You are on page 1of 7

AGAMA SEBAGAI KEBUTUHAN MANUSIA

Desember 16, 2009, 10:58 am


Filed under: Karya Ilmiah

Agama sebagai Kebutuhan Manusia

Oleh; Mufdil Tuhri[1]

Abstrak

Menurut sejarah, agama tumbuh bersamaan dengan berkembangnya


kebutuhan manusia. Salah satu dari kebutuhan itu adalah kepentingan
manusia dalam memenuhi hajat rohani yang bersifat spritual, yakni sesuatu
yang dianggap mampu memberi motivasi semangat dan dorongan dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, unsur rohani yang dapat memberikan
spirit dicari dan dikejar sampai akhirnya mereka menemukan suatu zat
yang dianggap suci, memiliki kekuatan, maha tinggi dan maha kuasa.
Sesuai dengan taraf perkembangan cara berpikir mereka, manusia mulai
menemukan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan. Dapatlah dimengerti
bahwa hakikat agama merupakan fitrah naluriah manusia yang tumbuh dan
berkembang dari dalam dirinya dan pada akhirnya mendapat pemupukan
dari lingkungan alam sekitarnya.[2]

Manusia juga disebut sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT
dengan potensi untuk berbuat kebaikan dan keburukan. Dalam bahasa Al-
Qur’an ini dikenal denganNafs. Disebutkan bahwa, potensi Positif yang
dimiliki manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, tetapi daya tarik
keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Manusia dituntut untuk
memelihara dirinya dari kecendrungan-kecendrungan untuk berperilaku
negatif maka pada saat itu pula manusia memerlukan agama yang
sejatinya menjadi kebutuhan manusia.[3]

Disamping itu, Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi


berbagai tantangan, baik yang datang dari luar maupun yang datang dari
dalam maka, pada saat itu pula pengaruh-pengaruh negatif cenderung
memalingkan manusia dari Tuhan. maka, tiada lain yang dibutuhkan
manusia pada saat itu ketaatan dalam beragama yang akan membentengi
godaan dan tantangan hidup yang demikian ini.

Keyword: Faith, Human, needs


I. Agama dalam berbagai definisi

Agama adalah salah satu istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa sanskerta. Istilah ini terambil dari dua kata yaitu a dan gam.
A diartikan kesini, tidak danGam diartikan Gaan, go, gehen, berjalan-
jalan. jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama
memang mempunyai sifat yang demikian. Sehingga secara istilah Agama
bisa disimpulkan sebagai Peraturan-peraturan Tradisional, ajaran-ajaran,
dan kumpulan hukum-hukum. Pendeknya, apasaja yang turun temurun dan
ditentukan oleh adat Istiadat.[4]

Dalam Masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal juga


kata Din dalam bahasa arab, dan Religi dalam Bahasa Eropa.
Kata Dîn dalam bahasa Al-Quran, seringkali dipersamakan dengan
kata agama. Kata tersebut terdiri dari tiga
hurufhija’iyah yaitu dâl, yâ’, dan nûn. Bagaimanapun cara anda
membacanya, maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua
pihak, yang satu lebih tinggi kedudukannya dari yang lain.
Seperti dain yang berarti utang, atau dîn yang
berartibalasan dan kepatuhan, serta hubungan antara manusia di tempat
rendah dengan Allah Yang Maha Tinggi.[5] Dalam bahasa Semit berarti
undang-undang atau hukum.

Adapun kata religi berasal dari bahasa latin menurut satu pendapat
demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal
kata religi adalah relegre yang mengandung arti mengumpulkan dan
membaca. Pengertian demikian itu juga sejarah dengan isi agama yang
mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang
berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat
lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti mengikat ajaran-ajaran
agama memang mengikat manusia dengan Tuhan.[6]

Para pakar mendefinisikan agama dalam berbagai macam pengertian


sebut saja John Locke ( 1632-1704 M.), yang menyatakan bahwa “Agama
bersifat khusus, pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi yang
lain dariku, memberi aku petunjuk, jika jiwaku sendiri enggan menerima
petunjuk itu.”
Memang, sebagian pakar telah berusaha menggambarkannya. “Agama
adalah pengetahuan tentang Tuhan dan upaya meneladani-Nya,” kata
Seneque (2-66 M). “Agama adalah pengabdian kemanusiaan,” kata
Auguste Comte (1798-1857 M). “Agama adalah sekumpulan petunjuk
Ilahi yang disampaikan melalui nabi/rasul untuk menjadi pedoman hidup
bagi manusia dan mengantar penganutnya meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat,” demikian tulis Mahmud Syaltut ( 1960 M). “Beragama adalah
menjadikan semua kewajiban kita adalah perintah-perintah Tuhan yang
suci dan harus dilaksanakan,” begitu menurut Immanuel Kant (1724-1804
M).[7]

Dari berbagai macam pengertian diatas maka, Quraish Shihab


menyimpulkan bahwa agama adalah adalah hubungan yang dirasakan
antara jiwa manusia dan satu kekuatan yang Maha Dahsyat, dengan sifat-
sifat-Nya yang amat indah dan sempurna, dan mendorong jiwa itu untuk
mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pengabdian itu dilakukan
baik karena takut maupun karena berharap memperoleh kasih-Nya yang
khusus, atau bisa juga karena dorongan kagum dan cinta. Jika demikian,
untuk bisa disebut “beragama”, maka paling tidak ada tiga hal yang harus
terpenuhi.

