You are on page 1of 51

JOURNAL READING

Impact of HPV Vaccination On Outcome of Cervical Cytology


Screening in Denmark - A Register - Based Cohort Study

Pembimbing :
dr. Aditiyono, Sp.OG, (K) Onk

Disusun oleh :

Desi Tri Utami G4A017030


Rafa Naufalin G4A017032

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Journal Reading dengan judul:

Impact of HPV Vaccination On Outcome of Cervical Cytology


Screening in Denmark - A Register - Based Cohort Study

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:

Desi Tri Utami G4A017030


Rafa Naufalin G4A017032

Purwokerto, Januari 2019

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Aditiyono, Sp.OG, (K) Onk


I. ISI JURNAL

Dampak Vaksinasi HPV Terhadap Outcome Skrining Sitologi Serviks Di


Denmark - Daftar/Register -Berdasarkan Studi Kohort

Lise Holst Thamsborg1, George Napolitano1, Lise Grupe Larsen2 and Elsebeth Lynge3
1
Department of Public Health, University of Copenhagen, Copenhagen 1014, Denmark
2
Department of Pathology, Zealand University Hospital, Roskilde 4000, Denmark
3
Nykøbing Falster Hospital, University of Copenhagen, Ejegodvej 63 DK-4800, Denmark

ABSTRAK

Pendahuluan: Vaksinasi 4vHPV telah diuji pada percobaan terkontrol


terandomisasi pada kondisi/keadaan yang hampir ideal, dan studi dari penggunaan
real/nyata telah membandingkan outcome antara wanita yang divaksinasi dan
yang tidak dari kohort lahir yang sama serta sebagian besar saat sebelum usia
skrining.
Bahan dan metode: Disini kami menunjukkan data pertama berdasarkan
pengetahuan kami, yakni evaluasi terhadap dampak vaksinasi 4vHPV di
kehidupan nyata tanpa adanya bias seleksi pada data yang dilaporkan. Studi ini
dilakukan dengan cara membandingkan hasil setelah skrining serviks pertama kali
antara kohort lahir yang sudah divaksinasi dan yang belum divaksinasi, terdiri
dari wanita yang lahir di Denmark, pada tahun 1993 dan 1983. Data sitologi
terdiri dari periode 8 tahunan, mulai dari usia 15 tahun (usia divaksinasi HPV)
hingga usia 23 tahun (usia untuk dilakukan skrining serviks pertama kalinya),
yang diambil berdasarkan Danish National Patology Register.
Hasil: Sitologi yang abnormal, didefinisikan sebagai sel skuamosa atipikal yang
secara singifikan tidak dapat ditentukan dan buruk (ASCUS +) dideteksi dan
tampak pada 9.4 % wanita yang lahir tahun 1993 dibandingkan dengan 9% pada
wanita yang lahir ditahun 1983. RR51.04 (95% CI 0.96–1.12), p=0.29. deteksi
lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi (HSIL) dengan signifikansi lebih rendah
secara statistik pada kohort penelitian 1993 dibandingkan dengan 1983. RR=0.6
(95% CI 0.5–0.7), p < .0001, dimana pola berlawanan tampak untuk ASCUS
RR=1.4 (95% CI 1.2–1.6), p < .0001.
Kesimpulan: penurunan jumlah HSIL menandakan bahwa lebih banyak wanita
dapat dihindarkan dari rujukan untuk tindakan kolposkopi dan biopsi.
Peningkatan temuan ASCUS dapat dijelaskan oleh karena adanya transisi dari
sitologi konvensional ke sitologi berdasarkan cairan, namun observasi ini masih
membutuhkan monitoring lebih lanjut untuk membuktikannya.
Kata kunci: HPV vaccination, human papillomavirus, cervical screening,
cervical cytology
A. PENDAHULUAN
Vaksin human papilomavirus pertama (HPV) dijual bebas ditahun
2006, dan digunakan secara luas pada negara berpendapatan tinggi. Marketing
dari vaksin HPV setelah percobaan terkontrol randomisasi menunjukkan
adanya proteksi yang kuat terhadap neoplasia serviks intraepitelial derajat
tinggi (CIN2+) pada wanita yang divaksinasi sebagai HPV-naive. Berbagai
percobaan telah mengevaluasi efikasi dari vaksin HPV pada kondisi yang
hampir sempurna. Sekarang ini, kohort kelahiran pertama kali dari wanita
yang divaksin HPV, dan kemudian dilakukan vaksinasi ketika sebagian besar
dari perempuan ini adalah HPV naive, melalui pendekatan skrining umur. Hal
ini memberikan kita kesempatan untuk mengevaluasi manfaat dari vaksin
HPV pada pelayanan kesehatan rutin yang berdiri untuk populasi pada
umumnya.
Di Denmark sendiri, vaksinasi HPV bebas diperkenalkan di bulan
oktober 2008 untuk perempuan yang lahir tahun 1993 hingga 1995. Semenjak
tahun 2009, vaksinasi HPV pada anak perempuan yang menginjak usia 12
tahun telah menjadi bagian dari program vaksin. quadrivalent HPV-vaccine
(4vHPV) Gardasil (Merck) digunakan untuk program vaksinasi Denmark
sejak tahun 2008 hingga tahun 2015. Program ini sangat marak semenjak
tahun pertama ia didirikan, diberikan khususnya pada wanita yang lahir tahun
1993 sampai tahun 1995 dimana sekitar 80% mendapatkan dosis pertama, dan
70% divaksinasi secara penuh. wanita di Denmark diundang/diajak untuk
dilakukan skrining serviks bila umurnya berada tepat 23 tahun. Kohort lahir
pertama pada wanita di Denmark yang ditawarkan untuk menjalani vaksin
HPV free kemudian diikutsertakan untuk dilakukan program skrining serviks
di tahun 2016.
Indikasi pertama dari menurunnya resiko kanker serviks pada wanita
yang divaksinasi HPV adalah berkurangnya deteksi atau penemuan hasil
sitologi yang abnormal. Kami laporkan disini outcome pada pasien sejak
skrining pertama pada wanita yang lahir di tahun 1993. Objektifitas
ditentukan berdasarkan dampak dari diperkenalkannya vaksinasi HPV pada
abnormalitas sitologi. Hipotesis prediefined adalah wanita yang diberikan
vaksinasi HPV yang memiliki proteksi yang lebih baik terhadap perubahan
selular sehingga dapat menurunkan resiko ditemukannya sitologi abnormal
dibandingkan dengan wanita dari kohort lahir yang tidak divaksinasi.

