You are on page 1of 9

Menilik sejarah perkembangan islam di tanah Mandar Sulawesi Barat.

Menurut
beberapa sumber masuknya islam di tanah mandar pada masa abad ke-16 dan
abad ke-17. Pada masa itu terdapat 2 kerajaan besar yaitu kerajaan Balanipa dan
Kerajaan Binuang. Berikut penjelasan singkat dua kerajaan tersebut.
Kerajaan Balanipa
Kerajaan ini terletak di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Kerajaan ini adalah
kerajaan yang terbesar yang ada di Tanah Mandar, yang mempunyai pengaruh
yang sangat besar di Tanah Mandar. Dan sistem pemerintahan di Balanipa pada
saat itu dilakukan secara turun temurun atau dari genersi ke generasi.

Perkembangan agama Islam pada masa kepemimpinan Raja ke-4 (empat),


memanfaatkan pemerintahannya untuk mengembangkan agama islam, dengan
ditandai dengan berdirinya sebuah tempat ibadah (mesjid) yang pada awal
mulahnya dikenal Langgar (yang dikenal di Sumatra dengan kata surau) dimana
digunakan sebagai tempat mengajar ajaran agama Islam. Masjid yang pertama di
Tanah Mandar terletak di Pallis atau yang dikenal saat ini sebagai Desa Lembang
dan masjid yang kedua didirikan di Desa Tangga – taangga Kecamatan
Tinambung, yang sekarang lebih dikenal sebagai masjid Raja.

Masjid kedua ini berdiri hasil dari perpindahan mesjid pertama dengan membawa
empat tiang dan meninggalkan/menyisahkan kepala mesjid yang dalam bahasa
daerah disebut Coppo’ masigi.
Sebelum Islam masuk, masyarakat Mandar menganut kepercayaan animisme yang
banyak di pengaruhi oleh agama Budha dan Hindu dalam melakukan praktek-
praktek penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan dalam penyelesaian
perselisihan atau sengketa di Tanah Mandar, kerajaan Balanipa memiliki 2 (dua)
lembaga hukum yaitu:

1. Lembaga 1(Balanipa)
Dimana bala bararti sebuah kandang dan nipa adalah sejenis tumbuh-tumbuhan
yang dijadikan bahan dalam pembuatan kandang tempat pertaruangan duel tikam
menikam tersebut (berkelahi dalam kandang sampai salah satunya tewas, dan
tewas dinyatakan bersalah sedangkan yang hidup dinyatakan benar).

2. Lembaga II (merendam tangan di air mendidih)


Yaitu mereka yang bersengketa merendam tangan di air mendidih (siapa yang
lebih dahulu mengangkat tangannya maka ia lah yang bersalah).
Secara psikologis, 2 (dua) lembaga peradilan tersebut adalah untuk
mempermudah penetapan hukum. Namun setelah Islam masuk dan diterima baik
oleh masyarakat, khususnya pihak Kerajaan. Hukum yang dijalankan pada masa
itu berangsur-angsur berubah dengan aturan-aturan yang ada di ajaran Islam.

Kerajaan Binuang
Kerajaan ini terletak di kabupaten Polman, sulawesi barat atau yang dekat dengan
perbatasan Sul – Sel . Kerajaan ini adalah kerajaan yang nomor 2 terbesar yang
ada di Mandar, yang mempunyai kerjasama dengan Kerajaan Balanipa, baik
dalam perekonomian, budaya, dan lain – lain. Dan sistem pemerintahan di
Binuang pada saat itu dilakukan secara turun temurun atau dari genersi ke
generasi.

