada pertemuan tersebut dan dikalikan 100%. Indikator keberhasilan
aktivitas guru dalam penelitian ini ditunjukkan dengan sekurang-kurangnya 75% siswa
terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

2. Analisis Respons Siswa

Kegiatan yang dilakukan untuk menganalisis data respons siswa adalah sebagai berikut:

1. Menghitung banyak siswa yang memberi respons positif sesuai dengan aspek yang
ditanyakan
2. Menghitung persentase dari (1)
3. Menentukan kategori untuk respon positif siswa dengan mencocokkan hasil persentase
dengan kriteria yang ditetapkan.
4. Jika hasil analisis menunjukkan bahwa respon siswa belum positif, maka dilakukan revisi
terhadap perangkat yang tengah dikembangkan. Kriteria yang ditetapkan dalam penelitian
ini adalah 80% siswa yang memberi respon yang positif.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2001. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

Arikunto, S. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Depdiknas – Pusat Kurikulum – Balitbang 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata


Pelajaran Matematika. Jakarta.

Jacobs, H.R. 1982. Mathematics, A Human Endeavor (2nd Ed). San Fransisco: W.H. Freeman
and Company.

Karaf, G. 1982. Argumen dan Narasi. Komposisi Lanjutan III. Jakarta: Gramedia.Shodi,
Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah disampaikan pada
Diklat instruktur/pengembang matematika SMA jenjang dasar, tanggal 6 s.d. 19 Agustus di
PPPG Matematika.

Suyitno, Amin. 2006. Dasar-Dasar dan Proses Pembelajaran Matematika 1. Jurusan


Matematika FMIPA UNNES.

Asikin, M dan Fakhrudin, 2004.Matematika SMA kelas X. Perusda Percetakan Kota


Semarang. semarang.

You might also like