You are on page 1of 43

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT BEDAH


STRUMA MULTI NODOSA NON TOKSIK

Oleh :
Verantika Indra Susetiyo
142011101036

Pembimbing:
dr. Adi Nugroho, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
i
LAPORAN KASUS
ILMU PENYAKIT BEDAH
STRUMA MULTI NODOSA NON TOKSIK

Oleh :
Verantika Indra Susetiyo
142011101036

Pembimbing:
dr. Adi Nugroho, Sp.B

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Bedah di RSD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
ii
DAFTAR ISI

Cover .............................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................ iii
BAB 1 Pendahuluan ................................................................................. 1
BAB 2 Tinjauan Pustaka .......................................................................... 2
2.1 Anatomi Tiroid .......................................................................... 2
2.2 Fisiologi Tiroid .......................................................................... 5
2.3 Struma........................................................................................ 8
2.4 Struma Nodosa Non Toksik ..................................................... 12
BAB 3 Laporan Kasus .............................................................................. 31
Daftar Pustaka ............................................................................................... 39

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

Pada keadaan normal kelenjar tiroid berukuran kecil, hingga tidak


mempengaruhi bentuk leher. Apabila pada pemeriksaan kelenjar tiroid terdapat
pembesaran dari kelenjar tiroid disebut dengan struma dan apabila teraba suatu
nodul maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma adalah pembesaran
kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar tiroid itu
sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan perubahan fungsi
pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Pembesaran kelenjar
tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek fisiologisnya, klinis, dan
perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi struma toksik (diffusa,
nodosa), struma non toksik (diffusa, nodosa). (1,2)
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. Istilah
struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis
yang menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai
tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai
struma nodosa non toksik. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat
hidup dengan strumanya tanpa keluhan. (1)
Struma nodosa atau struma adenomatosa merupakan pembesaran kelenjar
tiroid terutama di temukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Struma
endemik ini dapat dicegah dengan substitusi iodium. Diluar daerah endemik,
struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya
umum nya multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda
dan dapat berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. (1,2,3)
Struma nodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut,
dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai
bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi dapat
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi hingga keganasan. (1,3)
1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tiroid


2.1.1 Embriologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan.
Kelenjar tiroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang
kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan akhirnya
melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tyroglossus
yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. (2,4,5,6)
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu
masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tiroid yang letaknya
abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tiroid servikal, tiroid lingual,
sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tiroid substernal. Branchial
pouch keempat ikut membentuk kelenjar tiroid, merupakan asal sel-sel
parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin secara
fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (2)

Gambar 2.1 Anatomi Tiroid(4)

2
2.1.2 Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak diantara fascia koli media dan fascia prevertebralis.
Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan
saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakhea dan melingkari dua pertiga sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada
permukaan belakang. (4)

Gambar 2.2 Anatomi Kelenjar Tiroid(4)

Tiroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus yang tipis
dibawah kartilago krikoidea. Dalam keadaan normal, berat kelenjar tiroid pada
orang dewasa sekitar 10 sampai 20 gram. Kapsul fibrosa menggantung kelenjar
tiroid pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti
dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini dapat digunakan untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid
atau tidak. (5)
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari A. Tiroidea Superior (cabang dari a.
Carotis Eksterna) dan a. Tiroidea Inferior (cabang dari truncus thyrocervicalis).
Sedangkan vena-venanya adalah V. Tiroidea superior dan media yang bermuara ke
dalam vena jugularis interna, sedangkan V. Tiroidea inferior bermuara ke V.
Brachiocephalica sinistra. Glandula tiroid memiliki hubungan topografi dekat

3
fengan Nn. Laryngei reccurent. Pada sulcus di antara trachea dan oesophagus, saraf-
saraf tersebut berjalan kranial menuju laring. (4)

2.1.3. Histologi Kelenjar Tiroid


Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500
µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap
ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel
ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang
mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid
sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM
650.000).(2,7)