Dikerajaan Binuang adalah tempat dimana wafatnya Syaek Bil Ma’ruf


(Kamaluddin rahim). Pada waktu itu makam beliau dijadikan tempat ziarah para
umat muslim. Ketika pada abad 18 masehi, yang berkuasa di Goa (Sul – Sel)
adalah islam Muhammadia. Islam Muhammadia ini tidak sepakat makam
Kamaluddin Rahim (Tosalama’ Binuang) dijadikan tempat siarah. Lalu dia
mengambil tindakan untuk menghancurkan makam tersebut, dengan membuang
batu – batu nisannya ke laut. Setelah selesai dibuang batu nisan itu kembali posisi
semula. Jadi makam itu tidak diganggu lagi hingga saat ini.

Setelah melihat sejarah kerajaan besar yang ada di Mandar, selanjutnya kita akan
melihat beberapa pendapat yang menjelaskan tentang sejarah perkembangan islam
di mandar. Berikut beberapa pendapat mengenai masuknya islam di sulawesi
barat.

1. Pendapat Abdullah ( Toko adat Balanipa )


Abad ke-17 merupakan awal agama Islam masuk ke tanah Mandar di daerah
Toma’ngalle (Toma’ngalle itu nama pada abad 17 dan sekarang diberi nama
tammangalle), pada masa itu pemerintahan di Wilayah Tanah Mandar berbentuk
kerajaan. Kerajaan besar di Tanah Mandar pada masa itu yaitu kerajaan Binuang
dan Kerajaan Balanipa. Awal penyebaran agama Islam di mulai dari daerah
Kerajaan Binuang, yang disebarkan oleh seorang musafir bangsa arab yang
bernama Kamaruddin Rahim.

Awal mula beliau menyebarkan agama islam yaitu ketika beliau melakukan shalat
5 ( lima ) waktu diatas batu yang berbentuk kasur dan dilihat oleh warga sekitar.
Kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada raja Balanipa, sehingga beliau
dijemput dan dibawa ke Kerajaan Balanipa. Arayang pada saat itu adalah Daetta’
Tummuanae (Raja ke-IV Kerajaan Balanipa). Ketika berada di wilayah Kerajaan
Balanipa Beliau memutuskan untuk memilih tempat pedalaman agar lebih mudah
untuk menyebarkan agama islam tepatnya di daerah Pallis. Dan hasilnya yang
pertama masuk islam pada saat itu adalah raja Pallis ( kannasunan ).

2. Pendapat Pundi (Tokoh Masyarakat Daerah Lambanan)


Agama Islam mulanya dibawa oleh seorang berbangsa Arab bernama Kapar pada
abad ke-17. Beliau menyebarkan agama islam di tanah mandar bersama dengan
Yusuf dengan julukan To Salama yang berasal dari daerah Gowa. Ketika itu
perayaan hari besar Islam di Balanipa tidak akan terlaksana apabila Yusuf tidak
ada. Hal ini dikarenakan saat itu Yusuf bertindak sebagai khatib di Balanipa dan
Beliaulah yang mengajarkan tentang tata cara sebagai khatib. Namun setelah
beliau kembali ke Goa, Beliau digantikan oleh muridnya yaitu Sopu Gus Diris
yang dikuatkan dengan diberikannya sebuah SK sebagai bukti pelimpahan
wewenang sebagai khatib tanggal 5 Januari 1952 di Madjene.
Kapar (To Salama di Binuang) menyebarkan agama islam di Balanipa pada masa
kepemimpinan Raja ke-IV, Tomatindo di Burio yang merupakan keturunan dari
Torilaling (raja pertama). Islam berkembang luas di daerah Balanipa dikarenakan
oleh adanya dukungan penuh dari raja yang berkuasa. Penyebaran agama Islam
pada masa itu terjadi secara berangsur-angsur dikarenakan sebuah kepercayaan
baru yang datang pada suatu wilayah tentunya tidak akan langsung dapat diterima
begitu saja.

