You are on page 1of 9

URGENSI REGULASI DAN KEBIJAKAN KEPEMILIKAN TUNGGAL

DALAM UPAYA MENATA KELEMBAGAAN BANK NASIONAL

ABSTRAK

Bisnis bank banyak diminati pelaku bisnis nasional maupun asing. Dengan
dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 telah memberikan peluang bagi pihak asing
memiliki saham bank nasional. Hal ini sejalan dengan adanya komitmen Indonesia
dalam berbagai forum Internasional salah satunya WTO, sehingga Indonesia
meratifikasi peraturan baru yang berisi pemerintah tidak boleh memproteksi pelaku
bisnis asing. Perubahan tersebut salah satunya terdapat pada Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor 9/12/PBI/2007. Banyaknya investor yang berkiprah pada
bisnis bank, menimbulkan sulitnya pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia, ketika satu pemilik saham pengendali menjadi ultimate shareholder
di dua atau lebih bank berbeda. Hal ini menimbulkan potensi kerawanan
penyalahgunaan keadaan oleh pemegang saham pengendali maupun pemilik bank.

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif


yaitu mengkaji suatu penelitian yang objeknya adalah norma, kaidah dan aturan
hukum untuk dikaji kualitasnya, dengan menggunakan pendekatan pada asas-asas
hukum/ajaran/doktrin hukum yang mengacu pada pendapat para ahli.

Kebijakan Kepemilikan Tunggal dapat diterapkan secara efektif dan efisien


maka kebijakan yang paling tepat dalam penerapan Kebijakan Kepemilikan Tunggal
adalah Bank Holding Company. Upaya pembentukan Bank HoldingCompany dinilai
menjadi jalan keluar di samping merger atau konsolidasi karena dinilai lebih murah.
Dengan upaya ini, Pemegang Saham Pengendali membentuk bank induk yang hanya
memiliki kegiatan sebagai Bank Holding Company yang mengkonsolidasikan
kegiatan bank-bank yang berada dibawahnya. Namun, melalui upaya ini jumlah bank
bukannya berkurang, tetapi bertambah , dan ini tidak dapat mencapai tujuan dari
konsolidasi perbankan maupun peningkatan efisiensi pengawasan perbankan.

Kata Kunci : Regulasi, Kepemilikan Tunggal, Kelembagaan Bank Nasional

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997 - 1998, khususnya
di bidang perbankan berimplikasi terhadap tersedianya lembaga yang sehat
dan kuat guna beroperasinya secara berkesinambungan kebijakan makro
dalam perekonomian Indonesia. Krisis tersebut menyadarkan kita bahwa
industri perbankan nasional secara fundamental masih lemah. Salah satu
penyebabnya yaitu belum tersedia pendukung infrastruktur perbankan yang
baik dan minimnya modal dibanding dengan bank sejenis, khususnya di
kawasan ASEAN. Apabila kondisi berdampak sistemik terhadap gejolak
keuangan baik eksternal maupun internal, akan sulit untuk ditanggulangi.
Pada tanggal 9 Januari 2004, Bank Indonesia mengeluarkan dan
mengumumkan secara resmi cetak biru tentang Arsitektur Perbankan
Indonesia yang selanjutnya ditulis API. Tujuan dibentuknya API adalah
perbankan yang lebih baik, sehat, dan stabil. API merupakan suatu kerangka
dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan
arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu 5 (lima)
sampai dengan 10 (sepuluh) tahun ke depan1.
Adapun program struktur perbankan nasional ditempuh dengan
cara memperkuat atau meningkatkan modal bank, atau yang dikenal dengan
meningkatkan Capital Adequacy Ratio (CAR). Peningkatan modal dapat
dilakukan dengan cara : penambahan modal baru baik dari shareholder lama
maupun investor baru, merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk
mencapai persyaratan modal minimum baru, penerbitan saham baru atau
secondary offering di pasar modal dan penerbitan subordinated loan.
Kegiatan peningkatan modal perbankan tersebut dilaksanakan dalam kurun
waktu 10 sampai dengan 15 tahun, terhitung mulai tahun 2004,
Banyaknya jumlah bank di Indonesia dimana satu pemilik saham
pengendali menjadi ultimate shareholder di dua bank berbeda menimbulkan
potensi kerawanan penyalahgunaan keadaan oleh pemegang saham
pengendali maupun oleh pemilik bank. Oleh karenanya pemerintah
menerbitkan Paket kebijakan Oktober 2006 yang dikenal dengan PAKTO
2006 , di mana salah satu isi paket tersebut adalah berisi Kebijakan mengenai
Kepemilikan Tunggal Perbankan yang tertuang dalam Peraturan Bank
Indonesia (selanjutnya disebut: PBI) Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006, juncto kebijakan mengenai pemberian insentif dalam rangka
konsolidasi perbankan sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 8/17/PBI/2006
tanggal 5 Oktober 2006 dan di ubah dengan PBI Nomor 9/12/PBI/2007.
Namun, dengan adanya dua ketentuan tersebut membuat para investor
mengalami dilematisasi dalam penanaman modal.

