You are on page 1of 180

URTIKARIA

Kode ICD : L.50


DEPARTEMEN

IKA
No Dokumen
No.Revisi

Halaman :
RSMH
1
1

1 –5
PALEMBANG

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek
Tanggal Revisi
Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis
22 Februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi
Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah

erupsi kulit yang menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna

merah, bagian tengah pucat, memucat bila ditekan, disertai rasa gatal,

dapat berlangsung akut, khronik atau berulang.


Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) =


urtikaria lesi jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas,

tidak gatal, sering dengan rasa nyeri dan terbakar.

Urtikaria ( U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kwalitas

hidup penderita.

Etiologi
Mekanisme imun

Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas

tipe I, II & III.

Mekanisme nonimun (antifilaktoid)

Angiodema herediter
Aspirin

Liberator histamin, yaitu zat yang dapat menyebabkan pelepasan histamin seperti obattiate, obat
pelemas otot, obat vasoaktif & makanan (putih telur, tomat, lobster).

Fisik

Dermatografia (writing on the skin)


Urtikaria dingin

Urtikaria kolinergik
Urtikaria panas

Urtikaria solar
Urtikaria & angioedema tekanan
Angioedema getar
Urtikaria akuagenik
Miscellaneous

Urtikaria Papular
Etiologi : gigitan serangga (nyamuk, lebah, dll)


Pruritus bifasik : papular wheal
Reaksi hipersensitivitas tipe I & IV
Urtikaria pigmentosa
Mastositosis sistemik

Infeksi disertai urtikaria


Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya

Penyakit vaskuler kolagen

Keganasan
Ketidakseimbangan sistem endokrin
Faktor psikogenik

Urtikaria & angioedema idiopatik

Patogenesis
Patogenesis:


 Sel mediator mediator2 (histamin) :


- Dilatasi pembuluh darah eritema

-

permeabilitas kapiler
 
edema (eksudasi cairan & sel)

saraf perifer kulit



gatal
-
Pembuluh darah subkutan

 Degramulasi sel mediator

 Degranulasi sel mast kutan / sub kutan


- Dilatasi kapiler eritema

 
- pe permeabilitas kapiler ekstravasasi cairan & sel


(eosinofil) udema lokal, gatal


- Vaskuler subkutan angioedema (periorbita & perioral)


 Histologis : degranulasi sel mast kutan / subkutan pelepasan


mediator2 (histamin, lekotrin) dilatasi pembuluh darah dermal /

subdermal dgn infiltasi sel-sel perivaskular terutama eosinofil


 Histamin reseptor H pd organ sasaran (H1, H2, H3& H4)

Bentuk Klinis
Bentuk Klinis (Klasifikasi)
(Klasifikasi)

Urtikaria akut > sering pada bayi / anak

 Ukuran, jumlah bervariasi


 Papul udematous, datar, merah muda/terang, 2-5 mm papul atau

 
plak batas tegas, datar bbrp lesi berkonfluensi plak dgn tepi

polisiklik

 Gatal selalu ada

 Bayi :
- Gatal tidak terlalu berat

 
- Urtikaria purpurik (urtikaria hemorhagik) bayi & anak


kecil DD : vaskulitis

Angioedema:
 Udema subkutan & atau submukosa

 Ekstremitas, bibir, palpebra, genitalia, saluran cerna (abdomen) &

faring

 5-10 % bayi & anak + urtikaria

 Menghilang < 2-3 hari, jarang disertai gatal


 A berulang tanpa U HAE atau AAE

 Lesi A + U

- Sementara dari waktu ke waktu


- Beberapa lesi menghilang, dapat timbul lesi baru khronik


- Bayi & anak lesi menghilang dalam beberapa hari

 Anafilaktik idiopatik

- U / A akut, luas, Wheezing, hipotensi, mual, muntah, tanda-tanda

aritmia jantung

o Onset: berulang/lamanya durasi, lokasi


Anamnesis
o Ditanya mengenai faktor pencetus


Makanan, Obat-obatan, Zat aditif, Hobi


Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis


Faktor2 eksaserbasi serangan

o Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain

Pemeriksaan fisik

gambaran yang khas, bentuk lesi tipe urtikari Linier (

dermografism), Urtika kecil dikelilingi daerah eritem (U. kolinergik),


pada ekstremitas inferior (U. vaskulitis, papular U), terbatas pada

daerah paparan (U dingin/ solar)

Kriteria Diagnosis
Anamnesia

Pemeriksaan Fisik

Diffrential
Urtikaria Anak :
diagnosis

 Eritema multiforme

 Urtikaria pigmentosa

 Gigitan serangga

 Eritema Anulare

 Infantile Acute Hemoragic edema

 Purpura Henoch Schonlein, pitriasis rosea

Angioedema

 Selulitis

 Erisipelas

 Dermatitis kontak

 SLE

 Kasus bedah abdomen

 Reaksi anafilaktik Laring


Pemeriksaan
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium

Penunujang

Basic Tests

Discretionary Tests Based on


Complete blood count with

If vasculitis is suspected :

differential

Antinuclear antibody

Erythrocyte sedimentation

Skin biopsy
rate

Urinalysis

CH50

Liver function tests

If liver function tests abnormal :


Thyroid function and

Serology for viral hepatitis

autoantibodies

Anti-FceR autoantibody
(if available)

Riwayat U. fisik
Condition
Test

Cholinergic urticaria
Exercise, mecholyl challenge ID

Dermographism

Stroking or scratching the skin


Solar urticaria

Controlled exposure to sunlight


Cold urticaria

Ice challenge


HAE periksa kadar C4, C1 INH (antigenik & fungsional)
Pada penderita dengan pengalaman serangan akut saluran napas atas

Tatalaksana
sering dilengkapi dengan epinefrin injeksi


 Eliminasi kenali faktor pencetus dan faktor-faktor yang

mengeksaserbasi serangan


 Tabir surya urtikaria solar (panjang gelombang 285-320
nm)


 U. dingin hindari mandi/ berenang di air dingin

 HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol


 Antihistamin diberikan antihistamin penghambat reseptor

histamine H1


 Adregenik mula-mula diberikan larutan adrenalin (1:1000)
dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum 0,3 ml)

dilanjutkan dengan
pemberian antihistamin penghambat
reseptor

histamine H1


 Kortikosteroid diberikan bila tidak memberikan respon yang baik

dengan obat-obat lain,

Edukasi
Meyakinkan penderita/keluarga:

 
U/A remisi spontan ( hari, bulan, tahun)


U/A tidak menyebabkan cacat


U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan

Komplikasi

Komplikasi dan

Prognosis
Urtikaria merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja
terjadi obstruksi jalan nafas karena edema laring dan sekitarnya, atau

anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.

Prognosis

Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.

Daftar
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

kepustakaan
2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy

Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Lain-lain

(Algaritma,

Protokol,

Prosedur,

Standing Order)
SINDROM STEVENS-JOHNSON

Kode ICD : L51.1


DEPARTEMEN IKA

RSMH PALEMBANG

No Dokumen
No.Revisi

Halaman :

2
1

1 –4

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek
Tanggal Revisi
Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis
22 Februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah suatu reaksi mukokutaneus

akut yang ditandai makula eritema yang cepat meluas. Biasanya

berbentuk target lesion dan kelainan pada lebih dari satu mukosa

(mulut, konjungtiva, dan anogenital). Sering ditandai gejala

konstitusional dan dapat mengancam kehidupan.

Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan

oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan

dengan respons imun terhadap obat. Ada yang beranggapan bahwa

sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut

eritema multiforme mayor. Beberapa faktor yang sering disebut

sebagai penyebab SSJ di antaranya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor Penyebab timbulnya sindrom Stevens-Johnson

Infeksi

Virus
Herpes simplex, Mycoplasma

pneumoniae, vaksinia
Jamur
Koksidioidomikosis, Histoplasma

Bakteri
Streptokokus, Staphylococcus,

Haemolyticus, Mycobacterium

tuberculosis, Salmonela

Parasit
Malaria

Obat
Salisilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol,

Tegretol, Tetrasiklin, Digitalis,

Kontraseptif

Makanan
Coklat

Fisik
Udara dingin, sinar matahari, sinar X

Lain-lain
Penyakit kolagen, keganasan,
kehamilan

Patogenesis
Patogenesis

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas, walaupun sering

dihubungkan dengan reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Pada


biopsi kulit beberapa kasus dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3

dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang

dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk

kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa

faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya)

atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut

(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,

inflamasi atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat

mengendap di daerah kulit dan mukosa serta menimbulkan

kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi

yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas

sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang

terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula

disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk

inflamasi lainnya.
Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang

Bentuk Klinis
berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai

(Klasifikasi)

koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal

berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada,

muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit,

mukosa dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:

a.
Kelainan kulit

Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula

secara simetris, berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas

pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul perdarahan pada lesi

menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau mata sapi.


Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang

meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan

lanjut terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas dan pada kasus

berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh

disertai paronikia dan pelepasan kuku.

b.
Kelainan mukosa

Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut

(100%), kemudian disusul oleh kelainan di alat genital (50%),

sedangkan di hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan

4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel, bula, erosi,

ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di

mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius


bagian atas dan esofagus. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran berwarna putih atau
keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan.

Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata
biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi erosi dan perforasi kornea.

Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan

keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan

pernapasan, muntah, diare, melena, pembesaran kelenjar getah

bening dan hepatosplenomegali sampai pada penurunan kesadaran

dan kejang.

Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat

berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi

dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis,

bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan terhadap

kelainan yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta
hubungannya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi

berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam

dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ.

Diffrential diagnosis
1. Nekrolisis epidermal toksik (NET)

Pada NET kelainan kulit yang utama adalah epidermis terlepas dari

dasarnya (epidermolisis) yang menyeluruh. Tanda Nikolsky positif

pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser,

maka kulit akan terkelupas. Selain itu terbentuk eritema, vesikel,

bula, erosi dan purpura seperti SSJ. Kelainan pada mata dan

sekitar orifisium tidak selalu menyertai. Perbedaan lain ialah

keadaan umumnya lebih buruk.

2. Staphylococcus scalded skin syndrome

Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa

bula numular di leher, ketiak dan wajah. Juga terdapat

epidermolisis, tetapi selaput lendir jarang dikenai.

Pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya
Penunujang
dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.

Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah :

1. Pemeriksaan darah tepi (leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil

total, LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi,

dan pada hitung jenis eosinofil meningkat.

2.
Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.

3.
Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila

diragukan gambaran klinisnya dapat dilakukann biopsi dan

pemeriksaan
histopatologik untuk membedakan. Pada

pemeriksan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis

epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah

epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar


dari pembuluh darah dermis superfisial.
Pemeriksaan

imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3

dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen

yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru

yang berumur kurang dari 24 jam.

o
Rawat di PICU

Tatalaksana
o
Hentikan faktor penyebab

o
Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih

antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas,


bakterisidal dan tidak ada kontrainidkasi seperti: gentamisin

5mg/kgBB/hari dalam dua dosis, netromisin 4-6 mg/kgBB/hari.

o
Topikal :

-
Kulit
: kompres NaCl 0,9%

-
Mulut
: kumur-kumur antiseptik

-
Mata
: lubrikasi dengan air mata buatan

salep mata yang mengandung antibiotika

o
Infus/transfusi. Bila terd

darrow
glukosa. Bila
terda
darah

o
Konsultasi dengan bagian lain sesuai kebutuhan /keadaan

penderita (Mata, THT)

Edukasi
 Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab.

Pada kasus yang tidak berat prognosanya baik dan penyembuhan

Komplikasi dan
terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai

Prognosis
komplikasi atau dengan pengobatan terlambat dan tidak memadai,

angka kematian berkisar antara 5-15%. Prognosis lebih buruk bila

terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia,

serta sepsis.
1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi

Daftar kepustakaan

anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy

Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Lain-lain (Algaritma,

Protokol, Prosedur,

Standing Order)
PURPURA HENOCH-SCHONLEIN

Kode ICD : D69.0

DEPARTEMEN IKA

RSMH PALEMBANG
No Dokumen

No.Revisi

Halaman :

1 –3

Ditetapkan Oleh,

Panduan Praktek
Tanggal Revisi

Ketua Divisi Alergi Immunologi

Klinis
22 Februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

Definisi
Purpura Henoch Schonlein adalah sindroma klinis yang disebabkan

oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang ditandai dengan

lesi kulit spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis

atau artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan

kadang-kadang dengan nefritis. Nama lain : purpura anafilaktoid,

purpura alergik atau vaskulitis alergik.

Etiologi
 Penyebab penyakit ini belum diketahui.

 Faktor-faktor yang
diduga berperanan:
infeksi traktus

respiratorius bagian atas, obat-obatan, makanan dan imunisasi.

Patogenesis
Deposit kompleks imun yang mengandung IgA dan aktivasi

komplemen jalur alternatif mengakibatkan inflamasi pada

pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi, dan abdomen sehingga

terjadi purpura dikulit, nefritis, artritis, dan perdarahan

gastrointestinalis. Secara histologis tampak vaskulitis

leukositoklatik.

Manifestasi klinis yang khas adalah pada kulit, berupa : ruam

Bentuk Klinis
makuloeritematosa, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya

(Klasifikasi)

trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian

bawah (pada 100% kasus)  purpura lambat laun berubah menjadi

ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan, lalu menghilang, tetapi

dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :

Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas (punggung,
tangan, kaki) pada 40 kasus,
Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak menimbulkan
deformitas yang menetap.

Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan gastrointestinalis pada 35-
85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal atau ileokolonal
pada 2-3% kasus.

 Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

Kriteria Diagnosis Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di
bokong dan ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau
perdarahan gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.

Langkah Diagnosis :

1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Lakukan pemeriksaan
laboratorium dan penunjang
untuk

mendukung atau menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan

laboratorium pada PHS tidak spesifik, jumlah trombosit normal

atau meningkat, LED dapat meningkat, kadar komplemen

normal, kadar IgA dalam darah limfosit yang mengandung IgA

mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung darah.

Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi

pada dinding pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.

3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan

telusuri komplikasi.
Pemeriksaan
Pada pemeriksaan laboratorium trombosit bisa normal atau

Penunujang
meningkat, membedakan purpura yang disebabkan trombositopenia,

biasanya juga eosinofilia. LED dapat meningkat, Kadar komplemen

seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam

darah mungkin meningkat, demikian pula limfosit yang

mengandung IgA. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria,

proteinuria maupun penurunan kreatinin klirens demikian pula pada

feses dapat ditemukan darah

Tatalaksana
Suportif dan simptomatis. Kontrol nyeri dapat dengan analgesik

seperti asetaminofen atau ibuprofen. Kortikosteroid diberikan jika


ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran cerna,

purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif (sindroma

nefrotik, kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang hebat,

gangguan SSP, dan perdarahan paru, dengan protokol :

- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7

hari + siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)

- maintenance predinson
100-200 mg (oral)
selang
sehari,

siklosfosfamid 100-200 mg selama 30-75 hari


- Tappering off predinon 25 mg/bulan terapi selasai minimal

dalam 6 bulan.

Untuk pencegahan terjadinya nefritis dapat diberikan


kortikosteroid

prednison dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 7 hari, kemudian

diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu. Gagal ginjal


ditanggulangi sesuai SP. Jika akut abdomen  konsul bedah.
Komplikasi dan
 Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.

Prognosis
 Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.

 SSP : defisit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.

Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa

minggu. 50% kasus dapat rekuren.

Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.

Daftar kepustakaan 1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB


Saunders Co 2008.

Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.
Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2010

Lain-lain (Algaritma,

Protokol, Prosedur,

Standing Order)
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL

Kode ICD : M08.0


DEPARTEMEN IKA

RSMH PALEMBANG
No Dokumen

No.Revisi

Halaman :

1 –5

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek
Tanggal Revisi

Ketua Divisi Alergi Immunologi


Klinis
22 Februari 2012
Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)
Definisi
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit

reumatik yang termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.

Etiologi
Penyebab pasti ARJ masih belum diketahui. Beberapa faktor

etiologi berperan dalam munculnya ARJ, antara lain faktor : infeksi,

autoimun, trauma, stres dan faktor imunogenetik.

Patogenesis
Patogenesis ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis

penyakit kompleks imun dari penyakit autoimun: autoantigen

(agregat IgG dan antigen sinovia)  pengaruh beberapa rangsangan

(faktor imunogenetik, kalainan makanisme sel T supresor, reaksi

silang antigen dan berbagai penyebab lain seperti virus)  akan

memproduksi autoantibodi

 Kelainan tahap awal

Belum jelas, telah diidentifikasi kerusakan mikrovaskuler dan

proliferasi sel sinovia  edema sinovium dan proliferasi sel

sinovia  mengisi rongga sendi, tahap awal predominan sel

PMN  didominasi sel limfosit, makrofag dan sel plasma 


produksi IgG, sedikit IgM (IgM anti IgG = Faktor reumatoid).

Reaksi autoantigen-antibodi  kompleks imun  aktivitas

sistem komplemen  terjadi pelepasan biologik aktif  terjadi

reaksi inflamasi. Aktivitas sistem imun selular  aktivitas

mediator limfokin  reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi 

disertai proliferasi dan kerusakan jaringan sinovia.

 Tahap lanjut
Fase kronis, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol

disebabkan respons imun selular  karakteristik artritis rematoid

kronik, adanya kerusakan tulang rawan, ligamen, tendo dan

kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim

dan pembentukan jaringan granulasi akibat aktivitas sistem imun

selular. Sel limfosit, makrofag dan sinovia dapat mengeluarkan

berbagai macam sitokin seperti kolagenase, prostaglandin serta

plasminogen yang akan mengaktifkan sistem kalikrein dan kinin-

bradikinin. Produk-produk ini akan menimbulkan reaksi

inflamasi dan kerusakan jaringan.

 Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi,

Bentuk Klinis
terbanyak pada sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada

(Klasifikasi)
sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.

 Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya

mengenai sendi besar) terutama didaerah tungkai.


 Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan

puncak tunggal atau ganda > 39 0 C selama 2 minggu atau lebih

 muncul artritis. Biasanya disertai kelainan sistemik berupa

ruam reumatoid serta kelainan viseral (hepatosplenomegali,

serositis, limpadenopati).

Kriteria Diagnosis
Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat

eritem. Secara klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2

gejala inflamasi: gerakan sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada

pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih menonjol adalah

kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.

Dipakai kriteria diagnosis menurut American Challenge of

Rheumatology Association (ACR),yaitu

Usia penderita kurang dari 16 tahun

Artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda : keterbatasan gerak, nyeri sendi, dan
panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih

Lama sakit lebih dari 6 minggu


Tipe onset penyakit (dalam waktu 6 bulan)
Poliartritis (≥5 sendi)

Oligoartritis (< 4 sendi)


Sistemik dan artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat ruam atau
keterlibatan ekstrartikuler, seperti limadeopati, hepatosplenomegali, dan perikarditis.
Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.

Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid,
demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid,
tenosinovitis. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi antinuklear(ANA), faktor reumatoid (RF),
serta peningkatan titer komplemen C3 dan C4.

Langkah Diagnosis :

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ semata-mata berdasarkan klinis.

Pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk mendukung/ menyingkirkan diagnosis.


Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis

Tatalaksana
Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk
mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas

dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu
konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri. Medikamentosa :

Obat anti inflamasi non steroid (AINS)


Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.

Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4 dosis, diberikan
bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis menghilang.

AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak. Pemberiannya hanya untuk
mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak tertentu yang tidak responsif terhadap
AAS atau sebagai pengobatan inisial, misalnya :

Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberi
bersama makanan atau antasid.
Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan,
jangan diberikan lebih 5 kali perhari  untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada
penyakit sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan pengawasan yang ketat, tidak boleh
diberikan untuk waktu lama karena dapat menimbulkan kelainan ginjal.

Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs (SAARDs)  hanya
diberikan pada poliartristik progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS,
contoh : Hidroksi klorokuin, garam emas (gold salt), Penisilamin dan sulfa salazin.

- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7 mg/kgBB/hari,
setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, jika setelah terapi 6 bulan
tidak ada perbaikan  obat dihentikan

Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan AAS/AINS lain
setelah 6 bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain diteruskan selama

pemakaian garam emas. Preparat yang diapaki Gold sodium


thiomalate dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM

dankemudiandosisditingkatkansampai0,75-1

mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika remisi telah tercapai dalam 6

bulan diteruskan dengan dosis yang sama dengan injeksi tiap-

tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3 minggu

setelah 3 bulan, lalu setiap 4 minggu, diteruskan sampai

beberapa tahun remisi. Preparat oral garam emas dipakai

Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2 mg/kgBB/hari (maksimal 9

mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari setiap 3

bulan sampai mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama

pengobatan dapat sampai beberapa tahun remisi.

- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari)

selama 3 bulan, kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari)

dalam 2 dosis selama 3 bulan, sampai maksimum10

mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis

rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.


- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi
4-6 dosis,

diberi bersama makan, jangan diberikan bersama antasid.

Setelah tidak ada keluhan dosis diturunkan perlahan-lahan

sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan beberapa tahun.

 Kortikosteroid : jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan

untuk pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler.

Penyakit sistemik yang tidak terkontrol : prednison 0,25-1

mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika keadaan lebih berat dosis

terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan pelan-pelan,

kemudian stop.

 Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan

dipakai metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons

tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian, dapat dinaikan

menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama pengobatan adekuat 6 bulan.

 Obat lain
yang bisa
dipergunakan adalah
azatioprin,
siklofosfamid dan klorambusil.

Edukasi
 Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ

tipe oligoartritis dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat

terapi hidroksi klorokuin.

 Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang

dan sendi dilakukan fisio terapi di bagian URM.

 Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas,

memperbaiki pergerakan sendi.

Indikasi Pulang
Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi

 Gangguan
pertumbuhan
dan perkembangan akibat
penutupan
Komplikasi
epifisis dini.

 Komplikasi akibat pengobatan steroid

 Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis ginjal sekunder

 Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti angkilosis, luksasi

atau fraktur.

Prognosis
 70-90% sembuh tanpa kecacatan, 10% dapat terjadi cacat sampai

dewasa.

 Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.

 Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis,

atau disertai uveitis kronik, erosi sendi, fase aktif yang

berlangsung lama, nodul reumatoid dan faktor reumatoid positif.

Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan

gagal ginjal akibat amilodosis serta infeksi.

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi


Daftar kepustakaan
imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2.

2008.
2. Behrm, N, Kliegman, Jenson. 2008. Nelson Textbook of

Pediatrics 18th edition. Pennsylvania: Saunders

3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric

Rheumatology. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010.


Lain-lain (Algaritma,

Protokol, Prosedur,

Standing Order)
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Kode ICD : L93.0

DEPARTEMEN IKA
(LES)

RSMH PALEMBANG
No Dokumen

No.Revisi
Halaman :

1
1 –4

Ditetapkan Oleh,

Panduan Praktek
Tanggal Revisi

Ketua Divisi Alergi Immunologi


Klinis
22 Februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

Definisi
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang

mengenai satu atau lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas

pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik yang

diselingi oleh periode remisi.

Etiologi
Merupakan penyakit autoimun dengan berbagai faktor penyebab

yang saling berkaitan : faktor genetik, faktor endokrin, faktor obat

dan faktor infeksi. Jika salah satu faktor tidak ada, maka penyakit

Lupus tidak akan muncul secara klinis.

