You are on page 1of 16

AGAMA- AGAMA ASLI NUSANTARA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya. Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang
berarti ” TRADISI “. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin. Definisi agama diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar
tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan
nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang
mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-
agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.

Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri
atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat
beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui
rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.

Agama berasal dari bahasa Sanskerta, a = tidak; gama = kacau, agama artinya tidak kacau
atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu, Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan , jadi agama adalah tindakan manusia
untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Tuhan.

Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri
orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu yang supra natural dan berfungsi agar
dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang
dipraktekkan masyarakat, sistem sosial yang dibuat manusia (pendiri atau pengajar utama
agama) untuk berbhakti dan menyembah Tuhan. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan
perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Tuhan agar manusia mentaatinya.
Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Tuhan sehingga dapat difungsikan
untuk mencapai atau memperoleh keselamatan dalam arti seluas-luasnya secara pribadi dan
masyarakat.

Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya. Artinya, manusia membentuk
atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan budaya serta peradabannya.
Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Tuhan misalnya nyanyian, pujian,
tarian, mantra, dan lain-lain, merupakan unsur-unsur kebudayaan. Dengan demikian, jika
manusia mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan,
maka agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan
ritus, nyanyian, cara penyembahan bahkan ajaran-ajaran dalam agama-agama perlu
diadaptasi sesuai dengan sikon dan perubahan sosio-kultural masyarakat.

Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan Tuhan kepada manusia.
Artinya, agama berasal dari Tuhan, Ia menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya
dengan baik dan benar, ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia
untuk menyembah Tuhan yang telah mengasihinya. Dan masih banyak lagi pandangan
tentang agama, misalnya :

1. Agama ialah sikon manusia yang percaya adanya Tuhan, dewa, Ilahi; dan
manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta
melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut
2. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap
sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam
semesta, cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan
kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya
3. Agama ialah percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya.
Hukum-hukum Tuhan tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-
utusan-Nya, utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus
oleh Tuhan sebagai pembawa agama. Agama dan semua peraturan serta
hukum-hukum keagamaan diturunkan Tuhan kepada manusia untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat

Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Tuhan
yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada
manusia, upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus secara pribadi dan bersama yang
ditujukan kepada Ilahi.
Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan Tuhan. Dalam
keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal Tuhan, maka Ia menyatakan Diri-Nya
dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-Nya. Jadi, agama datang dari
manusia, bukan Tuhan. Makna yang khusus inilah yang merupakan pemahaman iman Kristen
mengenai Agama.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Agama Asli Nusantara?


2. Agama apa saja yang termasuk Agama Asli Nusantara?

1.3 Tujuan

1. Agar Mahasiswa dapat mengetahui tentang Agama, Agama apa saja yang termasuk
Agama asli Nusantara dan apa yang dimaksud dengan Agama Asli Nusantara.
2. Agar Mahasiswa dapat memahami dan mempelajari tentang Agama, Agama apa saja
yang termasuk Agama asli Nusantara dan apa yang dimaksud dengan Agama Asli
Nusantara.

1.4 Manfaat

1. Agar Mahasiswa lebih terampil dalam penulisan makalah.


2. Dapat dijadikan bahan acuan untuk memperdalam pengetahuan kita tentang Agama
khususnya Agama- agama Asli Nusantara.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Agama Asli Nusantara

Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama tradisional yang telah ada sebelum agama
Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam dan Konghucu masuk ke Nusantara
(Indonesia).

Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa
sebelum agama-agama “resmi” (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia,
di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang
dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais,
juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur,
Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa
Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan
Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di
Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll.

Di Indonesia, aliran kepercayaan yang paling banyak penganutnya adalah Agama Buhun.
Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda,
menunjukkan jumlah pemeluk agama ini 100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun
jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25 persen dari seluruh
penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003
mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan
penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.