B. MATERIAL DAN METODE


1. Populasi Penelitian
Kami melakukan penelitian berdasarkan populasi di Denmark
menggunakan data register dari kementrian kesehatan setempat. Di
Denmark sendiri, persetujuan sudah didapatkan dari the Danish Data
Inspective Agency (SUND-2016–22) sebagai persetujuan etik dari studi
berdasarkan pendaftaran tanpa adanya kontak dengan pasien.
Sejak tahun 1986, semua wanita di Denmark yang telah menginjak
usia 23 tahun disarankan untuk menjalani skrining serviks. Sampel
skrining ini kemudian diambil oleh dokter umum, dan analisis untuk
abnormalitas sitologi di teliti di laboratorium patologi terpusat. Hingga
tahun 2002, semua laboratorium masih menggunakan pembacaan sitologi
yang manual. Transisi/perubahan pemeriksaan sitologi menjadi
berdasarkan cairan (LBC) dan pencitraan untuk kemudian bermakna
secara klinis dimulai di tahun 2002, menyebar sedikit demi sedikit, dan
berbagai teknologi ini telah digunakan secara luas di tahun 2015 pada
semua laboratorium.
Sejak tahun 1997, laporan terhadap national Pathology register
(NPR) telah menjadi sebuah kewajiban untuk diberikan kepada
laboratorium rumah sakit, namun hal ini kemudian hanya menjadi sebuah
kewajiban untuk patologi privat saja di tahun 2005.
Sejak tahun 2000, sampel sitologi dari semua wilayah denmark,
kecuali negara copenhagen, telah dilaporkan dilaboratorium rumah sakit,
sedangkan negara copenhagen secara dominan menggunakan patologi
privat. Untuk memastikan kelengkapan dari hasil sitologi, kami
mengeklusikan negara copenhagen dari penelitian ini.
Kami meneliti dua kohort tertutup, pertama, wanita yang lahir di
tahun 1993, dan tinggal di denmark sepanjang tahun antara 1 januari 2009
dan 1 april 2017 yang turut dimasukkan ke dalam penelitian. Kohort ini
ditawarkan tindakan vaksinasi HPV bebas pada usia 15 tahun sejak
oktober 2008, dan pertama kali diundang untuk dilakukan skrining di
tahun 2016. Kedua, wanita yang lahir tahun 1983, dan tinggal di Denmark
sepanjang tahun sejak 1 januari 1999 hingga 1 april 2007 yang juga turut
dimasukkan ke dalam penelitian. Kohort ini tidak pernah ditawarkan
pemberian vaksinasi HPV bebas, dan juga turut diundang untuk dilakukan
skrining di tahun 2006. Wanita dari kedua kohort yang lahir tinggal dan
atau pindah ke negara copenhagen akan diekslusikan dari penelitian. Batas
Akhir penelitian adalah pada tanggal 1 april 2017 berdasarkan
ketersediaan data skrining untuk kohort yang lahir tahun 1993. Pada 1
april 2018, wanita yang lahir di desember 1993 dan diundang untuk
dilakukan skrining di desember 2016 akan memiliki setidaknya waktu
selama 3 bulan untuk diskrining setelah mereka diundang untuk tindakan
tersebut. Pseudo-date (tanggal palsu) yakni 1 april 2017 digunakan untuk
kohort 1983, untuk memastikan persamaan waktu follow up terhadap
kedua kelompok kohort. Pada penelitian ini, paparan didefinisikan sebagai
penawaran terhadap dilakukannya vaksinasi HPV bebas kepada peserta
penelitian.

Apa yang baru ?


