You are on page 1of 62

KEBIJAKAN KESEHATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN

PELAYANAN KEPERAWATAN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


MANAJEMEN STRATEGI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
Dosen : Dr. UNTUNG SUJIANTO, S.Kp., M.Kes.

Oleh :
1. Kusnadi Jaya NIM. 22020114410044
2. Wiwin Nur Aeni NIM. 22020114410050

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem kesehatan memiliki hubungan yang erat dengan pembangunan
kesehatan. Sistem kesehatan memiliki tujuan untuk dapat menilai dan fokus
memberikan kemanfaatan kepada mayarakat. Manfaat yang diberikan
didistribusikan dengan adil. Sektor kesehatan memiliki peran yang sangat
penting karena mampu menyerap banyak sumber daya dan pembangkit
perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi medis atau
produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan menjamin populasi yang
sehat dan produktif secara ekonomi.
Keperawatan adalah bagian integral dari kesehatan. Keperawatan
sebagai sebuah profesi telah mengalami berbagai perkembangan ketika profesi
ini berusaha untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan mencoba
menyetarakan diri pada MEA mendatang. Keperawatan dalam menghadapi
perkembangan dan perubahan yang terjadi perlu melakukan pengambilan
keputusan yang cepat dan tepat. Proses pengambilan keputusan yang cepat dan
tepat dilakukan agar eksistensi dan profesionalitas organisasi keperawatan
beserta administrasi dan pendukungnya dapat berjalan terus dengan lancar.
Perawat sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan
melaksanakan kegiatan praktek keperawatan dengan mengunakan ilmu
pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai body of knowledge yang dapat
diuji kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat
langsung.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk
implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik
kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan

1
kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan
serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan
berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi.
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung
berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat
interaksi inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik
disengaja maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering
menimbulkan konflik baik pada diri pelaku dan penerima praktek
keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan harus mempunyai standar
profesi dan aturan lainnya yang didasari oleh ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, guna memberi perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya
standar praktek profesi keperawatan inilah dapat dilihat apakah seorang
perawat melakukan malpraktek, kelalaian ataupun bentuk pelanggaran praktek
keperawatan lainnya.
Sebagai bagioan integral dari pelayanan kesehatan, asuhan
keperawatan berfokus pada bio, psiko, sosial dan spiritual yang diberikan
kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sasaran pelayanan
keperawatan adalah manusia, maka dalam memberikan pelayanan perawat
harus benar-benar memperhatikan faktor etika dan hukum karena sejalan
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat
semakin faham akan hak-hak individu, kebebbasan dalam memberikan dan
mengemukakan pendapat dan tanggung jawab dalam melindungi hak yang
dimiliki. Kemajuan dan teknologi serta dampaknya terhadap kehidupan sosial,
politik dan ekonomi membuat semakin tingginya perhatian pada dimensi etika
praktik asuhan keperawatan (Gold, Chambers dan Dovrak, 1995)
Etika dan aturan hukum bagi perawat merupakan pedoman untuk
perawat yang digunakan dalam pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan etis baikdalam area praktik, pendidikan, administrasi maupun
penelitian. Etika Keperawatan menghasilkan informasi tentang moral, perawat
yang peka terhadap masalah yang dihadapi, perawat yang bertanggung gugat
dan mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan etis dalam praktik

2
keperawatan. Kemampuan untuk membuat suatu keputusan yang merupakan
sesuatu yang esensial dalam praktik keperawatan profesional (Fry, 2002).
Standar pelayanan profesional serta refleksi dari moral pelayanan tertuang
dalam kode etik perawat (RR.Puji Astuti & Purba, 2010).
Pengambilan keputusan merupakan suatu hasil atau keluaran dari
proses mental yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara
beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu
menghasilkan satu pilihan final baik itu berupa suatu tindakan (aksi) atau
suatu opini terhadap pilihan. Pengambilan keputusan dilakukan oleh seorang
manajer termasuk juga perawat dalam konteks pengelolaan asuhan
keperawatan kepada pasien. Kegiatan pembuatan keputusan meliputi
pengindentifikasian masalah, pencarian alternatif penyelesaian masalah,
evaluasi terhadap alternatif-alternatif tersebut, dan pemilihan alternatif
keputusan yang terbaik. Kemampuan seorang perawat dalam membuat
keputusan dapat ditingkatkan apabila ia mengetahui dan menguasai teori dan
teknik pembuatan keputusan. Peningkatan kemampuan perawat dalam
pembuatan keputusan diharapkan dapat meningkatkan kualitas keputusan yang
dibuatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
organisasi profesi keperawatan. Untuk dapat mengambil keputusan dengan
etis dan legal maka seorang perawat harus memahami kebijakan-kebijakan
yang mempengaruhi praktek profesionalnya.
Kebijakan merupakan pilihan yang didasari pemikiran akal budi untuk
kepentingan tertentu. Hal ini menjelaskan bahwa kebijakan bukanlah suatu
keputusan melainkan bahan dalam pengambilan keputusan. Berbeda halnya
dengan kebijaksanaan dimana kebijaksanaan diartikan sebagai kepandaian
menggunakan akal budi. Pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan
kematian dan keselamatan, sehingga kesehatan diletakkan dalam kedudukan
yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial lainnya. Kesehatan juga
dipengaruhi sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan
kesehatan, seperti kemiskinan yang mempengaruhi kesehatan, sama halnya
dengan polusi, atau sanitasi yang buruk. Kesehatan pula diperngaruhi oleh

3
kebijakan lain seperti halnya dengan kebijakan ekonomi yang menentukan
pajak rokok atau alkohol yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat.
Hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan sangat penting
dan memiliki korelasi yang sangat erat. Kebijakan kesehatan memungkinkan
untuk penyelesaian masalah kesehatan terutama yang terjadi pada saat ini,
sekaligus memahami bagaimana perekonomian dan kebijakan lain
berimplikasi pada kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat memberi arahan
dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangan dan digunakan,
mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli
secara bebas. Pemimpin keperawatan perlu menganalisa kebijakan kesehatan
sebagai sehingga memunculkan berbagai saran, sedalam dan seluas apapun
analisa kebijakan dimaksudkan untuk menghasilkan beberapa pilihan
keputusan. Analisa kebijakan bertujuan untuk menyediakan informasi yang
dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang berdasar pada pemecahan
masalah kepada para pembuat keputusan dalam hal keperawatan. Karena
itulah dalam makalah ini kami tertarik untuk membahas tentang “Kebijakan
Kesehatan Yang Berhubungan Dengan Pelayanan Keperawatan”
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Memahami salah satu kebijakan keperawatan dalam pelayanan kesehatan.
2. Tujuan khusus
a. Mendeskripsikan konsep teori kebijakan kesehatan
b. Mengidentifikasi produk-produk kebijakan kesehatan yang
berhubungan dengan pelayanan keperawatan
c. Mengidentifikasi implikasi dari produk-produk kebijakan kesehatan
terhadap praktik keperawatan

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Sistem Kesehatan


Sistem Kesehatan menurut WHO adalah semua kegiatan yang tujuan
utamanya untuk meningkatkan, mengembalikan dan memelihara kesehatan.
Cakupannya meliputi Formal Health services yang mencakup pula promosi
kesehatan, pelayanan kesehatan oleh tenaga medik profesional, pengobat
tradisional, pengobatan alternatif. Pendekatan Sistemik yang biasa digunakan
ada dua cara yaitu identifikasi komponen pembentuk sistem dan menganalisis
interconnection, saling keterkaitan antar komponen dalam pola tertentu.
Fungsi dalam sistem kesehatan (WHO 2000) meliputi regulasi/stewardship,
pembiayaan, pelaksanaan kegiatan kesehatan, dan pengembangan SDM dan
sumber daya lain
Tujuan dan indikator sistem kesehatan menurut Roberts dkk (2007),
antara lain status kesehatan, perlindungan resiko, dan kepuasan publik,
sebagai berikut penjelasannya:
1. Status kesehatan
a. Secara tradisional ukuran status kesehatan: AKB, AKI, dan AKBA
b. Akhir‐akhir ini: berkaitan dengan beban penyakit (misalnya DALY)
mencakup morbiditas maupun mortalitas
c. Penyakit kronis yang semakin meningkat menjadi beban baru bagi
sistem pelayanan kesehatan.
d. Kelayakan juga penting—apa yang bisa dilakukan (nilai tolok ukur)
2. Kepuasan masyarakat
a. Dapat diukur melalui survei penduduk yang dirancang baik
b. Secara tipikal dipengaruhi oleh kualitas pelayanan, akses dan
pembayaran tunai
c. Bisa sesuai atau tidak sesuai dengan pelayanan yang costeffective
misalnya, pasien meminta resep yang tidak cocok)
d. Juga terkait dengan pertimbangan pemerataan