2.2 Jenis- jenis Agama Asli Nusantara

Ø Daftar Agama Asli Nusantara (kepercayaan)


 Agama Bali ( lebih sering disebut sebagai Hindu Bali atau Hindu Dharma)
 Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)
 Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
 Buhun (Jawa Barat)
 Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
 Parmalim (Sumatera Utara)
 Kaharingan (Kalimantan)
 Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
 Tolottang (Sulawesi Selatan)
 Wetu telu (Lombok)
 Naurus (pulau Seram, Maluku)
 Aliran Mulajadi Nabolon
 Marapu (Sumba)
 Purwaduksina
 Budi Luhur
 Pahkampetan
 Bolim
 Basora
 Samawi
 Sirnagalih

1. Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda : “Sunda permulaan”, “Sunda sejati”, atau “Sunda asli”)
adalah agama atau kepercayaan asli masyarakat Sunda yang dianut oleh masyarakat
tradisional Sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi
Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten
Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya,
Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum
datangnya ajaran Hindu.

Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah


penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut ajaran leluhur, yaitu kepercayaan asli
nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah
dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam Dalam
Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran “Jatisunda“.

Mitologi dan sistem kepercayaan


Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun
(Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang
Mahaesa),Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia
bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu,
Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun
mengenai mitologi orang Kanekes:

1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling
atas
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di
tengah
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari
atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630
bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu
merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh
batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes.
Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di
tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi
mengadakan atau menciptakan.

Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan
yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup
yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas
ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara
Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.

Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima
unsur yang termasuk di dalamnya:

 Welas asih: cinta kasih


 Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
 Tata krama: tatanan perilaku
 Budi bahasa dan budaya
 Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu
sebelum melakukannya

Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia
pasti tidak akan melakukannya.

Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang
mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang
membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan,
perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri
dari:

 Rupa
 Adat
 Bahasa
 Aksara
 Budaya

Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama
Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani
hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan.
Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang
tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam
kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu
utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.

 Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
 Yang bisa membahayakan diri sendiri

Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat
(Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati
serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan
mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut “Buyut”)
paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka
dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan terdapat tradisi nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian.
Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun
yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun.
Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh
ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes,
Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga;
dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang
teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai
penjuru negeri.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di
luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap
dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda
belum meninggalkan agama Sunda ini.

2. Agama Djawa Sunda


Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi ADS) adalah nama yang diberikan oleh
pihak antropolog Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah
Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun
Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.
Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah
bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya
terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di
Kabupaten Lebak, para pemeluk “Agama Kuring” di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten
Bandung, dll.

Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-
daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak,
mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang
terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran
Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap
dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.

Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan dari Kesultanan Gebang,
sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang
kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal
sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai
seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun
kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat
Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri,
yaitu Jawa-Sunda.

Ajaran dan ritual dalam ADS


Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren
Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca
Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni
oleh Pangeran Djatikusuma.

Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam
hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung
sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil
bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara “Seren Taun” yang
biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah
dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan
kembali. Salah satu upacara “Seren Taun” pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian,
Andung A Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, dan istri, serta sejumlah
pejabat pemerintah lainnya.

Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui
upacara-upacara keagamaan penanaman padi.
Selain itu karena non muslim Agama Djawa Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan
khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.

Masa depan ADS


Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena
pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, hingga akhirnya banyak pengikutnya
yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.

Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya,
Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 juli
1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).

Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat


Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus
bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Pangeran
Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.

3. Kejawen
Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa
Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan).
Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya
menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama
asli Nusantara. Seorang ahli anthropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis
tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain,
Kejawen disebut “Agami Jawi”. Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya,
tradisi, ritual, sikap serta filosofii orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis
atau spiritualistis suku Jawa.

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam
pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya
sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku.
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep
“keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan
Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada
kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.

Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang
dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, ritual, penggunaan bunga-bunga tertentu yang
memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang yang tidak memahami yang
dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama
pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri
dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap
tantangan perubahan zaman.
Beberapa aliran kejawen
Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa
jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun
biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai
keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktekkan ajaran agama (lain)
tertentu.

Beberapa aliran dengan anggota besar

 Padepokan Cakrakembang
 Sumarah
 Budi Dharma
 Maneges

Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon, atau
penghayat ajaran Syekh Siti Jenar.

