Professional Documents
Culture Documents
CEDERA OTAK
Asuhan Keperawatan Cedera Otak
PENDAHULUAN
Otak merupakan organ terpenting bagi kehidupan yang terletak di dalam rongga
kranium tengkorak. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga bilakekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Cedera Kepala hampir disamakan dalam beberapa literatur tetapi akan lebih jelasnya
marilah kita simak definisi sendiri dari cedera kepapa dan cedera otak..
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik
dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare
2001).
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
atau pembengkakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan
tekanan inbakranial,cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran
kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti
fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara
30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi
contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema.
Cedera otak didefinisikan sebagai kerusakan otak akibat kekuatan mekanik eksternal,
seperti percepatan atau perlambatan, dampak, atau penetrasi dengan proyektil
yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada mekanisme cedera yang
terjadi. Fungsi otak sementara atau permanen dan struktural kerusakan gangguan mungkin
tidak terdeteksi dengan teknologi saat ini
Klasifikasi Cedera otak berdasarkan pada tingkat kerusakan dapat dibedakan atas
kerusakan primer dan kerusakan sekunder.
A. Kerusakan Primer
Kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Keruskan
primer ini dapat berlanjut menjadi keruskan sekunder, jika kerusakan primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka kerusakan primer dapat menjadi kerusakan sekunder.
Kerusakan Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada
mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang terjadi dapat berupa :
a. Kontusio serebri,
Memar ini umumnya terjadi di area permukaan dan terdiri dari area hemoragi kecil – kecil yang
tersebar melalui substansi otak pada daerah tersebut, dari pada satu lokasi yang
berbeda. Kontusio serebral merupakan lesi yang paling banyak tampak setelah cedera kepala.
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, penyebabnya adalah pendarahan yang
terus berlangsung, iskemik, nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan
mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag
(24 jam-beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48
jam).
paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak di
antara arachnoid dan piameter, mengisi ruang subarachnoid.
d. Intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak
(parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus
frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan
ganglia basalis. Gejala dan tanda juga ditentukan oleh ukuran dan lokasi hematoma. Berdasarkan
hasil pemeriksaan CT Scan, Fukamachi dkk. Tahun 1985, membagi ICH atas :
b. Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada CT Scan awal, kemudian
membesar pada CT Scan selanjutnya
d. Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal (‘salt and
pepper)
e. Hematoma Epidural
Hematoma Epidural adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara ruang tengkorak
bagian dalam dan lapisan meninges paling luar. Hepatoma ini terjadi karena robekan
cabang kecil arteri meningeal tengah atau arteri meningeal frontal.
f. Hematoma Subdural
g. Fraktur Tengkorak
Susunan lapisan tengkorak sampai kulit kepala membantu menghilangkan energy
benturan kepala sehingga sedikit kekuatan ditransmisikan ke permukaan otak. Sekalipun
demikian fraktur tengkorak kerupakan masalah yang umum terjadi pada pasien dengan
cedera kepala berat meskipun kejadiannya berfariasi dari 12% sampai 80%, tergantung
pada laporan penelitian.
h. Gegar Serebral
Gegar adalah sindrom yang mengakibatkan bentuk ringan dari cedera otak menyebar.
Ini adalah disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran. Jika ada penurunan kesadaran mungkin hanya beberapa detik atau beberapa
menit. Sesudah itu mungkin pasien mengalamidisorentasi dan bingung hanya dalam
waktu yang relative singkat. Gejala lain meliputi : sakit kepala, tidak mampu untuk
berkonsentrasi, ganguan memori sementara, pusing dan peka. Beberapa penderita
mengalami amnesia retrograde. Kebanyakan pasien sembuh sempurna dan cepat, tetapi
beberapa penderita lain berkembang ke arah sindrom pascagegear dan dapat mengalami
gejala lanjut selama beberapa bulan.
i. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah
terajdinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.
Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan
struktural yang nyata. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa
mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total
dalam beberapa jam atau hari.
B. Kerusakan Sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk
kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial),
Hidrosephalus, dan infeksi.
Fase 1 : Hipoperfusi, terjadi pada hari 0, dapat turun hingga < 18ml/100g/min pada 2-6
jam sesudah cedera.