Gambar 2.3 Histologi Tiroid(18)

4
2.2 Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tiroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan
selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai
monoiodotirosin (MIT) atau diiodotirosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari
MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam
kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur
ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat
tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin
(Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA).(1) Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari
sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat
proses monodeiodonasi menjadi T3. Kelenjar tiroid memerlukan iodin untuk
menghasilkan hormon tiroid. Berikut ini adalah fungsi hormon dari kelenjar
tiroid:(7)
a. Hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
1. Katabolisme protein, lemak, dan karbohidrat dalam semua sel.
2. Mengatur kecepatan metabolisme semua sel
3. Mengatur produksi panas tubuh
4. Antagonis terhadap insulin
5. Mempertahankan sekresi hormon pertumbuhan dan pematangan tulang
6. Mempertahankan mobilisasi kalsium
b. Hormon kalsitonin
1. Mengurangi kalsium dan fosfat serum
2. Mengurangi absorbsi kalsium dan fosfor oleh GI.(2)

5
Terdapat empat macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid yaitu sebagai
berikut: (2,7)
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi.
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R)
dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat.
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
T4 ini mempunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas.
T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid. (7)

Efek metabolisme Hormon Tyroid:(2,7)


1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein.
Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar
bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat.
Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan
glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis
farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid.
T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan
ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6
6. Vitamin A.
Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid.
Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

Gambar 2.4 Pembentukan Hormon Tiroid(7)

7
2.3 Struma
2.3.1 Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. (1)
2.3.2 Klasifikasi
2.3.2.1 Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:(1,2,5,6)
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan
kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau
struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada
leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar
untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi
berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara. Gambar
penderita hipotiroidisme dapat terlihat di bawah ini

8
Gambar 2.5 Hipotiroidisme
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid
yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi
dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi
hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala
hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat
berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat
gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar
penderita hipertiroidisme dapat terlihat di bawah ini.

Gambar 2.6 Hipertiroidisme 5


9
2.3.2.2 Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut: (1,2,5,6)
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan
bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain.
Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan
benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler
toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic
goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara
hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam
sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid
hiperaktif. Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan
peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon
tersebut sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan
antibodi tetapi bukan mencegah pembentuknya. Apabila gejala gejala
hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi
krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit
dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.

b. Struma Non Toksik


Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple
goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang
10
air minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat
sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat
karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien
mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI
adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20
% - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.

2.3.3 Patogenesis
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.(1,6,17)
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia
11
(goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit
Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma non
toksik (struma endemik).(1,6,11)

2.4 Struma Nodosa Non Toksik


2.4.1 Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah
struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis
yang menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai
tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai
struma nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus
diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.(1,13)

2.4.2 Epidemiologi
Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menemukan diantara 696 pasien
struma, sebanyak 415 (60%) menderita struma nodosa dan hanya 31 diantaranya
yang bersifat toksik. Penelitian Lukitho di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
didapatkan dari 325 kasus struma nodosa perbandingan pria dan wanita adalah 1:4,2
sedangkan penelitian di Jakarta oleh Hamzah dari tahun 1986-1995 perbandingan
penderita struma nodosa antara pria dan wanita adalah 1:5,6. Etiologi umumnya
multifaktorial, terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium.
(12)

Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12
%) dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun
259 orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang
diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia
yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %).(12)
12
2.4.3 Etiologi
Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium.
Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum
diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1,6,16)
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah
kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
3. Goitrogen :
▪ Obat: Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
▪ Agen lingkungan: Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
▪ Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid.
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

2.4.4 Gejala Klinis

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Hal penting pada diagnosis Struma nodusa non
toksik ini adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid, dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada
salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian
besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa
keluhan. (9,13,15)
13
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin
tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor
inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea
naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada
trakea. (1)

