You are on page 1of 136

PENGELOLAAN PARIWISATA BERBASIS

MASYARAKAT DI KAWASAN WISATA PANTAI


TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA

ABDULBASIR LANGUHA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Pariwisata Berbasis


Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Abdulbasir Languha
NIM P052020131
ABSTRACT

ABDULBASIR LANGUHA. Community Based Tourism Management in the


Beach Tourism Area of Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Under Supervision
of ANI MARDIASTUTI and E. K. S. HARINI MUNTASIB.

Beach tourism area in Tanjung Karang Pusentasi is one of tourism area in the
Donggala District, which has diversity and interesting tourism objects. Because
of this diversity, the Government of Donggala District has defined the area to
become the important area for tourism development. This tourism area is located
at the end of the Palu Bay and is directly toward the Makassar Strait, in Tovale,
Limboro, Boneoge, and Labuan Bajo villages. To develop this important tourism
area, a lot of researches need to be conducted. The objective of this research is to
study and develop community based tourism concept, based on: (1) community
perception on tourism activity and their expectation of involvement in developing
this sector; (2) traditional/local wisdom particularly on natural resources
management that can be used as a basis for a community based tourism
management; and (3) government concept and other stakeholder views related
with community based tourism management.

This research indicated that local community has a positive view/perception on


the tourism activity. This is indicated by most of community (61.43%) stated that
tourism sector has provided benefits to them. Local community has indicated
that they are interested to fully involved in the planning, managing and evaluating
tourism activity in their area. Local community has their local wisdom in the
natural resources management for agriculture and fishery uses, such as site
selection for agriculture (nompepoyu), and having break period in the natural
resources management (ombo). Additionally, there are some traditional/cultural
activities/products that potentially can be used as tourism attractions.
Government policy supports in the implementation of community based tourism
management will be the main factor to develop this initiative and to integrate
tourism as part of community activities. The development of this sector should
be based on community interests and approaches. Private sectors stated that their
involvement in this sector is by recruiting local community in their business, as
well as encouraging local community to protect their natural resources.
Meanwhile, community group and non-government organization views that there
is a need on cooperative-management between stakeholders in this tourism area.

This research has recommended that there is a need to increase local community
capacity and their organization, as well as preparation of regulation and clear
mechanism in the community involvement and other stakeholders in the tourism
management in Tanjung Karang Pusentasi.

Keywords: tourism, beach area, community based natural resource management


RINGKASAN

ABDULBASIR LANGUHA. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di


kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Dibimbing oleh
ANI MARDIASTUTI dan E. K. S. HARINI MUNTASIB.

Kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi merupakan salahsatu


kawasan wisata yang terdapat di Kabupaten Donggala dan memiliki keragaman
obyek dan daya tarik wisata. Karena keragaman potensi tersebut, pemerintah
daerah menjadikan kawasan wisata ini sebagai salahsatu kawasan unggulan.
Kawasan wisata ini terletak di ujung Teluk Palu dan berhadapan langsung dengan
Selat Makassar yang meliputi wilayah desa Tovale, desa Limboro, kelurahan
Boneoge, dan kelurahan Labuan Bajo. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari dan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat berdasarkan : (1) pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan
pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut, (2)
kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, dan
(3) konsep pemerintah serta pandangan pihak lainnya diluar masyarakat lokal
dalam kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat lokal memiliki
pandangan yang positif tentang kegiatan pariwisata. Hal ini diindikasikan oleh
sebagian besar masyarakat lokal (61,43 %), yang menyatakan bahwa kegiatan
pariwisata dapat memberikan manfaat bagi mereka. Masyarakat lokal
berkeinginan untuk terlibat secara penuh dalam kegiatan pariwisata yang
mencakup aspek perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi kegiatan pariwisata
yang berlangsung di wilayah ini. Masyarakat memiliki kearifan dalam
pemanfaatan sumberdaya alam baik untuk kepentingan pertanian maupun
perikanan, diantaranya dalam pemilihan lokasi yang tepat untuk usaha tani
(nompepoyu) dan pemberian waktu jeda terhadap pemanfaatan sumber daya alam
(ombo). Disamping itu, mereka juga memiliki kegiatan dan produk budaya yang
dapat dijadikan sebagai atraksi wisata. Faktor yang mendukung penerapan
konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat adalah dukungan kebijakan
pemerintah yang menjadikan pariwisata sebagai bagian dari aktifitas masyarakat
dan mengembangkannya dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pihak
pengusaha wisata berpandangan bahwa selama ini mereka telah melibatkan
masyarakat sebagai tenaga kerja, dan mendorong masyarakat untuk melindungi
potensi alam dan budaya sebagai daya tarik wisata. Sementara itu, kelompok dan
lembaga swadaya masyarakat berpandangan bahwa diperlukan suatu bentuk
pengelolaan bersama antar semua pihak yang berkepentingan di kawasan wisata
ini.
Penelitian ini merekomendasikan bahwa diperlukan upaya untuk
membangun kapasitas masyarakat lokal dan organisasi yang dimilikinya,
disamping mempersiapkan aturan dan mekanisme yang jelas tentang keterlibatan
masyarakat dan pihak lainnya dalam pengelolaan pariwisata di Tanjung Karang
Pusentasi

Kata kunci : pariwisata, kawasan wisata pantai, pengelolaan sumberdaya alam


berbasis masyarakat.
PENGELOLAAN PARIWISATA BERBASIS
MASYARAKAT DI KAWASAN WISATA PANTAI
TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA

ABDULBASIR LANGUHA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Tesis : Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan
Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala.

Nama : ABDULBASIR LANGUHA


NIM : P 052020131
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S
Ketua Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Pengelolaan Sumberdaya Alam
Dan Lingkungan

Dr. Drh. Hasim, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian : 1 Agustus 2008 Tanggal Lulus :


 Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS
PRAKATA
Segala puji dan syuku penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Juni sampai Agustus 2007 ini adalah pengelolaan pariwisata dengan judul
“Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung
Karang Pusentasi Donggala”.
Selesainya penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari peran kedua
pembimbing, masing-masing Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti selaku ketua komisi
pembimbing beserta Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS selaku anggota
komisi pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan saran selama
proses penyelesaian studi. Penulis menyadari bahwa mungkin saja masih
terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Berkaitan dengan itu, maka
segala hal yang berkaitan dengan kekurangan-kekurangan tersebut merupakan
kekeliruan penulis dan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
Peran masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus organisasi masyarakat,
dan aparat desa/kelurahan di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi
dalam mensukseskan kegiatan penelitian yang penulis lakukan sangatlah besar.
Demikian pula dengan aparat pemerintah Kecamatan Banawa dan Dinas
Pariwisata Kabupaten Donggala, pengusaha pariwisata dan Lembaga Swadaya
Masyarakat yang telah mendukung penulis dalam memberikan dukugan berupa
data dan informasi yang disampaikan ketika wawancara dilakukan. Penulis
berharap upaya yang telah mereka lakukan bersama penulis dalam mendiskusikan
masalah pariwisata di wilayah ini dapat memberikan dorongan dan nilai tambah
bagi upaya pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala saran
dan kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amien

Bogor, Agustus 2008

Abdulbasir Languha
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 18 Oktober 1958 sebagai


anak kedua dari tujuh bersaudara dari Ayah D. Languha dan Ibu Hanisa
(Almarhumah).
Menamatkan pendidikan masing-masing, Sekolah Dasar pada tahun 1970
di SDN No. 1 Donggala, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1973 di SMP
Negeri 1 Donggala dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1976 di SMA Negeri
Donggala. Jenjang pendidikan Strata 1 diselesaikan pada Tahun 1987 pada
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.
Sejak tahun 1990, penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Penulis memiliki
seorang isteri bernama Nuraeni dan tiga orang putra-putri masing-masing
Zainulmuttaqin Languha, Afifah Irbah Khairunnisa, dan Atikah Nur Khairunnisa.
Pada bulan Agustus 2002, penulis terdaftar sebagai mahasiswa
Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Studi Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan.
UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu


Wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala ni’mat dan karuniaNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut pertanian Bogor.
Upaya yang penulis lakukan hingga saat ini, tidak akan terlaksana dengan
baik tanpa bimbingan dan do’a dari orang tua penulis masing-masing Ayahanda
D. Languha dan Ibunda Hanisa (almarhumah). Semoga jerih payah dan kasih
sayang yang diberikannya kepada penulis dapat menempatkan mereka pada
posisi yang terhormat disisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dengan selesainya penulisan penulisan tesis ini, penulis menyampaikan
terima kasih dan penghargaan yang sangat tinggi kepada kedua pembimbing,
yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran selama proses penyelesaian
ini. Kedua pembimbing tersebut masing-masing:
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc., selaku Ketua Komisi
Pembimbing, dan
2. Ibu Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS, selaku Anggota Komisi
Pembimbing.
Disamping itu, ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Ibu Dr.
Ir. Etty Riani, MS yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada ujian
tesis penulis yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2008. Tiada sesuatu
yang dapat penulis berikan kepada mereka bertiga kecuali do’a yang penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga amal baik mereka
mendapatkan ridha dari Allah SWT dan diberikan kelapangan dalam
menjalankan tugas-tugas kesehariannya.
Selanjutnya kepada isteri tercinta, Nuraeni, serta anak-anakku
Zainulmuttaqin Languha, Afifah Irbah Khairunnisa, dan Atikah Nur Khairunnisa,
terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis berikan atas pengorbanan yang
mereka berikan selama penulis menempuh pendidikan. Demikian pula ucapan
terima kasih yang tinggi kepada adik-adikku Zohrah, Abdulhakim Languha,
Abdurrasyid Languha, dan Zalichah atas segala perhatian dan bantuan yang
selama ini diberikan kepada penulis. Semoga Allah meridhai dan memberikan
limpahan rahmatNya.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik
materil maupun moril penulis ucapkan banyak terima kasih, semoga Allah SWT
memberikan limpahan rahmatNya kepada mereka. Amien.
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kabupaten Donggala merupakan salahsatu wilayah yang terdapat di
Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 10.472 km² yang terdiri atas 16
wilayah kecamatan. Daerah ini memiliki potensi pariwisata yang sudah dikenal
hingga mancanegara seperti Taman Nasional Lore Lindu, Taman Wisata Laut
Pulau Pasoso, dan Pantai Tanjung Karang. Disamping lokasi-lokasi tersebut,
daerah ini juga memiliki potensi lokasi wisata lainnya yang secara tradisional
sudah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti Air Terjun Loli, Air Terjun Vera,
Air Panas Mantikole, Pantai Parimpi, Pantai Pusentasi, Danau Talaga, dan Danau
Rano.
Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Donggala
menetapkan pariwisata sebagai salahsatu sektor unggulan disamping pertanian,
perkebunan, dan perikanan (Pemda Kabupaten Donggala, 2005). Rencana tata
ruang Kabupaten Donggala tahun 1999-2009 menetapkan lokasi-lokasi tersebut
sebagai kawasan pengembangan pariwisata. Penetapan tersebut didasarkan pada
minat masyarakat untuk berkunjung juga disebabkan lokasi-lokasi tersebut
memiliki pemandangan alam yang indah, potensi budaya yang dimiliki oleh
masyarakat sekitarnya, dan potensi flora dan fauna yang dimilikinya (Bappeda
Kabupaten Donggala, 1999).

Salahsatu lokasi tujuan wisata di Kabupaten Donggala yang saat ini


sedang berkembang adalah Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang dan Pusentasi
yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa. Kegiatan pariwisata di kawasaan
pantai ini telah berlangsung sejak lama, dan secara tradisional merupakan lokasi
wisata masyarakat Donggala dan sekitarnya, termasuk yang berasal dari Kota
Palu. Karena potensi alam yang dimiliki, maka saat ini lokasi tersebut telah
dikelola oleh pemerintah dan swasta serta dijadikan sebagai salah satu lokasi
kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang cukup dikenal terutama yang
berasal dari Eropa.
Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala dalam rencana strategis
pembangunan pariwisata telah menetapkan salahsatu arahan kebijakan
2

pembangunan pariwisata, yaitu meningkatkan peran aktif masyarakat di dalam


mengelola dan mengembangkan kegiatan pariwisata (Disparsenibud Donggala,
2002). Kebijakan ini memang sangat beralasan karena pada dasarnya kawasan
yang dikembangkan menjadi obyek wisata tersebut merupakan wilayah usaha
masyarakat setempat yang dilakukan dengan berbagai aktifitas seperti perikanan,
pertanian dan peternakan. Disamping itu pada kawasan ini juga terdapat kegiatan
industri rumah tangga penduduk setempat berupa pembuatan sarung tenun
Donggala, yang merupakan ciri khas sarung tenunan lokal Sulawesi Tengah serta
potensi sosial budaya masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi produk-
produk wisata. Meskipun demikian, berdasarkan studi yang telah dilakukan pada
lokasi wisata Tanjungkarang dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat belum terlibat langsung pada kegiatan pengelolaan pariwisata
(Agusniatih, 2002).

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha


untuk menggali dan mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep
pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, terutama yang berkaitan dengan
aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, konsep dan kebijakan pemerintah
serta keterlibatan pihak lain diluar masyarakat dan pemerintah seperti pihak
swasta yang bergerak di bidang pariwisata dan lembaga swadaya masyarakat.
Studi ini beranjak dari asumsi bahwa berbagai persoalan yang timbul dari suatu
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pariwisata, disebabkan tidak
dilibatkannya masyarakat berdasarkan kepentingan dan potensi sosial budaya
yang dimilikinya. Padahal, menurut Huguinen (2000) masyarakat memiliki
pengalaman empirik dan pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi sumber
daya alam yang terdapat disekitar lingkungan kehidupannya. Pengetahuan
tersebut kemudian, menurut Flyman (2002) membentuk sistim pengelolaan oleh
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupannya.

Salah satu sifat dari kegiatan pariwisata adalah “konsumsi dilakukan di


tempat dan pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga wisatawan yang
datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan
budaya (Cooper et al., 1999). Hal ini menunjukkan bahwa kepariwisataan sangat
potensial untuk dikembangkan pada saat krisis karena disamping untuk
3

meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan
mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi
dan lapangan kerja bagi masyarakat (Sashidaran et al., 2002).

Akibat positif dari pembangunan pariwisata tersebut ternyata juga


menghasilkan berbagai akibat negatif yang berkaitan dengan aspek sosio-kultural
dan lingkungan pada banyak lokasi tujuan wisata, terutama di negara-negara
sedang berkembang termasuk Indonesia. Akibat-akibat negatif yang diakibatkan
oleh kegiatan pariwisata dapat berupa peningkatan harga lahan, degradasi
budaya dan akulturasi, masuknya spesies asing ke dalam flora dan fauna lokal,
kerusakan lokasi warisan budaya, kerusakan terumbu karang, sampai pada
pencemaran akibat pembuangan sampah dan kotoran pada lokasi tujuan wisata
yang terkenal dan padat pengunjung (Sashidaran et al., 2002). Keadaan tersebut
hanya merupakan beberapa akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan
pariwisata. Akibat lainnya yang sangat penting terutama bagi kelestarian potensi
sumber daya alam yang menjadi salahsatu daya tarik wisata adalah perebutan
atau konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam oleh berbagai pihak
seperti masyarakat lokal, pihak swasta yang berasal dari luar dan pemerintah.

Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif dan konflik
tersebut adalah dengan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat. Karena kegiatan pariwisata merupakan kegiatan usaha yang menitik
beratkan aspek sumberdaya alam dan budaya sebagai bahan baku produknya
maka pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat dapat
dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengkaji dan mengembangkan konsep
tersebut. Menurut Adhikari (2001) pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat, termasuk didalamnya pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat,
merupakan suatu konsep pengelolaan yang dilakukan oleh, untuk, dan dengan
masyarakat lokal dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup, jaminan dan
penguatan masyarakat lokal serta untuk meningkatkan upaya perlindungan
terhadap sumberdaya alam tersebut. Sehingga pariwisata berbasis masyarakat
dapat dipandang sebagai suatu alat untuk konservasi sumberdaya alam dan
budaya serta untuk pembangunan masyarakat (Harris dan Vogel, 2004) .
4

1.2. Rumusan Masalah


Penerapan konsep pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu
alternatif untuk mengatasi akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan
pariwisata akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh konsep tersebut mendapat
dukungan dari kondisi sosio-kultural masyarakat setempat, kebijakan pemerintah
dan keterlibatan pihak lain seperti swasta dan LSM yang berkepentingan terhadap
kegiatan tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pertanyaan pokok yang diangkat
didalam penelitian ini adalah ” bagaimana bentuk pengelolaan pariwisata
berdasarkan persepsi masyarakat yang dapat dikembangkan ”, yang dibagi
menjadi beberapa pertanyaan dan diharapkan dapat mendukung ditemukannya
jawaban bagi pertanyaan pokok tersebut, sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan
harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.
2. Sejauhmana masyarakat masih memiliki kelembagaan (pranata) sosial,
terutama dalam kaitannya dengan pengelolaaan sumber dayaalam yang
dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berdasarkan
persepsi masyarakat.
3. Bagaimana pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal
memandang pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

1.3. Kerangka Pemikiran


Kegiatan pariwisata sebagai salahsatu bentuk pemanfaatan potensi
sumberdaya alam yang tersedia saat ini telah semakin berkembang.
Perkembangan ini melibatkan semua komponen yang terdapat didalam suatu
masyarakat, baik masyarakat lokal maupun individu ataupun kelompok
usahawan/swasta yang berasal dari luar suatu wilayah tertentu, termasuk
pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan pembangunan.
Kemajuan dari kegiatan pariwisata telah memberikan banyak manfaat
bagi masyarakat dan pemerintah. Manfaat tersebut disamping untuk
meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan
mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi
5

dan lapangan kerja bagi masyarakat. Pada kenyataannya disamping memberikan


manfaat, kegiatan pariwisata juga memberikan akibat yang negatif terutama bagi
masyarakat yang terdapat di sekitar wilayah/lokasi kegiatan pariwisata. Dengan
kata lain, bahwa perkembangan kegiatan pariwisata di suatu wilayah/lokasi
belum tentu dapat dirasakan oleh semua pihak, terutama masyarakat lokal, yang
disebabkan oleh konsep atau sistim pengelolaan yang belum memberikan peluang
bagi semua pihak untuk mengambil peran dan mendapatkan manfaat dari
kegiatan tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, suatu konsep yang memberikan kesempatan
kepada semua pihak terutama masyarakat lokal, telah ditawarkan dan
dikembangkan pada berbagai tempat didunia, yang disebut dengan konsep
pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Menurut Harris dan Vogel (2004)
konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya adalah sebuah
pendekatan pengelolaan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat
sebagai pemeran utama dalam pengambilan keputusan-keputusan pengelolaan.
Konsep tersebut dikembangkan berdasarkan pada persepsi masyarakat terhadap
usaha yang akan dikembangkan. Peran masyarakat tersebut tidak terlepas dari
interaksinya dengan pemerintah dan pihak lain yang berasal dari luar. Disamping
itu potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial
ekonomi dan budaya menjadi modal bagi pengembangan konsep tersebut.
Konsep pariwisata berbasis masyarakat menunjuk pada adanya dua pilar
sosial sebagai subyek pelaku, yaitu pengusaha wisata dan masyarakat lokal.
Kegiatan pariwisata berbasis masyarakat adalah proses interaksi sinergis
kekuatan-kekuatan sosial ekonomi dari kedua pilar tersebut serta keberadaan
pemerintah sebagai sebagai pemegang kendali kebijakan. Secara skematis,
kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
6

Potensi sumberdaya
alam dan sosial
budaya masyarakat

Pemerintah Masyarakat lokal Pengusaha wisata

Konsep dan Persepsi, harapan,


Persepsi/pandangan
kebijakan dan potensi
pengusaha dan LSM
pemerintah masyarakat

Pengelolaan
pariwisata berbasis
masyarakat

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.

1.4. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan
konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan :
1. Pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan
harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.
2. Kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam
yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat.
3. Konsep pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal dalam
kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat.
7

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi :


1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan perencana lainnya dalam
melakukan perencanaan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
2. Sebagai sumber informasi bagi kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan sumberdaya
alam yang berbasis masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata
Pariwisata merupakan suatu kegiatan perjalanan sementara seseorang ke
tempat lain dari tempat tinggal dan tempat kerjanya serta melakukan berbagai
kegiatan selama berada ditempat tujuan dan memperoleh kemudahan dalam
penyediaan berbagai kebutuhan yang diperlukan (Mathieson dan Wall, 1992).
Burkart dan Medik (1981) dalam Ross (1998) menggambarkan bahwa
kegiatan tersebut dilakukan oleh para wisatawan dengan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mengadakan perjalanan ke dan
tinggal diberbagai tempat tujuan.
2. Tempat yang dituju dalam kegiatan tersebut berbeda dari tempat tinggal
dan tempat kerjanya sehari-hari. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan
tidak sama dengan kegiatan penduduk yang berdiam dan bekerja ditempat
tujuan wisatawan.
3. Orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut (wisatawan) bermaksud
pulang kembali dalam beberapa hari atau bulan. Karena itu perjalanannya
bersifat sementara dan berjangka pendek.
4. Perjalanan dilakukan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk menetap
ditempat tujuan atau bekerja untuk mencari nafkah.
Spillane (1987) memberikan gambaran bahwa pariwisata merupakan suatu
perjalanan dari satu tempat ketempat lain, bersifat sementara, dilakukan secara
perorangan maupun secara kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau
keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial,
budaya, alam dan ilmu. Disamping itu, menurut Cooper et al., (1999) kegiatan
pariwisata memiliki suatu kelebihan dimana “konsumsi dilakukan di tempat dan
pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga dengan demikian wisatawan
yang datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan
budaya.
Dari gambaran-gambaran yang dikemukakan tersebut dapat dikatakan
bahwa pariwisata merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya sekedar dilakukan
untuk melakukan perjalanan dan menikmati suasana di tempat tujuan tetapi juga
10

memberi makna yang luas. Oleh karenanya kegiatan pariwisata juga memiliki
dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan dan berbagai interaksi antara
berbagai aspek kehidupan manusia. Berkaitan hal ini, Pendit (2003)
mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan sebuah industri yang
didalamnya terdapat setidaknya sepuluh unsur pokok yaitu politik/kebijakan
pemerintah, perasaan ingin tahu yang melahirkan keinginan untuk berwisata, sifat
ramah tamah, aksesibilitas, akomodasi, transportasi, harga, publisitas dan
promosi, dan kesempatan berbelanja bagi wisatawan.
Secara garis besar, pariwisata dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu
pariwisata alam dan pariwisata budaya. Pariwisata alam atau nature tourism atau
nature-based tourism adalah seluruh bentuk pariwisata yang secara langsung
tergantung pada sumber daya alam yang belum berkembang/dikembangkan,
termasuk pemandangan, topografi, perairan, tumbuhan dan hewan liar (World
Conservation Union, 1996 dalam Tribuwani, 2002). Selanjutnya Raharjo (2000)
dalam Winarso (2004) mengemukakan bahwa kegiatan wisata alam memiliki
prinsip-prinsip yaitu kontak dengan alam, pengalaman yang bermanfaat secara
pribadi maupun sosial, bukan merupakan mass tourism, mencari tantangan fisik
dan mental, interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat, adaptif
terhadap kondisi akomodasi pedesaan, toleran terhadap ketidaknyamanan,
partisipasi aktif, dan lebih mengutamakan pengalaman dibanding kenyamanan.
Berdasarkan hal tersebut, maka secara prinsip pariwisata alam tidak dapat
dipisahkan begitu saja dengan pariwisata budaya. Meskipun demikian, wisata
budaya dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan perjalanan yang semata-mata
hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya disuatu
tempat tertentu (McKercher, 2002 dalam Suranti, 2005).

2.2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat


Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan suatu
proses keterlibatan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam dimana
mereka menggantungkan hidupnya (International Institute of Rural
Reconstruction, 1998). Adhikari (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan
sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan pendekatan pengelolaan
sumberdaya alam yang dilakukan oleh, untuk dan dengan masyarakat lokal yang
11

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan penguatan masyarakat lokal serta
dalam rangka perlindungan terhadap sumberdaya alam.
Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat
tergantung pada partisipasi masyarakat lokal dan hal tersebut dapat berlangsung
bila ada manfaat yang nyata diperoleh dari keterlibatan tersebut, akses yang tidak
terhambat serta status akan hak kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut
(Adhikari, 2001). Hal ini berarti bahwa masyarakat harus memiliki
tanggungjawab yang penuh dan otonomi terhadap perlindungan dan pemanfaatan
sumberdaya alam (Uphoff, 2002)
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan tidak
hanya ditentukan oleh penggunaan teknologi yang tepat, tetapi juga sangat
ditentukan oleh sejauhmana keterlibatan institusi lokal (Rasmussen dan Meinzen-
Dick, 1995 ; Selman, 2001). Keterlibatan masyarakat dan institusi lokal
diharapkan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan dan terbentuknya
konsensus yang berkaitan dengan keadaan lingkungan saat itu (Innes, 1996;
Selman, 2001). Selanjutnya, keberhasilan pendekatan partisipasi lokal akan
sangat ditentukan oleh adanya modal sosial (social capital) yang terdiri dari
organisasi-organisasi masyarakat, struktur masyarakat dan hubungan antar
individu yang terbangun didalam masyarakat tersebut (Selman, 2001).
Konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat seringkali
diasosiasikan dengan berbagai istilah yang berkaitan seperti pengelolaan
sumberdaya masyarakat (community resource management), pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (community-based coastal resource
management), kehutanan masyarakat (community forestry), co-management
(Carr et al., 1998), collaborative management (Allmendinger, 2002).
Konsep-konsep tersebut pada dasarnya ditujukan agar dapat
mengakomodasi peranserta masyarakat yang bermukim disekitar wilayah
pengelolaan. Perencanaan pengelolaan lingkungan dan upaya meningkatkan
pembangunan berkelanjutan pada tingkat lokal akan sangat ditentukan oleh
partisipasi aktif masyarakat sekitar yang akan dipengaruhi oleh upaya
pengelolaan tersebut (Selman, 2001).
12

2.3. Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat


Pariwisata berbasis masyarakat adalah pariwisata yang secara de facto
direncanakan dan dikelola oleh suatu kelompok individu/rumahtangga yang
terdiri dari masyarakat sebagai suatu kelompok usaha komunal. Kegiatan tersebut
dapat pula dikelola oleh suatu perusahaan swasta dimana agenda kegiatannya
disusun oleh masyarakat (Sharma, 1998b dalam Godde, 1998). Selanjutnya,
Ngece (2002) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata sebagai kegiatan yang
berbasis masyarakat bila masyarakat lokal memiliki kontrol yang kuat dan terlibat
didalam kegiatan pariwisata dimana sebagian besar, jika tidak keseluruhan,
manfaatnya dapat tinggal dan diperoleh masyarakat.
Beberapa alasan yang mendasari betapa pentingnya posisi dan peran
masyarakat dalam pengelolaan pariwisata, seperti yang dikemukakan oleh Godde
(1998) sebagai berikut :
Pertama ; adanya peningkatan demand akan wisata terhdap sumber-
sumber alam yang terdapat dilingkungan pada umumnya menunjukan adanya
tekanan yang besar terhadap peran pengelolaan oleh masyarakat,
Kedua ; kegiatan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan akan
meningkatkan kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat,
Ketiga ; pariwisata berbasis masyarakat dapat memenuhi keinginan kita
akan adanya suatu identitas budaya masyarakat yang diharapkan dapat
menghambat akibat negatif dari pariwisata.
Keempat ; pariwisata berbasis masyarakat juga dapat menciptakan suatu
struktur perencanaan, implementasi dan monitoring kegiatan pariwisata yang
efektif serta untuk memudahkan dalam menentukan skala aktifitas ekonomi yang
tepat.
Harris dan Vogel (2004) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata yang
berbasis masyarakat dapat memberikan kontribusi dan insentif bagi perlindungan
alam dan budaya disamping memberikan kesempatan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Oleh karena itu, konsep pariwisata berbasis masyarakat dapat
dikatakan ada apabila keputusan mengenai aktifitas wisata dan pengembangannya
dikendalikan oleh masyarakat setempat. Menurut Godde (1998) masyarakat
13

berperan sebagai pemimpin dalam perencanaan, pengelolaan dan pemilik dari


kegiatan wisata tersebut.

Beberapa ciri-ciri pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang


dikemukakan oleh Harris dan Vogel (2004) adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan pariwisata dijalankan dan berdasarkan persetujuan masyarakat
lokal. Berkaitan hal ini, masyarakat lokal harus berpatisipasi dalam
perencanaan dan pengelolaan wisata.
2. Diutamakan pelibatan masyarakat daripada pelibatan individu. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelibatan secara individu akan
lebih memungkinkan terjadinya gangguan sosial.
3. Adanya pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat lokal.
Idealnya hal ini juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan sosial
masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan.
4. Menghormati budaya tradisional dan struktur sosial setempat serta
dilakukan dengan ramah lingkungan.

