You are on page 1of 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik Agama

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Terjadinya konflik tidak terlepas dari adanya dalang atau provokatornya tidak perna di usut

tuntas. Dari berbagai kerusuhan, teror, fitnah dan pembunuhan memang sedang melanda bangsa

kita sehingga untuk menghadapi bangsa tersebut, maka semua pihak hendaknya senantiasa

waspada. Sebab, berbagai cara akan dilakukan oleh provokator untuk mengadu domba antarumat

beragama, antar suku atau antar etnis,sehingga persatuandan kesatuan menjadi rapuh.

Pemerintah telah menerbitkan PP No. 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan tersebut diharapkan

dapat melindungi dan memberikan rasa aman bagi masyarakat secara optimal serta penanganan

konflik sosial secara komprehensif, terkoordinasi, dan terintegrasi. untuk melaksanakan ketentuan

Pasal 32 ayat (3), Pasal 34 ayat (2), Pasal 52 ayat (3), dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, serta untuk melindungi dan memberikan rasa

aman masyarakat yang lebih optimal, penanganan konflik sosial dilakukan secara komprehensif,

terkoordinasi, dan terintegrasi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang PenangananKonflik Sosial.


Mengingat:

1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5315)

2. Pengertian Agama

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata ‘agama’ berarti suatu sistem, prinsip

kepercayaan terhadap Tuhan (Dewa dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang

bertalian dengan kepercayaan itu. Kata ‘agama’ dapat juga didefinisikan sebagai perangkat nilai-

nilai atau norma-norma ajaran moral spiritual kerohanian yang mendasari dan membimbing hidup

dan kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat.

Jadi, konflik agama dapat diartikan sebagai berikut : Konflik agama adalah suatu pertikaian

antar agama baik antar sesama agama itu sendiri, maupun antar agama satu dengan agama lainnya.

B. Contoh Konflik Agama

Konflik Posso

1. Kronologi Konflik Poso

Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh berbagai faktor, yakni pemuda mabuk,

sosial, ekonomi, hingga politik. Hal tersebut berujung pada konflik keagamaan. Isu agama menjadi

salah satu pendorong munculnya tragedi Poso karena ada berberapa daerah yang dikotak-kotakkan
berdasarkan basis massa. Ada Kelompok Putih yang merupakan representasi dari kelompok Islam,

terutama berada di daerah pesisir yakni, Toyado, Madale, Parigi, dan Bungku. Sedangkan

representasi dari Kelompok Merah terdapat di daerah pedalaman seperti, Lage, Tokorando,

Tentena, Taripa, dan Pamona.

Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya rentetan peristiwa-peristiwa besar di

Indonesia pada tahun 1998. Hal tersebut membuat terjadinya chaos sehingga mengubah atmosfir

bangsa Indonesia semakin memanas. Berawal dari krisis ekonomi dan keuangan sejak pertengahan

tahun 1997, kemudian berakhir pada penurunan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya.

Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh seketika. Padahal belum ada kesiapan sosial dari daerah-

daerah yang sudah lama termarjinalisasi. Sehingga terjadilah kerusuhan di Sampit, Maluku,

termasuk di Poso.

Konflik Poso yang muncul di permukaan pada akhirnya lebih terlihat mengandung isu

SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Menurut Ketua Umum Forum Silaturahmi dan

Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, H. Muh. Adnan Arsal, konflik tersebut terus terjadi dan

bertujuan kembali mengadu domba antarumat beragama di Poso. Akan tetapi, bila diperhatikan

secara jeli, konflik Poso pada awalnya lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan

yang dipicu oleh pergeseran tampuk pemerintahan daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi.

Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis

pendatang. Hal ini berimplikasi juga terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah

setempat. Sementara itu, pergeresan lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota

(baru) juga merupakan faktor meletusnya konflik Poso. Kedua hal tersebut memiliki relasi karena

merupakan konsekuensi logis dari bergesernya pusat pemerintahan akan berimplikasi pada
pergeseran pusat-pusat perekonomian pula. Penduduk pendatang pada akhirnya yang menguasai

sendi-sendi kehidupan di Poso.

2. Tahap-Tahap Kerusuhan

a. Kerusuhan Tahap I

Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye enam kandidat

bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Tepatnya pada

Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik politik yang bertopeng kepentingan agama,

terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama yakni, Islam dan Kristen. Peristiwa tersebut

terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda

yang mengadakan pesta miras (minuman keras) membuat keributan saat Shalat Tarawih

berlangsung. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para

pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan area masjid.

Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah seorang pengurus masjid yang

mengingatkan mereka tadi, bernama Ridwan, dikejar oleh Roy Runtu dalam keadaan mabuk.

Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan sedang membangunkan sahur para warga Muslim di

Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke sebuah masjid (dekat

pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat berteriak minta tolong dan lari

dengan meningalkan percikan darah di plafon masjid. Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso

bergerak untuk menghancurkan setiap kedai/toko menjual miras. Mereka juga meminta Roy agar

menyerahkan diri kepada aparat yang berwajib.

Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang dipimpin Herman Parimo hendak menyerbu

rumah dinas bupati. Isu penyerbuan itu kontan mendatangkan reaksi dari kalangan Muslim. Tiga

hari setelah Natal, konflik yang sebelumnya terselubung akhirnya pecah. Benturan fisik dengan
senjata parang, panah, dan tombak tak terhindarkan. Opini yang beredar selanjutnya: Di Poso Kota

terjadi kerusuhan antar-agama.

Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang berdasarkan sentimen

agama. Tidak hanya orang-orang Poso sendiri, tetapi juga sesama Muslim di luar daerah mereka.

Setelah didengungkannya konflik atas nama agama maka, isu politik seakan tenggelam. Hal itu

dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak tersulut emosi yang seolah-seolah berusaha

memperjuangkan martabat agamanya.

b. Kerusuhan Tahap II

Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso menyebabkan kerusuhan jilid kedua berkobar

tak terelakkan lagi. Tepatnya pada 16-17 April 2000, massa dari pihak Kristen dan Islam sama-

sama memanggul senjata. Peristiwa itu terbukti dengan bebasnya orang menenteng senjata di jalan

umum. Memang senjata yang digunakan masih tradisional seperti, panah, parang, dan tombak.

Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena mengindikasikan semangat yang membara untuk

melanjutkan konflik. Kondisi tersebut berkembang liar karena aparat keamanan tak dapat melerai

perseturuan massal tersebut dengan alasan kekurangan personel.

Sebenarnya motif mereka masih samar, apakah kerusuhan tersebut sengaja diperpanjang

karena demi membela kesucian agama? Ataukah karena dendam yang dipupuk, hingga mereka tak

kuasa memuntahkannya dalam bentuk konflik? Berdasarkan pengamatan intelijen, pada kerusuhan

tahap kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan dari luar Poso, baik berupa makanan, obat-

obatan, bahkan senjata.

Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo bersama 13 orang temannya. Tepatnya pada

tanggal 22 Mei 2000, sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo bergerak dari kelurahan Gebang

Rejo memasuki Poso Kota bersama pasukannya. Dia tidak segan-segan menghadapi musuh-musuh
yang menghalanginya dengan sekali tebas. Jagal dari Poso tersebut dikenal sebagai komandan

Laskar Kelelawar Hitam, yang disebut sebagai pasukan Kristen. Walaupun sesungguhnya Tibo

dan kawan-kawan bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik Poso. Namun,

mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis menghabisi nyawa musuhnya.

c. Kerusuhan Tahap III

Masyarakat Kristen mulai merapatkan barisan dengan melakukan pengorganisasian yang

intensif. Hal itu terinspirasi dari masyarakat Muslim yang lebih terkordinir pada periode pertama

dan kedua. Upaya tersebut dilakukan untuk melakukan serangan balik kepada pasukan Muslim.

Strategi dari mereka adalah melakukan penyerangan di saat Muslim masih lengah. Tak disangka-

sangka, kelompok Kristen menyerang kelompok Muslim dari lima penjuru kota Poso.

Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung berhari-hari membuat kelompok Muslim semakin

terdesak. Akan tetapi kondisi diperparah karena bala bantuan tidak bisa masuk ke Poso. Hal itu

dikarenakan jembatan yang dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan kayu

gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan orang itu, senjata organik mulai

memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat keamanan dibuat tak berdaya dan bertahan

seadanya di bangunan-bangunan pemerintah yang berlokasi strategis. Gagal memasuki Poso Kota,

kelompok Kristen kemudian membumihanguskan beberapa kecamatan di Poso Pesisir.

Kemudian pada 5 April 2001, Tibo, Dominggus dan Marinus Riwu dijatuhkan vonis mati.

