You are on page 1of 40

Someone who expect their beloved ones are always in front of him who had long been met

with him. In
her hope she was upset gulanah to do anything. Although there is a speck of a desire for the loved ones
can always bersamanya.karena he felt he would not be able to if no one is loved.

Keberhasilan “Meskipun Cinta” dengan album kedua diikuti Tegar (beredar awal tahun 2000)
yang melambungkan nama Rossa. Lagu “Tegar” juga menjadi theme song sinetron Suami, Istri, dan Dia
arahan Putu Wijaya produksi Star Vision yang ditayangkan RCTI. Rossa juga tampil sebagai wakil
Indonesia di festival musik Vietnam My Love, 26-29 Oktober 2000 di Hanoi. Meski sibuk menyanyi dan
manggung, Rossa berhasil menyelesaikan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Indonesia pada Februari 2002. Pada tahun yang sama, Rossa merilis album Kini (2002) yang
masih didominasi lagu-lagu sendu seperti pada album-album sebelumnya.

The Best Female MTV Indonesia (2000) Lewat Hits "Tegar"


Mikhail Sergeyevich Gorbachyov (bahasa Rusia: Михаи́л Серге́евич Горбачёв, Mihaíl
Sergéevich Gorbachëv; lahir di Stavropol, 2 Maret 1931; umur 84 tahun) adalah politikus Rusia
dan pemimpin Uni Soviet periode 1985 hingga bubarnya pada tahun 1991. Pada tanggal 11
Maret 1985, ia menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet kelima untuk
menggantikan Konstantin Chernenko yang wafat.

Pada masa pemerintahannya, ia melakukan perubahan besar-besaran dalam sistem perekonomian


dan politik yang secara langsung maupun tidak langsung memicu bubarnya Uni Soviet. Ia
mengundurkan diri sebagai Presiden Uni Soviet pada tanggal 25 Desember 1991 menyusul
percobaan kudeta oleh kelompok garis keras di Moskwa pada bulan Agustus 1991 yang dipicu
oleh adanya pertentangan atas rencana perubahan bentuk negara.

Gorbachev adalah penerima Nobel Perdamaian pada tahun 1990 dan penerima pertama
Penghargaan Kebebasan Ronald Reagan dari mantan seterunya, Ronald Reagan, pada tahun
1992.

Kebijakan Gorbachev glasnost ("keterbukaan") dan perestroika ("restrukturisasi") serta


konferensi puncak dengan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan dan reorientasi tentang
tujuan strategis Soviet memberikan kontribusi terhadap berakhirnya Perang Dingin, dihapus
peran konstitusional Komunis pihak pemerintahan negara, dan secara tidak sengaja
menyebabkan pembubaran Uni Soviet. Dia dianugerahi Otto Hahn Perdamaian Medal pada
tahun 1989, Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1990 dan Hadiah Harvey pada tahun 1992
serta gelar doktor kehormatan dari berbagai universitas seperti yang dibahas di bawah ini.

Pada bulan September 2008, Gorbachev dan bisnis berkuasa Alexander Lebedev mengumumkan
mereka akan membentuk Partai Demokrat Independen Rusia, dan Mei 2009 Gorbachev
mengumumkan bahwa peluncuran sudah dekat. Ini adalah usaha ketiga Gorbachev untuk
mendirikan sebuah partai politik, setelah memulai Partai Sosial Demokrat Rusia pada tahun 2001
dan Uni Sosial Demokrat pada tahun 2007.

Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War, bahasa Rusia: холо́дная война́, kholodnaya voyna,
1947–1991) adalah sebutan bagi suatu periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara
Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia
Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu negara-negara satelitnya. Peristiwa ini
dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman Nazi di Perang Dunia II, yang
kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara adidaya di dunia
dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar. Uni Soviet, bersama dengan
negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya, membentuk Blok Timur. Proses pemulihan
pasca-perang di Eropa Barat difasilitasi oleh program Rencana Marshall Amerika Serikat, dan
untuk menandinginya, Uni Soviet kemudian juga membentuk COMECON bersama sekutu
Timurnya. Amerika Serikat membentuk aliansi militer NATO pada tahun 1949, sedangkan Uni
Soviet juga membentuk Pakta Warsawa pada tahun 1955. Beberapa negara memilih untuk
memihak salah satu dari dua negara adidaya ini, sedangkan yang lainnya memilih untuk tetap
netral dengan mendirikan Gerakan Non-Blok
Peristiwa ini dinamakan Perang Dingin karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat dalam
aksi militer secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang dapat
menyebabkan kehancuran besar. Perang Dingin juga mengakibatkan ketegangan tinggi yang
pada akhirnya memicu konflik militer regional seperti Blokade Berlin (1948–1949), Perang
Korea (1950–1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin 1961, Krisis Rudal Kuba (1962), Perang
Vietnam (1959–1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang Afganistan (1979–1989), dan
penembakan Korean Air Penerbangan 007 oleh Soviet (1983). Alih-alih terlibat dalam konflik
secara langsung, kedua belah pihak berkompetisi melalui koalisi militer, penyebaran ideologi
dan pengaruh, memberikan bantuan kepada negara klien, spionase, kampanye propaganda secara
besar-besaran, perlombaan nuklir, menarik negara-negara netral, bersaing di ajang olahraga
internasional, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Angkasa. AS dan Uni Soviet juga
bersaing dalam berbagai perang proksi; di Amerika Latin dan Asia Tenggara, Uni Soviet
membantu revolusi komunis yang ditentang oleh beberapa negara-negara Barat, Amerika Serikat
berusaha untuk mencegahnya melalui pengiriman tentara dan peperangan. Dalam rangka
meminimalkan resiko perang nuklir, kedua belah pihak sepakat melakukan pendekatan détente
pada tahun 1970-an untuk meredakan ketegangan politik.

Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan diplomatik, militer, dan
ekonomi terhadap Uni Soviet di saat negara komunis itu sedang menderita stagnasi
perekonomian. Pada pertengahan 1980-an, Presiden Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev,
memperkenalkan kebijakan reformasi liberalisasi perestroika ("rekonstruksi, reorganisasi", 1987)
dan glasnost ("keterbukaan", ca. 1985). Kebijakan ini menyebabkan Soviet dan negara-negara
satelitnya dilanda oleh gelombang revolusi damai yang berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet
pada tahun 1991, dan pada akhirnya menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan
militer yang dominan di dunia. Perang Dingin dan berbagai peristiwa yang menyertainya telah
menimbulkan dampak besar terhadap dunia dan sering disebutkan dalam budaya populer,
khususnya dalam media yang menampilkan tema spionase dan ancaman perang nuklir.

Daftar isi
 1 Asal istilah
 2 Latar belakang
 3 Akhir Perang Dunia II (1945–1947)
o 3.1 Konferensi pasca-perang di Eropa
o 3.2 Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang
o 3.3 Awal Blok Timur
o 3.4 Persiapan untuk "perang baru"
 4 Permulaan Perang Dingin (1947–1953)
o 4.1 Kominform dan perpecahan Tito–Stalin
o 4.2 Kontainmen dan Doktrin Truman
o 4.3 Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia
o 4.4 Blokade Berlin
o 4.5 Awal NATO dan Radio Free Europe
o 4.6 Perang Saudara Cina dan SEATO
o 4.7 Perang Korea
 5 Krisis dan peningkatan (1953-1962)
o 5.1 Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi
o 5.2 Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria
o 5.3 Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa
o 5.4 Persaingan di Dunia Ketiga
o 5.5 Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa
o 5.6 Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi
o 5.7 Krisis Berlin 1961
o 5.8 Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev
 6 Konfrontasi melalui détente (1962–1979)
o 6.1 Pengunduran diri Perancis dari NATO
o 6.2 Invasi Cekoslowakia
o 6.3 Doktrin Brezhnev
o 6.4 Krisis di Dunia Ketiga
o 6.5 Perbaikan hubungan Cina-Amerika
o 6.6 Nixon, Brezhnev, détente, dan Penembakan Pesawat Korean Air Lines
Penerbangan 902
o 6.7 Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an
 7 "Perang Dingin Kedua" (1979-1985)
o 7.1 Perang Soviet-Afganistan
o 7.2 Reagan dan Thatcher
o 7.3 Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia
o 7.4 Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS
 8 Tahun-tahun terakhir (1985–1991)
o 8.1 Reformasi Gorbachev
o 8.2 Perbaikan hubungan
o 8.3 Goyahnya sistem Soviet
o 8.4 Pembubaran Uni Soviet
 9 Dampak
 10 Historiografi
 11 Lihat juga
 12 Catatan kaki
 13 Referensi dan bacaan lanjutan
o 13.1 Historiografi dan memori
o 13.2 Sumber primer
 14 Pranala luar

Asal istilah
Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah
perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul "You and the Atomic Bomb"
(Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada tanggal 19
Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir.
Orwell menulis:

"Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya
telah memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan
dirinya dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies
lainnya untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di
Jerman akan berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat
dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade terakhir tidak menuju ke
arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali perbudakan. Kita mungkin tidak
menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang mengerikan.
Teori James Burnham telah banyak dibahas, namun sebagian kecil orang belum
menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis pandangan terhadap dunia, jenis
keyakinan, dan struktur sosial mungkin akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan
menegakkannya dalam "perang dingin" permanen dengan tetangganya."[1]

Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi Moskow
Desember lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin' terhadap Britania dan Imperium
Britania."[2]

Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan
negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia II
dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika dan penasihat
presiden.[3] Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16 April 1947,[4] Baruch
menyatakan bahwa: "Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah perang dingin."[5]
Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter Lippmann menjabarkan penjelasan
panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang berjudul The Cold War, ketika
ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah "perang dingin", ia menyebutkan bahwa
istilah tersebut merujuk pada istilah Perancis dari tahun 1930-an, la guerre froide.[6]

Latar belakang
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Awal Perang Dingin
Informasi lebih lanjut: Ketakutan Merah dan Permainan Besar

Pasukan Amerika di Vladivostok, Agustus 1918, selama intervensi Sekutu dalam Perang Saudara
Rusia.

Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar
sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir,
yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I,
meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika
Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19.[7]
Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari
Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional.[8] Pemimpin
Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan",
dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai
dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar
Soviet.[9]

Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan
sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus
digantikan oleh dominasi sosialis."[10] Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang
politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-
negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara
lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode "stabilisasi sementara
kapitalisme" menjelang keruntuhannya.[11]

Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling


ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi
umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.[12] Ada dukungan dari
Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia,[7] pemberian dana
oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania
Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,[13] deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup
berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan,[14] tuduhan adanya
konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Perancis
memicu kudeta,[15] penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933,[16] dan
Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas
adanya spionase dari Britania, Perancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang
melatarbelakangi Perang Dingin.[17]

Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil
keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania
menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal
dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat
program Lend-Lease nya.[18]

Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania
dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban
terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat
dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk beraksi
di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi
Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak
Sekutu.[19]

Akhir Perang Dunia II (1945–1947)


Konferensi pasca-perang di Eropa
"Tiga Besar" di Konferensi Yalta: Winston Churchill, Franklin D. Roosevelt dan Joseph Stalin,
1945.
Informasi lebih lanjut: Konferensi Teheran dan Konferensi Yalta

Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan
perbatasan di Eropa.[20] Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai
pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pasca-perang.[20] Sekutu Barat menginginkan
sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang
memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi
internasional.[21]

Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia,[22] serta besarnya jumlah korban
tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama Perang Dunia
II,[23] Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi urusan dalam
negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.[20][24]

Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia
pasca-perang. Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi
ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah
organisasi perdamaian dunia - lebih bersifat global dibandingkan dengan Churcill, yang visinya
berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan keberlangsungan Imperium
Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk menjadikannya sebagai
penyangga antara Soviet dan Britania Raya.[25]

Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk mencapai
tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai ancaman terbesar
dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar negara-negara Eropa
Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua pemimpin Barat saling
bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi antara Roosevelt dan Churchill
menyebabkan kedua belah pihak melakukan negosiasi secara terpisah dengan Stalin. Pada bulan
Oktober 1944, Churcill melakukan perjalanan ke Moskow dan sepakat untuk membagi Balkan
berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga
menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin mengenai masalah Asia dan menolak untuk
mendukung Churcill dalam isu dan Reparasi Polandia.[25]
Zona pendudukan Sekutu di Jerman pasca-perang.

Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pasca-perang
berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun konferensi ini juga
gagal mencapai konsesus mengenai kerangka kerja pasca-perang di Eropa.[26] Pada bulan April
1945, Churcill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk
menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin, saingan
Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol oleh Soviet.[27]

Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki Eropa
Timur,[26] sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa Barat.
Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya dan
Perancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi wilayah-
wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.[28]

Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai
pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas
penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan anggotanya
untuk menggunakan hak veto.[29] Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah menjadi sebuah
forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun
propaganda.[30]

Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang

Winston Churchill, Harry S. Truman dan Joseph Stalin di Konferensi Potsdam, 1945.
Informasi lebih lanjut: Konferensi Potsdam dan Menyerahnya Jepang

Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman,
perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa Timur.[31]
Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh satu sama
lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan
mempertahankan kubu mereka masing-masing.[32] Dalam konferensi ini, Truman memberitahu
Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.[33]

Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat
bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin
menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan
menyatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang.[33] Satu
minggu setelah berakhirnya Konferensi Potsdam, Amerika Serikat membom Hiroshima dan
Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat karena
kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman kepada
Soviet.[34]

Awal Blok Timur

Informasi lebih lanjut: Blok Timur

Perubahan wilayah pasca-perang di Eropa Timur dan pembentukan Blok Timur, yang dijuluki
"Tirai Besi".

Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur dengan
mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya diserahkan
kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini termasuk
Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang berbeda),[35][36]
Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia),[37] Latvia (menjadi RSS Latvia),[35][36] Lithuania
(menjadi RSS Lithuania),[35][36] bagian timur Finlandia (menjadi RSS Karelo-Finlandia), dan
Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).[38][39]

Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya
juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit,[40] negara-negara
ini di antaranya Jerman Timur,[41] Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat Bulgaria,
Republik Rakyat Hongaria,[42] Republik Sosialis Cekoslowakia,[43] Republik Rakyat Romania,
dan Republik Rakyat Albania.[44]
Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem
ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph
Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial.[45] Di Asia,
Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan melanjutkan
untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.[46]

Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin oleh
Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok
Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.[47] Jika muncul sedikit saja semangat
kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari
kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.[48]

Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan Soviet
yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet Joseph
Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat.[49] Pada bulan
April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk
"memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada Rusia".[50] Namun
rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber daya militer.[49]

Persiapan untuk "perang baru"

Informasi lebih lanjut: Artikel X dan Tirai Besi

Pada bulan Februari 1946, laporan "Telegram Panjang" George F. Kennan dari Moskow
membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam
melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama
Perang Dingin.[51] Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov, yang dikirim
oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini ditugaskan dan
juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS "berada dalam
cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer dalam rangka
mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah perang baru".[52]

Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang
menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di
Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk
mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa.[53] Sebulan kemudian, Byrnes
mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk memenangkan
hati warga Jerman [...] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan Rusia [...]"[54]

Beberapa minggu setelah dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania
Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi", dalam sebuah pidato di
Fulton, Missouri.[55] Dalam pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika
bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai besi" dari
"Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik".[40][56]
Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur dan
Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang
diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi militer
Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan
kesungguhan usulan ini.[57]

Permulaan Perang Dingin (1947–1953)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1947–1953)

Kominform dan perpecahan Tito–Stalin

Informasi lebih lanjut: Kominform dan Perpecahan Tito–Stalin

Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Kominform, yang tujuannya adalah untuk
menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik
atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok Timur.[58]
Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–Stalin,
yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi negara komunis,
namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.

Kontainmen dan Doktrin Truman

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kontainmen dan Doktrin Truman

Aliansi militer Eropa.

Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil
langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya Stalin (ditengah
kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika Serikat melalui
persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang lain.[59] Bulan Februari
1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak sanggup lagi membiayai rezim
militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk melawan pemberontak komunis.
Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan
mengadopsi kebijakan kontainmen,[60] yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan
penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar $
400 untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan meluncurkan
Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes antara masyarakat
bebas dan rezim totaliter.[60] Meskipun kenyataannya para pemberontak komunis mendapat
bantuan dari pemimpin Yogoslavia Josip Broz Tito,[16] AS menuduh bahwa Uni Soviet
bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan royalis dalam upayanya untuk
memperluas pengaruh Soviet.[61]

Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus kebijakan
luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada kontainmen
(penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang Vietnam.[62][63]
Partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai memberikan
dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat,[64] sedangkan Komunis Amerika dan Eropa,
dengan dibiayai oleh KGB, telibat dalam operasi intelijen,[65] operasi ini tetap sesuai dengan
aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini mulai muncul setelah
tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal dari aktivis anti-Perang
Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir.[66]

Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia

Peta era Perang Dingin di Eropa dan Timur Dekat, menunjukkan negara-negara yang menerima
bantuan Rencana Marshall. Kolum merah menunjukkan jumlah relatif bantuan yang diterima per
negara.
Aliansi perekonomian Eropa.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rencana Marshall dan Kudeta Cekoslowakia 1948

Pada awal 1947, Britania, Perancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan
dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk
jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah dihancurkan
oleh Sekutu selama perang.[67] Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman, Amerika Serikat
mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan ekonomi bagi semua
negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni Soviet.[67]

Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian
Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa.[68] Rencana ini juga menyatakan bahwa
kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman.[69] Satu bulan kemudian,
Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, membentuk Departemen
Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal ini selanjutnya akan
menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.[70]

Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok
Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS berusaha untuk
“membeli” Eropa agar berpihak kepada AS.[58] Oleh sebab itu, Stalin melarang negara-negara
Blok Timur menerima bantuan Marshall.[58] Alternatif Uni Soviet dalam menandingi Rencana
Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa Timur,
adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian dilembagakan pada bulan Januari 1949
dengan nama Comecon).[16] Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi
Jerman; visi pasca-perangnya terhadap Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan
mempersenjatai kembali Jerman atau dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan
ancaman lagi terhadap Uni Soviet.[71]

Pada awal 1948, menyusul laporan yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia,
Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok Timur
yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya.[72][73] Kebrutalan publik
dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres Amerika
Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet untuk menyapu
habis seluruh pendukung Rencana Marshall.[74]
Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan
ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS,
militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara.[70] Partai Demokrasi Kristen Italia juga
sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948.[75] Pada saat
yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok Timur,
dan pengusiran diplomatik.[76]

