You are on page 1of 38

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN PERILAKU

KEKERASAN DI RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA MENUR


SURABAYA

OLEH :

DEDY BAGAS KORO


NIM.P27820116073

PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SURABAYA

2019
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perilaku Kekerasan

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut. Perilaku kekerasan merupakan suatu
tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu
persen (Purba dkk, 2008). Perilaku kekerasan merupakan respons marah
yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain,
dan atau stresor. Respon ini dapat merugikan diri sendiri dan orang lain
(Keliat et all, 2007).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori.
Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan
pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat
keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan
agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai
implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem
limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.

b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten
dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya
yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak,
yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru
karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika
perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak
memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
3. TANDA DAN GEJALA
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.
4. MACAM
Kekerasan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Kekerasan Fisik
Perbuatan penganiayaan atau menyiksa yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang mengakibatkan sakit luka serius secara fisik,
seperti memukul, mendorong, menyiksa, membunuh, dll.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain berupa
ancaman yang menyebabkan korban merasa takut, tidak nyaman dan
gangguan kejiwaan atau bahkan merasa trauma, seperti memaksakan
atau menghentikan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
mengancam untuk memaksakan.

5. FASE
a. Triggering incidents
Fase ini ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien.
Beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu agresi antara lain:
provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi
yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap jarak personal,
dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini petugas perlu
memahami berbagai macam pemicu yang menjadi faktor bagi klien dan
meminimalkan faktor tersebut.
b. Escalation phase
Fase ini ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat
diseterakan dengan respon menyerang atau menghindar (fight or flight).
Pada fase ini kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi tindakan
kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik
bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan
penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping
tidak efektif.
c. Crisis point
Fase ini merupakan fase lanjutan dari fase escalation apabila negosiasi
dan teknik de escalation gagal mencapai tujuannya. Emosi menonjol
yang ditunjukkan oleh klien adalah bermusuhan.
d. Settling phase
Fase ini merupakan fase dimana klien yang melakukan kekerasan telah
melepaskan energi marahnya. Meskipun begitu, mungkin masih ada
rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
e. Post crisis depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan
berfokus pada kemarahan dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Fase ini dimana klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan
cemas, depresi, dan kelelahan.
6. RENTANG RESPON MARAH
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang
adaptif dan mal adaptif.

adaptif maladaptif

asertif frustasi pasif agresif PK


Gambar. Rentang Respon Marah
Asertif Klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang
lain dan memberikan kelegaan.
Frustasi Klien gagal mencapai tujuan kepuasan/ saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
Pasif Klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak
berdaya dan menyerah
Agresif Klien mengekspresikan secara fisik, tetapi masih terkontrol,
mendorong orang lain dengan ancaman.
Kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol,
disertai amuk, merusak lingkungan.

7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan
Sundeen, 1998). Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain :
a) Sublimasi :
Melampiaskan kemarahan pada obyek lain, seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temanya tersebut mencoba merayu, mencumbunya
c) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik
pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan
kuat.
e) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya.
8. AKIBAT
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri,
orang lain, dan lingkungan.
9. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
a. Prilaku kekerasan
b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi sosial
f. Berduka disfungsional
g. Penaktalaksanaan regimen terapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefektif

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

(CP) : Perilaku Kekerasan

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras
Resiko mencederai diri sendiri, Subyektif:
orang lain dan lingkungan 1. Klien benci atau kesal pada seseorang
2. Klien suka membentak
3. Klien menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah
Obyektif:
1. Wajah agak merah
2. Mata merah
3. Nada suara tinggi dan keras
4. Pandangan tajam
5. Klien mengamuk
6. Klien merusak atau melempar barang-barang
7. Melakukan tindakan kekerasan pada orang di
sekitarnya
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku Kekerasan