Pertama: Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang


Maha Agung, Yang mencipta dan mengatur alam raya. Kehadiran-Nya itu
bersifat sinambung, bukan saja pada saat seseorang berada di tempat
suci, tetapi setiap saat, baik ketika manusia sadar, maupun saat ia terlena
atau tidur; saat ia hidup di dunia ini, maupun setelah kematiannya.

Kedua: Lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan


kekuatan tersebut, suatu hubungan yang terpantul dalam ketaatan
melaksanakan apa yang diyakini sebagai perintah atau kehendak-Nya,
serta menjauhi larangan-Nya

Ketiga: Meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti
akan memberi balasan dan ganjaran sempurna pada waktu yang
ditentukan-Nya. Dengan kata lain, keyakinan ini merupakan cerminan
kepercayaan tentang adanya hari pembalasan, hari kemudian.[8]

II. Kebutuhan Manusia terhadap Agama

1. Agama Sebagai Fitrah


Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang
melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya)
Demikian dipahami dari firman Allah SWT dalam surat Al-Rum (30): 30.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan


bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama
yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.

Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak


Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka
menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan’” (QS Al-A’raf
[7]: 172).

Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Pada
hakikatnya pula, Manusia tidak secara fitri merupakan makhluk yang
memiliki kemampuan untuk beragama. Hal ini sejalan pula dalam Hadits
Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan
memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut Yahudi, Nashrani atu Majusi. Tuhan
menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya.
Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama –boleh jadi
sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum
ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu .

Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini
dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Manusia Primitif yang
kepadanya tidak pernah datang informasi mengenal tuhan, ternyata
mereka mempercayai adanya tuhan sekalipun terbatas daya khayalnya.
Selanjutnya, keyakinan-keyakinan tersebut dikenal dengan istilah
Dinamisme[9], Animisme[10], dan Politeisme[11] -lebih lanjut lihat Harun
Nasution dalam Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-, ini semua
membuktikan bahwa manusia mempunyai potensi bertuhan.
Lebih lanjut, Murthada Muthahhari menyebutkan bahwa setidaknya ada 5
Hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama pada manusia.
Yaitu Agama produk rasa takut, Agama adalah produk kebodohan, agama
sebagai motivasi keterikatan manusia dan pendambaannya kepada
keadilandan keteraturan, dan Marxisme.[12]

Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama


adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama.
Potensi yang beragama ini memerlukan pembiasaan, pengarahan,
pengambangan dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama
kepadanya. Dalam keadaan demikian, Islam mengenal adanya nabi dan
rasul yang diutus kepada umat manusia untuk menginformasikan bahwa
tuhan yang mereka cari itu adalah Allah, yakni Tuhan yang menciptakan
dan wajib disembah. Dengan demikian sebutan Allah bagi tuhan bukanlah
khayalan bagi manusia.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia.

Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah


karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki
kekurangan. Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang
terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di alam ini, akan tetapi
mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan karena terbatasnya
kemampuan tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa manusia menjadi
lemah karena di dalam dirinya ada hawa nafsu yang lebih cenderung
mengajak kepada kejahatan, sesudah itu ada lagi iblis yang selalu
berusaha menyesatkan manusia dari kebenaran dan kebaikan. Manusia
hanya dapat melawan musuh-musuh ini hanya dengan senjata agama.

Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia itu telah


diciptakan-nya dengan batas-batas tertentu dan dalam keadaan lemah.
Dalam QS. Al-Qomar : 49.

“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk manusia) telah kami ciptakan


dengan ukuran (batas) tertentu”

Dalam literatur Teologi Islam kita jumpai pandangan kaum mu’tazilah yang
rasionalis, karena banyak mendahuluka pendapat akal dalam memperkuat
argumentasinya dari pada wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa
manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang mengetahui
yang baik dan yang buruk tetapi tidak semua yang baik dan yang buruk
dapat diketahui oleh akal. Dalam hubungan inilah,kaum mu’tazilah
mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar
kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang
datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak
langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.[13]

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya itu dan keluar dari


kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali melalui petunjuk
wahyu dan agama .

3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah
karena manusia adalah karena manusia adalah dalam kehidupan
senantiasa menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari
luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan
bisikan syetan sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan
upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin
memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan
biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanipestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yang didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari
Tuhan.

Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya, berbagai bentuk
budaya, hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan
sengaja. Untuk itu upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia
adalah dengan mengejar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan
dan tantangan hidup demikian itu saat ini semakin meningkat sehingga
upaya mengamankan masyarakat menjadi penting.

Kesimpulan

Begrson (1859-1941) mengatakan bahwa kita akan menemukan


masyarakat manusia tanpa sains, seni dan filsafat tapi tidak pernah ada
yang tanpa agama. Agama dalam hal ini diyakini sebagai pembawaan dan
kebutuhan dasar manusia yang terus berkembang dalam beragam
bentuk.[14] Sejak awal, Islam juga meyakini bahwa kesadaran agama telah
ada dalam diri individu manusia.

Inilah Indikasi yang menyebutkan bahwa Agama pada dasarnya adalah


kebutuhan Manusia.

You might also like