Blokade Berlin

C-47s melakukan pembongkaran di Bandar Udara Tempelhof di Berlin selama berlangsungnya


Blokade Berlin.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Blokade Berlin

Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi
“Bizonia” (1 Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Perancis juga
digabungkan pada bulan April 1949).[77] Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali
perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat dan
Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah pendudukan
Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal.[78] Selain itu, sesuai dengan Rencana
Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali perekonomian Jerman
bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark untuk menggantikan mata
uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh Soviet.[79]

Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 - 12 Mei 1949), salah
satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus
akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin Barat.[80]
Amerika Serikat, Britania, Perancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara
lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok Berlin Barat dengan makanan
dan perlengkapan lainnya.[81]

Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat.
Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal
di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946),[77] yang diselenggarakan pada
tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus kemenangan besar bagi
partai non-Komunis.[82] Hasil ini secara efektif membagi Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin
Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjukrasa dan mendesak agar bantuan udara
internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan,[83] dan pilot US Air Force Gail Halvorsen kemudian
menanggapinya dengan membentuk “Operasi Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak
Jerman.[84] Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin.[47][85]

Awal NATO dan Radio Free Europe

Artikel utama untuk bagian ini adalah: NATO, Radio Free Europe/Radio Liberty, dan
Penyebaran informasi Blok Timur

Presiden Truman menandatangani Amandemen Undang-Undang Keamanan Nasional 1949


dengan para tamu di Oval Office.

Britania, Perancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat
menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan North
Atlantic Treaty Organization (NATO).[47] Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama
diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhtan.[16] Setelah Soviet menolak untuk berpartisipasi
dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa
Barat pada tahun 1948,[78][86] AS, Britania, dan Perancis mempelopori pembentukan Jerman
Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan April 1949.[31][87] Soviet
kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian Republik Demokratik Jerman di
zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober.[31]

Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung
dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan
usaha milik negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian
besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal.[88] Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis
untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang terhadap
imperialisme.[89]

Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America ke
Eropa Timur,[90] upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan dibentuknya
Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan mengenai era
kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.[91] Radio Free Europe berusaha untuk
mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio pengganti, serta menjadi
alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi oleh partai.[91] Radio Free
Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling menonjol dari strategi Perang
Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa Perang Dingin pada akhirnya akan
diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti George F. Kennan.[92]

Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa Perang
Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan.[92] Amerika Serikat, dibantu oleh
CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis bagi kalangan
intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain, mencegah upaya Soviet
untuk menyebarkan pengaruh komunisnya.[93] CIA diam-diam juga mensponsori kampanye
propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk Kebebasan.[94]

Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun 1955,
AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO.[31] Sebelumnya, bulan Mei 1953,
Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.[95]

Perang Saudara Cina dan SEATO

Informasi lebih lanjut: Perang Saudara Cina dan Pakta Pertahanan Asia Tenggara

Mao Zedong dan Joseph Stalin di Moskow, Desember 1949

Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan
Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika
Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat
Tiongkok yang baru terbentuk.[96] Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan
Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkok dan akhir dari monopoli atom
Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas dan meningkatkan
kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.[16] Dalam NSC-68, sebuah dokumen rahasia pada
tahun 1950,[97] disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional mengusulkan untuk memperkuat
sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran pertahanan.[16]

Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia,
Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya
dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang
dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.[98] Pada awal 1950-an (periode
ini kadang dikenal dengan “Pactomania”), AS membentuk serangkaian aliansi dengan Jepang,
Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina (terutama ANZUS pada tahun 1951 dan SEATO
pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang
di negara-negara tersebut.[31]
Perang Korea

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Korea

Jenderal Douglas MacArthur, Komandan CiC PBB (duduk), mengamati penembakan laut
Incheon dari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.

Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah pecahnya
Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan dari Kim Il-
Sung menginvasi Korea Selatan.[99] Joseph Stalin “merencanakan, mempersiapkan, dan
memulai” invasi tersebut,[100] menyusun “rencana [perang] dengan rinci” yang kemudian
dikirimkan kepada Korea Utara.[101][102][103][104] Untuk mengejutkan Stalin,[16] Dewan Keamanan
PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian
memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di dewan, bukannya
Komunis Cina.[105] Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari Korea Selatan, AS, Britania
Raya, Turki, Kanada, Australia, Perancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda, Belgia, Selandia
Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.[106]

Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur
militer.[107] Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar
menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi perang
besar dengan Komunis Cina, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang berbeda
mengenai perang ini seringkali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania–Amerika.
Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik dengan
mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan penarikan semua
pasukan asing.[108]

Meskipun Cina dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk
mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan
gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.[31] Pemimpin Korea
Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di Korea
Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus kepribadian yang
tak tertembus berdekade-dekade lamanya.[109][110] Di Korea Selatan, pemimpin korup Syngman
Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem pemerintahan totaliter.[111] Setelah
Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di bawah masa pemerintahan militer
yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem multi-partai pada tahun 1987.
Krisis dan peningkatan (1953-1962)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1953–1962)

Kekuatan tentara NATO dan Pakta Warsawa di Eropa pada tahun 1959.

Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi

Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser
dinamika Perang Dingin.[112] Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru
pada bulan Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan
Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi
sepertiga dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.[16]

Setelah kematian Joseph Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi
dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy
Malenkov dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan
delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin.[113]
Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk
mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang
dilakukannya pada masa lalu.[70]

Pada tanggal 18 November 1956, saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah resepsi di
kedutaan Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya: "Entah kalian
suka atau tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur kalian", pernyataannya ini
mengejutkan semua tamu yang hadir.[114] Khrushchev kemudian mengklaim bahwa ia tidak
membicarakan mengenai perang nuklir, melainkan mengenai kemenangan komunisme atas
kapitalisme.[115] Tahun 1961, Khrushchev menyatakan: "bahkan jika Uni Soviet berada di
belakang Barat, dalam satu dekade kekurangan perumahan akan lenyap, barang-barang konsumsi
akan melimpah, dan dalam dua dekade, pembangunan masyarakat komunis di Uni Soviet akan
selesai".[116]

Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan "New Look" sebagai
strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih mengandalkan senjata
nuklir untuk melawan musuh-musuhnya pada masa perang.[70] Dulles juga menyerukan doktrin
"pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet.
Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari
Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun
1956.[16]

Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pakta Warsawa dan Revolusi Hongaria

Peta negara-negara Pakta Warsawa.

Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai,
meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif.[117] Soviet, yang sudah membentuk jaringan
perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949,[118] juga membentuk suatu
aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.[31]

Revolusi Hongaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan
pemimpin Stalinis Hongaria Mátyás Rákosi.[119] Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan,[120]
rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan niatnya untuk menarik
diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas.
Tentara Soviet mulai menyerbu.[121] Ribuan warga Hongaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi
ke Uni Soviet,[122] dan lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar Hongaria.[123] Pemimpin
Hongaria Imre Nagy dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan
rahasia.[124]

Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat dengan
pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul daripada
Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun,
Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan bahwa tujuan
barunya adalah untuk "hidup berdampingan secara damai".[125] Kebijakan ini berbeda dengan
Soviet pada era Stalin, di mana perjuangan kelas internasional berarti bahwa kedua kubu yang
berlawanan berada pada konflik tak terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui
perang global. Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi
keruntuhannya sendiri,[126] dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan
kemampuan militer mereka,[127] yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai munculnya era
"pemikiran baru" Gorbachev.[128]

Peristiwa di Hongaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa


Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara Barat
dan komunis merasa kecewa dengan respon brutal Soviet.[129] Partai komunis di Barat tidak
pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hongaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang segera
diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang menyatakan bahwa:
"luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hongaria terhadap komunisme tidak pernah benar-benar
sembuh".[129]

Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa

Wilayah-wilayah di dunia yang berada di bawah pengaruh Soviet setelah Revolusi Kuba tahun
1959 dan sebelum perpecahan Sino-Soviet tahun 1961.

Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi "kota
yang independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini membuat Amerika Serikat, Britania, dan
Perancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih
diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman
Timur. Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong bahwa "Berlin adalah
testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat Barat menjerit, maka saya akan meremas
Berlin."[130] NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan Desember dan
Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.[131]

Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang
merupakan produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi, dan militer
Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu,
takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente terpisah dari Uni Soviet, yang bisa
digunakan untuk memperburuk perpecahan Barat.[132]

Persaingan di Dunia Ketiga

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kudeta Iran 1953, Kudeta Guatemala 1954, Krisis
Kongo, Dekolonisasi, dan Gerakan Non-Blok
Perangko Soviet tahun 1961 yang menuntut kebebasan bagi negara-negara Afrika.

Perangko Soviet tahun 1961 intuk memperingati Patrice Lumumba, perdana menteri Republik
Kongo.

