You are on page 1of 14

5.

PENCEGAHAN PADA ANEMIA


A. Primer
a) Pendidikan
Pendidikan dan upaya yang ada kaitannya dengan peningkatan asupan zat besi
melalui makanan Konsumsi tablet zat besi dapat menimbulkan efek samping yang
mengganggu sehingga orang cenderung menolak tablet yang diberikan. Agar mengerti, harus
diberikan pendidikan yang tepat misalnya tentang bahaya yang mungkin terjadi akibat
anemia, dan harus pula diyakinkan bahwa salah satu penyebab anemia adalah defisiensi zat
besi.
Asupan zat besi dari makanan dapat ditingkatkan melalui tiga cara :
 Pemastian konsumsi makanan yang cukup mengandung kalori sebesar yang semestinya
dikonsumsi.
 Meningkatkan ketersediaan hayati zat besi yang dimakan, yaitu dengan jalan
mempromosikan makanan yang dapat memacu dan menghindarkan pangan yang bisa
mereduksi penyerapan zat besi.
 Peningkatan gizi berupa makan makanan yang mengandung vitamin zat bezi, seperti
sayur-sayuran (bayam, kangkung, jagung), telur, kismis.
b) Pola istirahat
Mengacu pada kegiatan/aktifitas yang mengakibatkan tubuh mengalami/beresiko
terkena anemia.menghindari kondisi dimana tubuh mengalami gangguan pembentukan
sel darah merah.dan istirahat yang dianjurkan adalah minimal 8 jam per hari.
c) Pola Hidup
menjaga agar sedikitnya jumlah hemoglobin dalam eritrosit. Kekurangan
hemoglobin ini menyebabkan kemampuan darah mengikat oksigen berkurang.
d) Pola Aktifitas
Menjaga kondisi dimana tubuh kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis
eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari
beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat,
dan sebagainya. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang
membutuhkan oksigen. Melakukan tes darah secara rutin untuk melihat profil darah dan
mencegah terjadinya anemia.