Patogenesis
Autoantibodi berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks

imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan  terjadi


antivasi komplemen, terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi

di tempat tersebut.

LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-

Bentuk Klinis
sendiri atau bersama-sama. Manifestasi klinis pada masing-masing

(Klasifikasi)

organ ini yang lazim adalah :

Demam dan astenia merupakan gejala tersering.


Kelainan kulit, berupa :

Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka (eritema malar)
dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapular dengan squamasi halus berwarna
kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping hidung, pangkal hidung, daerah leher atau bahu
yang terbuka, periorbita, frontal atau darah telinga luar.

Lupus diskoid

Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual, makuloeritematosa kulit dan
pulpa jari jemari).

Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak, kulit fotosensitif,
alopesia, non sikatrik,

sindroma Raynaud.
 Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.

 Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas,

tenosinovitis, artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis

aseptik.

 Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom

nefrotik, gagal ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis

mesangial, glomerulonefritis proliferatif fokal, glomerulonefritis

proliferatif difus, glomerulonefritis membranosa.

 Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau

dapat berhubungan dengan kelainan organik serebral.

 Manifestasi hematologik
: limfadenopati superfisial atau lebih

dalam (mediatinum, intra abdomen), dapat juga terjadi

splenomegali. Anemia: normokrom normositik dengan kapasitas

pengikatan zat besi rendah dapat disertai skizositosis dan

trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.

 Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.

 Kelainan saluran nafas


: efusi pleura,
dapat juga terjadi

perdarahan alveolar masif.

 Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.

 Kelainan sistem pencernaan :  terjadi akibat vaskulitis seperti :

perdarahan intestinal, prankreatitis, perforasi usus atau ulserasi


hemoragis. Dapat terjadi diare karena infeksi saluran cerna.

Perdarahan digestif karena pemberian obat (anti inflamasi),

hepatitis dan dapat terjadi asites.

 Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur

saraf optik. Pada retina terdapat eksudat seperti kapas disertai

perdarahan (Cotton Wool Spots), papilitis dan oklusi arteri

sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan penglihatan

unilateral dan keratitis.

Kriteria Diagnosis
Dasar Diagnosis:

Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang

paling bayak dianut adalah menurut American Rheumathism

Association (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling

sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4 kriteria positif

menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu butir

pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri

dari :

 Eritema malar (Butterfly rash)

 Lupus diskoid
 Fotosensitivitas

 Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal

 Artritis

 Nefritis:, proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine

 Ensefalopati, konfulsi, psikosis

 Pleuritis atau perikarditis

 Sitopenia

 Imunoserlogi positif : antibodi antidouble


stranded DNA (anti
dsDNA),

Antibodi antinuklear Sm, sel LE, serologi sifilis (positif palsu)


Antibodi Antinuklear positif (ANA) .

Langkah Diagnosis

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat


mengidentifikasi manifestasi klinis dan butir-butir kriteria ACR.

Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain. Anjuran


pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :

Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)

Sel LE
antibodi Antinuklear (ANA)
Anti ds DNA (anti DNA natif)
Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll)
Titer komplemen C3, C4 dan CH5O
Titer IgM, IgG dan IgA
Krioglobulin
Masa pembekuan
Uji coombs
Elekroforesis protein
Kreatin dan ureum darah
Protein urine (total protein dalam 24 jam)

Biakan kuman, terutama dalam urine


Foto rontgen dada.

Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ACR dan identifikasi


luasnya manifestasi klinis.

Telusuri komplikasi.

Dasar Diagnosis:

Tatalaksana Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria


diagnosis yang paling bayak dianut adalah menurut American
Rheumathism Association (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila
terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4 kriteria
positif menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah
satu butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA
ini terdiri dari :

Eritema malar (Butterfly rash)


Lupus diskoid
Fotosensitivitas
Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal
Artritis
Nefritis:, proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine
Ensefalopati, konfulsi, psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Sitopenia

Imunoserlogi positif : antibodi antidouble stranded DNA (anti


dsDNA),

Antibodi antinuklear Sm, sel LE, serologi sifilis (positif palsu)

 Antibodi Antinuklear positif (ANA) .

Langkah Diagnosis

1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat

mengidentifikasi manifestasi klinis dan butir-butir kriteria ACR.

2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain.

Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :

 Analisis darah tepi lengkap (darah besar dan LED)

 Sel LE

 antibodi Antinuklear (ANA)

 Anti ds DNA (anti DNA natif)

 Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll)

 Titer komplemen C3, C4 dan CH5O

 Titer IgM, IgG dan IgA


 Krioglobulin

 Masa pembekuan

 Uji coombs

 Elekroforesis protein

 Kreatin dan ureum darah

 Protein urine (total protein dalam 24 jam)

 Biakan kuman, terutama dalam urine

 Foto rontgen dada.

3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ACR dan identifikasi

luasnya manifestasi klinis.

4. Telusuri komplikasi.

Edukasi
Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi,

akibat pemakaian imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat

penyakit lupus.

Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat


Komplikasi
defisiensi imun, juga berhubungan dengan pemakaian

kortikosteroid dan imunosupresan.

 Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna,

ensefalopati, perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.

Prognosis
Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival

untuk masa 10 tahun sebesar 90%.

 Penyebab kematian  akibat komplikasi viseral : gagal ginjal,

hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard,

dan sitopenia autoimun  infeksi.

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi


Daftar kepustakaan
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Cassidy, Petty
RE, Laxer RM. Textbook Pediatric
Rheumatology. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010

ALERGI MAKANAN

Kode ICD : T78.1


DEPARTEMEN IKA

RSMH PALEMBANG
No Dokumen
No.Revisi

Halaman :

6
1

1 –4

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek
Tanggal Revisi
Ketua Divisi Alergi Immunologi
Klinis
22 februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)


Definisi
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang melibatkan

banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi

terhadap bahan makanan. Merupakan reaksi imunologik yang

menyimpang, yang merupakan kombinasi keempat tipe reaksi


hipersensitivitas menurut Gell dan Comb’s.

Etiologi
Terdapat 3 faktor penyebab alergi makanan, yaitu:

 Faktor genetik

Anak yang salah satu orang tuanya atopi, kemungkinan

terjadinya alergi 17-29%. Bila kedua orang tuanya atopi

kemungkinan alergi 53-58%, jika kedua orang tua dengan alergi

yang sama maka kemungkinan alergi pada anak 60-80%. Anak

dengan HLA-BB cenderung mendapat alergi.

Faktor Imaturitas usus

Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan


pelindung masuknya alergen kedalam tubuh.

Secara kimiawi, asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan


denaturasi alergen.

Secara imunologik SIgA pada permukaan mukosa dan limposit pada


lamina propia dapat menangkal alergen masuk kedalam tubuh.

Pajanan alergen
Dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan

Pemberian PASI pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian


alergi

Eleminasi telur, susu dan ikan pada ibu menyusui selama 3 bulan
pertama mengurangi sensitivitas selam 3 bulan berikutnya dan
menurunkan dermatitis atopik 6 bulan berikutnya.
Pajanan alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma
kehidupan setempat

Faktor pencetus bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya gejala alergi, dapat
berupa faktor fisik, faktor psikis atau beban latihan.

Patogenesis
Makanan merupakan pajanan alergen  gangguan integritas

mukosa usus  absorpsi molekul alergen (protein: glikoprotein atau

polipeptida dengan berat molekul > 18.000 dalton, tahan panas,

tahan enzim proteolitik)  pada orang yang sensitif  reaksi alergi

yang muncul dapat berupa satu atau lebih reaksi.

Reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase

cepat.

Reaksi lambat terdapat 4 kemungkinan, yaitu :

1.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat

2.
Reaksi hipersensitivitas tipe II

3.
Reaksi hipersensitivitas tipe III

4.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Bervariasi berdasarkan target organ:

Bentuk Klinis

(Klasifikasi)
o
Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring,

sembab tenggorokkan, muntah-muntah, nyeri perut, kembung,

mencret, perdarahan usus dan protein- losing enteropathy.

o
Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk

kronik berulang.

o
Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atau dermatitis

atopik.

o
Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis,

berupa:

- Anafilaksis yang diinduksi makanan.


- Anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan

(food
dependentexercise
inducedanaphylaxis)
gejala

anafilaksis timbul setelah makan suatu alergen dan kemudian diikuti latihan fisik.
Bervariasi berdasarkan target organ:

Pada saluran cerna dapat berupa gatal pada bibir, mulut, faring, sembab tenggorokkan, muntah-
muntah, nyeri perut, kembung,

mencret, perdarahan usus dan protein- losing enteropathy.

o Pada saluran nafas dapat berupa rinitis, asma bronkial atau batuk kronik berulang.

o Pada kulit dapat berupa urtikaria, angiodema atau dermatitis atopik.

o Pada kardiovaskular dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, berupa:


Anafilaksis yang diinduksi makanan.

Anafilaksis yang diinduksi latihan dan tergantung makanan


(food dependentexercise inducedanaphylaxis) gejala

anafilaksis timbul setelah makan suatu alergen dan kemudian

diikuti latihan fisik.

-
Kriteria Diagnosis
Dasar diagnosis

o Diagnosis alergi makanan adalah diagnosis klinis yang dibuktikan dengan eleminasi dan
provokasi makanan.

o Makanan tersangka dieleminasi selama 2-3 minggu→ hilang atau berkurang, dilakukan
provokasi makanan yang dicurigai:

Jika makanan berupa cairan/makanan lunak dapat diberikan bersama dengan cairan juice
(seperti air jeruk) atau disembunyikan dalam bubur.

Jika anak usia > 6 tahun, maka bahan makanan dihaluskan jadi bubur→ masukkan dala
dinaikkan tiap-tiap 30 menit, jika tidak ada gejala setelah dosis 8 gram berarti makanan tersebut
bukan alergen penyebab. Provokasi tidak dilakukan jika gejala yang timbul
anafilaksis dan edema laring.
Diagnosis dapat didukung melalui pemeriksaan:

Uji kulit dapat dilakukan uji gores (scratch test), uji suntik intra dermal (intra dermal test), dan
uji tusuk (prick test).

Darah tepi: eosinofil >5% atau >500/ml, cenderung alergi. Jika leukosit < 5000/ml disertai
neutropenia <30%, sering ditemukan pada alergi makanan.

Hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemui pada susu sapi.

Pemeriksaan IgE spesifik (RAST) hanya dikerjakan atas

indikasi saja. Langkah diagnosis


Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik,


Eliminasi dan provokasi makanan yang dicurigai.


Pemeriksaan Penunjang

Diffrential diagnosis
-
Penyakit Infeksi pada organ yang sama

-
Penyakit Alergi karena penyebab lain.

Tatalaksana
Menghentikan makanan penyebab dan memberikan makanan

pengganti. Pada bayi/anak yang masih mendapat ASI, ibunya

jangan mengkonsumsi makanan yang alergenik.

 Pengobatan simptomatis  ditujukan pada manifestasi klinisnya

(urtikaria, diare, rinitis, asma, angiodema, anafilaksis, dll)


- Urtikaria, pruritus, eritema dan rinitis diberikan antihistamin

peroral, dipakai hidroksizin dosis 1 mg/kgbb/kali, 2 kali

sehari, atau dipenhidramin 1 mg/kgbb/kali, 4 kali sehari.

- Jika kelainannya cukup luas dan timbulnya cepat seperti

angioedema , mula-mula diberikan HCI epinefrin (adrenalin)


larutan 1:1000 dengan dosis 0,01 cc/kgBB subkutan (max. 0,3 cc). Jika perlu diulang sampai 2
kali selang 15 menit, kemudian dilanjutkan antihistamin peroral.

Jika terjadi sitopenia atau vaskulitis diberikan kortikosteroid, dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis. Jika klinis telah membaik ditapering secara sepat, biasanya 3 hari.

Jika terjadi asma bronkial, diberikan bronkodilator (seperti teofilin, salbutamol)  SP asma
bronkial.

Anafilaksis :

Penatalaksanaan penderita anafilaksis :

Penderita dibaringkan terlentang, kepala dalam posisi ekstensi , jika perlu oksigen. Beri
adrenalin 1:1000, dosis 0,01 cc/kgBB/kali IM

Jika terjadi obstruksi jalan nafas dipasang alat nafas buatan (Gudel) atau trakeostomi. Tanda-
tanda vital dimonitor terus (TD, Nadi, RR).

Jika tidak ada perbaikan tanda-tanda vital (TD masih rendah) pasang IVFD dengan Ringer
laktat atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%, dikocor

Bronkospasme dihilangkan dengan memberi aminofilin 3-4 mg/kgBB IV (pelan-pelan,


diencerkan dulu).

Untuk menekan reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat

diberi hodrokortison 7-10 mg/kgBB I.V, dilanjutkan 5 mg/kgBB (tiap 6 jam I.V).

Pengobatan selanjutnya ditujukan pada komplikasi yang terjadi  jika perlu dirawat di ICU.

Edukasi

Hindari makanan penyebab alergi


Pada alergi makanan tertentu seperti susu sapi dan telur boleh

dicoba kembali setelah eliminasi 6 bulan –1 tahun, karena

dapat terjadi grow out dengan bertambahnya usia.


Komplikasi
o

Failure to thrive

o Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

Prognosis
o Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan

Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun, 50-80%

organ sasaran akan berpindah, manifestasi alergi berubah

menjadi rinitis alergika dan asma

o
Alergi
makanan yang
mulai
timbul
pada
usia 3
tahun

prognosisnya lebih baik, 40% mengalami grow-out.

o
Anak
yang mengalami
alergi
pada
usia 15
tahun
keatas

cenderung untuk menetap.

Daftar kepustakaan
1.
Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi

anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB


Saunders Co 2008.

Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.
Pennsylvania WB Saunders. 2010.
Lain-lain (Algaritma,

Menghindari makanan penyebab

Protokol, Prosedur,

Standing Order)

 Pada anak yang mendapat alergi makanan sebaiknya dicobakan

lagi, karena kemungkinan mengalami grow out dengan

bertambahnya usia.
ALERGI SUSU SAPI

Kode ICD : T78

DEPARTEMEN

IKA

No Dokumen

No.Revisi

Halaman :

RSMH
7
1

1 –4

PALEMBANG

Ditetapkan Oleh,

Panduan Praktek
Tanggal Revisi

Ketua Divisi Alergi Immunologi

Klinis
22 februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

Definisi

Alergi susu sapi (ASS)


merupakan
suatu penyakit yang
timbul

berdasarkan reaksi imunologis abnormal terhadap protein susu sapi.

Reaksi ini biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I

yang diperantarai IgE , dapat juga tidak diperantarai IgE atau

gabungan keduanya
Etiologi
Protein Susu Sapi
Jumlah

Berat

residu

Protein

Konsentrasi

asam

Molekul
(Konsentrasi % protein susu)

(g/dl)

amino

(kDa)

per
molekul

Whey

β-laktoglobulin

3 –4
18,3

162

(20%)

α-laktalbumin

1 –1,5
14,2

123

(~ 5g/dl)

Immunoglobulin

0,6 –1,0
150

Casein
albumin serum

(80%)

bovin

0,1 –0,4
66,3

582

(~30g/dl)

laktoferin

0,09

76,1

703

αS1-

12 –15
23,6

199
αS2-

3 –4
25,2

207

β-

9 –11
24.0

209

κ-

3 –4
19.0

169
Patogenesis 1. Mekanisme pertahanan spesifik dan nonspesifik saluran cerna bayi belum
sempurna
Berdasarkan klasifikasi hipersensitivitas Gell dan Combs:

Tipe I yang diperankan Ig.E


Tipe II disebut reaksi sitotoksik

c. Tipe III dimediasi kompleks Ag-Ab.

d. Tipe IV yang dimediasi sel L.T.