Gerakan nasionalis di beberapa negara seperti Guatemala, Indonesia dan Indocina seringkali
bersekutu dengan kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat dibantu oleh komunis.[70]
Dalam konteks ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin meningkatkan persaingan mereka
untuk menyebarkan pengaruh dengan cara mencari proksi di Dunia Ketiga, dan ini bertepatan
dengan momentum dekolonisasi pada tahun 1950-an dan awal 1960-an.[133] Selain itu, Soviet
terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.[134] Kedua belah pihak mulai melakukan
pengiriman dan penjualan senjata kepada negara-negara Dunia Ketiga untuk mendapatkan
pengaruh.[135]

Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency (CIA) untuk menyusup ke dalam
pergolakan politik di Dunia Ketiga dan juga untuk mendukung sekutu mereka.[70] Pada tahun
1953, CIA melaksanakan Operasi Ajax, sebuah operasi rahasia yang bertujuan untuk
menggulingkan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh yang menganut
prinsip Non-Blok telah menjadi nemesis Timur Tengah bagi Britania sejak ia menasionalisasi
perusahaan minyak Anglo-Iranian Oil Company milik Britania pada tahun 1951. Winston
Churchill mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh "semakin beralih ke
komunisme".[136][137][138][139] Shah yang pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian naik
jabatan sebagai monarki otokratik.[140] Kebijakan Shah yang baru ini di antaranya melarang
aktivitas partai komunis Tudeh dan penekanan perbedaan pendapat politik oleh SAVAK, badan
keamanan dan intelijen dalam negeri Shah.
Di Guatemala, sebuah kudeta militer yang didukung CIA berhasil menggulingkan presiden sayap
kiri Jacobo Arbenz Guzmán pada tahun 1954.[141] Pemerintah pasca-Arbenz yang dipimpin oleh
Carlos Castillo Armas mengembalikan semua properti milik AS yang dinasionalisasi,
membentuk Komite Nasional Pertahanan Melawan Komunisme, dan mendekritkan Hukum
Pidana Pencegahan Terhadap Komunisme atas permintaan Amerika Serikat.[142]

Presiden Indonesia, Soekarno, yang menganut prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada


ancaman besar pada awal tahun 1956, ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut
otonomi dari Jakarta. Setelah proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk
menyingkirkan mereka yang membangkang. Pada bulan Februari 1958, komandan militer di
Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Hussein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual)
mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang
bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya
dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pertumbuhan pengaruh
dari Partai Komunis Indonesia. Karena retorika anti-komunis mereka, pemberontakan mereka
mendapat bantuan senjata, dana, dan bantuan lainnya dari CIA. Hal ini terbukti saat pesawat
Amerika yang dipiloti oleh Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di Ambon pada bulan April
1958. Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi militer lewat laut dan udara
melalui Padang dan Manado. Pada akhir 1958, para pemberontak berhasil dikalahkan, dan
pemberontak yang tersisa menyerahkan diri pada bulan Agustus 1961.[143]

Di Irak, Abd al-Karim Qasim menggulingkan monarki Hashemite pada tahun 1958 dan
membangun aliansi dengan Partai Komunis Irak dan Uni Soviet.[144] Meskipun Partai Ba'ath
yang anti-komunis adalah faksi dominan dalam kabinet Qasim,[145] AS mulai khawatir bahwa
pemberontakan mungkin akan menginspirasi "reaksi berantai" di seluruh Timur Tengah.[146]
Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk alasan mereka sendiri,[147] CIA
juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan beracun kepada Qasim (meskipun masih
diperdebatkan).[148] Setelah serangkaian kudeta, Ba'athist berhasil merebut kekuasaan pada tahun
1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB,[149] meskipun militer Irak juga melakukan
kudeta.[150]

Di Republik Kongo, yang baru merdeka dari Belgia pada bulan Juni 1960, CIA menghasut
presiden Joseph Kasa-Vubu untuk memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumba dan
membubarkan kabinet Lumumba pada bulan September.[151] Dalam Krisis Kongo yang terjadi
setelahnya, CIA mendukung Kolonel Mobutu dengan cara memobilisasi pasukannya untuk
merebut kekuasaan melalui kudeta militer.[151]

Di Guiana Britania, kandidat Partai Progresif Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi Jagan,
memenangkan posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang diselenggarakan pada
tahun 1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya setelah
adanya suspensi dari Britania Raya yang masih memiliki kewenangan terhadap konstitusi negara
tersebut.[152] Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang diduga Marxis, Britania
memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan merekayasa perpecahan antara Jagan dengan
rekan PPP nya.[153] Jagan lagi-lagi memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961.
Amerika Serikat menekan Britania untuk menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana
sampai haluan politik Jagan telah teridentifikasi.[154]
Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut kemerdekaan Vietnam, Perancis
setuju untuk melakukan negosiasi dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi Jenewa,
perjanjian damai ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara yang pro-Soviet
dan Vietnam Selatan yang pro-Barat. Antara tahun 1954 dan 1961, Amerika Serikat
mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat militer untuk memperkuat rezim pro-Barat
Vietnam Selatan dalam menghalangi upaya komunis yang berniat untuk mengacaukannya.[16]

Banyak negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak tekanan
untuk memihak salah satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di Indonesia,
puluhan negara Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang Dingin.[155] Konsesus yang
ditetapkan di Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan Non-Blok yang
bermarkas di Belgrade pada tahun 1961.[70] Sementara itu, Khrushchev memperluas kebijakan
Moskow dengan menjalin hubungan dengan India dan negara-negara netral lainnya. Gerakan
kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah tatanan dunia pasca-perang menjadi lebih pluralistik
dengan diterapkannya dekolonisasi bagi negara-negara Afrika dan Timur Tengah dan semangat
nasionalisme juga meningkat di Asia dan Amerika Latin.[16]

Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa

Diagram perkembangan Perlombaan Angkasa pada tahun 1957–1975.

Periode setelah 1956 ditandai dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet, terutama pecahnya
aliansi Cina-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao membela Stalin ketika
Khrushchev mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun 1956, dan menganggap pemimpin
Soviet yang baru sebagai "pemula yang dangkal", Mao juga menuduhnya telah kehilangan sisi
revolusioner.[156] Sementara itu, Khrushchev, yang merasa terganggu atas sikap Mao yang anti-
perang nuklir, menyebut pemimpin Cina sebagai "orang yang gila takhta".[157]

Setelah hal itu terjadi, Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun kembali aliansi
dengan Cina, namun Mao menolak setiap usulannya.[156] Permusuhan Cina-Soviet ini akhirnya
tumpah dalam perang propaganda intra-komunis.[158] Selanjutnya, Soviet mulai berfokus pada
persaingan sengit dengan Cina untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin gerakan komunis
dunia.[159]
Dilatardepani oleh senjata nuklir, Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk
membangun persenjataan nuklir dan mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa mereka
pergunakan untuk menyerang satu sama lain.[31] Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil
meluncurkan peluru kendali balistik antar benua pertama (ICBM),[160] dan pada bulan
Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi pertama, Sputnik.[161] Peluncuran Sputnik ini
menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika Serikat. Persaingan ini
memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh astronot Frank Borman
sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".[162]

Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi

Fidel Castro (kanan) dan Che Guevara, 1961.

Di Kuba, Gerakan 26 Juli berhasil merebut kekuasaan pada bulan Januari 1959, menjatuhkan
Presiden Fulgencio Batista, yang rezimnya tidak populer dan tidak direstui oleh pemerintahan
Eisenhower.[163]

Hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat terus berlanjut selama beberapa waktu
setelah kejatuhan Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja meninggalkan ibu kota untuk
menghindari pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner Kuba Fidel Castro pada bulan
April, dan memerintahkan Wakil Presiden Richard Nixon untuk mengadakan pertemuan dengan
Castro di kediamannya.[164] Eisenhower tidak yakin, apakah Castro seorang komunis atau bukan.
Eisenhower juga menentang upaya Kuba untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka
pada Amerika Serikat.[165] Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan Eropa
Timur pada bulan Maret 1960.[166]

Bulan Januari 1961, sesaat sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara resmi memutuskan
hubungan dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961, Presiden Amerika yang baru
terpilih, John F. Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi pulau-pulau di Playa
Girón dan Playa Larga di Provinsi Las Villas — kegagalan yang mempermalukan Amerika
Serikat di mata dunia.[165] Castro menanggapinya dengan mengadopsi paham Marxisme-
Leninisme, dan Soviet berjanji untuk memberikan dukungan lebih lanjut kepada Kuba.[165]
Krisis Berlin 1961

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Krisis Berlin 1961, Tembok Berlin, dan Pembelotan
dan emigrasi Blok Timur

Tank Soviet berhadapan dengan tank Amerika Serikat di Checkpoint Charlie, 27 Oktober,
selama berlangsungnya Krisis Berlin 1961

Krisis Berlin 1961 adalah insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin terkait
dengan status Berlin dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-an, pendekatan
Soviet mengenai kebijakan pembatasan emigrasi ditiru oleh sebagian besar negara Blok Timur
lainnya.[167] Namun, ratusan ribu warga Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat setiap
tahunnya melalui "celah" yang terdapat dalam sistem antara Berlin Timur dan Berlin Barat dan
dengan bantuan dari pasukan Sekutu di Jerman Barat.[168]

Emigrasi menyebabkan berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi seperti kalangan
profesional terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir 20% penduduk Jerman Timur
telah bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961.[169] Pada bulan Juni, Uni Soviet
mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut penarikan pasukan Sekutu dari Berlin Barat.[170]
Permintaan tersebut ditolak, dan pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur mendirikan penghalang
kawat berduri yang kemudian konstruksinya diperluas hingga kelak membentuk Tembok Berlin,
yang secara efektif menutup "celah" antara kedua wilayah tersebut.[171]

Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Proyek Kuba dan Krisis Rudal Kuba

Kapal P-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang di atas sebuah kapal barang Soviet
selama Krisis Rudal Kuba.
Setelah Invasi Teluk Babi, Kennedy terus mencari cara untuk menggulingkan Castro, Kennedy
dan pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi penggulingan
pemerintahan Kuba. Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah program rahasia bernama
Proyek Kuba, yang dirancang di bawah pemerintahan Kennedy pada tahun 1961.

