Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
JURUSAN KEPERAWATAN
SURABAYA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten
dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya
yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak,
yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru
karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika
perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak
memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
3. TANDA DAN GEJALA
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.
4. MACAM
Kekerasan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Kekerasan Fisik
Perbuatan penganiayaan atau menyiksa yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang mengakibatkan sakit luka serius secara fisik,
seperti memukul, mendorong, menyiksa, membunuh, dll.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain berupa
ancaman yang menyebabkan korban merasa takut, tidak nyaman dan
gangguan kejiwaan atau bahkan merasa trauma, seperti memaksakan
atau menghentikan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
mengancam untuk memaksakan.
5. FASE
a. Triggering incidents
Fase ini ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien.
Beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu agresi antara lain:
provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi
yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap jarak personal,
dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini petugas perlu
memahami berbagai macam pemicu yang menjadi faktor bagi klien dan
meminimalkan faktor tersebut.
b. Escalation phase
Fase ini ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat
diseterakan dengan respon menyerang atau menghindar (fight or flight).
Pada fase ini kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi tindakan
kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik
bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan
penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping
tidak efektif.
c. Crisis point
Fase ini merupakan fase lanjutan dari fase escalation apabila negosiasi
dan teknik de escalation gagal mencapai tujuannya. Emosi menonjol
yang ditunjukkan oleh klien adalah bermusuhan.
d. Settling phase
Fase ini merupakan fase dimana klien yang melakukan kekerasan telah
melepaskan energi marahnya. Meskipun begitu, mungkin masih ada
rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
e. Post crisis depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan
berfokus pada kemarahan dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Fase ini dimana klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan
cemas, depresi, dan kelelahan.
6. RENTANG RESPON MARAH
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang
adaptif dan mal adaptif.
adaptif maladaptif
7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan
Sundeen, 1998). Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain :
a) Sublimasi :
Melampiaskan kemarahan pada obyek lain, seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temanya tersebut mencoba merayu, mencumbunya
c) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik
pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan
kuat.
e) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya.
8. AKIBAT
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri,
orang lain, dan lingkungan.
9. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
a. Prilaku kekerasan
b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi sosial
f. Berduka disfungsional
g. Penaktalaksanaan regimen terapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefektif
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang dirasaka
2. Mengidentifikasi tand gejala PK keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
4. Menidentifikasi akibat PK gejala serta proses tejadinya PK
5. Menyebutkan cara mengontrol PK 3. Menjelaskan cara merawat klien
6. Membantu klien mempraktikkan latihan dengan PK
cara mengontrol PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan dalam
kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara merawat klien dengan PK
fisik II 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien PK
kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara aktivitas di rumah termasuk minum
verbal obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadwal kegiatan harian pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara
spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 5
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan
minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN MENARIK DIRI DI
RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA
OLEH :
JURUSAN KEPERAWATAN
SURABAYA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI
3) Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang
lain; atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak
produktif, seperti : lansia, orang cacat, dan berpenyakit kronik.
Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan sistem
nilai yang berbeda dari kelompok budaya mayoritas. Harapan yang
tidak realistik terhadap hubungan merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini.
b. Faktor Presipitasi
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang berprilaku
menarik diri (Stuart & Sudden, 1998). Faktor – faktor penyebab
tersebut dapat berasal dari berbagai stressor, antara lain :
1) Stressor fisik
- Mengalami kehilangan yang hebat seperti keguguran dapat
memicu perilaku menarik diri.
- Menderita penyakit kronik dapat mengakibatkan penderita malu
dan dia akan menarik diri dari orang lain.
2) Stressor psikologik
- Menarik diri dapat terjadi jika individu pada masa lalunya
mempunyai masalah dan mengakibatkan malu dan rasa sangat
bersalah.
- Kurang kepercayaan diri akan mengakibatkan seseorang
menarik diri
- Kurangnya cinta, kasih sayang dan perasaan kehilangan juga
dapat memicu terjadinya menarik diri.
3) Stressor intelektual
- Kurangnya pemahaman diri dan ketidakmampuan untuk berbagi
pikiran dan perasaan yang mengganggu perkembangan
hubungan dengan orang lain .
- Klien dengan “ kegagalan” dan tidak mampu untuk membangun
rasa kepercayaan dirinya akan beresiko untuk menarik diri .
4) Stressor sosio kultural
Kurangnya penghargaan atas dirinya dari lingkungan sekitarnya
dapat menyebabkan seseorang menarik diri, misalnya mendapat
perlakuan selalu di rendahkan oleh orang – orang di sekitarnya.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Townsend, M.C (1998:152-153) & Carpenito,L.J (1998: 382)
isolasi sosial menarik diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala
sebagai berikut:
Data objektif :
1. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri) klien tampak memisahkan
diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-
cakap dengan klien lain atau perawat.