5
3. Perlindungan terhadap risiko
a. Setiap tahunnya, ada sebagian penduduk yang mengeluarkan biaya
pelayanan kesehatan yang tinggi
b. Tanpa perlindungan, bisa jatuh miskin atau mendapat pelayanan yang
kurang
c. Masalahnya menjadi lebih buruk bagi mereka yang berpenghasilan
rendah
d. Dapat dihindari melalui asuransi atau sektor publik yang efektif dan
hampir bebas biaya.
B. Pengertian Kebijakan Kesehatan
Kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
layanan kesehatan. Kebijakan (Policy) diartikan juga sebagai sejumlah
keputusan yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang
kebijakan tertentu. Kebijakan Publik (Public Policy) merupakan kebijakan –
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau Negara. Kebijakan Kesehatan
(Health Policy) ialah segala sesuatu untuk mempengaruhi faktor – faktor
penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat; dan bagi seorang dokter kebijakan merupakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan layanan kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat
meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan kesehatan
diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang
mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan
pembiayaan dalam system kesehatan.
Kebijakan kesehatan mencakup sektor publik (pemerintah) sekaligus
sektor swasta. Para pengkaji kebijakan kesehatan juga menaruh perhatian pada
segala tindakan dan rencana tindakan dari organisasi di luar sistem kesehatan
yang memiliki dampak pada kesehatan karena kesehatan dipengaruhi oleh
banyak faktor penentu diluar system kesehatan. Sama halnya dengan beragam
definisi kebijakan kesehatan, ada banyak gagasan mengenai pengkajian
kebijakan kesehatan beserta penekanannya: seorang ahli ekonomi mungkin
berpendapat bahwa kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu tentang

6
pengalokasian sumber daya yang langka bagi kesehatan; seorang perencana
melihatnya sebagai cara untuk mempengaruhi faktor-faktor penentu di sektor
kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; dan bagi
seorang dokter. Menurut Walt, kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan
segala penawaran terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan
kebijakan, bagaimana mereka mengolah pengaruh tersebut, dan dengan
persyaratan apa (Surya, 2012). Kebijakan kesehatan sangat penting karena
berbagai alasan berikut:
a. Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai
negara
b. Kesehatan mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding dengan
masalah sosial yang lainnya
c. Kesehatan dapat dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada
kaitannya dengan pelayanan kesehatan (misal: kemiskinan, polusi)
d. Memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan
C. Pengertian Analisis Kebijakan Kesehatan
Analisa adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti
karangan, perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya, sebab musabab atau duduk perkaranya. Kebijakan merupakan
suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip
tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap
berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang alternative
terbaik. Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara
bertindak (tentag organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran tertentu. Contoh: Kebijakan Kebudayaan, adalah rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas suatu negara
untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan,
adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau
mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika penduduk dalam negaranya.

7
Konsep dari analisis kebijakan kesehatan adalah “What The Goverment Do Or
Not To Do”, artinya segala keputusan yang pemerintah lakukan atau tidak
dilakukan dalam bidang kesehatan berdasarkan atas kemanfaatan masyarakat
di bidang kesehatan (Anne,2012).
D. Berbagai Produk Kebijakan Kesehatan Terkait Pelayanan Keperawatan
1. Kebijakan Tingkat UUD 1945
UUD 1945 pasal 28H ayat 1 : setiap orang berhak untuk hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Kebijakan pada tatanan undang-undang
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 Tentang Tenaga Kesehatan
UU ini sebenarnya memisahkan bidan dna perawat sebagai nakes yang
berbeda. Fisioterapi masih menjadi bagian dari keperawatan. Tenaga
kesehatan sarjana-muda, menengah dan rendah melakukan
pekerjaannya dibawah pengawasan dokter/dokter-gigi/apoteker/sarjana
lain (pasal 8).
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Tidak mengatur secara spesifik tentang kriteria tenaga kesehatan,
sebab akan diturunkan dalam Peraturan Pemerintah. UU ini terkesan
tidak fokus dan hanya menyebutkan pokok-pokoknya saja. Namun
demikian, UU ini memberikan penegasan tentang sanksi pidana
terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan tanpa ijin, baik ijin sebagai
tenaga kesehatan maupun ijin operasional. Selain itu UU ini juga lebih
banyak berfokus pada masalah tranplantasi organ dalam praktik
kedokteran. Khusus tentang tenaga kesehatan diuraikan dalam PP
Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. UU hanya
mengatur tentang syarat-syarat menjadi tenaga kesehatan.
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Penjelasan tentang tenaga kesehatan sudah dibuat lebih spesifik.
Pelayanan kesehatan sudah dikategorikan pada level pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian dapat

8
diidentifikasi area kewenangan perawat dalam konteks upaya
kesehatan. UU ini juga secara spesifik sudah menjabarkan hak-hak
masyarakat terhadap kesehatan dan tanggung jawab pemerintah dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat atas kesehatan. terkait dengan
tenaga kesehatan, UU ini sudah memberikan kualifikasi minimum
seorang tenaga kesehatan dan bagaimana mekanisme pengelolaan
tenaga kesehatan (pasal 21-29).
Kriteria pelayanan kesehatan juga sudah dibahas dengan jelas dalam
pasal 30-35, termasuk area kerja dari masing-masing sarana pelayanan
kesehatan. Cakupan upaya kesehatan juga sudah diperluas dengan
menambahkan masalah keluarga berencana, kesehatan bencana,
pelayanan darah, pengamanan zat aditif serta bedah mayat.
Terkait dengan penjaminan mutu, UU ini mewajibkan pemerintah
menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan untuk memastikan
praktek pelayanan yang aman dan menjamin keselamatan pasien (pasal
52-55).
UU ini juga membahas tentang persetujuan maupun penolakan
tindakan medis dan kewajiban menjaga rahasia kedokteran bagi tenaga
kesehatan. Konsekwensinya bagi perawat adalah pasien juga berhak
memberikan persetujuan ataupun penolakan terhadap tindakan
keperawatan. Tetapi dalam kenyataannya hal ini tidak pernah dibahas
secara spesifik tentang bagaimana mekanisme persetujuan dan
penolakan tindakan keperawatan. Selain itu perawat yang melakukan
praktek asuhan keperawatan di sarana kesehatan manapun juga
memiliki konsekwensi untuk menjaga rahasia kedokteran. Secara
khusus dalam BAB XVII dijelaskan bahwa harus dibentuk Badan
Pertimbangan Kesehatan (pasal 175-177). Tetapi dalam kenyataannya
sampai sekarang badan independen ini belum terbentuk.
Ketentuan pidana telah dispesifikkan pemberian sanksi bagi lembaga
dan/atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien gawat darurat (pasal 190), sanksi bagi

9
penyelenggara pelayanan tradisional tanpa ijin (pasal 191),
memperjualbelikan organ tubuh (pasal 192), bedah plastik dan
rekonstruksi untuk merubah identitas (pasal 193), aborsi tidak sesuai
ketentuan (pasal 194), memperjualbelikan darah (pasal 195),
memproduksi/mengedarkan sediaan farmasi dan/atau al-kes tidak
sesuai standar dan tidak memiliki ijin edar (pasal 196-197), praktik
kefarmasian tanpa kewenangan (pasal 198), peringatan bahaya
kesehatan pada kemasan rokok (pasal 199), dan sanksi bagi pihak-
pihak yang menghalangi pemberian ASI (pasal 200).
Khusus pasal 198 tentang praktek kefarmasian, pernah digunakan
sebagai pasal pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman pada perawat
Misran (Kalimantan Timur) karena melakukan pemberian obat tanpa
ijin, meskipun pada tingkat banding di MA pasal ini dianulir oleh
klausul bahwa hal tersebut dilakukan karena pertimbangan
kegawatdaruratan dan tidak ada tenaga kesehatan yang berwenang di
wilayah tersebut.
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
Memberikan arah kebijakan pelaksanaan pembangunan di Indonesia
sampai dengan tahun 2025 termasuk bidang kesehatan. Hal ini
memberikan panduan dalam pengembangan keperawatan secara umum
sebagai bagain integral dari sistem kesehatan. Selain itu Puskesmas
wajib melaksanakan promosi kesehatan, untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Hal ini juga berlaku bagi
tenaga keperawatan.
e. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
UU ini termasuk UU yang mengecilkan arti penting keperawatan
dalam rumah sakit sebab dalam UU ini Komite Keperawatan tidak lagi
dijadikan sebagai organ yang menjadi persyaratan pendirian Rumah
Sakit (pasal 33) padahal Komite Keperawatan sudah diatur
sebelumnya dengan Kepmendagri Nomor 1 Tahun 2000. Termasuk