2.4. Pengembangan Masyarakat


Masyarakat adalah suatu kata yang memiliki berbagai macam makna dan
penggunaan. Pada umumnya, masyarakat dipandang sebagai kumpulan orang-
orang yang bermukim di suatu tempat tertentu, atau suatu populasi yang memiliki
suatu karakter yang sama (Nisbet, 1969 dalam Doe dan Khan, 2004). Namun
demikian, Reid (1999) dalam USDA (2005) mengemukakan bahwa masyarakat
dapat pula didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya bersama, bahasa, dan
kepercayaan ataupun kepentingan bersama (yang sering disebut sebagai
communities of interest). Selanjutnya Agrawal dan Gibson (1999) mengemukakan
bahwa masyarakat terbentuk dari suatu unit spasial yang kecil, memiliki struktur
sosial yang homogen, dan memiliki kepentingan bersama serta norma yang sama.
Kata pengembangan dalam istilah pengembangan masyarakat memiliki
pengertian yang sama dengan pembangunan (development). Dengan demikian,
maka pengembangan masyarakat (community development) merupakan suatu
upaya yang dilakukan untuk membangun kemampuan masyarakat dalam berbagai
aspek. Frank dan Smith (1999) mengemukakan bahwa pengembangan
masyarakat merupakan suatu proses perubahan yang terencana menyangkut hajat
14

hidup masyarakat dalam segala aspek (ekonomi, sosial, lingkungan, dan budaya).
Upaya pengembangan masyarakat tersebut menurut Robert D. Putnam (Frank dan
Smith , 2005) dibangun berdasarkan atas empat sumberdaya yang penting yaitu
modal sosial, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan finansial.
Pengembangan masyarakat diyakini sebagai suatu proses pembangunan
yang lebih bersifat partisipatif dan pemecahan masalah dilakukan secara bersama-
sama (cooperative) oleh semua pihak yang berkepentingan (Fuller dan Reid, 1998
dalam Pinel, 1999). Dengan demikian berarti bahwa aktifitas pengembangan
masyarakat merupakan upaya yang sangat tepat dalam rangka pemberdayaan
(empowerment) masyarakat, terutama masyarakat lokal yang masih memiliki
berbagai keterbatasan.

2.5. Persepsi dan Partisipasi


Persepsi pada umumnya menjadi dasar bagi sikap dan perilaku seseorang
atau sekelompok masyarakat. Adiputro (1999) mengemukakan bahwa persepsi
merupakan pendapat, sikap dan prilaku yang bersifat pribadi dan subyektif yang
mempunyai arti penting dan kedudukan yang kuat dalam diri manusia.

Menurut Sarwono (2002) persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses


pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut
adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya).
Sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Bagaimana
persepsi sesorang tentang sesuatu sangat tergantung pada komunikasi atau
seberapa jauh terdapat hubungan-hubungan antara keduanya.
Perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya menurut
Sarwono (2002) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1) Perhatian ;
rangsangan yang ada di sekitar kita tidak kita tangkap sekaligus, tapi kita hanya
menfokuskan pada satu atau dua obyek saja. Perbedaan fokus antara satu orang
dengan yang lainnya akan menyebabkan perbedaan persepsi, 2) Set ; adalah
harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul, misalnya seorang pelari
yang siap digaris start terhadap set bahwa akan terdengar letusan pistol disaat ia
harus berlari, 3) Kebutuhan ; kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap
akan mempengaruhi persepsi orang tersebut, 4) Sistem nilai seperti adat istiadat
dan kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap
15

persepsi, dan 5) Ciri kepribadian misalnya watak, karakter, kebiasaan akan


mempengaruhi pula persepsi sesorang.

Partisipasi secara sederhana memiliki arti peran serta seseorang atau


sekelompok orang ataupun sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan oleh pihak yang berperan tersebut (Sumardjo,
2003). Sedangkan Sastroepoetro, (1988) dalam Illahi, (1998)menyatakan
partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggungjawab
terhadap kepentingan untuk mencapai tujuan.

Partisipasi masyarakat akan memiliki nilai bagi pembangunan bila


masyarakat memahami arti dan tujuan partisipasi mereka. Oleh karena itu
pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan mengandung unsur edukasi.
Partisipasi merupakan kegiatan yang bersifat sukarela yaitu adanya kebebasan
dan keinginan yang dilandasi oleh kesadaran individu atau masyarakat untuk
terlibat dan ikut serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat memiliki
tingkatan yang beragam mulai dari sekedar memperoleh informasi hingga
terbangunnya inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pada Tabel 1
dikemukakan tingkat/level partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994).

Tabel 1. Tingkatan/level partisipasi masyarakat

Tipologi Komponen dari masing-masing tipe

Partisipasi pasif Masyarakat berpartisipasi karena diberitahu apa yang akan


dan telah terjadi. Pengarahan dilakukan oleh penguasa
ataupun pejabat proyek, respon masyarakat tidak menjadi
pertimbangan. Informasi yang diberikan adalah milik para
profesional dari luar masyarakat setempat.
Partisipasi dalam Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan
memberikan yang diajukan oleh peneliti dari luar maupun manager
informasi proyek dengan menggunakan kuesioner, survei, ataupun
pendekatan sejenis. Mereka tidak mempunyai kesempatan
untuk mempengaruhi proses, karena hasil penelitian ataupun
desain proyek tidak diberitahukan atau dicek kebenarannya.
Partisipasi dengan Masyarakat berpartisipasi dengan cara diminta pendapatnya,
konsultasi dan agen dari luar mendengarkan pandangan masyarakat
tersebut. Agen dari luar mendefinisikan masalah dan cara
penyelesaiannya, serta dapat mengubahnya setelah
mengetahui respon masyarakat. Proses konsultasi tersebut
tidak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, dan
para profesional tidak wajib mengikuti pandangan.
16

Partisipasi untuk Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan sarana,


insentif material tenaga kerja dengan imbalan seperti makanan, uang, atau
insentif material lainnya. Masyarakat setempat terlibat
dalam kegiatan itu tetapi tidak terlibat didalam proses
belajar. Partisipasi tersebut biasanya akan berhenti dengan
selesainya proyek.
Partisipasi Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok
fungsional untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yang
berhubungan dengan proyek. Inisiatif proyek dapat berasal
dari luar masyarakat. Keterlibatan mereka biasanya tidak
sejak awal atau tahap perencanaan, namun baru mulai
setelah keputusan utama diambil. Pada partisipasi jenis ini,
kelompok yang terbentuk cenderung tergantung pada
inisiatif eksternal dan fasilitator, tetapi juga bisa menjadi
mandiri.
Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, yang
kemudian diikuti dengan rencana aksi dan pembentukan
kelompok lokal atau memperkuat yang telah ada. Cara ini
cenderung dilaksanakan melibatkan banyak pihak dengan
metode interdisipliner, yang mencari berbagai perspektif dan
menggunakan proses belajar terstruktur ataupun sistematis.
Kelompok ini mengontrol pengambilan keputusan lokal, dan
juga orang (lokal) memiliki kepedulian dalam pengelolaan
program.
Mobilisasi diri Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif
sendiri/Mandiri yang bebas dari institusi eksternal untuk membuat
perubahan. Mobilisasi mandiri dan kegiatan bersama
dilakukan untuk mengubah keadaan dan pembaharuan
dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan.
Sumber : Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997).
III. GAMBARAN UMUM WILAYAH

3.1. Letak Geografis


Kawasan Wisata Tanjungkarang-Pusentasi merupakan bagian dari
wilayah Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah.
Kecamatan Banawa adalah salahsatu dari 19 kecamatan yang terdapat di
Kabupaten Donggala. Wilayah ini membentang di sepanjang pesisir pantai mulai
dari bagian barat Teluk Palu hingga Selat Makassar yang membentang dari arah
utara ke selatan dengan panjang pantai ± 35 kilometer.
Kecamatan Banawa, yang saat ini merupakan ibukota Kabupaten
Donggala, terletak antara 0°9´-0°1´ LS dan 119°34´-119°10´ BT dengan batas
fisik wilayah yaitu :
- Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Palu,
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banawa Selatan,
- Sebelah timur berbatasan dengan Kota Palu, dan
- Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Kecamatan Banawa memiliki luas 213,39 km², yang terdiri dari 17 desa
dan kelurahan. Semua desa dan kelurahan dapat dilalui dengan kendaraan roda
empat, sehingga mempermudah hubungan antara satu desa/kelurahan ke ibukota
kecamatan dan dengan desa/kelurahan lainnya.
Secara khusus, Kawasan Wisata Tanjung Karang-Pusentasi mencakup
dua wilayah Kelurahan dan dua Desa yaitu Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan
Boneoge, Desa Limboro, dan Desa Tovale. Meskipun demikian, fokus kegiatan
pariwisata hanya terdapat pada lokasi Tanjung Karang yang merupakan bagian
dari wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, dan Dusun Kaluku
yang merupakan bagian dari wilayah Desa Limboro, serta salah satu lokasi yang
dikenal dengan nama Pusentasi terletak diujung Desa Tovale dan tidak dihuni
oleh masyarakat. Kawasan ini berada pada ujung barat Teluk Palu, yang
memanjang dari utara ke selatan sepanjang ± 10 kilometer dan sebagian besar
terletak di Selat Makassar.
18

Pusentasi

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

3.2. Iklim dan Curah hujan


Sebagaimana dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kabupaten
Donggala memiliki dua musim yaitu musim panas dan musim hujan. Musim
panas terjadi antara bulan April sampai September, sedangkan musim hujan pada
bulan Oktober sampai Maret.
Hasil pencatatan suhu udara pada Stasiun Udara Mutiara Palu pada tahun
2005 bahwa suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Juli (34,0° C)
dan suhu udara maksimum terendah terjadi pada bulan Nopember (31,6° C).
Sementara suhu rata-rata minimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu
23,8° C, sedangkan suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Juni yang
mencapai 22,1° C (Badan Meteorologi dan Geofisika Palu, 2006).
Kelembaban udara yang tercatat pada stasiun yang sama berkisar antara
73 – 82 persen. Kelembaban udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Pebruari
yang mencapai 82 persen, sedangkan kelembaban udara rata-rata terendah terjadi
19

pada bulan Juli dan Agustus yaitu 73 persen. Curah hujan pada tahun 2005 yaitu
antara 27-281 mm perbulan atau rata-rata 148,08 mm perbulan, sementara jumlah
hari hujan berkisar anatara 4-13 hari perbulan atau rata-rata 8,25 hari perbulan.
Penyinaran matahari rata-rata 69%, dan penguapan rata-rata 6,14 mm/hari.
Tabel 2. Keadaan curah hujan di Kecamatan Banawa tahun 2006
Lokasi pengukuran Bulan Hari hujan Curah hujan (mm)
Banawa Januari 12 281
Pebruari 8 125
Maret 11 200
April 9 183
Mei 7 265
Juni 5 81
Juli 13 177
Agustus 4 27
September 6 35
Oktober 4 29
Nopember 11 202
Desember 9 172
Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

3.3. Kondisi hidrologi


Secara umum, keadaan hidrologi di Kecamatan Banawa sama dengan
kecamatan lainnya di Kabupaten Donggala. Di Kecamatan Banawa terdapat
beberapa buah sungai yang keadaan airnya sangat dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya curah hujan. Sungai-sungai tersebut masing-masing terdapat di Desa
Loli Oge, Loli Tasiburi, Kabonga Besar, Limboro dan Tovale, serta satu buah
sungai yang membelah kota Donggala.
Khusus untuk ketiga lokasi yang masuk kedalam kawasan wisata yaitu
Tanjung Karang, Boneoge dan Dusun Kaluku tidak terdapat sungai. Selain
Tanjung Karang, kedua lokasi tersebut memiliki sumber air tanah yang
dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluannya sehari-hari dengan menggali
sumur di sekitar pemukiman mereka. Sementara, Tanjung Karang merupakan
wilayah daratan yang menjorok ke laut, dengan wilayah dataran yang relatif
sempit dan tidak memiliki sumber air tawar berupa air tanah seperti yang dimiliki
oleh kedua lokasi lainnya. Karenanya untuk kebutuhan air bagi warga dan
wisatawan sangat tergantung pada suplai air dari Perusahaan Daerah Air Mimum
(PDAM) di Donggala.
20

3.4. Geologi dan Topografi


Kawasan Kecamatan Banawa merupakan bagian dari wilayah Dataran
Bambamua-Tanah Mea, yang secara geologi terdiri dari endapan-endapan pantai
dan alluvial baru yang berasal dari sedimen yang lebih tua. Tanahnya bertekstur
sedang dengan drainase dari lambat sampai agak baik. Topografi dari datar
sampai bergelombang. Dataran-dataran yang lebih sempit/kecil terdapat di
wilayah pesisir pantai.
Kawasan pesisir kecamatan Banawa merupakan dataran yang berbatasan
dengan laut, dengan ketinggian antara 0 - 100 meter dari permukaaan laut.
Topografi relatif sedang dengan kemiringan tanah 2 – 15 %. Disepanjang pantai
membentang pasir putih dan rataan terumbu karang (reef flat), yang merupakan
habitat beberapa jenis ikan karang (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi
Sulawesi Tengah, 2003). Keadaan topografi wilayah di kawsan wisata Tanjung
Karang Pusentasi tersebut dikemukakan pada Tabel berikut.

Tabel 3. Luas wilayah dan keadaan topografi di wilayah penelitian


Bentuk permukaan tanah (%) Ketinggian
Luas
Desa/Kelurahan dari
(km²) Dataran Perbukitan Pegunungan permukaan
laut (meter)
Boneoge 5,50 40 60 - 0 – 250
Labuan Bajo 5,50 50 50 - 0 – 250
Limboro 23,46 60 40 - 0 – 200
Sumber: Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

3.5. Tipologi dan Ekosistem Pantai


Kawasan pantai Tanjung Karang - Pusentasi sebagian didominasi oleh
jenis batuan lepas (rawan longsor) dan karang pantai seperti yang terdapat pada
bagian ujung selatan Boneoge sampai Dusun Kaluku, Limboro, sedangkan pantai
yang landai dan berpasir sebagian besar terdapat pada bagian tengah hingga utara
Desa Boneoge dan Tanjung Karang.
Di bagian utara kawasan ini terdapat terumbu pantai yang relatif sempit,
dan rataan tengah yang relatif lebar. Disamping itu terdapat pula suatu patch reef
(gosong) dengan lebar sekitar 100 meter dan kedalaman antara 1 – 2 meter pada
saat air surut. Gosong tersebut memanjang dari Tanjung Karang ke Wilayah
21

Boneoge. Di kawasan ini, khususnya di Boneoge dan Dusun Kaluku (Limboro)


sebagian ditumbuhi oleh lamun dari jenis Enhallus acoroides, Thalassia
hemprichii, dan Syringgoinium sp. Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan
Kelautan Sulawesi Tengah (2003) pada beberapa tempat telah terjadi kerusakan
karang yang disebabkan oleh aktifitas manusia berupa pengambilan batu karang
untuk bahan bangunan dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
peledak dan potasium. Disamping itu kerusakan yang terjadi juga disebabkan
oleh organisme pemangsanya yaitu bintang laut bermahkota duri atau
Acanthaster plancii.
Pantai di kawasan ini umumnya ditumbuhi oleh vegetasi hutan pantai
seperti jenis Ketapang (Terminalia catappa), Beringin (Ficus benyamina), dan
Bayam (Intsia bijuga). Pada bagian lain sebagian besar ditumbuhi oleh pohon
kelapa milik masyarakat. Disamping itu juga terdapat beberapa jenis burung
seperti burung Gosong (Megapodius bernsteinee), Dara Laut (Sterna hirundo),
Elang Perut Putih (Haliaeetus leucogaster), dan Nuri atau Betet kelapa punggung
biru (Tanygnathus sumatranus). Sedangkan jenis fauna yang lainnya adalah
Biawak (Varanus sp.), Musang Sulawesi (Macrogalidea Musschenbroeki), dan
Penyu (Celonia sp.) (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah, 2003).

3.6. Sosial Ekonomi dan Budaya


3.6.1. Penduduk
Secara keseluruhan penduduk yang mendiami kelurahan dan desa di
kawasan wisata ini berjumlah 1424 KK atau 6799 jiwa. Jumlah penduduk pada
masing-masing kelurahan/desa diwilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan rata-rata


per rumah tangga
Luas Rumah Rata-rata
Desa/Kelurahan Penduduk Rata-rata
wilayah tangga per Rumah
per km²
(km²) Tangga
Limboro 5,50 366 1.565 4 521
Labuan Bajo 5,50 394 2.371 6 431
Boneoge 23,46 663 2.863 4 67
Jumlah 1.423 6.799
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
22

Jika dilihat jumlah penduduk sebanyak 6.799 jiwa dan dibandingkan


dengan luas wilayah (37,94 km²), secara geografis kepadatan penduduk pada
kawasan ini adalah 179,20 jiwa per km². Penduduk yang bermukim di wilayah
ini memiliki mata pencaharian yang beragam, tetapi sebagaian besar diantara
mereka bekerja sebagai nelayan. Gambaran tentang keragaman mata pencaharian
penduduk disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Mata pencaharian penduduk di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi


Mata pencaharian
Desa/Kelurahan Buruh dan
Petani Peternak Nelayan Dagang
lainnya
Limboro 177 6 5 25 110
Labuan Bajo 21 5 195 45 400
Boneoge 125 10 132 12 247
Jumlah 323 21 332 82 757
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Bila dilihat pada tabel tersebut, sebagian besar masyarakat di kawasan ini
menggantungkan hidupnya sebagai buruh dan lainnya yang terdiri dari kegiatan-
kegiatan sebagai buruh baik di pelabuhan Donggala maupun sebagai buruh
bangunan, pegawai negeri, sopir, serta beberapa kegiatan jasa baik sebagai sopir
angkutan maupun sebagai ojek. Namun jika dicermati maka pekerjaan sebagai
nelayan menempati posisi yang tertinggi disusul oleh pekerjaan sebagai petani,
dan peternak.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat di wilayah
penelitian, sebagian penduduk memiliki pekerjaan ganda seperti nelayan dan
peternak, nelayan dan petani, ataupun nelayan dan sesekali bekerja sebagai buruh
pelabuhan atau bangunan dan beberapa pekerjaan lainnya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Hal tersebut terutama dilakukan pada saat musim tertentu
yaitu musim barat ketika mereka tidak dapat melaut karena cuaca yang tidak
memungkinkan. Keadaan tersebut dapat berlangsung selama kurang lebih tiga
bulan yaitu pada bulan Desember, Januari, dan Pebruari.
23

3.6.2. Pendidikan dan Kesehatan


Pendidikan dan kesehatan merupakan prasyarat bagi terciptanya
masyarakat yang sejahtera, disamping aspek-aspek yang lainnya. Di wilayah ini,
fasilitas pendidikan dan kesehatan terdapat pada semua desa dan kelurahan
meskipun tingkatnya disesuaikan dengan kondisi dan status wilayahnya. Keadaan
sarana pendidikan dan kesehatan di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Sarana pendidikan dan kesehatan di Kawasan Tanjung Karang


Pusentasi

Tingkat pendidikan Sarana kesehatan


Desa/Kelurahan Pustu/
TK SD SLTP SMA Pos KB
Polindes
Limboro 1 1 1 - 1 1
Labuan Bajo 2 4 - - 1 1
Boneoge 1 2 1 - 1 1
Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006

Bila dilihat dari sarana pendidikan yang ada maka peluang masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan sampai pada tingkat menengah cukup besar.
Dengan demikian, sebagian penduduk di wilayah ini setidaknya memiliki tingkat
pendidikan yang setara dengan sekolah lanjutan pertama dan selanjutan tingkat
atas. Keadaan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan rinci karena saat ini tidak
tersedia data yang menerangkan tentang tingkat pendidikan penduduk secara
keseluruhan baik pada ketiga desa/kelurahan di kawasan wisata ini maupu
Kecamatan Banawa secara keseluruhan.
Sedangkan yang berkaitan dengan sarana kesehatan, yang tersedia baru
berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) masing-masing di desa Limboro, kelurahan
Labuan Bajo dan Boneoge. Hal ini dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh
(hanya sekitar 3 – 9 km) dari Kota Donggala yang memiliki sarana kesehatan
yang lebih lengkap, sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk
menjangkau dalam waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun demikian, jika
dilihat dari kepentingan wilayah ini sebagai suatu kawasan wisata yang banyak
dikunjung orang dan memiliki peluang untuk menghadapi resiko didalam
aktifitasnya maka sarana kesehatan yang lebih baik tentu sangat dibutuhkan.
24

3.6.3. Kelompok Etnis


Masyarakat yang bermukim di wilayah Kecamatan Banawa terdiri dari
berbagai etnis, meskipun didominasi oleh Suku Kaili sebagai kelompok etnis asli.
Kelompok etnik lainnya yang terdapat di wilayah ini adalah Bugis, Jawa,
Minahasa, dan kelompok etnik lainnya meskipun dalam jumlah yang kecil.
Kehidupan antara etnis berlangsung rukun dan damai, dan terjalin interaksi yang
baik antar mereka.
Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari
dalam pemerintahan, komunikasi antar etnis, pendidikan, dan bahasa pergaulan
sehari-hari. Bahasa daerah biasanya hanya digunakan untuk berkomunikasi
secara internal pada masing-masing kelompok etnis.

3.7. Kegiatan Pariwisata di Kecamatan Banawa


Kegiatan kepariwisataan di wilayah ini sebenarnya telah berlangsung
sejak lama sebelum pemerintah menetapkannya sebagai salahsatu sektor prioritas.
Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan Banawa memiliki beberapa lokasi
wisata yang dikenal dan merupakan tempat yang banyak dikunjungi oleh
masyarakat baik yang bermukim di Kabupaten Donggala maupun Kota Palu dan
sekitarnya. Lokasi wisata tersebut diantaranya Pemandian Loli yang terletak di
Desa Loli Oge, Air terjun Loto yang terletak di Desa Loli Tasiburi, pantai pasir
putih Tanjung Karang yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Pantai Pasir Putih
Boneoge di Kelurahan Boneoge, Pantai Pasir Putih Kaluku yang terletak di
Dusun Kaluku Desa Limboro, dan Pantai Pusentasi di Desa Tovale.
Pada dekade 1990an Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala, mulai
memberikan perhatian kepada wilayah ini karena memiliki potensi yang cukup
besar bagi pembangunan daerah. Disamping kebijakan pemerintah pusat yang
menetapkan pariwisata sebagai salahsatu sektor yang terus didorong
perkembangannya, juga karena kunjungan wisatawan lokal yang tetap stabil pada
lokasi-lokasi tersebut serta mengalirnya kunjungan wisatawan mancanegara ke
Tanjung Karang merupakan dorongan bagi pemerintah daerah untuk lebih serius
dalam memberikan perhatiannya. Bukti keseriusan pemerintah daerah tersebut
adalah dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai salahsatu unggulan dan
kemudian berdasarkan PERDA Nomor 6 Tahun 1995 dibentuk Dinas Pariwisata
25

di Kabupaten Donggala, yang selanjutnya berdasarkan PERDA Nomor 6 Tahun


2001 berubah menjadi Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Disparsenibud
Donggala, 2002).
Pada Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi terdapat beberapa
lokasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan yaitu Tanjung Karang, Boneoge,
Kaluku, dan Pusentasi. Tanjung Karang merupakan lokasi yang merupakan
sebuah tanjung diujung Teluk Palu dimana salahsatu sisi pantainya menghadap
ke teluk sementara sisi yang lainnya menghadap ke Selat Makassar. Lokasi ini
memiliki pantai pasir putih yang indah serta memiliki gugusan terumbu karang
yang dekat dari pantai. Hal ini menyebabkan Tanjung Karang menjadi lokasi
yang paling dikenal dan disukai oleh wisatawan dibanding lokasi lainnya di
kawasan ini. Berdasarkan informasi yang dikemukakan oleh pengelola pintu
masuk, lokasi ini dikunjungi oleh sekitar 200 – 700 orang wisatawan lokal setiap
minggu (dihitung berdasarkan jumlah karcis pintu masuk yang terjual).
Disamping wisatawan lokal yang biasanya berkunjung pada setiap hari Minggu,
terutama minggu pertama dan kedua, lokasi ini juga banyak dikunjunhg oleh
wisatawan mancanegara.

Gambar 3. Lokasi wisata Tanjung Karang dilihat dari salahsatu sisi

Lokasi Wisata Boneoge yang terletak sekitar 1 kilometer sebelah barat


Tanjung Karang merupakan sebuah kelurahan yang memanjang dari arah timur
ke barat dan memiliki pantai pasir putih membentang hampir disepanjang
wilayahnya. Namun demikian, kondisi pantainya nampak tidak terurus karena
sebagian besar dipenuhi oleh sampah yang sebagian besar terbawa oleh air laut
26

pada saat pasang, kecuali pada ujung bagian barat dimana terdapat pondok
peristrahatan/penginapan yang dimiliki oleh Pemda Kabupaten Donggala.
Dibandingkan dengan Tanjung Karang, lokasi ini agak jarang dikunjungi oleh
wisatawan. Meskipun demikian, wisatawan lokal yang berkunjung ke Tanjung
Karang sering melanjutkan perjalanan ke Boneoge untuk membeli ikan segar
yang dijual oleh nelayan yang baru tiba melaut.

Gambar 4. Sebagian Pantai Boneoge yang belum terurus (kiri), dan sumur laut
yang terdapat di Lokasi Pusentasi (kanan).

Lokasi Wisata Pantai Kaluku yang terletak di Desa Limboro merupakan


lokasi yang memiliki pantai yang landai dengan pasir putih yang indah serta
memiliki gugusan terumbu karang yang merupakan salahsatu sumber mata
pencaharian nelayan. Pada bagian lain dari lokasi ini terdapat sebuah batu karang
berukuran besar terletak agak menjorok kelaut yang oleh masyarakat disebut
dengan vatu nolanto (batu mengapung) yang sering digunakan untuk melakukan
pesta adat untuk mendapatkan keselamatan dalam melakukan aktifitas melaut.
Pada lokasi ini terdapat 5 buah pondok penginapan yang dimiliki oleh pengusaha
27

dari Palu, namun karena pengelolaan yang kurang baik lokasi ini sangat jarang
dikunjungi.
Lokasi yang terakhir adalah Pusentasi yang berjarang sekitar 500 meter
dari Kaluku. Di lokasi ini terdapat sebuah sumur air laut yang terletak ± 75 meter
dari bibir pantai yang oleh masyarakat disebut dengan pusentasi atau pusat laut.
Pusentasi merupakan lokasi yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya
Kabupaten Donggala dan sering dijadikan sebagai lokasi festival budaya yang
dilakukan oleh pemerintah. Di lokasi ini terdapat beberapa bangunan sebagai
tempat peristrahatan bagi pengunjung dan sering pula digunakan sebagai ruang
pameran dan berbagai aktifitas lainnya. Setiap minggu lokasi ini ramai
dikunjungi oleh wisatawan lokal baik yang berasal dari Kota Palu maupun
Donggala, tetapi tidak diperoleh catatan tentang jumlah pengunjung yang
mendatangi lokasi ini.
Berkaitan dengan potensi pariwisata baik alam maupun budaya yang
tersedia, pemerintah daerah Kabupaten Donggala menjadikan lokasi-lokasi yang
terdapat di kawasan ini sebagai bagian dari prioritas pengembangan pariwisata
(Bappeda Kabupaten Donggala, 1999). Berdasarkan rencana strategi
pengembangan kepariwisataan Kabupaten Donggala, aspek-aspek yang perlu
mendapat perhatian adalah dalam hal pengembangan produk yang khas dan
memiliki daya tarik, promosi, peningkatan keterampilan pengelola, dan
pengembangan kelembagaan (Disparsenibud Donggala, 2002).

3.8. Tipologi wisatawan


Wisatawan yang berkunjung di Kawasan Wisata Tanjung Karang
Pusentasiterdiri dari wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara, dan
wisatawan lokal. Wisatawan mancanegara berasal dari berbagai negara seperti
Amerika Serikat, Australia, negara-negara Eropa, dan Asia. Berdasarkan catatan
kunjungan wisatawan mancanegara yang dimiliki oleh Dinas Pariwisata Seni dan
Budaya Kabupaten Donggala terlihat bahwa pada tahun 2005 berjumlah 254
wisatawan. Sebagaian besar diantaranya berasal dari Jerman sejumlah 100 orang,
selebihnya berasal dari Perancis 53 orang, Belanda 39 orang, Australia 13 orang,
Austria 11 orang, Amerika Serikat 15 orang, Inggris 9 orang, Swiss 6 orang,
28

Selandia Baru 3 orang, Ukraina 2 orang, serta Belgia, Italia, dan Thailand
masing-masing 1 orang, dengan waktu tinggal selama 5 – 21 hari.