e) Melakukan tes laboratorium


Mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga bisa membedakan antara
anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata kadar vitamin B12 normal, maka
dapat dilakukan pemberian asam folat dengan dosis 0,1-1,0 mg/hari.
B. Sekunder
a. Pengawasan penyakit infeksi
Pengobatan yang efektif dan tepat waktu dapat mengurangi dampak gizi yang
tidak diingini. Meskipun, jumlah episode penyakit tidak berhasil dikurangi, pelayanan
pengobatan yang tepat telah terbukti dapat menyusutkan lama serta beratnya infeksi.
Tindakan yang penting sekali dilakukan selama penyakit berlangsung adalah mendidik
keluarga penderita tentang cara makan yang sehat selama dan sesudah sakit. Pengawasan
penyakit infeksi memerlukan upaya kesehatan seperti penyediaan air bersih, perbaikan
sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan. Jika terjadi infeksi parasit, tidak bisa
disangkal lagi, bahwa cacing tambang (Ancylostoma dan Necator) serta Schistosoma
yang menjadi penyebabnya. Sementara peran parasit usus yang lain terbukti sangat kecil.
Ada banyak bukti tertulis, bahwa parasit parasit dalam jumlah besar dapat menggaggu
penyerapan berbagai zat gizi. Karena itu, parasit harus dimusnahkan secara rutin.
Bagaimanapun juga, jika pemusnahan parasit usus tidak dibarengi dengan langkah
pelenyapan sumber infeksi, reinfeksi dapat terjadi sehingga memerlukan obat lebih
banyak. Pemusnahan cacing itu sendiri dapat efektif dalam hal menurunkan parasit, tetapi
manfaatnya di tingkat hemoglobin sangat sedikit. Jika asupan zat besi bertambah, baik
melalui pemberian suplementasi maupun fortifikasi makanan, kadar hemoglobin
akan bertambah meskipun parasitnya sendiri belum tereliminasi.
b. Fortifikasi makanan pokok dengan zat besi
Fortifikasi makanan yang banyak dikonsumsi dan yang diproses secara terpusat
merupakan inti pengawasan anemia di berbagai negara. Fortifikasi makanan merupakan
salah satu cara terampuh dalam pencegahan defisiensi zat besi. Di negara industri, produk
makana fortifikasi yang lazim adalah tepung gandum serta roti makanan yang terbuat dari
jagung dan bubur jagung. Di negara sedang berkembang lain telah dipertimbangkan
untuk memfortifikasi garam, gula, beras dan saus ikan.
c. Tranfusi Darah
Suatu tindakan medis yang bertujuan mengganti kehilangan darah pasien. Darah
yang tersimpan di dalam kantong darah dimasukan ke dalam tubuh melalui selang infus.
d. Pemberian tablet atau suntikan zat besi
Pemberian tablet tambah darah pada pekerja atau lama suplementasi selama 3- 4
bulan untuk meningkatkan kadar hemoglobin, karena kehidupan sel darah merah hanya
sekitar 3 bulan atau kehidupan eritrosit hanya berlangsung selama 120 hari, maka 1/20
sel eritrosit harus diganti setiap hari atau tubuh memerlukan 20 mg zat besi perhari.
Tubuh tidak dapat menyerap zat besi (Fe) dari makanan sebanyak itu setiap hari, maka
suplementasi zat besi tablet tambah darah sangat penting dilakukan. Suplementasi
dijalankan dengan memberikan zat gizi yang dapat menolong untuk mengoreksi keadaan
anemia gizi. Karena menurut hasil penelitian anemia gizi di Indonesia sebagian besar
disebabkan karena kekurangan zat besi.
e. Melakukan tes laboratorium
Mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga bisa membedakan antara
anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata kadar vitamin B12 normal, maka
dapat dilakukan pemberian asam folat dengan dosis 0,1-1,0 mg/hari. f). Suplemen asam
folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
C. Tersier
a. pemberian suntikan untuk menghentikan pendarahan Pemberian suntikan untuk
menghentikan pendarahan seperti vitmin B12 atau B kompleks.
b. Mengonsumsi bahan makanan sumber utama zat besi, asam folat, vitamin B6, dan
vitamin B12 seperti daging dan sayuran sesuai kecukupan gizi yang dianjurkan.
c. Melakukan tes laboratorium untuk mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga
bisa membedakan antara anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata kadar
vitamin B12 normal, maka dapat dilakukan pemberian asam folat dengan dosis 0,1-
1,0 mg/hari.
d. Mengkonsumsi Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah
merah.
e. Menjaga kondisi dimana tubuh kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis
eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat
dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik,
keracunan obat, dan sebagainya. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau
aktivitas yang membutuhkan oksigen.
6. PENATALAKSANAAN KASUS GIZI BURUK DAN ANEMIA PADA BALITA
a. Penatalaksanaan Gizi

Tata laksana diet pada balita berat/gizi buruk ditujukan untuk memberikan
makanan tinggi energi, tinggi protein serta cukup vitamin dan mineral secara bertahap,
guna mencapai status gizi optimal.

Ada 4 kegiatan penting dalam tata laksana diet, yaitu pemberian diet, pemantauan dan
evaluasi, penyuluhan gizi, serta tindak lanjut :
1) Pemberian Diet Pemberian diet pada berat/gizi buruk harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a) Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode
rehabilitas.
b) Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
c) Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
d) Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberian
bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut :
 Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam
 Sumber Cuprum : tiram, daging, hati
 Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
 Sumber Magnesium : daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam,
 Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat,
bayam, daging tanpa lemak.
e) Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi
f) Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik (NGT)
g) Porsi makanan kecil dan frekuensi makan sering
h) Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan rendah serat
i) Meneruskan pemberian ASI
j) Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu: BB<7 kg diberikan
kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara
bertahap.
k) Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi.