3. Pendapat Arifin (Penjaga Makam Syaeh Bil Ma’ruf)


Islam masuk ke Tanah Mandar pada Abad ke-17 dibawa oleh Rahim Kamaruddin
(Syaek Bil Ma’ruf), yang berasal bangsa Arab, Beliau tiba di Kerajaan Binuang
dengan satu tujuan menyebarkan Islam di Tanah Mandar. Ketika Beliau
melaksanakan shalat, ada penduduk yang melihat, dan langsung melaporkan
kejadian tersebut kepada Raja. Rajapun menemui Syeik Bil Ma’ruf untuk
menanyakan siapa, dari mana, dan tujuan beliau datang ke Binuang. Kemudian
Syeik Bil Ma’ruf menjelaskan maksud dan tujuannya yaitu menyebarkan Agama
Islam. Awalnya Raja tidak percaya dan meminta bukti-bukti.
Beberapa bukti yang beliau perlihatkan diantaranya :
1. Berjalan di atas air
2. Memegang bara api
3. Shalat di atas daun pisang
4. Berjalan di atas pohon kelapa
Setelah melihat bukti-bukti tersebut, Raja percaya dan memeluk agama Islam,
kemudian diikuti oleh para pejabat dan seluruh masyarakat.
Pendapat ini sangat mirip dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abdullah (
Tokoh adat Balanipa )

4. Menurut Lontara Balanipa


Masuknya Islam di Mandar dipelopori oleh Abdurrahim Kamaluddin yang juga
dikenal sebagai Tosalamaq Dibinuang. Ia mendarat di pantai Tammangalle
Balanipa. Orang pertama ialah Kanne Cunang Maraqdia ‘Raja’ Pallis, kemudian
Kakanna I Pattang Daetta Tommuane, Raja Balanipa ke-4.

5. Menurut Lontara Gowa


Masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka).

6. Menurut salah sebuah surat dari Mekah


Masuknya Islam di Sulawesi (Mandar) dibawa oleh Sayid Al Adiy bergelar Guru
Ga’de berasal dari Arab keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.

Pendapat yang menurut Lontara Gowa diatas secara tidak langsung ditolak oleh
Dr. Abu Hamid yang dalam penelitiannya (diterbitkan oleh Yayasan Obor,
Jakarta) menyimpulkan bahwa Syekh Yusuf Tuanta Salamaka tidak pernah
kembali ke Sulawesi Selatan sejak kepergiannya ke Pulau Jawa sampai dibuang
ke Kolombo Srilanka, kemudian ke Afrika Selatan dan meninggal di sana.
Diperkirakan agama Islam masuk ke daerah Mandar berlangsung dalam abad-16.
Tersebutlah para pelopor membawa dan menyebarkan Islam di Mandar yaitu
Syekh Abdul Mannan Tosalamaq Disalabose, Sayid Al Adiy, Abdurrahim
Kamaluddin, Kapuang Jawa dan Sayid Zakariah. Masuknya Islam di daerah ini
dengan cara damai melalui raja-raja.

Syekh Abdul Mannan bergelar To Salamaq di Salabose. Pembawa dan pengajur


Islam yang pertama masuk di wilayah Kerajaan Banggae, diperkirakan pada abad
ke-16. Pada masa itu yang menjadi Raja Banggae ialah Tomatindo di Masigi
(gelar yang diberikan kepadanya setelah meninggal dunia), putra Daetta Melattoq
Maraqdia Banggae-Putri Tomakakaq/Maraqdia Totoli. Membangun dan menjadi
imam yang pertama Masjid Sallabose, Banggae. Makamnya terletak di arah utara,
500 meter dari Mesjid tersebut. Sayid Al Adiy dimakamkan di Lambanan, Kec.
Balanipa, Kab. Polman, dianggap keramat, selalu diziarahi orang. Mempunyai
silsilah yang lengkap sampai tujuh generasi/lapis. Turunannya berperawakan
mirip Arab. Abdurrahim Kamaluddin adalah penganjur Islam di kerajaan
Balanipa Mandar. Ada juga yang mengatakan bahwa dialah kemudian bergelar
Tosalamaq Tuan di Binuang. Sedangkan Sayid Zakariyah dimakamkan di Somba
Kec. Sendana, Kab. Majene. Bersama Raden Suryodilogo (ada juga yang menulis
Raden Surya Adilogo) Kapuang Jawa yang berlayar dari Tanah Jawa langsung ke
Pelabuhan Pamboang.