Bentuk Klinis
Kulit: Urtikaria/angioedema, kemerahan kulit, pruritus dan dermatitis
(Klasifikasi)
atopi.

Saluran cerna: muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air besar

berdarah

Saluran napas: hidung tersumbat, rhinitis, batuk berulang, asma atau

rinokonjungtivitis

Sistemik: Anafilaksis / syok


Kriteria Diagnosis
Anamnesis

 Mengetahui jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi

atau makanan yang mengandung susu sapi.

 Harus diketahui riwayat pemberian makanan lainnya, termasuk diet

ibu saat pemberian ASI.

 Harus diketahui juga riwayat atopi pada keluarga atau penderita

sendiri.

 Adanya gejala klinis pada kulit, saluran napas dan saluran cerna.

 Jumlah susu sapi yang diminum / makan yang mengandung susu

sapi.

 Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopi, urtikaria,

alergi makanan dan alergi obat pada keluarga dan penderita sendiri.

Pemeriksaan FIsik Pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan: pada kulit tampak kekeringan
kulit, urtikaria, dermatitis atopik, siemen crease, geographic tongue, mukosa hidung pucat dan
wheezing (mengi).

Diffrential
Tipe Reaksi
Gejala yang
Diagnosa Banding yang

diagnosis

muncul
dipikirkan

IgE mediated

Sistem Respirasi
Rinokonjungtivitis
Masalah pernapasan primer

Asma

Edema laring

Kulit
Dermatitis atopik
Alergi makanan

Urtikaria
Alergi lingkungan
Angioedema
Penyakit atopik primer

Gastrointestinal
Sindrom alergi
Alergi lingkungan atau

oral
makan, Infeksi, gangguan

Mual dan muntah


pengosongan lambung,

Kolik , Diare
malrotasi, celiac disease,

cystic fibrosis

Tipe Reaksi
Gejala yang
Diagnosa Banding yang

muncul
dipikirkan
NonIgE Mediated

Pernapasan
Pulmonary
-

hemosiderosis

(Heiner Syndrome)

Kulit
Dermatitis kontak
Alergi makanan atau

Dermatitis atopik
lingkungan

Atopi primer

Refluks
Gastrointestinal

Refluks fisiologis,

gastroesofageal

pengosongan lambung

Enteropati tansien

terlambat, celiac disease,

Protein-losing

cystic fibrosis, fissura anal,

enteropathy

hiperkalsemia, Hirschprung

Sindrom
disease, hipotiroid, gangguan

enterokolitis

fungsi gastrointestinal

Kolitis

Konstipasi

Failure to thrive

Pemeriksaan
 Darah tepi: hitung jenis eosinofil >3%, atau jumlah eosinofil total
Penunujang
>300/ml.

Kadar IgE total/spesifik susu sapi meninggi.


Uji kulit alergi (uji tusuk=Prick skin test, intradermal, gores)
Eliminasi dan provokasi susu sapi dapat dengan: baku emas adalah
Double Blind Placebo Controle Food Challenge = DBPCFC, atau dengan modifikasi Double Blind, place
challenge (DBPCCMC).

Pemeriksaan Darah pada tinja

Tatalaksana Nutrisi:
Tatalaksana
- Penghindaran susu sapi harus ketat supaya toleransi dapat cepat

tercapai, tetapi harus memberikan nutrisi yang seimbang dan

sesuai untuk tumbuh kembang anak.

Diberikan susu hipoalergenik: susu terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino. Jika tidak tersedia /
kendala biaya maka bayi > 6 bulan dapat diberi formula kedele (jelaskan pada orang tua kemungkinan reaksi
silang).

Tatalaksana Medikamentosa:

Reaksi kulit ringan: antihistamin peroral ( hidroksin 1 mg/kg bb/kali, 2 kali sehari, atau difenhidramin 1
mg/kg bb/kali 4 kali sehari, atau golongan alkilamin seperti chlortrimeton 0,35 mg/kg bb/hari dibagi 3 dosis.
Angioedema: HCl epinefrin (adrenalin) larutan 1:1000 :0,01 cc /kg bb (maksimal 0,3 cc) subkutan, jika perlu

diulang 2 kali selang 15 menit dilanjutkan peroral.


Vaskulitis: prednison, 1-2mg/kg BB/hari. Klinis membaik kemudian ditapering off secara cepat, biasanya 3 hari

Asmabronkial: bronkodilator (salbutamol 0,2/mg/kg bb/hari

dibagi 3 dosis peroral atau intravena)

Edukasi
Hindari susu sapi penyebab alergi. Jika makan makanan jadi baca label

komposisinya
Komplikasi
o Failure to thrive

o Penyakit atopi kronis seperti asma bronkial dan dermatitis atopik

Prognosis
 Baik

 Setelah usia 2-3 tahun, biasanya imaturitas saluran cerna akan

membaik. Sehingga gangguan saluran cerna akan ikut berkurang

 Angka remisi: 45 - 55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun

kedua, 80-90% pada tahun ketiga.

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.

Daftar
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

kepustakaan
2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy

Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Lain-lain

(Algaritma,
Protokol,

Prosedur,

Standing Order)
ALERGI OBAT

Kode ICD : Z88.0

DEPARTEMEN

IKA

No Dokumen

No.Revisi

Halaman :

RSMH
8

1 –3

PALEMBANG
Ditetapkan Oleh,

Panduan Praktek

Tanggal Revisi

Ketua Divisi Alergi Immunologi

Klinis

22 februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

Definisi

Alergi obat merupakan bagian dari reaksi terhadap penggunaan obat,


seperti reaksi toksisitas, efek samping, intoleransi, dan idiosinkrasi.

Efek samping obat merupakan reaksi toksik dan reaksi interaksi obat

timbul karena sifat farmakologik obat. Alergi obat adalah respons

abnormal terhadap bahan obat dan metabolitnya melalui reaksi

imunologik (reaksi hipersensitivitas).

Etiologi

Pada umumnya, berdasarkan laporan, obat tersering sabagai penyebab

alergi adalah golongan penisilin, sulfat, salisilat dan pirazolon. Obat

lain yang juga sering dilaporkan adalah analgetik (asam mefenamat),

sedatif (terutama luminal), trankuilizer (fenotiazin, fenergan,

klorpromazin, meprobamat) dan antikonvulsan (dilantin, mesantoin,


tridion).

Reaksi
Mekanisme

Klinis

Waktu Reaksi

Patogenesis

Imun

Tipe I
Kompleks IgE-obat
Urtikaria,

Menit sampai
(diperantara
berikatandgn sel
angioedema,

jam setelah

i IgE)
mast melepaskan
bronkospasme,

paparan

histamine dan

muntah, diare,

mediator lain

anafilaksis

Tipe II
Antibodi IgM atau
Anemia

Variasi

(sitotoksik)
IgG spesifik

hemolitik,
terhadap sel hapten-
neutropenia,

obat

trombositopenia

Tipe III
Deposit jaringan
Serum sickness,

1-3 minggu

(kompleks
dari kompleks

demam, ruam,

setelah paparan

imun)
antibodi-obat

artralgia,

dengan aktivasi
limfadenopati,
komplemen
vaskulitis,

urtikaria

Tipe IV

Presentasi molekul
Dermatitis
2-7 hari setelah

(lambat,

obat oleh MHC


kontak alergi
paparan

diperantarai

kepada sel T dgn

oleh seluler)
pelepasan sitokin

Bentuk Klinis

Anafilaksis

Edema laring, hipotensi, bronkospasme

(Klasifikasi)

