You are on page 1of 38

REFERAT

ILMU PENYAKIT BEDAH


ABSES HEPAR

Oleh :
Verantika Indra Susetiyo
142011101036

Pembimbing:
dr. Adi Nugroho, Sp.B

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Bedah di RSD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
DAFTAR ISI

Cover .............................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................ ii
BAB 1 Pendahuluan ...................................................................................... 1
BAB 2 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar .................................................................... 5
2.2 Epidemiologi ............................................................................................. 5
2.3 Etiologi .................................................................................................. 6
2.4 Patogenesis ................................................................................................ 9
2.5 Gambaran Klinis ....................................................................................... 15
2.6 Diagnosis .................................................................................................. 18
2.7 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 19
2.8 Penatalaksanaan ........................................................................................ 26
2.9 Komplikasi ................................................................................................ 32
2.10 Prognosis ................................................................................................. 34
2.11 Differential Diagnosis ............................................................................. 34
Daftar Pustaka ............................................................................................... 36
BAB 1. PENDAHULUAN

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati.(1)
Secara umum, abses hepar terbagi 2, yaitu abses hepar amebik (AHA) dan
abses hepar piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus
yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hepar di daerah perkotaan. Di negara yang
sedang berkembang abses hepar amebik lebih sering didapatkan secara endemik
dibandingkan dengan abses hepar piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini
telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara
diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (1)
Di tahun 1900-an, tingkat mortalitas tinggi 75% -80%. Dan sekarang ini
angka kematian telah menurun menjadi 10%-40%. Kemajuan dalam antibiotik dan
teknik bedah, yang telah sangat mengurangi angka kematian selama dua dekade
terakhir.(2)

1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR


Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500 gram
atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio
hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati
memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen
anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen
medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat
padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus
hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan
unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati
dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh
sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid
dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus
hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena
porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)

Gambar 2.1 Anatomi Hepar A. Anterior B. Posterior (2)

2
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa diantaranya yaitu:
(3,4,5,6)

1. Pembentukan dan ekskresi empedu


Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam
empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-
lemak di dalam usus.

2. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat,


lemak, protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat: menyimpan glikogen dalam jumlah
besar, konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, serta pembentukan banyak senyawa kimia dari
produk antara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak: oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi
bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan
sebagian besar lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan
karbohidrat
c. Metabolisme protein: deaminasi asam amino, pembentukan ureum
untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, serta interkonversi beragam asam amino dan
sintesis senyawa lain dari asam amino.
3. Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak (A, D, E, K) disimpan dalam hati, juga vitamin
B12, tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling
banyak disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar
vitamin D dan B12 juga disimpan secara normal.
a. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut
apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah
sedikit maupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia
dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin
membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel

3
hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh
mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.
b. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah
dalam jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses
koagulasi meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator,
faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K
dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk
protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
4. Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon,
dan zat lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu.
Beberapa hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau
dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua
hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron.
5. Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan
mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah.
Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena
cava. Kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari
darah.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Di negara–negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik
dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan
terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene/sanitasi yang kurang. Secara
epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan
perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi
autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 –

4
0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan
rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke –
6..(1)
Abses hepar piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati
di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit
di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia
menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering
pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga
oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio
3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50
tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica
memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi
(2,7)
yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. Jamur dan mycobakterial
abses hepar sangat jarang dan selalu berhubungan dengan imunosupresi, biasanya
kemoterapi. (2)

2.3. ETIOLOGI
2.3.1 Abses Hepar Amebik
Amoebiasis disebabkan oleh E. histolytica, manifestasi ekstraintestinal paling
sering dari amoebiasisis adalah abses hepar amebik. Beberapa spesies protozoa di
genus Entamoeba berkoloni pada manusia, tetapi tidak semuanya terkait dengan
penyakit. E. histolytica dikenal sebagai amoeba patogenik, berhubungan dengan
infeksi usus dan ekstraintestinal. (20)
Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang
mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Trofozoit adalah
bentuk motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi
dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan

5
anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Jika
terjadi diare, tropozoit dengan ukuran biasanya berukuran 15 sampai 20 μm (kisaran
10 hingga 60 μm) yang berpseudopodia dan memiliki nukleus tunggal keluar (lihat
gambar 2.2).