Mereka dituduh melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan,

Tibo menyampaikan surat yang ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang sejumlah

16 nama yang selama ini menjadi penyuplai logistik bagi pasukannya selama kerusuhan Poso

berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris

Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng, menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso

Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot,

Angki Tungkanan sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso. Pada akhirnya, keputusan

memvonis mati Tibo dkk menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan keamanan di sana sangat bergantung pada

kemauan pemerintah. Pertama, kemauan untuk menyelesaikan masalah, dengan tidak bertumpu

pada pendekatan keamanan. Pemerintah harus menghentikan solusi primitif penyelesaian kasus

Poso dengan pengerahan pasukan bersenjata. Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso

secara menyeluruh, tidak per kasus. Kasus Tibo merupakan contoh di mana pemerintah

menggunakan kacamata kuda dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor penting

dalam kekerasan. Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus bertanggungjawab atas terjadinya

konflik Poso.

3. Penyelesaian konflik posso

Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi banyak

pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras untuk

menyelesaikan konflik tersebut adalah Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra pada kabinet

Megawati. Jalan penyelesaian tersebut ditembuh dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino

tanggal 20 Desember 2001.

Deklarasi Malino ditandatangani oleh Kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Poso,

Sulawesi Tengah. Mereka sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu

diperoleh setelah seluruh pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok menandatangani

perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Deklarasi dibacakan Menko Kesra Jusuf
Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua pihak menandatangi kesepakatan yang

terdiri dari sepuluh butir :

a. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.

b. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum

bagi siapa saja yang melanggar.

c. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.

d. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta

campur tangan pihak asing.

e. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap

saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.

f. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak

untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.

g. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana

adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.

h. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.

i. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan

menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan

pemerintah dan ketentuan lainnya.

C. Penanggulangan Konflik Agama

Cara yang dilakukan masyarakat setempat atau warga Negara Indonesia


1. Dalam menangani konflik antara gama, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah saling

mentautkan hati di antara umat beragama, mempererat persahabatan dengan saling mengenal lebih

jauh, serta menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap agama membawa misi kedamaian.

2. Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama didaerah atau

wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya

mixed, atau campuran dan tidak mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial

ekonomi tertentu.

3. Kesenjangan sosial dalam hal agama harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat – dapatnya

dihapuskan sama sekali.

4. Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan

(nasionalisme-Indonesia) agar masyarakat menyadari pentingnya persatuan dalam berbangsa dan

bernegara.

5. Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur atau membaur atau

dibaurkan.

6. Segala macam bentuk ketidakadilan struktural agama harus dihilangkan atau dibuat seminim

mungkin

Cara Yang Dilakukan Pemerintah

Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog

intern umat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari

kalangan pemuka agama Islam; ulama, cendekiawan Muslim, mubaligh, dai, dan kiai maupun

pemimpin kelompok keagamaan dari kalangan penganut dan pemimpin agama Kristen/Katolik,

Hindu, maupun Buddha.


Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah,

juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. Akan tetapi, para pemuka

agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level grassroots dan menjadi

bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa. Misalnya :

1. Pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan kehidupan umat

beragama diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang diawali pendataan potensi konflik

keagamaan,

2. Pelatihan penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik,

3. sosialisasi manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep

dan kedudukan kerukunan umat beragama dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa di

berbagai daerah kabupaten maupun kota

4. Pemerintah juga harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai komunitas

agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan-perjumpaan yang bersifat formal, sebagaimana

yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan

persoalan keagaaman secara khusus

5. Pemerintah memfasilitasi pertemuan antar agama dan mendorong terwujudnya relasi yang

rukun, adil, dan setara.

6. Pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebab hakikatnya,

akar konflik dan ketegangan antaragama muncul karena ketidakadilan dan kemiskinan yang

merajalela kalangan agamawan.

7. Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang berorientasi kerakyatan

serta penegakan hukum yang seadil-adilnya.

8. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
D. Penyebab Konflik Agama

Beberapa penyebab konflik internal umat beragama seperti:

1. Pemahaman yang menodai atau menyimpang dari agama,

2. Pemahaman yang radikal, menganggap alirannya benar dan orang lain salah,

3. pemahaman yang liberal, bebas semaunya tanpa mengikuti kaedah yang ada,

4. Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi baik karena status hukumnya yang masih dipersoalkan,

kurangnya pemahaman sebagai aparatur negara atau kurangnyakesadaran sebagai tokoh dan umat

beragama,

5. Persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama yang tidak sesuai

dengan ketentuan yang berlaku,

6. Adanya salah paham atau informasi diantara pemeluk agama,

7. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama

8. Perbedaan Tingkat Kebudayaan

9. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama

10. Karena tidak adanya keampuhan Pancasila dan UUD 45 yang selama ini menjadi pedoman bangsa

dan negara kita mulai digoyang dengan adanya amandemen UUD 45 dan upaya merubah ideologi

negara kita ke ideologi agama tertentu.

11. Kurangnya rasa menghormati baik antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya ataupun

sesama pemeluk agama.

E. Dampak Konflik Agama

1. Dampak Secara Langsung


Dampak secara langsung merupakan dampak yang secara langsung dirasakan oleh

pihak- pihak yang terlibat konflik. Adapun dampak konflik secara langsung diantaranya

sebagai berikut :

a. Menimbulkan keretakan hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau

kelompok lainnya.

b. Adanya perubahan kepribadian seseorang seperti selalu memunculkan rasa curiga,rasa benci,

dan akhirnya dapat berubah menjadi tindakan kekerasan.

c. Hancurnya harta benda dan korban jiwa, jika konflik berubah menjadi tindakankekerasan

apalagi jika diikuti perusakan fasilitas umum.

d. Kemiskinan bertambah akibat tidak kondusifnya keamanan.

e. Lumpuhnya roda perekonomian jika suatu konflik berlanjut menjadi tindakankekerasan.

f. Pendidikan formal dan informal terhambat karena rusaknya sarana dan prasarana pendidikan.

g. Terjadi perubahan kepribadian. Menyebabkan dominasi kelompok pemenang

2. Dampak Tidak Langsung

Dampak tidak langsung merupakan dampak yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak

terlibat langsung dalam sebuah konflik ataupun dampak jangka panjang dari suatu konflik yang

tidak secara langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Misalnya pada kasus terorisme

bom di pulau Bali yaitu dimana seseorang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama

mengebom beberapa tempat di Bali yang penuh denganturis asing sehingga menimbulkan banyak

korban. Setelah kejadian tersebut jumlah turis yang berkunjung ke Bali menjadi lebih sedikit dari

biasanya dan secara tidak langsung akanmempegaruhi devisa pulau Bali dan mempengaruhi devisa

negara.
3. Dampak Positif Adanya Konflik

a. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group solidarity)

b. Munculnya pribadi-pribadi yang kuat dan tahan uji menghadapi berbagai situasi konflik

c. Membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.

d. Munculnya kompromi baru apabila pihak yang berkonflik dalam kekuatan yang seimbang.

Misalnya adanya kesadaran dari pihak-pihak yang berkonflik untuk bersatukembali karena

dirasakan bahwa konflik yang berlarut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama sesungguhnya bukan karena agama yang

gagal dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan manusia, tetapi para pemeluk agamalah

yang gagal dalam memahami dan memaknai agama yang dianutnya.

Salah satu contoh konflik agama di indonesia yaitu Konflik Poso. Konflik Posso adalah

serangkaian konflik yang berkelanjutan dan sangat sulit untuk menemui titiktemu yang tepat,

karena konflik Poso merupakan konflik yang mengandung SARA. Dimana dengan perbedaan

yang begitu banyak sangat mudah terjadinya suatu konflik-konflik lain.

Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah,

juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. Akan tetapi, para pemuka

agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level grassroots dan menjadi

bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa

B. Saran

Dengan pikiran yang jernih kita semua mengakui bahwa tidak ada pihak yang memperoleh

keuntungan dalam konflik. Untuk itu kita perlu kembali pada ajaran agama yang lurus. Sikap

toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk

mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis.
Dan untuk menjaga keutuhan ragam perbedaan di Indonesia khususnya kita harus memiliki

rasa saling menghormati satu sama lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Faisal. Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya. 1999.

Muhammad Imarah,Muhammad. Islam dan Pluralitas (Perbedaan dan Kemajemukan dalam

Bingkai Persatuan). Jakarta: Gema Insani, 1999.

Hamdan Daulay, Hamdan. Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik. Yogyakarta:

LESTI, 2001

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Ali, A. Mukti. Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi. Jakarta : INIS, 1992.

Diposting oleh Eristiana Sri Agustin di 17.45 Tidak ada komentar:

You might also like