Erupsi kulit

Urtikaria/angioedema, pruritus, ruam

makulopapular morbiliformis, erupsi obat fikstum,


dermatitis kontak, vaskulitis, eritema nodusom,

eritema multiformis, sindrom steven-jhonson,

nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif

dan reaksi fotosensitivitas

Kelainan

Anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia

hematologic

Kelaianan

Pneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru,

pulmonal

fibrosis paru
Kelainan hepatic
Reaksi kolestasis, destruksi hepatoseluler

Kelainan renal

Nefritis interstisialis, glomerulonefritis,

sindrom nefrotik

Vaskulitis sistemik

Limfadenopati

Kriteria Diagnosis
Anamnesis :
 Riwayat terapi obat sebelumnya

 Infeksi yang menyertai

 Daftar semua terapi yang pernah diberikan termasuk dosis, indikasi,

tanggal pemberian, dan lamanya terapi

Pemeriksaan FIsik
 Gambaran
lesi kulit, dideskripsikan secara akurat mengenai

penampilan, dan distribusinya

Erupsi morbiliform, eksantem merupakan ruam obat klasik,


Urtikaria

Purpura dan ptekiae

Lesi makulopapular di jari tangan dan kaki atau distribusi serpiginosa di lateral telapak kaki

Lesi target yang terdiri dari papulaeritematosa di sentral dengan cincin di perifer yang edema dan
eritematosa menunjukkan eritema pigmentosa

Variasi lesi papul eritematosa atau area pigmentosa sampai lesi papulovesikuler bulosa atau urtikaria dapat
menunjukkan erupsi obat fikstum
Lesi papulovesikuler dan berskuama dengan adanya riwayat obat topikal dapat menunjukkan dermatitis
kontak
Ruam ekzema pada area yang terpapar matahari lebih mengarah pada reaksi fotoalergik

Diffrential
Alergi karena penyebab lain

diagnosis

Pemeriksaan
 Uji in vivo

Penunujang
-
uji tusuk kulit

-
uji provokasi

 Uji in vitro

Uji diagnostik pada hipersensitivitas obat


Reaksi imun
Uji laboratorium
Terapi

Tipe I
Uji kulit, RAST, serum
Penghentian obat, epinefrin,

triaptase
antihistamin, kortikosteroid

sistemik, bronkodilator,

rawat RS bila berat

Tipe II
Uji Coombs direk dan
Penghentian obat,

indirek
kortikosteroid sistemik,

transfusi bila berat

Tipe III
Laju endap darah, C-
Penghentian obat,
reactive protein,
antiinflamasi non-steroid,

kompleks imun,
antihistamin, atau

komplemen,
kortikosteroid sistemik atau

autoantibodi, biopsi
plasmafaresis bila berat

jaringan,

imunofluoresens

Tipe IV
Patch testing,
Penghentian obat,

pemeriksaan proliferasi
kortikosteroid topikal,
limfosit
antihistamin atau

kortikosteroid topikal bila

berat

Tatalaksana
Penghentian pemakaian obat yang dicurigai menyebabkan alergi, lalu

mengatasi gejala klinis yang timbul.

Edukasi
Beritahukan kepada pasien untuk selalu mengingat nama obat yang

menyebabkan alergi sehingga sedapat mungkin menghindari pemakaian

obat tersebut.

Komplikasi
Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, atau

kebutaan bila tindakan pencegahan terlambat dilakukan

Prognosis
Baik, meskipun penghentian obat telah dilakukan, namun erupsi obat
masih dapat muncul secara lambat, serta dapat memburuk.

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.

Daftar
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

kepustakaan
2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.
Pennsylvania WB Saunders. 2010.

INFEKSI HIV DAN AIDS PADA ANAK


Kode ICD : B20.7

DEPARTEMEN

IKA

No Dokumen

No.Revisi
Halaman :

RSMH
9

1
1 –4

PALEMBANG
Ditetapkan Oleh,

Panduan Praktek
Tanggal Revisi

Ketua Divisi Alergi Immunologi

Klinis
22 Februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

Definisi
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): adalah penyakit

yang disebabkan oleh virus HIV, yang menyerang sel imun tubuh,

sehingga terjadi gangguan sistem imun tubuh. Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang

menunjukkan adanya sindrom defisiensiimun seluler sebagai akibat

infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).


Etiologi
HIV yaitu virus yang tergolong dalam keluarga retrovirus sub kelompok

lentivirus. Ada 2 tipe yaitu HIV1 & HIV 2, yang walaupun strukturnya

berbeda tapi gejala klinis yang ditimbulkannya sulit dibedakan. Antibodi

yang terbentuk dari kedua virus ini dapat bereaksi silang.


HIV masuk sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel

Patogenesis
TCD4 dan sel makrofag

terjadi penurunan jumlah dan gangguan

fungsi sel TCD4 melalui efek sitopatik langsung dan efek sitopatik

tidak langsung.

 Efek sitopatik langsung :

- Lisis dan kematian sel TCD4 yang terjadi karena proses replikasi
virus dalam sel TCD4

- Penimbunan DNA virus yang tidak terintegrasi ke genom host

- Interaksi antara molekul Gp 120 HIV dan molekul CD4 intra sel

- Hambatan maturasi sel prekursor TCD4 di dalam timus sehingga

sel tersebut berkembang menjadi matur, sehingga sel TCD4

perifer menurun

 Efek sitopatik tidak langsung :

- Pembentukan sel sinsitia

- Apoptosis sel T reaktif

- Destruksi autoimun yang diinduksi HIV

- Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan

maturasi sel prekursor TCD4 sehingga jumlah sel TCD4 perifer

berkurang.

Cara penularan

Pada bayi dan anak, penularan HIV melalui ibu hamil yang mengidap

HIV, dapat juga terjadi intrapartum dan melalui ASI, transfusi darah
yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal dari donor yang

mengandung HIV, jarum suntik yang tercemar HIV dan hubungan

seksual dengan pengidap HIV.

Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :

- Bayi dari ibu dengan pasangan biseksual

- Bayi dari ibu dengan pasangan berganti-ganti

- Bayi dari ibu atau pasangannya penyalah guna obat intravena

- Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah

berulang-ulang

- Bayi atau anak yang terpapar denagn alat suntik/ tusuk bekas yang

tidak steril

Bentuk Klinis
Bervariasi sesuai tahapan penyakit :
(Klasifikasi)

- anak yang lahir dari ibu pengidap HIV

- kategori N : asimptomatik

- kategori A : simptomatik ringan

- kategori B : simptomatik sedang

- kategori C : simptomatik berat atau AIDS

Kriteria Diagnosis
 Dasar diagnosis

- anamnesa adanya faktor risiko tertular HIV

- gambaran klinis menunjukkan penuruan kekebalan

- adanya antibodi IgG spesifik HIV


 Langkah diagnosis

- Skrining ibu hamil terhadap HIV

- Memantau bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV positif

- Memantau bayi yang telah dikenal terinfeksi HIV

- Diagnosis ditegakkan jika ditemukan antibodi HIV dalam serum

penderita

- Pada bayi baru lahir, jika antibodi HIV positif tanpa gejala, harus

dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3 bulan sampai bayi berumur

15 bulan karena mungkin antibodi HIV diperoleh dari ibu secara

pasif selama dalam kandungan.

-
Diagnosis infeksi HIV pada bayi; adanya antibodi spesifik IgG

HIV, menemukan DNA HIV (dengan PCR), antigen P24 HIV

pada darah bayi

-
Pemeriksaan darah tepi : anemia, lekositopenia, limfopenia dan

trombositopenia

-
Limfosit CD4 menurun, CD8 meningkat sehingga rasio
CD4/CD8 menurun


Fungsi sel T menurun respons proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen menurun, adanya anergi.

Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat


hipergamaglobunemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons
terhadap vaksinasi difteri, tetanus dan hepatitis B menurun.

Indikasi Rawat Penderita HIV atau AIDS dengan infeksi berat dan keganasan, untuk
mengatasi infeksi atau gejala simtomatis.

Tatalaksana
 Memperbaiki kondisi penderita untuk mencegah infeksi opotunistik, mengobati infeksi
yang terjadi dan mencegah penularan infeksi HIV

dari penderita kepada tenaga kesehatan, lingkungan dan teman-temannya.