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang mobilitasnya.
6. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan
kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
8. Adanya perhatian dan tindakan yang tidak sesuai atau imatur
dengan perkembangan usianya.
9. Kegagalan untuk berinterakasi dengan orang lain didekatnya.
10. Kurang aktivitas fisik dan verbal.
11. Tidak mampu membuat keputusan dan berkonsentrasi
12. Mengekspresikan perasaan kesepian dan penolakan di wajahnya
Data Subjektif
Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi,
beberapa data subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”,
“ya”, “tidak tahu” dan ada beberapa data yang didapat adalah :
1. Mengungkapkan rasa tidak berguna, penolakan oleh lingkungan
2. Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan yang dimiliki
4. RENTANG RESPON
Menurut Stuart Sundeen (1998) rentang respons klien ditinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang
terbentang antara respons adaptif dengan maladaptif sbb:
Menyadari
Menyadari Menarik diri
Menarik diri
Merasa sendiri
Merasa sendiri Ketergantungan
Otonomi
Otonomi
Bekerjasama Depedensi Ketergantungan
Manipulasi
Adaptif antara
Depedensi
Curiga maladaptif
Interdependent Curiga
Bekerjasama Manipulasi
Curiga
Interdependent
a. Rentang respon adaptif Curiga
Rentang respon adaptif merupakan respon individu dalam penyesuaian
masalah yang dapat di terima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan.
1. Menyendiri (solitude) merupakan respon yang dibutuhkan seseorang
untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan
langkah selanjutnya.
2. Otonomi merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Bekerjasama (mutualisme) adalah suatu kondisi dalam hubungan
interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi
dan menerima.
4. Saling tergantung (interdependen) adalah suatu kondisi saling
tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal.
b. Respon antara adaptif dan maladaptif
1. Aloness (Kesepian)
Individu mulai merasakan kesepian, terkucilkan dan tersisihkandari
lingkungan.
2. Withdrawl (Menarik diri)
Gangguan yang terjadi di mana seseorang menemukan kesulitan
dalammembina hubungan saling terbuka dengan orang lain, di mana
individu sengaja menghindarai hubungan interpersonal ataupun interaksi
dengan lingkungannya.
3. Dependence ( ketergantungan )
Individu mulai tergantung kepada individu yang lain dan mulai
tidak memperhatikan kemampuan yang di milikinya.
a. Respon maladaptif
Respon maladaptif merupakan suatu respon individu dalam
penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan
budaya lingkungannya. Respon maladaptif :
1. Loneliness ( kesepian )
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk
tidak berhubungan dengan orang lain.
2. Manipulasi
Pada gangguan hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan
sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang
lain dan individu cendrung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan,
bukan padaorang lain.
3. Implusif
Individu implusif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak
mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat di andalkan.
4. Narkisisme
Pada klien narkisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus
menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap
egosentris, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.
5. Paranoid ( curiga )
Gangguan yang terjadi apabila seseorang gagal dalam
mengembangkanrasa percaya diri pada orang lain.
5. MEKANISME KOPING
Menurut Stuart & Laraia (2001), mekanisme koping digunakan klien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata
yang mengancam dirinya. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat
digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam
keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian,
musik, atau tulisan. Mekanisme koping yang sering digunakan pada
menarik diri adalah:
1) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi dan mencurahkan emosi kepada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
2) Regresi
Menghindari stres dan kecemasan dengan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perkembangan anak.
3) Represi
Menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan serta konflik
maupun ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat
mekanisme ego lainnya.
6. AKIBAT
Beberapa hal yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami gangguan
hubungan sosial menarik diri antara lain (Dalami, dkk. 2009):
1) Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive,
dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang
nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
2) Penurunan aktivitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri,
, tidak dapat merawat diri sendiri karena individu merasa bahwa dirinya
sudah tidak berharga dan tidak ada gunanya lagi menjalani kehidupan
ini.
3) Gangguan komunikasi dengan orang lain terjadi karena dia takut untuk
berinteraksi dengan orang lain, kesulitan mengekspresikan perasaan,
dan tidak berminat berinteraksi dengan orang lain.
7. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
Masalah yang sering muncul, yaitu:
1) Harga diri rendah
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. (Carpenito
1998).
2) Halusinasi
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat terjadinya risiko
perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi adalah persepsi
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi
semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu
itu baik (Carpenito 1998).