Sebagian besar wisatawan mancanegara yang berkunjung merupakan


wisatawan yang melakukan perjalanan dengan inisiatif sendiri karena telah
mengetahui informasi tentang lokasi ini melalui informasi perorangan.
Berdasarkan wawancara dengan pemilik dan pengelola salahsatu cottage, seorang
yang berkebangsaan Jerman, bahwa informasi tentang lokasi wisata Tanjung
Karang beredar melalui kawan-kawan dan keluarga beliau yang pernah
berkunjung ke lokasi ini. Sementara itu, wisatawan yang berkunjung sebagian
besar merupakan wisatawan yang berasal dari kelas menengah. Meskipun
demikian, tidak diperoleh data yang lengkap tentang tipologi wisatawan secara
rinci baik pada lokasi wisata maupun pada instansi pemerintah di daerah ini.

Wisatawan lokal yang berkunjung terutama berasal dari kota Palu yang
terdiri atas pelajar, mahasiswa, dan pegawai negeri dan swasta yang berkunjung
secara perorangan maupun berkelompok. Mereka memanfaatkan hari-hari libur
untuk berkunjung ke beberapa lokasi wisata di Kawasan Tanjung Karang
Pusentasi. Diantaranya ada pula yang menggunakan sarana penginapan/cottage
baik yang disediakan oleh pemerintah, pengusaha wisata, maupun masyarakat
lokal untuk bermalam di lokasi wisata. Sementara itu, wisatawan nusantara yang
berkunjung sebagian besar adalah warga masyarakat dari luar daerah baik dari
bwebagai wilayah di Sulawesi maupun dari daerah lainnya yang kebetulan
memiliki kegiatan baik di Palu maupun Donggala.
IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat eksploratif untuk


mempelajari kemungkinan dikembangkannya pariwisata yang berbasis
masyarakat di wilakayah Kecamatan Banawa, khususnya di Kawasan Wisata
Pantai Tanjung Karang Pusentasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi
yang lengkap berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka digunakan
pendekatan triangulasi (Decrop, 1999 ; Oppermann, 2000), sebagai sebuah
pendekatan untuk memahami atau menjawab suatu masalah dengan
menggunakan lebih dari satu sumber dan cara pengumpulan data.
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang-Pusentasi
Donggala yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala
dan mencakup 3 (tiga) desa/kelurahan yaitu Kelurahan Labuanbajo, Desa
Boneoge, dan Limboro. Penelitian di lapangan selama 3 (tiga) bulan, dimulai
pada bulan Juni sampai Agustus 2007.

4.2. Metode Penelitian


4.2.1. Penentuan Sampel
Penentuan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling)
(Soeratno dan Arsyad, 1993). Responden yang diwawancarai untuk mengetahui
berbagai hal tentang kegiatan pariwisata di wilayah penelitian, persepsi
masyarakat dan para pihak lainnya, ekspektasi masyarakat terhadap kegiatan
pariwisata, dan konsep pengelolaan pariwisata adalah sejumlah 82 responden
yang terdiri dari 70 orang masyarakat lokal, 6 orang aparat pemerintah, 4 orang
pengusaha pariwisata, dan 2 orang dari lembaga/kelompok swadaya masyarakat.
Sampel yang dimaksudkan disini bukan keterwakilan populasi tetapi merupakan
keterwakilan dari permasalahan atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen
yaitu tempat, pelaku, dan aktifitas (Sugiyono, 2005). Penyebaran responden pada
masyarakat lokal, pemerintah, pengusaha wisata dan LSM dikemukakan pada
Tabel 7.
30

Tabel 7. Penyebaran responden pada berbagai kelompok


Kelompok Aktifitas/Bidang Kegiatan Jumlah
responden informan
Masyarakat lokal Nelayan 27
Peteni/peternak 15
Dagang 8
Sopir/ojek 6
Guru/PNS 6
Buruh/pertukangan 5
Jasa 3
Pengusaha Pemilik Penginapan/Cottage 3
Biro perjalanan 1
Pemerintah Pemda/Bupati 1
Dinas Pariwisata 1
Camat 1
Lurah dan Kepala Desa 3
LSM/KSM LSM yang berasal dari Donggala,
dan LSM lokal (POKDARWIS) 2

Penggalian data secara partisipatif dengan menggunakan teknik PRA


melibatkan tokoh masyarakat, kelompok-kelompok sosial, kelompok-kelompok
usaha ekonomi produktif, kelembagaan adat serta kelompok wanita dan pemuda
serta kelompok sadar wisata yang terdapat di lokasi penelitian.

4.2.2. Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder (Tabel
8). Pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa cara yaitu observasi,
wawancara, penggalian data secara partisipatif (participatory rural appraisal)
(Campbell, 2002 ; Rietbergen-McCracken dan Narayan,1998), dan diskusi
kelompok terfokus (Danim, 2002; Mikkelsen, 2001 ; Trigg dan Roy, 2007).
Observasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang potensi
atraksi wisata yang berpeluang untuk dikembangkan. Potensi tersebut dapat
berupa potensi alam maupun potensi sosial budaya masyarakat setempat.
Sedangkan wawancara dilakukan untuk untuk mengetahui persepsi dan keinginan
partisipasi masyarakat dalam mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat.
Penggalian data secara partisipatif (participatory rural appraisal)
dilakukan terhadap sekumpulan anggota masyarakat yang merupakan
representasi dari keseluruhan masyarakat di wilayah penelitian. Untuk
memudahkan penggalian data maka akan digunakan beberapa alat-alat kaji yang
terdapat dalam PRA diantaranya :
31

1. Diagram Venn, yang merupakan diagram yang terdiri dari beberapa


lingkaran dengan berbagai ukuran yang berbeda, yang satu dengan
lainnya saling berhubungan secara simbolis. Diagram ini ditujukan untuk
melihat peran berbagai institusi dalam pengelolaan pariwisata di lokasi
penelitian.
2. Matriks analisis stakeholder, yang digunakan untuk memetakan pihak-
pihak yang berperan dan memiliki kepentingan terhadap kegiatan
pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi.
3. Pemetaan yang terdiri atas pemetaan aktifitas masyarakat dan pembuatan
sketsa lokasi yang menggambarkan tentang penggunaan ruang pada lokasi
wisata oleh berbagai stakeholder yang ada.
Diskusi kelompok terfokus, dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri
atas 10 – 12 orang dengan panduan pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Data sekunder diperoleh dengan menghimpun informasi dari Dinas
Pariwisata Seni dan Budaya, Kantor Statistik, serta dokumen-dokumen yang
terdapat pada tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.
Tabel 8. Jenis data yang akan dikumpulkan

Jenis data Aspek Sumber data Metode


Data Persepsi, partisipasi dan harapan Masyarakat lokal Wawancara,
Primer masyarakat. FGD
Potensi Masyarakat : Kegiatan Masyarakat lokal Wawancara,
ekonomi dan potensi sosial budaya Organisasi masyarakat FGD, PRA.
masyarakat. lokal
Konsep Pejabat Pemerintah Wawancara.
Persepsi pengusaha wisata Pengusaha wisata, Wawancara
Persepsi LSM LSM lokal dan KSM Wawancara
Pokdarwis FGD
Data Kebijakan Pemerintah : Rencana Dinas dan Instansi
Sekunder Strategik, tata Ruang dan terkait.
Keputusan-keputusan pemerintah.
Potensi wilayah dan masyarakat Kantor Statistik,
yang berkaitan dengan aspek- Desa/Kelurahan dan
aspek sosial,ekonomi, dan budaya. Kecamatan.
32

4.2.3. Analisis Data


Data yang terkumpul selanjutnya diklasifikasi menurut jenisnya dengan
menggunakan peralatan berupa matriks, tabulasi, dan format (Miles dan
Huberman, 1992). Untuk mendukung proses analisis maka data-data tersebut
diklasifikasi dan dikelompokan kedalam suatu satuan (unit) tertentu
(Denscombe, 1998) terutama untuk mengorganisasikan data-data tentang
pengertian, pandangan/persepsi, sikap dan tindakan ; serta dengan melakukan
perbandingan dan membangun hubungan-hubungan antar data tersebut.
Penelaahan dengan cara ini dimaksudkan untuk mencari kaitan yang lebih luas
dari fakta yang ditemukan di lokasi penelitian. Persepsi masyarakat tentang
kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini dan konsep pariwisata berbasis
masyarakat akan diketahui melalui pendapat dan pandangan mereka terhadap
kedua aspek tersebut.
Selanjutnya untuk menentukan strategi pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah analisa kualitatif
yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
menformulasikan strategi suatu kegiatan. Analisa ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan (strenght) dan peluang (opportunity) dan secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknes) dan ancaman (threat)
(Rangkuti, 2003).
Analisis dilakukan dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
berbagai teknik pengumpulang data yang dilakukan dan dilakukan
pengintegrasian antara S-O, S-T, W-O, dan W-T untuk merumuskan strategi
pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Model analisisnya disusun dengan
menggunakan matrik SWOT yang menggabungkan aspek atau faktor internal dan
eksternal dari komponen atau bidang. Bentuk dari tahapan ini yang merupakan
pengintegrasian dari S-O, S-T, W-O, dan W-T dalam pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat disajikan pada Gambar 5.
33

Kekuatan (S) Kelemahan (W)

Strategi S-O Strategi W-O

Menciptakan strategi Menciptakan strategi


Peluang (O) pengelolaan pariwisata pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat dengan berbasis masyarakat dengan
menggunakan kekuatan untuk meminimalkan kelemahan
memanfaatkan peluang untuk memanfaatkan peluang

Strategi S-T Strategi W-T

Menciptakan strategi l Menciptakan strategi


Ancaman (T) pengelolaan pariwisata pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat dengan berbasis masyarakat dengan
menggunakan kekuatan untuk meminimalkan kelemahan
mengatasi ancaman dan menghindari ancaman

Gambar 5. Matrik Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat


di Wilayah Penelitian.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Keadaan Masyarakat di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi


5.1.1. Karakteristik Masyarakat
Kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi mencakup empat wilayah
yang terdiri atas Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, Desa Limboro dan
Desa Tovale. Meskipun demikian, hanya penduduk yang terdapat di kelurahan
Boneoge yang seluruhnya bermukim di lokasi wisata. Pada wilayah lain seperti
kelurahan Labuan Bajo dan desa Limboro penduduk yang bermukim di lokasi
wisata masing-masing hanya terdapat pada satu wilayah RT dan Dusun. Untuk
kelurahan Labuan Bajo, lokasi dan kegiatan wisata terdapat di Tanjung Karang
yang merupakan salahsatu RT di kelurahan tersebut, sedangkan di desa Limboro
kegiatan dan lokasi wisata terdapat di dusun Kaluku. Sementara itu, lokasi
wisata yang terdapat di desa Tovale yaitu Pusentasi yang berdampingan dengan
dusun Kaluku tidak dihuni oleh penduduk. Oleh karena itu, penduduk yang
berinteraksi langsung dengan aktifitas pariwisata di kawasan ini hanya terdapat
pada tiga wilayah dengan jumlah penduduk sebanyak 761 KK atau 3.353 jiwa.
Rincian jumlah penduduk pada masing-masing lokasi wisata dikemukakan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah penduduk yang bermukim di kawasan wisata.
Lokasi Jumlah
KK Laki-laki Perempuan
Pariwisata jiwa
Boneoge 663 2.863 1.447 1.416
Tanjung Karang 39 225 123 102
Kaluku 59 265 137 128
Jumlah 761 3.353 1.707 1.646
Sumber : Data statistik masing-masing desa dan kelurahan, 2006.

Penduduk yang bermukim di wilayah ini pada umumnya adalah


masyarakat nelayan dan petani dengan tingkat pendidikan yang relatif masih
rendah. Tingkat pendidikan masyarakat dikemukakan pada Tabel 10.
36

Tabel 10. Pekerjaan dan tingkat pendidikan responden masyarakat lokal.


Tingkat pendidikan Jumlah
Pekerjaan (orang)
SD SMP SMA PT
Nelayan 25 2 0 0 27
Petani/peternak 10 5 0 0 15
Dagang 1 3 4 0 8
Sopir/Ojek 3 3 0 0 6
Guru/PNS 0 0 3 3 6
Buruh/Pertukangan 3 2 0 0 5
Jasa 1 1 1 0 3
Jumlah 43 16 8 3 70

Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 10 diatas terlihat


bahwa sebagian besar responden yaitu 61,4 % memiliki tingkat pedidikan sekolah
dasar, selebihnya 22,9 % berpendidikan sekolah lanjutan pertama, 11,4 %
sekolah lanjutan tingkat atas, dan sisanya 4,3 % berpendidikan tinggi. Bila
mengamati kondisi masyarakat yang terdapat di kawasan ini, yang sebagian besar
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat dikemukakan bahwa potensi
sumberdaya manusia yang terdapat dikawasan wisata ini masih tergolong rendah.
Sebagaimana halnya dengan masyarakat yang mendiami desa-desa pesisir
lainnya, sebagian besar masyarakat di wilayah penelitian ini memiliki pekerjaan
sebagai nelayan. Seperti yang dikemukakan pada Tabel 10, sebagian besar
responden masyarakat lokal memiliki pekerjaan atau mata pencaharian pokok
sebagai nelayan.
Dari 70 responden masyarakat lokal yang diwawancarai, terdapat 27
orang atau sebesar 38,6 % memiliki mata pencaharian pokok sebagai nelayan,
dan sejumlah 15 orang atau sebesar 21,4 % memiliki mata pencaharian pokok
sebagai petani. Sisanya memiliki mata pencaharian pokok sebagai pedagang,
sopir/penarik ojek, pegawai negeri, buruh/pertukangan, dan jasa. Disamping
pekerjaan pokok tersebut, mereka juga memiliki pekerjaan atau mata pencaharian
sampingan. Hal ini dilakukan disamping untuk kepentingan menambah
penghasilan keluarga, juga disebabkan karena rata-rata mereka memiliki lahan,
yang dapat ditanami tanaman-tanaman tertentu seperti jagung, ubi kayu, pisang,
dan tanaman sayuran.
37

Bagi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, kegiatan sampingan


dilakukan pada saat tidak melaut, terutama pada saat terjadinya musim barat
dimana mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Informasi yang
diperoleh pada saat wawancara dan diskusi kelompok, kegiatan sampingan
masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disamping bertani
adalah bekerja sebagai buruh pelabuhan dan bangunan di kota Donggala, dan
sebagian diantaranya memanfaatkan peluang dari aktifitas pariwisata yang
berlangsung di wilayah ini (Tabel 11).
Tabel 11. Pekerjaan dan kelompok usia responden masyarakat lokal.

Usia responden (tahun)


Pekerjaan Jumlah
20-30 31-40 41-50 51-60 61-70
Nelayan 5 10 7 5 0 27
Petani/peternak 2 5 5 2 1 15
Dagang 1 2 2 2 1 8
Sopir/Ojek 2 2 1 1 0 6
Guru/PNS 1 2 2 1 0 6
Buruh/Pertukangan 1 2 2 0 0 5
Jasa 1 1 1 0 0 3
Jumlah 13 24 20 11 2 70

Usia responden masyarakat lokal bervariasi mulai dari usia 20 tahun


hinga 70 tahun. Pada Tabel terlihat bahwa informan yang berusia 20 – 30 tahun
sebesar 18,6 %, usia 31 – 40 tahun sebesar 34,3 %, usia 41 – 50 tahun sebesar
28,6 %, usia 51 – 60 tahun sebesar 15,7 %, dan usia 61 – 70 tahun sebesar 2,9 %.
Berdasarkan komposisi umur tersebut terlihat bahwa responden yang memiliki
usia antara 20 – 60 tahun, sebagai kelompok usia produktif, jumlahnya mencapai
97,1 %, sedangkan yang memiliki usia antara 61 – 70 tahun hanya sebesar 2,9 %.
Pekerjaan utama dari kelompok usia produkstif adalah nelayan,
pertanian/peternakan, dagang, sopit/penarik ojek, guru, dan buruh. Sedangkan
penduduk yang telah memiliki usia yang tua/kurang produktif memilih pekerjaan
sebagai peternak dan dagang yang relatif kurang membutuhkan tenaga yang
besar.
38

5.1.2. Perekonomian Masyarakat


Masyarakat yang mendiami kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi,
seperti halnya masyarakat di wilayah lainnya, mengembangkan sistem
perekonomian berdasarkan karakter wilayah dan potensi sumberdaya yang
tersedia. Perekonomian masyarakat di kawasan ini bertumpu pada dua kegiatan
yaitu pertanian/peternakan dan perikanan. Kegiatan pertanian yang dilakukan
oleh masyarakat pada umumnya berladang dan membuka perkebunan rakyat,
serta sebagian kecil diantaranya menjalankan usahatani padi sawah dengan sistim
irigasi desa dan padi ladang. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dilakukan
oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 12.

Tabel 12. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat
(Ha).
Jenis tanaman pertanian Jenis tanaman perkebunan
Desa/Kelurahan
Padi Jagung Kelapa Cacao
Boneoge 0 4 102 6
Labuan Bajo 0 0 175 0
Limboro 40 10 120 17
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Kegiatan perkebunan nampaknya lebih mendominasi kegiatan penduduk


di wilayah ini, karena memang sejak dahulu daerah (Sulawesi Tengah) ini
dikenal sebagai penghasil tanaman perkebunan, terutama kelapa. Tanaman
kelapa bagi masyarakat di wilayah ini merupakan kegiatan utama untuk
pemenuhan kesejahteraannya, sementara tanaman lainnya yang dilakukan dengan
kegiatan berladang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari (subsisten) sambil menunggu panen buah kelapa yang biasanya berlangsung
setiap 3-4 bulan. Keadaan tersebut juga merupakan gambaran dari aktifitas
pertanian masyarakat yang bermukim di lokasi kawasan wisata Tanjung Karang
Pusentasi (Tanjung Karang, Boneoge, dan Dusun Kaluku). Kegiatan pertanian
dan jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat di kawasan wisata ini
dikemukakan pada Tabel 13.
39

Tabel 13. Kepemilikian lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh
masyarakat.
Kelurahan/ Lokasi Kepemilikan Jenis tanaman
Desa Lahan (ha) yang diusahakan
Tanaman tahunan : kelapa dan coklat.
Boneoge Boneoge 0,25 – 2
Tanaman semusim : padi ladang,
Labuan Bajo Tanjung 0,25 – 2 jagung, ubi kayu, pisang, serta
Karang tanaman-tanaman hortikultura seperti
cabe, tomat dan sayuran.
Limboro Dusun Kaluku 0,25 – 3

Disamping mengelola lahan untuk kegiatan bercocok tanam, masyarakat


juga memelihara ternak sebagai usaha sampingan untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat disajikan pada
Tabel 14. Meskipun hanya sebagai usaha sampingan, namun usaha peternakan ini
sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging di wilayah
ini dan sebagai tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat dijual bila
mereka membutuhkan dana untuk berbagai keperluan yang mendesak.
Tabel 14. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat di wilayah penelitian.
Jenis ternak
Desa/Kelurahan
Sapi Kambing Ayam Buras
Boneoge 123 195 659
Labuan Bajo 54 55 270
Limboro 194 152 639
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Dibidang perikanan, desa-desa yang terdapat diwilayah penelitian ini


merupakan penghasil ikan laut yang cukup besar bagi kecamatan Banawa.
Sementara Kecamatan Banawa sendiri merupakan penghasil ikan terbesar untuk
wilayah Kabupaten Donggala. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Donggala
(2002), dari 8 kecamatan yang memiliki wilayah perairan laut di Kabupaten
Donggala, Kecamatan Banawa merupakan penyumbang terbesar hasil tangkapan
ikan di kabupaten ini. Pada tahun 2002 kontribusi penangkapan ikan laut di
wilayah perairan Kecamatan Banawa terhadap total produksi di Kabupaten
Donggala adalah sebesar 20,33%.
Jenis peralatan penangkapan ikan yang dimiliki oleh masyarakat di
wilayah ini adalah jala rumpon, pukat pantai dan gill net. Adapun sarana
40

transportasi perikanan yang dimiliki adalah perahu/kapal motor bermesin dan


sejumlah perahu tanpa mesin (Tabel 15).

Tabel 15. Peralatan penangkap ikan dan sarana transportasinya di wilayah


penelitian.
Sarana transportasi
Peralatan penangkap ikan
perikanan
Desa/
Kapal/ Perahu
Kelurahan Jala Pukat
Gill Net Perahu Tak
rumpon pantai
motor Bermotor
Boneoge 6 15 20 12 20
Labuan Bajo 0 0 8 5 10
Limboro 0 12 8 0 5
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006

Meskipun terdapat berbagai peralatan nelayan berupa perahu motor dan


peralatan lainnya, namun kegiatan perikanan yang dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat merupakan kegiatan perikanan skala kecil dengan menggunakan
peralatan sederhana berupa pukat, pancing, dan panah. Penggunaan pukat pantai
dan panah biasanya dilakukan oleh masyarakat untuk menangkap ikan-ikan
karang yang terdapat disekitar kawasan wisata atau tempat-tempat lainnya
dimana terdapat banyak gugusan karang.
Kemampuan nelayan di kawasan ini untuk menangkap ikan dengan
menggunakan panah dan harus menyelam tanpa menggunakan alat cukup
terkenal disekitar kawasan ini, terutama di Teluk Palu dan perairan Kabupaten
Donggala bagian barat. Hal ini dikarenakan mereka, terutama nelayan yang
berasal dari Kelurahan Boneoge, mampu melakukan penyelaman dalam waktu
yang cukup lama, jauh melebihi kemampuan rata-rata nelayan yang terdapat di
sekitarnya.
Hasil yang diperoleh dalam menangkap ikan-ikan karang biasanya sekitar
30 – 50 ekor sekali melaut dengan harga jual sekitar Rp. 5.000,- sampai Rp.
10.000,- per ikat. Sedangkan untuk penggunaan pancing biasanya ditujukan
untuk menangkap ikan-ikan dasar dan permukaan yang biasanya dilakukan oleh
nelayan dengan menggunakan perahu tanpa motor.
Penangkapan ikan oleh nelayan dengan menggunakan pancing,
diantaranya adalah kegiatan yang disebut dengan panambe. Kegiatan panambe
41

ini merupakan kegiatan nelayan memancing ikan Julung-julung yang dalam


bahasa daerah disebut dengan bau (ikan) tampai. Ikan ini merupakan ikan
permukaan yang biasanya terdapat disekitar gugusan karang antara bulan April
hingga September, di kawasan ini terutama terdapat di perairan sekitar dusun
Kaluku dan sebagian kecil wilayah Boneoge.
Kegiatan panambe yang dilakukan oleh nelayan dalam menangkap ikan
ini biasanya dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota sekitar 3
sampai 5 orang. Hasil tangkapan yang mereka dapatkan kemudian dimasak
dengan cara pengasapan, yang sebelumnya dijepit dengan menggunakan bambu,
dimana setiap jepitannya berjumlah 20 ekor. Setiap minggu masing-masing
keluarga nelayan dapat menghasilkan sekitar 50 – 150 jepitan ikan ini dengan
harga jual antara Rp. 5000,- sampai Rp. 10.000,- setiap jepitannya
Kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh masyarakat, meskipun
tidak menjadi kegiatan utama, adalah menenun kain sarung dari benang sutera
dengan menggunakan alat tenun tradisional. Kegiatan ini biasanya dilakukan
oleh kaum perempuan yang dilakukan disela-sela aktifitas mengurus
rumahtangga dan kegiatan pertanian. Setiap sarung diselesaikan dalam waktu
sekitar 1 – 2 bulan dengan harga jual per sarung sekitar Rp. 250.000,- sampai Rp.
300.000,-. Hingga saat ini masyarakat hanya menghasilkan tenunan dalam
bentuk sarung meskipun terbuka peluang untuk menghasilkan produk yang lain
dalam bentuk cindera mata karena mereka berada pada lokasi kegiatan
pariwisata. Hal ini, menurut masyarakat, karena keterbatasan keterampilan yang
dimiliki untuk menghasilkan produk tersebut.
Disamping aktifitas yang dikemukakan tersebut, masyarakat juga
menangkap peluang usaha yang dihasilkan oleh berkembangnya aktifitas
pariwisata di kawasan ini. Diversifikasi usaha ekonomi yang mereka lakukan
merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan
memanfaatkan waktu-waktu tertentu ketika mereka tidak melakukan aktifitas
utamanya baik sebagai nelayan maupun bertani. Gambaran tentang pemanfaatan
waktu mereka dalam melakukan aktifitas ekonomi dikemukakan pada Tabel 16.
42

Tabel 16. Kalender aktifitas masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang


Pusentasi
Waktu Lokasi dan aktifitas masyarakat
(bulan ke) Dusun Kaluku Boneoge Tanjung Karang
Bulan 11 - 12 Musim tanam (notuja) - Melakukan - Melakukan
padi ladang. penangkapan ikan penangkapan ikan
Bulan 11 - 3 - Melakukan karang. karang.
penangkapan ikan - Mengelola kebun - Melakukan
karang. kegiatan usaha di
- Mengelola ladang lokasi wisata.
dan kebun - Mengelola kebun.
- Menenun kain
Bulan 4 - 10 - Melakukan - Melakukan - Kegiatan
kegiatan Panambe kegiatan menangkap ikan
- Mengelola ladang menangkap ikan dengan pancing
dan kebun dengan pancing dan pukat.
- Menenun kain dan pukat serta - Melakukan
Bulan 4 – 5 Musim panen padi kegiatan Panambe kegiatan usaha di
ladang (noisi/nokato) - Mengelola kebun lokasi wisata.
Hari libur dan Membuka warung, Membuka warung, - Mengelola kebun.
hari-hari menjual hasil dan menjual hasil
besar tankapan ikan, dan tangkapan ikan
penyewaan/ojek kepada wisatawan
perahu di Pusentasi lokal.

Berdasarkan hasil pemetaan aktifitas tersebut terlihat bahwa meskipun


sebagian besar masyarakat di kawasan ini memiliki pekerjaan pokok sebagai
nelayan dan petani, tetapi terdapat beberapa perbedaan aktifitas ekonomi pada
masing-masing lokasi. Hal ini disebabkan karena disamping terdapat perbedaan
potensi sumberdaya pada masing-masing lokasi juga disebabkan karena intensitas
kegiatan pariwisata yang berbeda pada masing-masing lokasi tersebut.

Masyarakat yang bermukim di dusun Kaluku melakukan aktifitas yang


lebih beragam dibanding lainnya. Sepanjang tahun, selain melakukan kegiatan
sebagai nelayan, mereka juga melakukan kegiatan pertanian ladang dengan
menanam padi lokal. Hal ini dilakukan karena di wilayah ini masih terdapat
lahan yang memungkinkan untuk ditanami padi ladang karena kondisi tanah dan
topografi lahannya yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan tersebut.
Kegiatan menanam padi ladang ini dilakukan oleh masyarakat hanya
diperuntukan bagi kebutuhan lokal masyarakat setempat.
43

Sedangkan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata hanya


mereka lakukan pada hari-hari libur dengan membuka warung dilokasi Pusentasi.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang bermukim di Boneoge dan Tanjung
Karang, dimana kegiatan pertanian yang dapat mereka lakukan hanyalah
perkebunan kelapa dan kebun untuk tanaman buah-buahan dan sayuran.
Kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pariwisata secara intensif hanya
dilakukan oleh mereka yang bermukim di Tanjung Karang, sedangkan di
Boneoge hanya dilakukan ketika hari libur.