Gambar 2.2 (A) Trophozoite of E. histolytica/E. dispar


(B) Cyst of E. histolytica/E. disparin. Body chromatoid dengan ujung yang tumpul
dan bulat (panah). (8)

Gambar 2.3 Amoeba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang


mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk
parasit, yaitu trofozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki
organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang
merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Trofozoit ini tidak penting untuk

6
penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika
terjadi diare, trofozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai
yang ukuran 50 um.Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa
eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang
mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk trofozoit ini akan mati dalam
suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri trofozoit akan membentuk kista
sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan
dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung
dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang
dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista berbentuk bulat
dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan
berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)

2.3.2 Abses Hepar Piogenik


Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium,
staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus,
actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella
melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah
E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan
spesies dari bakteri anaerob (contohnya Streptococcus Milleri). Staphylococcus
aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit
granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya
adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hepar piogenik
adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui:
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan
fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan
infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-
saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan kolangitis.

7
Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan choledocholithiasis, tumor
jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.

6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut
usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)

2.4. PATOGENESIS
2.4.1 Abses Hepar Amebik
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen
usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh
tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang
kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amoeba ini dapat menjadi patogen
dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun
eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah
melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang
melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil
periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar,
bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi
kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70%
- 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan
aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya
penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna
coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna.
(2,8,13,14)

8
Gambar 2.4 Daur Hidup E. histolytica (23)

Daur hidup E. histolytica yakni sebagai berikut: Kista dan trofozoit melewati
feses (1). Kista biasanya ditemukan di feses yang telah terbentuk, sedangkan
trofozoit biasanya ditemukan di feses diare. Infeksi oleh Entamoeba histolytica
terjadi dengan menelan kista matang (2) di makanan, air, atau tangan yang
terkontaminasi secara fecal. Ecystation (3) terjadi di usus halus dan trofozoit (4)
dilepaskan, lalu bermigrasi ke usus besar. Trofozoit berkembang biak dengan
pembelahan biner dan menghasilkan kista (5), dan kedua tahap tersebut dilewatkan
dalam tinja (1). Karena perlindungan dari dindingnya, kista dapat bertahan berhari-
hari hingga berminggu-minggu di lingkungan eksternal dan bertanggung jawab
untuk transmisi. Trofozoit yang lewat di tinja cepat sekali hancur di luar tubuh, dan

9
jika tertelan tidak akan bertahan hidup paparan lingkungan lambung. Dalam banyak
kasus, trofozoit tetap terbatas pada lumen usus (A: infeksi noninvasif) dari individu
yang pembawa asimtomatik, melewati kista di tinja mereka. Pada beberapa pasien,
trofozoit menginvasi mukosa usus (B: penyakit usus) atau melalui aliran darah, situs
ekstraintestinal seperti hati, otak, dan paru-paru (C: penyakit ekstraintestinal), dan
menghasilkan manifestasi patologis. Telah ditetapkan bahwa bentuk invasif dan
noninvasif mewakili dua spesies terpisah, masing-masing E. histolytica dan E.
dispar. Kedua spesies ini secara morfologis tidak dapat dibedakan kecuali E.
histolytica diamati dengan sel darah merah yang tertelan (erythrophagocystosis).
Penularan juga dapat terjadi melalui paparan feses selama kontak seksual (dalam hal
ini tidak hanya kista, tetapi juga trofozoit dapat membuktikan infektif.(9)

Kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan


mukosa usus. Trofozoit mencapai hati melalui sistem vena portal. Tidak ada bukti
untuk trofozoit melalui limfatik. E. histolytica dapat melisiskan jaringan melalui
serangkaian peristiwa yang rumit, adheren sel, aktivasi sel, dan pelepasan enzim,
menghasilkan nekrosis. Mekanisme utamanya adalah enzimatik seluler hidrolisis(2).
Di hepar E. hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hepar,
dan membentuk abses. Di hepar terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang
disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan
granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa. Abses biasanya soliter dan mengenai lobus kanan pada 80%
kasus karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran
limfatik8. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit. Abses
berisi sterile pus dan berwarna coklat kemerahan “achovy paste”, merupakan produk
lisis jaringan nekrosis dan perdarahan. Amoeba kadang-kadang di temukan di pinggiran
abses. (8)