2.4.5 Diagnosis Struma


1. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala
hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di
leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif
atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan
perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper
dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien
dan asupan garamnya untuk mengetahui apakah ada kecenderungan ke arah
struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-
gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah
hipertiroidisme atau hipotiroidisme dan ada tidaknya benjolan di leher. (1,10)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling
pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau
tidak, timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat
menelan atau tidak. (1,8,10)
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut
benar adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa
pada saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka
14
benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak
maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan: (1,8,10)
a. Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
b. Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
c. Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
d. Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
e. Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
f. Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
g. Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
tiroid terbagi atas: (1, 6, 10, 16)
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik
radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma darah.
Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar
normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin
dan thyroid stimulating hormone antibodi.
3. Pemeriksaan radiologis
• Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun
sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya
menjadi pilihan.
• USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,
membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya
15
jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan
scanning tiroid.
• Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang
didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran,
bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid
(distribusi dalam kelenjar).
• FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Dilakukan
khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi
aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika
hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi
kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu
karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.

2.4.6 Tatalaksana
2.4.6.1 Pembedahan
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada Struma Nodusa non
toksik. Macam-macam teknik operasinya antara lain:(6)
1. Tiroidektomi : pengangkatan kelenjar tiroid.
2. Lobektomi : pengangkatan satu lobus kelenjar tiroid.
3. Ismolobektomi : pengangkatan satu lobus kelenjar tiroid beserta
isthmusnya.

Gambar 2.7 Ismolobektomi

16
4. Subtotal tiroidektomi: mengangkat sebagian besar tiroid kedua lobus (kiri-
kanan) dengan menyisakan jaringan tiroid masing-masing 2–4 gram.

Gambar 2.8 Subtotal tiroidektomi

5. Near total tiroidektomi: ismolobektomi dekstra dgn subtotal lobektomi


sinistra dan sebaliknya, sisa jaringan tiroid masing-masing 1–2 gram.

Gambar 2.9 Near Total Tiroidektomi

6. Total tiroidektomi: pengangkatan “seluruh” kelenjar tiroid.

Berikut ini adalah indikasi operasi pada struma: (1,6)


1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Riwayat radiasi pada daerah kepala dan leher.
4. Gejala-gejala penekanan

17
5. Perluasaan kedaerah substernal
6. Pembesaran yang progresif
7. Kosmetik

Teknik Operasi
1. Posisi penderita telentang, leher ekstensi dg ganjal bantal dibawah pundak
penderita, posisi meja sedikit “head up”, dg sudut 20 derajat (reverse
Trendelenburg).
2. Kepala diletakkan diatas donut baloon, yakinkan posisi dagu sejajar dg long
axis tubuh pada garis median.

3. Desinfeksi lapangan operasi dg batas lateral: tepi depan m.trapezius, batas


atas: bibir bawah, batas bawah: kosta 3.
4. Dibuat marker untuk insisi dg menggunakan silk 2-0 pada lipatan kulit leher
± 2 jari diatas sternal notch (atau 1 cm dibawah kartilago krikoid), memanjang
sampai ke tepi anterior sternokleidomastoid.

18
5. Insisi kulit, subkutis dan platysma, sekaligus menjadi satu flap, untuk
mencegah perdarahan, edema, dan perlengketan pasca operasi.

19
6. Klem lurus (5 bh) pada dermis untuk traksi. Pertama kali flap atas. Diseksi
dapat dikerjakan secara tumpul, atau secara tajam menggunakan kauter atau
skalpel.

7. Diseksi tumpul dengan jari atau kassa pada batas platysma dengan loose
areolar tissue dibawahnya, tepat superfisial dari vena jugularis anterior.
Diseksi dilakukan ke arah kaudal (sampai sternal notch) dan kranial (sampai
terlihat cartilago tiroidea) dan dibuat flap yang difiksasi ke kain drapping.

20
8. Insisi fascia coli superficialis secara vertikal pada garis tengah strap muscle
hingga batas bawah sampai level sternal notch, batas atasnya sampai cartilago
tiroid.
9. Diseksi tumpul pertengahan strap muscles sampai fascia colli profunda.