5.2. Persepsi, Partisipasi, dan Keinginan Masyarakat Terhadap Pariwisata


5.2.1. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat
Persepsi masyarakat lokal terhadap kegiatan pariwisata di kawasan wisata
pantai Tanjung Karang Pusentasi, terutama yang berkaitan dengan ada tidaknya
manfaat yang diberikan oleh pariwisata terhadap kehidupan masyarakat
dikemukakan pada Tabel 17.
Tabel 17. Persepsi responden terhadap keberadaan kegiatan pariwisata saat ini
Persepsi
Pekerjaan Tidak Tidak Jumlah
Bermanfaat
bermanfaat tahu
Nelayan 13 11 3 27
Petani/peternak 7 7 1 15
Dagang 7 1 0 8
Sopir/Ojek 5 1 0 6
Guru/PNS 4 2 0 6
Buruh/Pertukangan 4 1 0 5
Jasa 3 0 0 3
Jumlah 43 23 4 70

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 70 orang responden


masyarakat lokal di lokasi penelitian, seperti terlihat pada tabel tersebut,
menunjukan bahwa sebagian besar (61,43 %) responden masyarakat lokal
menyatakan bahwa kegiatan pariwisata memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun demikian, masih terdapat sekitar 32,86 % responden yang menyatakan
pariwisata tidak memberikan manfaat bagi masyarakat di wilayah ini, sedangkan
sebagian kecil lainnya (5,71 %) menyatakan tidak tahu. Responden yang
44

menyatakan bahwa pariwisata memberikan manfaat, pada umumnya adalah


mereka yang memiliki aktifitas usaha yang berhubungan langsung dengan
kegiatan pariwisata, disamping pekerjaan pokoknya sebagai petani dan nelayan.
Aktifitas usaha yang dilakukan adalah berupa pekerja/penyedia sarana
penginapan, warung, transportasi wisata (perahu), pemandu wisata dan
penyedia/penyewaan sarana rekreasi lainnya seperti tikar, ban, dan kacamata
renang.
Pandangan masyarakat dan beberapa stakeholder lainnya yang berkaitan
dengan manfaat dan kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata disajikan
pada Tabel 18.
Tabel 18. Persepsi stakeholder tentang manfaat dan kerugian dari kegiatan
pariwisata
Masyarakat Aparat Pengusaha
LSM
Persepsi lokal Pemerintah Pariwisata
Jumlah jawaban
Manfaat kegiatan pariwisata
Membuka peluang pekerjaan 36 6 4 2
Menambah pendapatan 30 6 4 1
Mendorong kemajuan desa 23 4 3 1
Memperkenalkan budaya lokal 21 4 4 0
Lingkungan menjadi baik/bersih 21 3 3 1
Dapat menjual hasil usaha 11 0 0 0
Desa menjadi terkenal 8 0 0 0
Kerugian kegiatan pariwisata
Merusak moral 41 2 0 1
Mengganggu kegiatan nelayan 27 1 0 1
Mengancam kepemilikan lahan 23 2 0 1
Kerusakan lingkungan 19 1 0 2

Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 18 tersebut terlihat


bahwa kegiatan pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar
bagi masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan memperlihatkan
bahwa manfaat yang paling banyak dinyatakan (51,43 %) oleh masyarakat lokal
adalah terciptanya peluang pekerjaan/usaha serta meningkatkan pendapatan.
Terdapat tiga hal yang secara spontan dikemukakan oleh masyarakat berkaitan
dengan kepentingan ekonomi mereka yaitu terbukanya lapangan pekerjaan,
menambah pendapatan, dan pemasaran dari hasil usaha perikanan mereka dapat
45

lebih terbuka. Sejalan dengan pandangan masyarakat, stakeholder lainnya juga


menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memeberikan manfaat ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Seluruh informan yang berasal dari aparat pemerintah,
pengusaha pariwisata, dan LSM menyatakan kegiatan tersebut dapat membuka
peluang pekerjaan bagi masyarakat, diversifikasi usaha masyarakat, dan pada
akhirnya akan memberikan tambahan pendapatan.
Pada saat tertentu, yaitu sekitar bulan Nopember hingga Januari
masyarakat yang bekerja sebagai nelayan hampir tidak dapat turun melaut karena
cuaca yang tidak memungkinkan. Oleh karena itu pada saat-saat seperti ini
mereka melakukan pekerjaan diluar perikanan seperti buruh pelabuhan dan
bangunan. Bagi mereka yang memiliki kesempatan untuk menjalankan usaha
yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata setidaknya dapat memperoleh
tambahan pendapatan meskipun tidak dapat melaut.
Sebanyak 42,86 % responden masyarakat lokal menyatakan bahwa
kegiatan pariwisata dapat memberikan tambahan pendapatan. Berdasarkan
informasi yang diperoleh, baik pada saat wawancara maupun pada diskusi
kelompok terungkap bahwa disaat cuaca tidak memungkinkan untuk melaut,
mereka masih bisa mendapatkan hasil perikanan dari sekitar gugusan karang
yang terdapat didepan obyek wisata Tanjungkarang. Namun, saat ini kegiatan
tersebut tidak dapat lagi dilakukan oleh masyarakat karena gugusan karang ini
telah menjadi lokasi penyelaman yang dilakukan oleh para wisatawan.
Beberapa manfaat yang dikemukakan diatas merupakan sesuatu yang
seharusnya diperoleh masyarakat disekitar lokasi kawasan wisata karena
pengembangan kegiatan kepariwisataan di suatu lokasi diharapkan dapat
memberikan efek positif bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal, dalam
bentuk pendapatan dan kesempatan kerja (Pitana dan Gayatri, 2005; Liu dan
Wall, 2006; Ross dan Wall, 1999; UNEP, 2002a). Bahkan bila pengelolaan
pariwisata yang dilakukan berjalan dengan sistim pengelolaan yang baik, dan
dengan melibatkan semua unsur masyarakat maka akan menjadikan sumber
pendapatan yang dapat berlangsung terus menerus (Scheyvens, 1999).
Disamping manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal,
kegiatan pariwisata juga dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dalam
46

bentuk devisa dan peningkatan pendapatan pemerintah (Pitana dan Gayatri,


2005). Pendapatan pemerintah inilah yang diharapkan akan memberikan
sumbangan bagi kemajuan pembangunan daerah dan tentu saja akan berakibat
positif bagi kemajuan desa/kelurahan yang menjadi lokasi kegiatan
kepariwisataan. Hal ini jelas terungkap didalam wawancara yang dilakukan
dengan masyarakat serta dalam pelaksanaan diskusi kelompok terfokus yang
dilakukan di lokasi penelitian. Seperti yang tertera pada Tabel dimuka bahwa
salahsatu manfaat yang diharapkan oleh masyarakat (32,86 %) adalah kemajuan
bagi desa tempat tinggal mereka.
Meskipun demikian, menurut sebagian tokoh masyarakat dan aparat
pemerintah pada tingkat desa, kegiatan pariwisata yang telah berlangsung di
wilayah ini belum banyak memberikan sumbangan bagi kemajuan desa. Hal ini
disebabkan karena redistribusi pendapatan yang diperoleh pemerintah tidak
sepenuhnya ditujukan kepada pengembangan desa dan masyarakat di lokasi
wisata tersebut.
Berkembangnya kegiatan pariwisata diharapkan juga dapat meningkatkan
pengenalan dan pemahaman orang-orang luar (wisatawan) terhadap budaya
masyarakat di suatu lokasi yang dikunjungi. Menurut masyarakat lokal dan
stakeholder lainnya pada kawasan wisata Tanjungkarang-Pusentasi bahwa
kegiatan pariwisata yang berlangsung dapat menjadi sarana untuk
memperkenalkan budaya lokal. Dikembangkannya atraksi budaya sebagai produk
wisata yang ditawarkan kepada para wisatawan diharapkan dapat menjadi
wahana memperkenalkan, memelihara, dan mendorong masyarakat untuk
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Berkaitan dengan pengembangan atraksi budaya tersebut, Spillane (1987)
menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat menggairahkan perkembangan
kebudayaan asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur kebudayaan
yang sudah hampir dilupakan. Selanjutnya, Damanik dan Weber (2006)
mengemukakan bahwa aspek sosial budaya juga merupakan sesuatu yang penting
bagi suatu daerah tujuan wisata, karena pengalaman budaya di daerah tujuan
menjadi salahsatu daya tarik yang diperhitungkan oleh wisatawan. Selanjutnya
dikemukakan bahwa sekitar 42 persen wisatawan Inggris mengatakan informasi
47

kondisi sosial, ekonomi, dan politik lokal merupakan basis pertimbangan untuk
memilih destinasi dan 37 persen mengatakan pentingnya menjalin interaksi
dengan masyarakat setempat.
Manfaat lainnya yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah yang
berkaitan dengan kondisi lingkungan (30 %). Kondisi lingkungan yang
dimaksudkan adalah menyangkut kebersihan dan keindahan lingkungan
pemukiman, serta kebersihan dan keindahan pantai. Dikemukakan bahwa kondisi
lingkungan pemukiman dan pantai saat ini sangat jauh berbeda dengan
keadaannya ketika kegiatan pariwisata belum intensif seperti saat ini, terutama di
Tanjungkarang.
Pada beberapa tempat tertentu, khususnya di desa Boneoge, kebersihan
dan keindahan pantai masih kurang tertata dengan baik. Hal ini disebabkan
karena hanya sebagian kecil wilayah desa ini yang dimanfaatkan sebagai lokasi
wisata, walaupun hampir sepanjang desa memiliki potensi wisata yang cukup
baik karena memiliki pantai yang berpasir putih. Salahsatu kendala dalam
penataan lokasi ini adalah karena padatnya rumah sebagai tempat pemukiman
nelayan, utamanya di desa Boneoge. Melalui diskusi kelompok dan wawancara
yang dilakukan terhadap masyarakat di desa ini juga terungkap keinginan mereka
untuk menata kondisi ini, meskipun masih ada kekhawatiran bila suatu saat
mereka akan kehilangan lahannya ketika lokasi ini juga sudah berkembang.
Disamping pemahaman tentang lingkungan yang terbatas pada aspek
penataan pemukiman, sebagian masyarakat dan stakeholder lainnya juga
mengemukakan tentang manfaat kegiatan pariwisata terhadap lingkungan alam.
Dikemukakan bahwa keadaan ini tidak berdiri sendiri sebagai sesuatu yang
dipengaruhi langsung oleh kegiatan pariwisata tetapi merupakan suatu rantai
proses sebab-akibat antar berbagai manfaat tersebut.
Manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan pariwisata akan
mendorong masyarakat untuk tetap melestarikan budaya lokal dan menjaga
kondisi lingkungan alam, karena keduanya merupakan sumberdaya ekonomi
yang dimiliki oleh suatu lokasi pariwisata. Bila penanganan terhadap kedua aspek
tersebut berlangsung dengan baik maka manfaat ekonomipun akan diperoleh.
Selanjutnya juga dikemukakan bahwa terpeliharanya budaya lokal akan sangat
48

bermanfaat bagi terpeliharanya kondisi lingkungan alam, karena masyarakat


memiliki akar budaya yang kuat dalam bentuk tata aturan pemanfaatan potensi
sumberdaya alam yang baik.
Manfaat langsung yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah
pemasaran langsung hasil usaha berupa hasil pertanian, perikanan, kerajian, dan
masakan yang diproduksi oleh masyarakat lokal. Mereka dapat langsung
memasarkan hasil pertanian mereka, terutama buah-buahan, dan hasil olahan
makanan yang biasanya dikonsumsi oleh wisatawan lokal pada hari-hari libur.
Sebagian besar olahan makanan merupakan hasil pertanian dan perikanan yang
dihasilkan oleh masyarakat lokal. Keadaan ini merupakan manfaat ganda
(Spillane, 1987) yang didapatkan oleh masyarakat dari adanya kegiatan
pariwisata.
Selain memberikan manfaat, juga terdapat beberapa kerugian atau akibat-
akibat negatif dari berkembangnya kegiatan pariwisata di wilayah ini.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat lokal, seperti
yang tertera pada Tabel 18, akibat-akibat negatif yang terjadi dan sudah menjadi
kekhawatiran masyarakat adalah berkaitan dengan moral, status kepemilikan
lahan, konflik pemanfaatan sumberdaya, dan gangguan terhadap lingkungan.
Masalah moral merupakan hal yang sangat mendapat perhatian masyarakat
(58,57 %). Berdasakan penjelasan masyarakat, baik pada saat wawancara maupun
ketika dilakukan diskusi kelompok, terungkap bahwa persoalan moral yang
dimaksud adalah berkaitan dengan etika, tatakrama, adat istiadat dan juga
hubungan-hubungan sosial antar sesama masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih (2002) di wilayah ini juga
mendapatkan bahwa dampak negatif dari kegiatan pariwisata menurut masyarakat
adalah kerusakan moral pada generasi muda, yang terutama disebabkan oleh
adanya wisatawan mancanegara. Kebiasaan wisatawan mancanegara yang suka
berjemur dan berenang dengan menggunakan pakaian minim, menurut
masyarakat akan mempengaruhi moral masyarakat, terutama kaum mudanya. Hal
inilah yang oleh Yoeti (1987) dinyatakan sebagai ”kebiasaan jelek” para
wisatawan yang sering mengakibatkan kegoncangan didalam masyarakat dan
membuat masyarakat setempat menderita.
49

Selanjutnya, Cohen (1984) dalam Pitana dan Gayatri (2005)


mengemukakan bahwa terdapat beberapa pengaruh pariwisata terhadap sosial
budaya masyarakat lokal, diantaranya dampak terhadap organisasi/kelembagaan
sosial masyarakat, ritme kehidupan sosial masyarakat, hubungan antar personal,
adat istiadat yang kemudian menyebabkan terjadinya penyimpangan-
penyimpangan sosial. Demikian pula halnya dengan masyarakat di wilayah
penelitian, keadaan seperti itu mungkin saja terjadi ketika perkembangan kegiatan
pariwisata dilihat sebagai sebuah peluang ekonomi yang terlepas dari
kepentingan dan kontrol masyarakat lokal yang memiliki budaya gotongroyong,
termasuk dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kepentingan ekonominya.
Akibatnya terjadi perubahan hubungan-hubungan sosial didalam masyarakat.
Dalam hal ini, menurut Mathieson dan Wall (1982) dalam Pitana dan Gayatri
(2005) pariwisata telah mengubah struktur internal masyarakat yang
mengakibatkan terjadinya pembedaan antara mereka yang memiliki hubungan
dengan pariwisata dan mereka yang tidak.
Pengalaman masyarakat dalam beberapa kegiatan yang merupakan hasil
rancangan pihak luar baik pemerintah maupun swasta sering menciptakan konflik
kecil diantara masyarakat ketika pihak diluar memanfaatkan salahsatu atau
beberapa anggota masyarakat untuk membawa kepentingan pihak luar. Dalam
kaitan dengan dengan keadaan tersebut, seperti tergambar dalam diskusi
kelompok, mereka mengharapkan bahwa diperlukan komunikasi yang lebih baik
dan terbuka antara berbagai pihak dalam merencanakan dan mengembangkan
program yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, termasuk juga
pengembangan pariwisata.
Akibat negatif lainnya yang dapat terjadi adalah terganggunya
kepemilikan lahan masyarakat (38,57 %). Hasil wawancara dan diskusi kelompok
dengan masyarakat terungkap bahwa bergesernya status kepemilikan lahan yang
diakibatkan oleh kuatnya tuntutan untuk lebih mengembangkan kegiatan
pariwisata. Pada satu sisi perkembangan kegiatan pariwisata dapat meningkatkan
kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, tetapi disisi lain memarginalkan
masyarakat dari aktifitas tersebut, terutama bagi mereka yang tidak memiliki
modal yang cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih (2002) di lokasi ini
50

juga mengungkapakan bahwa sebagian masyarakat di wilayah ini enggan untuk


terlibat didalam kegiatan pariwisata karena memberikan dampak yang negatif
bagi mereka. Kegiatan pariwisata menurut mereka suatu saat akan menggusur
lahan pertanian dan pemukiman yang mereka miliki saat ini.
Kehadiran pariwisata telah menimbulkan kekhawatiran (32,86 %) akan
hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya yang terdapat disekitar wilayah
pemukiman masyarakat. Kasus pelarangan terhadap masyarakat untuk
mengambil ikan yang terdapat di gugusan karang didepan lokasi wisata
Tanjungkarang telah menjadi pengalaman buruk bagi masyarakat tentang
pengembangan pariwisata. Karenanya, dalam wawancara dan diskusi kelompok
dengan masyarakat selalu terungkap harapan mereka agar kondisi tersebut tidak
terjadi pada lokasi yang lain seperti di Boneoge dan Dusun Kaluku.
Berkembangnya kegiatan pariwisata, dapat memberikan keuntungan bagi
lingkungan bila dikelola dengan pendekatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pelestarian sumberdaya alam. Potensi alam yang merupakan salahsatu daya tarik
bagi wisatawan semestinya tetap dijaga keasliannya. Bila mengamati keadaan
pariwisata di daerah ini, jelas terlihat bahwa atraksi utama yang diharapkan oleh
wisatawan adalah kondisi lingkungan yang masih alami. Hal ini terutama berlaku
bagi wisatawan mancanegara yang memanfaatkan suasana lingkungan tropis
untuk mengisi masa liburannya.
Pada disisi lain, seperti juga terjadi pada beberapa kawasan wisata lainnya
di Indonesia, keadaan lingkungan yang bersifat alami kadang tergeser oleh
kepentingan pembangunan sarana pariwisata (Marpaung, 2002). Padahal
degradasi lingkungan yang terjadi di kawasan pariwisata, disaat meningkatnya
jumlah wisatawan yang menyukai keindahan alam dan kesadaran akan
lingkungan, dapat menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu
kawasan wisata tertentu (Lawrence, 1994). Masyarakat lokal di kawasan wisata
ini (27,14 %) juga melihat bahwa kegiatan pariwisata telah menberikan akibat
yang negatif bagi lingkungan.
Partisipasi masyarakat lokal merupakan suatu bagian yang penting dalam
menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan, termasuk juga kegiatan
51

pariwisata (Garrot, 2003). Keadaan partisipasi masyarakat dalam kegiatan


pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi dikemukakan pada Tabel 19.

Tabel 19. Matriks partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya di Kawasan


Wisata Tanjungkarang Pusentasi
Stakeholder

Kelompok tani/nelayan
Pengusaha pariwisata

Kelompok pengajian
PKK/Dasa Wisma
Masyarakat lokal

Kelompok arisan
Dinas pariwisata

Karang Taruna
desa/kelurahan

Lembaga adat
Pemerintah

LSM /KSM
Jenis /
Bentuk kegiatan

Pengelolaan kawasan
wisata
Perencanaan lokasi
- √ √ √ √ - - - - - -
Wisata
Pengembangan produk - √ √ - - - - - - - -
Pemasaran wisata - √ √ - - - - - - - -
Pengelolaan pintu √ - - - √ - √ - - - -
masuk lokasi
Pengelolaan usaha
Akomodasi - √ √ - - - - - - - -
Pondok peristrahatan √ - √ - - - - - - - -
Transportasi wisata √ √ -
Penyediaan suvenir - √ - - - - - - - - -
Jasa penyediaan - √ - - - - - - - -
konsumsi
Pemandu wisata - √ - - √ - - - - - -
Penyediaan sarana √ √ - - - - - - - - -
rekreasi
Berdagang makanan √ - - - - - - - - - -
Monitoring dan evaluasi - √ √ √ √ - - - - - -
kepariwisataan
Keterangan : Tanda √ menandakan adanya keterlibatan/partisipasi.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata setidaknya berkaitan
dengan dua hal yaitu peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan
pembagian manfaat dari kegiatan pariwisata (McIntosh dan Goeldner, 1986
dalam Ying dan Zhou, 2007). Bagi masyarakat lokal yang berada di kawasan
wisata Tanjungkarang Pusentasi, kedua hal tersebut nampaknya belum
sepenuhnya dapat diperoleh. Pada Tabel 23 terlihat bahwa partisipasi masyarakat
lokal masih terbatas pada kegiatan usaha tertentu yang mampu mereka lakukan
52

berdasarkan sumberdaya yang dimiliki. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh


masyarakat lokal sebagai usaha untuk menambah pendapatan keluarga adalah
penyediaan sarana rekreasi (ban untuk pemampung renang, kacamata renang, dan
tikar), berdagang makanan yang dilakukan pada hari-hari libur ketika lokasi
wisata ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, pondok peristirahatan, dan
berdagang makanan.
Kegiatan usaha seperti penyediaan akomodasi (penginapan), penyediaan
suvenir, jasa penyediaan konsumsi belum dapat dilakukan oleh masyarakat lokal.
Keadaan ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan masyarakat baik
dari aspek permodalan maupun keterampilan untuk mengembangkan usaha-usaha
tersebut. Beberapa informan masyarakat lokal yang melakukan usaha penyewaan
sarana rekreasi dan berdagang makanan bagi kepentingan wisatawan lokal,
menyatakan bahwa yang mereka lakukan saat ini hanyalah sebuah usaha yang
dilakukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena dibangun
dengan modal yang sangat terbatas dan mereka tidak memiliki keterampilan
untuk mengembangkan usaha lainnya.
Dari gambaran yang dikemukakan tersebut terlihat bahwa peran
masyarakat dalam menjalankan usaha pariwisata di kawasan wisata ini pada
umumnya masih sangat rendah, meskipun juga diakui bahwa pada lokasi
Tanjungkarang peran masyarakat dalam menjalankan usaha sudah terbangun.
Namun, beberapa peran lainnya seperti perencanaan pengembangan lokasi
wisata, pengembangan produk dan pemasaran masih sepenuhnya ditangani oleh
pemerintah dan pihak swasta. Keadaan ini menyebabkan potensi produk yang
mungkin dimiliki oleh masyarakat lokal tidak dapat tergali dengan baik.

Sebuah hasil studi yang pernah dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan


dan Pariwisata pada tahun 2003, yang dikemukakan oleh Suranti (2005),
diperoleh kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah
tujuan wisata di Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan karena belum
adanya ketentuan yang jelas dan rinci mengenai keterlibatan masyarakat dalam
pengembangan daerah tujuan wisata, yang ada hanyalah berupa himbauan agar
masyarakat diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut. Seperti halnya
yang terjadi di wilayah penelitian, konsep partisipasi masyarakat masih berupa
53

arahan kebijakan (Disparsenibud Donggala, 2002), tanpa adanya penjelasan


persyaratan, tata cara dan tahapan pelaksanaannya (Suranti, 2005).

Gambar 6. Salahsatu kegiatan usaha masyarakat di Tanjung Karang.

Bila kita mencermati keadaan yang berkembang pada kawasan wisata ini,
seperti yang telah diuraikan diatas, terlihat bahwa terdapat dua tingkatan
partisipasi yang telah terjadi ditengah masyarakat. Disatu sisi, berkaitan dengan
konsep dan rencana pengembangan kawasan wisata posisi masyarakat beserta
organisasi lokal yang dimilikinya masih berada pada tingkatan partisipasi yang
terendah dimana masyarakat hanya mendapatkan pemberitahuan (informing),
yang oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) dinyatakan sebagai partisipasi
pasif. Pada posisi ini masyarakat masih ditempatkan sebagai penerima informasi
dari pihak luar. Adapun proses yang dilakukan hanya bersifat formalitas sebagai
suatu syarat yang mungkin harus dilakukan dan komunikasi yang terjadi bersifat
satu arah. Namun pada sisi lain, masyarakat telah mengambil inisiatif untuk ikut
didalam proses untuk mendapatkan manfaat dari berkembangnya kegiatan
pariwisata tersebut.
Keadaan yang terakhir tersebut, bila dikaitkan dengan konsep tingkatan
partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) berada
pada tingkatan dimana masyarakat sudah mulai masuk pada partisipasi untuk
mendapatkan insentif material. Tingkatan ini masih sangat riskan karena
didalamnya, biasanya, tidak terjadi proses belajar yang dapat membangun
kekuatan masyarakat, dan akibatnya bila aktifitas yang menjadi tempat
bergantung masyarakat terhenti maka akan sangat mempengaruhi kehidupan
54

mereka. Oleh karena itu maka proses yang harus dilakukan adalah meningkatkan
partisipasi masyarakat kepada tingkatan yang lebih bersifat fungsional dimana
mereka dapat membangun kekuatan bersama melalui pengembangan kelompok
atau organisasi lokal yang dapat membangun inisiatif, ataupun merespon inisiatif
dari luar dengan posisi tawar yang cukup kuat.
Sehubungan dengan keadaan yang dikemukakan tersebut, diperlukan
suatu upaya untuk membangun kapasitas organisasi lokal yang dimiliki oleh
masyarakat dengan melibatkan mereka didalam proses kegiatan kepariwisataan di
kawasan ini. Pengembangan kapasitas ini penting untuk meningkatkan kekuatan
organisasi lokal dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya
alam dan budaya untuk kepentingan pariwisata, dimana efektifitas pengelolaan
sumberdaya tergantung kepada kekuatan organisasi tersebut dan hanya dapat
dilakukan bila didukung oleh semua pihak terutama pemerintah (Pomeroy, 1995).

5.2.2. Keinginan Masyarakat Dalam Pengelolaan Pariwisata

Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan pada


masyarakat lokal di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi terlihat bahwa
mereka memiliki keinginan untuk dapat berperan aktif dalam pengelolaan
pariwisata. Harapan masyarakat yang berkaitan dengan peran mereka dalam
pengelolaan pariwisata tersebut dikemukakan pada Tabel 20.

Tabel 20. Keinginan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata

Unsur Peran masyarakat


Atraksi alam dan budaya - Perancangan produk/atraksi wisata
- Pengelolaan produk/atraksi wisata
Usaha jasa - Penyediaan homestay
- Penyediaan konsumsi wisatawan
- Penyediaan souvenir
- Penyediaan jasa transportasi
- Penyediaan jasa pemanduan
Informasi wisata - Penyediaan informasi produk wisata
- Pembuatan pedoman wisata bagi wisatawan
Promosi Bersama pemerintah dan swasta melaksanakan
pameran/expo untuk kepentingan pariwisata
Organisasi dan kelembagaan Pelibatan organisasi dan kelompok masyarakat yang
telah ada dalam pengelolaan pariwisata, yang
mencakup aspek perencanaan, pengawasan, dan
evaluasi.
55

Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel diatas terlihat


bahwa masyarakat lokal memiliki keinginan untuk dapat berpartisipasi didalam
pengelolaan kegiatan pariwisata di kawasan ini. Peran yang diharapkan tidak
sekedar ikutserta didalam aktifitas berjualan makanan dan penyediaan sarana
rekreasi bagi wisatawan lokal seperti yang ada saat ini, tetapi juga peran-peran
strategis dalam kaitannya dengan proses pengembangan dan pengelolaan
pariwisata. Peran-peran strategis yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan
perencanaan dan pengelolaan produk-produk wisata berupa atraksi wisata yang
didasarkan pada potensi alam dan budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat,
pengelolaan informasi yang berkaitan dengan potensi wisata dan pedoman bagi
wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata, dan keterlibatan didalam
pengelolaan pameran dan pesta budaya.
Keinginan masyarakat tersebut didasarkan pada potensi pariwisata yang
terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. Hasil diskusi kelompok
dan pemetaan/inventarisasi potensi yang dilakukan secara partisipatif
memperlihatkan bahwa masyarakat memiliki pandangan yang cukup luas tentang
potensi atraksi wisata yang dapat dikembangkan. Pandangan masyarakat
berkaitan dengan potensi pariwisata di kawasan ini dikemukakan pada Tabel 21.

Tabel 21. Potensi atraksi wisata yang terdapat di kawasan wisata Tanjung
Karang Pusentasi.
Potensi
Lokasi Aksesibilitas
Alam Budaya
Tanjung - Pemandangan alam Pembuatan barang Berjarak ± 3 km dari
Karang - Pantai pasir putih kerajinan dari kayu kota Donggala dan ±
- Terumbu karang dan tempurung 37 km dari kota Palu .
- Tracking kelapa. Mudah dijangkau
oleh semua jenis
kendaraan.
Boneoge - Pemandangan alam - Kegiatan panambe Berjarak ± 5 km dari
- Pantai pasir putih yang dilakukan oleh kota Donggala.
- Sunset nelayan. Beberapa lokasi
- Tracking - Produk masakan hasil tertentu di desa ini
laut. hanya dapat
- Pembuatan barang dijangkau dengan
kerajian dari kayu dan berjalan kaki dan
tempurung kelapa. menggunakan perahu.
56

Kaluku dan - Pemandangan alam - Kegiatan panambe Berjarak ± 10 km dari


Pusentasi - Sumur Air Laut yang dilakukan oleh kota Donggala.
- Pantai pasir putih nelayan. Lokasi wisata yang
- Terumbu karang - Kegiatan nontanu. terdapat di dusun
- Sunset - Kegiatan nompaura. Kaluku hanya dapat
- Tracking - Kegiatan pertanian dijangkau dengan
beserta prosesi kendaraan roda dua.
adatnya. Saat ini sedang
- Pembuatan barang dilakukan proses
kerajian dari kayu, pembangunan jalan.
bambu, dan
tempurung kelapa.