Pada bulan Februari 1962, Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap Kuba: "proyek
Kuba" — disetujui oleh CIA dan menetapkan penggulingan pemerintah Kuba pada bulan
Oktober, kemungkinan melibatkan militer Amerika — dan Kennedy mungkin memerintahkan
operasi pembunuhan terhadap Castro.[172] Sebagai respon, Soviet mempersiapkan pemasangan
rudal nuklirnya di Kuba.[172]

Khawatir, Kennedy memutuskan berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan akhirnya


menanggapi instalasi rudal nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan blokade laut dan
memberikan ultimatum kepada Soviet. Khrushchev mundur dari konfrontasi, dan Uni Soviet
membongkar rudalnya dengan imbalan janji Amerika agar tidak lagi menyerang Kuba.[173]

Krisis Rudal Kuba (Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang nuklir
daripada sebelumnya.[174] Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep saling
meyakinkan akan bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya tidak siap untuk menggunakan
senjata nuklir mereka, takut akan adanya kehancuran global total karena saling balas dendam.[175]
Dampak dari krisis ini menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam membatasi perlombaan
senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan hubungan,[117] meskipun upaya-upaya
untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah ditetapkan sejak tahun 1961 melalui Perjanjian
Antartika.[176]

Tahun 1964, rekan Kremlin Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap


mengijinkannya untuk pensiun dengan damai.[177] Khrushchev dituduh memerintah dengan kasar
dan inkompetensi, dia juga dianggap telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan
membawa dunia ke ambang perang nuklir.[177] Khrushchev juga dikatakan telah mempermalukan
dunia komunis ketika ia meresmikan pembangunan Tembok Berlin, yang dianggap sebagai
sebuah penghinaan publik untuk Marxisme-Leninisme.[177] Posisi jabatan Nikita Khrushchev
digantikan oleh Leonid Brezhnev sebagai pemimpin Partai Komunis dan sementara Alexei
Kosygin menduduki kursi Perdana Menteri.

Konfrontasi melalui détente (1962–1979)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1962–1979)
Kekuatan pasukan NATO dan Pakta Warsawa di Eropa tahun 1973.

Amerika Serikat mendarat untuk pertama kalinya di bulan pada tahun 1969—puncak dari
perlombaan angkasa.

F-4 Phantom II milik US Navy menyadap pesawat Tupolev Tu-95 D Soviet pada awal 1970-an.

Pada periode 1960-an dan 1970-an, peserta Perang Dingin berjuang untuk menyesuaikan diri
dengan pola baru hubungan internasional yang lebih rumit, dunia tidak lagi dibagi menjadi dua
blok besar yang bertentangan.[70] Dari awal periode pasca-perang, Eropa Barat dan Jepang
dengan cepat pulih dari kehancuran Perang Dunia II dan mulai mengalami pertumbuhan
ekonomi yang kuat sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, dengan PDB per kapita yang hampir
mendekati Amerika Serikat, sedangkan perekonomian Blok Timur mengalami stagnasi.[70][178]

Sebagai akibat dari krisis minyak 1973, dikombinasikan dengan semakin kuatnya pengaruh
Dunia Ketiga dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti Organisasi Negara-Negara
Pengekspor Minyak (OPEC) dan Gerakan Non-Blok, negara-negara Dunia Ketiga memiliki lebih
banyak ruang untuk memproklamirkan kemerdekaan mereka dan semakin menunjukkan bahwa
mereka tahan banting terhadap tekanan dari negara adidaya.[98] Sementara itu, Soviet dipaksa
untuk mengalihkan perhatiannya pada isu-isu internal seperti permasalahan ekonomi di dalam
negeri.[70] Selama periode ini, pemimpin Soviet seperti Leonid Brezhnev dan Alexei Kosygin
mulai menerapkan pendekatan détente.[70]

Pengunduran diri Perancis dari NATO

Artikel utama untuk bagian ini adalah: NATO#Pengunduran diri Perancis dari NATO

Keberlangsungan NATO sudah menghadapi tantangan pada awal sejarahnya, krisis terjadi
selama kepemimpinan Charles de Gaulle dari Perancis pada tahun 1958 dan seterusnya. De
Gaulle protes mengenai kuatnya peran Amerika Serikat dalam organisasi dan cemburu atas
"hubungan istimewa" antara Amerika Serikat dan Britania Raya. Dalam sebuah memo yang
dikirimkan pada Presiden Dwight D. Eisenhower dan Perdana Menteri Harold Macmillan pada
tanggal 17 September 1958, ia berpendapat untuk membentuk tiga serangkai direktorat yang
akan memposisikan Perancis pada kedudukan yang sama dengan Amerika Serikat dan Britania
Raya, dan juga perluasan cakupan NATO ke wilayah geografis yang memiliki kepentingan
dengan Perancis, seperti Aljazair Perancis, yang pemberontakannya di dukung oleh Perancis.[179]

Karena respon yang diberikan tidak memuaskan, de Gaulle mulai mengembangkan penangkal
nuklir Perancis secara independen dan pada tahun 1966, Perancis mengundurkan diri dari
NATO, diikuti dengan pengusiran semua pasukan NATO dari daratan Perancis.[180]

Invasi Cekoslowakia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Musim Semi Praha dan Invasi Pakta Warsawa ke
Cekoslowakia

Pada tahun 1968, periode liberalisasi politik di Cekoslowakia, yang dijuluki dengan Musim Semi
Praha, berlangsung dengan berbagai aksi, di antaranya "Program Aksi" liberalisasi, yang
menuntut perluasan kebebasan pers, kebebasan berbicara dan kebebasan bergerak, juga
penekanan ekonomi pada barang-barang konsumsi, kemungkinan sistem multi partai, membatasi
kekuasaan polisi rahasia,[181][182] dan kemungkinan Cekoslowakia untuk menarik diri dari Pakta
Warsawa.[183]

Sebagai jawaban atas aksi Musim Semi Praha, tentara Soviet bersama dengan sebagian besar
sekutu Pakta Warsawa mereka, menyerbu Cekoslowakia.[184] Invasi ini diikuti oleh gelombang
emigrasi, sekitar 70.000 warga Ceko dan Slowakia melarikan diri, dan total akhirnya mencapai
300.000 jiwa.[185] Invasi ini memicu protes keras dari Yugoslavia, Rumania, Cina, dan juga dari
partai-partai komunis di Eropa Barat.[186]

Doktrin Brezhnev

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Doktrin Brezhnev


Leonid Brezhnev dan Richard Nixon selama kunjungan Brezhnev ke Washington pada Juni
1973; kunjungan ini adalah permulaan détente antara Amerika Serikat dan Soviet.

Pada bulan September 1968, dalam pidatonya di Kongres Kelima Partai Persatuan Pekerja
Polandia, sebulan setelah menginvasi Cekoslowakia, Brezhnev menyampaikan Doktrin
Brezhnev; yang mengklaim bahwa "hak kami untuk melanggar kedaulatan negara manapun jika
ada yang berupaya untuk menggantikan Marxisme-Leninisme dengan kapitalisme". Dalam
pidatonya, Brezhnev menyatakan:[183]


Ketika kekuatan yang memusuhi sosialisme mencoba untuk mengubah haluan
beberapa negara sosialis menuju kapitalisme, itu bukan hanya menjadi masalah bagi
negara yang bersangkutan, namun masalah umum dan kepedulian dari semua
negara-negara sosialis. ”
Doktrin tersebut dilatarbelakangi oleh kegagalan Marxisme-Leninisme dalam meningkatkan
kesejahteraan di negara-negara seperti Polandia, Hongaria dan Jerman Timur, yang mengalami
penurunan standar hidup yang kontras dengan kemakmuran Jerman Barat dan negara Eropa
Barat lainnya.[187]

Krisis di Dunia Ketiga

Lihat pula: Operasi Power Pack, Penangkapan dan Pembunuhan Presiden Vietnam Selatan Ngo
Dinh Diem, Gerakan 30 September, Pembantaian di Indonesia 1965–1966, Perang Vietnam,
Kudeta Chili 1973, Operasi Burung Kondor, Perang Enam Hari, Perang Atrisi, Perang Yom
Kippur, Perang Ogaden, Perang Saudara Angola dan Invasi Indonesia ke Timor Timur

Alexei Kosygin (kiri) di samping Presiden AS Lyndon B. Johnson (kanan) dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Glassboro.
Mayat Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem.