Pada wanita tanpa paparan terhadap infeksi human papilomavirus sebelumnya, vaksin
quadrivalent HPV (4vHPV) berkaitan dengan reduksi pada lesi skuamosa
intraepitelial derajat tinggi (HSIL) dan sel skuamosa atipikal yang tidak dapat
ditentukan secara signifikan (ASCUS). Pada penelitian ini, kohort yang sudah
divaksinasi HPV dan kohort yang lahir tanpa vaksinasi pada wanita di Denmark,
2. Sumber Data dan Outcome Penelitian
dimana penulis mengevaluasi dampak dari vaksinasi HPV pada berbagai
abnormalitas sitologi ini. Temuan
Di Denmark, nomorini identifikasi
menunjukkanpribadi
bahwa yang
wanitaunik
yangditetapkan
mendapatkandan
vaksin quadrivalent HPV (4vHPV) adalah perempuan tanpa alami perubahan
diberikan
signifikan saat lahirsaat
pada ASCUS+ atausitologi
imigrasi kepadamereka.
pertama semuaInsidensi
orang, membuat studi ini
HSIL, meskipun
begitu,memungkinkan
secara signifikanuntuk
lebihterhubung
rendah pada wanita data
terhadap yang dari
divaksin dari register
berbagai pada wanita
yang
yang tidak divaksin.
berbeda dan untuk memastikan follow-up penelitiannya lengkap. Data
mengenai status vital, emigrasi dan alamat diambil dari register populasi
sentral. Data mengenai sitologi serviks diambil dari NRP, dimana sampel
didaftarkan pada tanggal dimana data tersebut diambil di laboratorium
(informasi pendukung A). Untuk memastikan bahwa sampel sampel yang
sesuai inklusi penelitian dianalisis oleh ahli patologi privat/swasta, kami
memasukkan data dari NHSR (national health services register)
(informasi pendukung B). karena daftar ini berdasarkan pada pelayanan
reimbursement (pengembalian), daftar ini tidak termasuk informasi
mengenai diagnosis, dan tanggal reimbursmentnya juga turut dimasukkan,
bukan tanggal pelayanannya. Data terhadap status vaksinasi HPV diambil
dari NHSR, yang terdiri dari kode khusus untuk reimbursement vaksinasi
HPV pada program vaksinasi anak. Data terhadap vaksinasi HPV diluar
dari program ini diambil dari daftar peresepan, yang terdiri dari infomasi
yang berisi semua obat yang diresepkan serta dibeli di Denmark
(informasi pendukung C).
Outcome primer penelitian kami adalah hasil diagnosis saat
sitologi pertama. Outcome sekunder penelitian kami termasuk proporsi/
jumlah wanita yang menjalani sitologi pertama (sitologi apapun), dan usia
saat menjalani sitologi pertama. Di Denmark, SNOMED digunakan untuk
mengkoding spesimen patologi. penting untuk mendaftarkan baik T-Code
untuk topografi dan M-code untuk morfologi. Sitologi servikal
didefinisikan oleh T-code yang dimulai dengan T8X3*, lihat informasi
pendukung. Untuk koding morflogi, klasifikasi Bethesda diperkenalkan di
tahun 2007 di Denmark dan penerapannya pun digunakan secara bertahap.
Oleh karena itu, khususnya untuk kohort yang lahir tahun 1983, sitologi
dikoding menggunakan sistem klasifikasi yang lama ini. Kode yang lama
ini dikonversikan menjadi kode Bethesda menggunakan tabel konversi di
program skrining the Danish Quality Assurance of the Cervical Cancer
dengan rekaman yang dilakukan oleh ahli patologi berpengalaman
(penulis LGLG, informasi pendukung, D). Pada analisis, sitologi
dibedakan menjadi 5 kategori umum:
a. NILM (negative for intraepithelial lesion or malignancy)
b. ASCUS (atypical squamous cells of undetermined significance), pada
analisis, kelompok kecil dari sel glandural yang atipikal (AGC)
dianggap sebagai ASCUS
c. LSIL (low-grade squamous intraepithelial lesion)
d. HSIL (high-grade squamous intraepithelial lesion), pada analisis,
sekelompok kecil dengan sel skuamosa atipikal kecuali HSIL (ASCH)
dianggap sebagai HSIL
e. Sampel yang tidak memuaskan
Pada kasus yang lebih dari satu M-code per sampel, diagnosis hierarki
diterapkan dimana kebanyakan diagnosis berat juga turut dipilih. Kode
yang tidak memuaskan disingkirkan untuk tiap diagnosis. ASCUS+
digunakan untuk ASCUS dan setiap diagnosis parah lainnya. Dikatakan
“missing” bila sampel yang dianalisis oleh ahli patologi privat/swasta dan
yang tanpa kode diagnosis.
Usia saat sitologi pertama dihitung sejak tanggal kelahiran dan
tanggal didapatkannya sampel saat dilaboratorium atau tanggal
pengembalian pada kasus sampel dengan kode diagnosis yang
missing/hilang. Usia vaksinasi HPV dihitung sejak tanggal lahir dan
tanggal pengembalian dimana vaksinasi HPV pertama pada program
vaksinasi anak dan tanggal di lakukannya/ikutkannya pasien tersebut
untuk menjalani vaksinasi namun diluar program ini (pasien bayar
sendiri). Kami mendefinisikan wanita yang divaksinasi HPV adalah
mereka yang telah mendapatkan setidaknya satu dosis vaksin HPV.
Data distribusi geografi dari dua kohort ditabulasi dari data yang
kami dapatkan sejak dimulainya penelitian untuk masing masing kohort.
Data terhadap proporsi wanita dengan setidaknya derajat sekolah yang
tinggi pada usia 22 tahun diambil dari statistik publik. Kami mencari
literatur untuk data terhadap usia sertakapan mulai aktif seksual yang
dilaporkan sendiri oleh pasien. Data secara umum adalah wanita yang
lahir di tahun 1960-1987 dan 1983-1997. Data terhadap proporsi
perempuan yang aktif seksual di usia 15 tahun dan merokok rutin tiap hari
di usia 15 tahun diambil juga dari survey kesehatan sekolah.