2) Evaluasi dan Pemantauan Pemberian Diet.


a) Pemeriksaan BB sekali seminggu: Bila tidak naik, kaji penyebab antara lain: masukkan zat gizi tidak
adekuat, defisiensi zat tertentu, misalnya iodium, adanya infeksi, adanya masalah psikologi
b) Pemeriksaan laboratorium: Hb, Gula darah, feses (adanya cacing), dan urin
c) Masukan zat gizi: bila kurang, modifikasi diet sesuai selera
d) Kejadian diare: gunakan formula rendah atau bebas laktosa dan hiperosmolar, misal: susu rendah
laktosa, tempe, dan tepung-tepungan
e) Kejadian hipoglikemi: beri minum air guila atau makan setiap 2 jam

3) Penyuluhan Gizi di Rumah Sakit


a) Menggunakan leaflet khusus yang berisi: jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian makanan
b) Selalu memberikan contoh menu
c) Mempromposikan ASI
d) Memperhatikan riwayat gizi
e) Mempertimbangkan sosial-ekonomi keluarga
f) Memberikan demonstrasi atau praktek memasak makanan balita untuik ibu
4) Tindak lanjut
a) Merujuk ke puskesmas
b) Merencanakan dan mengikuti kunjungan rumah
c) Merencanakan pemberdayaan keluarga

b. Penatalaksanaan Anemia pada Balita


Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang
hilang:
1) Anemia aplastik:
a) Transplantasi sumsum tulang
b) Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)
2) Anemia pada penyakit ginjal
a) Pada pasien dialisis harus ditangani dengan pemberian besi dan asam folat
b) Ketersediaan eritropoetin rekombinan
3) Anemia pada penyakit kronis
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan penanganan
untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan yang mendasarinya, besi
sumsum tulang dipergunakan untuk membuat darah, sehingga Hb meningkat.
4) Anemia pada defisiensi besi
a) Dicari penyebab defisiensi besi
b) Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan fumarat
ferosus.
5) Anemia megaloblastik
a) Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12, bila difisiensi
disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak tersedianya faktor intrinsik dapat
diberikan vitamin B12 dengan injeksi IM.
b) Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12 harus diteruskan selama
hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat
dikoreksi.
c) Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet dan penambahan asam
folat 1 mg/hari, secara IM pada pasien dengan gangguan absorbsi.
7. KARAKTERISTIK DAN TUMBUH KEMBANG BALITA
PENGERTIAN BALITA

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular
dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris. H, 2006).

Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), balita adalah istilah umum bagi anak
usia 1−3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3−5 tahun).

Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun
disebut batita atau toddler dan anak usia 3 sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah atau
preschool child.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita
apabila anak berusia 12 bulan sampai dengan 59 bulan.

KARAKTERISTIK BALITA

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1–3 tahun (batita)
dan anak usia prasekolah. Anak usia 1−3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar
dari masa usia pra- sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun
perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam
sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang
diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering pada usia pra-sekolah anak menjadi
konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya.

Anak usia 1 sampai 3 tahun akan mengalami pertumbuhan fisik yang relatif melambat,
namun perkembangan motoriknya akan meningkat cepat (Hatfield, 2008). Pada masa ini berat
badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan
pemilihan maupun penolakan terhadap makanan.

Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup
sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan
mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap
ajakan.

Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa
melalui tiga pola yang sama, yakni (Hartono, 2008):

a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha
menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah anak akan
lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia
mampu meraih benda dengan jemarinya.
c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi keterampilan-
keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-lain.

KONSEP TUMBUH KEMBANG

Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar jumlah, ukuran
atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram,
pound, kilogram), ukuran panjang (cm,meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi
kalsium dan nitrogen tubuh); sedangkan perkembangan (development) adalah bertambahnya
kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur
dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. (Soetjiningsih. 1998 )

Pertumbuhan adalah bertambah banyak dan besarnya sel seluruh bagian tubuh yang
bersifat kuantitatif dan dapat diukur; sedangkan perkembangan adalah bertambah sempurnanya
fungsi dari alat tubuh. ( Depkes RI )

Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau
dimensi tingkat sel, organ maupun individu; perkembangan lebih menitikberatkan aspek
perubahan bentuk atau fungsi pematangan organ atau individu, termasuk perubahan aspek sosial
atau emosional akibat pengaruh lingkungan. (Markum,1991)
PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL FREUD
Pada teori Psikoanalisa ini Freud membagi tahapan-tahapan perkembangan kehidupan
manusia menjadi lima fase, yaitu fase oral, fase anal, fase phalic, fase latency dan fase genital.
(wong 2009)
Tahapan perkembangan diatas akan dijelaskan sebagaimana berikut :
1. Fase Oral ( 0 – 1 tahun )
Adalah masa dimana kepuasan baik fisik dan emosional berfokus pada daerah
sekitar mulut. Kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan yang paling penting untuk
faktor fisik dan emosional yang sifatnya harus segera dipuaskan. Makan/minum menjadi
sumber kenikmatannya. Kenikmatan atau kepuasan diperoleh dari rangsangan terhadap
bibir-rongga mulut-kerongkongan, tingkah laku menggigit dan menguyah (sesudah gigi
tumbuh), serta menelan dan memuntahkan makanan (kalau makanan tidak memuaskan).
Kenikmatan yang diperoleh dari aktivitas menyuap/menelan (oral incorforation) dan
menggigit (oral agression). Dimasa ini id dan pemenuhan kebutuhan sesegera mungkin
berperan sangat dominan.
2. Fase Anal (1 – 3 tahun)
Adalah masa dimana sensasi dari kesenangan berpusat pada daerah sekitar anus
dan segala aktivitas yang berhubungan dengan anus. Pada masa inilah anak mulai
dikenalkan dengan “toilet training”, yaitu anak mulai diperkenalkan tentang rasa ingin
buang air besar atau kecil. Anak diperkenalkan dan diberi pembiasaan tentang kapan
saatnya dan dimana tempatnya untuk buang air besar atau kecil, dan juga mengeliminasi
kebiasaan – kebiasaan anak yang kurang tepat dalam hal BAB dan BAK, misalnya BAB /
BAK di celana.
Contoh : ketika anak sudah menunjukkan gejala atau bahasa tubuh ingin BAB / BAK,
orang tua / guru / orang dewasa segera mengantarkan anak ke kamar kecil, prilaku ini
dilakukan berulang – ulang dan konsisten.
Berasal dari fase anal, dampak toilet training terhadap kepribadian di masa depan
tergantung kepada sikap dan metode orang tua dalam melatih. Misalnya, jika ibu terlalu
keras, anak akan menahan facesnya dan mengalami sembelit. Ini adalah prototip tingkah
laku keras kepala dan kikir (anal retentiveness personality). Sebaliknya ibu yang
membiarkan anak tanpa toilet training, akan membuat anak bebas melampiaskan
tegangannya dengan mengelurkan kotoran di tempat dan waktu yang tidak tepat, yang di
masa mendatang muncul sebagai sifat ketidakteraturan/jorok, deskruktif, semaunya
sendiri, atau kekerasan/kekejaman (anal exspulsiveness personality). Apabila ibu bersifat
membimbing dengan kasih sayang (dan pujian kalau anak defakasi secara teratur), anak
mendapat pengertian bahwa BAB/BAK kapan saatnya dan dimana tempatnya untuk
buang air besar atau kecil dengan tepat.