Pengelolaan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi yang


berlangsung saat ini masih menitikberatkan pada pemanfaatan potensi alam
sebagai daya tariknya, sementara potensi budaya masyarakat belum mendapatkan
perhatian yang serius. Melalui diskusi kelompok yang dilakukan, terungkap
beberapa pertanyaan dan sekaligus merupakan keinginan masyarakat yang
berkaitan dengan peluang aktifitas pertanian, perikanan, dan beberapa kegiatan
budaya yang mereka lakukan sebagai bagian dari aktifitas pariwisata.
Dikemukakan bahwa hingga saat ini belum ada aktifitas yang dilakukan oleh
wisatawan untuk melakukan perjalanan (tracking) melewati atau bahkan
mengunjungi lokasi-lokasi pemukiman, kebun, dan ladang yang mereka miliki.
Hal ini sebenarnya dapat membuka peluang masyarakat sebagai ”pemilik” segala
potensi lokal untuk mendapatkan manfaat langsung dari kegiatan pariwisata
(Damanik dan Weber, 2006).
Kondisi alam yang terdapat di kawasan ini, sangat memungkinkan untuk
dilakukannya pengembangan kegiatan wisata lintas alam. Jarak antara Tanjung
Karang dengan Pusentasi sekitar 5 - 7 kilometer dengan melewati wilayah
Kelurahan Boneoge dan dusun Kaluku dimana terdapat kebun dan ladang milik
penduduk dengan pemandangan alam yang cukup baik dapat dikembangkan
untuk kegiatan tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan diskusi
dengan masyarakat, terdapat beberapa pilihan-pilihan jalur yang dapat
dikembangkan baik melalui wilayah perbukitan, menyusuri bibir pantai yang
melewati berbagai aktifitas nelayan ataupun kombinasi antara keduanya dapat
dikembangkan di kawasan ini.
57

Dikembangkannya berbagai jalur seperti yang dikemukakan dimuka


menyebabkan aktifitas wisatawan, terutama wisatawan lokal, tidak hanya datang
untuk sekedar melihat tetapi terbangun sebuah proses pendidikan yang dapat
memberi pemahaman kepada wisatawan tentang pentingnya alam dan potensinya
bagi masyarakat. Apabila kegiatan seperti ini dapat dikembangkan sebagai
salahsatu atraksi maka masyarakat akan memperoleh kesempatan yang lebih
besar untuk ikut terlibat didalamnya. Disamping bermanfaat untuk membangun
komunikasi dan interaksi antara wisatawan dengan masyarakat berdasarkan
”sentuhan” lokal, kegiatan ini juga dapat memberi pengenalan dan pemahaman
wisatawan terhadap alam dan budaya setempat. Pembahasan tentang potensi
budaya ini akan dikemukakan pada bagian berikut dari tulisan ini.
Pengembangan peran masyarakat seperti yang dikemukakan dimuka,
merupakan bentuk dari keterlibatan masyarakat secara penuh didalam
pengelolaan pariwisata di kawasan ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya
untuk membangun mekanisme yang memungkinkan bagi masyarakat untuk dapat
berperan didalamnya (Tabel 22).
Tabel 22. Pandangan masyarakat tentang mekanisme peran mereka dalam
pengelolaan pariwisata

Unsur Mekanisme
Atraksi alam dan - Masyarakat menggali dan merumuskan beberapa potensi alam dan
budaya budaya yang dapat dikembangkan menjadi produk wisata.
- Masyarakat secara berkelompok memproduksi atraksi wisata
berdasarkan potensi alam dan budaya tersebut dengan bimbingan
pemerintah, swasta, LSM, dan pihak lainnya yang berkepentingan.

Usaha jasa - Masyarakat menata pemukiman dan rumah mereka agar bagi yang
berkeinginan dapat dikembangkan menjadi rumah penginapan
wisatawan.
- Masyarakat mengembangkan resep makan dengan bahan lokal bagi
wisatawan.
- Menggali dan memproduksi kembali barang kerajinan yang pernah
dibuat oleh masyarakat sebagai souvenir dan peralatan makan
wisatawan.
- Menfungsikan perahu nelayan sebagai sarana transportasi wisata.
- Pemanfaatan warga masyarakat lokal sebagai pemandu wisata.
Informasi wisata - Masyarakat bersama pihak terkait lainnya melakukan inventarisasi,
dokumentasi, penyebarluasan informasi potensi wisata alam dan
budaya.
- Masyarakat bersama pihak lainnya menyusun pedoman bagi
58

wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Tanjung Karang


Pusentasi.
Promosi - Masyarakat berperan dalam merancang dan melaksanakan pesta
budaya baik yang dilakukan atas inisiatif masyarakat maupun
kegiatan yang sudah dijadualkan oleh pemerintah.
- Masyarakat berperan dalam upaya memasarkan produk wisata.
Organisasi dan - Penguatan terhadap organisasi dan kelompok masyarakat yang
kelembagaan sudah ada.
- Membangun mekanisme kerjasama antar kelompok-kelompok
masyarakat yang terdapat pada masing-masing desa dengan
pemerintah, swasta, LSM, dan pihak lainnya yang berkepentingan.

Mekanisme yang diharapkan oleh masyarakat lokal seperti yang


dikemukakan pada Tabel diatas dimaksudkan agar mereka dapat memperoleh
manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata serta memiliki kontrol terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam dan budaya yang dimilikinya. Mekanisme proses
yang dikembangkan pada masing-masing unsur diatas menjadikan masyarakat
akan terlatih untuk melakukan penggalian (assessment) terhadap potensi dan
peluang pasar wisata serta proses perencanaan pengembangan usaha dibidang
pariwisata. Disamping itu, upaya penguatan organisasi lokal serta membangun
komunikasi dan kerjasama antara organisasi dan kelompok masyarakat dengan
pihak lainnya akan memperkuat partisipasi masyarakat lokal, karena
keikutsertaan masyarakat secara institusi atau organisasi akan lebih efektif dan
berlanjut daripada keikutsertaan individu (Upphoff, 1987 dalam Brandon, 1993).
Pengembangan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata di
kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, seperti yang dikemukakan oleh
masyarakat diatas, masih mengalami beberapa kendala dalam implementasinya.
Meskipun demikian, dari hasil diskusi kelompok terfokus dikemukakan beberapa
permasalahan yang merupakan kendala dalam pengembangan peran tersebut.
Permasalahan tersebut seperti yang dikemukakan pada Tabel 23 berikut.
59

Tabel 23. Permasalahan yang dihadapi masyarakat lokal dalam pengelolaan


pariwisata

Unsur dan peran masyarakat Permasalahan

Atraksi alam dan budaya


- Perancangan produk/atraksi - Benturan kepentingan antara kegiatan
wisata pariwisata dengan kegiatan ekonomi
- Pengelolaan produk/atraksi wisata masyarakat lokal dan mengancam akses
masyarakat terhadap sumberdaya.
- Keterampilan rendah.
- Tidak ada dorongan dari pemerintah.
- Pembangunan pariwisata yang lebih
menekankan pada aspek fisik.
Usaha jasa
- Penyediaan homestay - Keterampilan rendah
- Penyediaan konsumsi wisatawan - Kekurangan modal
- Penyediaan souvenir - Tidak ada dukungan pemerintah
- Penyediaan jasa transportasi
- Penyediaan jasa pemanduan
Informasi wisata
- Penyediaan informasi produk - Keterampilan rendah
wisata - Tidak ada dukungan pemerintah
- Pembuatan pedoman wisata bagi - Akses masyarakat terhadap informasi
wisatawan pengembangan pariwisata masih rendah.
Promosi
Bersama pemerintah dan swasta Tidak ada dukungan pemerintah
melaksanakan pameran/expo untuk
kepentingan pariwisata
Organisasi dan kelembagaan
Pelibatan organisasi dan kelompok - Tidak ada mekanisme yang jelas dari
masyarakat yang telah ada dalam pemerintah tentang keterlibatan organisasi
pengelolaan pariwisata, mencakup dan kelompok masyarakat.
aspek perencanaan, pengawasan, - Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada
dan evaluasi. pengusaha.

Hasil diskusi kelompok seperti yang dikemukakan pada Tabel 23


memperlihatkan bahwa meskipun terdapat keinginan kuat masyarakat untuk
berperan aktif dalam pengelolaan pariwisata namun keinginan tersebut belum
dapat sepenuhnya terpenuhi karena masih terdapat berbagai permasalahan.
Permasalahan yang utama adalah dukungan kebijakan pemerintah, permodalan,
dan keterampilan masyarakat. Beberapa responden masyarakat lokal
mengemukakan bahwa mereka mengembangkan usaha yang dapat dilakukan
dengan modal dan keterampilan seadanya seperti membuka warung kopi, rumah
60

makan, dan penyewaan tikar dan ban untuk keperluan wisatawan, terutama
wisatawan lokal.

Salah seorang responden mengemukakan bahwa usaha warung kopi dan


pisang goreng yang dimilikinya sudah berlangsung sekitar 2 tahun dengan
penghasilan antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,- per hari. Sementara itu,
pemilik usaha warung makan yang terdapat di Tanjungkarang (satu-satunya
warung makan yang terdapat di Kawasan Tanjungkarang Pusentasi)
mengemukakan bahwa kegiatannya mengelola warung makan di lokasi wisata ini
dapat memberikan pendapatan rata-rata Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,- per
minggu, yang dapat digunakan secukupnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari
dan kebutuhan sekolah anak-anaknya. Untuk usaha penyawaan tikar, ban, dan
kacamata renang, mereka dapat memperoleh pendapatan antara Rp. 150.000,-
sampai Rp. 200.000,- per minggu dari usaha tersebut. Berdasarkan pengakuan
responden bahwa usaha ini yang sementara dapat mereka lakukan untuk
menambah penghasilan yang terbatas dari kegiatan keluarga sebagai nelayan dan
dengan keterampilan yang masih terbatas.

5.3. Kearifan Sosial Budaya Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya


Alam

Penduduk yang bermukim di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi


sebagian besar merupakan masyarakat lokal etnik Kaili dengan dialek Unde.
Oleh karena itu maka tatanan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat di
wilayah ini adalah tatanan sosial budaya masyarakat Kaili yang sangat
menghargai hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara manusia dan
alam sekitarnya. Hubungan antara manusia dan alam sekitarnya, dalam
pandangan masyarakat, tidak hanya sekedar hubungan fungsional semata,
dimana alam berfungsi memberikan kehidupan bagi manusia, tetapi memiliki
hubungan yang sangat luas mencakup aspek sosial budaya dan religiusitas
(Nugraha dan Murtijo, 2005).
Hubungan-hubungan yang diyakini oleh masyarakat dengan alam
sekitarnya biasanya diimplementasikan kedalam sikap keseharian mereka dalam
memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Dalam hal ini, sebagian
masyarakat di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi (sebagaimana masyarakat
61

Kaili pada umumnya) menerapkan hal tersebut kedalam pola pemanfaatan lahan
dengan berbagai kepentingannya. Pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat
dikemukakan pada Tabel berikut.

Tabel 24. Pola pemanfaatan lahan pada masyarakat Kaili di Tanjung Karang
Pusentasi
Pola pemanfaatan
Deskripsi Vegetasi Pemanfaatan
dan kepemilikan
Ngapa Wilayah yang Tanaman buah, Perumahan dan
(Perorangan dan diperuntukan bagi sayuran, dan prasarana
komunal) pemukiman. tanaman obat. masyarakat.
Pampa Lahan kebun atau Umbi-umbian, Subsisten, sebagai
(Perorangan) ladang yang ditanami jagung, tanaman penyanggah
tanaman berumur sayuran, dan kehidupan sebelum
pendek. tanaman obat. talua berproduksi.
Talua Lahan kebun yang Kelapa, cokelat, Kebutuhan jangka
(Perorangan) ditanami tanaman yang kopi, tanaman panjang, termasuk
berumur panjang. jangka panjang kebutuhan pangan
lainnya, dan padi tahunan.
ladang (umur pada
ladang ± 6-7
bulan).
Ova Lahan hutan bekas Tanaman keras Cadangan lahan
(Perorangan dan kebun yang telah terutama buah- dan produksi buah-
komunal) mengalami masa bera. buahan, tanaman buahan lokal.
kayu, dan belukar.
Pangale Hutan yang pernah Tanaman kayu, Produksi rotan,
(Komunal) dimanfaatkan atau rotan, dan berbagai tanaman obat, dan
dikelola tetapi telah jenis lainnya perburuan satwa
pulih kembali.
Sumber mata air
Olo Wilayah hutan yang Tanaman kayu dan
dan perlindungan
(Adat) sama sekali tidak dapat berbagai vegetasi
alam.
dikelola lainnya

Pola pemanfaatan lahan masyarakat di kawasan ini, merupakan pola


pemanfaatan tradisional yang yang sudah digunakan oleh masyarakat sejak lama.
Meskipun aturan tentang pemilikan lahan telah diatur oleh pemerintah melalui
kebijakannya, namun dalam beberapa hal seperti yang dikemukakan pada tabel
diatas pola pemanfaatannya masih diatur oleh kesepakatan masyarakat,
terutamam yang berkaitan dengan lahan yang dikelola secara komunal dan adat.
Melalui diskusi kelompok dikemukakan bahwa sebagai besar lahan yang dimiliki
secara perorangan oleh masyarakat lokal saat ini adalah lahan yang diwariskan
62

secara adat kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman dan
kebutuhan ekonomi masyarakat. Lahan komunal merupakan lahan yang dimiliki
secara kelompok dan dimanfaatkan serta diatur penggunaannya oleh kelompok.
Pengelolaan secara kelompok ini dikenal dengan sebutan nosialampale.
Sementara itu, kepemilikan lahan secara adat dilakukan untuk mengatur
penggunaan lahan agar kepentingan masyarakat dan kepentingan pelestarian alam
dapat berjalan seimbang.
Kegiatan pelestarian alam dilakukan oleh masyarakat selain untuk
kepentingan cadangan untuk kebutuhan masa depan juga ditujukan untuk
melindungi tata air bagi suatu lokasi tertentu. Pada beberapa desa di Kecamatan
Banawa, termasuk di kawasan ini, terdapat lokasi yang dilindungi oleh
masyarakat melalui mekanisme adat. Suatu lokasi tertentu yang dilindungi selain
dikeramatkan juga dikuti oleh aturan-aturan tertentu yang mengikat dan harus
ditaati oleh masyarakat. Resiko yang akan ditanggung bila melanggar, disamping
sanksi adat yang diberikan juga diyakini akan menyebabkan bencana berupa
gangguan hama tanaman, banjir, hilangnya sumber air, dan dapat pula
menyebabkan timbulnya wabah penyakit yang menimpa masyarakat.
Keseimbangan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam ini, selain
di aktualisasikan dalam pola pemanfaatan lahan, juga dilakukan oleh masyarakat
dalam pengelolaan lahan pertanian. Kegiatan pertanian dilakukan oleh
masyarakat dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan umumnya
berlaku pada masyarakat lainnya. Meskipun demikian, bagi masyarakat Kaili di
kawasan ini, proses pengelolaan lahan pertanian dilakukan dengan
menggabungkan teknik pertanian dan prosesi adat yang dianut dan diyakini
manfaatnya oleh masyarakat. Mekanisme pengelolaan usahatani yang dilakukan
oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 25.
63

Tabel 25. Tatacara masyarakat dalam pengelolaan usahatani.

Tahap Kegiatan Deskripsi


pengelolaan

Penyiapan lahan Nompepoyu Penentuan lokasi usahatani yang tepat agar


selaras dengan kepentingan alam. Kegiatan
dimulai dengan upacara adat.
Nontalu Pemarasan lokasi dilakukan dengan mengikuti
aturan yang telah disepakati secara adat oleh
masyarakat. Hal ini berkaitan dengan jenis dan
ukuran tanaman tertentu yang tidak boleh
ditebang.
Penanaman Notuja Kegiatan penanaman benih tanaman yang akan
diusahakan.
Pemeliharaan Nomperava Pembersihan gulma yang terdapat pada lahan
tanaman usahatani.
Panen dan paska Nokato Kegiatan pemanenan hasil usaha tani. Istilah
panen /nompui nokato diperuntukan bagi panen padi,
sedangkan nompui untuk tanaman jagung dan
buah-buahan.
Novunja Kegiatan adat/spiritual sebagai tanda
kesyukuran atas berhasilnya kegiatan usahatani.
Kelembagaan Nosialampale Sistim usaha bersama yang dilakukan dalam
mengelola lahan usahatani. Nosialampale
berarti bergandengan tangan.
Sobo - Pemangku adat (totua nu’ada) yang diangkat
sebagai pemimpin petani melalui
musyawarah adat.
- Sangat memahami kondisi alam dan
memiliki pengetahuan bertani yang baik.
Berperan sebagai pengambil keputusan
terhadap semua proses dalam kegiatan
usahatani.

Kegiatan nompepoyu merupakan tahapan yang paling menentukan dalam


proses pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat karena pada
tahapan ini mereka menentukan lokasi lahan usahatani yang dapat diusahakan.
Kegiatan ini dipimpin oleh seorang sobo yang akan melakukan dialog (nogane)
dengan alam agar dapat diberi petunjuk lokasi usahatani yang tepat sehingga
tidak berakibat bagi rusaknya alam. Proses tersebut akan menghasilkan
keputusan diizinkan atau tidaknya lokasi yang direncanakan dikelola sebagai
lahan usahatani. Bila keputusan akhir menyatakan bahwa lokasi tersebut tidak
64

dapat dikelola maka masyarakat yang akan membuka lahan harus mencari lokasi
lain yang tepat. Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi oleh sobo
merupakan perpaduan antara pertimbangan-pertimbangan topografi, ekologi, dan
metafisik.
Demikian pula dengan tahapan-tahapan selanjutnya seperti pengolahan
lahan, penanaman, panen dan kegiatan paska panen. Penentuan waktu
dimulainya pengolahan lahan dan penanaman ditentukan berdasarkan tanda-
tanda alam. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut, terutama nompepoyu,
notuja, dan nokato/nompui selalu didahului dengan kegiatan ritual yang dipimpin
oleh sobo dengan disertai semacam dialog dengan alam yang oleh masyarakat
disebut dengan nogane. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh masyarakat
secara gotong royong yang disebut nosialampale.
Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang terdapat di laut,
masyarakat di kawasan ini juga memiliki pengetahuan dan kearifan tertentu agar
potensi tersebut dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara turun temurun.
Masyarakat masih memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ketersediaan
sumberdaya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut diantaranya adalah waktu yang tepat untuk
melakukan penangkapan berdasarkan tanda-tanda alam seperti perbintangan,
kondisi permukaan air laut, dan kondisi pasang surutnya air laut, serta
pengetahuan tentang habitat yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya
jenis-jenis ikan tertentu.
Masyarakat yang terdapat di kawasan ini menyebut lokasi yang menjadi
habitat dari ikan-ikan tersebut berdasarkan jenis ikan yang dominan di lokasi
tersebut. Sebagai contoh misalnya, pasi pogo yang merupakan habitat tempat
berkembangnya sejenis ikan karang yang mereka sebut dengan bau pogo. Dalam
bahasa Kaili, pasi berarti gugusan terumbu karang, sedangkan bau berarti ikan.
Pengetahuan mereka tentang keadaan ini juga termasuk kapan waktu yang tepat
untuk dilakukan penangkapan agar supaya potensi yang terdapat pada lokasi
tersebut punah. Oleh karena itu dalam menjaga keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya tersebut maka masyarakat Kaili memiliki kearifan tertentu yang
disebut ombo.
65

Tabel 26. Kearifan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya laut.

Aspek Kegiatan Deskripsi


Sistim Ombo Aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk tidak
pengelolaan memanfaatkan hasil alam tertentu dalam batas
sumberdaya waktu yang ditentukan bersama oleh masyarakat.
Untuk daerah tangkapan ikan seperti pada suatu
gugusan karang, waktu jeda tersebut bermanfaat
untuk memulihkan populasi ikan dan perbaikan
terumbu karang.
Pemanfaatan Panambe Kegiatan yang dilakukan untuk memancing ikan
sumberdaya dengan menggunakan perahu dan melemparkan
perikanan umpan yang terdapat di pancing kemudian
menariknya secara perlahan untuk mengundang
perhatian ikan dan menangkap umpan yang terkait
di pancing tersebut. Kegiatan ini biasanya dilakukan
secara berkelompok dengan jumlah 3 – 5 orang.
Maninti Kegiatan memanfaatkan sumberdaya laut yang
terdapat pada tepi pantai hingga gugusan karang
saat air laut berada pada surut terendah dengan
menggunakan tombak bermata kecil, parang, dan
jaring tangkap yang mirip jaring kupu-kupu.
Adat/spiritual Nompaura Posesi adat yang dilakukan sekali setahun yang
dilakukan sebagai tanda syukur serta memberi
peringatan kepada masyarakat agar memanfaatkan
potensi alam dengan sebaik-baiknya tanpa
melakukan perusakan.

Kearifan lokal yang dihasilkan dari pengetahuan mereka tentang


sumberdaya laut tersebut merupakan potensi yang dapat dikelola untuk
kepentingan pengelolaan pariwisata. Ombo sebagai sebuah sistim pengelolaan
terumbu karang untuk menjaga kelestariannya tidak hanya bermanfaat bagi
kepentingan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tetapi
juga sangat bermanfaat untuk pariwisata sebagai salahsatu daya tarik yang
dimiliki oleh kawasan ini. Disamping itu, kegiatan perikanan yang dilakukan
oleh nelayan seharusnya juga dapat memperoleh manfaat dari dikembangkannya
pariwisata di kawasan ini. Manfaat yang didapatkan tidak hanya bersumber dari
penjualan hasil tangkapan ikan nelayan kepada wisatawan yang berkunjung tetapi
juga melalui keikutsertaan wisatawan pada aktifitas yang dilakukan oleh nelayan.
Salahsatu peluang untuk hal tersebut adalah menjadikan kegiatan panambe
sebagai atraksi wisata.
66

Menurut informasi yang dikemukakan oleh masyarakat pernah terjadi


secara spontan wisatawan meminta untuk diikutsertakan dalam kegiatan tersebut,
dan ini menurut mereka merupakan sebuah kebanggaan dimana orang luar
memberikan apresiasi terhadap aktifitas yang mereka lakukan. Dengan demikian
maka aktifitas masyarakat ini dapat dikembangkan menjadi salahsatu daya tarik
wisata yang juga bermanfaat untuk menambah pendapatan masyarakat serta
mendorong mereka melindungi sumberdaya yang menjadi tempat dilakukannya
aktifitas tersebut.
Disamping pengetahuan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
alam seperti yang dikemukakan dimuka, masyarakat juga memiliki pengetahuan
dan keterampilan dalam menghasilkan produk-produk budaya baik yang
berbentuk benda budaya maupun seni musik dan tari. Berbagai bentuk produk
budaya masyarakat di kawasan wisata ini disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kerajinan.

Jenis produk
Kegiatan Deskripsi
(Nama lokal)
Menenun Buya Sabe Suatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat Kaili
(Nontanu) yang dituangkan kedalam bentuk pembuatan kain
sarung dari benang sutera dengan berbagai motif.
Pembuatan Sindu Sendok sayur yang terbuat dari tempurung kelapa
alat-alat dengan menggunakan kayu sebagai tangkainya.
rumahtangga
Bobo Alat penyimpan air yang terbuat dari tempurung
kelapa bulat yang telah dikeluarkan dagingnya.
Pemanjo Belahan tempurung kelapa yang berbentuk
mangkok sebagai tempat cuci tangan. Bentuk yang
seperti ini kadang juga digunakan oleh masyarakat
sebagai tempat hidangan sayur.
Suge Sendok nasi yang terbuat dari bahan kayu yang
terdapat disekitar desa.

Salahsatu produk budaya masyarakat di wilayah ini yang saat ini telah
memiliki nilai ekonomi adalah pembuatan sarung Donggala yang diproduksi
dengan menggunakan alat tenun tangan. Pembuatan sarung ini merupakan
keterampilan yang telah dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat di
wilayah ini serta pada masyarakat Kaili di beberapa wilayah lainnya. Pada
67

masyarakat Kaili, kegiatan ini biasa disebut dengan kegiatan nontanu yang dalam
bahasa Indonesia berarti menenun.
Nontanu adalah kegiatan membuat kain sarung yang juga merupakan
salahsatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat lokal Kaili yang yang
dituangkan kedalam kain sarung yang ditenun secara manual dengan
menggunakan alat tenun tangan. Kegiatan masyarakat ini sudah berlangsung
sejak zaman dahulu, meskipun tidak diperoleh informasi yang menyatakan sejak
kapan kegiatan ini dilakukan, dan merupakan keterampilan dan aktifitas yang
dilakukan oleh seorang gadis disamping aktifitas-aktifitas lainnya yang dilakukan
di rumah. Meskipun dahulu produksi sarung ini bukan untuk kepentingan
ekonomi tetapi hanya merupakan aktifitas yang berorientasi sosial dan budaya,
namun saat ini telah menjadi sebuah kegiatan yang memberikan nilai ekonomi
bagi masyarakat.

Gambar 7. Kegiatan nontanu yang dilakukan oleh seorang gadis di kawasan wisata
Tanjung Karang Pusentasi. (Foto : Yayasan BEST)

Masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi juga memiliki


keterampilan untuk menghasilkan barang-barang kerajinan yang berasal dari
kayu, tempurung, dan bambu yang terdapat di kawasan ini, yang biasanya
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Produk kerajian tersebut biasanya
berupa barang-barang rumahtangga seperti sendok masak, serta alat makan dan
minum. Namun demikian barang-barang tersebut sudah jarang dibuat karena
68

tergeser oleh produk-produk industri. Peluang yang dapat dilakukan adalah


menjadikan barang-barang tersebut sebagai cinderamata yang dapat dibeli oleh
wisatawan serta dapat dijadikan sebagai perlengkapan makan bagi wisatawan.
Selain produk budaya yang berupa barang kerajian tersebut, di wilayah
ini juga masih terdapat berbagai produk kesenian seperti seni tari dan musik.
Kegiatan seni tari yang masih dimiliki oleh masyarakat dan merupakan tarian
yang sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan adalah tari
Pontanu, Peulucinde dan Pomonte. Produk-produk kesenian tersebut
dikemukakan pada Tabel 28.

Tabel 28. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kesenian.


Jenis
Kegiatan Deskripsi
(Nama lokal)
Tari Pomonte Tarian yang menggambarkan proses pemanenan padi yang
dilakukan oleh beberapa orang baik pria maupun wanita,
yang dipimpin oleh seorang tadulako.
Pontanu Tarian yang menggambarkan proses pembuatan sarung.
Peulucinde Tarian penyambutan tamu yang dilakukan oleh tiga orang
wanita.
Meaju Suatu prosesi penyambutan tamu-tamu penting, biasanya
dilakukan pada saat tamu masih berada di batas desa atau
arena suatu kegiatan.
Musik Kakula Seni musik yang menggunakan kulintang dan gong yang
terbuat dari kuningan, dan gendang, dan biasanya
dimainkan pada acara-acara tertentu.
Dadendate Dadendate berarti nyanyian panjang, diiringi oleh alat
musik berupa suling. Dilakukan menjelang kepergian
seseorang ke perantauan yang berisi pesan-pesan moral.
Saat ini dadendate telah digunakan pula sebagai media
penyampaian pesan-pesan lingkungan.

Tari Pomonte merupakan tarian yang menggambarkan tentang proses


pemanenan padi yang ditarikan oleh beberapa orang baik wanita maupun pria,
yang didalamnya menggambarkan tentang peran seorang pemimpin atau
Tadulako didalam melakukan sebuah kerja kelompok. Tari Pontanu merupakan
tarian yang dilakukan oleh beberapa gadis yang menggambarkan tentang proses
pembuatan sarung Donggala. Sedangkan tari Peulucinde adalah tarian yang
dilakukan untuk menyambut kedatangan tamu dan ditarikan pula oleh beberapa
orang gadis.
69

Kegiatan budaya lainnya yang masih dijumpai adalah Meaju yang


merupakan sebuat prosesi penerimaan tamu secara resmi. Kegiatan dilakukan
oleh sekelompok pria dengan menggunakan pakaian tertentu dan menggunakan
tombak yang melakukan arak-arakan dari tempat diterimanya tamu hingga ke
tempat dilakukannya suatu acara tertentu. Meaju ini biasa dilakukan pada saat
menjemput kedatangan tamu-tamu penting yang datang ke daerah ini.
Seni musik tradisional yang masih terdapat pada masyarakat Kaili yang
bermukim di wilayah ini adalah Kakula dan Dadendate. Kakula merupakan seni
musik yang dapat dimainkan tanpa atau mengiringi seorang penyanyi. Kegiatan
seni ini biasa dilakukan pada saat beberapa hari sebelum hingga menjelang pesta
pernikahan (tanpa penyanyi), serta pada acara-acara tertentu lainnya dengan
menggunakan penyanyi. Sedangkan dadendate (nyanyian panjang) merupakan
sebuah jenis kesenian yang biasanya dilakukan menjelang kepergiaan seseorang
ke perantauan dan berisi pesan-pesan moral tertentu, dinyanyikan oleh seseoang
dengan diiringi oleh oleh beberapa alat musik tertentu. Selain digunakan untuk
mengantar kepergian seseorang saat ini dadendate telah digunakan pula untuk
menyampaikan pesan-pesan lingkungan kepada masyarakat.

5.4. Konsep Pemerintah dan Pihak Lainnya Dalam Pengelolaan Pariwisata


Berbasis Masyarakat
Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan dukungan
berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya
masyarakat. Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan memiliki peran
yang sangat penting untuk mengatur keseimbangan berbagai kepentingan yang
terdapat dalam kegiatan pariwisata. Berkaitan hal tersebut, Dinas Pariwisata Seni
dan Budaya Kabupaten Donggala mengembangkan konsep pembangunan
pariwisata seperti yang dikemukakan pada Tabel 29.
70

Tabel 29. Konsep pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala.