Islam masuk di kerajaan Pamboang, dibawa oleh Saiyid Zakariyah, di awal abad
ke-17. Sayid (Syekh) Zakariyah bergelar Puang Disomba berasal dari Magribi
jazirah Arab. Raja Pamboang masa itu, Isalarang Idaeng Mallari bergelar
Tomatindo Diagamana. Kawin dengan Puatta Boqdi putri Raja Pamboang. Dia
dan rombongannya dari Pulau Jawa dengan perahu, mendarat di Pamboang. Raja
Pamboang, permaisuri dan seluruh warga istana semuanya masuk Islam. Sesudah
meninggal Raja Pamboang itu bergelar Tomatindo Diagamana ‘Orang Tidur di
Agamanya’ maksudnya ‘Yang Meninggal Dalam Memeluk Agama Islam’.
Permaisurinya bergelar Tomecipo’ (Orang yang Bertelekung).

Masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah Pitu Ulunna Salu, diperkirakan
terjadi antara 1630-1700 di Aralle, Mambi, Salurindu dan Rantebulahan. Mula
pertama agama dibawa oleh penduduk setempat yang pergi ke daerah Balanipa
mencari garam, kelapa, minyak kelapa, dan alat-alat pertanian. Sekembalinya,
membawa Kitab Suci Al Quran. Juga memakai kopiah beledru hitam yang disebut
songkoq Araq (kopiah model Arab). Suatu waktu Indona Aralle dan Indona
Rantebulahan (Deppataji) mengajak Indona Tabulahan (Dettumanan) dan Indona
Bambang (Puaq Tammi) mempelajari dan masuk agama Islam. Ajakan itu
berhasil baik. Sehingga disitulah berawal fakta bahwa agama Islam adalah agama
yang mayoritas di daerah Sulawesi Barat.

Di kerajaan Binuang setelah Islam diterima, Kamaruddin Rahim (Syaek Bil


Ma’ruf) memutuskan untuk melanjutkan perjalanan untuk menyebarkan agama
Islam, diantaranya Majene dan Mamuju. Dalam perjalanan (berlayar), Beliau
mendapatkan hambatan dilaut yaitu salah arah menuju ke Balanipa. sehingga
beliau memberi nama tempat itu Salahbose’. Dan pada saat itu pula beliau
memutuskan untuk singgah di Balanipa, diwilayah Toma’ngalle (Toma’ngalle itu
nama pada abad 17 dan sekarang diberi nama tammangalle ) untuk menyebarkan
agama Islam.

Sedangkan ketika beliau melakukan syiar Islam di Balanipa beliau tidak langsung
mengajarkan Islam pada inti pokoknya yaitu mengenai tata cara shalat. Melainkan
dengan menjelaskan tahap awal, mulai dari tata cara membersihkan diri, lalu
berwhudu, kemudian tata cara shalat. Pada masa penyebaran Islam di Balanipa
tidak begitu mendapat hambatan karena prilaku masyarakat setempat sudah
mencerminkan perilaku Islam, Selain itu juga Kamaruddin Rahim memang
berperilaku baik dan sopan saat berkunjung dan bersilaturahmi sehingga langsung
diterima oleh masyarakat setempat.

Proses penyebaran Islam banyak dilakukan dengan cara mengislamkan kebiasaan-


kebiasaan daaerah setempat contohnya tradisi Sayyang Patu’du yaitu kuda yang
menari, pertama kali digunakan oleh Raja dan dijadikan daya tarik untuk
masyarakat khususnya anak-anak untuk mempelajari agama Islam terutama dalam
mempelajari Al-Qur’an.