Pada akhir April 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mendaratkan 22.000 tentaranya di Republik
Dominika dan kemudian mendudukinya selama satu tahun melalui invasi yang diberi kode
Operasi Power Pack. Operasi ini dilakukan untuk membendung ancaman menyebarnya revolusi
bergaya Kuba di Amerika Latin.[16] Pemilihan presiden diselenggarakan pada tahun 1966, yang
menghasilkan kemenangan bagi konservatif Joaquín Balaguer. Meskipun Balaguer mendapat
dukungan dari sektor-sektor elit dan kelompok petani, lawan politiknya dari partai PRD, mantan
presiden Juan Bosch, tidak aktif berkampanye.[188] Aktivis PRD dilumpuhkan dengan kekerasan
oleh polisi Dominika dan angkatan bersenjata.[188]

Sebagai bagian dari minoritas Katolik Vietnam, usaha Diệm untuk mengembangkan kebijakan
pro-Katolik membangkitkan amarah orang-orang Buddhis Vietnam. Polisi negara seringkali
dituduh menyerang orang-orang Buddhis (agama mayoritas negara itu). Para aktivis Buddhis
melakukan protes-protes massal dan bahkan penyiksaan diri yang berpuncak dalam beberapa
upaya kudeta, dan yang terakhir mengakibatkan kematian Diệm sendiri. Ketika rezim ini
membangkitkan sebuah protes yang dilakukan oleh para biarawan Buddhis pada Mei 1963, AS
menghentikan bantuannya.

Sejumlah biarawan secara terbuka membakar diri mereka sebagai protes, dan AS semakin
merasa terganggu oleh citra publik Diệm yang tidak populer. Diệm dan Madame Nhu mengklaim
bahwa pihak Komunis telah menyusup ke dalam kelompok-kelompok Buddhis. Tindakan
mereka untuk menghancurkan protes-protes ini sesuai dengan kebijakan anti-komunis yang telah
disetujui sebelumnya. Madame Nhu konon merujuk kejadian ini sebagai "barbecue"
("memanggang daging").

Berdasarkan perintah dari Presiden A.S. John F. Kennedy, Henry Cabot Lodge, duta besar
Amerika untuk Vietnam Selatan, menolak untuk bertemu dengan Diệm. Setelah mendengar
bahwa Angkatan Darat Republik Vietnam sedang merancang kudeta yang dipimpin oleh
Jenderal Dương Văn Minh, AS memberikan jaminan-jaminan rahasia kepada para jenderal itu
bahwa AS tidak akan ikut campur. Dương Văn Minh dan komplotannya menggulingkan
pemerintahan dan menghukum mati Presiden Diệm dan adiknya, Ngô Đình Nhu, pada 2
November 1963. Amerika Serikat secara terbuka mengungkapkan rasa terkejut dan
kekecewaannya bahwa Diệm telah dibunuh. Kebetulan, Presiden John F. Kennedy juga dibunuh
hanya 20 hari kemudian. Beberapa orang Vietnam percaya bahwa hantu Diemlah yang
melakukan pembalasan karena Presiden Kennedy menyetujui kudeta itu.
Ketika Madame Nhu, mengunjungi Amerika Serikat pada waktu itu, setelah mengetahui tentang
kudeta tersebut, ia segera menyebut Amerika Serikat sebagai pelakunya. Ia belakangan
mengatakan, "Barangsiapa menjadi sekutu Amerika tidak membutuhkan musuh." Madame Nhu
lalu meramalkan masa depan yang gelap untuk Vietnam dan bahwa, karena keterlibatannya
dalam kudeta itu, masalah-masalah AS di Vietnam baru saja dimulai.

Setelah dibunuhnya Ngô Đình Diệm, AS dapat tetap memengaruhi pemerintahan Vietnam
Selatan, membantu pemilihan para pejabat yang mendukung kebijakan-kebijakan AS. Di antara
banyak orang yang tahu tentang situasi politik di sekitar kematiannya (1963), pembunuhan Ngô
Đình Diệm dianggap sebagai momen politik yang menentukan yang, menurut sebagian orang,
pelan-pelan menyebabkan kekalahan Perang Vietnam 12 tahun kemudian (1975), namun,
menurut yang lainnya lagi, mencegah Vietnam Selatan direbut pihak komunis 10 tahun lebih
awal karena Diệm telah memutuskan untuk menyerah kepada ambisi-ambisi invasi Ho Chi
Minh. Akibat dari kuatnya kehadiran Amerika setelah pembunuhan Diệm, terjadilah pergolakan
intern di antara para pemimpin Vietnam Selatan, sementara tentara menemukan diri mereka
dipaksa untuk memilih antara kepentingan-kepentingan komunis dan kepentingan-kepentingan
Amerika. Pembunuhan ini juga memperkuat upaya-upaya Vietnam Utara untuk melukiskan
Vietnam Selatan sebagai pendukung kolonisasi.

Pada tanggal 30 September - 1 Oktober 1965, di 2 Kota di Indonesia, PKI (Partai Komunis
Indonesia) berusaha membunuh 7 Jenderal Angkatan Darat di Jakarta dan 2 Jenderal di
Yogyakarta dengan alasan Kudeta. PKI mendakwa bahwa Jenderal-Jenderal Angkatan Darat
yang pro-CIA berusaha menggulingkan Presiden Soekarno.

Di Indonesia, anti-komunis garis keras Jenderal Soeharto meraih kendali pemerintahan dari
pendahulunya, Soekarno, dan kemudian mulai membangun "Orde Baru". Dari tahun 1965
sampai 1966, militer Indonesia melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar setengah juta
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia serta organisasi-organisasi sayap kiri
lainnya.[189]

Meningkatnya konflik yang sedang berlangsung antara pemimpin Vietnam Selatan Ngô Đình
Diệm dengan komunis Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) membuat
Johnson mengirimkan 575.000 tentara Amerika ke Asia Tenggara untuk melumpuhkan NLF dan
sekutu Vietnam Utara mereka dalam Perang Vietnam, namun kebijakan ini memakan banyak
biaya dan melemahkan perekonomian AS, dan pada tahun 1975, krisis ini memuncak dengan
kegagalan Amerika Serikat. Dunia memandang peristiwa ini sebagai kekalahan memalukan bagi
sebuah negara adidaya yang paling kuat di tangan salah satu negara termiskin dunia.[16] Vietnam
Utara menerima persetujuan Soviet untuk memulai perang pada tahun 1959. Uni Soviet
mengirimkan 15.000 penasihat militer dan bantuan dana sebesar $ 450 juta kepada Vietnam
Utara selama perang, sedangkan Cina mengirimkan 320.000 tentara dan bantuan dana senilai
$180 juta.[190]

Di Chili, kandidat Partai Sosialis Salvador Allende memenangkan pemilihan presiden tahun
1970, menjadi Marxis terpilih demokratis pertama yang menjadi presiden di negara-negara
Amerika.[191] Jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada tanggal
11 September 1973 dan dengan cepat mengambilalih semua kekuasaan politik menjadi
kediktatoran militer, tindakannya ini direstui oleh AS. Reformasi Allende ekonomi diurungkan
dan lawan sayap kiri tewas atau ditahan di kamp-kamp interniran di bawah arahan dari Dirección
de Inteligencia Nacional (DINA).

Henry Kissinger, Penasihat Keamanan Nasional dan Sekretaris Negara Amerika Serikat pada
masa pemerintahan Presiden Nixon dan Ford, merupakan salah satu tokoh kunci dalam Perang
Dingin (1969-1977).

Sementara itu, Operasi Burung Kondor di Amerika Selatan — yang digunakan oleh para diktator
di Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Uruguay, dan Paraguay untuk menekan perbedaan pendapat
dengan sayap kiri — juga mendapat dukungan dari Amerika Serikat, dan (kadang-kadang akurat)
diperkirakan juga terdapat Kuba atau Soviet di belakang gerakan oposisi tersebut.[192]

Amerika Serikat juga tidak senang saat Jamaika mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan
pemerintah Kuba setelah pemilihan Michael Manley pada tahun 1972.[193] Amerika Serikat
meresponnya dengan mendanai lawan-lawan politik Manley, mendorong pemberontakan dalam
tubuh tentara Jamaika, dan menyewa tentara bayaran untuk menentang pemerintahan
Manley.[153] Kekerasan pun terjadi.

Situasi di Timur Tengah terus menjadi sumber persengketaan. Mesir, yang menerima banyak
bantuan senjata dan bantuan ekonomi dari Uni Soviet, adalah klien Soviet yang merepotkan.
Dengan terpaksa, Uni Soviet berkewajiban untuk membantu Mesir dalam Perang Enam Hari
(dengan mengirimkan penasihat militer dan teknisi) dan Perang Atrisi (dengan mengirimkan
pilot dan pesawat) untuk melawan Israel yang pro-Barat.[194] Di samping pembelotan Mesir, dari
yang sebelumnya pro-Soviet menjadi pro-Amerika pada tahun 1972 (dibawah kepemimpinan
Anwar El Sadat),[195] rumor mengenai intervensi Soviet dalam Perang Yom Kippur pada tahun
1973 menyebabkan terjadinya pengiriman tentara Amerika besar-besaran dan mengancam akan
menghancurkan détente.[196] Meskipun pada era pra-Sadat Mesir merupakan penerima bantuan
terbesar Soviet di Timur Tengah, Soviet juga sukses menjalin hubungan erat dengan komunis di
Yaman Selatan, serta pemerintahan nasionalis Aljazair dan Irak.[195] Soviet secara langsung
memihak dan membantu Palestina dalam menghadapi konflik dengan Israel, termasuk dukungan
untuk Yasser Arafat dan Organisasi Pembebasan Palestina.[197] Dari tahun 1973-1975, CIA
berkolusi dengan pemerintah Iran untuk membiayai dan mempersenjatai pemberontak Kurdi
dalam Perang Irak–Kurdi Kedua dengan tujuan untuk melumpuhkan pemimpin Irak Ahmed
Hassan al-Bakr. Saat Iran dan Irak menandatangani Perjanjian Aljazair pada tahun 1975,
dukungan untuk Iran pun juga turut berhenti.[198]
Seorang tentara Amerika dalam Perang Vietnam, 3 Agustus 1965.