1
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, Arsitektur Perbankan Indonesia,
(Jakarta: Bank Indonesia, 2006), hlm. 3.
Kebijakan Kepemilikan Tunggal Perbankan merupakan salah
satu rangkaian upaya Bank Indonesia dalam menegakkan Pilar I Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) yaitu Penguatan Struktur Perbankan Nasional dan
Pilar III API yaitu Peningkatan Fungsi Pengawasan.Kebijakan ini
mengharuskan kepada seluruh pemilik bank khususnya pemegang saham
pengendali (PSP) untuk mengkonsolidasikan kepemilikannya di bank-bank
yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu hingga tahun 2010.
Bank Indonesia menawarkan 3 (tiga) opsi melalui kebijakan
tersebut yaitu divestasi (penjualan saham-saham miliknya), merger atau
konsolidasi, dan yang terakhir adalah pembentukan perusahaan induk di
bidang perbankan (Bank Holding Company)2, dengan tujuan untuk mereduksi
jumlah bank yang saat ini berjumlah 131 bank.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana dampak Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal berkaitan


dengan penerapan kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR)? ;
bagaimana Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal oleh investor asing berkaitan
dengan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang WTO? ; bagaimana regulasi dan
reformasi yang sesuai dalam menerapkan Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal
dengan tetap mengedepankan peran pelaku nasional?

BAB II

Tujuan

Mengetahui dampak Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal berkaitan


dengan penerapan kecukupan modal atau CAR ; memahami hubungan antara
Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal oleh investor asing dengan UU Nomor 7
tahun 1994 tentang WTO; mengetahui regulasi dan reformasi yang sesuai
dalam menerapkan Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal dengan tetap
mengedepankan peran pelaku nasional.

BAB III

2
Lihat lebih lanjut Pasal 1 Ayat (3) dan (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada
Perbankan Indonesia.
METODE
Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah
Metode Penelitian Yuridis-Normatif. Metode penelitian yuridis-normatif
digunakan untuk menemukan kebenaran dalam suatu penelitian hukum
dilakukan melalui cara berpikir deduktif dan kriterium kebenaran koheren.
Kebenaran dalam suatu penelitian sudah dinyatakan dapat dipercaya tanpa
harus melalui proses pengujian atau verifikasi. Verifikasi di dalam Metode
Yuridis-Normatif dilakukan dengan pengujian cara berpikir (logika) dari hasil
penelitian oleh kelompok sejawat sebidang atau peers group. Metode ini
digunakan untuk mengetahui bagaimana ketentuan undang-undang yang harus
diterapkan dalam rangka mencegah kejahatan.
Penelitian terhadap Kebijakkan Kepemilikan Tunggal
menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan melakukan
sinkronisasi ketentuan meger atau konsolidasi dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang WTO, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseoroan Terbatas, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8 Tahun 2006
tentang Kepemilikkan Tunggal Pada Perbankan Indonesia dan Peraturan Bank
Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem PenilaianTingkat Kesehatan
Bank Umum

Langkah Penelitian

Mempersiapkan bahan-bahan studi kepustakaan yang berkaitan


dengan penelitian yang sedang dilakukan. Studi kepustakaan melalui data
sekunder yang terdiri atas peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
,literatur-literatur mengenai perbankan dan Kebijakan Kepemilikan Tunggal.
Setelah seluruh bahan-bahan dikumpulkan maka dilakukan analisis mengenai
data-data yang telah ada agar dapat menjawab indentifikasi masalah.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Dampak Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal Berkaitan dengan