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
4. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
5. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku
kekerasan
8. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritua untuk mencegah perilaku
kekerasan
9. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk
mencegah perilaku kekerasan
10. Klien dapat mengikuti TAK: stimulasi persepsi pencegahan perilaku
kekerasan
11. Klien mendapat dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan
perilaku kekerasan
VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang dirasaka
2. Mengidentifikasi tand gejala PK keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
4. Menidentifikasi akibat PK gejala serta proses tejadinya PK
5. Menyebutkan cara mengontrol PK 3. Menjelaskan cara merawat klien
6. Membantu klien mempraktikkan latihan dengan PK
cara mengontrol PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan dalam
kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara merawat klien dengan PK
fisik II 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien PK
kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara aktivitas di rumah termasuk minum
verbal obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadwal kegiatan harian pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara
spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 5
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan
minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN MENARIK DIRI DI
RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA
OLEH :

DEDY BAGAS KORO


NIM.P27820116073

PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SURABAYA

2019

LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Isolasi Sosial: Menarik Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Menarik diri merupakan sebuah representatif adanya kerusakan
interaksi sosial yang merupakan kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan
negatif yang mengancam. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan
dimana seorang individu beradaptasi dalam suatu kuantitas yang tidak
cukup/berlebihan kualitas interaksi sosial yang tidak efektif (Townsand,
1998). Perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi
atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara
spontan dengan orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap
memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi
pengalaman dengan orang lain ( Depkes, 1998 ).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Berbagai faktor yang bisa menimbulkan respon sosial yang maladaptif.
Walaupun banyak penelitian telah dilakukan pada gangguan yang
mempengaruhi hubungan interpersonal, tapi belum ada suatu
kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan ini (Nyamirah,
2012). Gangguan ini mungkin disebabkan oleh kombinasi berbagai
faktor seperti :
1) Faktor Psikologis (Perkembangan)
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan yang
diuraikan diatas akan mencetuskan sesorang sehingga mempunyai
masalah respons sosial maladaptif. Sistem keluarga yang terganggu,
tidak berhasil memisahkan dirinya dari orang tua, norma keluarga
tidak mendukung hubungan dengan pihak luar, peran keluarga tidak
jelas, orang tua pencandu alkohol dan penganiayaan anak.
2) Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respons sosial maladaptif.
Ada bukti terdahulu tentang terlibat neurotranmiter dalam
perkembangan gangguan ini, namun masih tetap diperlukan
penelitian lebih lanjut.

3) Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang
lain; atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak
produktif, seperti : lansia, orang cacat, dan berpenyakit kronik.
Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan sistem
nilai yang berbeda dari kelompok budaya mayoritas. Harapan yang
tidak realistik terhadap hubungan merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini.
b. Faktor Presipitasi
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang berprilaku
menarik diri (Stuart & Sudden, 1998). Faktor – faktor penyebab
tersebut dapat berasal dari berbagai stressor, antara lain :
1) Stressor fisik
- Mengalami kehilangan yang hebat seperti keguguran dapat
memicu perilaku menarik diri.
- Menderita penyakit kronik dapat mengakibatkan penderita malu
dan dia akan menarik diri dari orang lain.
2) Stressor psikologik
- Menarik diri dapat terjadi jika individu pada masa lalunya
mempunyai masalah dan mengakibatkan malu dan rasa sangat
bersalah.
- Kurang kepercayaan diri akan mengakibatkan seseorang
menarik diri
- Kurangnya cinta, kasih sayang dan perasaan kehilangan juga
dapat memicu terjadinya menarik diri.
3) Stressor intelektual
- Kurangnya pemahaman diri dan ketidakmampuan untuk berbagi
pikiran dan perasaan yang mengganggu perkembangan
hubungan dengan orang lain .
- Klien dengan “ kegagalan” dan tidak mampu untuk membangun
rasa kepercayaan dirinya akan beresiko untuk menarik diri .
4) Stressor sosio kultural
Kurangnya penghargaan atas dirinya dari lingkungan sekitarnya
dapat menyebabkan seseorang menarik diri, misalnya mendapat
perlakuan selalu di rendahkan oleh orang – orang di sekitarnya.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Townsend, M.C (1998:152-153) & Carpenito,L.J (1998: 382)
isolasi sosial menarik diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala
sebagai berikut:
Data objektif :
1. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri) klien tampak memisahkan
diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-
cakap dengan klien lain atau perawat.
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang mobilitasnya.
6. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan
kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
8. Adanya perhatian dan tindakan yang tidak sesuai atau imatur
dengan perkembangan usianya.
9. Kegagalan untuk berinterakasi dengan orang lain didekatnya.
10. Kurang aktivitas fisik dan verbal.
11. Tidak mampu membuat keputusan dan berkonsentrasi
12. Mengekspresikan perasaan kesepian dan penolakan di wajahnya
Data Subjektif
Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi,
beberapa data subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”,
“ya”, “tidak tahu” dan ada beberapa data yang didapat adalah :
1. Mengungkapkan rasa tidak berguna, penolakan oleh lingkungan
2. Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan yang dimiliki
4. RENTANG RESPON
Menurut Stuart Sundeen (1998) rentang respons klien ditinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang
terbentang antara respons adaptif dengan maladaptif sbb:

Menyadari
Menyadari Menarik diri
Menarik diri
Merasa sendiri
Merasa sendiri Ketergantungan
Otonomi
Otonomi
Bekerjasama Depedensi Ketergantungan
Manipulasi
Adaptif antara
Depedensi
Curiga maladaptif
Interdependent Curiga
Bekerjasama Manipulasi
Curiga
Interdependent
a. Rentang respon adaptif Curiga
Rentang respon adaptif merupakan respon individu dalam penyesuaian
masalah yang dapat di terima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan.
1. Menyendiri (solitude) merupakan respon yang dibutuhkan seseorang
untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan
langkah selanjutnya.
2. Otonomi merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Bekerjasama (mutualisme) adalah suatu kondisi dalam hubungan
interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi
dan menerima.
4. Saling tergantung (interdependen) adalah suatu kondisi saling
tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal.
b. Respon antara adaptif dan maladaptif
1. Aloness (Kesepian)
Individu mulai merasakan kesepian, terkucilkan dan tersisihkandari
lingkungan.
2. Withdrawl (Menarik diri)
Gangguan yang terjadi di mana seseorang menemukan kesulitan
dalammembina hubungan saling terbuka dengan orang lain, di mana
individu sengaja menghindarai hubungan interpersonal ataupun interaksi
dengan lingkungannya.
3. Dependence ( ketergantungan )
Individu mulai tergantung kepada individu yang lain dan mulai
tidak memperhatikan kemampuan yang di milikinya.
a. Respon maladaptif
Respon maladaptif merupakan suatu respon individu dalam
penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan
budaya lingkungannya. Respon maladaptif :
1. Loneliness ( kesepian )
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk
tidak berhubungan dengan orang lain.
2. Manipulasi
Pada gangguan hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan
sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang
lain dan individu cendrung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan,
bukan padaorang lain.
3. Implusif
Individu implusif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak
mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat di andalkan.
4. Narkisisme
Pada klien narkisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus
menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap
egosentris, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.
5. Paranoid ( curiga )
Gangguan yang terjadi apabila seseorang gagal dalam
mengembangkanrasa percaya diri pada orang lain.

5. MEKANISME KOPING
Menurut Stuart & Laraia (2001), mekanisme koping digunakan klien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata
yang mengancam dirinya. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat
digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam
keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian,
musik, atau tulisan. Mekanisme koping yang sering digunakan pada
menarik diri adalah:
1) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi dan mencurahkan emosi kepada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
2) Regresi
Menghindari stres dan kecemasan dengan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perkembangan anak.
3) Represi
Menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan serta konflik
maupun ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat
mekanisme ego lainnya.
6. AKIBAT
Beberapa hal yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami gangguan
hubungan sosial menarik diri antara lain (Dalami, dkk. 2009):
1) Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive,
dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang
nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
2) Penurunan aktivitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri,
, tidak dapat merawat diri sendiri karena individu merasa bahwa dirinya
sudah tidak berharga dan tidak ada gunanya lagi menjalani kehidupan
ini.
3) Gangguan komunikasi dengan orang lain terjadi karena dia takut untuk
berinteraksi dengan orang lain, kesulitan mengekspresikan perasaan,
dan tidak berminat berinteraksi dengan orang lain.
7. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
Masalah yang sering muncul, yaitu:
1) Harga diri rendah
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. (Carpenito
1998).

2) Halusinasi
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat terjadinya risiko
perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi adalah persepsi
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi
semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu
itu baik (Carpenito 1998).