10
mekanisme audit yang dipersyaratkan hanya audit kinerja dan audit
medis. Sama sekali tidak menyinggung audit keperawatan padahal UU
ini juga consern menyoroti masalah keselamatan pasien (pasal 43). dan
sebagaimana diketahui bahwa tenaga kesehatan terbesar yang ada di
RS adalah tenaga keperawatan sehingga resiko berkaitan keselamatan
pasien sebenarnya lebih banyak bersentuhan dengan keperawatan
sehingga perlu dilakukan audit keperawatan secara periodik.
f. Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang-undang ini secara khusus mengatur tentang tenaga kesehatan.
Pada pasal 8 disebutkan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari nakes dan
asisten nakes. Selain itu, tenaga fisioterapi sudah dipisahkan dari
keperawatan. Dalam pasal 9 disebutkan bahwa kualifikasi minimum
pendidikan tenaga kesehatan adalah Diploma III kecuali Tenaga
Medis. Sedangkan asisten tenaga kesehatan memiliki kualifikasi
pendidikan setingkat SMK (pasal 10). Selanjutnya dalam pasal 11
diuraikan tentang kategorisasi masing-masing tenaga kesehatan. UU
ini juga menuntut adanya Konsil Tenaga Kesehatan untuk peningkatan
mutu dan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan (pasal 34).
Dalam pasal 37, dijelaskan bahwa penjaminan mutu oleh Konsil
dilaksanakan melalui kegiatan : a) registrasi tenaga kesehatan; b)
pembinaan praktik; c) menyusun standar pendidikan tinggi tenaga
kesehatan; d) Standar Praktik dan Standar Kompetensi Tenaga
Kesehatan; dan e) penegakan disiplin praktek tenaga kesehatan.
Hingga saat ini Konsil Keperawatan belum terbentuk dan masalah
registrasi untuk saat ini ditangani oleh Majelis Tenaga Kesehatan
Indonesia (MTKI). Dalam UU ini juga diatur tentang praktik mandiri
dan tata caranya. Termasuk kewajiban memasang papan nama bagi
tenaga kesehatan yang praktik mandiri, termasuk perawat. Tetapi ada
pembatasan tempat praktek bahwa SIP hanya berlaku pada 1 tempat
(pasal 48). Juga diatur hak dan kewajiban tenaga kesehatan,
mekanisme pelimpahan wewenang, dan standar-standar yang

11
berhubungan dengan praktik profesional. Secara spesifik, UU ini juga
mengatur kewajiban tenaga kesehatan melaksanakan penelitian dan
pengembangan ilmu dalam praktik, melakukan informed consent atas
tindakan yang diberikan, rekam medik, kewajiban menjaga rahasia
pasien, perlindungan tenaga kesehatan dan pasien serta mekanisme
penyelesaian perselisihan. Ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini
adalah tentang kelalaian, praktek tanpa STR, serta praktek tanpa ijin
(Surat Ijin Praktek).
g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
UU ini secara khusus mengatur tentang keperawatan, perawat, praktek
perawat, pendidikan keperawatan, serta penjaminan mutu keperawatan.
UU Keperawatan tidak menyebutkan adanya asisten perawat. UU ini
mewajibkan dilaksanakannya uji kompetensi bagi mahasiswa
keperawatan yang akan lulus, untuk memenuhi standar kompetensi
lulusan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. Terkait masalah
praktek juga sudah diatur syarat dan mekanisme pengajuan dan
perpanjangan STR dan ijin praktek perawat, termasuk perawat lulusan
luar negeri yang akan praktek di Indonesia. Secara khusus, UU juga
sudah mengatur kewajiban dan wewenang perawat dalam
melaksanakan praktek keperawatan. Termasuk mekanisme pelimpahan
wewenang secara delegasi dan mandat serta organisasi profesi. Terkait
pengembangan cabang ilmu disiplin keperawatan dan standar
pendidikan tinggi keperawatan maka harus dibentuk Kolegium
Keperawatan, dan untuk penjaminan mutu praktik keperawatan serta
memberikan kepastian hukum bagi perawat yang melaksanakan
praktik maka dibentuk Konsil Keperawatan (tahun 2016). Perawat
lulusan SPK diberikan kesempatan meningkatkan jenjang pendidikan
menjadi D-III hingga 6 tahun setelah UU diundangkan (tahun 2020).

12
3. Kebijakan pada tatanan Peraturan Pemerintah / Peraturan Presiden
a. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan
Merupakan peraturan turunan dari UU 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan. dalam PP ini tenaga kesehatan terdiri dari : tenaga medis;
tenaga keperawatan; tenaga kefarmasian; tenaga kesehatan
masyarakat; tenaga gizi; tenaga keterapian fisik; dan tenaga
keteknisian medis. Tenaga keperawatan terdiri dari perawat dan bidan.
Namun dalam UU 36/2014 Bidan sudah dipisahkan sebagai kategori
nakes tersendiri. Masalah perlindungan hukum dan pembinaan tenaga
kesehatan juga telah dimasukkan dalam UU Nakes.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran
Peraturan ini mewajibkan semua tenaga kesehatan wajib menyimpan
rahasia yang berkaitan dengan pasien dan penyakitnya sebagai bagian
dari rahasia jabatan. Membocorkan rahasia medis dapat dikenakan
sanksi pidana meskipun tidak diadukan. Kewajiban ini juga berlaku
terhadap para mahasiswa pendidikan kesehatan.
c. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Tunjangan Jabatan
Fungional.
Perawat sebagai jabatan fungsional bagi PNS berhak mendapatkan
tunjangan jabatan fungsional yang disebut tunjangan perawat. Dan
diberikan setiap bulan. Besarnya tunjangan untuk perawat adalah
sebagai berikut :
Jabatan Besarnya
No Jabatan
Fungsional Tunjangan
1 Perawat Ahli Perawat Madya Rp. 715.000,-
Perawat Muda Rp. 495.000,-
Perawat Pertama Rp. 253.000,-
2 Perawat Perawat Penyelia Rp. 440.000,-
Terampil Perawat Pelaksana Lanjutan Rp. 242.000,-
Perawat Pelaksana Rp. 197.000,-
Perawat Pelaksana Pemula Rp. 183.000,-

13
d. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Inti dari PP ini adalah bahwa perusahaan (termasuk rumah sakit) wajib
menerapkan sistem K3 untuk melindungi karyawan (termasuk
perawat) dari kecelakaan kerja maupun resiko-resiko terkait dengan
pekerjaan.
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan
Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional sesuai amanat Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, diperlukan dukungan dana untuk
operasional pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Fasilitas
Kesehatan. Fasilitas kesehatan disebut sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat FKTP
adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan
perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi,
diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan
lainnya. Pengelolaan Dana Kapitasi BPJS merupakan tata cara
penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban
dana kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan. Dana
Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka
kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang

14
diberikan. Dengan demikian apabila perawat ingin mendapatkan
bagian dari kapitasi BPJS dalam konteks praktik mandiri maka sarana
kesehatan yang diselenggarakan harus berbentuk FKTP.
4. Kebijakan pada tatanan Peraturan Menteri
a. Peraturan Menteri PAN Nomor 94 Tahun 2001 Tentang Jabatan
Fungsional Perawat Dan Angka Kreditnya
Perawat termasuk dalma rumpun kesehatan (pasal 2). Perawat
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional pelayanan
keperawatan yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
pada sarana kesehatan, merupakan jabatan karir dan hanya diduduki
oleh PNS (pasal 3). Kegiatan perawat yang dinilai angka kreditnya
meliputi : a) pendidikan; b) pelayanan keperawatan; c) pengabdian
pada masyarakat; d) pengembangan profesi; e) penunjang pelayanan
keperawatan (pasal 5).
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen
Kesehatan
Dalam Permenkes ini diatur masalah Komite sebagai salah satu
persyaratan dalam organisasi RS, tetapi belum menyinggung Komite
Keperawatan. Yang wajib ada hanya Komite Medik dan Komite Etik
dan Hukum.
c. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis
Setiap penyelenggara pelayanan kesehatan wajib membuat rekam
medis secara tertulis (pasal 2). Rekam medis dilengkapi segera setelah
pasien pulang dan dibubuhi nama lengkap dan tanda tangan dokter
atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan
secara langsung. Rekam medis boleh direvisi dengan cara dicoret dan
diberi paraf (pasal 5).
Pihak yang berwenang menjelaskan isi rekam medis adalah tenaga
medis (pasal 11). Berkas rekam medis adalah milik sarana pelayanan
kesehatan sedangkan isi rekam medis adalah milik pasien. Isi rekam

15
medis berupa ringkasan rekam medis (pasal 12). Pemanfaatan rekam
medis yang menyebutkan nama pasien harus dengan persetujuan
tertulis dari pasien atau ahli warisnya dengan tetap menjaga
kerahasiaannya. Penggunaan rekam medis untuk kepentingan
pendidikan dan penelitian boleh tidak meminta ijin pasien asal demi
kepentingan negara (pasal 13)
d. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau
menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan
rahasia kedokteran. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku
selamanya, walaupun pasien telah meninggal dunia. Rahasia
kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan harus dengan
persetujuan pasien. Jika dibuka untuk kepentingan tertentu (misalnya
pembelajaran) tidak boleh menyebutkan nama. Pembukaan atau
pengungkapkan rahasia kedokteran dilakukan oleh penanggung jawab
pelayanan pasien.
Pasien atau keluarga terdekat pasien yang telah meninggal dunia yang
menuntut tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan serta
menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah
melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum.
Penginformasian melalui media massa memberikan kewenangan
kepada tenaga kesehatan dan/atau fasillitas pelayanan kesehatan untuk
membuka atau mengungkap rahasia kedokteran yang bersangkutan
sebagai hak jawab.
Dalam hal pihak pasien menggugat tenaga kesehatan dan/atau fasilitas
pelayanan kesehatan maka tenaga kesehatan dan/atau fasilitas
pelayanan kesehatan yang digugat berhak membuka rahasia
kedokteran dalam rangka pembelaannya di dalam sidang pengadilan.