3. Fase Phalic ( 3 – 5 tahun )


Adalah masa dimana alat kelamin merupakan bagian paling penting, anak sangat
senang memainkan alat kelaminnya yang terkadang dilakukannya untuk membuat orang
tuanya tidak senang. Anak laki – laki pada usia ini sangat dekat dan merasa sangat
mencintai ibunya (oedipus complex) begitu juga dengan anak perempuan yang sangat
mencintai ayahnya sehingga terkadang menganggap ibunya adalah saingannya (electra
complex). Di masa ini anak – anak akan merasa sangat kecewa dan diabaikan jika
keinginan atau harapannya kepada salah satu orang tua yang dianggap segala – galanya
dan sangat dicintai tidak terpenuhi.
Pada umumnya anak lelaki sangat bangga akan kelaminnya dan sering
membanggakan di depan anak perempuan sehingga anak perempuanpun sangat tertarik
dan bertanya – tanya kenapa mereka tidak memiliki seperti yang dimiliki oleh anak laki –
laki dan hal ini menimbulkan perasaan rendah diri pada anak perempuan. Di masa ini
juga anak akan belajar mengenal dan mengidentifikasi dirinya dengan melihat perbedaan
antara ayah dan ibunya dan mencari kesamaan dalam dirinya (misalnya ; seorang anak
laki – laki mengidentifikasikan dirinya dengan melihat kepada ayahnya yang berjenis
kelamin sama dengan dirinya ; bagaimana berpakaian ayahnya, bagaimana peran ayah di
rumah, dll).
Masa ini sangat penting untuk perkembangan identifikasi jenis kelamin pada
anak, bagaimana seharusnya anak laki – laki atau anak perempuan bersikap, berpakaian
dan berperan. Jika masa ini lingkungan tidak mendukung anak untuk mengidentifikasi
dirinya dengan baik, maka anak akan mengalami bias (ketidakjelasan) dalam
mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang laki – laki atau perempuan.
4. Tahap laten ( usia 6 – 12 tahun)
Masa ini adalah periode tertahannya dorongan-dorongan seks agresif. Pada fase
laten ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi, yakni mengganti kepuasan libido
dengan kepuasan nonseksual, khususnya bidang intelektual, mengerjakan tugas tugas
sekolah, atletik, keterampilan dan hubungan teman sebaya dan kegiatan lainnya. Tahapan
latensi ini antara usia 6-12 tahun (masa sekolah dasar)
5. Tahap genital/kelamin ( 12-dewasa)
Fase ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri remaja.
Sistem endoktrin memproduksi hormon-hormon yang memicu pertumbuhan tanda-tanda
seksual sekunder (suara, rambut, buah dada, dll) dan pertumbuhan tanda seksual primer
Hal ini berarti bahwa individu mendapatkan kepuasan dari stimulasi dan manipulasi
tubuhnya sendiri sedangkan orang-orang lain dikateksis hanya karena membantu
memberikan bentuk-bentuk tambahan kenikmatan tubuh bagi anak. Selama masa
adolesen, sebagian dari cinta diri atau narsisisme ini disalurkan ke pilihan-pilihan objek
yang sebenarnya. Kateksis-kateksis pada tahap-tahap oral, anal, dan phalik lebur dan di
sistensiskan dengan impuls-impuls genital. Fungsi biologis pokok dari tahap genital
tujuan ini dengan memberikan stabilitas dan keamanan sampai batas tertentu.

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ERIKSON


Menurut Erik Erikson (1963) perkembangan psikososial terbagi menjadi beberapa
tahap. Masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen, yaitu komponen yang
baik (yang diharapkan) dan yang tidak baik (yang tidak diharapkan). Perkembangan pada
fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya.
Adapun tahap-tahap perkembangan psikososial anak adalah sebagai berikut:

1. Percaya Vs Tidak percaya ( 0-1 tahun )


Komponen awal yang sangat penting untuk berkembang adalah rasa percaya.
Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi lahir dan
kontakl dengnan dunia luar maka ia mutlak terganting dengan orang lain. Rasa aman dan
rasa percaya pada lingkungan merupakan kebutuhan. Alat yang digunakan bayi untuk
berhubungan dengan dunia luar adalah mulut dan panca indera, sedangkan perantara yang
tepat antara bayi dengan lingkungan dalah ibu. Hubungan ibu dan anak yang harmonis
yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial, merupakan pengalaman
dasar rasa percaya bagi anak. Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan
lingkungan maka dapat timbul berbagai masalah. Rasa tidak percaya ini timbul bila
pengalaman untukmeningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak
terpenuhi secara adekwat, yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik., psikologis dan
sosial yang kurang misalnya: anak tidak mendapat minuman atau air susu yang edukat
ketika ia lapar, tidak mendapat respon ketika ia menggigit dot botol dan sebagainya.