2.4.2 Abses Hepar Piogenik


Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi
di Amerika, didapatkan 13% abses hepar dari 48% abses viseral. Abses hepar dapat
berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen

10
maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.
Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi
dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari
terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses
ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui
vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi
obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan
limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang
terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik.
Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim
hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis
hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga
terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya
bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi
AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus
kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,10)
Abses hepar pyogenik merupakan 75% dari semua abses hepar. Kebanyakan
(5)
abses hepar piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat
mengivasi hepar melalui:
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal dan dapat menyebabkan
pilefeblitis
2. Arteri hepatika dari bakteremia sistemik dan endokarditis
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan
infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-
saluran empedu termasuk batu empedu, keganasan, kolangitis atau stricture.
(6,20)

5. Trauma tusuk atau tumpul. Termasuk hepar biopsy, kemo-embolisasi,


injeksi etanol perkutan, proses endoskopik bilier/perkutan.(6,8)

11
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut
usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau keganasan
(karsinoma pankreas, kolangio-karsinoma, karsinoma kandung empedu,
karsinoma kolorektal).(20) Lihat Gambar 2.7

Gambar 2.7 Rute Infeksi (6)

12
Organisme yang paling umum ditemukan pada darah dan kultur dari abses adalah(21):
Tabel 2.1. Spektrum mikroorganisme penyebab abses hepar pyogenik

2.5. GAMBARAN KLINIS


2.5.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk

13
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)

Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai
komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi

Sekitar 80% pasien dengan abses hepar amoebic memberikan gejala yang
berlangsung dari beberapa hari hingga 4 minggu. Gejala dapat ditemukan biasanya
kurang dari 10 hari. Tanda-tanda dan gejala klinis dirangkum dalam Tabel 2.2

Tabel 2.2 Tanda dan Gejala Klinis Abses Hepar Amoebic(2)

Nyeri perut terletak pada kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat
menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula akibat iritasi diagframa dan

14
bertambah dengan batuk dan nafas dalam(20). Gejala demam yang terjadi bervariasi
38-40 oC(7). Beberapa sumber mengatakan terdapat juga nause, vomitus, keringat
malam, dan buang air besar berdarah. Pemeriksaan fisik didapatkan ikterus ringan,
ikterus berat jarang ditemukan. Palpasi didapatkan hepatomegali dan nyeri. Asimetri
gerakan dinding dada dan perkusi dada pekak bisa ditemukan.(7)

2.5.2 Abses Hepar Piogenik (1,2,8,15)


Gambaran klinis abses hepar piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang
lebih berat dari abses hepar amebik.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai
menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan
dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia

Pemeriksaan fisik:
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
Gambaran klinis paling umum adalah demam dan nyeri kuadran kanan atas
(40-70% pasien), tetapi gejala non spesifik dapat ditemukan pada Tabel 2.3

15
Tabel 2.3. Gejala Abses Hepar Pyogenik.

Pemeriksaan fisis:
a. Hepatomegali (50% kasus). Ketegangan pada kuadran lateral atas, dengan perkusi
lebih nyata. Apabila abses di lobus kiri, mungkin teraba masa di epigastrium (2,20).
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Demam hilang timbul atau menetap tergantung jenis abses dan kuman
penyebabnya(20).
d. Ikterus, ditemukan pada 25% kasus, dan biasanya sekunder dari penyakit bilier.(2)
e. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura.(20)
f. Asites, splenomegali dan sepsis berat merupakan gejala yang jarang. (2)
Gambaran klinis abses hepar piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih
berat dari abses hepar amebik (lihat Tabel 2.4)

Tabel 2.4 Gambaran Klinis Abses Hepar Piogenik (17)

16
2.6. DIAGNOSIS
2.6.1 Abses Hepar Amebik (2,9)
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
amoeba. Diagnosis abses hepar amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan
jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan.
Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak
diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu
oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hepar amebik juga dapat menggunakan
kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan
Pooler.