16
e. Permenkes Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Yang Tidak Diminati
Tenaga kesehatan tertentu yang bertugas di faskes tersebut boleh
diberikan tambahan kewenangan.
f. Permenkes Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010 Tentang
Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
Perawat dapat melaksanakan prakti di fasilitas pelayanan kesehatan
diluar praktik mandiri, dengan latar belakang pendidikan minimal D-
III (pasal 2). Praktek di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki
SIKP dan praktek mandiri wajib memiliki SIPP (pasal 3). Untuk
memperoleh ijin tersebut dipersyaratkan :
1) fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisasi;
2) surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin
Praktik;
3) surat pernyataan memiliki tempat di praktik mandiri atau di
fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri;
4) pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga)
lembar;
5) rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau
pejabat yang ditunjuk; dan
6) rekomendasi dari organisasi profesi (pasal 5).
Perawat hanya dapat menjalankan praktik keperawatan paling banyak
di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan di 1 (satu) tempat fasilitas
pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri (pasal 5A). masa berlaku
SIPP dan SIKP sama dengan masa berlaku STR (pasal 5B).
Pelanggaran terhadap ketentuan perijinan ini dikenakan sanksi berupa :
a) teguran lisan; b) teguran tertulis; atau c) pencabutan SIKP atau
SIPP.

17
g. Permenkes Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi
Petugas yang berwenang memberikan immunisasi adalah dokter dan
dokter spesialis. Untuk immunisasi dasar, Bidan diberikan
kewenangan khusus. Dokter di Puskesmas dapat mendelegasikan
kewenangan pelayanan immunisais kepada Bidan dan Perawat. Jika
tidak ada Dokter maka Bidan dan Perawat dapat langsung memberikan
pelayanan immunisasi dengan syarat harus terlatih (pasal 27).
Pemberian imunisasi harus dilakukan berdasarkan standar pelayanan,
standar prosedur operasional dan standar profesi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan (pasal 28).
Proses pemberian imunisasi harus memperhatikan keamanan vaksin
dan penyuntikan agar tidak terjadi penularan penyakit terhadap tenaga
kesehatan pelaksana pelayanan imunisasi dan masyarakat serta
menghindari terjadinya kejadian ikutan pemberian immunisasi (pasal
29).
Sebelum pelaksanaan imunisasi, pelaksana pelayanan imunisasi harus
memberikan informasi lengkap tentang imunisasi meliputi vaksin, cara
pemberian, manfaat dan kemungkinan terjadinya kejadian ikutan
pemberian immunisasi/KIPI (pasal 30). Jika ada kejadian ikutan maka
harus dilaporkan kepada pelaksana pelayaan immunisasi, Puskesmas
atau Dinas Kesehatan untuk dilakukan investigasi. Jika terjadi
kesakitan akibat KIPI maka pasien berhak diberikan pengobatan dan
perawatan.
h. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik dan/atau
pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari Pemerintah. Untuk
memperoleh izin dari Pemerintah tersebut diperlukan STR yang
dikeluarkan oleh MTKI dan berlaku secara nasional. Untuk memiliki
STR harus memiliki sertifikat kompetensi (pasal 2).

18
Sertifikat Kompetensi diberikan kepada peserta didik setelah
dinyatakan lulus Uji Kompetensi oleh perguruan tinggi bidang
kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Uji Kompetensi dimaksud
diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan MTKI
(pasal 3). STR berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang dengan syarat
yang bersangkutan sudah melaksanakan : a) pengabdian diri sebagai
tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan; dan b) pemenuhan
kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau
kegiatan ilmiah lainnya. Jumlah satuan kredit profesi untuk setiap
kegiatan ditetapkan oleh MTKI atas usulan dari organisasi profesi
(pasal 4).
Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan
tadi dibuktikan dengan: a) keterangan kinerja dari institusi tempat
bekerja, atau keterangan praktik dari kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota; b) Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja; dan c)
rekomendasi dari organisasi profesi.
Pemenuhan kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan,
pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya dibuktikan dengan
pemenuhan syarat satuan kredit profesi yang diperoleh selama 5 (lima)
tahun yang ditetapkan oleh organisasi profesi (pasal 5). Dalam hal
Tenaga Kesehatan tidak dapat memenuhi ketentuan persyaratan
perpanjangan STR, maka Tenaga Kesehatan tersebut harus mengikuti
evaluasi kemampuan yang dilaksanakan oleh organisasi profesi bekerja
sama dengan MTKI (pasal 6).
STR tidak berlaku apabila: a) masa berlaku habis; b) dicabut atas dasar
peraturan perundang-undangan; c) atas permintaan yang bersangkutan;
atau d) yang bersangkutan meninggal dunia (pasal 9).
Untuk memperoleh STR, Tenaga Kesehatan mengajukan permohonan
kepada MTKI melalui MTKP; atau Tenaga Kesehatan yang baru lulus
Uji Kompetensi mengajukan permohonan secara kolektif oleh

19
Perguruan tinggi yang ditujukan kepada MTKI melalui MTKP.
Permohonan sebagaimana dimaksud dilengkapi dengan fotokopi
Sertifikat Kompetensi yang dilegalisasi dan pas foto 4x6 dengan latar
belakang merah. Permohonan dimaksud dilengkapi dengan : a) daftar
lulusan Uji Kompetensi dari perguruan tinggi yang bersangkutan; b)
pas foto 4x6 dengan latar belakang merah; dan c) surat keterangan dari
perguruan tinggi tentang kebenaran seluruh data yang diusulkan.
Kelengkapan berkas permohonan tadi diproses oleh MTKP dan
dikirimkan ke MTKI dalam bentuk elektronik sesuai dengan format
yang ditetapkan oleh MTKI. STR dikirimkan kepada pemohon melalui
MTKP (pasal 10).
i. Permenkes Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan
Rumah Sakit
Penyelenggaraan Komite Keperawatan bertujuan untuk meningkatkan
profesionalisme tenaga keperawatan serta mengatur tata kelola klinis
yang baik agar mutu pelayanan keperawatan dan pelayanan kebidanan
yang berorientasi pada keselamatan pasien di Rumah Sakit lebih
terjamin dan terlindungi (pasal 2). Tenaga keperawatan dalam
Permenkes ini terdiri dari perawat dan bidan (pasal 3).
Untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik sebagaimana
dimaksud, semua asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan yang
dilakukan oleh setiap tenaga keperawatan di Rumah Sakit dilakukan
atas Penugasan Klinis dari kepala/direktur Rumah Sakit. Penugasan
Klinis tersebut berupa pemberian Kewenangan Klinis tenaga
keperawatan oleh kepala/direktur Rumah Sakit melalui penerbitan
surat Penugasan Klinis kepada tenaga keperawatan yang bersangkutan.
Surat Penugasan Klinis diterbitkan oleh kepala/direktur Rumah Sakit
berdasarkan rekomendasi Komite Keperawatan. Dalam keadaan
darurat kepala/direktur Rumah Sakit dapat memberikan surat
Penugasan Klinis secara langsung tidak berdasarkan rekomendasi
Komite Keperawatan.