Di Afrika, militer Somalia yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre melakukan kudeta tak
berdarah pada tahun 1969 dan mendirikan Republik Demokratik Somalia yang berpaham
sosialis. Uni Soviet berjanji untuk mendukung Somalia. Empat tahun kemudian, Kaisar Ethiopia
Haile Selassie yang pro-Amerika digulingkan dalam kudeta tahun 1974 oleh kelompok Derg,
sebuah kelompok militer radikal pro-Soviet yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Mariem
menjalin hubungan dengan Kuba dan Soviet.[199] Saat peperangan antara Somalia dan Ethiopia
pecah pada tahun 1977-1978, Barre kehilangan dukungan Soviet dan kemudian bersekutu
dengan Amerika Serikat. Tentara Kuba juga berperan dalam perang ini dengan memihak
Ethiopia.[199]

Revolusi Anyelir di Portugis pada tahun 1974 yang melawan keotoriteran Estado Novo membuat
Portugis kembali ke sistem multi-partai dan sekaligus memfasilitasi kemerdekaan koloni
Portugis di Angola dan Timor Timur. Di Afrika, pemberontak Angola mengobarkan perang
kemerdekaan multi-faksi menentang kekuasaan Portugis sejak tahun 1961, setelah perang ini
usai, perang dua dasawarsa menggantikan perang anti-kolonial, yang ditandai dengan
peperangan antara komunis Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA), yang didukung oleh
Kuba dan Soviet, dengan Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA), yang didukung oleh
Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan pemerintahan Mobutu di Zaire. AS,
pemerintahan apartheid Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya juga mendukung
faksi ketiga, Uni Nasional untuk Kemerdekaan Penuh Angola (UNITA). Tanpa berkonsultasi
dengan Soviet, Kuba mengirimkan tentaranya untuk berjuang bersama MPLA.[199] Pemerintah
apartheid Afrika Selatan juga mengirimkan tentara untuk membantu UNITA, namun MPLA
berada di atas tangan karena didukung oleh Kuba dan Soviet.[199]

Di Asia Tenggara, koloni Timor Timur secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya dari
Portugis di bawah sayap kiri Fretilin pada bulan November 1975. Dengan dukungan dari
Australia dan Amerika Serikat, Soeharto menginvasi Timor Timur pada bulan Desember — yang
memulai pendudukan Indonesia di Timor Timur selama seperempat abad.[200]
Selama Perang Vietnam, Vietnam Utara menginvasi dan menduduki sebagian Kamboja untuk
digunakan sebagai pangkalan militer, yang juga berperan dalam memicu pecahnya Perang
Saudara Kamboja antara pemerintah pro-Amerika Lon Nol dan pemberontak Maoist Khmer
Merah. Dokumen yang ditemukan dari arsip Soviet mengungkapkan bahwa invasi Vietnam
Utara ke Kamboja pada tahun 1970 dilaksanakan atas permintaan dari Khmer Merah setelah
bernegosiasi dengan Nuon Chea.[201] AS dan Vietnam Selatan menanggapinya dengan
melancarkan kampanye pemboman dan serangan darat, efek dari operasi ini masih diperdebatkan
oleh para sejarawan.[202] Di bawah kepemimpinan Pol Pot, Khmer Merah membantai 1-3 juta,
dari 8,4 juta total penduduk Kamboja, di ladang pembantaian.[203][204][205] Sosiolog Martin Shaw
menggambarkan kekejaman ini sebagai "genosida paling murni dari era Perang Dingin".[206]
Vietnam menggulingkan Pol Pot pada tahun 1979 dan membentuk pemerintah boneka di bawah
pimpinan Heng Samrin.

Perbaikan hubungan Cina-Amerika

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kunjungan Nixon ke Tiongkok tahun 1972

Richard Nixon bertemu dengan Mao Zedong pada tahun 1972.

Sebagai akibat dari perpecahan Sino-Soviet, ketegangan yang berlangsung di sepanjang


perbatasan Cina-Soviet mencapai puncaknya pada tahun 1969, dan Presiden Amerika Serikat
Richard Nixon memutuskan untuk memanfaatkan konflik tersebut sebagai alat untuk menggeser
keseimbangan kekuasaan ke arah Barat dalam Perang Dingin.[207] Cina juga berusaha
meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat dalam upayanya untuk mengambil keuntungan
dari Soviet.

Pada bulan Februari 1972, Nixon mengumumkan pemulihan hubungan dengan Cina.[208] Ia
melakukan kunjungan ke Beijing dan bertemu dengan Mao Zedong dan Zhou Enlai. Pada saat
itu, sumber daya nuklir Uni Soviet telah setara dengan Amerika Serikat, Perang Vietnam juga
telah melemahkan pengaruh Amerika di Dunia Ketiga dan mendinginkan hubungannya dengan
Eropa Barat.[209] Meskipun konflik tak langsung antara dua adidaya dalam Perang Dingin terus
berlanjut sampai akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketegangan perlahan-lahan mulai mereda.[117]

Nixon, Brezhnev, détente, dan Penembakan Pesawat Korean Air Lines


Penerbangan 902
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perundingan Pembatasan Senjata Strategis, Perjanjian
Helsinki, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa, dan Korean Air Lines
Penerbangan 902

Leonid Brezhnev dan Jimmy Carter menandatangani traktat SALT II, 18 Juni 1979 di Wina

Setelah kunjungannya ke Tiongkok, Nixon bertemu dengan para pemimpin Soviet, termasuk
Brezhnev di Moskow.[210] Perundingan Pembatasan Senjata Strategis (SALT) antara kedua belah
pihak menghasilkan dua kesepakatan mengenai pengawasan penggunaan senjata, yaitu SALT I,
pakta pembatasan senjata komprehensif pertama yang ditandatangani oleh kedua negara
adidaya,[211] dan Traktat Peluru Kendali Anti-Balistik, yang mengatur mengenai pembatasan
sistem peluru kendali anti-balistik yang digunakan untuk mempertahankan wilayah terhadap
senjata nuklir yang dibawa misil. Ini bertujuan untuk membatasi pengembangan peluru kendali
anti-balistik dan rudal nuklir berbiaya mahal.[70]

Nixon dan Brezhnev mengumumkan era baru "hidup berdampingan secara damai" dan
membangun pendekatan hubungan baru yang disebut détente (peredaan ketegangan) antara dua
negara adidaya. Sementara itu, Brezhnev berusaha untuk memperbaiki kembali perekonomian
Soviet yang mengalami penurunan akibat besarnya pengeluaran militer.[16] Antara tahun 1972
dan 1974, kedua belah pihak juga sepakat untuk memperkuat hubungan ekonomi mereka,[16] di
antaranya dengan melakukan perjanjian dalam rangka peningkatan aktivitas perdagangan.
Sebagai hasil dari perundingan mereka, détente menggantikan era permusuhan dari Perang
Dingin dan kedua negara bisa hidup secara berdampingan.[210]

Sementara itu, perkembangan hubungan AS dan Soviet juga bertepatan dengan "Ostpolitik"
Kanselir Jerman Barat Willy Brandt.[186] Perjanjian lainnya yang disahkan untuk menstabilkan
situasi di Eropa adalah Perjanjian Helsinki, yang ditandatangani dalam Konferensi Keamanan
dan Kerjasama di Eropa pada tahun 1975.[212]

Korean Air Lines Penerbangan 902 merupakan pesawat Boeing 707 yang menerbangi
jalur Paris-Anchorage-Seoul. Pada 20 April 1978, Namun tragisnya, Radar Uni Soviet pun
mengira bahwa Pesawat Korean Air Lines Penerbangan 902 adalah Pesawat Mata-Mata Amerika
Serikat. Kemudian Uni Soviet mengirim Pesawat Tempur Sukhoi Su-15 untuk menembakin dan
mencegat Pesawat tersebut. Setelah Pesawat Korean Air Lines Penerbangan 902 ditembak jatuh
oleh Sukhoi Su-15 milik Uni Soviet, Kecelakaan ini menewaskan 2 orang penumpang dan 107
penumpang selamat di danau beku.

Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an


Pada tahun 1970-an, KGB, yang dikepalai oleh Yuri Andropov, terus menekan kritikus-kritikus
terkenal yang mengkritik kepemimpinan Soviet seperti Aleksandr Solzhenitsyn dan Andrei
Sakharov.[213] Selama periode détente ini, konflik tak langsung antara kedua negara adidaya
masih terus terjadi di Dunia Ketiga, khususnya dalam krisis politik di Timur Tengah, Chili,
Ethiopia, dan Angola.[214]

Presiden Jimmy Carter berusaha untuk menetapkan pembatasan perlombaan persenjataan lebih
lanjut dengan mengesahkan SALT II pada tahun 1979,[215] namun upayanya ini dirusak oleh
peristiwa lainnya pada tahun itu, yaitu Revolusi Iran yang didukung oleh KGB,[216] Revolusi
Nikaragua untuk menggulingkan rezim pro-AS, dan yang paling membuat AS berang; intervensi
Soviet dalam Perang Afganistan pada bulan Desember.[16]

"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1979–1985)

Istilah "Perang Dingin Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan Perang
Dingin dan konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Ketegangan
sangat meningkat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan masing-masingnya menjadi lebih
ter-militeristik.[12] Diggins mengungkapkan: "Reagan mengerahkan segalanya untuk berjuang
dalam 'Perang Dingin Kedua' dengan mendukung kontra-pemberontakan di Dunia Ketiga."[217]
Sementara Cox menyatakan: "Intensitas 'Perang Dingin Kedua' sehebat durasinya yang
singkat."[218]

Perang Soviet-Afganistan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Saudara Afganistan dan Perang Soviet-
Afganistan

Presiden Reagan menunjukkan dukungannya dalam pertemuan dengan para pemimpin


Mujahidin Afganistan di Gedung Putih, 1983.
Tentara Soviet di Afganistan.

Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDPA) yang berhaluan komunis
merebut kekuasaan atas Afganistan melalui Revolusi Saur. Dalam hitungan bulan, penentang
pemerintahan komunis melancarkan pemberontakan di Afganistan timur, yang dengan cepat
berkembang menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin melawan tentara pemerintah.
Pemerintah Pakistan memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat pelatihan rahasia,
sedangkan Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung pemerintahan
PDPA.[219] Sementara itu, meningkatnya gesekan antara faksi-faksi yang bersaing di PDPA –
faksi Khalq yang dominan dan Parcham yang lebih moderat – menyebabkan pemberhentian
anggota kabinet dan penangkapan perwira militer Parchami dengan dalih kudeta terhadap
Parchami. Pada pertengahan 1979, Amerika Serikat memulai sebuah program rahasia untuk
membantu mujahidin.[220]

Bulan September 1979, Presiden Khalqist Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah kudeta
PDPA yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin, yang
kemudian menjadi presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada bulan Desember
1979. Setelah kematiannya, sebuah pemerintahan yang diorganisir oleh Soviet, di bawah
pimpinan Babrak Karmal, mengisi kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan untuk
menstabilkan Afganistan di bawah pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka Soviet.
Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa yang kemudian menjadi perang domestik di
Afganistan.[221]

Carter menanggapi intervensi Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian
SALT II dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman gandum dan barang-barang
teknologi pada Uni Soviet, serta meningkatkan pengeluaran militer. Amerika Serikat juga
melakukan pemboikotan terhadap Olimpiade Moskow 1980

Tahun-tahun terakhir (1985–1991)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1985–1991)

Mikhail Gorbachev dan Ronald Reagan menandatangani Traktat INF di Gedung Putih, 1987
Penarikan diri Soviet dari Afganistan pada tahun 1988.

Reformasi Gorbachev

Informasi lebih lanjut: Mikhail Gorbachev, perestroika, dan glasnost

Setelah tanggal 11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis
Uni Soviet yang kelima untuk menggantikan Konstantin Chernenko yang sudah wafat.

Pada saat Mikhail Gorbachev, yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris Jenderal pada tahun
1985,[225] perekonomian Soviet sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam dalam
penerimaan mata uang asing akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun 1980-an.[256]
Masalah ini memaksa Gorbachev untuk mengambil langkah-langkah guna membangkitkan
kembali keterpurukan Soviet.[256]

Gorbachev menyatakan bahwa untuk membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan


yang mendalam dalam struktural Soviet. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan
agenda reformasinya yang disebut perestroika atau restrukturisasi.[257] Perestroika
memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota produksi, kepemilikan swasta atas bisnis dan juga
membuka jalan bagi investor asing. Langkah ini dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya
negara dari pembiayaan militer yang mahal untuk menunjang Perang Dingin ke pengembangan
sektor sipil yang lebih produktif.[257]

Meskipun muncul skeptisisme dari negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini terbukti
berkomitmen untuk memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk, bukannya
melanjutkan perlombaan senjata dengan Barat.[117][258] Untuk melawan penentang reformasinya
yang berasal dari internal partai, Gorbachev secara bersamaan memperkenalkan glasnost, atau
keterbukaan. Kebijakan ini memungkinkan meningkatnya kebebasan pers dan transparansi
lembaga-lembaga negara.[259] Glasnost dimaksudkan untuk mengurangi korupsi dalam tubuh
Partai Komunis dan memoderasi penyalahgunaan kekuasaan di Komite Sentral.[260] Glasnost
juga memungkinkan meningkatnya kontak antara warga Soviet dan Dunia barat, khususnya
dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi bagi peningkatan détente antara kedua
negara.[261]

Perbaikan hubungan

Informasi lebih lanjut: Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík, Traktat INF, dan START I
Menanggapi konsesi politik dan militer Kremlin yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan
kembali perundingan dengan Soviet terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan senjata.[262]
Perundingan pertama diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa, Swiss.[262] Dalam
perundingan tersebut, kedua pemimpin negara, disertai oleh seorang penerjemah, sepakat untuk
mengurangi persenjataan nuklir di masing-masing negara sebesar 50 persen.[263] Perundingan
kedua, Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík, diselenggarakan di Islandia. Perundingan tersebut
berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah Strategi Inisiatif Pertahanan Reagan yang
ingin dieliminasi oleh Gorbachev, namun Reagan menolaknya.[264] Negosiasi akhirnya gagal,
namun dalam perundingan ketiga pada tahun 1987, kedua belah pihak berhasil menghasilkan
terobosan dengan ditandatanganinya Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF). Traktat
ini menghapuskan keberadaan semua senjata nuklir, rudal balistik, dan rudal jelajah di kedua
belah pihak dengan jarak antara 500 dan 5.500 kilometer beserta infrastrukturnya.[265]

Ketegangan antara Timur dengan Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an. Tahun
1989, bertempat di Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush,
menandatangani perjanjian START I, yang mengakhiri perlombaan senjata antar kedua
negara.[266] Selama tahun-tahun berikutnya, Soviet dihadapkan pada keruntuhan perekonomian
yang diakibatkan oleh turunnya harga minyak dunia dan besarnya pembiayaan militer.[267] Selain
itu, penempatan militer di negara sekutunya diakui tidak relevan lagi bagi Soviet, dan pada tahun
1987, Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia tidak akan ikut campur lagi dalam urusan
dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa Timur.[268]

Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afganistan,[269] dan setahun kemudian Gorbachev
menyetujui reunifikasi Jerman,[267] satu-satunya alternatif untuk menanggapi skenario
Tianmen.[270] Ketika Tembok Berlin runtuh, konsep "Common European Home" yang dicetuskan
oleh Gorbachev mulai terbentuk.[271]

Pada tanggal 3 Desember 1989, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Malta, Gorbachev dan George
H. W. Bush secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin sudah berakhir.[272] Setahun
kemudian, dua negara tersebut bermitra dalam Perang Teluk melawan Irak.[273]

Goyahnya sistem Soviet

Informasi lebih lanjut: Perekonomian Uni Soviet, Revolusi 1989, dan Baltic Way

Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989.


Pada tahun 1989, sistem aliansi Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya
dukungan militer dari Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta
Warsawa juga kehilangan kekuasaan.[269] Di Uni Soviet sendiri, kebijakan glasnost melemahkan
ikatan yang selama ini menyatukan Soviet.[268] Bulan Februari 1990, dengan semakin
memuncaknya isu pembubaran Uni Soviet, para pemimpin Partai Komunis terpaksa
menyerahkan tampuk kekuasaannya yang telah bertahan selama 73 tahun.[274]

Pada saat yang sama, isu kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong negara-
negara Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara Baltik mulai menarik diri
dari Soviet sepenuhnya.[275] Gelombang revolusi damai 1989 yang melanda Eropa Tengah dan
Eropa Timur meruntuhkan kedigjayaan komunisme Soviet di negara-negara seperti Polandia,
Hongaria, Cekoslowakia dan Bulgaria.[276] Rumania menjadi satu-satunya negara Blok Timur
yang menggulingkan kekuasaan komunis secara keras dengan mengeksekusi kepala
negaranya.[277]

Pembubaran Uni Soviet

Informasi lebih lanjut: January 1991 events in Latvia, Upaya kudeta di Soviet 1991, Sejarah
Uni Soviet (1982–1991), dan Pembubaran Uni Soviet

Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, akhir resmi dari Uni Soviet

Sikap permisif Gorbachev terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet,
bahkan Bush, yang berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet,
mengutuk pembunuhan pada bulan Januari 1991 di Latvia dan Lituania. Bush memperingatkan
bahwa hubungan ekonomi akan dibekukan jika kekerasan terus terjadi.[278] Uni Soviet secara
fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal pada tahun 1991 dan meningkatnya jumlah republikan
Soviet, khususnya di Rusia, yang mengancam akan memisahkan diri dari Uni Soviet.
Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, yang didirikan pada tanggal 21 Desember 1991,
dipandang sebagai entitas penerus Uni Soviet, namun, menurut para pemimpin Rusia, tujuannya
adalah untuk "memungkinkan perpisahan secara beradab" antara republik-republik Soviet dan
juga sebanding dengan kelonggaran konfederasi.[279] Uni Soviet secara resmi dibubarkan pada
tanggal 25 Desember 1991.[28

You might also like