21
10. Strap muscle (m.sternohyoid dan m.sternotiroid) diretraksi ke kiri dan ke
kanan.
11. Dilakukan pemisahan kelenjar tiroid pada cleavage plane (antara kel.tiroid
dengan m.sternokleidomastoideus).

22
12. Pada tumor yang besar dapat dilakukan pemotongan strap muscle secara
horizontal di 1/3 proksimalnya (seproksimal mungkin) setelah sebelumnya
v.jugularis anterior diligasi.

13. Dilakukan diseksi tumpul dan tajam mulai dari tiroid di bagian tengah dengan
mengidentifikasi v.tiroid media.
23
14. Vena tiroid media diligasi dan dipotong.
15. Profunda dari vena ini, kelj. Paratiroid & RLN dapat diidentifikasi.

16. Diseksi dilanjutkan ke pool bawah dg mengidentifikasi arteri dan vena


tiroidea inferior, juga harus diidentifikasi dan preservasi n.rekuren laringeus
yang terletak di daerah sulkus trakeo-esofageal, umumnya berjalan di antara
bifurcatio arteri tiroidalis inferior.
17. Ligasi a. tiroidea inferior distal dari suplai ke paratiroid.
24
18. Vena tiroidea inferior pada pool bawah tiroid diligasi dg silk 2/0 pada 2
tempat dan dipotong diantaranya.
19. Untuk melakukan subtotal lobektomi maka dengan menggunakan klem lurus
dibuat ‘markering’ pada jar tiroid diatas n.rekuren dan kel.paratiroid atas
bawah dan jaringan tiroid disisakan sebesar satu ruas jari kelingking penderita
(± 6-8 gram).

20. Identifikasi arteri dan vena tiroidea superior pada pool atas tiroid, kemudian
dibuat 2 (3) ligasi pada pembuluh darah tadi dan dipotong diantaranya, yang
diligasi betul-betul hanya pembuluh darah saja.

25
21. Untuk hindari cedera n. laringeus superior : hindari kauter & diseksi dari
medial ke lateral.
22. Kelenjar paratiroid dilepaskan dari kel.tiroid, sambil dipreservasi arteri yang
memperdarahinya.
23. Diseksi dilanjutkan kearah isthmus (pada cleavage plane), ligamentum Berry
dan isthmus diklem dan dipotong.
24. Perhatian : a & v kecil (laryngeal inferior) yang biasanya menembus posterior
lig. Berry sisi cranial / pada lokasi RLN memasuki m. krikotiroid → pressure
/ Gelfoam.

25. Dilakukan penjahitan “omsteking” (jahit ikat) CCG 3-0 (continuous


interlocking) pada jaringan tiroid yang diklem tadi.
26. Kontrol perdarahan, terutama dilihat pada vasa tiroidea superior.
27. Setelah klj. Tiroid terangkat → inspeksi apakah kelj. Paratiroid ikut terangkat.
28. Cuci dg NaCl fisiologis (Shah : irigasi luka dengan Bacitracin sol.)
29. Posisi leher dikembalikan dg mengambil bantal dibawah pundak penderita.
30. Evaluasi ulang, rawat perdarahan.
31. Pasang drain Penrose (Shah) melalui celah pada luka atau Redon no.12 yang
ditembuskan ke kulit searah dg tepi sayatan luka operasi, kemudian difiksasi
dg silk 3/0.

26
32. Kalau kelenjar paratiroid terambil, sebelum menutup luka operasi kelenjar
paratiroid ditanam (replantasi) pada m. SCM, strap muscles atau otot lengan
bawah. Dipotong-potong setebal 1 mm dan ditanamkan dalam kantong-
kantong secara terpisah.
33. Strap muscle diaproksimasikan dengan jahitan interrupted CCG 3-0.
34. Platysma didekatkan dan dijahit interrupted dg chromic 3/0.
35. Kulit dijahit secara subkutikular dgn benang sintetis 4/0.
36. Luka operasi ditutup dg kassa steril.