20
Rekomendasi Komite Keperawatan diberikan setelah dilakukan
Kredensial dengan ketentuan bahwa Rumah Sakit merupakan tempat
untuk melakukan pelayanan kesehatan tingkat kedua dan ketiga (pasal
4).
j. Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik
Permenkes ini merupakan penyempurnaan dari Permenkes Nomor 28
Tahun 2011 Tentang Klinik. Penanggung jawab klinik harus seorang
tenaga medis yang memiliki SIP di klinik tersebut. Perawat yang
bekerja di klinik juga harus memiliki STR, SIK/SIP di klinik tersebut.
Setiap tenaga kesehatan (termasuk perawat) yang bekerja di Klinik
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien,
serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien. Klinik
dilakukan akreditasi setiap 3 tahun sekali dan wajib melakukan audit
medis.
k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 Tentang
Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa
Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
Alokasi untuk pembayaran dukungan biaya operasional pelayanan
kesehatan ditetapkan sebesar selisih dari besar Dana Kapitasi dikurangi
dengan besar alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan.
Besaran alokasi ditetapkan setiap tahun dengan Keputusan Kepala
Daerah atas usulan Kepala SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan mempertimbangkan: a) kebutuhan obat, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai; b) kegiatan operasional pelayanan kesehatan
dalam rangka mencapai target kinerja di bidang upaya kesehatan
perorangan; dan c) besar tunjangan yang telah diterima dari
Pemerintah Daerah. Pembagian jasa pelayanan kesehatan kepada
tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan ditetapkan dengan

21
mempertimbangkan variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan dan
kehadiran.
Alokasi dana kapitasi BPJS untuk dukungan biaya operasional
kesehatan dimanfaatkan untuk : a) obat, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai; dan b) kegiatan operasional pelayanan kesehatan
lainnya. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dapat dilakukan melalui SKPD Dinas Kesehatan, dengan
mempertimbangkan ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Dukungan kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya, meliputi
: a) upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif lainnya; b) kunjungan rumah dalam rangka
upaya kesehatan perorangan; c) operasional untuk puskesmas keliling;
d) bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau e) administrasi keuangan
dan sistem informasi. Dalam Permenkes ini tidak disebutkan alokasi
untuk kegiatan keperawatan secara spesifik.
l. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif,
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya. Ada dua macam upaya kesehatan yang
dilaksanakan di Puskesmas, yakni Upaya Kesehatan Masyarakat yang
selanjutnya disingkat UKM dan Upaya Kesehatan Perseorangan yang
selanjutnya disingkat UKP.
UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah
kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat,
sedangkan UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan

22
pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan,
penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan. Pembangunan kesehatan yang
diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat yang: 1) memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat; 2) mampu menjangkau
pelayanan kesehatan bermutu; 3) hidup dalam lingkungan sehat; dan 4)
memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Pembangunan kesehatan yang
diselenggarakan di Puskesmas tersebut mendukung terwujudnya
kecamatan sehat. Dengan demikian, promosi kesehatan merupakan
salah satu upaya kesehatan esensial Puskesmas untuk mencapai level
kemandirian setinggi-tingginya.
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, Puskesmas wajib
diakreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali.
Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang
diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang
ditetapkan oleh Menteri setelah dinilai bahwa Puskesmas telah
memenuhi standar pelayanan Puskesmas yang telah ditetapkan oleh
Menteri untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas secara
berkesinambungan. Jika direfleksikan dengan kondisi sekarang, maka
akreditasi Puskesmas akan sangat bergantung pada kinerja tenaga
keperawatan sebab sebagian besar tenaga kesehatan di Puskesmas saat
ini adalah perawat.

23
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam bab ini Penulis akan melakukan ekstraksi dan sintesis tentang
implikasi dari kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan dalam BAB II
sebelumnya terhadap pelaksanaan praktik keperawatan. Hasil ekstraksi dan
sintesis tersebut mencakup konsekwensi yang harus dipenuhi oleh perawat dan
dasar hukum yang melatarbelakanginya.

A. Hak-Hak Pasien Yang Harus Dihormati


1. Pada UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran khususnya pada
pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
c. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
d. Menolak tindakan medis.
e. Mendapatkan isi rekam medis.
2. Terkait rekam medis, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun
2008 Tentang Rekam Medis pasal 12 menyebutkan:
Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan. Isi rekam medis
merupakan milik pasien. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis. Ringkasan rekam medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan, dicatat, atau dicopy
oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis
pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu.
3. Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pada pasal 4-8
disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, akses atas sumber daya,
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan, lingkungan yang sehat, info

24
dan edukasi kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab, dan
informasi tentang data kesehatan dirinya.
Hak-hak pasien dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi:
a. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan
(kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
b. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin ybs,
kepentngan ybs, kepentingan masyarakat).
Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan
penyelamatan nyawa atau cegah cacat).
4. Hak Pasien dalam UU No 44 / 2009 Tentang Rumah Sakit (Pasal 32 UU
44/2009) menyebutkan bahwa setiap pasien mempunyai hak sebagai
berikut:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku
di Rumah Sakit
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi.
d. Memperoleh pelayanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional.
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.
g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit.
h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain (second opinion) yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) baik di
dalam maupun di luar rumah sakit.
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya.
j. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.

25
k. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit.
o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya.
p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianutnya.
q. Menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit itu
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana.
r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5. UU Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan pasal 38, klien berhak :
a. Mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan
Keperawatan yang akan dilakukan;
b. Meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
c. Mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional,
dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d. Memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan
diterimanya; dan
e. Memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya
Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia
bagi pasien adalah:

26
1. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga
peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap
undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana
atas pelanggaran hak-hak pasien.
Dasar hukum yang mengatur tentang hal ini antara lain :
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Kewajiban tenaga kesehatan sama dengan hak-hak pasien)
Sedangkan sanksi yang dapat diberikan apabila melanggar hak-hak pasien
tersebut, antara lain : 1) Sanksi pidana; 2) Sanksi perdata; 3) Sanksi
Administratif; dan 4) Sanksi Disiplin.
Pada tahun 2003 pernah terjadi di sebuah rumah sakit, pasien meningal dunia
pasca operasi tumor di belakang kepala, keluarga dan pasien tidak dijelaskan
hasil observasi pre operasi dan resiko operasi. Dari kasus ini keluarga berhak
menuntut pihak Rumah Sakit atau Tim Operasi scara hukum. Contoh lainnya
adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai penggunaan
rumah sakit sebagai tempat syuting merupakan pelanggaran hak terhadap
pasien."Itu melanggar hak pasien karena seharusnya ruang yang tertutup
menjadi terbuka," kata Ketua YLKI, Tulus Abadi Kamis (27/12). Menurut
Tulus, syuting yang dilakukan di rumah sakit, akan membuat pasien yang
seharusnya mendapatkan perawatan maksimal menjadi terganggu.
Menanggapi kasus meninggalnya seorang anak berumur 9 tahun di ICCU RS
Harapan Kita yang diduga akibat tidak mendapatkan perawatan maksimal
karena ICCU dipergunakan untuk syuting sinetron Love in Paris, Tulus
menilai perlu ada sanksi tegas terhadap pihak rumah sakit dan juga
production house pembuat sinetron itu.

27
"Sebaiknya, pimpinan rumah sakit itu dicopot dan manajemen rumah sakit
harus meminta maaf serta mengganti rugi secara materil kepada keluarga
pasien walaupun nyawa tidak bisa diganti dengan uang
B. Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan
1. Kewajiban perawat sebagai tenaga kesehatan
a. Perawat wajib memiliki :
1) Sertifikat Kompetensi (SK) ; sebagai bukti memiliki kompetensi
standar sesuai level pendidikannya, sebagai dasar memperoleh
STR
2) Surat Tanda Registrasi (STR) ; sebagai bukti telah teregistrasi
secara hukum sebagai dasar pengajuan SIP
3) Surat Ijin Perawat (SIP) ; sebagai bukti tertulis pemberian
kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan diseluruh
wilayah Indonesia.
4) Surat Ijin Kerja (SIK) ; sebagai bukti tertulis yang diberikan
kepada perawat untuk melakukan praktek keperawatan di sarana
kesehatan
5) Surat Ijin Praktek Perawat (SIPP) ; sebagai bukti tertulis yang
diberikan kepada perawat untuk menjalankan praktek perawat
perorangan atau kelompok
b. Perawat wajib menghormati hak-hak pasien.
c. Perawat wajib merujuk kasus yang tidak dapat ditangani.
d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
klien, kecuali jika dimintai keterangan oleh pihak berwenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Perawat wajib memberikan informasi kepada pasien / keluarga yang
sesuai batas kewenangan perawat.
f. Perawat wajib meminta persetujuan setiap tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat sesuai dengan kondisi pasien baik secara
tertulis maupun secara lisan.

28
g. Perawat wajib mencatat semua tindakan keperawatan (dokumentasi
asuhan keperawatan) secara akurat sesuai peraturan dan SOP yang
berlaku.
h. Mematuhi standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam
melaksanakan praktik profesi keperawatan
i. Meningkatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keperawatan dan kesehatan secara terus
menerus.
j. Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa pasien sesuai
batas kewenangan dan SOP.
k. Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat
l. Mentaati semua peraturan perundang-undangan
m. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun
dengan anggota tim kesehatan lain.
n. Perawat wajib memberikan kesempatan kepada klien untuk
berhubungan dengan keluarganya, selama tidak bertentangan dengan
peraturan dan standar profesi yang ada.
o. Perawat wajib memberikan kesempatan kepada klien untuk
menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama atau kepercayaan
masing-masing selama tidak mengganggu klien yang lainnya.
p. Perawat didalam melakukan praktik mandiri dan / atau berkelompok di
wajibkan untuk membantu program pemerintah.
2. Peraturan yang mengatur kewajiban perawat
a. Permenkes 148 Tahun 2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik
Perawat, pasal 8, 9, 10, 12
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 32
c. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, pasal
37 dan 38
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan,
pasal 26, pasal 58, 59, 60, 61, 62, pasal 66, pasal 70, pasal 73.