C. ANALISIS STATISTIK
Studi dilakukan sebagai studi kohort berdasarkan pendaftaran, berskala
nasional, memasukkan semua wanita yang sesuai dengan kriteria. Tidak ada
kekuatan kalkukasi sebelum dimulainya penelitian ini.
Indikasi sitologi tidak dilaporkan di NPR, namun wanita yang
diskrining sebelum usia 23 tahun juga diskrining karena keinginan sendiri atau
skrining karena anjuran dokter berdasarkan gejala yang muncul pada pasien.
Karenanya, hasil nya kemudian diklasifikasi berdasarkan usia pertama kali
dilakukan sitologi. Untuk mencegah bias seleksi, perbandingan primer kami
adalah antara kohort pada tahun 1993 dan seluruh kohort tahun 1983.
Meskipun begitu, hasil subanalisis penelitian untuk kohort lahir tahun 1993
juga diklasifikasikan oleh status vaksinasi HPV. Sitologi yang tidak
memuaskan lebih sering terjadi pada sitologi konvensional dari pada LBC.
Kami kemudian merestriksikan perbandingan antara dua kohort dari sitologi
pertama terhadap wanita dengan sampel ketidakpuasan yang pertama.
Karena kami mengoperasikan dengan kohort tertutup pada wanita
dengan follow up secara total/penuh selama seluruh periode penelitian,
proporsi insidensi (IP) dikalkukalisan dengan interval kepercayaan (CI)
Clopper–Pearson 95%. resiko relatif untuk kohort lahir 1993 dan kohort 1983
dikalkulasikan mengunakan test X2 dengan CI sebesar 95%. Nilai P nya <0,05
dianggap sudah signifikan secara statistik. Data pendaftaran pesudo-
anonymized diakses melalui pusat pelayanan statistik penelitian denmark.
Software versi 9.4 (TS1M3) digunakan untuk analisis data ini.