Tujuan Strategi Program

Pembangunan kepariwisataan 1. Mendorong masyarakat 1. Pengembangan


daerah yang dapat : untuk melindungi potensi kelembagaan
alam dan budaya.
1. Mengenal dan mencintai 2. Mengembangkan
alam dan seni budaya 2. Mendorong pengembangan produk kerajian
daerah, kreasi seni untuk masyarakat.
memperkaya kebudayaan
2. Memelihara keseimbangan 3. Peningkatan
daerah.
lingkungan hidup, promosi dan
3. Meningkatkan peran aktif pembinaan
3. Memperluas kesempatan
masyarakat serta pengusaha masyarakat
kerja, dan
kecil dan menengah. pariwisata.
4. Meningkatkan pendapatan
4. Meningkatkan pengenalan 4. Pengembangan
masyarakat dan daerah.
masyarakat luas terhadap pendidikan dan
potensi wisata daerah. pelatihan
pariwisata.
5. Mengembangkan obyek
wisata lokal dengan ciri
khas daerah sebagai bagian
dari aktifitas masyarakat.
Sumber : Disparsenibud Donggala (2002, 2003).

Strategi pengembangan pariwisata di Kabupaten Donggala, seperti yang


dikemukakan pada tabel diatas, memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat
memiliki kesempatan yang sangat besar untuk berpartisipasi didalam pengelolaan
pariwisata di kawasan Tanjung Karang Pusentasi. Meskipun demikian, sejalan
dengan kondisi yang diungkapakan oleh masyarakat lokal pada saat wawancara
dan diskusi kelompok terfokus bahwa konsep pemerintah tentang pengembangan
peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata belum didukung oleh pengaturan
mekanisme yang jelas tentang peran tersebut. Hingga saat ini Dinas Pariwisata
juga belum memiliki satupun dokumen yang dapat memberi panduan bagi semua
pihak untuk mengembangkan peran bersama dalam pengelolaan pariwisata di
kawasan ini.
Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap
aparat pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan
dengan pandangan mereka terhadap peran masyarakat lokal dalam pengelolaan
pariwisata di Tanjung karang Pusentasi dikemukakan pada Tabel 30.
71

Tabel 30. Pandangan aparat pemerintah, swasta, dan LSM tentang peran dan
posisi masyarakat.

Pihak Posisi dan peran masyarakat

Aparat - Melibatkan semua komponen masyarakat, dimana pemerintah


Pemerintah berperan sebagai fasilitator.
- Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengembangan
pariwisata.
- Pengembangan obyek wisata sebagai bagian dari aktifitas
masyarakat.
- Pengembangan pariwisata dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat lokal.
Swasta - Melibatkan masyarakat lokal dalam mengelola pariwisata sebagai
tenaga kerja.
- Perlindungan potensi alam sebagai daya tarik wisata.
- Pengembangan dan perlindungan budaya lokal sebagai salahsatu
daya tarik wisata.
LSM/KSM - Masyarakat lokal dilibatkan secara penuh dalam perencanaan
pengembangan kawasan wisata.
- Keikutsertaan masyarakat dalam usaha pariwisata melalui
kelompok usaha bersama yang dibentuk oleh masyarakat lokal.
- Pengembangan usaha dengan sistim kerjasama (kepemilikan
bersama) antara swasta dan masyarakat lokal.

Wawancara yang dilakukan terhadap aparat pemerintah pada berbagai


tingkatan memperlihatkan bahwa posisi dan peran masyarakat menjadi perhatian
dalam pengembangan pariwisata di kawasan ini. Seperti dikemukakan pada tabel
diatas, terlihat bahwa masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengelolaan
pariwisata dengan menjadikan kegiatan pariwisata sebagai bagian dari aktifitas
masyarakat dan pengembangan pariwisata dilakukan dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, beberapa responden aparat
pemerintah yang berasal dari tingkatan terendah yaitu Lurah dan Kepala Desa
mengemukakan bahwa keadaan tersebut masih sulit untuk diwujudkan karena
hingga saat ini belum pedoman yang jelas tentang pengembangan peran
masyarakat. Hal ini penting, terutama bagi aparat pemerintahan pada tingkatan
ini, agar dapat dijadikan dasar yang kuat bagi mereka untuk melakukan
pengambilan keputusan pada level pemerintahan yang dipimpimnya.
Dikemukakan bahwa tanpa aturan dan pedoman yang jelas sulit bagi mereka
untuk memperjuangkan peran masyarakat disaat berbagai kepentingan, termasuk
72

kepentingan pemerintahan pada level diatasnya, bertarung untuk mendapatkan


manfaat dari berkembangnya kegiatan pariwisata.

5.5. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di


Tanjung Karang Pusentasi
Berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di
kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, beberapa hal yang merupakan faktor-
faktor pendukung maupun kendala didalam mengembangkan kegiatan tersebut
telah diidentifikasi melalui serangkaian proses wawancara dan diskusi baik
kepada masyarakat lokal maupun stakehoder lainnya seperti pemerintah,
pengusaha wisata, dan LSM. Beberapa faktor pendukung yang berkaitan
dengan pengembangan pariwisata berbasis mastarakat tersebut adalah :
1. Potensi alam berupa pemandangan alam laut, pantai pasir putih, terumbu
karang, potensi alam daratan untuk melakukan tracking (lintas alam).
2. Budaya dan kearifan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan yang
selaras alam, kearifan masyarakat dalam melindungi terumbu karang
melalui ombo, kegiatan panambe.
3. Keinginan yang kuat dari masyarakat untuk terlibat dalam
mengembangkan potensi sumberdaya pariwisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam menghasilkan produk kerajinan dan
olahan makanan lokal yang berasal dari hasil laut.
5. Kelembagaan sosial masyarakat yang masih terpelihara (kelompok
nelayan, institusi adat, kelompok dasawisma/PKK, kelompok pemuda,
dan kelompok keagamaan).
6. Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk melindungi potensi
sumberdaya alam dan budaya (Renstra Pariwisata Donggala).
7. Pengembangan obyek wisata lokal dengan ciri khas daerah sebagai bagian
dari aktifitas masyarakat (Renstra pariwisata Donggala).
8. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat
(Renstra Pariwisata Dongaala).
9. Keinginan pihak swasta/pengusaha untuk melibatkan masyarakat lokal.
10. Dukungan/perhatian lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong
peranserta masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
73

Sedangkan faktor-faktor yang merupakan kendala atau permasalah dalam


mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan ini adalah :
1. Akses masyarakat yang lemah terhadap informasi pengembangan
pariwisata.
2. Rendahnya kemampuan permodalan masyarakat dalam mengembangkan
usaha yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata.
3. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam merancang produk
dalam bentuk atraksi wisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lokasi pariwisata yang
masih rendah.
5. Kerjasama antar lembaga masyarakat yang terdapat di kawasan wisata
yang masih rendah.
6. Tidak adanya aturan dan mekanisme yang jelas, dari pemerintah, yang
dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata.
7. Kegiatan pariwisata yang berbenturan dengan kegiatan ekonomi
masyarakat lokal (kasus area penyelaman di Tanjung Karang) dan
mengamcam akses masyarakat terhadap sumberdaya .
8. Kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah yang
lebih menekankan pada aspek fisik.
9. Pembangunan prasarana penunjang pariwisata yang megakibatkan
kerusakan lingkungan.
10. Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada pengusaha/swasta.
Informasi-informasi yang berkaitan dengan faktor pendukung dan kendala
yang terdapat dalam upaya mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat ini
kemudian dirumuskan kedalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman yang dianalisis untuk mendapatkan strategi yang dapat mendukung
dikembangkannya konsep pengelolaan tersebut.

5.5.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal


Analisis SWOT dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor internal dan
eksternal yang terdapat pada kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi untuk
memberi arahan bagi pengembangan strategi pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat di kawasan ini. Faktor internal adalah faktor dari dalam masyarakat
74

lokal yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya (Tabel 31


dan 32). Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor diluar masyarakat lokal
yang kondisinya tidak diatur atau dikendalikan oleh masyarakat, yang
digambarkan melalui faktor peluang dan ancaman (Tabel 31).

Tabel 31. Analisis faktor internal yang merupakan kekuatan dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.

Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Internal

Nilai
Kekuatan :
1. Potensi alam berupa pemandangan alam laut, pantai 1,00 4 4,00 I
pasir putih, terumbu karang, dan potensi alam daratan
untuk melakukan tracking (lintas alam).
2. Budaya dan kearifan masyarakat dalam melakukan 1,00 4 4,00 I
kegiatan yang selaras alam serta kearifan masyarakat
dalam melindungi terumbu karang melalui ombo,
kegiatan panambe, kegiatan nontanu, dan produk
kesenian lokal.
3. Keinginan yang kuat dari masyarakat untuk 0,50 2 1,00 IV
mengembangkan potensi sumberdaya pariwisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam menghasilkan produk 0,75 4 3,00 II
kerajinan dan olahan makanan lokal yang berasal dari
hasil laut.
5. Kelembagaan sosial masyarakat yang masih terpelihara 0,75 3 2,25 III
(kelompok nelayan, institusi adat, kelompok
dasawisma/PKK, kelompok pemuda, dan kelompok
keagamaan).
Jumlah 14,25
Keterangan :
 Pembobotan didasarkan pada tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap konsep
pariwisata berbasis masyarakat. Kriteria digunakan (1,00 =sangat berpengaruh ; 0,75
=berpengaruh ; 0,50 =cukup berpengaruh ; 0,25 =kurang berpengaruh ; 0,00 = tidak
berpengaruh).
 Rating yaitu tingkat kepercayaan atau keyakinan akan pentingnya aspek tersebut,
menggunakan skala Likers dengan nilai 1-4 dengan kategori : 1 =kurang penting, 2
=cukup penting, 3 =penting, 4 =sangat penting.
 Nilai merupakan hasil perkalian antara bobot dengan rating.

Faktor strategis kekuatan (internal) dalam pengelolaan pariwisata di


Tanjung Karang Pusentasi memiliki nilai total sebesar 13,50 (Tabel 31). Bila
diamati melalui berbagai faktor didalamnya, ternyata faktor keragaman potensi
alam, dan faktor budaya dan kearifan masyarakat mempunyai nilai yang paling
tinggi (4,00) dibanding faktor-faktor lainnya. Keadaan ini sangat beralasan bila
75

dikaitkan dengan hasil pemetaan masyarakat tentang potensi atraksi wisata alam
dan budaya yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. Meskipun
demikian, faktor-faktor lain seperti keterampilan masyarakat dalam memproduksi
barang kerajinan lokal (3,00), kelembagaan sosial masyarakat (2,25), dan
motivasi masyarakat lokal (1,00) tetap memegang peranan penting dalam upaya
pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.

Tabel 32. Analisis faktor internal yang merupakan kelemahan dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.

Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Internal

Nilai
Kelemahan :
1. Akses masyarakat yang lemah terhadap informasi 1,00 4 4,00 I
pengembangan pariwisata.
2. Rendahnya kemampuan permodalam nasyarakat dalam 0,75 4 3,00 II
mengembangkan usaha yang berkaitan dengan kegiatan
pariwisata.
3. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam 0,75 4 3,00 II
merancang produk dalam bentuk atraksi wisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lokasi 0,75 4 3,00 II
wisata yang masih rendah.
5. Belum ada kerjasama antar lembaga masyarakat yang 0,50 3 1,50 IV
terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi.

Jumlah 14,50

Faktor internal yang merupakan kelemahan memiliki nilai total sebesar


14,50 (Tabel 32), dengan faktor kelemahan yang paling menonjol adalah akses
masyarakat yang lemah terhadap informasi pengembangan pariwisata.
Sementara itu faktor-faktor kelemahan lainnya yang juga menonjol adalah
rendahnya kemampuan permodalan masyarakat, merancang produk wisata, dan
pengelolaan lokasi wisata.
76

Tabel 33. Analisis faktor eksternal yang merupakan peluang dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.

Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Eksternal

Nilai
Peluang
1. Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk 1,00 3 3,00 II
melindungi potensi sumberdaya alam dan budaya
(Renstra Pariwisata Donggala).
2. Pengembangan obyek wisata lokal dengan ciri khas 0,75 3 2,25 III
daerah sebagai bagian dari aktifitas masyarakat
(Renstra Pariwisata Donggala)
3. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif 1,00 4 4,00 I
masyarakat (Renstra Pariwisata Donggala).
4. Adanya keinginan pihak swasta/pengusaha untuk 0,50 2 1,00 IV
melibatkan masyarakat lokal.
5. Dukungan/perhatian lembaga swadaya masyarakat 0,75 4 3,00 II
untuk mendorong peranserta masyarakat dalam
pengembangan pariwisata.
Jumlah 13,25

Faktor-faktor strategis eksternal yang merupakan peluang bagi


pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi
memiliki nilai sebesar 13,25 (Tabel 33). Faktor yang dapat diandalkan untuk
mengembangkan sistim pengelolaan berbasis masyarakat adalah dukungan
pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan
pariwisata seperti yang tertuang dalam rencana strategi pariwisata Donggala
tahun 2003. Sementara itu faktor-faktor lain yang juga dapat mendukung adalah
dukungan pemerintah terhadap perlindungan potensi alam dan budaya, dukungan
lembaga swadaya masyarakat, dan konsep pemerintah yang akan
mengembangkan obyek wisata dengan ciri khas lokal serta menjadikannya
sebagai bagian dari aktifitas masyarakat. Dukungan pihak swasta dalam hal ini
tidak terlalu berpengaruh yang disebabkan karena orientasi profit yang dianut
oleh pengusaha pada umumnya.
77

Tabel 34. Analisis faktor eksternal yang merupakan ancaman dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.

Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Eksternal

Nilai
Ancaman :
1. Tidak adanya aturan dan mekanisme yang jelas, dari 1,00 4 4,00 I
pemerintah, yang dapat menjamin keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan pariwisata.
2. Kegiatan pariwisata yang berbenturan dengan kegiatan 1,00 3 3,00 II
ekonomi masyarakat lokal dan mengamcam akses
masyarakat terhadap sumberdaya.
Kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh
3. pemerintah yang lebih menekankan pada aspek fisik. 0,75 2 1,50 IV
Pembangunan prasarana penunjang pariwisata yang
megakibatkan kerusakan lingkungan.
4. Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada 0,50 3 1,50 IV
pengusaha/swasta.
5. 0,75 4 3,00 III

Jumlah 13,00

Faktor-faktor eksternal yang merupakan ancaman bagi penerapan konsep


pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dikemukakan pada
Tabel 34 diatas memiliki nilai total sebesar 12,15. Faktor yang paling menonjol
adalah berkaitan dengan tidak adanya aturan dan mekanisme yang dapat
menjamin keterlibatan masyarakat secara penuh didalam kegiatan pariwisata.
Ancaman lainnya yang menonjol adalah perbenturan kepentingan antara kegiatan
pariwisata dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Variasi dari ancaman ini dapat
berupa hilangnya hak masyarakat terhadap lahan yang dimilikinya, dan hilangnya
akses mereka terhadap sumberdaya seperti yang terjadi pada konflik pemanfaatan
terumbu karang untuk lokasi penyelaman dengan kepentingan nelayan di Tanjung
Karang. Disamping itu, komitmen yang rendah terhadap pembangunan yang
bersifat non-fisik dan berorientasi lingkungan, rendahnya keberpihakan pada
masyarakat lokal merupakan ancaman dalam mengembangkan sistim pengelolaan
yang berbasis masyarakat.
Pengembangan strategi pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat
dikawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi dilakukan dengan mensinergikan
78

faktor-faktor internal dan eksternal pada Tabel 31, 32, 33, dan 34 kedalam 4
pilihan strategi sebagaimana dikemukakan pada Tabel 35 berikut.

Tabel 35 Matriks SWOT dalam pengelolaan pariwisata di kawasan wisata


Tanjung Karang Pusentasi
Faktor internal
Kekuatan (S) : Kelemahan (W) :
Potensi alam yang tersedia Akses masyarakat rendah
(4,00) terhadap informasi
Potensi budaya dan kearifan pengembangan pariwisata
masyarakat (4,00) (4,00)
Keterampilan masyarakat Rendahnya kemampuan
dalam menghasilkan permodalan masyarakat
kerajinan dan makanan hasil (3,00)
laut (3,00) Rendahnya kemampuan
Kelembagaan sosial masyarakat merancang
masyarakat yang masih produk/atraksi wisata (3,00)
Faktor eksternal terpelihara (2,25) Keterampilan pengelolaan
Keinginan kuat masyarakat pariwisata yang rendah
(1,00) (3,00)
Belum ada kerjasama antar
lembaga masyarakat (1,50)
Peluang (O) : Strategi S-O : Strategi W-O :
Dukungan pemerintah untuk  Pengelolaan potensi yang  Pengembangan kapasitas
meningkatkan peran aktif beragam tersebut masyarakat lokal dan
masyarakat (4,00) dilakukan secara bersama organisasi sosial yang
Dukungan pemerintah oleh semua pihak dimana dimilikinya .
kepada masyarakat untuk masyarakat lokal  Membangun mekanisme
melindungi potensi alam mengambil peran dalam penyediaan modal usaha
dan budaya (3,00) pengambilan keputusan. bagi masyarakat lokal
Dukungan lembaga swadaya  Mengintegrasikan modal yang mengikutsertakan
masyarakat bagi peranserta sosial masyarakat (budaya semua pihak.
masyarakat (3,00) dan kearifan lokal) dengan  Mengembangkan
Kebijakanpemerintah untuk program pemerintah. jaringan kerjasama yang
mengembangkan pariwisata  Pengembangan setara antara kelompok-
dengan ciri khas lokal oleh kemampuan masyarakat kelompok atau
masyarakat (2,25) dalam melakukan organisasi masyarakat
Keinginan pihak swasta assessment terhadap lokal dengan pemerintah,
melibatkan masyarakat potensi lokal yang swasta, dam lembaga
(1,00) dimilikinya. swadaya masyarakat.
79

Tabel 35. Lanjutan


Ancaman (T) : Strategi S-T : Strategi W-T :
Tidak ada peraturan dan  Mensinkronisasikan modal  Menyiapkan peraturan
mekanisme yang jelas bagi sosial yang dimiliki dan mekanisme
keterlibatan masyarakat masyarakat dengan keterlibatan masyarakat
(4,00) kemampuan kapital yang dalam pengelolaan
Benturan kegiatan pariwisata dimiliki oleh stakeholder pariwisata.
dengan kegiatan ekonomi lainnya.  Penguatan organisasi
masyarakat yang  Membangun sistim dan kelembagaan yang
mengancam akses terhadap perencanaan terdapat pada
sumberdaya (3,00) pengembangan pariwisata masyarakat lokal.
Sikap pemerintah lebih lebih yang memungkinkan  Membangun sistim
berpihak kepada pengusaha terpeliharanya hak dan pengelolaan yang
(3,00) akses masyarakat terhadap memungkinkan
Pembangunan pariwisata sumberdaya. masyarakat sebagai
yang lebih menekankan pada  Mengembangkan prinsip pemilik saham .
aspek fisik (1,50) pengelolaan pariwisata
Pembangunan prasarana yang ramah lingkungan.
pariwisata mengakibatkan
kerusakan lingkungan (1,50)

5.5.2. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat


Untuk menentukan alternatif prioritas strategi yang dapat dikembangkan
dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung
Karang Pusentasi, dilakukan penghitungan nilai dari masing-masing strategi
dengan menjumlahkan nilai masing-masing faktor yang saling berinteraksi.
Urutan prioritas strategi ditentukan oleh besarnya nilai hasil penjumlahan antar
faktor yang berintegrasi dan disusun berdasarkan besarnya nilai masing-masing
strategi tersebut. Nilai interaksi antar faktor tersebut dikemukakan pada matriks
berikut.

Faktor internal
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Faktor eksternal (13,50) (14,50)
Peluang (O) Strategi S-O Strategi W-O
(13,25) (26,75) (27,75)
Ancaman (T) Strategi S-T Strategi W-T
(13,00) (26,50) (27,50)
Gambar 8. Matriks nilai strategi SWOT dalam pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi.
80

Berdasarkan hasil perhitungan nilai interaksi antar faktor yang


dikemukakan pada diatas diperoleh urutan prioritas strategi yaitu strategi W-O
(27,75), strategi W-T (27,50), strategi S-O (26,75), dan strategi S-T (26,50).
Mengacu pada nilai masing-masing strategi tersebut, maka dapat disusun strategi-
strategi pengelolaan sebagai berikut :
1. Strategi W-O meliputi :
a. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal dan organisasi sosial yang
dimilikinya.
b. Membangun mekanisme penyediaan modal usaha bagi masyarakat lokal
yang mengikutsertakan semua pihak.
c. Mengembangkan jaringan kerjasama yang setara antara kelompok-
kelompok atau organisasi masyarakat lokal dengan pemerintah, swasta,
dam lembaga swadaya masyarakat.

2. Strategi W-T meliputi :


a. Menyiapkan peraturan dan mekanisme keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan pariwisata.
b. Penguatan organisasi dan kelembagaan yang terdapat pada masyarakat
lokal.
c. Membangun sistim pengelolaan yang memungkinkan masyarakat sebagai
pemilik saham dari usaha pariwisata yang dikembangkan.

3. Strategi S-O meliputi :


a. Pengelolaan potensi pariwisata yang beragam di kawasan wisata ini
dilakukan secara bersama oleh semua pihak dimana masyarakat lokal
mengambil peran dalam pengambilan keputusan.
b. Mengintegrasikan modal sosial masyarakat (budaya dan kearifan lokal)
dengan program pemerintah.
c. Pengembangan kemampuan masyarakat dalam melakukan assessment
terhadap potensi lokal yang dimilikinya.
81

4. Strategi S-T meliputi :


a. Mensinkronisasikan modal sosial yang dimiliki masyarakat dengan
kemampuan modal yang dimiliki oleh stakeholder lainnya.
b. Membangun sistim perencanaan pengembangan pariwisata yang
memungkinkan terpeliharanya hak dan akses masyarakat terhadap
sumberdaya.
c. Mengembangkan prinsip pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan.

Bila ditelaah secara lebih seksama faktor-faktor strategis tersebut, secara


garis besar mencakup beberapa isu penting yang perlu mendapatkan perhatian
yaitu :
Pertama, pengembangan kapasitas masyarakat dan stakeholder lainnya
dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Pengembangan kapasitas
masyarakat akan mencakup pengetahuan dan keterampilan, permodalan, dan
pengembangan jaringan. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat
membutuhkan sebuah proses yang memungkinkan masyarakat dapat berperan
lebih baik didalamnya. Pengembangan kapasitas merupakan serangkaian
aktifitas dimana individu, kelompok, dan organisasi didalam masyarakat
meningkatkan kemampuan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat. Kapasitas dalam hal ini menyangkut kepedulian, keterampilan,
pengetahuan, motivasi, komitmen, dan kepercayaan diri masyarakat (Raik, 2002).
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengukur
potensi, nilai, dan prioritas mereka serta dapat mengorganisir diri (William, 1995
dalam Syahyuti, 2005) untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan potensi
sumberdaya yang terdapat di lingkungannya.
Pengembangan kapasitas stakeholder lainnya dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan mereka dalam memahami kepentingan-
kepentingan masyarakat lokal dan mengakomodasikannya kedalam aktifitas
usaha pengembangan pariwisata yang dilakukan. Pengembangan kapasitas seperti
yang dikemukakan tersebut, tidak ditujukan untuk menafikan peran pihak lain
diluar masyarakat lokal seperti pemerintah, swasta, dan berbagai kelompok
lainnya, yang notabene memiliki kemampuan jaringan dan permodalan yang
lebih baik, tetapi sebagai upaya untuk membangun kemampuan masyarakat
82

lokal dan stakeholdre lainnya dalam melakukan kerjasama serta mampu


melakukan proses pengambilan keputusan bersama yang setara dan saling
menguntungkan. Dengan demikian, proses tersebut juga akan memberikan
kemampuan bagi masyarakat dalam mengembangkan jaringan kerjasamanya
dengan berbagai pihak.
Pendekatan seperti ini telah dikembangkan dalam kegiatan pariwisata
berbasis masyarakat yang dilakukan di beberapa Taman Nasional di Indonesia.
Salahsatunya adalah yang dilakukan di Taman Nasional Rinjani, dimana
masyarakat lokal dengan stakeholder lainnya melakukan perencanaan dan
pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat secara bersama-sama (APEIS-
RISPO, 2003a). Selain di Taman Nasional Rinjani, kegiatan tersebut telah pula
dilakukan oleh berbagai lembaga dan masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan
pariwisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(APEIS-RISPO, 2003b). Keadaan ini akan memberikan peluang bagi masyarakat
untuk membangun usaha bersama dengan pihak lain ataupun mendapatkan
suntikan modal karena perencanaan usaha yang dilakukan didasarkan pada proses
perencanaan yang matang.
Kedua, inventarisasi ataupun penggalian kembali potensi sumberdaya
pariwisata baik yang bersumber dari potensi alam (termasuk didalamnya aktifitas
produksi masyarakat) maupun potensi sosial budaya. Inventarisasi merupakan
suatu bagian dari proses pengelolaan yang akan menentukan strategi yang dapat
digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Flyman (2002)
mengemukakan bahwa pengambilan keputusan dan kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat harus didasarkan pada pemahaman mereka tentang sumberdaya yang
tersedia agar dapat menjamin kebutuhan mereka secara berkelanjutan.
Inventarisasi ini juga merupakan suatu bentuk proses pembelajaran bagi
masyarakat lokal dalam mempersiapkan dan memproduksi atraksi wisata.
Kemampuan masyarakat lokal dalam memetakan potensi sumberdaya pariwisata
yang terdapat di lingkungannya adalah modal yang sangat penting dalam
mendukung keterlibatan mereka pada semua tahapan pengelolaan (Garrod, 2003).
Hal ini akan memeberikan kemampuan kepada masyarakat untuk dapat
83

memetakan potensi yang mereka miliki termasuk kekurangan dan kelebihan yang
terdapat didalamnya.
Ketiga, pengembangan kemampuan permodalan dan pengelolaan usaha
masyarakat lokal. Hal ini merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi seperti yang dialami
oleh kebanyakan masyarakat di desa-desa pantai yang sebagian besar bekerja
sebagai nelayan dan memiliki kemampuan modal yang sangat terbatas. Upaya
yang dilakukan dalam mengembangkan kemampuan masyarakat lokal dalam
pengelolaan usaha pariwisata serta seberapa besar manfaat yang diperolehnya
tergantung pada beberapa faktor penting seperti jenis wisata yang dikembangkan,
regulasi dalam perncanaan pengembangan, kepemilikan lahan, dan akses
masyarakat terhadap permodalan (Ashley et al, 2000).
Keempat, pengembangan jaringan dan kemitraan yang memungkinkan
masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisata yang
berlangsung. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat lokal
diantaranya informasi yang berkaitan dengan peluang usaha yang dapat
dikembangkan dalam menunjang kegiatan pariwisata, pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola usaha pariwisata, dan
kemungkinan dikembangkannya kegiatan usaha bersama dengan stakeholder
lainnya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat lokal meskipun memiliki
modal usaha yang terbatas tetapi memiliki asset sumberdaya alam dan budaya.
Pengambilan keputusan yang meskipun dilakukan untuk kepentingan
lokal yang menyangkut pengembangan masyarakat dan wilayah tertentu sangat
berkaitan dengan berbagai kepentingan yang lebih luas. Oleh karenanya, untuk
mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini dibutuhkan jaringan
kerjasama dan kemitraan antara berbagai stakeholder terkait. Pendekatan tersebut
dapat membangun tanggungjawab bersama dalam perencanaan, pengambilan
keputusan, pemecahan masalah, dan implementasi serta evaluasi kegiatan
(International Council on Local Environmental Initiative, 1999).
Kelima, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme keterlibatan
masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata. Salahsatu kelemahan yang
terdapat dalam upaya membangun pariwisata di daerah saat ini adalah lemahnya
84

kebijakan pariwisata daerah (Nirwandar, 2006). Kelemahan kebijakan ini tidak


hanya menyangkut strategi daerah untuk mengembangkan sektor pariwisatanya,
tetapi juga berkaitan dengan bagaimana sebaiknya mekanisme yang ditempuh
agar semua komponen yang terkait didalam sektor tersebut dapat berperan
didalamnya. Dalam kaitannya dengan pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme peran berbagai
pihak, terutama masyarakat lokal sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena
dalam berbagai pengalaman, masyarakat lokal selalu terpinggirkan oleh pesatnya
perkembangan pariwisata.
Keadaan diatas merupakan akibat dari kebijakan dan perencanaan yang
berkaitan dengan pariwisata secara umum tidak memenuhi harapan masyarakat
lokal yang disebabkan oleh isi/kandungan kebijakan tersebut tidak memenuhi
kepentingan masyarakat ataupun ada tetapi tidak dapat dilaksanakan (Liu dan
Wall, 2006). Berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di
kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, meskipun pemerintah daerah telah
menetapkan pariwisata dikembangkan dengan menggunakan pendekatan
pemberdayaan masyarakat (Disparsenibud Donggala, 2002 dan 2003) namun
belum memiliki mekanisme yang jelas. Hal ini sangat diperlukan agar semua
pihak dapat mengembangkan perannya masing-masing sesuai dengan potensi
yang dimiliki. Salahsatu contoh, misalnya, untuk menjamin pemasaran produksi
(pertanian, peternakan, dan perikanan) masyarakat maka ditetapkan untuk
menyediakan konsumsi bagi wisatawan yang bersumber dari produksi atau
sumberdaya lokal (Garrod et al, 2006).
Keenam, membangun sistim pengelolaan pariwisata yang ramah
lingkungan, baik dari aspek lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya.
Pengembangan pariwisata yang berorientasi pada kelestarian lingkungan tidak
saja ditujukan bagi terpeliharanya potensi sumberdaya secara berkelanjutan tetapi
juga disebabkan karena permintaan pasar pariwisata yang besar terhadap aspek
ini. Berkaitan dengan itu, Damanik dan Weber (2006) mengemukakan bahwa
aspek lingkungan yang alamiah menjadi incaran sebagian besar wisatawan
global, mulai dari Amerika Utara sampai Eropa. Selanjutnya dikemukakan pula,
tiga dari setiap empat orang wisatawan Amerika Serikat pada tahun 2003
85

memandang penting bahwa perjalanan mereka dapat menikmati kondisi alam


yang masih baik.
Demikian pula dengan aspek lingkungan sosial sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari aspek lingkungan secara keseluruhan (Soetaryono, 2002 dalam
Purba, 2002). Pertimbangan aspek lingkungan sosial memiliki kepentingan yang
luas karena hal ini akan mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat
termasuk pengaruhnya terhadap lingkungan alam. Berbagai kasus memberikan
contah bahwa ketidakserasian dan keseimbangan aspek sosial memberikan
pengaruh pada upaya untuk melestarikan potensi sumberdaya alam. Selain itu,
perhatian terhadap aspek ini juga berkaitan dengan keinginan pasar pariwisata
dimana daya tarik budaya, kondisi sosial, dan politik lokal dijadikan bahan
pertimbangan bagi wisatawan dalam memilih lokasi kunjungan (Damanik dan
Weber, 2006).