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi 1. Mendiskusikan masalah yang
sosial klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang klien
keuntungan berinteraksi dengan orang 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
lain gejala isolasi sosial yang dialami
3. Berdiskusi dengan klien tentang klien beserta proses terjadinya
kerugian tidak berinteraksi dengan 3. Menjelaskan cara - cara merawat
orang lain klien isolasi sosial
4. Mengajarkan klien cara berkenalan
dengan satu orang
5. Menganjurkan klien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan
harian
SP 2 SP 2
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktekkan
klien cara merawat klien dengan isolasi
5. Memberikan kesempatan kepada klien sosial
mempraktekkan cara berkenalan 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan satu orang merawat langsung kepada klien
6. Membantu klien memasukkan kegiatan isolasi sosial
berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadual
klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Memberikan kesempatan kepada klien obat (Discharge planning)
berkenalan dengan dua orang atau lebih 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam pulang.
jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN DEFISIT
PERAWATAN DIRI DI RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA
OLEH :
JURUSAN KEPERAWATAN
SURABAYA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
5. RENTANG RESPON
adaptif maladaptif
Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan
diri seimbang diri kadang tidak perawatan diri saat
stress
6. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart
& Sundeen, 2000) yaitu :
1) Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secara mandiri
2) Mekanisme koping maladaptive
3) Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.
7. AKIBAT
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran
mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada
kuku.
b. Dampak psikososial.
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interakisosial.
8. MASALAH YANG SERING MUNCUL
a. Harga diri rendah
b. Isolasi diri
c. Defisit sosial
d. Defisit keperawatan diri
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
diri klien keluarga dalam merawat klien
2. Berdiskusi dengan klien tentang pentingnya 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
kebersihan diri defisit perawatan diri, dan jenis defisit
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara menjaga perawatan diri yang dialami klien beserta
kebersihan diri proses terjadinya
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
jadwal kegiatan harian defisit perawatan diri
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Menjelaskan cara mandi yang baik merawat klien dengan defisit perawatan
3. Membantu klien mempraktekkan cara mandi diri
yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien defisit
jadwal kegiatan harian perawatan diri
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum obat
3. Membantu klien mempraktekkan cara (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadual pulang
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI DI
RUANG GELATIK RUMAH SAKIT JIWA MENUR
SURABAYA
OLEH :
JURUSAN KEPERAWATAN
SURABAYA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN IDENTITAS DIRI: HALUSINASI
4. MACAM HALUSINASI
Jenis-jenis halusinasi menurut Yosep, 2009 :
1. Halusinasi Pendengaran (Auditory), paling sering dijumpai dengan
gejala mendengar suara-suara yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya, mendengar suara atau bunyi, mendengar suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengar suara yang mengancam diri
klien atau orang lain atau suara lain yang membahayakan.
2. Halusinasi Penglihatan (Visual), ditandai dengan melihat seseorang
yang sudah meninggal atau makhluk halus tertentu, melihat bayangan
hantu, atau sesuatu yang menakutkan.
3. Halusinasi Penciuman (Olfaktory), Halusinasi ini biasanya berupa
penciuman bau tertentu yang dirasakan tidak enak seperti bau mayat,
darah, atau bau masakan serta bau parfum yang menyenangkan.
4. Halusinasi Perabaan (Taktil), yaitu merasakan ada sesuatu yang
menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil, makhluk halus,
merasakan sesuatu dipermukaan kulit, merasakan sangat panas atau
dingin, dan merasakan tersengat aliran listrik.
5. Halusinasi Pengecapan (gustatorik), yaitu seperti merasakan makanan
tertentu atau mengunyah sesuatu.
6. Halusinasi Hipnagogik, yaitu persepsi sensori yang salah terjadi pada
saat tertidur, biasanya dianggap sebagai fenomena yang non patologis
7. Halusinasi Hipnopompik, yaitu persepsi palsu yang salah saat
terbangun dari tidur biasanya tidak patologis
8. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood congruent hallucination),
yaitu dimana halusinasi konsisten dengan mood yang tertekan atau
panik.
9. Halusinasi tidak sejalan dengan mood (mood incongruentn
hallucination), yaitu dimana isi halusinasi tidak konsisten dengan
mood yang tertekan atau panik.
10. Halusinasi kinestetik, yaitu mengatakan bahwa fungsi tubuhnya tidak
dapat terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan diotak, atau perasaan
tubuhnya melayang-layang diatas bumi.
11. Halusinasi Viseral, yaitu badannya dianggap berubah bentuk dan tidak
normal seperti biasanya.
12. Halusionis, yang paling sering adalah halusinasi dengar yang
berhubungan dengan penyalahgunaan alcohol dan terjadi dalam
sensorium yang jernih, berbeda dengan delitirum tremens (Dts), yaitu
halusinasi terjadi dalam konteks sensorium yang berkabut.
13. Trailing phenomenon, Kelainan persepsi yang berhubungan dengan
obat-obatan halusonogen dimana benda yang bergerak dilihat sebagai
sederetan citra yang terpisah dan tidak kontinyu.
14. Halusinasi Auditorik, dapat terjadi pada orang normal tetapi tidak
dianggap sebagai suatu hal yang patologis. Ada beberapa halusinasi
auditorik yang patologis yaitu; halusinasi auditorik non verbal,
halusinasi auditorik verbal, halusinasi auditorik orang ketiga,
halusinasi auditorik orang kedua.