37. Pada waktu ekstubasi, perhatikan keadaan pita suara dg melihat laring
menggunakan laringoskop, adakah parese / asimetri pada korda vokalisnya.

2.4.6.2 Yodium Radioaktif


Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau
dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50
%. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga
memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak
meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif
diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit,

27
obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian
obat tiroksin.(1,5,6)

2.4.6.3 Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid


Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu
untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga
diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi
pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini
adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol. (1,5,6)

2.4.7 Diagnosis Banding


• Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin
saat masa pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan menopause,
infeksi.
• Tiroiditis akut
• Tiroiditis subakut
• Tiroiditis kronis, limpositik (hashimoto), fibrous-invasif (riedel)
• Struma endemik

2.4.8 Komplikasi
Komplikasi tiroidektomi: (1,5,6)
1. Komplikasi Awal :
a. Perdarahan
b. Paralise n.rekuren laringeus
c. Paralise n.laringeus superior
d. Trakeomalasia
e. Infeksi
f. Tetani hipokalsemia
g. Krisis tiroid (tiroid storm)
h. Trakeomalasia
28
2. Komplikasi Lanjut :
a. Keloid
b. Hipotiroid
c. Hipertiroid yang kambuh

Penanganan Komplikasi :
1. Hipoparatiroidisme
a. Terjadi sekitar 0,6-2,8%
b. Klinis: baal-baal, baal ujung jari, gelisah, spasme carpopedal (tetani)
c. Terapi :
10 cc Calcium Gluconas IV dilanjutkan pemberian kalsium oral 1,5-
2 g per hari atau Calcitriol (Rocatrol) 0,25 – 10 microgram, 2 kali
sehari.
2. Tiroid Storm
Dapat dicetuskan bila terdapat trauma atau stress surgical.Mortalitas
±75% jika tidak ditangani dengan baik.
Gejala :
• Febris
• Delirium
• Kejang
• Diare
• Muntah
• Takikardia
• Congestive heart failure
• Berkeringat

Terapi :
• Hentikan operasi / manipulasi tiroid
• Oksigen
• Bolus D 40% (large dose)

29
• Beta bloker (propranolol) 40 – 60mg p.o. tiap 4 jam atau 2 mg iv
selama 4 jam
• PTU 1200 – 1500 mg/ hari (200-250 mg/ 4 jam peroral)
• Methimazole 120 mg/ hari (20 mg/ 4 jam peroral) atau carbimazole
14-40 mg peroral
• Lugolisasi (KI 5 gtt/ 6 jam)
• Dexamethason 2 mg / 6 jam iv
• Antipiretik
• Koreksi elektrolit
• Cegah hipotermi

Evaluasi Pasca Operasi:


• Drain diobservasi produksinya, bila dalam 1 jam pertama produksinya >
100 cc atau apabila sampai timbul gangguan nafas maka perlu disiapkan
re-open untuk eksplorasi dan hemostasis
• Bila produksi < 10 cc / 24 jam, serous, drain bisa dilepas
• Rawat luka pada hari ke-3 (atau pada saat lepas drain), evaluasi infeksi
nosokomial.
• Penderita boleh pulang sehari setelah lepas drain.
• Angkat jahitan hari ke-7, evaluasi infeksi nosokomial.
• Pemberian Tyrax ( Tiroksin ) dilakukan pada pasien yang dilakukan total
tiroidektomi selama hidupnya, dengan tujuan sebagai terapi substitusi dan
supresi TSH endoen. Diberikan tiap pagi sebelum aktifitas, dengan dosis
1,6 – 2,2 micro gram/kg BB/hari. atau 100 micro gram/hari dalam bentuk
tablet.