a. Kriteria Sherlock (1969)


1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif

17
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid

2.6.2 Abses Hepar Piogenik


Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadangkadang sulit
ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat
ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-
Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga
dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan
diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif
beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan
menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan
standar emas untuk diagnosis. (1)

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hepar amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan
faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,623,75 g%, total bilirubin 0,9-
2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-
63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan
sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati
didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif
menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada
awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain hemaglutination
(IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk
mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9)
Pada pasien abses hepar amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan anemia,
peningkatan LED, dan lekositosis berkisar 5.000-30.000, tetapi umumnya ringan –
sedang (10.000-12.000 tanpa eosinofilia(2,5)). Pemeriksaan faal hepar didapatkan

18
abnormalitas ringan, termasuk albumin, PT-INR, ALP, AST, dan bilirubin levels.
Abnormal tersering yaitu peningkatan PT-INR.

Tabel 2.5 Pemeriksaan Laboratorium pada AHA (2,20)

Pada pasien abses hepar piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan


pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati
seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase,
serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin
yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah
yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan
diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit
sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram
negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp,
Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp. (1,2)
Pada pasien abses hepar amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan anemia,
peningkatan LED, dan lekositosis berkisar 5.000-30.000, tetapi umumnya ringan –
sedang (10.000-12.000 tanpa eosinofilia (lihat tabel 2.1)(2,5). Pemeriksaan faal hepar
didapatkan abnormalitas ringan, termasuk albumin, PT-INR, ALP, AST, dan bilirubin
levels. Abnormal tersering yaitu peningkatan PT-INR.
Diagnosa definitif adalah mendeteksi trofozoit E. histolytica pada pus.(15) Karena
70% pasien dengan amoebic hepar abses tidak terdeteksi amoeba di feses mereka,

19
sehingga pemeriksaan paling berguna adalah mengukur antibodi antiamoebic di
sirkulasi (diagnosa definitif)(15), oleh enzyme immunoassays, hasilnya cepat dan tidak
mahal. Indirect Haemagglutinin Assays (IHA) pemeriksaan paling sensitif (90%).
Antibodi mungkin negatif pada awal infeksi dan harus di ulang 7 hari kedepan. IHA
bisa positif hingga 20 tahun dan menggambarkan infeksi sebelumnya (7). Enzyme
Immunoassay dilaporkan sensitivitasnya 99% dan spesifitasnya lebih dari 90% di pasien
dengan abses hepar dan biasanya menjadi negatif 6-12 bulan kemudian. Serologi negatif
tidak menyingkirkan diagnosis.(2,7) Sayangnya, adanya antibodies bisa merupakan efek
(2)
dari infeksi sebelumnya sehingga susah di interpretasikan pada daerah endemik.
Penelitian terbaru memfokuskan pada identifiasi antigen specifik E. Histolytica pada
infeksi akut. Alat deteksi antigen telah di evaluasi di area endemis. Alat tersebut dapat
mendeteksi antigen lectin dari E. histolytica dalam serum dan pus abses hepar dan
mempunyai sensivitas tinggi. Bagaimanapun, sensivitas menurun jika uji dilakukan
setelah terapi metronidazole.(2)

2.7.2 Pemeriksaan Radiologi


Pada pasien abses hepar amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian
kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps
paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak.
Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas
hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis
hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis
hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas
lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan
peninggian sonic distal. Gambaran CT scan: 85 % berupa massa soliter relatif besar,
monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas
cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding
abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik
pada fase porta. (2)

20
Gambar 2.7 Gambaran CT Scan pada abses hepar amebic(8)

Pada pasien abses hepar piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang


didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi
pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut
kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup.
Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan
gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning,
CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat
menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau
tindakan bedah. Gambaran CT scan: apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-
kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada
mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau
membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster
piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase
arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya
kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens
dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk
gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan
semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai
reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak
bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses
biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2)

21
Gambar 2.8 Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hepar piogenik pada
segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras
yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin
penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar dibedakan gambaran
USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang
multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-
bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama
makin bertambah tebal. (16)

Pada pasien abses hepar piogenik, foto thorax didapatkan kelainan yang tidak
spesifik (50% pasien) seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis
basal paru, empiema, atau abses paru. Foto polos abdomen maupun foto thorax dapat
menunjukkan air fluid level atau gas vena portal (gambar 2.9).