5. FASE HALUSINASI
Ada beberapa tahapan-tahapan pada klien dengan halusinasi antara lain
(Yosep, 2009) yaitu :
1. Stage I : Sleep Disorder (fase awal seseorang sebelum muncul
halusinasi)
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindari dari lingkungan, takut
diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin
terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih
hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih, masalah dikampus, diPHK
ditempat kerja, penyakit, utang, nilai dikampus, drop out, dan
sebagainya. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan
support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal.
Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan
masalah.
2. Stage II : Comforting Moderate level of anxiety (halusinasi secara
umum diterima sebagai sesuatu yang alami)
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas,
kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan
pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya
diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
3. Stage III : Condemning Severe level of anxiety (secara umum halusinasi
sering mendatangi klien)
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias.
Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai
berupayah menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas
waktu yang lama.
4. Stage IV : Controlling Severe level of anxiety (fungsi sensori menjadi
tidak relevan dengan kenyataan)
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang
datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir.
Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotic.
5. Stage V : Conquering Panic level of anxiety (klien mengalami
gangguan dalam menilai lingkungannya)
Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam dengan
datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti
ancaman atau perintah yang di dengar dari halusinasinya. Halusinasi
dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.
6. RENTANG RESPON
Rentang respon halusinasi berbeda-beda untuk setiap orang.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada
dalam rentang respon neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001). Ini
merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat
persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterprestasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera
(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun
sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena
sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan
stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami
ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indera
tidak akurat sesuai stimulus yang diterima. Adapun rentang respon
neurobiologis adalah sebagai berikut:
Tabel Rentang Respon Neuorobiologis
(Sumber: Stuart, 2006)
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma
social dan budaya secara umum yang berlaku didalam masyarakat, dimana
individu menyelesaikan masalah dalam batas normal yang meliputi:
1) Pikiran logis adalah segala sesuatu yang diucapkan dan dilaksanakan
oleh individu sesuai dengan kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra
perasaan, dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang lain
dan mengenai kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan
individual sesuai dengan stimulus yang datang.
4) Prilaku sesuai dengan cara berskap individu yang sesuai dengan
perannya.
5) Hubungan sosial harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan
berkomunkasi dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan
tidak senang.
Sedangkan maladaptif adalah suatu respon yang tidak dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan budaya secara umum yang berlaku
dimasyarakat, dimana individu dalam menyelesaikan masalah tidak
berdasarkan norma yang sesuai diantaranya :
1) Gangguan proses pikir / waham adalah ketidakmampuan otak untuk
memproses data secara akurat yang dapat menyebabkan gangguan
proses pikir, seperti ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran
terkontrol, pikiran yang terisi dan lain-lain.
2) Halusinasi adalah gangguan identifikasi stimulus berdasarkan
informasi yang diterima otak dari lima indra seperti suara, raba, bau,
dan pengelihatan
3) Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu tidak
sesuai dengan stimulus yang datang.
4) Prilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang tidak
sesuai dengan peran
5) Isolasi sosial adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari
lingkungan atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungan.
7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi (Stuart
& Laraia 2005) meliputi:
1) Regresi
Menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi
Mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggungjawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3) Menarik diri
Sulit mempercayai orang lain dan asik dengan stimulus internal.
Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien
8. AKIBAT
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya
yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan
(CP) : Halusinasi
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang dirasakan
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala dan
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien jenis halusinasi yang dialami klien
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan beserta proses terjadinya
halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi halusinasi
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik
halusinasi dalam jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara merawat klien dengan halusinasi
bercakap-cakap dengan oang lain 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal merawat langsung kepada klien
kegiatan harian halusinasi
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan aktivitas dirumah termasuk minum obat
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal pulang
kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr.
bahasa Indonesia, Tiara Mahatmi N. 2003. Buku Saku Psikiatri Edisi 6.
Bandung : RSJP Bandung
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Hibbert, Allison, Alice Godwin, & Frances Dear. 2004. Rujukan Cepat Psikiatri.
Jakarta: EGC
Keliat, Budi Anna & Akemat. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.
Jakarta: EGC
Keliat, Budi Anna et all. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN
Basic Course. Jakarta: EGC.
Kusumawati, Farida. Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Luh Ketut Suryani, Cokorda Bagus Laya Lesmana. 2008. Hidup Bahagia :
Perjuangan Melawan Kegelapan Edisi Pertama. Pustaka Obor Populer :
Jakarta
Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius
Stuart & Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Stuart dan Laraia. 2001. Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. 6ed. St.
Louis: Mosby Year Book
Videbeck S., L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. edisi revisi . Bandung: Refika Aditama.