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Risiko Perilaku Kekerasan

(CP) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: HDR

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Risiko Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyetif:
1. Sukar didapati jika klien menolak
berkomunikasi. Beberapa data subyektif adalah
menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti
kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
2. Mengungkapkan perasaan tidak berguna dan
penolakan oleh lingkungan
3. Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan
yang dimiliki.
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri)
3. Komunikasi kurang atau tidak ada
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering
menunduk
5. Berdiam diri di kamar atau tempat terpisah
6. Menolak berhubungan dengan orang lain
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari
Gangguan Konsep Diri: Harga Subyektif:
Diri Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi Sosial: Menarik Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien dapat berinteraksi dengan orang lain secara optimal
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Klien dapat menyebutkan penyebab, tanda dan gejala menarik diri
3. Klien dapat mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
5. Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial
6. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam berhubungan dengan orang
lain
7. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi 1. Mendiskusikan masalah yang
sosial klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang klien
keuntungan berinteraksi dengan orang 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
lain gejala isolasi sosial yang dialami
3. Berdiskusi dengan klien tentang klien beserta proses terjadinya
kerugian tidak berinteraksi dengan 3. Menjelaskan cara - cara merawat
orang lain klien isolasi sosial
4. Mengajarkan klien cara berkenalan
dengan satu orang
5. Menganjurkan klien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan
harian
SP 2 SP 2
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktekkan
klien cara merawat klien dengan isolasi
5. Memberikan kesempatan kepada klien sosial
mempraktekkan cara berkenalan 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan satu orang merawat langsung kepada klien
6. Membantu klien memasukkan kegiatan isolasi sosial
berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadual
klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Memberikan kesempatan kepada klien obat (Discharge planning)
berkenalan dengan dua orang atau lebih 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam pulang.
jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN DEFISIT
PERAWATAN DIRI DI RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA

OLEH :

DEDY BAGAS KORO


NIM.P27820116073
PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SURABAYA

2019

LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Defisit Perawatan Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri ( Depkes 2000). Defisit perawatan diri adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias,
makan, toileting) (Nurjannah, 2004). Personal hygiene adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis (Menurut Poter. Perry (2005). Kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000 ).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000),
faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1) Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial
Pada anak–anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta
gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada klien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah:
3.1 Fisik
 Badan bau, pakaian kotor.
 Rambut dan kulit kotor.
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor disertai mulut bau
 penampilan tidak rapi
3.2 Psikologis
 Malas, tidak ada inisiatif.
 Menarik diri, isolasi diri.
 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3.3 Sosial
 Interaksi kurang.
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
 Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat,
gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
4. MACAM
a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
d. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah :
2004, 79 ).

5. RENTANG RESPON

adaptif maladaptif
Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan
diri seimbang diri kadang tidak perawatan diri saat
stress

- Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan


mampu untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan
klien seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
- Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor
kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
- Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor

6. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart
& Sundeen, 2000) yaitu :
1) Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secara mandiri
2) Mekanisme koping maladaptive
3) Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.
7. AKIBAT
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran
mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada
kuku.
b. Dampak psikososial.
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interakisosial.
8. MASALAH YANG SERING MUNCUL
a. Harga diri rendah
b. Isolasi diri
c. Defisit sosial
d. Defisit keperawatan diri

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Resiko Gangguan Integritas Kulit
(CP) : Defisit Perawatan Diri

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Defisit Perawatan Diri Subyektif:
1. Klien merasa lemah
2. Malas beraktivitas
3. Merasa tidak berdaya
Obyektif:
1. Rambut kotor, acak-acakan
2. Badan dan pakaian kotor dan bau
3. Mulut dan gigi bau
4. Kulit kusam dan kotor
5. Kuku panjang dan tidak terawatt

Resiko Gangguan Integritas Subyektif:


Kulit Klien mengatakan saya tidak ammpu mandi, tidak
bisa melakuan apa-apa, ulit gatal-gatal
Obyektif:
Klien terlihat kurang memperhatikan kebersihan,
halitosis, badan bau, dermatitis pada kulit
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyektif:
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa,
tidak tau apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
Obyektif:
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh
memilih alternative tindakan, apatis, menolak
berhubungan, kurang memperhatikan kebersihan