Setelah Islam menyebar di Balanipa, Beliau kembali ke Binuang dengan alasan


karena tugas beliau telah selesai, dan setelah beberapa hari kemudian beliau
wafat. Sebelum beliau dimakamkan terjadi peristiwa hujan lebat selama tiga hari
tiga malam. Saat itu kalangan kerajaan sangat pusing memikirkan letak
pemakaman Syaek Bil Ma’ruf. Banyak yang mengusulkan tempat pemakaman
beliau, tetapi setelah disebutkan salah satu tempat yaitu daerah Ammasangan
hujan seketika berhenti. Kemudian Raja memutuskan untuk memakamkan jasad
to Salama di Ammasangan yang sekarang bernama Pulau Salama.

Jejak Peradaban Islam di Mandar


Masjid Salabose merupakan jejak peradaban islam di Mandar yang dibangun pada
abad ke-16 di Majene, Sulawesi Barat, hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid di
atas area seluas satu hektar ini dibangun oleh tokoh penyebar agama Islam di
Majene, Syeh Abdul Mannan, bersama para pengikutnya. Masjid ini kini menjadi
jejak sejarah peradaban Islam di tanah Mandar.

Masjid tersebut berada di puncak Bukit Salabose, Kelurahan Pangali-Ali,


Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Di dalam
masjid itu pun disimpan Al Quran tertua yang ditulis tangan dengan tinta dari
pohon kayu.

Berdasarkan catatan sejarah, di tempat inilah Syeh Abdul Mannan mulai


menyebarkan Islam di Sulawesi. Sebelumnya, warga hidup dengan kepercayaan
animisme. Meski beberapa bagian masjid ini telah direnovasi karena lapuk
dimakan usia, sejumlah ornamen penting lainnya, seperti kubah dan dinding yang
terbuat dari batu yang konon direkatkan dengan telur, hingga kini masih tampak
kokoh dan utuh. Dinding kubah, misalnya, hingga kini masih tetap dipertahankan
oleh masyarakat setempat. Tidak jauh dari masjid salabose kurang lebih 300
meter sebelah barat daya terdapat makam Syeh Abdul Mannan.

Referensi :
http://indahnyasulawesibarat.blogspot.com/2012/10/sejarah-islam-di-tanah-mandar.html
http://budayamanda.blogspot.com/

http://kota-islam.blogspot.co.id/2013/11/sejarah-perkembangan-islam-di-mandar.html

mbar via keywordsuggest.org

Sejarah Masuknya Islam di Mandar

 Editor Muhammad Iqbal Arsyad


 31-03-2017

Seputarsulawesi.com, Polman - Hingga kini jumlah penduduk di provinsi


Sulawesi Barat tercatat kurang lebih 1.158.651 jiwa (BPS Sulbar, 2010). Dari
jumlah itu, sekitar 957.735 jiwa pemeluk agama Islam. Lalu bagaimana sejarah
awal masuknya Islam di tanah Mandar ini?

Dalam “Etnografi Budaya Masyarakat Mandar”, yang ditulis Drs. Anwar Sewang,
M.Ag (2011) dijelaskan secara singkat sejarah sejarah masuknya Islam di tanah
Mandar ini. Menurutnya, masuknya Islam di Mandar tidak dapat dipisahkan
dengan masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan.

Akan tetapi, perbedaan masuknya Islam ke suatu daerah bukan hanya karena
kurangnya sumber otentik yang didapat, tetapi juga kaburnya dasar konseptual
yang dipakai, berupa percampuran antara datang, berkembang dan tampilnya
Islam sebagai kekuatan politik. Hingga saat ini sejarawan di Sulawesi Selatan
mengakui bahwa masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan ialah pada tahun
1603 M, yang pertama memeluk Islam ialah Raja Luwu di kampung Patimang.
Setelah memeluk Islam (mengucapkan syahadat) namanya menjadi Sulthan
Waliyumidrakhudie.