29
3. Sanksi jika perawat tidak memenuhi kewajiban
Pertanggungjawaban perawat dalam kewajibannya sebagai
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3)
bentuk pembidangan hukum yakni :
a. Pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365
KUH-Perdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai
dengan ketentuan Pasal 1239 KUH-Perdata. Dan Pertanggungjawaban
perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat
dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berikut:
1) Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability)
berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan
kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang
mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul
tanggungjawabnya secara mandiri.
2) Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau
vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di
ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367
BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka
kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen
perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas.
Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah
perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama
bertanggungjawab atas kerugian yang menimpa pasien.
3) Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming (perbuatan
mengurus kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang
itu untuk mengurusi kepentingannya) berdasarkan Pasal 1354 BW.
4) Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi
seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus

30
melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang
berkompeten untuk itu.
Perlindungan hukum dalam tindakan zaakwarneming perawat tersebut
tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat
justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum apabila tidak
mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10 tersebut.
Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang perawat akan dimintai
pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu:
1) Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini
apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua tugas dan
kewenangan sesuai dengan fungsi, peran, maupun tindakan
keperawatan.
2) Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila
kewajiban sesuai fungsi tersebut dilakukan terlambat yang
mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang
perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan kateter
secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu
sampai penuh. Sehingga dari tindakan tersebut mengakibatkan
pasien mengalami infeksi saluran kencing (ISK) dari kuman yang
berasal dari urine yang tidak dibuang.
3) Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang
seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai
contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien di
malam hari, tidak siap tanggap menjaga pasien rawat inap yang
dalam penjagaan dan tanggungjawabnya di malam hari hanya
karena tidak mau terganggu istirahatnya.
4) Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini
apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak
mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien tanpa
perintah, menyuntik pasien tanpa kehati-hatian asal obat masuk
saja, tanpa mempertimbangkan efek pemberian yang terlalu cepat

31
atau terlalu lambat dan cara pemberian yang benar sesuai dengan
basic ilmu yang dimiliki, melakukan pemasangan infus dan
menjahit luka pada pasien padahal dirinya belum terlatih dan tidak
dalam pengawasan dokter.
Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka
pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang
bersangkutan sesuai personal liability.
b. Hukum pidana
Pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat
dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai
berikut;
1) Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini
apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No.
148/2010,
2) Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang
memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan
secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk
itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya
dapat merugikan pasien,
3) Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena
kealpaan (culpa),
4) Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini
tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang
mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada
alasan pembenar.
c. Hukum administrasi
Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena
adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap
penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

32
Permenkes No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi
yang wajib ditaati perawat yakni:
1) Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik
mandiri.
2) Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan
yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian
Pasal 10.
3) Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi.
Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat
rentan terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam
menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah
administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Ada dua
ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja
di sebuah RS :
1) Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang
mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai
surat izin praktik.
2) Sementara dalam Permenkes No. 148/2010 SIPP bagi perawat
yang bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di
luar praktik mandiri) tidak diperlukan.
Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum
administrasi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan
izin.
C. Aspek Rahasia Medik
1. Pihak yang wajib menjaga rahasia medik
Yang wajib menyimpan rahasia medik. Disebutkan dalam PP No.10 tahun
1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Dokter, pasal 3 yang berbunyi:
a. Tenaga kesehatan yang terdiri dari:
1) Tenaga medis : dokter dan dokter gigi
2) Tenaga keperawatan : perawat dan bidan.
3) Tenaga kefarmasian : apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

33
4) Tenaga kesehatan masyarakat : epidemiolog kesehatan, entomolog
kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian.
5) Tenaga gizi : nutrizionis dan dietisien
6) Tenaga keterapian fisik : fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis
wicara.
7) Tenaga keteknisian medis : radiografer, radioterapis, teknisi gigi,
teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik
prostetik, teknisi transfusi, dan perekam medis. (Lembaran Negara
tahun 1963 No.78)
b. Mahasiswa, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan
2. Peraturan perundangan yang mengatur rahasia medik/rahasia
jabatan
Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan
perundang-undangan antara lain:
a. Pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan
bahwa setiap orang berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
b. Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran
mengatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia kedokteran
c. Pasal 32 (i) UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
mengatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan privasi dan
kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
d. PP Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
e. PP Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
f. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
g. Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan bahwa setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan

34
pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan Penerima
Pelayanan Kesehatan
3. Sanksi membuka rahasia medik
a. Sanksi pidana : KUHP Pasal 112, KUHP Pasal 322
KUHP Pasal 112
“Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita
atau keteranganketerangan yang diketahuinya bahwa harus
dirahasiakan untuk kepentingan negara atau dengan sengaja
memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, kepada
seorang seorang raja atau suku bangsa, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun”.
KUHP Pasal 322
(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun
yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah
(2) Jika kejahatan dilakukan pada seorang tertentu maka perbuatannya
itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut
b. Sanksi perdata : KUH Perdata Pasal 1365, KUH Perdata Pasal 1366,
KUH Perdata Pasal 1367
KUH Perdata Pasal 1365
“Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat kerugian
bagi orang lain,mewajibkan orang yang karena kesalahannya
mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
KUH Perdata Pasal 1366
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”
KUH Perdata Pasal 1367
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugain yang

35
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
berada dibawah pengawasannya”.
c. Sanksi Administratif: undang-undang No.6 tahun 1963 pasal 11
d. Sanksi Sosial
D. Aspek Informed Consent
1. Hak-hak pasien yang tercantum dalam Informed Consent
a. Hak memperoleh informasi tentang dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
c. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
d. Memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
2. Peraturan perundangan yang mengatur Informed Consent
a. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 8 dan
pasal 56 ayat 1
b. Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, pasal
32 poin J dan point K
c. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
(UUPK) pasal 45 tentang persetujuan tindakan medis
d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan,
pasal 70, 71 dan 72
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran pasal 2 ayat 1 dan Pasal 2 ayat 3.
3. Peran perawat dalam Informed Consent
Peran perat sebagai advocator pasien dan sumber informasi
(communicator) bagi pasien selama fase perawatan di rumah sakit. Client
advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan

36
keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi
pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk
mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan
yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s
rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan
bagi klien dan keluarga.
E. Aspek Praktek Keperawatan
1. Pengertian praktek perawat
a. Menurut Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan, praktik
keperawatan adalah melakukan asuhan keperawatan meliputi
pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan,
melaksanakan tindakan dan evaluasi. Pelayanan tindakan medik hanya
dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter. Dan perawat yang
memiliki SIPP dapat melakukan kunjungan rumah.
b. Menurut UU 38/2014 Tentang Keperawatan : Praktek keperawatan
adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk
Asuhan Keperawatan. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi
Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan
pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya.
Dengan demikian seorang perawat yang melaaksanakan profesinya harus
menggunakan metode asuhan keperawatan yang terdiri dari : pengkajian,
penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan
dan evaluasi selama melakukan interaksi dengan klien.
2. Aspek etis praktek perawat
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
d. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
e. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) 2000

37
f. Kode Etik Keperawatan Indonesia
g. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Aspek yuridis/hukum praktek perawat sesuai regulasi
a. SE Dirjen Yan-Med No. HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care
Terdapat 23 tindakan keperawatan mandiri yang bisa dilakukan oleh
perawat dalam kegiatan home care antara lain :
1) vital sign
2) memasang nasogastric tube
3) memasang selang susu besar
4) memasang cateter
5) penggantian tube pernafasan
6) merawat luka decubitus
7) suction
8) memasang peralatan O2
9) penyuntikan (IV,IM, IC,SC)
10) pemasangan infus maupun obat
11) pengambilan preparat
12) pemberian huknah/laksatif
13) kebersihan diri
14) latihan dalam rangka rehabilitasi medis
15) tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik
16) pendidikan kesehatan
17) konseling kasus terminal
18) konsultasi/telepon
19) fasilitasi ke dokter rujukan
20) menyiapkan menu makanan
21) membersihkan tempat tidur pasien
22) fasilitasi kegiatan sosial pasien
23) fasilitasi perbaikan sarana klien.

38
b. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis
1) Pasal 6 Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu
bertanggung jawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat
pada rekam medis
2) Pasal 7 Sarana Pelayanan Kesehatan wajib menyediakan fasilitas
yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis.
3) Pasal 9 ayat (1) Rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan
non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat.
4) Pasal 10 ayat (1) Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien
harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga
kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
c. Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
1) Pasal 1 ayat (6) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan.
Ayat (11) Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi
dan berkesinambungan untuk memelihara danmeningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
2) Pasal 22 ayat (1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi
minimum.
3) Pasal 23 ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

39
Ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
Ayat (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang
bernilai materi.
4) Pasal 24 ayat (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak
pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
5) Pasal 27 ayat (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan
dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya.
Ayat (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki.
6) Pasal 28 ayat (1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan
wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak
hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
7) Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
8) Pasal 34 ayat (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan
dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
9) Pasal 49 ayat (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus
memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial
budaya, moral, dan etika profesi.