22
Gambar 2.9. Foto thorax menunjukkan air fluid level dan peninggian diagframa
kanan(8)

Pemeriksaan USG mempunyai sensivitas 80-95%. Gambaran USG secara


khas adalah hipoechoic, tetapi mungkin bervariasi dari hyperechoic hingga
hipoechoic (lihat Gambar 2.10).

23
Gambar 2.10. Gambaran USG. PLA sering menunjukkan pola hypoechoic
homogen (A) dengan dinding menebal, edematous (B, panah). Batas kabur, tidak
teratur (C) dan septa (D) juga dapat diamati. Gambaran tidak dapat membedakan
antara pyogenic (A, B, D) dan amebic (C) abscesses

CT scan mempunyai nilai diagnosis yang tinggi (95-100%). CT scan dapat


mendeteksi abses yang sangat kecil, multipel abses dan menetapkan lokasi abses
lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. CT scan dan usg
juga dapat membantu diagnosis penyakit lain intrabdominal. MRI dibandingkan
dengan CT scan tidak mempunyai kelebihan yang nyata untuk mendiagnosis abses
hepar.(2)

24
Gambar 2.11 CT Scan menunjukkan lesi densitas cairan tidak teratur yang besar di
dalam lobus kanan hati dengan rim enhancement. Ada multipel abses diperifer yang
lebih kecil dengan karakteristik serupa. Beberapa di antaranya muncul bersamaan. Ini
adalah penampilan khas untuk abses hepar piogenik(22)

2.8. PENATALAKSANAAN

2.8.1 Abses Hepar Amebik (2,12,14,17)


1. Medikamentosa
Abses hepar amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang
besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis
intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk

25
kasus abses hepar amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari.
Sedangkan untuk anak ialah 3550 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat
nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x
800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis
tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih
aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih
rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan
anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300
mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau
3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama
3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500
mg/hari selama 20 hari.
Kriteria terapi medikamentosa
1) Tidak ada komplikasi dari abses
2) Tidak ada gambaran rupture / impending rupture
3) Tidak ada efek kompresi
Nitroimidazoles termasuk metronidazole efektif hingga 90%. Terapi
medikamentosa diberikan minimal 10 hari. Relaps telah dilaporkan dengan durasi
pemberian 10 hari sehingga medikamentisa berikan hingga 3 minggu. Respon tubuh
terhadap obat anti-amoebic biasanya terbukti dalam 48 hingga 72 jam dengan tanda
perbaikan klinis7. Diikuti pemberian luminal agent. (2)

26
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas
tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau
bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan,
perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas
tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau
bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan,
perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.

Indikasi aspirasi :

a. Tidak ada perbaikan klinis dalam 48 hingga 72 jam


b. Abses lobus kiri
c. Abses luas dengan impending rupture/ tanda penekanan
d. Ketebalan pinggiran dari jaringan hepar sekitar abses (<10 mm)
e. Seronegative abses
f. Abses dengan diameter lebih dari 5 cm

Terapi antiamoebic saja sama efektifnya jika dikombinasikan juga dengan rutin
needle aspiration pada pasien dengan abses hepar tanpa komplikasi.(2,7)

27
Percutaneous drainase diindikasikan pada abses sulit di aspirasi dengan jarum atau
kegagalan aspirasi dengan panduan USG.(7)

3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau
diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses
dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri
hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru,
peritoneum, dan perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik
dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan
aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang
jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur
abses. Penderita dengan septikemia karena abses amoeba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya
dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amoeba intraperitoneal.
Indikasi:
a. Abses besar dengan hasil yang buruk pada aspirasi jarum atau drainase perkutan
b. Perburukan klinis meskipun telah di needle aspiration
c. Abses dengan adanya komplikasi (seperti ruptur abses di rongga peritoneum
dengan gambaran peritonitis)
d. Adanya komplikasi (ruptur pleura/rongga peri-kardial/visera berdekatan)(7).