30
BAB 3. LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Sutami
Usia : 53 tahun
Tanggal Lahir : 01 Juli 1964
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sidomekar, Semboro
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status : Menikah
No. Rekam Medis : 195030
Tgl. Masuk RS : 20 Mei 2018
Tgl. Keluar RS : 23 Mei 2018
Tgl. Pemeriksaan : 21 Mei 2018

3.2 Anamnesis
• Keluhan Utama: Benjolan di leher kanan
• Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh adanya benjolan yang muncul di leher depan sejak 1
tahun yang lalu. Awalnya benjolan dirasakan sebesar biji jagung, tapi sejak
Januari yang lalu, benjolan semakin membesar. Pasien tidak merasakan
adanya nyeri di daerah leher. Pasien mengatakan terdapat nyeri saat
menelan. Pasien tidak mengeluhkan sering berkeringat pada kedua
tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada penurunan berat badan.
Tidak ada keluhan demam, cepat haus, gangguan buang air besar, gangguan
siklus menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit
tidur. Pasien mengaku kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung
garam beryodium dirumahnya.

31
• Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien menyatakan belum pernah mengalami gejala yang sama sebelumnya.
Hipertensi : (+)
Asma : Disangkal
Diabetes mellitus : Disangkal
Alergi : Disangkal
• Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien menyangkal bahwa anggota
keluarganya mempunyai keluhan serupa.
• Riwayat Pengobatan: Pasien menyangkal pernah menjalani pengobatan.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Composmentis
Tanda-Tanda Vital :
TD = 140/90 mmHg
HR= 76 x/m
RR= 20 x/m
Tax= 36,3 0C
Status Generalis :
Kepala:
Mata = Sklera → tidak didapatkan ikterus
Konjunctiva → tidak didapatkan anemis
Telinga= tidak didapatkan sekret dan darah
Hidung= tidak didapatkan sekret dan darah, tidak didapatkan
pernafasan cuping hidung
Mulut = tidak didapatkan perdarahan, tidak sianosis
Thorax:
Cor = Iktus cordis tidak tampak dan teraba di ICS V MCL sinistra,
batas jantung normal, S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo = Gerak dada simetris, fremitus raba n/n, sonor +/+, suara nafas
vesikuler, rhonki -/- , wheezing -/-

32
Abdomen:
I = flat
A = bising usus (+) normal
P = soepel, nyeri tekan (-), massa (-)
P = timpani
Extremitas = Akral hangat, kering, merah di keempat ekstremitas
tidak didapatkan edema di keempat ekstremitas

Status Lokalis
Regio : Colli anterior
Inspeksi : Tampak benjolan di leher, berukuran + 6x5 cm. Warna kulit pada
benjolan sama dengan warna kulit sekitar. Benjolan ikut bergerak ke
atas pada saat menelan.
Palpasi : Benjolan permukaan rata, teraba padat kenyal, permukaan halus. Massa
berukuran 6x5 cm, batas tegas, nyeri tekan (-). Trakea berada di tengah.
Pembesaran KGB (-).

3.4 Pemeriksaan Penunjang


FNAB (27-12-2017)
Hasil FNAB : Struma Adenomatosa

Laboratorium (26-05-2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 12,3 12,0 – 16,0
Leukosit 7,7 4,5 – 11
Hematokrit 35,4 41-53
Trombosit 270 150-450
SGOT 12 10-31
SGPT 10 9-36
Albumin 4,3 3,4-4,8
Natrium 140,1 135-155
33
Kalium 3,57 3,5-5,0
Chlorida 108,6 90-110
Kreatinin Serum 1,0 0.5-1.1
BUN 11 6-20
Urea 24 12-43
Asam Urat 5,5 2,0-5,7

3.5 Diagnosa
Struma multinodosa non toxica + HT grade I

3.7 Planning
Pro subtotal tiroidektomi
Infus asering 1000cc/24jam
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram
Peroral valsartan 80 mg 1-0-0
Peroral concor 2,5 mg 0-0-1