Penerapan Kecukupan Modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR)
Banyaknya jumlah Bank di Indonesia membuat pemilik saham
pengendali menjadi shareholder di dua Bank. Hal ini menimbulkan potensi
kerawanan penyalahgunaan keadaan oleh pemegang saham pengendali
maupun oleh pemilik bank. Hal itu mendorong diperlukannya Kebijakan
Kepemilikan Tunggal. Kebijakan Kepemilikan Tunggal merupakan suatu
kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali3
pada satu bank.
Kebijakkan ini mengharuskan kepada seluruh Pemilik Saham
Pengendali (PSP) untuk mengkonsilidasikan kepemilikkannya di dalam bank-
bank yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu hingga tahun 2011.
Kebijakan Kepemilikan Tunggal sebenarnya merupakan wujud langkah Bank
Indonesia untuk menempuh heavy handed policy guna memaksa perbankan
melakukan konsolidasi secara cepat. Kepemilikan Tunggal Perbankan yang
dituangkan dan diatur dalam Peraturan BI Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Perbankan Indonesia.
Di sisi lain Bank Indonesia berpedoman pada standar BIS (Bank
for Internasional Sattelment) yang menetapkan bahwa bank dinyatakan sehat
apbila memiliki CAR 8 %. Berdasarkan rambu tersebut, bank yang memiliki
CAR dibawah 8% tidak diperkenankan memberikan kredit baru, kecuali bagi
kredit lama yang dilunasi
B. Hubungan antara Kebijakan Kepemilikan Tunggal dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang WTO
Dalam penilian tingkat kesehatan permodalan bank, digunakan
tolok ukur CAR atau Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). CAR
atau yang dikenal dengan Capital Adequacy Ratio adalah rasio atau
perbandingan antara modal bank dengan Aktiva Tertimbang Menurut Rasio
(ATMR).4CAR menjadi pedoman bagi bank dalam melakukan ekspansi
kredit, di mana semakin besar kuantitas kredit yang disalurkan, maka semakin
besar pula prosentase kecukupan modal yang harus dipenuhi oleh bank
bersangkutan.
Bank Indonesia dengan berpedoman pada standar BIS (Bank for
International Sattlement) menetapkan bahwa bank dinyatakan sehat apabila
memiliki CAR minimal 8%. Berdasarkan rambu tersebut, bank yang memiliki
CAR dibawah 8% tidak diperkenankan memberikan kredit baru, kecuali bagi
kredit lama yang dilunasi.
Di tengah tuntutan peninjauan ulang kepemilikan asing di
perbankan nasional, Bank Indonesia sampai saat ini menyatakan belum ada
pembatasan kepemilikan asing, namun Bank Indonesia sedang mengkaji
kemungkinan diterapkannya batasan maksimal kepemilikannya. Hingga saat
ini, total ada 47 bank yang ada kepemilikan asing, tepatnya 10 kantor cabang
bank asing, 16 bank campuran, dan 21 bank nasional. Hingga Maret 2011,

3
Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang
Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia.
4
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) adalah aktiva neraca (on balance sheet) dan aktiva
administratif (off balance sheet) yang telah dibobot sesuai tingkat bobot risiko yang telah ditentukan.
kepemilikan asing pada 47 bank tersebut menguasai ekuivalen 50,6 persen
dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 3.065 triliun.

Salah satu regulasi yang menjadi “biang kerok” adalah Peraturan


Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999. PP tersebut dikeluarkan ketika Indonesia
diterpa badai krisis moneter yang berimbang pada krisis multidimensi di
Indonesia, termasuk krisis politik yang melengserkan Pak Harto. Ketika itu,
pemerintah akhirnya membuka keran yang sebesar-besarnya yang
memberikan peluang kepada pemodal asing untuk dapat menguasai saham
perbankan sampai 99 persen. Ketika itu, Indonesia takluk pada intervensi IMF
yang tertuang dalam “Letter of Intent”. Sselain memperoleh hutang besar dari
IMF, Perbankan Indonesia pun harus rela menyerahkan diri untuk “dijajah”
oleh pemodal asing. Episode pengambilalihan saham perbankan nasional pun
dimulai sejak saat itu.