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Defisit Perawatan Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus:
1. Klien bisa membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
3. Klien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
4. Klien mampu melakukan makan dengan baik
5. Klien mampu melakukan BAK/BAB secara mandiri

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
diri klien keluarga dalam merawat klien
2. Berdiskusi dengan klien tentang pentingnya 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
kebersihan diri defisit perawatan diri, dan jenis defisit
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara menjaga perawatan diri yang dialami klien beserta
kebersihan diri proses terjadinya
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
jadwal kegiatan harian defisit perawatan diri
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Menjelaskan cara mandi yang baik merawat klien dengan defisit perawatan
3. Membantu klien mempraktekkan cara mandi diri
yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien defisit
jadwal kegiatan harian perawatan diri
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum obat
3. Membantu klien mempraktekkan cara (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadual pulang
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI DI
RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA

OLEH :

DEDY BAGAS KORO


NIM.P27820116073
PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SURABAYA

2019

LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN IDENTITAS DIRI: HALUSINASI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Gangguan Identitas Diri: Halusinasi

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Halusinasi adalah persepsi salah yang diterima panca indera dan
berasal dari stimulus eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan ke
dalam pengalaman. Beberapa halusinasi dapat dipicu, misalnya, seorang
remaja lelaki yang mendengar seoang polisi berbiara dengan dirinya saat
ia mendengarkan musik. Halusinasi dapat terjadi pada indera apa pun.
Pada dasarnya, halusinasi tidak selalu berarti penyakit kejiwaan. Sebagai
contoh, halusinasi singkat cukup umum terjadi setelah peristiwa kematian
(orang yang mengalami halusinasi seolah melihat atau mendengar orang
yang meninggal. Halusinasi dapat sangat invasif, sering muncul, dan
menyerang hampir semua fungsi normal (Brooker, 2008).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana
klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Menurut Yosep
(2009), halusinasi didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Halusinasi adalah kesan, respon
dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan
halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan
sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi
berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah
terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya
stimulus eksternal yang terjadi, stimulusi internal dipersepsikan sebagai
sesuatu yang nyata ada oleh klien.
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) faktor predisposisi yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut :
1) Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara
jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu
orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia
maka peluangnya menjadi 35%.
2) Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
3) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
4) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
5) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi adalah stimulasi yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra
untuk koping yaitu meningkatkan stress dan kecemasan. Secara umum
klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan
masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan
(Keliat, 2006). Menurut Stuart dan Laraia (2001) faktor presipitasi yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut :
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima
dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi: nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
system syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah
di rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan
orang lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
kurang ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan,
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
5) Sikap atau perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri
rendah, putus asa,tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan
kendali diri, merasa punyakekuatan berlebihan, merasa malang,
bertindak tidak seperti orang lain darisegi usia maupun kebudayaan,
rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku agresif,
ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
3. TANDA DAN GEJALA
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan
duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum
atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain,
gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga
keterangan dari klien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang
dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis
berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999).
1) Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan
Gejala klinis:
a) Menyeriangai/tertawa tidak sesuai
b) Menggerakkan bibir tanpa bicara
c) Gerakan mata cepat
d) Bicara lambat
e) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
2) Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis:
a) Cemas
b) Konsentrasi menurun
c) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
3) Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan
Gejala klinis:
a) Cenderung mengikuti halusinasi
b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
d) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti
petunjuk)
4) Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis:
a) Klien mengikuti halusinasi
b) Tidak mampu mengendalikan diri
c) Tidak mamapu mengikuti perintah nyata
d) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