2. Edema serebri terjadi karena peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau peningkatan
volume darah( intravaskuler),Kekurangan O2 menyebabkan berlangsungnya metabolism
anaerob yang menimbulkan terjadinya gangguan pembentukan energi dan
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi sel: dimana 1 mol glukosa
aerob 38 ATP sedangkan 1 mol glukosa anaerob asam laktat + 2 ATP
Berkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat akan mengakibatkan
bertambahnya edema otak. Secara prinsip terapi dari edema serebri adalah
menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler) ataupun air diluar sel (ekstraseluler)
dengan cara pemberian cairan hiperosmotik (manitol) dengan dosis 0,5 g – 1 g/Kg
BB/kali diberikan secara bolus dalam waktu 15 – 20 menit., disamping sebagai cairan
hiperosmolar maka manitol dengan dosis rendah berfungsi sebagai penangkap bahan
radikal bebas dan dapat meningkatkan mikrosirkulasi dari sel-sel darah merah
(rheologi), pemberian manitol selama 4 hari kemudian dilakukan tapering agar tidak
terjadi "rebound phenomena". Pemberian Kortikosteroid, obat ini dapat memperbaiki
sawar darah otak sehingga secara tidak langsung memperbaiki edema serebri, dan
pemberian Diueretik seperti furosemide.
Pada umumnya definisi tekanan intra kranial merupakan jumlah tekanan dari jaringan
otak (80%), cairan serebrospinal (10%), pembuluh darah (10%). Penyebabnya PTIK sendiri
adalah Infeksi SSP , perdarahan intrakranial, tumor otak, hidrosefalus. Disamping itu PTIK
juga memiliki komplikasi antara lain herniasi otak sehingga menyebabkan kerusakan syaraf
otak ,kematian
2. Jatuh.
3. Kecelakaan (olah raga, industri, lalu lintas).
4. Tertimpa benda keras.
5. Perilaku kekerasan.
g. Nyeri kepala
3. Fraktur kranium
c. Keluarnya cairan serebrospinal dari hidung, telinga, dan laserasi di sekitar fraktur
4. Disfungsi sensori
5. Kejang otot
6. Vertigo
7. Gangguan pergerakan
8. Kejang
9. Syok hipovolemik
(Brito, 1996)
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke
otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob
yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler
dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan
P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel,takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa
adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka
tembus di kepala. kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah
terjadinya cedera.
2. Afasia
Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.
3. Apraksia
ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau
serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh
kerusakan pada lobus parietalis.
4. Agnosia
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan
sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi
normal dari benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis
dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia
hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada
beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. pada cedera otak yang
hebat, amnesia bisa bersifat menetap.
Herniasi otak adalah kondisi medis yang sangat berbahaya di mana jaringan
otak menjadi berpindah dalam beberapa cara karena peningkatan tekanan intrakranial
(tekanan di dalam tengkorak). Herniasi Otak merupakan pergeseran dari otak normal
melalui atau antar wilayah ke tempat lain karena efek massa.Biasanya ini komplikasi
dari efek massa baik dari tumor, trauma, atau infeksi.
7. Defisit neurologi
8. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, abses otak, meningitis, osteomeilitis).
9. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi yang menunjang berat
badan).
10. Edema pulmonal
Edema paru dapat diakibatkan dari cedera pada otak yang mengakibatkan cedera
pada otak yang mengakibatkan reflex cushing.peningkatan pada tekanan darah
sistemik terjadi pada responsdari system saraf simpatis pada peningkatan TIK.
Peningkatan vasokontriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih banyak aliran darah ke
paru- paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan pada proses
dengan memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolis.
11. Kejang
Kejang terjadi kira- kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan spatel
lidah dengan diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur dan peralatan
penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat tidur harus tetap dipasang, dari
bantalan pada pagar engan bantal atau busa untuk meminimalkan resiko sekunder
terhadap cedera karena kejang. Selama kejang, perawat jangan pernah mencoba
memaksakan apapun diantara gigi atau membuka rahang. Pasien harus dimiringkan
untuk memudahkan mengalirnya sekresi atau mudah dihisap. Gerakan pasien harus
di restrain hanya cukup untuk mencegah memukul obyek, yang menyebabkan memer
atau cedera.Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah obat. Diazepam
adalah obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan melalui intra
vena karena obat ini menekan pernapasan maka frekuensi dan irama pernapasan
pasien harus di pantau dengan cermat.