D. HASIL
1. Populasi Penelitian
Sebanyak 26.331 wanita lahir tahun 1983 dan tinggal Denmark
pada 1 januari 1999, 6870 wanita diekslusikan dari penelitian karena
mereka tinggal atau telah pindah ke negara kopenhagen (tabel 1 dan
informasi pendukung, gambar E dan F). Sebanyak 34.140 wanita yang
lahir ditahun 1993 dan tinggal di denmark 1 januari 2009, dan dari semua
ini, 8662 wanita diekulsikan karena alasan yang sama seperti pada kohort
1983. Persentasi wanita yang diekslusikan adalah sama, 26% untuk 1983
dan 25% untuk 1993. Dua populasi penelitian terdiri dari 19461 dan 25478
wanita masing-masingnya. Jumlah Kohort 1983 lebih kecil dari pada
kohort 1993. Pada permulaan tahun 1980, angka lahir secara umum lebih
rendah dari pada di tahun 1990, mungkin karena ada krisis ekonomi, dan
ditahun 1983, angka lahir berada di titik terendah dalam sejarah.
Distribusi wanita yang melewati regio Denmark secara umum
sama dengan dua kohort lahir, begitu juga pada proporsi wanita dengan
setidaknya derajat sekolah yang tinggi pada usia 22 tahun. Proporsi
perempuan yang merokok rutin tiap hari di usia 15 tahun menurun dari
21% hingga 10%. Usia rata rata wanita aktif seksual adalah di usia 16
tahun untuk kedua kohort penelitian. Hal ini harus diambil kedalam akun
yang menyediakan data yang melingkupi range luas untuk kohort lahir.
Pada kohort 1993, 37% wanita dilaporkan sudah aktif seksual di usia 15
tahun.
Pada wanita yang lahir 1993, 86% telah menjalani vaksinasi HPV
pada usia ≤ 15 tahun, dan 6% diatas usia tersebut (tabel 2). Wanita wanita
ini semuanya divaksinasi dengan 4vHPV terpisah dari ketiga wanita
divaksinasi dengan vaksin HPV bivalent (2vHPV). Sebagian besar peserta
peneltiian divaksinasi saat (child vaccination program) program vaksinasi
Anak, sedangkan sebagian kecil melakukan vaksin dengan uang mereka
sendiri. Usia rata rata pasien tersebut saat divaksin adalah 14.9 tahun.
Proporsi wanita dengan bentuk sitologi apapunsecara umum sama pada
kedua kohort, 63% vs 61%; namun hasil sitologi sebelum usia
dilakukannnya skrining (23 tahun) lebih sering terjadi pada kohort tahun
1983 dari pada di kohort 1993, 27% versus 19%. Sedangkan 38% wanita
yang divaksin di tahun 1993 tidak memiliki data sitologi, hal ini adalah
kasus untuk 55% wanita yang tidak menjalani vaksinasi.
2. Sitologi Serviks
Proporsi sampel yang tidak memuaskan dan sampel dengan
patologi diagnosis yang missing/hilang menurun dari 6% pada kohort
tahun 1983 menjadi 1.2% saja untuk kohort 1993. (tabel 3 dan gambar 1).
Pada kedua kohort, 60% wanita memiliki sampel pertama yang
memuaskan. Usia rata rata sitologi pertama yang pasien jalani adalah 21.7
tahun untuk wanita yang lahir tahun 1983 vs 22.1 tahun untuk wanita yang
lahir tahun 1993. Dari semua wanita wanita ini, sebagain besar memiliki
proporsi yang sama, 9% nya untuk kohort 1983 dan 9.4% untuk kohort
1993 yang memiliki sitologi abnormal yang didefinisikan sebagai
ASCUS+. RR=1.04 (95% CI 0.96– 1.12), p=0.29. meskipun begitu, resiko
untuk mendapatkan HSIL secara statistik lebih rendah di kohort tahun
1993 dari pada 1983, RR=0.6 (95% CI 0.5–0.7), p<0.0001.
Pada wanita dengan sitologi pertama sebelum usia 23 tahun, resiko
untuk hasil dengan ASCUS+ lebih sering terjadi pada kohort tahun 1993
dari pada kohort 1983. Persentasinya 11.8% dan 9.3% untuk masing
masing kohort. RR=1.28 (95% CI 1.13–1.43), p<0.001 (tabel 4 gambar 1).
Resiko nya sebagian besar berasal dari ASCUS RR=1.78 (95% CI 1.45–
2.18). pada wanita yang diperiksa di usia muda, proporsi HSIL hampir
sama, RR=0.93 (95% CI 0.65–1.31), p=0.67. pada wanita yang diperiksa
pertama kali saat usia skrining rutin (tepat di usia 23 tahun), resiko
ASCUS+ hampir sama pada kedua kohort. RR=0.94 (95% CI 0.85–1.04),
p=0.24. sebagian besar penurunan jumlah proporsi wanita dengan HSIL
berasal dari kelompok dengan usia yang lebih tua. RR=0.49 (95% CI
0.38–0.63), p <0.0001.
Cakupan vaksinasi HPV pada kohort 1993 kami lebih tinggi dari
pada 78% yang secara resmi dilaporkan. Kami kemudian membuat dua
analisis sensitifitas. Kami memasukkan negara kopenhagen dengan asumsi
bahwa negara ini mungkin memiliki cakupan vaksinasi yang lebih rendah
dari pada seluruh negara, namun bukan pada kasusnya. Kedua, analisis
kami didasarkan pada wanita yang lahir ditahun 1993 dan ada di Denmark
sejak 1 januari 2009 hingga 1 april 2017, jika kami memasukkan data ini
bukan data semua wanita yang lahir ditahun 1993, ada didenmark ditahun
2016, dan divaksinasi saat program vaksinasi di usia anak, kami akan
mendapatkan cakupan vaksinasi dengan persamaan sebesar 77.7% sesuai
dengan laporan resminya dari data yang sama. Perbedaan antara 91.6%
data kami dan cakupan resmi sebesar 78% dari data ini dapat dijelaskan
karena adanya perpindahan populasi, dimana beberapa wanita yang
divaksinasi meninggalkan denmark selama periode follow up penelitian
dan beberapa wanita yang divaksinasi yang datang menuju denmark. Kami
kemudian memasukkan vaksin yang dibayar sendiri oleh pasien dalam
perhitungan cakupan ini.
Dari 15.315 wanita pada kelompok kohort 1993 dengan hasil
sitologi yang memuaskan pertama, sebanyak 13543 adalah wanita yang
divaksinasi HPV diusia ≤15 tahun, 815 wanita divaksinasi di usia >15
tahun, dan 957 nya tidak divaksinasi. (tabel 5). Resiko ASCUS + secara
umum lebih rendah pada wanita yang divaksinasi dari pada yang tidak
divaksinasi. RR=0.78 (95% CI 0.65–0.93), p=0.008. pola ini tampak pada
semua subdiagnosis, namun jumlah wanita yang tidak divaksinasi
tergolong besar. Wanita dengan terlambat vaksinasi memiliki resiko
ASCUS+ yang sama dengan wanita yang tidak divaksin. RR=1.09 (95%
CI 0.85–1.40), p=0.5, mengisyaratkan bahwa proporsinya yang lebih besar
dari wanita HPV non-naive ada dan tersedia pada kelompok penelitian ini.
Tabel 1. Karakteristik populasi penelitian

Tabel 2. Usia sitologi pertama kali dan vaksinasi HPV pada populasi penelitian
Keterangan: beberapa wanita yang memasuki usia 24 tahun sebelum menjalani
pemeriksaan sitologi pertama mereka.

Tabel 3. Hasil dari sitologi serviks pertama kali pada wanita yang diajukan untuk
menjalani vaksinasi HPV (1993) dan wanita yang tidak ditawari vaksin HPV
(1983)
Gambar 1. Deteksi abnormalitas servikal saat hasil sitologi pertama kal pada
kohort yang divaksin HPV (1993) dibandingkan dengan kohort non vaksinasi
1983 di denmark. Resiko relatif dan interval kepercayaan 95%.