2.8.2 Abses Hepar Piogenik (1,2,7,10)


1. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hepar
piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor
dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
2. Terapi definitif

28
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna.
Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti
pemberian oral selama 12 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri
gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga seperti
cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama
B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisinmetronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
3. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan
saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal
dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
4. Drainase perkutan
Drainase perkutan dilakukan di bawah panduan USG atau CT. Aspirasi PLA
untuk mengkonfirmasi diagnosis dan memperoleh pus untuk kultur harus disertai
oleh aspirasi lengkap pus atau penyisipan saluran pembuangan diwaktu yang sama.
Aspirasi jarum perkutan (PNA) memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dan
tinggal di rumah sakit yang lebih singkat, tetapi kemungkinan besar membutuhkan
aspirasi kedua atau ketiga untuk mencapai kesuksesan. sehingga ketika PNA gagal,
drainase kateter seharusnya dilakukan. Perawatan primer dengan drainase kateter
perkutan (PCD) dilakukan ketika:
a) Pus terlalu tebal untuk diaspirasi
b) Abses lebih besar dari 5 cm
c) Dindingnya tebal dan tidak bisa kolap
d) PLA multi-loculated, penggunaan PCD tidak dihalangi oleh adanya banyak
abses rongga, tetapi ini memang membutuhkan penempatan beberapa kateter.

29
Gambar 2.12. (A) CT scan menunjukkan multiabses di hepar kanan (B) CT Scan
dalam waktu bersamaan dengan drainage percutan (C) Follow-up CT scan 3 bulan
setelah terapi, menunjukkan resolusi lengkap dari abses.(2)

Meskipun memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, PNA/PCD gagal sekitar 10%
kasus. Drainase yang tidak lengkap atau tidak berhasil dapat terjadi dari:
a) Kateter terlalu kecil untuk mengeringkan pus tebal,
b) Posisi kateter tidak kondusif untuk drainase yang adekuat,
c) Kateter diangkat secara terlalu dini
d) Dinding tebal yang membelah PLA yang tidak dapat kolap/kempes(7)
e) Hipoalbumin
f) Abses terdiri dari cairan yang kental dan jaringan nekrotik yang sulit melewati
drain(6)
5. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi.

30
Dilakukan jika presentasi klinis awal terjadi intraperitoneal ruptur, peritonitis atau
pasien dengan posisi abses yang sulit untuk di drainase perkutan. Operasi terbuka juga
diindikasikan bila ada kegagalan pengobatan non-operatif dan untuk komplikasi
drainase perkutan, seperti perdarahan atau kebocoran pus intraperitoneal. Pembedahan
diperlukan untuk mengobati setiap penyakit penyebab yang mendasarinya jika
diperlukan. Multiple abses berhubungan dengan penyakit bilier dan mungkin
membutuhkan drainase bilier untuk source kontrol. Irigasi pasca operasi dan pengisapan
rongga melalui tabung drainase biasanya menguntungkan. Algoritma terapi lebih jelas
pada gambar. 2.13

Gambar 2.13 Strategi Penanganan Abses Hepar(6)

2.9. KOMPLIKASI
2.9.1 Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur
dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-
kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi
pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hepar ke dalam
rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen
sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk

31
produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural
mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses
pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya
abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm
arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)

2.9.2 Abses Hepar Piogenik


Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hepar disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati,
perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial,
ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering
terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan
terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)

2.10. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai
sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus
yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis
amoeba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan
keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian
biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga
dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah
abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan
infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis AHP sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan
ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian
antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor
utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya
komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus

32
atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan
sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura
atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hepar. Penyakit
penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan
sirosis hati. Mortalitas abses hepar piogenik yang diobati dengan antibiotika yang
sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk
apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses,
adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. (1,2)

2.11. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)


Differential Diagnosis Manifestasi Klinis
Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.