Kemudian atas usul Sultan agar Islam lebih jaya, menganjurkan kepada ketiga'
datuk pembawa Islam masing-masing Datuk Sulaiman, Datuk Tunggal dan Datuk
Bungsu, agar mendatangi Raja Gowa mengajak masuk Islam. Tanggal 22
September 1605 M Raja Tallo', I Malaingkaan Daeng Manyonri dengan gelar
Sultan Awwalul Islam, telah memeluk Islam, kemudian I Manggarai Daeng
Manra’bia dengan gelar Sultan Aluddin, Raja Gowa juga telah menjadi Muslim.
Setelah kedua raja tersebut memeluk Islam, maka berduyun-duyunglah rakyatnya
memeluk Islam tanpa paksaan dan intimidasi. Berbeda dengan raja Bone pada
mulanya hanya rajanya yang bersedia, tapi rakyatnya tidak. Nanti pada tahun
1611 Raja Bone dan rakyatnya telah masuk Islam setelah melihat perkembangan
Islam yang pesat.36

Masuknya Islam pertama di Mandar sampai saat ini masih terdapat beberapa
pendapat, antara lain :
1. Menurut Lontar Balanipa, masuknya Islam pertama dipelopori oleh
Abdurrahim Kamaluddin. la mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Yang
pertama memeluk Islam ialah Kanne Cunang Maradia Pallis, kemudian Raja
Balanipa IV: Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang.
2. Menurut Lontara Gowa, bahwa masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta
Syekh Yusuf (Tuanta Salama). Bahkan seluruh daerah Mandar telah memeluk
Islam pada tahun 1608.
3. Menurut salah sebuah surat dari Mekah bahwa masuknya Islam di Sulawesi
(Mandar) dibawa oleh Assayyid Adiy dan bergelar Guru Ga'de berasal dari Arab
keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.

Berdasarkan ketiga sumber di atas, maka penulis belum dapat mengambil


kesimpulan siapakah sebenarnya yang paling mendekati kebenaran. Akan tetapi
jika kita hendak menganalisa, maka pendapat pertama dan inilah yang banyak
dikenal selama ini, mempunyai banyak kekurangan dari segi penulisan sejarah.
Yaitu pertama nama Kamaluddin penyempurna agama, tidak seperti gelaran Raja
Tallo disebut Awwalul Islam, karena dialah yang pertama memeluk Islam, sedang
Alauddin dianggap dialah yang pertama meninggikan Islam.

Kelemahan yang lain, mengapa keturunan dari Abdurrahim Kamaluddin selama


beratus tahun tidak dikenal dan vakum sampai sekarang? Adapun versi kedua
tentang Syekh Yusuf, mungkin yang dimaksud di sini ialah Syekh Abdul Manna
yang membawa agama Islam pertama ke kerajaan Banggae (Majene) dan diterima
oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608. Nama Mara'dia Banggae pertama
memeluk Islam ada kuburnya masih terdapat di Mesjid Raya Majene (sekarang),
ialah Sukkilan. Sesudah kerajaan Banggae memeluk Islam ia berkunjung ke Kutai
dan dihidangkan babi itu tidak dimakan karena telah memeluk lslamKutai baru
resmi menerima Islam pada tahun 1610.

Adapun versi ketiga yang diperkuat pendapat dari Mekah, yaitu Guru Ga'de (Al-
Adiy), kuburnya masih didapati di Lambanan (Kecamatan Tinambung) diziarahi
oleh orang sebagai yang dianggap keramat. Keistimewaannya mempuyai silsilah
yang lengkap sampai tujuh lapis dan mempunyai keturunan yang berkembang,
mempunyai perawakan mirip Arab, cucunya yang kedua bernama H. Muhammad
Nuh pada abad ke- 18 yang pertama membuka sistim pesantren di Pambusuang
dan Campalagian.
Penyebaran agama Islam ke daerah Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang
ia seorang yang bernama Kapuang Jawa dan Sayyid Zakaria. Konon Kapuang
Jawa itu adalah anak buah Sunan Bonang yang datang ke Kalimantan kemudian
melanjutkan usaha ke Sulawesi (mendarat di Mamuju). Dan Kapuang Jawa itu
menurut pendapat beberapa pengamat sejarah, bernama Raden Mas Surya
Adilogo. Pengaruh Islam terhadap perkembangan kebudayaan Mandar sudah
tentu ada. Namun hal itu dianggap pengaruh yang hampir sama di setiap daerah
yang dimasuki Islam. (Win)