4. Parmalim
Parmalim, adalah nama sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dibilang agama yang
terutama dianut di Propinsi Sumatra Utara. Agama Parmalim adalah agama asli suku Batak.
Pimpinan Parmalim saat ini adalah Raja marnangkok Naipospos.

Agama ini bisa dikatakan merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air Indonesia sejak dahulu kala. “Tuhan Debata
Mulajadi Nabolon” adalah pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi alam semesta yang
disembah oleh “Umat Ugamo Malim” (“Parmalim”).

5. Kaharingan
Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah kepercayaan/agama lokal suku Dayak di
Kalimantan Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum
kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh
masyarakat Dayak di Kalimantan. Karena Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan
warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui Pemerintah, kepercayaan
Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tolottang (Hindu Tolottang) pada suku
Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980, mengingat adanya
persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban
(sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk
mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam
istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat
Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang
mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru,
para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi
ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua
di Kalimantan.

Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau
balai kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain,
seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan
Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.

Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam
Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan
menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Hingga
tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan
di Indonesia.

Tetapi di Malaysia Timur ( Sarawak dan Sabah ), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak
diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum
menganut suatu agama apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah majelis
Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

6. Wetu Telu
Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang
mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik
ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke
masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum
mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat
berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat
gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

Sejarah
Konon, sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut
menganut kepercayaan animisme, dinemisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk
melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah
runtuhnya Kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut
adalah Bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta
merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan
lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena
para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah
penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa
Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam
bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para
pemangku adat atau kiai saja.
Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan “Waktu
Telu” sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme,
dinamisme dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak
menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan
“Waktu Lima” karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan
ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat
(Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan
dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui
oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara
tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.

Lokasi
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang
terletak di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjid yang
digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat
berbagai agama untuk berdoa. Namanya Kemaliq yang artinya tabu, suci dan sakral.terletak
di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat, yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara
adat yang bernama Upacara Pujawali Dan Perang Topat“ sebagai wujud rasa syukur atas
hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia.

7. Marapu
Marapu adalah sebuah agama lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Agama
ini merupakan kepercayaan peninggalan nenek moyang dan leluhur. Lebih dari setengah
penduduk Sumba memeluk agama ini.

Pemeluk agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa
setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal
sebagai Prai Marapu. Upacara keagamaan marapu ( seperti upacara kematian dsb) selalu
diikuti dengan pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda swebagai korban sembelihan, dan
hal itu sudah menjadi tradisi turun – temurun yang terus di jaga di Sumba.

Agama Marapu adalah “agama asli” yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau
Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu,
berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut
disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki
yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah
leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga
luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialahmarapu yang dianggap turun dari langit dan
merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai
kedudukan yang tertinggi. Kehadiran para marapu di dunia nyata diwakili dan dilambangkan
dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung
atau guci) yang disebut Tanggu Marapu.

Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam
menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai
banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu
sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan
utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi
kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat
kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja.
Dalam keyakinanMarapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi
dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun
dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara
untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya.

Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangum
ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai
perantara) antara manusia dengan Tuhannya. Selain memuja arwah leluhur, juga percaya
bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti
manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar
biasa. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya,
orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta) dan
didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak
boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata
cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan
akan berakibat buruk pada kehidupan manusia.

Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama,
karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang
sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan
sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah
ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh,
yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu ialah roh
manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu
itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat
dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang
telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian
tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk
binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. Hampir
seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan
agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan
pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk
menjadi penganut agama lain. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan,
orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau
pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu
yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat.
Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga
komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak. Upacara-upacara keagamaan
dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan
secara relatif mewah sehingga memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal
tersebut mereka lakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa,
tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan diantara
mereka.
Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula. Dapat
dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka. Upacara-upacara
keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat
upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang
menjalankan upacara dianggap keramat pula. Mereka menyembah Mawulu Tau- Majii Tau
dengan perantaraan para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya.
Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya
disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam
rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihuterutama di rumah yang disebut uma
bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah
itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh
warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil
dan sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada paramarapu bukan hanya di dalam rumah
saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katoda, tempat upacara pamujaan di luar rumah
berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau
kayu kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah
bermacam-macam sesaji, seperti pahapa (sirih pinang), kawadaku(keratan mas) dan uhu
mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-
dewi) yang berada di tempat itu. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada
satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan
dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan
tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku (bahasa
puitis, berbait)disebut sebagai Uma Ndapataungu – Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak
berorang dan tangga yang tak berpijak).

Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib.
Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan
rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut,
karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma
Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat
dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan
rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur
pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap
ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua
(pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu.

Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai
linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari
rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku
(daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan
tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali – Waruwaka dan sekitarnya.
Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataunguialah upacara Pamangu
Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya
tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu – Lii maraku, yaitu upacara
persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali. Menurut pandangan orang
Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia
harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar
ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus
pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di
setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara
manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal
tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia
yang sudah mati.

Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan
dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu
mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku -hara
sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk
memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam
sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus
melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap
suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib.

Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak
alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada
kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam
masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran,
menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara
keagamaan biasanya dilaksanakan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya. Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang
berarti ” TRADISI “. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin. Definisi agama diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar
tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan
nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang
mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-
agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.

Secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Tuhan yang
dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada
manusia, upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus secara pribadi dan bersama yang
ditujukan kepada Ilahi.

Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan Tuhan. Dalam
keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal Tuhan, maka Ia menyatakan Diri-Nya
dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-Nya. Jadi, agama datang dari
manusia, bukan Tuhan. Makna yang khusus inilah yang merupakan pemahaman iman Kristen
mengenai Agama.

Agama asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama Islam,
Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu masuk ke Nusantara
(Indonesia).
Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa
sebelum agama-agama “resmi” (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia,
di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli diantaranya :

 Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)


 Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
 Buhun (Jawa Barat)
 Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
 Parmalim (Sumatera Utara)
 Kaharingan (Kalimantan)
 Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
 Tolottang (Sulawesi Selatan)
 Wetu telu (Lombok)
 Naurus (pulau Seram, Maluku)
 Aliran Mulajadi Nabolon
 Marapu (Sumba)
 Purwaduksina
 Budi Luhur
 Pahkampetan
 Bolim
 Basora
 Samawi
 Sirnagalih

3.2 Saran

Dengan adanya tugas ini, diharapkan kepada pembaca agar bersedia untuk membaca tugas
ini. Dalam rangka menambah wawasan pengetahuan kita tentang agama khususnya agama-
agama asli nusantara. Karena kita sebagai calon guru agama sangat perlu untuk mengetahui
tentang agama lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Agama_di_Indonesia&oldid=5441236(Diakses
tanggal 20 Mei 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://ms.wikipedia.org/wiki/Agama (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://www.ubaybingokil.com/2012/02/pengertian-agama.html (Diakses tanggal 20 Mei


2012)

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Agama&oldid=5449081 (Diakses tanggal 20 Mei


2012)
http://agamalokal.blogspot.com/2011/11/agama-asli-nusantara.html (Diakses tanggal 20 Mei
2012)

http://ifajarwidi.blogdetik.com/2010/04/07/eksistensi-agama-asli-nusantara-serta-
perkembangannya/#ixzz1uHkhnVlK (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://elangnusantara.wordpress.com/2011/01/14/agama-asli-nusantara/ (Diakses tanggal 20


Mei 2012)

http://abdain.wordpress.com/2010/01/03/pengertian-agama/ (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://tanahimpian.org/agama-lokal/203-agama-asli-nusantara.html (Diakses tanggal 20 Mei

2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Djawa_Sunda (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Wetu_Telu (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Parmalim (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan (Diakses tanggal 20 Mei 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Marapu (Diakses tanggal 12 Mei 2012)

You might also like