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Pemeriksaan ini jarang digunakan untuk cedera otak karena kurang praktis dan
memiliki keterbatasan dalam deteksi perdarahan pada jam-jam pertama.(ATLS,
1997)
Primary survey
1. Menilai “airway” jalan napas, buka jalan nafas (head tilt, chin lift, jaw trust) untuk
membebaskan jalan nafas demi menjamin petukaran udara adekuat, bersihkan jalan
napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal
segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat
ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napsa, maka pasien harus diintubasi.
3. Menilai “circulation” sirkulasi, otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intraabdomen atau dada. Hentikan perdarahan dari luka terbuka. Pasang alat
pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisis gas
darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau
dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem aotak pasca cedera kepala.
Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
6. Obati kejang, kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB
diberikan intravena perlahan-lahan dnegan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
Secondary Survey
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dnegan stupor atau
koma (tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun) harus
diintubasi untuk proteksi jalan nafas
c. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <
8,
d. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau laruran ringer
laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas
tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat
menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
f. Temperatur badan: demam (temp > 101°F) mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Pengobatan penyebab (antiboitik) diberikan bila perlu.
h. Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien cedera kepala
dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hipergilkemia dan komplikasi lain. Untuk
itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam).
i. Profilaksis trombosis vena dalam: sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada
pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam
pada ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru.
Heparin 5000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera
pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dnegan adanya perdarahan
intrakranial.
l. CT Scan lanjutan: umumnya, skan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah
cedera awal pada pasien dnegan perdarahan intrakranial untuk menilai
perdarahan yang progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi
kendala penghambat.
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan
f. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan :
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
2. Pemeriksaan fisik
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak
akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan
menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula
terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang
terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
3. Pemeriksaan Diagnostik:
Prioritas perawatan:
1. Keluhan Utama : Adanya perdarahan, pasien tidak sadarkan diri, dan GCS < 15
2. Riwayat penyakit : Tingkat kesadaran atau GCS < 15, konvulsi, muntah, takipnea,sakit
kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala,akumulasi sekret pada saluran
pernafasan, dan kejang.
1 : reflek lemah
2 : Normal
4 ; hiperaktif
GCS
b. Refleks pupil
Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan refleks cahaya
melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic adalah miosis bilateral.
c. Gerak bola mata :
- Oculocephalic (“doll’s eyes”)
- Oculovestibular (Calorics)
4. Diagnosa Keperawatan
Kriteria hasil/tujuan
Diagnosa keperawatan Intervensi keperawatan
pasien
5. Pertahankan oksigenasi
7. Monitor BGA
Pola nafas tak efektif atau Mempertahankan pola 1. Atur posisi dengan elevasi
kepala 15-300
ketidakmampuan pernapasan
mempertahankan pola nafas normal/efektif, GDA 2. Jaga kebersihan jalan
nafas
spontan b.d depresi pusat dalam batas normal,
pernafasan pada medulla bebas sianosis. 3. Miringkan kepala pasien
saat muntah
oblongata sekunder
terhadap perdarahan 4. Kaji pola nafas
intracranial/infark. 5. Kolaborasi ; pantau AGD
(Analisa Gas Darah)
Resiko cedera (Injuri) b.d Pasien tidak akan 1. Pasang pengaman tempat
tidur
perubahan fungsi cerebral menderita cedera
sekunder terhadap cedera selama kejang, agitasi, 2. Kolaborasi dengan
keluarga untuk melakukan
serebral. atau postur refleksi.
pengawasan pada pasien
5. Cegah gerakan
patologis/membahayakan
6. Mulailah memberikan
makan per oral dengan
makanan padat jernih
seperti gelatin atau agar-
agar dan beritahu
prosesnya.
Resiko terhadap kerusakan Kulit menjadi halus 1. Ubah posisi minimal tiap 2
jam
jaringan kulit b.d kembali tanpa ada
imobilisasi/paresa/paralisis kerusakan jaringan, 2. Jaga kebersihan kulit dan
lingkungan
sekunder terhadap tidak terjadi dekubitus.
perdarahan/infark. 3. Lakukan masase pada
daerah yang tertekan
dengan minyak kelapa
6. Penampungan urine
eksternal mencegah
infeksi saluran kemih.
3. Hindari pemberian
sebutan terhadap respons
yang tidak sesuai (mis.
Bermusuhan, apatis,
marah, menerik diri).
Posting Komentar
‹
›
Beranda