5.5.3. Konsep Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung


Karang Pusentasi
Berdasarkan berbagai isu strategis yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka diperlukan konsep yang dapat memberikan peluang peran masyarakat
bersama stakeholder lainnya untuk mengembangkan sistim pengelolaan
pariwisata yang berbasis masyarakat. Pengalaman yang telah dilakukan di
berbagai tempat seperti pada beberapa Taman Nasional di Indonesia (APEIS-
RISPO, 2003a dan 2003b) dapat pula dijadikan acuan sebagai bahan
perbandingan untuk mengembangkan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di
Tanjung Karang Pusentasi. Berbagai pengalaman tersebut menempatkan
masyarakat lokal dan lembaganya sebagai bagian dari proses perencanaan dan
pengelolaan pariwisata.

Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang juga merupakan


kegiatan pengembangan masyarakat (community development) dimana mereka
dapat berpartisipasi didalamnya secara penuh. Pengembangan masyarakat
merupakan upaya yang dilakukan untuk mendorong dan membantu masyarakat
dalam menetapkan kebutuhannya dan memberi ruang bagi mereka untuk
menentukan standar pencapaiannya (Cochrane, 1971 dalam Pinel, 1998).
Pengembangan masyarakat bertujuan untuk mendorong masyarakat
86

meningkatkan kapasitas dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Hal tersebut


membutuhkan kepercayaan diri, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan baik
bagi individu, kelompok, dan organisasi yang membentuk masyarakat tersebut
(Reid et al, 1993 dalam Pinel, 1998).

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa upaya pengembangan


masyarakat dilakukan agar mereka dapat memiliki kemampuan untuk
menstrukturkan pengalaman, pengetahuan, dan harapan mereka kedalam sebuah
aktifitas dan perencanaannya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
yang terdapat di sekitarnya. Dengan kata lain, pengembangan masyarakat
merupakan upaya pemberdayaan (empowerment) diri dan potensi yang
dimilikinya baik yang berupa sumberdaya alam maupun potensi sosialnya. Hal
ini penting karena upaya pemberdayaan pada level akar rumput (grassroot)
adalah hal penting yang dalam memformulasikan perencanaan yang bersifat
komprehensip dan merupakan sarana yang penting dan menentukan bagi
kelayakan kegiatan yang berbasiskan mayarakat (Tosun dan Timothy, 2003).

Berkaitan dengan pemikiran yang yang dikemukakan tersebut, maka


konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung
Karang Pusentasi dikembangkan dalam konteks pengembangan masyarakat dan
wilayah yang luas. Dengan demikian berarti bahwa konsep pengelolaan yang
ditawarkan tetap mempertimbangkan kepentingan dan melibatkan berbagai
stakeholder lainnya seperti pemerintah, swasta, LSM, dan perguruan tinggi. Hal
ini disebabkan karena terdapat berbagai masalah yang tidak dapat diselesaikan
oleh masyarakat pada tingkat lokal tetapi harus melibatkan pihak lain pada level
yang lebih tinggi dan lebih luas (Uphoff, 1992).

Konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat mencakup 4 (empat)


tahapan proses yaitu tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat, tahap
perencanaan dan persiapan, tahap pelaksanaan dan pendampingan, dan tahap
monitoring dan evaluasi. Secara skematis, konsep pengelolaan tersebut disajikan
pada Gambar 9.
87

Diisi dengan skema, gambar 9 (landscape)


88

Tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat dilakukan berupa


menginventarisasi pengetahuan, pengalaman, perhatian, dan harapan masyarakat
terhadap potensi dan pengelolaan pariwisata, serta menggali berbagai aspek yang
berkaitan dengan potensi dan pengembangan produk pariwisata. Tahapan ini
bertujuan untuk ; pertama, mengembangkan pengetahuan dan kesadaran
bersama tentang pariwisata yang ramah lingkungan ; kedua, mengidentifikasi
elemen-elemen penting untuk penyusunan pedoman dan aturan pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat ; ketiga, mengidentifikasi hubungan dan
keterkaitan antar berbagai stakeholder.

Assessment dan pengorganisasian masyarakat melibatkan berbagai


stakeholder, baik masyarakat lokal dan non-lokal maupun berbagai pihak lain
yang berkepentingan terhadap pengembangan pariwisata. Mereka diposisikan
sebagai pihak yang sangat memiliki pemahaman terhadap situasi dan kondisi
serta kepentingannya masing-masing. Aktifitas wawancara yang bersifat formal
dan informal serta diskusi kelompok dapat dilakukan bersama (melalui fasilitasi
pihak independen) untuk menggali dan berbagi pengalaman serta pengetahuan
agar terbangun wawasan dan pengertian yang dalam tentang kepentingan dan
peran masing-masing stakeholder.

Keluaran dari assessment yang dilakukan dapat berupa hal-hal yang dapat
dijadikan materi penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan (tangible
outputs) maupun hal-hal yang berfungsi sebagai moral pendukung (less-tangible
outputs) bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Pinel, 1998).
Secara umum keluaran yang mencakup kedua aspek tersebut disajikan pada Tabel
36.
89

Tebel 36. Keluaran dalam tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat.

Keluaran untuk penyusunan konsep Keluaran yang bersifat moral


dan mekanisme pengelolaan pendukung

 Informasi-informasi dasar yang dapat  Terdorongnya kepedulian semua


dijadikan bahan pertimbangan stakeholder terhadap implikasi
perencanaan dan upaya dan kemungkinan-kemungkinan
pengembangan pariwisata, dan yang terdapat dalam
berbagai informasi yang tentang pengembangan pariwisata.
dinamika perkembangan  Terjadinya suatu kondisi dimana
kepariwisataan. masyarakat dan stakeholder
 Informasi yang berkaitan dengan lainnya dapat berbagi informasi
aspek-aspek yang akan tentang kepentingan masing-
mempengaruhi perkembangan masing yang selama ini tdak
pariwisata dimasa datang. terungkap pada diskusi dan
 Informasi tentang keberadaan pertemuan formal lainnya.
stakeholder langsung maupun tak  Terangkatnya potensi dan
langsung. kearifan kolektif masyarakat dan
 Sekumpulan informasi penting yang mengkombinasikannya dengan
dapat dijadikan dasar bagi masukan, pengalaman dan
penyusunan aturan dan mekanisme keahlian yang dimiliki oleh
sebagai pedoman pengelolaan stakeholder lainnya.
pariwisata berbasis masyarakat.  Terdorongnya kondisi diskusi
 Informasi yang berkaitan dengan yang konstruktif dan kooperatif,
berbagai hambatan dan tantangan dan jelasnya hubungan dan
dalam pengelolaan pariwisata keterkaitan serta kebutuhan antar
berbasis masyarakat. berbagai stakeholder.
 Ketepatan hubungan atau
matarantai antar berbagai isu,
keputusan dan inisiatif.

Keluaran-keluaran yang mengandung materi penyusunan konsep dan


mekanisme pengelolaan tersebut diharapkan dapat menjadi informasi yang
penting dalam pembahasan tentang pengembangan dan pelaksanaan kegiatan
pariwisata, penyusunan organisasi pengelolaan, perencanaan pengelolaan, dan
evaluasi pengelolaan dimasa datang. Sementara keluaran yang bersifat sebagai
moral pendukung akan berfungsi sebagai daya dorong yang diperlukan oleh
semua stakeholder untuk memulai dan menjalankan konsep pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat yang akan memberi pengaruh bagi kehidupan dan
wilayah mereka.

Tahap perencanaan dan persiapan merupakan tahapan yang dibangun


berdasarkan keluaran-keluaran dan kesepakatan yang telah dilahirkan dari proses
pengorganisasian pada tahap pertama. Tahapan ini bertujuan untuk : pertama,
90

merancang dan mengembangkan program dan produk-produk wisata; kedua,


mengembangkan infrastruktur dan konsep pelayanan wisata ; dan ketiga,
mengembangkan mekanisme dan aturan pengelolaan pariwisata. Untuk
melengkapi informasi yang diperlukan dalam tahapan ini, dilakukan pula aktifitas
yang berkaitan dengan inventarisasi terhadap sumberdaya pariwisata yang
tersedia. Pada tahapan ini, proses pengembangan kapasitas masyarakat lokal
seperti yang telah dimulai pada tahapan pertama semakin diperkuat. Aktifitas
yang dapat dilakukan adalah berupa pelatihan-pelatihan dan bimbingan teknis.

Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan konsep/program pengelolaan


pariwisata berbasis masyarakat. Pada tahapan ini produk wisata, konsep
pelayanan wisata, dan konsep pengelolaan wisata yang dirumuskan pada tahapan
sebelumnya diimplementasi dan dikomunikasikan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Disisi lain, aktifitas publikasi dan pemasaran produk yang telah
dihasilkan dapat dilakukan pada tahapan ini.

Tahapan yang terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada tahapan ini
semua stakeholder secara bersama melakukan peran pemantauan dan penilaian
terhadap keseluruhan aktifitas dan produk yang telah dihasilkan. Dalam hal ini
juga mencakup penilaian terhadap tahapan-tahapan proses sebelumnya sehingga
didapatkan suatu mekanisme proses, keluaran proses, dan produk wisata yang
lebih baik. Hal ini penting dilakukan agar sistim pengelolaan yang
dikembangakn dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan dinamika
perkembangan pariwisata dan masyarakat.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsep pengelolaan


pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi dikembangkan
dalam konteks pengembangan masyarakat dan wilayah yang luas, maka
diperlukan beberapa faktor/elemen penting yang berfungsi sebagai penunjang.
Selain berfungsi sebagai penunjang, faktor-faktor/elemen-elemen tersebut
diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dari konsep bersama yang telah
dilahirkan. Faktor-faktor tersebut adalah dukungan kebijakan pemerintah daerah,
jaringan kerjasama dan kemitraan, pendidikan dan pelatihan, bantuan pendanaan,
dan penelitian dan pengembangan.
91

Kebijakan pemerintah merupakan faktor yang sangat penting bagi


terciptanya suatu proses pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat. Hal
ini penting karena pemerintah memiliki peran kontrol, pendukung,
pemberdayaan, dan penasehat (advisory) bagi setiap aktifitas yang dibangun
berdasarkan inisiatif dan kekuatan masyarakat ( Pomeroy dan Williams, 1994
dalam Metcalfe, 1996). Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996
mengisyaratkan hal tersebut, dimana pemerintah berperan tidak hanya melakukan
pengaturan tetapi juga berperan dalam melakukan bimbingan, pengawasan dan
pengendalian terhadap kegiatan usaha pariwisata. Peran tersebut berpedoman
pada tujuan pembangunan pariwisata nasional yang salahsatu diantaranya adalah
meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat yang didasarkan atas nilai-nilai agama, adat istiadat, serta
pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam era otomonomi daerah saat ini, pemerintah daerah memegang
peranan yang sangat penting. Penyiapan sistim perencanaan yang matang, yang
salahsatunya dalam bentuk penyiapan Rencanan Induk Pengembangan Pariwisata
daerah sudah harus dimulai dengan pendekatan yang lebih mampu menemukenali
wilayah yang akan dijadikan lokasi pengembangan kegiatan pariwisata
(Nirwandar, 2007). Hal ini harus dilakukan lebih mendalam dengan
mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan budaya serta berbagai
permasalahannya agar semua pihak yang berkepentingan, meskipun berbeda,
terhadap suatu wilayah dapat secara bersama memanfaatkannya. Dengan
demikian maka diperoleh pemahaman yang luas dan mendalam terhadap potensi
tersebut dan dapat dilahirkan suatu kebijakan yang tepat.
Salahsatu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun kerjasama antar
berbagai stakeholder adalah dengan membangun jaringan dan kemitraan. Dengan
membangun jaringan dan kemitraan, masyarakat lokal dapat memperoleh
manfaat informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang belum mereka miliki
yang berasal dari pihak lainnya diluar mereka, dan pihak lain tersebut dapat pula
memahami dengan benar pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan masyarakat
lokal. Hal ini penting karena, dengan demikian, akan terbangun suatu proses dan
prinsip-prinsip checks and balances diantara berbagai pihak (Agrawal dan
92

Gibson, 1999) sebagai salahsatu prasyarat pengembangan kegiatan pariwisata


berbasis masyarakat.
Pengembangan jaringan dan kemitraan yang dilakukan tidak sekedar
untuk memenuhi kebutuhan dan syarat kelembagaan dari suatu proses
pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat tetapi juga merupakan
suatu proses edukasi bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Pentingnya
proses edukasi ini karena berbagai pihak yang terlibat akan memiliki cara
pandang yang berbeda dalam memandang masalah yang harus diselesaikan.
Disatu sisi pihak-pihak lain diluar masyarakat lokal akan memiliki pandangan
dengan cara pandang “orang luar” sementara masyarakat lokal, disisi lain
memiliki pengetahuan lokal, yang oleh Behr et al (1995) disebutkan sebagai cara
pandang dari dalam untuk mendefiniskan masalah dan menformulasikan
pemecahannya. Dengan demikian maka pendekatan ini akan memberikan
peluang terjadinya pertukaran informasi dan cara pandang sehingga diperoleh
suatu keputusan bersama dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
Pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu kunci bagi keberhasilan
pengembangan masyarakat lokal dalam kaitan dengan pengembangan peran
mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan tingkat
pendidikan masyarakat di kawasan Tanjung Karang Pusentasi, yang sebagian
besar hanya sampai pada tingkat sekolah dasar akan menyebabkan terjadinya
kesenjangan pengetahuan dan keterampilan dengan pihak-pihak lain yang akan
terlibat. Hal ini tentunya akan sedikit mempersulit proses komunikasi dan
perubahan prilaku masyarakat dari sekedar menerima apa adanya program yang
ditawarkan oleh pihak luar menjadi masyarakat yang berdaya dan memiliki posisi
tawar yang kuat. Dengan demikian, strategi pengembangan kemampuan
masyarakat melalui pendidikan (formal dan non-formal) serta pelatihan sangat
penting bagi keterlibatan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat. Karena, proses pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu
stimulus bagi terciptanya perubahan (Behr et al, 1995) bagi masyarakat.
Sumber pendanaan bagi pengembangan usaha masyarakat untuk
mendukung kegiatan pariwisata merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat lokal. Oleh karena itu, dukungan semua pihak untuk mengatasi hal
93

ini sangat penting untuk dilakukan. Sumber pendanaan tidak hanya berasal dari
bantuan-bantuan pemerintah, tetapi dapat bersumber dari bantuan pihak swasta
dan lembaga-lambaga pendaanaan serta sumber-sumber dana yang bersifat hibah
dari berbagai pihak yang memiliki kepedulian.
Disamping itu, suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah
bagaimana mengurangi intervensi pendanaan dari luar yang dapat memberatkan
masyarakat, dengan jalan mengembangkan sumberdaya yang bersumber dari
potensi lokal untuk menciptakan sumber pendanaan bagi masyarakat. Dengan
demikian maka, masyarakat lokal akan memiliki kontrol yang kuat terhadap
sumberdaya (Agrawal dan Gibson, 1999) yang terdapat di kawasan tersebut.
Dukungan lainnya yang juga sangat penting adalah kegiatan penelitian
dan pengembangan. Hal ini dilakukan untuk menemukan pemecahan terhadap
masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal dan pihak-pihak lainnya yang
terlibat langsung didalam kegiatan pariwisata. Keterbatasan yang mereka miliki
dalam kaitan ini, harus dilakukan oleh pihak lain yang lebih berkompeten dan
memiliki kemampuan yang tepat. Dalam hal ini, perah pihak lainnya seperti
Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian yang ada baik di
daerah maupun pusat sangat diperlukan. Dengan demikian maka upaya untuk
membangun sinergi dengan memadukan kekuatan yang berbeda yang dimiliki
oleh masing-masing pihak dapat tercipta, dan upaya untuk mebangun pariwisata
berbasis masyarakat dapat diwujudkan.

5.5.4. Analisis Peran Stakeholder Dalam Pengelolaan Pariwisata Berbasis


Masyarakat
Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, seperti telah dikemukakan
sebelumnya, menuntut adanya peranserta atau partisipasi semua pihak secara
luas. Partisipasi merupakan suatu proses dimana berbagai pihak (stakeholders)
bersama-sama memberi pengaruh dan pengawasan terhadap inisiatif
pembangunan, pengambilan keputusan, dan pemanfaatan sumberdaya yang
memberikan pengaruh kepada kehidupan mereka (World Bank, 1996 dalam Karl,
2000). Untuk melihat posisi serta peran masyarakat lokal dan berbagai
stakeholder lainnya dalam kegiatan pariwisata dilakukan analisis stakeholder
94

dengan menggunakan mekanisme seperti yang disarankan oleh Rietbergen-


McCracken dan Narayan (1998).
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan
dengan masyarakat di kawasan wisata Tanjungkarang Pusentasi ditetapkan
beberapa pihak yang merupakan stakeholder kunci dalam pengembangan
kegiatan pariwisata di wilayah ini. Para pihak yang tergali didalam kegiatan
wawancara kemudian diklarifikasi dan dikelompokan kedalam beberapa
kelompok stakeholder ketika dilakukan diskusi kelompok terfokus. Melalui
proses tersebut diperoleh beberapa kelompok stakeholder (Tabel 37) yaitu
masyarakat lokal, pengusaha pariwisata, pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan lembaga-lembaga lokal masyarakat yang terdapat di kawasan
wisata Tanjungkarang Pusentasi.
Kelompok masyarakat lokal mewakili kepentingan-kepentingan
masyarakat lokal di kawasan ini baik yang memiliki aktifitas berkaitan dengan
pariwisata maupun yang tidak berhubungan ataupun berhubungan langsung
dengan pariwisata seperti yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Sementara kelompok pengusaha wisata sebagai stakeholder utama, disamping
masyarakat lokal, mewakili pemilik penginapan dan cottage, serta biro perjalanan
yang berasal dari kota Donggala dan Palu. Kelompok pemerintah terdiri atas
Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala serta Pemerintah Desa dan Kelurahan
yang terdapat di wilayah ini. Kelompok LSM/KSM terdiri dari lembaga non-
profit yang berasal dari Donggala dan Palu yang memiliki aktifitas di Kawasan
Wisata Tanjungkarang Pusentasi, dan kelompok swadaya masyarakat untuk
kepentingan pariwisata. Sementara yang terakhir adalah kelompok organisasi
masyarakat lokal yang masih aktif terdiri atas kelompok tani dan nelayan, PKK,
kelompok arisan, kelompok pengajian, dan lembaga adat. Hasil identifikasi
kepentingan dan pengaruh kegiatan pariwisata terhadap kepentingan kelompok-
kelompok stakeholder tersebut dikemukakan pada Tabel 37.
95

Tabel 37. Identifikasi kepentingan dan pengaruh pariwisata terhadap kepentingan


stakeholder di Kawasan Wisata Tanjungkarang-Pusentasi saat ini
(diadopsi dari Rietbergen-McCracken dan Narayan,1998).
Pihak yang
Kepentingan Efek pariwisata
berkepentingan
(interest) terhadap interest
(stakeholders)
Masyarakat lokal - Membuka kesempatan kerja +
- Menambah pendapatan +
- Menjual hasil usaha (pertanian, +/-
perikanan, dan kerajinan)
- Perlindungan terhadap -
kebudayaan lokal
Pengusaha pariwisata - Peningkatan jumlah kunjungan +
wisatawan
- Pengembangan usaha +
Pemerintah
Dinas Pariwisata - Pengaturan obyek wisata +
- Pemberian izin dan pengawasan +
usaha pariwisata
- Peningkatan jumlah pemasukan +
dari retribusi usaha pariwisata
Pemerintah Desa/ Pembangunan desa/kelurahan +/-
Kelurahan
LSM/KSM - Perlindungan potensi alam dan +/-
budaya
- Perbaikan lingkungan +/-
Lembaga Lokal
Kelompok tani dan Pemasaran hasil pertanian dan -
nelayan perikanan
Karang Taruna Pengembangan SDM pemuda -
PKK-Dasa Wisma Keindahan lingkungan desa -
Kelompok Arisan Pengembangan modal usaha +/-
Kelompok Pengajian Kepentingan sosio-religius -
Lembaga Adat Kepentingan sosial budaya -

Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 37, terlihat bahwa


terdapat berbagai kepentingan yang diharapkan oleh para stakeholder dapat
terpenuhi (+) melalui kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini. Bagi
masyarakat lokal, kegiatan pariwisata dapat memenuhi (+) kepentingan mereka
untuk mendapatkan pekerjaan dan menambah pendapatan tetapi belum dapat
sepenuhnya memenuhi (+/-) kepentingan mereka untuk menjual hasil pertanian
dan perikanan. Disamping itu, kegiatan pariwisata saat ini belum dapat
memenuhi (-) kepentingan masyarakat lokal dalam mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan lokal. Sedangkan kepentingan pengusaha
96

pariwisata, seperti yang terungkap dalam wawancara yang dilakukan, adalah


meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dan berkembangnya usaha yang
mereka jalankan. Dikemukakan bahwa kegiatan pariwisata yang berlangsung saat
ini dapat memenuhi (+) kepentingan mereka untuk mengembangkan usaha.
Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan memegang peranan yang
penting didalam mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini. Dinas
pariwisata sebagai instansi yang diberi kepercayaan untuk menjalankan fungsi
tersebut memiliki beberapa kepentingan dalam kegiatan pariwisata di wilayah
penelitian. Kepentingan-kepentingan tersebut adalah pengaturan obyek wisata,
pemberian izin dan pengawasan usaha pariwisata, dan peningkatan jumlah
pemasukan dari retribusi usaha pariwisata. Dari wawancara yang dilakukan
dengan asparat pemerintahan pada tingkat kabupaten diperoleh informasi bahwa
kepentingan mereka dapat terlaksana (+) dengan baik di kawasan wisata ini.
Sedangkan pemerintah pada tingkat desa dan kelurahan mengharapkan adanya
kemajuan bagi wilayahnya sebagai akibat dari berkembangnya pariwisata.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terlihat bahwa kepentingan
pemerintahan pada level bawah ini tidak dapat tepenuhi sepenuhnya (+/-). Hal
ini disebabkan karena mereka tidak sepenuhnya memiliki wewenang untuk
mengatur dan mengambil keputusan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan pariwisata.
Bagi lembaga swadaya masyarakat/kelompok swadaya masyarakat,
kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini belum sepenuhnya (+/-) memenuhi
kepentingan mereka sebagai kelompok/lembaga yang memperjuangkan
perlindungan terhadap potensi sumberdaya alam dan budaya, serta perbaikan
lingkungan. Menurut mereka, konsep pengelolaan pariwisata yang ada selama
ini masih belum memberikan peran yang luas bagi semua stakeholder untuk
banyak berperan, termasuk lembaga/kelompok swadaya masyarakat sebagai
kelompok yang berupaya untuk memediasi peran masyarakat dalam setiap proses
pengembangan pariwisata. Demikian pula halnya dengan lembaga masyarakat
lokal yang terdapat di wilayah penelitian. Seluruh lembaga masyarakat lokal
tersebut, seperti terlihat pada tabel diatas menyatakan bahwa kepentingan-
kepentingan mereka belum terpenuhi (-) melalui kegiatan pariwisata yang
97

berlangsung saat ini. Hal ini terjadi karena dalam proses pengembangan
pariwisata belum menempatkan masyarakat lokal dan kelembagaan yang terdapat
didalam masyarakat sebagai subyek, tetapi masih diposisikan sebagai obyek
dalam setiap proses pengembangan pariwisata. Padahal keberhasilan kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam, dimana pariwisata sebagai salahsatu bentuk
pemanfaatan tersebut, sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat (Damanik
dan Weber, 2006) dan institusi lokal (Uphoff, 1987 dalam Brandon, 1993 ;
Rasmunsen dan Meinzen-Dick, 1995 ; Selman, 2001 ; Damanik dan Weber,
2006) yang terdapat didalamnya.
Meskipun secara eksplisit terlihat bahwa terdapat perbedaan kepentingan
pada masing-masing kelompok stakeholder tersebut, namun sebenarnya terdapat
kaitan yang sangat erat antar masing-masing kepentingan yang berbeda tersebut
jika dikaitkan dengan upaya pengembangan kegiatan pariwisata. Kepentingan
pengusaha pariwisata dalam upaya meningkatkan jumlah wisatawan dapat
memberikan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan melalui
keikutsertaan dalam kegiatan usaha penunjang pariwisata, memberikan pengaruh
terhadap peningkatan jumlah pemasukan dari retribusi usaha pariwisata bagi
pemerintah, serta hubungan-hubungan atar kepentingan stakeholder yang lainnya.
Tetapi disisi lain, peluang untuk terjadinya benturan antar kepentingan
berbagai stakeholder tersebut juga memungkinkan terjadi. Sebagai contoh
misalnya, pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat
pula menjadi masalah bagi masyarakat lokal, jika upaya pengembangan usaha
tersebut lebih dititik beratkan pada ekspansi usaha ke wilayah usaha yang selama
ini dapat dilakukan oleh masyarakat. Pengalaman yang terjadi di Tanjungkarang,
berdasarkan informasi masyarakat, pada tahun 1990an pengusaha yang memiliki
penginapan dan cottage masih membagi peran dengan masyarakat lokal dalam
pelayanan kepada wisatawan. Saat itu pihak pengusaha hanya menyediakan
penginapan, sementara untuk pelayanan konsumsi diserahkan kepada masyarakat
dibawah pengawasan pengusaha terutama yang berkaitan dengan kebersihannya.
Namun, peran tersebut sejak beberapa tahun terakhir tidak lagi dimiliki oleh
masyarakat lokal. Disamping dapat menggeser peran masyarakat lokal,
pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat pula
98

mengurangi atau bahkan menghilangkan akses masyarakat terhadap sumberdaya


alam, dan mengancam hak kepemilikan masyarakat, seperti yang menjadi
kekhawatiran mereka selama ini.
Berkaitan dengan keadaan yang diuraikan dimuka, maka analisis terhadap
kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap kegiatan
pariwisata berbasis masyarakat sangat diperlukan untuk memberi arahan bagi
pengembangan peran masing-masing stakeholder tersebut. Hal ini merupakan
bagian yang sangat penting didalam memulai proses pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat, seperti yang digambarkan pada skema pengelolaan (Gambar
9), terutama pada tahapan pertama dari proses pengelolaan. Oleh karena itu,
penguraian peran masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya secara detail baru
dapat dilakukan setelah semua pihak tersebut melakukan penggalian (assessment)
secara bersama-sama pada tahapan tersebut.
Iventarisasi peran,
4 pengalaman, perhatian, dan
harapan masing-masing
TAHAP
stakeholder, serta hal-hal
MONITORING yang berkaitan dengan 1
DAN EVALUASI Kesiapan sistem dan pengembangan produk TAHAP
mekanisme pengelolaan ASSESSMENT DAN
serta evaluasi hasil PENGORGANISASIAN
MASYARAKAT

Pengembangan pengetahuan dan


Produk wisata, pelayanan kesadaran tentang pariwisata ramah Dalam konteks
wisata dan implementasi lingkungan pengembangan
program Mengidentifikasi elemen-elemen penting masyarakat dan
untuk penyusunan pedoman dan aturan wilayah yang luas
pelaksanaan pariwisata berbasis
masyarakat
Mengidentifikasi hubungan antar
Prengembangan program stakeholder
Publikasi dan
dan produk wisata
pemasaran
Pengembangan infrastruktur dan
pelayanan wisata Inventarisasi
3
TAHAP Pengembangan mekanisme sumberdaya
PELASANAAN dan aturan pengelolaan 2 pariwisata
DAN PERENCANAAN
PENDAMPINGAN DAN PERSIAPAN

Dukungan Jaringan
Pendidikan dan Bantuan Penelitian dan
kebijakan kerjasama dan
pelatihan pendanaan pengembangan
Pemda kemitraan

Gambar 9. Skema konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi
(Diadaptasi dari Pinel, 1999)

87
DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, J. R. 2001. Community-based Natural Resource Management in Nepal


with Reference to Community Forestry : A Gender Perspective. A Journal
of the Environment. 6(7) : 9 – 12.