40
10) Pasal 54 ayat (1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta
merata dan nondiskriminatif.
d. PMK Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan PMK 148/2010
Tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktek Perawat
1) Pasal 2 ayat (1) Perawat dapat menjalankan praktik keperawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri dan/atau praktik mandiri.
Ayat (3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III)
Keperawatan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap Perawat yang menjalankan praktik
keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik
mandiri wajib memiliki SIKP.
Ayat (2) Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di
praktik mandiri wajib memiliki SIPP.
Ayat (3) SIKP dan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan
berlaku untuk 1 (satu) tempat.
3) Pasal 5A Perawat hanya dapat menjalankan praktik keperawatan
paling banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan di 1 (satu)
tempat fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri.
4) Pasal 5B ayat (1) SIKP atau SIPP berlaku selama STR masih
berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa
berlakunya.
e. Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
1) Pasal 2 ayat (1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

41
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan secara tertulis maupun lisan.
Ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan
tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
2) Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung
risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Ayat (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
dengan persetujuan lisan.
Ayat (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir
khusus yang dibuat untuk itu.
Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan
menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju.
Ayat (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat
dimintakan persetujuan tertulis.
3) Pasal 4 ayat (1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Ayat (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau
dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
Ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah
pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

42
4) Pasal 5 ayat (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan
atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum
dimulainya tindakan.
Ayat (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang
memberi persetujuan.
Ayat (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
5) Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak
menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya
kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang
mengakibatkan kerugian pada pasien.
6) Pasal 7 ayat (1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus
diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik
diminta maupun tidak diminta.
Ayat (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak
sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang
mengantar.
7) Pasal 9 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah
dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman.
Ayat (2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat
dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan
tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan
penerima penjelasan.
Ayat (3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa
penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter

43
gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga
terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain
sebagai saksi.
8) Pasal 10 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau
salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.
Ayat (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya
berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka
pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau
dokter gigi lain yang kompeten.
Ayat (3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan
penjelasan sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasien.
9) Pasal 11 ayat (1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan
perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan
tindakan juga harus memberikan penjelasan.
Ayat (2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada
persetujuan.
10) Pasal 12 ayat (1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak
terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
Ayat (2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus
memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
11) Pasal 15 Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai
dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk
kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan
kedokteran tidak diperlukan.

44
f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Pasal 13 ayat (3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah
Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
g. PMK Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran
Pasal 4 ayat (1) Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan
kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Ayat (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dokter
dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses
terhadap data dan informasi kesehatan pasien; b. pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan; c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan
pelayanan kesehatan; d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap
data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan; e.
badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan; dan f.
mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan,
perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
h. Permenkes Nomor 42 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Immunisasi
Pasal 27 ayat (3) Dokter di puskesmas dapat mendelegasikan
kewenangan pelayanan imunisasi kepada bidan dan perawat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan
imunisasi wajib sesuai program Pemerintah.
Ayat (4) Dalam hal di puskesmas tidak terdapat dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), bidan dan perawat dapat melaksanakan
imunisasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) maka
pelayanan imunisasi dapat dilaksanakan oleh tenaga terlatih.

45
i. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan
1) Pasal 2 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan
praktik dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari
Pemerintah.
Ayat (2) Untuk memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperlukan STR.
Ayat (3) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan
oleh MTKI dan berlaku secara nasional.
Ayat (4) Untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), Tenaga Kesehatan harus memiliki Sertifikat
Kompetensi.
2) Pasal 3 ayat (1) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) diberikan kepada peserta didik setelah
dinyatakan lulus Uji Kompetensi oleh perguruan tinggi bidang
kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Pasal 4 ayat (1) STR berlaku sejak tanggal dikeluarkan dan
berakhir pada tanggal lahir Tenaga Kesehatan yang bersangkutan
di tahun kelima.
Ayat (2) STR dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun setelah
memenuhi persyaratan.
Ayat (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi: a. pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di
bidang kesehatan; dan b. pemenuhan kecukupan dalam kegiatan
pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya.
Ayat (4) Jumlah satuan kredit profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b untuk setiap kegiatan ditetapkan oleh MTKI atas
usulan dari organisasi profesi.
4) Pasal 5 ayat (1) Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi
di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3)

46
huruf a dibuktikan dengan: a. keterangan kinerja dari institusi
tempat bekerja, atau keterangan praktik dari kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota; b. Surat izin Praktik atau Surat Izin Kerja; dan c.
rekomendasi dari organisasi profesi.
5) Pasal 6 Dalam hal Tenaga Kesehatan tidak dapat memenuhi
ketentuan persyaratan perpanjangan STR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3), maka Tenaga Kesehatan tersebut harus
mengikuti evaluasi kemampuan yang dilaksanakan oleh organisasi
profesi bekerja sama dengan MTKI.
j. Permenkes Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan
Rumah Sakit
1) Pasal 4 ayat (1) untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, semua asuhan keperawatan
dan asuhan kebidanan yang dilaksanakan oleh setiap tenaga
keperawatan di Rumah Sakit dilakukan atas Penugasan Klinis dari
Kepala/Direktur Rumah Sakit.
Ayat (2) Penugasan kilnis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa pemberian Kewenangan Klinis tenaga keperawatan oleh
Kepala/Direktur Rumah Sakit melalui penerbitan Surat Penugasan
Klinis kepada tenaga keperawatan yang bersangkutan.
2) Pasal 10 ayat (2) Subkomite Kredensial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a bertugas merekomendasikan Kewenangan
Klinis yang adekuat sesuai kompetensi yang dimiliki tenaga
keperawatan.
k. Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik
1) Pasal 11 ayat (1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga
medis, tenaga keperawatan, Tenaga Kesehatan lain, dan tenaga non
kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis,
tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis

47
kesehatan, Tenaga Kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai
dengan kebutuhan.
2) Pasal 14 Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Klinik harus
bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak
pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
3) Pasal 32 ayat (1) Klinik menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif.
Ayat (2) Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu
hari (one day care) dan/atau home care.
Ayat (3) Pelayanan satu hari (one day care) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) merupakan pelayanan yang dilakukan untuk pasien
yang sudah ditegakkan diagnosa secara definitif dan perlu
mendapat tindakan atau perawatan semi intensif (observasi) setelah
6 (enam) jam sampai dengan 24 (dua puluh empat) jam.
Ayat (4) Home care sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada
individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan
untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan
atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan
dampak penyakit
l. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
1) Pasal 26 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan tugas sesuai
dengan Kompetensi dan kewenangannya.
2) Pasal 27 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antar provinsi,

48
antar kabupaten, atau antar kota karena alasan kebutuhan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau promosi.
Ayat (2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal
perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan
memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan
dalam pelaksanaan tugas.
3) Pasal 28 ayat (3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah di daerah khusus berhak mendapatkan
fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah.
4) Pasal 30 ayat (1) Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan
untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga Kesehatan.
Ayat (2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta
kesinambungan dalam menjalankan praktik.
Ayat (3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala
daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung
jawab atas pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga
Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian kinerja.
5) Pasal 32 ayat (1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara
Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga
Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan
Warga Negara Indonesia di luar negeri.
6) Pasal 44 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan
praktik wajib memiliki STR.
7) Pasal 46 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan
praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin.
Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk SIP.

49
8) Pasal 47 Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri
harus memasang papan nama praktik.
9) Pasal 48 ayat (1) Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan
yang bermutu dan pelindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan
pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan.
Ayat (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Menteri bersama-sama dengan Pemerintah Daerah,
konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi
sesuai dengan kewenangannya.
10) Pasal 50 ayat (1) Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi
Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan
etika profesi Tenaga Kesehatan
11) Pasal 57 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: a.
memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan
Standar Prosedur Operasional; b. memperoleh informasi yang
lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya; c. menerima imbalan jasa; d. memperoleh
pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan,
serta nilai-nilai agama; e. mendapatkan kesempatan untuk
mengembangkan profesinya; f. menolak keinginan Penerima
Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan
Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur
Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan g.
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
12) Pasal 58 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
wajib: a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar
Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional,

50
dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan
Kesehatan; b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; d.
membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang
pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan e. merujuk
Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
Ayat (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf d hanya berlaku bagi Tenaga Kesehatan yang melakukan
pelayanan kesehatan perseorangan
13) Pasal 59 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan pertolongan
pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan
gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa
dan pencegahan kecacatan.
Ayat (2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang menolak Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang
meminta uang muka terlebih dahulu.
14) Pasal 60 Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: a.
mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki; b.
meningkatkan Kompetensi; c. bersikap dan berperilaku sesuai
dengan etika profesi; d. mendahulukan kepentingan masyarakat
daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan e. melakukan
kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan.
15) Pasal 61 Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang
memberikan pelayanan langsung kepada Penerima Pelayanan
Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan
Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.