4. MACAM HALUSINASI
Jenis-jenis halusinasi menurut Yosep, 2009 :
1. Halusinasi Pendengaran (Auditory), paling sering dijumpai dengan
gejala mendengar suara-suara yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya, mendengar suara atau bunyi, mendengar suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengar suara yang mengancam diri
klien atau orang lain atau suara lain yang membahayakan.
2. Halusinasi Penglihatan (Visual), ditandai dengan melihat seseorang
yang sudah meninggal atau makhluk halus tertentu, melihat bayangan
hantu, atau sesuatu yang menakutkan.
3. Halusinasi Penciuman (Olfaktory), Halusinasi ini biasanya berupa
penciuman bau tertentu yang dirasakan tidak enak seperti bau mayat,
darah, atau bau masakan serta bau parfum yang menyenangkan.
4. Halusinasi Perabaan (Taktil), yaitu merasakan ada sesuatu yang
menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil, makhluk halus,
merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat panas atau
dingin, dan merasakan tersengat aliran listrik.
5. Halusinasi Pengecapan (gustatorik), yaitu seperti merasakan makanan
tertentu atau mengunyah sesuatu.
6. Halusinasi Hipnagogik, yaitu persepsi sensori yang salah terjadi pada
saat tertidur, biasanya dianggap sebagai fenomena yang non patologis
7. Halusinasi Hipnopompik, yaitu persepsi palsu yang salah saat
terbangun dari tidur biasanya tidak patologis
8. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood congruent hallucination),
yaitu dimana halusinasi konsisten dengan mood yang tertekan atau
panik.
9. Halusinasi tidak sejalan dengan mood (mood incongruentn
hallucination), yaitu dimana isi halusinasi tidak konsisten dengan
mood yang tertekan atau panik.
10. Halusinasi kinestetik, yaitu mengatakan bahwa fungsi tubuhnya tidak
dapat terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan diotak, atau perasaan
tubuhnya melayang-layang diatas bumi.
11. Halusinasi Viseral, yaitu badannya dianggap berubah bentuk dan tidak
normal seperti biasanya.
12. Halusionis, yang paling sering adalah halusinasi dengar yang
berhubungan dengan penyalahgunaan alcohol dan terjadi dalam
sensorium yang jernih, berbeda dengan delitirum tremens (Dts), yaitu
halusinasi terjadi dalam konteks sensorium yang berkabut.
13. Trailing phenomenon, Kelainan persepsi yang berhubungan dengan
obat-obatan halusonogen dimana benda yang bergerak dilihat sebagai
sederetan citra yang terpisah dan tidak kontinyu.
14. Halusinasi Auditorik, dapat terjadi pada orang normal tetapi tidak
dianggap sebagai suatu hal yang patologis. Ada beberapa halusinasi
auditorik yang patologis yaitu; halusinasi auditorik non verbal,
halusinasi auditorik verbal, halusinasi auditorik orang ketiga,
halusinasi auditorik orang kedua.
5. FASE HALUSINASI
Ada beberapa tahapan-tahapan pada klien dengan halusinasi antara lain
(Yosep, 2009) yaitu :
1. Stage I : Sleep Disorder (fase awal seseorang sebelum muncul
halusinasi)
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindari dari lingkungan, takut
diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin
terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih
hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih, masalah dikampus, diPHK
ditempat kerja, penyakit, utang, nilai dikampus, drop out, dan
sebagainya. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan
support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal.
Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan
masalah.
2. Stage II : Comforting Moderate level of anxiety (halusinasi secara
umum diterima sebagai sesuatu yang alami)
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas,
kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan
pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya
diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
3. Stage III : Condemning Severe level of anxiety (secara umum halusinasi
sering mendatangi klien)
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias.
Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai
berupayah menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas
waktu yang lama.
4. Stage IV : Controlling Severe level of anxiety (fungsi sensori menjadi
tidak relevan dengan kenyataan)
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang
datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir.
Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotic.
5. Stage V : Conquering Panic level of anxiety (klien mengalami
gangguan dalam menilai lingkungannya)
Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam dengan
datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti
ancaman atau perintah yang di dengar dari halusinasinya. Halusinasi
dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.
6. RENTANG RESPON
Rentang respon halusinasi berbeda-beda untuk setiap orang.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada
dalam rentang respon neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001). Ini
merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat
persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterprestasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera
(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun
sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena
sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan
stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami
ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indera
tidak akurat sesuai stimulus yang diterima. Adapun rentang respon
neurobiologis adalah sebagai berikut:
Tabel Rentang Respon Neuorobiologis
(Sumber: Stuart, 2006)
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma
social dan budaya secara umum yang berlaku didalam masyarakat, dimana
individu menyelesaikan masalah dalam batas normal yang meliputi:
1) Pikiran logis adalah segala sesuatu yang diucapkan dan dilaksanakan
oleh individu sesuai dengan kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra
perasaan, dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang lain
dan mengenai kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan
individual sesuai dengan stimulus yang datang.
4) Prilaku sesuai dengan cara berskap individu yang sesuai dengan
perannya.
5) Hubungan sosial harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan
berkomunkasi dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan
tidak senang.
Sedangkan maladaptif adalah suatu respon yang tidak dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan budaya secara umum yang berlaku
dimasyarakat, dimana individu dalam menyelesaikan masalah tidak
berdasarkan norma yang sesuai diantaranya :
1) Gangguan proses pikir / waham adalah ketidakmampuan otak untuk
memproses data secara akurat yang dapat menyebabkan gangguan
proses pikir, seperti ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran
terkontrol, pikiran yang terisi dan lain-lain.
2) Halusinasi adalah gangguan identifikasi stimulus berdasarkan
informasi yang diterima otak dari lima indra seperti suara, raba, bau,
dan pengelihatan
3) Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu tidak
sesuai dengan stimulus yang datang.
4) Prilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang tidak
sesuai dengan peran
5) Isolasi sosial adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari
lingkungan atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungan.
7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi (Stuart
& Laraia 2005) meliputi:
1) Regresi
Menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi
Mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggungjawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3) Menarik diri
Sulit mempercayai orang lain dan asik dengan stimulus internal.
Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien
8. AKIBAT
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya
yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan

(CP) : Halusinasi

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Isolasi Sosial Subyetif:
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data
subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-
kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-
cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk
Halusinasi Subyektif:
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar sesuatu yang menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya
Obyektif:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menutup telinga
Resiko Perilaku Subyektif:
Kekerasan Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar, atau mengacak-acak lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-barang, melakukan
tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien dapat berhenti berhalusinasi
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya
3. Klien dapat mengekspresikan respon terhadap halusinasi
4. Klien dapat mengetahui waktu terjadinya halusinasi
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
6. Klien dapat menghardik halusinasi
7. Klien dapat menggunakan dukungan sosial

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang dirasakan
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala dan
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien jenis halusinasi yang dialami klien
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan beserta proses terjadinya
halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi halusinasi
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik
halusinasi dalam jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara merawat klien dengan halusinasi
bercakap-cakap dengan oang lain 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal merawat langsung kepada klien
kegiatan harian halusinasi

SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan aktivitas dirumah termasuk minum obat
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal pulang
kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr.
bahasa Indonesia, Tiara Mahatmi N. 2003. Buku Saku Psikiatri Edisi 6.
Bandung : RSJP Bandung

Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC

Captain. 2008. Psikologi untuk Keperawatan. Penerbit Buku kedokteran. Jakarta:


EGC.

Carpenito. J. Lynda. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta.


EGC.

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.

Doenges, E Marilynn, et all. 2006. Rencana Usaha Keperawatan Psikiatri edisi 3.


Jakarta: Jakarta

Hibbert, Allison, Alice Godwin, & Frances Dear. 2004. Rujukan Cepat Psikiatri.
Jakarta: EGC

Jardri, Renaud et al. 2013. The Neuroscience of Hallucinations. New


York:Springer

Keliat, Budi Anna & Akemat. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.
Jakarta: EGC

Keliat, Budi Anna et all. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN
Basic Course. Jakarta: EGC.

Keliat, Budi Anna. 2009. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC


Keliat, Budi Anna. Akemat. 2007. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC

Kusumawati, Farida. Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

Luh Ketut Suryani, Cokorda Bagus Laya Lesmana. 2008. Hidup Bahagia :
Perjuangan Melawan Kegelapan Edisi Pertama. Pustaka Obor Populer :
Jakarta

Maramis, W. F,. 2005. Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga


University Pres.

Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius

Stuart & Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Stuart dan Laraia. 2001. Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. 6ed. St.
Louis: Mosby Year Book

Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta.


EGC.

Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Tim Pengembang MPKP RS Marzoe Mahdi Bogor. (2002). Standar Operasional


(SOP) Rencana Keperawatan Jiwa. Semarang.

Townsend, Mary. C. 2000. Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care.


3ed. Philadelphia: F. A. Davis Company

Videbeck S., L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. edisi revisi . Bandung: Refika Aditama.

Yosep. Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

You might also like