Tag :

http://seputarsulawesi.com/baca/seputarsulawesi/sejarah-masuknya-
islam-di-mandar

SPORTOURISM - Penyebaran Islam di Tanah Mandar dimulai pada abad ke-17, oleh
seorang musyafir bangsa Arab yang bernama Kamaruddin Rahim (Syaek Bil Ma’ruf). Ia
menyebarkan agama Islam pertama kali di wilayah Kerajaan Binuang. Ketika
Kamaruddin Rahim melaksanakan sholat diatas batu yang berbentuk kasur, Ia dilihat
oleh warga sekitar dan warga tersebut melaporkan pada raja Binuang. Tak lama
kemudian, ia dijemput untuk dibawa ke Raja Binuang. Setelah menghadap raja,
Kamaruddin Rahim menjelaskan maksud dan tujuannya. Rupanya hal tersebut diterima
baik oleh pihak kerajaan dan diikuti oleh seluruh masyarakat. Setelah Islam diterima di
kerajaan Binuang, Kamaruddin Rahim memutuskan melanjutkan perjalanan untuk
menyebarkan agama Islam ke Mamuju. Namun dalam perjalanan, ia salah arah dan
menuju ke Balanipa. Kamaruddin Rahim kemudian memutuskan untuk singgah di
Balanipa, di wilayah Toma’ngalle (sekarang tammangalle) untuk menyebarkan agama
Islam. Pada awal ia melakukan syiar Islam di Balanipa, Kamaruddin Rahim tidak langsung
mengajarkan Islam pada inti ajaran seperti tata cara shalat. Melainkan dengan
menjelaskan tahap awal, mulai dari tata cara memberihkan diri, lalu berwudhu.
Penyebaran Islam di Balanipa tidak begitu mendapat hambatan karena perilaku
masyarakat setempat sudah mencerminkan ajaran Islam. Selain itu, Kamaruddin Rahim
juga berperilaku baik dan sopan sehingga ia bisa langsung diterima oleh masyarakat.
Proses penyebaran Islam banyak dilakukan dengan cara mengislamkan kebiasaan-
kebiasaan daerah setempat contohnya tradisi Sayyang Patu’du yaitu kuda yang menari.
Tradisi tersebut pertama kali digunakan oleh Raja dan dijadikan daya tarik untuk
masyarakat khususnya anak-anak untuk mempelajari agama Islam terutama dalam
mempelajari Al-Qur’an. Setelah Islam menyebar di Balanipa, ia kembali ke Binuang
dengan alasan karena tugasnya telah selesai. Tak berselang beberapa lama, Syaek Bil
Ma'ruf wafat. Namum sebelum beliau dimakamkan terjadi peristiwa hujan lebat selama
tiga hari tiga malam. Saat itu kalangan kerajaan sangat pusing memikirkan letak
pemakaman Syaek Bil Ma’ruf. Banyak yang mengusulkan tempat pemakaman beliau,
tetapi setelah disebutkan salah satu tempat yaitu daerah Ammasangan hujan seketika
berhenti. Kemudian Raja memutuskan untuk memakamkan jasadnya di Ammasangan
yang sekarang bernama Pulau Salama. [Agung Rahmadsyah] Sumber: kampung-mandar

https://sportourism.id/heritage/kamaruddin-rahim-tokoh-
penyebaran-islam-di-mandar

You might also like