3.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

34
LAPORAN OPERASI

Nama lengkap pasien : Ny. Sutami


Tanggal lahir : 01 Juli 1964
No. RM : 195030
Tanggal operasi : 21 Mei 2018
Diagnosa pre op : Struma multinodusa nontoksik
Diagnosa post op : Struma multinodosa nontoksik dextra
Tindakan operasi : Subtotal tiroidektomi
Jenis operasi : Operasi bersih dengan GA
Uraian :
- Pasien posisi supine
- Dilakukan :
1. Desinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodine 10% →
dipersempit dengan doek steril
2. Dilakukan insisi collar, diperdalam hingga platysma
3. Ditemukan massa dengan ukuran 10x6x4 cm, nodul kistik pada lobus
thyroid dextra padat kenyal dan massa ukuran 8x4x2 cm lobus thyroid
dextra padat kenyal batas tegas
4. Dilakukan diseksi secara tajam untuk membebaskan tumor dari
jaringan di sekitarnya dan preservasi n. laringeus recurren
5. Pasang drain
6. Sampel jaringan diperiksakan PA
7. Jahit lapangan operasi dan tutup lapis demi lapis

Instruksi post-operasi:
- Infus asering 1000cc/24jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram
- Inj. ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. omeprazole 2 x 40 mg
- Inj. Asam tranexamat 3 x 500 mg
35
- Evaluasi produksi drain

FOLLOW UP
22 Mei 2018
S/ Nyeri di luka operasi, suara normal, suara serak (-), nyeri telan (-), sesak (-),
kejang (-)
O/ Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Composmentis
VAS : Skala 3
Tanda-Tanda Vital :
TD = 130/90 mmHg
HR= 78x/m
RR= 20x/m
Tax= 36,3 0C
Status Generalis :
Mata = Sklera → tidak didapatkan ikterus
Konjunctiva → tidak didapatkan anemis
Telinga= tidak didapatkan sekret dan darah
Hidung= tidak didapatkan sekret dan darah, tidak didapatkan
pernafasan cuping hidung
Mulut = tidak didapatkan perdarahan, tidak sianosis
Thorax :
Cor = Iktus cordis tidak tampak dan teraba di ICS V MCL
sinistra, batas jantung normal, S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo = Gerak dada simetris, fremitus raba n/n, sonor +/+, suara
nafas vesikuler, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen:
I = fatty
A = bising usus (+) normal
P = soepel, nyeri tekan (-), massa (-)
P = timpani
36
Extremitas = Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas
Status Lokalis Regio Colli Anterior:
I = Dressing (+), rembesan (-), darah (-), bengkak (-)
P = Teraba hangat, nyeri (+), chvostek sign (-)
Produksi drain : 30 cc
A/ Struma multinodosa non toxica post subtotal tiroidektomi H-1 + HT grade I
P/ Infus asering 1000cc/24jam
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram
Inj. ketorolac 3 x 30 mg
Inj. omeprazole 2 x 40 mg
Inj. Asam tranexamat 3 x 500 mg
Peroral valsartan 80 mg 1-0-0
Peroral concor 2,5 mg 0-0-1
Mobilisasi duduk
Diet bebas 1800 kcal/hari
Aff drain besok

23 Mei 2018
S/ Tidak ada keluhan, suara normal, suara serak (-), nyeri telan (-), sesak (-), kejang
(-)
O/ Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Composmentis
VAS : Skala 1
Tanda-Tanda Vital :
TD = 120/90 mmHg
HR= 76x/m
RR= 16x/m
Tax= 36,8 0C
Status Generalis :
Mata = Sklera → tidak didapatkan ikterus
37
Konjunctiva → tidak didapatkan anemis
Telinga= tidak didapatkan sekret dan darah
Hidung= tidak didapatkan sekret dan darah, tidak didapatkan
pernafasan cuping hidung
Mulut = tidak didapatkan perdarahan, tidak sianosis
Thorax :
Cor = Iktus cordis tidak tampak dan teraba di ICS V MCL
sinistra, batas jantung normal, S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo = Gerak dada simetris, fremitus raba n/n, sonor +/+, suara
nafas vesikuler, rhonki -/- , wheezing -/-
Abdomen:
I = fatty
A = bising usus (+) normal
P = soepel, nyeri tekan (-), massa (-)
P = timpani
Extremitas = Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas
Status Lokalis Regio Colli Anterior:
I = Dressing (+), rembesan (-), darah (-), bengkak (-)
P = Teraba hangat, nyeri (+), chvostek sign (-)
A/ Struma multinodosa non toxica post subtotal tiroidektomi H-2 + HT grade I
P/ Tidak terpasang infus
KRS
Terapi pulang:
Cefixime 2 x100 mg
Asam mefenamat 3 x 500mg
Valsartan 80 mg 1-0-0
Concor 2,5 mg 0-0-1