2. Otonomi Vs Rasa Malu dan Ragu ( 1-3 tahun )


Pada masa ini alat gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya terhadap ibu
dan lingkungan. Perkembangan Otonomi selama periode balita berfokus pada
peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol tubuhnya, dirinya dan lingkungannya.
Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai
dengan kemauannya misalnya: kepuasan untuk berjalan atau memanjat. Selain itu anak
menggunakan kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa
Otonomi diri ini perlu dikembangkan karena penting untuk terbentuknya rasa percaya diri
dan harga diri di kemudian hari. Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris atau
mementingkan diri sendiri.
Peran lingkungan pada usia ini adalah memberikan support dan memberi
keyakinan yang jelas. Perasaan negatif yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak
merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang di pilihnya serta kurangnya support dari
orangtua dan lingkungannya, misalnya orangtua terlalu mengontrol anak.

3. Inisiatif Vs Rasa Bersalah ( 3-6 tahun )


Pada tahap ini anak belajar mengendalikan diri dan memanipulasi lingkungan.
Rasa inisiatif mulai menguasai anak. Anak mulai menuntut untuk melakukan tugas
tertentu. Anak mulai diikut sertakan sebagai individu misalnya turut serta merapihkan
tempat tidur atau membantu orangtua di dapur. Anak mulai memperluas ruang lingkup
pergaulannya misalnya menjadi aktif diluar rumah, kemampuan berbahasa semakin
meningkat. Hubungan dengan teman sebaya dan saudara sekandung untuk menang
sendiri.
Peran ayah sudah mulai berjalan pada fase ini dan hubungan segitiga antara Ayah-
Ibu-Anak sangat penting untuk membina kemantapan idantitas diri. Orangtua dapat
melatih anak untuk menguntegrasikan peran-peran sosial dan tanggungjawab sosial. Pada
tahap ini kadang-kadang anak tidak dapat mencapai tujuannya atau kegiatannya karena
keterbatasannya, tetapi bila tuntutan lingkungan misalnya dari orangtua atau orang lain
terlalu tinggi atau berlebihan maka dapat mengakibatkan anak merasa aktifitasnya atau
imajinasinya buruk, akhirnya timbul rasa kecewa dan rasa bersalah.

4. Industri Vs Inferioritas ( 6-12 tahun )


Pada tahap ini anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan
yang akhirnya dan dapat menghasilkan sesuatu. Anak siap untuk meninggalkan rumah
atau orangtua dalam waktu terbatas yaitu untuk sekolah. Melalui proses pendidikan ini
anak belajar untuk bersaing (sifat kompetetif), juga sifat kooperatif dengan orang lain,
saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan-peraturan yang berlaku.
Kunci proses sosialisasi pada tahap ini adalah guru dan teman sebaya. Dalam hal
ini peranan guru sangat sentral. Identifikasi bukan terjadi pada orangtua atau pada orang
lain, misalnya sangat menyukai gurunya dan patuh sekali pada gurunya dibandingkan
pada orangtuanya. Apabila anak tidak dapat memenuhi keinginan sesuai standart dan
terlalu banyak yang diharapkan dari mereka maka dapat timbul masalah atau gangguan.

5. Identitas Vs Difusi Peran ( 12-18 tahun )


Pada tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang
dewasa. sehingga nampak adanya kontradiksi bahwa dilain pihak ia dianggap dewasa
tetapi disisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri
yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan, Peran orangtua
sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun. Sedangkan peran
kelompok atau teman sebaya tinggi. Teman sebaya di pandang sebagai teman senasib,
patner dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini remaja bereksperimen dengan
peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting
baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis.
Daftar Pustaka

Shwartz, William M.2005. “Pedoman Kinis Pediatri”. Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2004. “Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik”. Jakarta : EGC.

A.Markum, A.H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Supartini, yupi. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC

You might also like