Professional Documents
Culture Documents
Tata laksana diet pada balita berat/gizi buruk ditujukan untuk memberikan
makanan tinggi energi, tinggi protein serta cukup vitamin dan mineral secara bertahap,
guna mencapai status gizi optimal.
Ada 4 kegiatan penting dalam tata laksana diet, yaitu pemberian diet, pemantauan dan
evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut :
1) Pemberian Diet Pemberian diet pada berat/gizi buruk harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a) Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode
rehabilitas.
b) Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
c) Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
d) Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberian
bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut :
Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam
Sumber Cuprum : tiram, daging, hati
Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
Sumber Magnesium : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam,
Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat,
bayam, daging tanpa lemak.
e) Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi
f) Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik (NGT)
g) Porsi makanan kecil dan frekuensi makan sering
h) Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan rendah serat
i) Meneruskan pemberian ASI
j) Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu: BB<7 kg diberikan
kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara
bertahap.
k) Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi.
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular
dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris. H, 2006).
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), balita adalah istilah umum bagi anak
usia 1−3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3−5 tahun).
Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun
disebut batita atau toddler dan anak usia 3 sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah atau
preschool child.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita
apabila anak berusia 12 bulan sampai dengan 59 bulan.
KARAKTERISTIK BALITA
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1–3 tahun (batita)
dan anak usia prasekolah. Anak usia 1−3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar
dari masa usia pra- sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun
perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam
sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang
diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering pada usia pra-sekolah anak menjadi
konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya.
Anak usia 1 sampai 3 tahun akan mengalami pertumbuhan fisik yang relatif melambat,
namun perkembangan motoriknya akan meningkat cepat (Hatfield, 2008). Pada masa ini berat
badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan
pemilihan maupun penolakan terhadap makanan.
Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup
sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan
mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap
ajakan.
Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa
melalui tiga pola yang sama, yakni (Hartono, 2008):
a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha
menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah anak akan
lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia
mampu meraih benda dengan jemarinya.
c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi keterampilan-
keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-lain.
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar jumlah, ukuran
atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram,
pound, kilogram), ukuran panjang (cm,meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi
kalsium dan nitrogen tubuh); sedangkan perkembangan (development) adalah bertambahnya
kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur
dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. (Soetjiningsih. 1998 )
Pertumbuhan adalah bertambah banyak dan besarnya sel seluruh bagian tubuh yang
bersifat kuantitatif dan dapat diukur; sedangkan perkembangan adalah bertambah sempurnanya
fungsi dari alat tubuh. ( Depkes RI )
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau
dimensi tingkat sel, organ maupun individu; perkembangan lebih menitikberatkan aspek
perubahan bentuk atau fungsi pematangan organ atau individu, termasuk perubahan aspek sosial
atau emosional akibat pengaruh lingkungan. (Markum,1991)
PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL FREUD
Pada teori Psikoanalisa ini Freud membagi tahapan-tahapan perkembangan kehidupan
manusia menjadi lima fase, yaitu fase oral, fase anal, fase phalic, fase latency dan fase genital.
(wong 2009)
Tahapan perkembangan diatas akan dijelaskan sebagaimana berikut :
1. Fase Oral ( 0 – 1 tahun )
Adalah masa dimana kepuasan baik fisik dan emosional berfokus pada daerah
sekitar mulut. Kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan yang paling penting untuk
faktor fisik dan emosional yang sifatnya harus segera dipuaskan. Makan/minum menjadi
sumber kenikmatannya. Kenikmatan atau kepuasan diperoleh dari rangsangan terhadap
bibir-rongga mulut-kerongkongan, tingkah laku menggigit dan menguyah (sesudah gigi
tumbuh), serta menelan dan memuntahkan makanan (kalau makanan tidak memuaskan).
Kenikmatan yang diperoleh dari aktivitas menyuap/menelan (oral incorforation) dan
menggigit (oral agression). Dimasa ini id dan pemenuhan kebutuhan sesegera mungkin
berperan sangat dominan.
2. Fase Anal (1 – 3 tahun)
Adalah masa dimana sensasi dari kesenangan berpusat pada daerah sekitar anus
dan segala aktivitas yang berhubungan dengan anus. Pada masa inilah anak mulai
dikenalkan dengan “toilet training”, yaitu anak mulai diperkenalkan tentang rasa ingin
buang air besar atau kecil. Anak diperkenalkan dan diberi pembiasaan tentang kapan
saatnya dan dimana tempatnya untuk buang air besar atau kecil, dan juga mengeliminasi
kebiasaan – kebiasaan anak yang kurang tepat dalam hal BAB dan BAK, misalnya BAB /
BAK di celana.
Contoh : ketika anak sudah menunjukkan gejala atau bahasa tubuh ingin BAB / BAK,
orang tua / guru / orang dewasa segera mengantarkan anak ke kamar kecil, prilaku ini
dilakukan berulang – ulang dan konsisten.
Berasal dari fase anal, dampak toilet training terhadap kepribadian di masa depan
tergantung kepada sikap dan metode orang tua dalam melatih. Misalnya, jika ibu terlalu
keras, anak akan menahan facesnya dan mengalami sembelit. Ini adalah prototip tingkah
laku keras kepala dan kikir (anal retentiveness personality). Sebaliknya ibu yang
membiarkan anak tanpa toilet training, akan membuat anak bebas melampiaskan
tegangannya dengan mengelurkan kotoran di tempat dan waktu yang tidak tepat, yang di
masa mendatang muncul sebagai sifat ketidakteraturan/jorok, deskruktif, semaunya
sendiri, atau kekerasan/kekejaman (anal exspulsiveness personality). Apabila ibu bersifat
membimbing dengan kasih sayang (dan pujian kalau anak defakasi secara teratur), anak
mendapat pengertian bahwa BAB/BAK kapan saatnya dan dimana tempatnya untuk
buang air besar atau kecil dengan tepat.
A.Markum, A.H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.