51
16) Pasal 62 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada
Kompetensi yang dimilikinya.
Ayat (2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari
satu jenjang pendidikan memiliki kewenangan profesi sesuai
dengan lingkup dan tingkat Kompetensi.
17) Pasal 63 ayat (1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat
memberikan pelayanan di luar kewenangannya.
18) Pasal 65 ayat (1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga
Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga
medis.
19) Pasal 66 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik berkewajiban untuk mematuhi Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.
20) Pasal 67 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
dapat melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kesehatan.
21) Pasal 68 ayat (1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan
perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus
mendapat persetujuan.
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut.
Ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup: a. tata cara tindakan pelayanan; b.
tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan; c. alternatif tindakan
lain; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e.
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan, baik secara tertulis maupun lisan.

52
Ayat (5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
22) Pasal 69 ayat (1) Pelayanan kesehatan masyarakat harus ditujukan
untuk kepentingan masyarakat dan tidak melanggar hak asasi
manusia.
Ayat (2) Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang merupakan program Pemerintah tidak
memerlukan persetujuan tindakan.
Ayat (3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap harus diinformasikan kepada masyarakat Penerima Pelayanan
Kesehatan tersebut.
23) Pasal 70 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melaksanakan
pelayanan kesehatan perseorangan wajib membuat rekam medis
Penerima Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah Penerima Pelayanan Kesehatan selesai menerima pelayanan
kesehatan.
Ayat (3) Setiap rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan harus
dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan atau paraf Tenaga
Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Ayat (4) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
24) Pasal 73 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan Penerima
Pelayanan Kesehatan.

53
25) Pasal 74 Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang
mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan izin
untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
26) Pasal 75 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak
mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
27) Pasal 77 Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan
akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta
ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
28) Pasal 78 Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian
kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul
akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
29) Pasal 79 Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
m. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
1) Pasal 2 Praktik Keperawatan berasaskan: a. perikemanusiaan; b.
nilai ilmiah; c. etika dan profesionalitas; d. manfaat; e. keadilan; f.
pelindungan; dan g. kesehatan dan keselamatan Klien.
2) Pasal 17 Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan
kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh Perawat, Menteri dan Konsil Keperawatan bertugas
melakukan pembinaan dan pengawasan mutu Perawat sesuai
dengan kewenangan masing-masing.
3) Pasal 18 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan
wajib memiliki STR.
4) Pasal 19 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan
wajib memiliki izin.

54
Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk SIPP.
5) Pasal 21 Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus
memasang papan nama Praktik Keperawatan
6) Pasal 27 ayat (1) Perawat warga negara Indonesia lulusan luar
negeri yang akan melakukan Praktik Keperawatan di Indonesia
harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
7) Pasal 28 ayat (1) Praktik Keperawatan dilaksanakan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan Klien
sasarannya.
Ayat (2) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas: a. Praktik Keperawatan mandiri; dan b. Praktik
Keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (3) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus didasarkan pada kode etik, standar pelayanan, standar
profesi, dan standar prosedur operasional.
Ayat (4) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didasarkan pada prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan dan/atau
Keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah
8) Pasal 29 ayat (1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan,
Perawat bertugas sebagai: a. pemberi Asuhan Keperawatan; b.
penyuluh dan konselor bagi Klien; c. pengelola Pelayanan
Keperawatan; d. peneliti Keperawatan; e. pelaksana tugas
berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau f. pelaksana tugas
dalam keadaan keterbatasan tertentu.
Ayat (2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan secara bersama ataupun sendiri-sendiri.
Ayat (3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan
akuntabel.

55
9) Pasal 32 ayat (1) Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e
hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada
Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan
evaluasi pelaksanaannya.
Ayat (2) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat.
Ayat (3) Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan
sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada
Perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab.
Ayat (4) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada Perawat
profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi
yang diperlukan.
Ayat (5) Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh
tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan
medis di bawah pengawasan.
Ayat (6) Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan
wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada
pada pemberi pelimpahan wewenang.
10) Pasal 36 Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan
berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; b. memperoleh informasi yang benar, jelas,
dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya; c. menerima imbalan
jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan; d. menolak
keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode
etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur
operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan e.
memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.

56
11) Pasal 37 Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan
berkewajiban: a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan
Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan Keperawatan dan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b. memberikan
Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur
operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; c.
merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau
tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan
tingkat kompetensinya; d. mendokumentasikan Asuhan
Keperawatan sesuai dengan standar; e. memberikan informasi yang
lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai
tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai
dengan batas kewenangannya; f. melaksanakan tindakan
pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai
dengan kompetensi Perawat; dan g. melaksanakan penugasan
khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
12) Pasal 53 ayat (1) Pengembangan Praktik Keperawatan dilakukan
melalui pendidikan formal dan pendidikan nonformal atau
pendidikan berkelanjutan.
Ayat (2) Pengembangan Praktik Keperawatan bertujuan untuk
mempertahankan atau meningkatkan keprofesionalan Perawat.
Ayat (3) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempuh setelah
menyelesaikan pendidikan Keperawatan.
Ayat (4) Dalam hal meningkatkan keprofesionalan Perawat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dalam memenuhi
kebutuhan pelayanan, pemilik atau pengelola Fasilitas Pelayanan
Kesehatan harus memfasilitasi Perawat untuk mengikuti
pendidikan berkelanjutan.

57
Ayat (5) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan
dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Organisasi Profesi Perawat, atau lembaga lain yang terakreditasi
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (6) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan Praktik Keperawatan yang didasarkan pada standar
pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
13) Pasal 55 Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan, dan
Organisasi Profesi membina dan mengawasi Praktik Keperawatan
sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
4. Jenis-jenis praktek perawat
Menurut UU 38/2014 Tentang Keperawatan, terdapat beberapa jenis
praktek keperawatan, yaitu :
a. Praktik keperawatan mandiri
1) Praktik perawat mandiri (UU 38/2014 Tentang Keperawatan)
2) Praktik keperawatan di rumah/Home care (SK Dirjen Yan-Med
Nomor HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care)
3) Praktik keperawatan di masyarakat (PMK No. 75 Tahun 2014
Tentang Puskesmas)
b. Praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
1) Klinik (PMK No. 9/2014 Tentang Klinik)
2) Rumah Sakit (UU No. 44/2009 Tentang Rumah Sakit dan PMK
No. 49/2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit)
3) Puskesmas (PMK No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas)

58
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
1. Regulasi sebagai produk kebijakan harus dilihat secara terintegrasi agar
memperoleh sudut pandang yang utuh terhadap berbagai macam regulasi
yang sudah diterbitkan oleh pemerintah dalam hal pelayanan keperawatan.
Untuk itu perlu dilakukan ekstraksi dan sintesis gagasan-gagasan penting
dari berbagai regulasi untuk melihat hal-hal penting dan mendasar yang
mengemuka.
2. Peraturan perundangan sebagai produk kebijakan kesehatan yang
berhubungan dengan praktik kesehatan telah tersedia baik pada tatanan
undang-undang, peraturan pemerintah dan/atau peraturan presiden,
peraturan menteri hingga keputusan menteri. Inventarisasi terhadap
peraturan perundangan yang berhubungan dengan keperawatan itu akan
membantu perawat dalam membuat keputusan klinik secara etik dan legal.
3. Perawat yang akan melaksanakan praktik profesional pada tatanan
pelayanan wajib teregistrasi dan terlisensi dengan keahlian yang
berhubungan dengan keperawatan. Dalam melaksanakan praktik
keperawatan, perawat wajib menghormati dan memenuhi hak-hak pasien
dan memenuhi kewajiban-kewajiban seperti : melakukan registrasi,
memiliki lisensi, menjaga rahasia, melakukan informed consent, dan
menyelenggarakan rekam medik.
B. Saran
1. Mengingat telah berkembangnya produk-produk hukum yang berhubungan
dengan kesehatan maka sudah sepantasnya perawat melakukan
inventarisasi peraturan perundangan tersebut untuk membantu dalam
pengambilan keputusan klinis dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien sebab salah satu ciri profesional adalah mampu bertindak
secara etik dan legal menurut peraturan perundangan yang berlaku.

59
2. Dengan telah diidentifikasinya peraturan perundangan pada berbagai
tingkatan maka disarankan perawat mencermati peraturan perundangan
yang tidak menguntungkan perawat atau bahkan merugikan bagi perawat
untuk dapat dilakukan advokasi baik pada tingkat kebijakan umum maupun
kebijakan teknis.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Anne, Ahira. 2012. Konsep dan Implementasi Analisis Kebijakan Kesehatan


(online) http://www.AnneAhira.com/artikel
2. Surya Utama. 2012. Dasar-Dasar Analisis Kebijakan Kesehatan (online)
http://repository.usu.ac.id/
3. Juanita. 2012. Kesehatan dan Pembangunan Nasional (online)
http://repository.usu.ac.id/
4. Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Pengambilan_keputusan
6. http://www.jurnalmedika.com/edisi-terbaru/617-dari-redaksi/1381-peduli-
masalah-kesehatan-jiwa
7. http://faperta.ugm.ac.id/articles/kesehatan_jiwa.pdf
8. http://www.depkes.go.id/article/print/201410270011/stop-stigma-dan-
diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj.html
9. http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/75

61

You might also like