Adiputro, B. S. 1999. Persepsi dan Prilaku Masyarakat Sehubungan Dengan


Pencemaran Lingkungan dan Sungai. Studi Kasus Ciliwung di Kelurahan
Bukit Duri, Jakarta Selatan. Jurnal Lingkungan & Pembangunan,
19(2):108-119.

Agrawal, A dan C. C. Gibson. 1999. Enchantment and Disenchantment : The


Role of Community ini Natural Resource Conservation. World
Development. 27(4) : 629 – 649.

Agusniatih, A. 2002. Kajian Pengembangan Kawasan Wisata dan Pengaruhnya


Pada Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Teluk Palu Propinsi
Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Allmendinger, P. 2002. Towards A Post-Positivist Typology of Planning Theory.


In Planning Theory. 1 (1): 77 – 99. SAGE Publications. London.

APEIS-RISPO. 2003a. Good practices for Community-based Tourism in Rinjani


National Park, Indonesia. Asia-Pacific Environmental Innovation
Strategies. Research on Innovative and Strategic Policy Options.
http://www.iges.or.jp/APEIS/RISPO/inventory/db/pdf/0030.pdf [2 Mei
2007]

APEIS-RISPO. 2003b. Community-based Tourism at Gunung Gede Pangrango


National Park, Indonesia. Asia-Pacific Environmental Innovation
Strategies. Research on Innovative and Strategic Policy Options.
http://www.iges.or.jp/APEIS/RISPO/inventory/db/pdf/0029.pdf [2 Mei
2007]

Ashley, C., C. Boyd and H. Goodwin. 2000. Pro-Poor Tourism : Putting Poverty
At the Hearth of the Tourism Agenda. Natural Resource Perspectives.
Overseas Development Institute. Number 52, March 2000.
http://www.odi.org.uk/nrp/51.html [27 April 2007]

Bappeda Kabupaten Donggala. 1999. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)


Kabupaten Donggala Tahun 1999-2009. Laporan Akhir. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Donggala.

Behr, C., G. Lamb, A. Miller, S. Sadowske and R. Shaffer. 1995. Building


Community Based Initiatives in Rural Coastal Communities. Center for
Community Economic Development. University of Wisconsin-Extention.
Staff Paper 95.2. http://www.aae.wisc.edu/cced/952.pdf [24 Pebruari
2007].
104

Brandon, K. 1993. Langkah-langkah Dasar Untuk Mendorong Partisipasi Lokal


Dalam Proyek-proyek Wisata Alam. Dalam K. Lindberg dan D. E.
Hawkins [Editor]. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencana dan Pengelola.
Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alam
Mitra Indonesia (ALAMI), penerjemah. The Ecotourism Society. North
Bennington, Vermont.

Campbell, J. 2002. A Critical Appraisal of Participatory Method in Development


Research. Int. J. Social Research Methodology. 5(1) : 19 - 29.

Carr, D. S., Steven W. Selin and Michael A. Schuett. 1998. Managing Public
Forests : Understanding the Role of Collaborative Planning.
Environmental Management. 22(5) : 767 – 776.

Cooper, C., J. Fletcher, D. Gilbert and S. Wanhill. 1999. Tourism Principles and
Practice. Second Edition. Addison Wesley Longman Publishing. New
York.

Damanik, J dan H. F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata Dari Teori ke


Aplikasi. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatf. Penerbit Pustaka Setia. Bandung.

Decrop, A. 1999. Triangulation in Qualitative Tourism Research. Tourism


Management 20: 157 – 161.

Denscombe, M. 1998. The Good Research Guide : For Small Scale Social
Research Projects. Open University Press. Buckingham-Philadelphia.

Disparsenibud Donggala. 2002. Program dan Kegiatan Dinas Pariwisata Seni dan
Budaya Kabupaten Donggala. Bahan Rapat Sinkronisasi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah dengan Dinas
Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten/Kota se Sulawesi Tengah, tanggal
22 April 2002.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala. 2002. Profil Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Donggala. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Donggala.

Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah. 2003. Penyususnan Tata Ruang
Pesisir dan Pula-pulau Kecil di Kabupaten Donggala dan Banggai
Propinsi Sulawesi Tengah. Laporan Akhir. Sarana Antar Nusa Perekayasa
Consultants. Jakarta.

Doe, S. R. dan M. S. Khan. 2004. The boundaries and limits of community


management: Lessons from the water sector in Ghana. Community
Development Journal. 39(4) : 360 – 371.
105

Dowling, R. K.. 1998. Ecotourism in Southeast Asia: Appropriate Tourism or


Environmental Appropriation?. Paper Presented at Third International
Conference on Tourism and Hotel Industry in Indo-China & Southeast
Asia: Development, Marketing, and Sustainability. June 1998.
http://www.hotel-
online.com/Trends/AsiaPacificJournal/July98_EcotourismSoutheastAsia.
html [19 Maret 2007].

Forgus, R.H. dan L. E. Melamed. 1976. Perception A Cognitive Stage Approach.


McGraw Hill Book Company.

Flyman, M. V. 2002. Towards Developing A Community-based Natural


Resources Assesssment System. Gumare-Qangwa Workshop Report.
Agency for Cooperation and Researh in Development. Bostwana.

Frank, F dan A. Smith. 1999. The Community Development Handbook : A Tool


to Build Community Capacity. Human Resources Development. Minister
of Public Works and Government Services. Canada.
http://www.hrsdc.gc.ca/en/epb/sid/cia/comm_deve/cdhbooke.pdf [26
Januari 2007]

Garrot, B. 2003. Local Participation in the Planning and Management of


Ecotourism : A Revised Model Approach. Journal of Ecotourism. 2(1) :
33–53.

Garrod, B., R. Wornell, and R Youell. 2006. Re-conceptualising Rural Resources


As Countryside Capital : the Case of Rural Tourism. Journal of Rural
Studies 22 : 117 – 128.

Godde, P. 1998. Community-based Mountain Tourism : Practices for Linking


Conservation with Enterprise. Synthesis of an Electronic Conference of
The Mountain Forum, 13 April – May 18, 1998.
http://www.mtnforum.org/resources/library/cbmt_txt.pdf [30 April
2004].

Hall, C. M. 2000. Tourism Planning: Policies, Processes and Relationships.


Prentice Hall.

Harris, G and D. Vogel. 2004. E-Commerce for Community-based Tourism in


Developing Countries. http://rogharris.org/e-CBT.pdf [30 April 2004].

Huguinen, R., B. Musso, J. Tait and S. Herbert. 2000. Community-based


Planning for Natural Resource Management : Learning from Experience
and Communicating the Lesson. International Landcare. Queensland.
106

Illahi, A. K. 2000. Analisis Persepsi dan Partisipasi Petani dalam Penerapan


Teknik-teknik Konservasi Tanah dan Air di DAS Gimanuk Hulu, Jawa
Barat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

Indonesia Culture and Tourism. 2003. Kunjungan Wisatawan Mancanegara


(Wisman) dan Perolehan Devisa Dari Tahun 1969 sampai 2003.
http://www.indonesiatourism.go.id/statistik.html [4 Mei 2004].

Innes, J. E. 1996. Planning Through Consensus Building : A New View of the


Comprehensive Planning Ideal. Journal of the American Planning
Association. 62(4) : 460 – 472.

International Council on Local Environmental Initiative. 1999. Sustainable


Tourism : A Local Authority Perspective. Background Paper No. 3.
Commision on Sustainable Development, Seventh Session 19-30 April
1999. Department of Economic and Social Affair. New York.

International Institute of Rural Reconstruction. 1998. Participatory Methods in


Community-based Coastal Resource Management. International Institute
of Rural Reconstruction, Silang, Cavite, Philippines.

Karl, M. 2000. Monitoring and Evaluating Stakeholder Participation in


Agriculture and Rural Development Projects : A Literature review. FAO.
http://www.fao.org/sd/PPdirect/PPre0074.htm [9 Januari 2007].

Lahandu, J. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh


Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah.
Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.

Laurence, K. 1994. Sustainable Tourism Development. In M. Munasinghe and J.


McNeely [Editors]. Protected Area Economic and Policy : Lingking
Conservation and Sustainable Development. The World Bank.
Washington, D.C.: pp. 263-272.

Laws, E. 1995. Tourist Destination Management: Issues, Analysis and Policies.


Routledge. London and New York.

Liu, A and G. Wall. 2006. Planning Tourism Employment : A developing


Country Perspective. Tourism Management. 27 : 159 – 170.

Marpaung, H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Edisi Revisi. Penerbit


Alfabeta. Bandung.

Mathieson,A. and G. Wall. 1992. Tourism: Economic, Physical and Social


Impact. Longman Scientific & Technical. Singapore.
107

Metcalfe, S. 1996. Community Based Conservation and Community Self-


Governance: Whose Resources Are at Stake?
www.resourceafrica.org/documents/1996/1996_whose_resources.pdf
[6 Maret 2006]

Mikkelsen, B. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya


Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Ngece, K. 2002. Community Based Ecotourism : What Can the People of


East Africa Learn from Success Stories Elsewhere?. East African
Ecotourism Development and Conservation Consultans. Nairobi.
http://www.cbnrm.net/pdf/nicholas_kn_001 [28 Maret 2004].

Nirwandar, S. 2007. Pembangunan Sektor Pariwisata di Era Otonomi Daerah.


http://www.pemda-diy.go.id/berita/mod/fileman/files/PEMBANGUNAN
_SEKTOR_PARIWISATA.pdf [25 Pebruari 2007]

Nugraha, A dan Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Penerbit Wana Aksara.


Tangerang, Banten.

Oppermann, M. 2000. Triangulation – A Methodological Discussion. Int. J.


Tourism Res. 2 : 141 – 146.

Pemda Kabupaten Donggala. 2005. Program Pembangunan Daerah (PROPEDA)


Kabupaten Donggala Tahun 2006-2010. Pemerintah daerah Kabupaten
Donggala.

Pendit, N. S. 2003. Ilmu pariwisata : Sebuah Pengantar Perdana. Cetakan


ketujuh. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Pinel, D. P. 1998. A Community-based Tourism Planning Process Model :


Kyoquot Sound Area, B.C., M.Sc. Thesis. University School of Rural
Planning and Development. University of Guelph.

Pinel, D. P. 1999. Create A Good Fit : A Community-based Tourism Planning


Model. http://nsgl.gso.uri.edu/washu/washuw99003/28-Pinel.pdf
[8 Agustus 2006]

Pitana, I.G dan P. G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Penerbit Andi.


Yogyakarta.

Pleumaron, A. 1997. Open Questions Conserning the Concept, Policies and


Practices of Ecotourism. In J. Bornemeier, M. Victor and P. B. Durst
[Editors] Ecotourism for Forest Conservation and Community
Development. Proceedings of an International Seminar held in Chiang
Mai, Thailand 28-31 January 1997. RECOFTC-FAO. : pp. 26-43.
108

Purba, J [Editor]. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara


Lingkungan Hidup. Yayasan Obor. Jakarta.

Raik, D. B. 2002. Capacity Building for Co-management of Wildlife in North


America. HDRU Series No. 02-2. Human Dimensions Research Unit
Department of Natural Resources Cornell University. Ithaca, New York.
www.dnr.cornell.edu/hdru/PUBS/HDRUReport02-2.pdf [6 April 2006]

Rasmussen, L. N. and R. Meinzen-Dick. 1995. Local Organization For Natural


Resource Management : Lesson from Theoretical and Empirical
Literature. Discussion Paper No. 11. Environment and Production
Technology Division. International Food Policy Research Institute.
Washington, D.C.

Rietbergen-McCracken, J and D. Narayan. 1998. Participation and Social


Assessment : Tools and Techniques. International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank. Washington, D.C.

Ross, G. F. 1998. Psikologi Pariwisata. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ross, S and G. Wall. 1999. Ecotourism: Towards Congruence between Theory


and Practice. Tourism Management. 20 : 123–132.

Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial.
Balai Pustaka. Jakarta.

Sasidharan, V., E. Sirakaya, D. Kerstetter. 2000. Developing Countries and


Tourism Ecolabels. Tourism Management. 23 : 161-174.

Scheyvens, R. 1999. Ecotourism and Empowerment of Local Communities.


Tourism Management. 20 : 245 – 249.

Selman, P. 2001. Social Capital, Sustainability and Environmental Planning.


Planning Theory and Practice. 2(1) : 13 – 30.

Sevilla. C. G., J. A. Ochave, T. G. Punsalan, B. P. Regala dan G. G. Uriarte.


1993. Pengantar Metode Penelitian. Penerbit Universitas Indonesia.

Soehartono, I. 1999. Metode Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian Bidang


Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.

Soeratno dan L. Arsyad. 1993. Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis.
Edisi Revisi. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Managemen
Perusahaan YKPN. Yogyakarta.

Spillane, J. J. 1987. Ekonomi Pariwisata : Sejarah dan Prospeknya. Penerbit


Kanisius. Yogyakarta.
109

Sumardjo. 2003. Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia. Modul Magister


Managemen Pembangunan Daerah. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.

Suranti, R. 2005. Pariwisata Budaya dan Peran Serta Masyarakat. Makalah yang
Disampaikan pada Workshop Wisata Budaya Bagi Kelompok Masyarakat
Propinsi DKI Jakarta, 12 Juli 2005.
http://www.budpar.go.id/filedata/495_81-
PariwisataBudayadanPeranSertaMasyarakat.pdf [25 Pebruari 2007].

Syahyuti. 2005. Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Komunitas : Kasus


Rancangan Program Prima Tani. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(2)
: 102 – 115.

Tisdell, C. A. 1987. Tourism, The Environment and Profit. Economic Analysis &
Policy. 17 (1) : 13–30. Cetak Ulang dalam Tisdell, C. A., 2001. Tourism
Economics, the Environment and Development: Analysis and Policy.
Edwar Elgar. Cheltenham, UK - Northampton, MA, USA. : pp. 19-36.

Tosun, C and D. J. Timothy. 2003. Arguments for Community Participation in


the Tourism Development process. The Journal of Tourism Studies. 14(2)
: 2 -15.

Tribuwana, W. 2002. Sekali Lagi Pariwisata Alam, Pariwisata Berkelanjutan dan


Ecotourism. Warta Pariwisata. Vol. V (3) Juni 2002. P2PAR-ITB.
Bandung.

Trigg, S.N dan D.P. Roy, 2007. A focus group study of factors that promote and
constrain the use of satellite-derived fire products by resource managers
in southern Africa. Journal of Environmental Management. 82 : 95–110

UNEP. 2002a. Economic Impacts of Tourism. United Nation Environment


Program.
http://www.uneptie.org/pc/tourism/sust-
tourism/economic.htm#contribute-econ [1 Maret 2003].

UNEP. 2002b. How Tourism Can Contribute to Socio-cultural Conservation.


United Nation Environment Program.
http://www.uneptie.org/pc/tourism/sust-tourism/soc-global.htm [1 Maret
2003].

Uphoff, N. 1992. Local Institution and Participation for Suatainable


Development. Gatekeeper Series No. SA31. Sustainable Agriculture and
Rural Livelihoods Programme. International Institute for Environment
and Development. London.
110

Uphoff, N. 2002. Community-Based Natural Resource Management: Connecting


Micro and Macro Processes, and People with their Environments.
http://info.worldbank.org/etools/docs/library/97605/conatrem/conatrem/ht
ml/uphoffpaper.htm [2 Mei 2007]

USDA, 2005. Rural Development : Community Development Technical


Assisstance Handbook. Community Development Programs. United State
Department of Agriculture.

Winarso, G. N. 2004. Kajian Pengembangan Wisata di Taman Hutan Raya Wan


Abdul Rachman Propinsi Lampung. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB.
Bogor.

Ying, T and Y. Zhou. 2007. Community, Government and External Capitals in


China’s Rural Cultural Tourism : A Comparative Study of Two Adjacent
Villages. Tourism Management. 28 : 96-107.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

Garis Besar Pertanyaan


Yang Diajukan Pada Wawancara dengan
Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala

1. Data diri responden meliputi nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan,
dan pekerjaan responden.
2. Persepsi mengenai kegiatan pariwisata, yang meliputi :
 Pengetahuan dan sikap mereka terhadap kegiatan pariwisata.
 Manfaat dan kerugian yang diperoleh dari kegiatan pariwiwisata.
 Harapan keterlibatan dan peran mereka pada kegiatan pariwisata.
 Pandangan terhadap konsep pengelolaan pariwisata yang baik dan sesuai
dengan kepentingan dan keinginan mereka.

3. Keterlibatan dalam kegiatan pariwisata saat ini, yang meliputi :


 Bentuk keterlibatan dalam kegiatan pariwisata.
 Lama waktu keterlibatan dalam kegiatan pariwisata.
 Pengalaman dalam kegiatan pariwisata.
 Pendidikan dan keterampilan khusus yang dimiliki berkaitan dengan pariwisata.
 Keberadaan kelompok masyarakat yang berkaitan dengan pariwisata dan
keterlibatannya mereka didalamnya.
 Penghasilan yang diperoleh dari kegiatan pariwisata.
 Masalah/hambatan yang ditemukan dalam keikutsertaan pada kegiatan
pariwisata.
4. Potensi alam, sosial, dan budaya yang mendukung pariwisata menurut masyarakat.
5. Saran dan pikiran masyarakat dalam pengembangan pariwisata kedepan.
112

Lampiran 2.

Pedoman Wawancara
Bagi Aparat Pmerintahatah, Pengusaha Wisata dan LSM Mengenai
Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang-
Pusentasi Donggala

I. Identitas Responden yang meliputi, nama, instansi/lembaga, jabatan, dan


alamat.

II. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan :

1. Pandangan mereka terhadap kegiatan pariwisata yang


dikembangkan di kawasan ini.
2. Akibat positif dan negatif dari kegiatan pariwisata.
3. Pendapat mereka tentang peran masyarakat dalam pengelolaan
pariwisata.
4. Pendapat mereka bila pengelolaan pariwisata di kawasan wisata
ini dikembangkan dengan sistim pengelolaan berbasis
masyarakat.(Diceritakan sekilas konsep pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat menurut peneliti)
5. Bila setuju terhadap sistim pengelolaan tersebut, bagaimana
sebaiknya peran masyarakat dalam kaitannya dengan :
a. Keikutsertaan dalam perencanaan
b. Keikutsertaan dalam pengelolaan usaha/kegiatan
pariwisata

6. Bila tidak setuju, bagaimana bentuk keikutsertaan masyarakat


dalam kegiatan pariwisata tersebut.

7. Pendapat mereka yang berkaitan dengan aspek sosial budaya


masyarakat dan tentang pengelolaan sumberdaya alam untuk
pariwisata.
Sebagai contoh misalnya, pengetahuan lokal dan kearifan yang
dimiliki oleh masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang tersedia. Apakah hal ini dapat dijadikan referensi untuk
mendukung pengembangan pariwisata ?
(Akan didialogkan beberapa contoh kasus)

8. Faktor-faktor apa yang dapat mendukung dan menghambat


pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata ini.
(Dilihat dari sudut pandang potensi/kesiapan pemerintah,
masyarakat, dan swasta).
113

Lampiran 3

Pedoman Pertanyaan
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus

1. Pandangan mereka (peserta diskusi) terhadap kegiatan pariwisata yang


dikembangkan di kawasan ini.
2. Apa akibat negatif dari kegiatan tersebut.
3. Apa akibat positif dari kegiatan tersebut.
4. Apakah mereka (masyarakat) berminat untuk ikut terlibat dalam kegiatan
tersebut.
5. Apakah model pengelolaan yang dikembangkan saat ini sudah memberi
peluang bagi mereka untuk ikut terlibat.
6. Bila terdapat peluang, apakah masih diperlukan bantuan pihak lain,
termasuk pemerintah.
7. Apa saran dan pendapat mereka bila kegiatan pariwisata dikembangkan
dengan konsep pengelolaan yang berbasis masyarakat.

.
114

Lampiran 4.

Rangkuman Hasil
Diskusi kelompok Terfokus
Di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi
1. Kegiatan pariwisata di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi sudah
berlangsung lama (Tanjung Karang sejak tahun 1970an sementara Boneoge
dan Pusentasi sejak awal tahun 1990an). Terbukanya Tanjung Karang sebagai
lokasi wisata yang dikunjungi oleh wisatawan asing telah mendorong lokasi di
sekitarnya untuk berkembang sebagai lokasi kegiatan wisata.
2. Akibat negatif dari kegiatan wisata :
 Lokasi wisata yang sering digunakan oleh orang-orang dari kota untuk
tempat berpesta-pesta dan beberapa kegiatan lainnya yang sering
mengganggu ketenangan masyarakat.
 Masuknya minuman keras dan kemungkinan telah adanya penggunaan
narkoba yang dapat merusak moral masyarakat lokal.
 Berkembangnya Tanjung Karang sebagai lokasi wisata, terutama sebagai
lokasi penyelaman (diving) telah menimbulkan konflik kepentingan antara
masyarakat lokal dengan pariwisata. Terumbu karang yang terdapat di
Tanjung karang merupakan lokasi yang biasa digunakan oleh masyarakat
sebagai sumber ikan alternatif pada musim barat tidak dapat lagi diakses
karena diperuntukan bagi kegiatan pariwisata.
 Rencana pemerintah dan swasta untuk mengembangkan Tanjung Karang
sebagai satu kawasan/resort yang diperuntukan khusus dengan
memindahkan lokasi pemukiman menimbulkan keresahan di masyarakat.
Kondisi ini pula yang menyebabkan masyarakat pada lokasi lain melihat
perkembangan pariwisata sebagai ancaman bagi status kepemilikan lahan
mereka.
 Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperlebar jalan
menuju Tanjung Karang dengan menggusur gunung dan membuang
gusuran ke laut dapat mengganggu kondisi pantai.
3. Akibat positif dari kegiatan wisata :
 Manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat melalui pendapatan tambahan
yang didapatkan dari berjualan, melayani transportasi sebagai ojek,
menjual hasil laut siap saji, dan menjual buah kelapa segar (muda).
 Keberadaan kegiatan pariwisata mendorong keinginan masyarakat untuk
kembali menggali potensi sosial budaya yang saat ini sebagian sudah
tenggelam.
 Kegiatan pariwisata yang ada saat ini telah mendorong masyarakat untuk
menata desa/kelurahan dan pemukiman mereka agar lebih bersih dan
teratur.
 Dari aspek motivasi, sebenarnya telah mendorong masyarakat untuk ikut
berpartisipasi lebih jauh dalam proses pengelolaan kegiatan pariwisata.
Namun, keinginan ini masih terhambat oleh kendala berupa modal,
keterampilan, dan terutama dukungan pemerintah setempat.
115

4. Minat masyarakat untuk terlibat cukup tinggi, yang dibuktikan oleh


keikutsertaan mereka dalam melayani kebutuhan wisatawan akan bahan
makanan, sarana transportasi dan lokasi peristrahatan. Munculnya minat
masyarakat tersebut tidak hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata,
tetapi juga berkaitan dengan upaya untuk mengambil peran yang lebih jauh
agar supaya mereka dapat langsung ambil bagian dalam mencegah terjadinya
akibat-akibat negatif.
5. Model pengelolaan (yang lebih bersifat top-down) yang dikembangkan saat ini
masih kurang memberikan peluang bagi masyarakat untuk
terlibat/berpartisipasi. Beberapa aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah
selama ini (misalnya aktifitas Pekan Budaya dan Promosi Wisata yang
dilakukan disini tidak melibatkan masyarakat) tidak dikomunikasikan dengan
baik ke masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat sepakat bahwa model
pengelolaan yang dapat memberi kesempatan keterlibatan mereka secara luas
sangat diperlukan untuk mengembangkan wilayah ini.
6. Keterlibatan masyarakat didalam kegiatan pariwisata disini tetap memerlukan
bantuan dari pihak lain terutama pemerintah. Masyarakat masih sangat
membutuhkan upaya untuk meningkatkan keterampilannya dalam
mengembangkan usaha-usaha yang berhubungan dengan pariwisata. Misalnya,
pelatihan keterampilan pembuatan cindera mata, perencanaan/pembuatan paket
wisata, serta perencanaan dan pengelolaan hunian bagi wisatawan.
Disamping itu, diharapkan bahwa sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat
dapat dijadikan sebagai modal keikutsertaan atau saham masyarakat didalam
mengembangkan usaha dibidang pariwisata. Kegiatan-kegiatan usaha
masyarakat (pertanian, peternakan, dan perikanan) diharapkan dapat
dikembangkan menjadi atraksi wisata yang dapat dikunjungi oleh wisatawan,
sehingga hasil usaha masyarakat dapat dapat pula dibeli oleh wisatawan
sehingga masyarakat lokal dapat memperoleh pendapatan langsung.
7. Masyarakat sependapat bila pengelolaan pariwisata dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang berbasis masyarakat. Meskipun demikian, hal
ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui proses yang sesuai yang
dapat mendorong kearah pendekatan tersebut. Pengalaman pada beberapa
kegiatan yang dilakukan dengan mengatasnamakan partisipasi masyarakat
harusnya tidak terulang dalam upaya pengembangan pariwisata di kawasan
ini.
116

Lampiran 5.

Sketsa lokasi wisata pantai Tanjung Karang

Natural Cottages

Prince John Cottages


Harmoni Cottages
Teluk Palu

Selat Teluk Palu


Makassar

A
re
aD
iv
in
g
ala
ongg
text Ke D

ge
oneo
Ke B

Keterangan :
Jalan Tugu Selamat Datang
Rumah penduduk Pos retribusi masuk lokasi wisata
Kebun penduduk Pondok peristrahatan milik penduduk
Masjid Cottage milik N Bidja
117

Lampiran 6.

Sketsa lokasi wisata Boneoge

Cottage milik Pemda

Selat Makassar

arang
Tg K
Dari

text
i
/P ’ntas
aluku
Ke K

Keterangan :
Cottage Tugu Selamat Datang
Sekolah Madjid
Rumah penduduk Jalan aspal
Kebun penduduk Jalan setapak
118

Lampiran 7.

Sketsa lokasi wisata Kaluku-Pusentasi

Selat Makassar

Vatu Nolanto

Lokasi “Panambe”
Vatubula

Dusun
Kaluku
Pusentasi
text

ala
ongg
Ke D

Keterangan :
Cottage Kaluku
Jalan beraspal
Beach
Jalan tidak beraspal Kebun Pisang penduduk
Rumah penduduk Kebun kelapa
119

Lampiran 8.

Peralatan tenun yang digunakan masyarakat lokal


120

Beberapa motif hasil tenunan masyarakat lokal


121
122

Lampiran 9.

Foto beberapa peralatan rumahtangga masyarakat Tanjung Karang


Pusentasi

Tempat air minum terbuat dari tempurung kelapa yang disebut bobo

Belanga tanah sebagai alat masak masyarakat


123

Tempat kue (kiri) dan buah-buahan (kanan)

Alas belanga yang diproduksi dan digunakan masyarakat lokal


124

Sendok sayur dan nasi yang digunakan masyarakat lokal

Tempurung kelapa yang telah dibersihkan sebagai alat makan


125

Lamapiran 10.

Foto beberapa lokasi di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi

Pintu gerbang memasuki lokasi Tanjung Karang

Lokasi wiasata Tanjung Karang dengan latar belakang Kota Donggala


126

Salahsatu sudut pantai Tanjung Karang

Lokasi di Pantai Boneoge


127

Salahsatu pemandangan di Pusentasi

Pusentasi (sumur air laut)


128

Cottage yang terdapat di pantai Kaluku

Lokasi pertanian masyarakat lokal di Kaluku-Pusentasi

You might also like