Tabel 4. Hasil berdasarkan kelompok usia pada sitologi pertama kali,


kecuali pada hasil yang hilang atau yang tidak memuaskan.
E. DISKUSI
1. Temuan Utama
Pada penelitian ini, kami menentukan dampak dari vaksinasi HPV
terhadap hasil sitologi pada program skrining serviks di Denmark saat
akhir usia 23 tahun, dimana wanita pertama kali diajak untuk melakukan
serta menjalani skrining serviks. Kami membandingkan hasil vaksinasi
dari kohort wanita yang lahir di tahun 1993 dengan hasil kohort wanita
yang tidak divaksin dan lahir tahun 1983. Kedua kohort memiliki profil
resiko kanker serviks yang sama terlepas dari semakin menurunnya
proporsi perokok aktif pada sampel penelitian.
Diperkenalkannya vaksin HPV tidak mempengaruhi
keberadaan/minat pasien untuk melakukan skrining: pada kedua kohort
sekitar 60% pasien telah diskrining pada setidaknya di akhir usia 23 tahun.
Tidak ada perbedaan antara kedua kohort dalam hal proporsi wanita
dengan temuan skrining ASCUS +; prosentasi ASCUS + pada kedua
kelompok sekitar 9%. Meskipun begitu, secara statistik menurun hingga
40%, dari 1.8% hingga 1.1% dalam jumlah proporsi wanita yang
mengalami HSIL.
Dalam hal interpretasi dari berbagai temuan ini, 4 masalah yang
perlu dipertimbangkan adalah:
a. Cakupan vaksinasi HPV
b. Prevalensi aktivitas seksual saat usia 15 tahun
c. Prevalensi merokok saat usia 15 tahun
d. Transisi dari sitologi konvensional menjadi LBC
Efikasi dari 4vHPV diuji pada percobaan terkontrol randomisasi bernama
FUTURE. Pada berbagai percobaan ini, resiko sitologi ASCUS+ menurun
sekitar 17.1%. studi tersebut terdiri dari wanita tanpa riwayat warts/kutil di
bagian genital atau sitologi yang abnormal, seronegatif, HPV-DNA negatif
untuk HPV 6,11,16,18, dan 10 untuk tipe HPV resiko tinggi, serta hasil
sitologi normal saat proses rekrutment peserta penelitian. Beberapa
perbedaan keadaan antara penelitian FUTURE dengan penelitian kami
mungkin dapat menjelaskan mengapa penurunan pada ASCUS+ tidak
terlihat pada data kami. Pertama, cakupan vaksinasi tidak 100% namun
92% pada kohort 1993 kami. Kedua, tidak semua wanita pada kohort 1993
kami adalah HPV-naive saat waktu vaksinasi; 37% dilaporkan adalah
wanita yang aktif seksual saat usia 15 tahun, dan kami mengasumsikan
bahwa semua wanita yang nantinya akan divaksinasi adalah wanita yang
aktif seksual, serta wanita yang aktif seksual memiliki prevalensi sebesar
46% untuk terjangkit dengan DNA HPV resiko tinggi. Oleh karena itu,
21% (=(((0.37x0.86) + 0,06 +0,08) x 0,46) pada kohort 1993 kami
mungkin juga HPV non naive. Namun dengan berbagai reservasi/syarat
yang kami berlakukan pada penelitian kami, kami masih tetap dapat
melihat angka penurunan ASCUS + sekitar 13% =1-((0,79x0.83)+0.21)).
Rendahnya prevalensi perokok pada kohort 1993 dibandingkan
dengan 1983 harusnya memberikan sebuah perlindungan terhadap
kejadian ASCUS+ pada kohort yang lebih muda. Dalam sebuah penelitian
di Denmark, merokok dikaitkan dengan hazard ratio sebesar 1,32 untuk
mendapatkan CIN31 pada wanita dengan HPV positif resiko tinggi. Jika
kita mengasumsikan bahwa hazard ratio yang sama akan berlaku untuk
melihat dampak merokok pada risiko HSIL, penurunan dalam prevalensi
merokok dari 21% pada kelompok kelahiran 1983 hingga 10% pada
kelompok kelahiran 1993 hanya akan memengaruhi risiko HSIL secara
marginal; dari 1,8% menjadi 1,7%. Oleh karena itu jelas bahwa penurunan
sebesar 1,1% tidak dapat dijelaskan oleh karena adanya perbedaan
merokok antara dua kelompok kelahiran.
Perubahan dari sitologi konvensional menjadi LBC mungkin,
meskipun begitu, bekerja dengan arah yang berlawanan. SurePath LBC
memberikan proteksi lebih baik terhadap kanker serviks dari pada sitologi
konvensional. Di denmark sendiri, sitologi konvensional telah diganti
posisinya oleh SurePath LBC, dan transisinya (perubahan penggunaan
pemeriksaan dari konvensional menjadi surepath) berkaitan dengan
peningkatan pertimbangan pada proporsi kejadian ASCUS+ di pasien
wanita yang masih muda (karena semakin banyak yang dapat dideteksi
oleh SurePath). Meskipun begitu, tidak mungkin untuk mengukur
kemungkinan dampak dari perubahan teknologi ini. Sampel sitologi untuk
wanita yang lahir pada tahun 1983 dan dimasukkan dalam penelitian ini
diambil dengan jumlah yang meningkat secara bertahap dari tahun 1998
hingga 2006. Sampel sitologi untuk wanita yang lahir pada tahun 1993