Laboratorium : peningkatan AFP, , alkali fosatase


USG : lesi lokal/ difus di hati

33
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy
sign (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di
saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas, N. T., Waleleng, B. J. Abses hepar piogenik. Dalam : Sudoyo, A. W.,


Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 462-463.
2. Douglas, S. R., David C. S. The Liver dalam Sabiston Textbook of Surgery: The
Biological Basis of Modern Surgical Practice. Canada: Saunders/Elsevier. 2017. Hal
1419-1435 dan Hal 1445-1452.
3. Lindseth, G. N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam: Price, S.
A. Wilson, L. M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.1 Edisi 6.
Jakarta: EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, A. C. H., John, E. Hati sebagai Suatu Organ. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, L. Sistem Pencernaan. Dalam : Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem
Edisi 8. 2013. Jakarta : EGC. Hal 645-652.
6. Marianna G. M., Marco, M., George, Y. W. The Evolving Nature of Hepatic
Abscess: A Review. 2016. Journal of Clinical and Translational Hepatology.
vol.4|158–168.
7. Anita, D., Kishangunj, Sanjay, B., Kolkata. 2012. Management of Liver Abscess.
Medicine update vol. 22
8. Krige, J., Beckingham, I.J. Liver Abscesses and Hydatid Disease. In : Beckingham,
I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain : GraphyCems,Navarra. 2001.
Chapter 29-32
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, T. A. Pyogenic Liver Abcesses. July 2nd, 2016. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/193182overview#showall.
11. Crawford, J. M. Hati Dan Saluran Empedu. Dalam: Kumar. Cotran. Robbins.
Robbins Buku Ajar Patologi. Edisi 9. Jakarta : EGC. 2013. Hal 684.
12. Fauci. et all. Infectious Disease. In : Harrison’s Principles Of Internal Medicine 17th
edition. USA. 2008. Chapter 202.

35
13. Brailita, D. Amebic Liver Abscesses. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/183920overview#showall.
14. Christoph, L., Johannes, W., Thomas, K. Therapy of Liver Abscesses.
Viszeralmedizin (Gastrointestinal Medicine and Surgery). 2014;30:334–341. DOI:
10.1159/000366579
15. Junita, A., Widita, H., Soemohardjo, S. Beberapa Kasus Abses hepar Amuba. 2006.
Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2.
16. Arshad, K., Vijay, K. T. Liver Abscess Drainage by Needle Aspiration Versus
Pigtail Catheter: A Prospective Study. Int Surg J. 2018 Jan;5(1):62-68.
http://dx.doi.org/10.18203/2349-2902.isj20175483.
17. Bhatti, A. B., Ali, F., Satti, S. A., Satti, T. M. 2014. Clinical and Pathological
Comparison of Pyogenic and Amoebic Liver Abscesses. Advances in Infectious
Diseases, 2014, 4, 117-123. http://dx.doi.org/10.4236/aid.2014.43018
18. Navneet, K., Kavish, M., Arun, G. Broncho-Hepatico Cutaneous Fistula in A Case
of Amoebic Liver Abscess. Tropical Doctor 2014,Vol. 44(2)110–111.
DOI:10.1177/0049475513518529
19. Ajit K. Y., Saumya, G., Sudarsan, H., Ashish, K., Samarjit, S. G., Arun, G. Amoebic
Liver Abscess with Hepatic Artery Pseudoaneurysm: Successful Treatment by
Interventional Radiology. J Clin Exp Hepatol 2015;5:86–88
http://dx.doi.org/10.1016/j.jceh.2014.12.00920.
20. Sjamsuhidayat - De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 2017. Hal 686-
690.
21. Soumik, Ghosh., Sourabh Sharma., Gadpayle, A., Gupta, HL., Mahajan, R., Sahoo,
R., dan Naveen, Kuma. Clinical, Laboratory, and Management Profile in Patients
of LiverAbscess from Northern India. Journal of Tropical Medicine : Hindawi
Publishing Corporation. Volume 2014, Article ID 142382.
http://dx.doi.org/10.1155/2014/142382
22. Federle MP, et al. Diagnostic Imaging: Abdomen Amirsys 2004 diakses pada
tanggal 27 April 2018. http://www.radpod.org/2007/04/03/hepatic-pyogenic-
abscess/
23. Centers for Disease Control and Prevention. (2017). Amebieasis. Retrieved from
https://www.cdc.gov/dpdx/amebiasis/index.html

36

You might also like