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat - De Jong. (2017). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.


2. Djokomoeljanto. (2001). Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,
Dalam : Suyono, Slamet (Editor). (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
FKUI: Jakarta.
3. Lee, Stephanie L. (2004). Goiter, Non Toxic., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
4. Paulsen, F., dan Waschke, J. (2012). Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2.
Jakarta : EGC
5. Price, S.A., dan Wilson, M. L. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC
6. Douglas S. Reintgen, David C. Sabiston. (2017). Sabiston textbook of
surgery. Canada: Saunders/Elsevier.
7. Sherwood, L. (2013). Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel
ke sistem edisi 8. Jakarta : EGC.
8. Bahn, R. S., & Castro, M. R. (2011). Approach to the patient with nontoxic
multinodular goiter. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, 96(5),
1202–1212. https://doi.org/10.1210/jc.2010-2583
9. Banks, C. A., Ayers, C. M., Hornig, J. D., Lentsch, E. J., Day, T. A., Nguyen,
S. A., & Gillespie, M. B. (2012). Thyroid disease and compressive symptoms.
Laryngoscope, 122(1), 13–16. https://doi.org/10.1002/lary.22366
10. Castro, M. R. (2008). Multinodular Goiter — Diagnostic and Treatment
Considerations, 107–110. https://doi.org/10.17925/USE.2008.04.2.107
11. Goiter, C. M., Medeiros-neto, G., Endocrinology, S., Nicolau, R. S., & Brazil,
S. P. (2016). Reprinted From Www . Thyroidmanager . Org.
12. Kementerian Kesehatan RI. (2015). Infodatin Tiroid. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Replubik Indonesia.
13. Is, W., Thyroid, T. H. E., Are, W., Symptoms, T. H. E., Goiter, O. F. A., &
Goiter, W. C. A. (2016). www.thyroid.org.
14. Juli, M., Tallane, S. T., Monoarfa, A., Skripsi, K., Kedokteran, F., Sam, U., …
39
Manado, R. D. K. (2016). Profil struma non toksik pada pasien di RSUP Prof .
Dr . R . D . Kandou gangguan sekresi hormon atau goiter yang merupakan
penyakit menjadi eutiroid , hipotiroid , dan hipertiroid toksik dan non-toksik .
Kedua tipe struma perubahan bentuk anatomi tiroid m, 4, 4–8.
15. Mohanty, B. B., Agrawal, D., Rath, K., Kumar, S., & Roy, D. K. (2012).
Goitre: A complete review. International Journal of Pharma and Bio Sciences,
3(3).
16. Somasundaram, N., Rajaratnam, H., Wijeyarathne, C., De Silva, S.,
Ratnathunga, C., Fernando, R., … Karunasena, N. (2012). Thyroid Diseases.
Sri Lanka Journal of Diabetes Endocrinology and Metabolism, 2(2), 1.
https://doi.org/10.4038/sjdem.v2i2.4786
17. Wheeler, M. H., & Lazarus, J. H. (1994). DISEASES OF Pathophysiology and
management.
18. Netter, F. H. (2014). Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadelphia, PA:
Saunders/Elsevier.

40

You might also like