diambil dari tahun 2008 hingga 2016. Untuk kedua kohort kelahiran,
banyak laboratorium berpartisipasi dalam analisis sampel, dan transisi
laboratorium ke LBC terjadi pada titik yang berbeda pada periode antara
tahun 2002 dan 2015. Transisi ini mungkin memberikan bayangan
mengenai dampak yang mungkin dari vaksinasi HPV terhadap munculnya
temuan ASCUS+ pada populasi penelitian. Studi FUTURE menunjukkan
terdapat penurunan HSIL pada kelompok intervensi sebesar 44,5% (95%
CI 4,3% -68,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil kami dari
penurunan HSIL sebesar 40% (95% CI (30% -50%) sejalan dengan hasil
studi FUTURE tersebut.
Selanjutnya, studi FUTURE juga menunjukkan kemanjuran yang
tinggi dari vaksin quadrivalent terhadap penyakit warts/kutil kelamin. Di
Australia, kejadian genital wart menurun setelah dikenalkannya secara
luas vaksin quadrivalent. Penurunan juga terlihat di Denmark sejak tahun
2009. Pada prinsipnya, indikasi lebih lanjut mengenai manfaat dan
kemanjuran vaksin mungkin berasal dari data trend nasional dalam
mendeteksi ASCUS. Beberapa data ternyata baru mulai dilaporkan sejak
tahun 2013, menunjukkan proporsi ASCUS yang relatif stabil, yakni
sekitar 3% dengan sedikit variasi pada proporsi di beberapa wilayah
denmark.
2. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian
Penelitian kami berdasarkan seluruh kohort lahir baik yang
ditawarkan atau yang tidak ditawarkan untuk dilakukannya vaksin HPV,
dan kami menelaah outcome sitologi setelah semua wanita diajak untuk
menjalani program skrining. Kami kemudian mencegah seleksi bias
dengan membandingkan wanita yang divaksinasi dan yang tidak, serta
data register untuk memastikan bahwa hasil follow upnya lengkap.
Desain studinya termasuk temporal, membandingkan hasil skrining
pada perbedaan 10 tahun. Hasilnya kemudian dapat diperancu oleh adanya
perubahan pada latar belakang resiko seiring berjalannya waktu. Meskipun
begitu, dua kohort memiliki profil resiko kanker serviks yang hampir sama
dari penurunan perokok di tahun 1983 hingga kohort 1993. Dan
penurunan ini mungkin dapat menjadi faktor kofonding/perancu yang
penting untuk diperhatikan. Kami mendapati lebih banyak wanita dengan
sampel yang kurang memuaskan pada tahun 1983 dari pada 1993. Sampel
sitologi konvensional mungkin memberikan hasil yang kurang
memuaskan karena adanya imflamasi atau adanya darah, dan wanita
dengan sampel yang kurang memuaskan akan direkomendasikan untuk
dilakukan pemeriksaan ulang. Meskipun begitu, pada penelitian ini, yang
kami masukkan (dalam rangka menyederhanakan penelitian) hanya
sampel sitologi pertama saja, darah dan imflamasi dieliminasi dari sampel
LBC sehingga membuat proporsi sampel yang tidak memuaskan ikut
menurun jumlahnya.
Transisi dari sitologi konvensial menjadi LBC SurePath mungkin
dapat menjelaskan kurang nya keefektifitasan vaksinasi HPV pada jumlah
kejadian ASCUS+ di sampel penelitian kami. Kami tidak memiliki data
Denmark terhadap nilai prediktif positif dari HSIL untuk neoplasia
intraepitelial serviks (CIN)2+. Perubahan kohort 1983 menjadi kohort
1993 sepertinya bermakna, sebagaimana dengan departemen patologi yang
juga melakukan prosedur diagnostik yang sama melalui periode penelitian
tersebut, akan tetapi, kemungkinan penyimpangan diagnostik khusunya
HSIL terkait adanya proses transisi dari sitologi konvensional ke LBC
tidak dapat dikecualikan/disingkirkan, sehingga dapat menjadi faktor
perancu penelitian kami. Cakupan skrining hanya sebesar 60% pada
kelompok kohort 1993 kami, begitu juga pada kelompok kohort 1983.
Dalam skrining serviks, profil risiko bukan responden berbeda dari yang
responden, dan dalam data kami tahun 1993, sebanyak 94% perempuan
yang diskrining, telah menjalani vaksinasi HPV dibandingkan dengan
88% perempuan yang tidak skrining. Oleh karena itu hasil penelitian kami
mungkin sedikit melebih-lebihkan efek vaksinasi HPV. yang
mengherankan, risiko HSIL secara statistik tidak menurun secara
signifikan setelah divaksinasi dibandingkan dengan wanita yang tidak
divaksinasi dalam kohort kelahiran 1993. Ini mungkin disebabkan oleh
karena adanya herd immunity karena secara keseluruhan 92% dari kohort
kelahiran divaksinasi, dimana hal ini juga sesuai yang disarankan oleh
pengamatan virologi dari Skotlandia. Meskipun begitu, jumlah wanita
yang tidak divaksinasi termasuk kecil, dan kami tidak mengetahui apakah