Pada penderita asimtomatik, dijelaskan bahwa penyakitnya dapat menulari orang sekitarnya,
dapat berkembang menjadi berat dan juka penderita wanita dijelaskan bahwa jika hamil
kemungkinan besar anaknya akan menderita HIV juga.

Belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit AIDS. Vaksin untuk pencegahan juga
belum.

Upaya pengelolaan terhadap pasien AIDS :


Pemberian obat antiretroviral, prinsip:

Kerjasama pengasuh dan orang tua

Penentuan satu pengasuh utama

 
Bila keluarga sudah siap dan patuh belum siap, kepatuhan buruk resistensi ART

Kriteria ART menggunakan kriteria klinis dan imunologis

Rekomendasi ART:

 
Lini pertama: 2 NRTI + 1 NNRTI Zidovudin pilihan utama; bila Hb< 8 gr/dl Abacavir atau Stavudin

NRTI: (umur 30 hari-13 tahun)

Zidovudin (AZT): dosis 180-240 mg/m2/dosis (semua umur)

Lamivudin (3TC): dosis 4 mg/kgBB/dosis, 2x/hari (semua umur)

Duviral (AZT+3TC): dosis 2 x 1 tablet ( 300mg AZT + 150 mg 3TC)

Stavudin (d4T): dosis 1 mg/kgBB/dosis, 2 x sehari


NNRTI: (umur 30 hari-13 tahun)
Nevirapin (NVP): dosis 160 mg/m2/dosis, 2 x sehari (semua umur)
Efavirenz (EFV): dosis 200-400 mg, 1 x sehari ( umur > 3 tahun, BB > 10 kg, tergantung BB)

Kombinasi d4T+3TC+NVP: dosis 2 x 1 tablet (remaja dan dewasa)

Pemantauan setelah mendapat ART:

Evaluasi klinis (tiap bulan selama 4 bulan, kemudian per 2-3 bulan + bila ada gejala)

-
BB dan TB (tiap bulan selama 4 bulan, kemudian per 2-3

bulan)

- Penghitungan dosis ART (tiap bulan selama 4 bulan,

kemudian per 2-3 bulan)

- Obat yang diminum bersamaan

-
Kepatuhan minum obat

4. Evaluasi respon terhadap ART

 Tindakan lanjut

- Observasi keaadaan umum penderita, klinis dan laboratorium

Observasi munculnya komplikasi

Edukasi
Pencegahan :

 Menghindari tingkah laku seksual yang menyimpang pada anak


remaja

 Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV

 Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar

 Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi

tertular HIV tidak dijadikan donor.

Komplikasi
 Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial

pneumonitis (LIP), gangguan susunan saraf pusat, gangguan

pertumbuhan dan endokrinologi, gangguan gastrointestinal dan

nutrisi, manifestasi hematologis dan keganasan.

 Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus

protozoa, jamur dan infeksi pneumonitis karnii.

Prognosis
Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun

sejak diagnosis AIDS ditegakkan.

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.


Daftar
Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

kepustakaan
2. Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.


ANAFILAKSIS
Kode ICD : T78.2

DEPARTEMEN

IKA
No Dokumen

No.Revisi
Halaman :

RSMH
10

1
1 –4

PALEMBANG
Ditetapkan Oleh,

Panduan Praktek
Tanggal Revisi

Ketua Divisi Alergi Immunologi

Klinis
22 Februari 2012

Dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

Definisi
Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset

mendadak dan biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol,

kemerahan, gatal, angioedema, stridor, wheezing, nafas pendek, muntah,

diare atau syok


yang mengancam kehidupan.

Etiologi
Makanan (tersering), Sengatan lebah atau serangga,Obat-obatan,Karet
lateks

 Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis:

Kacang tanah, Ikan laut/ sea food, Kerang, Telur, Susu sapi, Biji-

bijian

 Obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis atau

anafilaktoid:

Antibiotik (khususnya penisilin), Obat anestesi intravena, Aspirin,

NSAID, Kontras media intravena, Analgetik opioid

Individu terpapar kembali dengan antigen yang pernah kontak

Patogenesis
sebelumnya

membentuk IgE gE spesifik, antigen tersebut berikatan
silang dengan molekul IgE spesifik yang terikat pada sel mast dan


basofil sel mast dan basofil teraktifasi dan mengalami degranulasi


mediator yang terkandung dilepaskan pada saat degranulasi, seperti

histamin dan triptase, dan membentuk mediator baru seperti

prostaglandin dan

Leukotrin mediator ini beraksi pada reseptor

menyebabkan produksi mukus, pruritus, peningkatan permeabilitas


vaskuler, konstriksi otot polos dan lain-lain menyebabkan gejala

anafilaksis

Reaksi anafilaktoid

Reaksi sama seperti anafilaksis di mana terjadi pelepasan mediator dan

reaksi yang sama, namun tidak diperantarai IgE


misal : - Aspirin dan NSAID reaksi terjadi karena inhibisi

siklooksigenase

- Kontras radiologi menyebabkan pelepasan

mediator secara langsung

Individu terpapar kembali dengan antigen yang pernah kontak


sebelumnya membentuk IgE gE spesifik, antigen tersebut berikatan

silang dengan molekul IgE spesifik yang terikat pada sel mast dan


basofil sel mast dan basofil teraktifasi dan mengalami degranulasi


mediator yang terkandung dilepaskan pada saat degranulasi, seperti

histamin dan triptase, dan membentuk mediator baru seperti


prostaglandin dan Leukotrin mediator ini beraksi pada reseptor

menyebabkan produksi mukus, pruritus, peningkatan permeabilitas


vaskuler, konstriksi otot polos dan lain-lain menyebabkan gejala

anafilaksis

Reaksi anafilaktoid

Reaksi sama seperti anafilaksis di mana terjadi pelepasan mediator dan

reaksi yang sama, namun tidak diperantarai IgE



misal : - Aspirin dan NSAID reaksi terjadi karena inhibisi

siklooksigenase


- Kontras radiologi menyebabkan pelepasan

mediator secara langsung

Bentuk Klinis
Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus

(Klasifikasi)
dimonitor status respirasi dan kardiovaskuler

Kulit

Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor erecti

Reaksi lokal

Oral

Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah, rasa seperti logam di mulut
Saluran Nafas (organ syok utama)

Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia, disfonia, serak, batuk kering, gatal
pada saluran telinga luar

Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing


Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin

Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran nafas atas

Stridor bila saluran atas terkena


Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak

Kardiovaskuler
Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi
Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah

Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume intravaskuler dan hipotensi

Gastrointestinal

Mual, kolik, muntah, diare

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan secara klinis, perlu dicari riwayat penggunaan

obat, makanan, gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan

dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu

dipikirkan diagnosis banding.


Langkah diagnosis anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik

Diffrential
Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema
diagnosis

Pada reaksi sitemik berat, harus dipertimbangkan semua penyebab

distres pernapasan, kolaps kardiovaskular, dan hilangnya kesadaran

antara lain adalah reaksi vasovagal, dan serangan sinkop, infark


miokard, reaksi insulin, dan reaksi histeria.

Tatalaksana
 Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien mengalami henti jantung-paru,
harus dilakukan resusitasi
kardiopulmoner.

Adrenalin (epinefrin)

Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas oleh edema

Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan
berbisa maka dipasang torniket proksimal di daerah suntikan atau tempat gigtan tersebut

Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak atau penderita dengan
mengi.

Difenhidramin: untuk mencegah reaksi berulang


Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak
Aminofilin

Vasopresor
Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada penatalaksanaan akut reaksi
anafilaksis, kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala berulang

Pengobatan suportif

Edukasi
 Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya

makanan, obat-obatan dan lain-lain.

 Jelaskan pada guru-teman, pengasuh pada anak menderita


reaksi

anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan dan lain-lain.

 Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan


dulu

tentang cara pemakaiannya

Prognosis

Bonam

1.
Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.

Daftar

Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.


kepustakaan
2.
Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3.
Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy

Principles and Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

You might also like