Pasal 4 PP yang ditandatangani oleh B.J. Habibie tersebut


menyebutkan bahwa “Jumlah kepemilikan saham Bank oleh Warga Negara
Asing dan atau Badan Hukum Asing yang diperoleh melalui pembelian secara
langsung maupun melalui Bursa Efek sebanyak-banyaknya adalah 99%
(sembilan puluh sembilan per seratus) dari jumlah saham Bank yang
bersangkutan”. Salah satu pertimbangan dari PP tersebut adalah “bahwa
untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, efisien, tangguh dan mampu
bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, diperlukan upaya
yang dapat mendorong Bank memperkuat permodalannya”. Jadi terkesan
bahwa untuk memperkuat permodalan bank, Indonesia berpaling kepada para
kapitalis asing. Mungkin untuk kondisi saat itu, keputusan tersebut bisa
dipahami karena pengusaha Indonesia pada limbung semua terkena krisis
finansial.

Terutama BI sebagai regulator di sektor perbankan, seharusnya


mulai berani untuk mengevaluasi kembali PP tersebut. Kondisi perbankan saat
ini sudah jauh berbeda. Namun bisa dimengerti juga bahwa BI pun pasti harus
membuat kalkulasi yang cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak
perbankan yang justru kontraproduktif, misalnya ada krisis kepercayaan
internal dan eksternal yang berpotensi menimbulkan gejolak finansial. Namun
atas nama kedaulatan atau kepentingan nasional, pembatasan kepemilikan
tersebut tetap harus dilakukan. Ada beberapa catatan yang perlu
dipertimbangkan di sini.

Pertama, dominasi kepemilikan asing yang menguasai lebih dari


separo aset nasional berpotensi mengganggu sistem keuangan Indonesia.
Kedua, mengurangi dominasi asing tidak harus dilakukan secara membabi
buta. Kita jangan sampai dicap sebagai negara yang anti asing tanpa disertai
argumentasi atau justifikasi yang tidak melanggar prinsip atau aturan
perdagangan bebas. Ketiga, kita juga harus melihat kesiapan pemodal lokal
yang dapat mengambil alih kepemilikan asing. Tidak ada jaminan bahwa
pemodal lokal mau membeli dan akhirnya berhasil menjadi pengelola bank
yang handal di masa depan. Jadi mengambil alih saham asing tidak sekedar
”memaksa” pemodal asing untuk melepas kepemilikannya saja.. Keempat,
mekanisme pengambilalihan pun harus dipikirkan secara cermat dan tepat.
Rasanya tidak elok jika BI memaksa pemodal asing untuk hari ini juga
menjual atau menyerahkan sahamnya dengan harga yang ditentukan sepihak.
Salah satu model yang bisa dijadikan rujukan adalah kebijakan pelarangan
kepemilikan tunggal atau yang sering disebut ”Single Presence Policy” (SPP).
Kelima, BI pun pasti memperhitungkan strategi untuk mengurangi dampak
negatif pembatasan kepemilikan asing terhadap persepsi dunia international.
Keenam, BI pasti menghitung dampak politis dari kebijakan pembatasan
kepemilikan maksimal pemodal asing.

Regulasi dan Reformasi yang Sesuai dalam Menerapkan Kebijakkan


Kepemilikkan Tunggal dengan Tetap Mengedepankan Peran Pelaku
Nasional

Opsi merger bukan satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan


oleh perbankan dalam memenuhi persyaratan Kebijakan Kepemilikan
Tunggal. Opsi lain adalah dengan pembentukan suatu bank holding company
(perusahaan induk tersendiri) yang membawahi beberapa perusahaan
sekaligus dalam suatu kesatuan bisnis. Pembentukan bank holding company
dapat dilakukan dengan menunjuk satu perusahaan yang telah ada untuk
bertindak sebagai perusahaan induk (holding), atau dapat pula dengan
mendirikan satu perusahaan yang baru dan dikhususkan hanya sebagai
usahaan holding saja. Implementasi opsi ini oleh banyak pengamat
dikuatirkan akan memperpanjang rantai pengawasan yang dilakukan Bank
Indonesia. Selain itu upaya Bank Holding Company diharapkan dapat
membuat para investor lokal menjadi shareholder mayoritas di bank tersebut.
Selain itu, opsi ini akan berdampak pada bank-bank BUMN, terutama yang
telah go public karena investor akan menganggap bahwa bank yang berada di
bawah kendali bank holding company kinerjanya tidak akan sebaik apabila
bank tersebut berdiri sendiri. Namun terlepas dari hal itu semua, Pemerintah
harus tetap menetapka alternatif yang adil bagi seluruh institusi perbankan
dalam implementasi Kebijakan Kepemilikan Tunggal perbankan ini. Dengan
demikian, penataan perbankan BUMN ke dalam bank holding company yang
baru merupakan alternatif yang harus dilakukan.

BAB V
KESIMPULAN

A. Dampak Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal Berkaitan dengan


Penerapan Kecukupan Modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR)
Dilihat dari kondisi diatas, Kebijakan Kepemilikan Tunggal
merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan daya saing bank
BUMN. Namun dalam pelaksanaannya harus direncanakan dan
dilakukan secara hati-hati, karena Kebijakan Kebijakan Kepemilikan
Tunggal berarti adanya penggabungan/merger/akuisisi satu bank oleh
bank lainnya dan hal ini akan berdampak pada kebijakan bank baik itu
kebijakan menyangkut pengelolaan bisnis, organisasi termasuk Sumber
Daya Manusia. Apalagi berhubungan dengan bank BUMN yang sangat
kental dengan isu dan kepentingan politik.

B. Hubungan antara Kebijakan Kepemilikan Tunggal dengan


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang WTO
CAR menjadi pedoman bagi bank dalam melakukan ekspansi kredit,
di mana semakin besar kuantitas kredit yang disalurkan, maka semakin
besar pula prosentase kecukupan modal yang harus dipenuhi oleh bank
bersangkutan. Modal memiliki peran yang sangat penting dalam
kesehatan bank individu dan perbankan. Untuk itu penerapan CAR
dalam bisnis perbankan Indonesia dalam rangka menghadapi
kompetisi global pada dasarnya berperan dalam menyerap kerugian
yang tidak terduga atau risiko. Apabila terdapat risiko yang lebih
tinggi, maka diperlukan dukungan permodalan yang kuat, serta rasio
kecukupan modal sesuai dengan batas minimum yang telah ditetapkan.
Bank Indonesia harus mempunyai strategi komunikasi atau relasi
dengan para investor yang jitu. Membatasi kepemilikan asing di sektor
perbankan bukan berarti iklim usaha di Indonesia tidak menarik lagi
bagi para investor. Namun, investor asing tersebut harus tunduk
kepada peraturan perundangan nasional dan mendukung kepentingan
nasional.

C. Regulasi Dan Reformasi yang Sesuai dalam Menerapkan


Kebijakkan Kepemilikkan Tunggal dengan Tetap Mengedepankan
Peran Pelaku Nasional
Regulasi dan reformasi yang sesuai adalah dengan dibentuknya
Holding Bank Company yang dengan menunjuk satu perusahaan yang
telah ada untuk bertindak sebagai perusahaan induk (holding), atau
dapat pula dengan mendirikan satu perusahaan yang baru dan
dikhususkan hanya sebagai usahaan holding saja.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia.


Arsitektur Perbankan Indonesia. Jakarta : Bank Indonesia. 2006.
Hilman Hadikusuma. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi
Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. 1995

UNDANG – UNDANG
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober
2006 tentang kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia.

JURNAL
Henry Campbell Black’s. Black’s Law Dictionary (6𝑡ℎ edition). St.
Paul Minn: West Publishing, 1990.
Ibrahim. Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi
Perbankan Nasional. (Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 2 Tahun
2008).
Frans Henra Aminata. Aspek Hukum Pembentukan Holding dan
Implementasinya bagi Perseroan. Bandung: Justitia Tahun XIV,
Nomor 4.
Udin M. Silalahi, Single Presence Policy Ditinjau dari Perspektif
Hukum Persaingan Usaha. (Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No 2 Tahun
2008)

WEBSITE
Muhammad Faiz Aziz. Konsolidasi Perbankan: Opsi yang seharusnya
Diterapkan dalam Rangka Implementasi Single Presence Policy (http:
www.yahoo.com 25 Agustus 2007)

You might also like