proporsi seksual aktif sebelum atau saat usia 15 tahun terdisiribusi merata
antara wanita yang divaksin dan yang tidak. Penting untuk diperhatikan
bahwa 62% wanita yang sudah divaksin di kelompok kohort 1993 juga
telah diskrining, dimana kasusnya hanya untuk 45% proporsi wanita yang
tidak divaksin, seperti pengamatan serupa yang dilaporkan sebelumnya
dari Scotland dan Amerika Serikat, meskipun dalam desain penelitian
yang berbeda. Waktu follow up nya terbatas; dengan demikian, hanya ada
waktu 3 bulan bagi wanita untuk ikut serta dalam program skrining di
bulan desember 1993. Pengecualian dari negara Kopenhagen yang
mungkin membatasi proses generalisasi, namun tidak mempengaruhi
perbandingan antara kedua kohort.
3. Penelitian Lain
Dampak utama dari vaksinasi HPV terhadap outcome skrining di
Denmark telah dilaporlan sebelumnya untuk wanita yang sudah divaksin
HPV dan wanita yang belum divaksin dan lahir antara 1993 hingga 1994
menjadi sebesar 60% (95% CI, 44-71%) menurunnya temuan atipia
bahkan temuan yang lebih buruk. Studi ini, meskipun begitu, diambil pada
populasi terpilih, dan hanya 1.3% dari kohort yang diskrining saat waktu
penelitian dilaksanakan.
Sebuah kajian sistematik berdasarkan pengalaman nyata dari
vaksinasi menggunakan 4vHPV menyimpulkan bahwa perkiraan vaksin
“secara umum berhubungan dengan kemanjuran vaksin dari uji klinis”.
Namun harus diperhitungkan bahwa sebagian besar studi yang ditinjau
rentan terhadap seleksi karena mereka membandingkan wanita yang
vaksinasi dengan wanita yang tidak divaksinasi dan sebagian besar
melaporkan kelainan serviks yang diamati sebelum usia skrining yang
normal. Sebuah studi dari Swedia melaporkan penurunan sebesar 63%
(95% CI 51% -72%) pada neoplasia intraepitel serviks (CIN) pada wanita
yang divaksinasi ketika mereka berusia 16 tahun berdasarkan hasil
skrining mereka pada usia 13-22 tahun. Ini adalah penurunan yang lebih
besar daripada yang terlihat dalam studi FUTURE, dan itu mungkin bisa
disebabkan karakter selektif pada data studi yang dianggap sebagai sebuah
ajakan untuk mau menjalani dan memulai skrining serviks hanya di usia
23 tahun di Swedia.
Di Australia, program skrining sangatlah direkomendasikan sejak
usia 18 tahun atau dua tahun setelah memulai hubungan seksual.
Perbandingan wanita yang divaksinasi ketika mereka berusia 16 tahun
dengan wanita yang tidak divaksinasi dimana ada laporan mengenai
penurunan kelainan histologis tingkat tinggi sebesar 38% (95% CI 12% -
56%), yang sesuai dengan temuan FUTURE. Studi ini menunjukkan
penurunan sitologi tingkat tinggi 36% (95% CI 5% - 57%) dan penurunan
tidak signifikan dalam sitologi tingkat rendah 17% (95% CI 3% - 33%);
konsisten dengan hasil kami untuk HSIL dan LSIL.
Skotlandia adalah negara lain dengan usia skrining yang lebih dini,
dan negara ini memulai vaksinasi dengan vaksin HPV bivalen pada tahun
2008. Perbandingan antara wanita yang lahir pada tahun 1988; 99,95%
tidak divaksin; dan pada tahun 1993; 22,98% tidak divaksin; menunjukkan
penurunan 54% (95% CI 47% -61%) dalam deteksi CIN21 pada skrining
serviks pertama di usia 20 atau 21 tahun. Mengingat bahwa cakupan
vaksinasi hanya sebagian, temuan ini sejalan dengan hasil percobaan
PATRICIA. Seperti penelitian kami, penelitian Skotlandia menghindari
bias seleksi dengan membandingkan kelompok kelahiran daripada
membandingkan wanita yang divaksinasi dan yang tidak divaksinasi; dan
dengan menggunakan hasil skrining setelah dimulainya usia skrining
reguler.
4. Dampak
Di denmark sendiri, wanita dengan HSIL akan dirujuk untuk
dilakukan colposkopi dengan biopsi. Adanya reduksi pada resiko HSIL
setelah wanita tersebut divaksin HPV mempengaruhi lebih dari 1/3 wanita
yang sebelumnya dirujuk sehingga dapat terhindar dari prosedur ini dan
menghemat sumber daya kesehatan. Pada semua generasi yang lahir di
tahun 2000an, Denmark mengalami penurunan yang cukup besar dalam
cakupan vaksinasi HPV karena kekhawatiran terhadap kemungkinan efek
samping, meskipun tidak ada bukti untuk hubungan sebab akibat akan hal
ini. Setelah masalah ini terselesaikan, fakta bahwa vaksinasi HPV
memiliki efek langsung yang menguntungkan dari menyelamatkan para
perempuan untuk terhindar dari rujukan tindakan kolposkopi dapat
menambah insentif masyarakat untuk mau melakukan vaksin HPV.
5. Penelitian di Masa Yang Akan Datang
Pada penelitian ini, kami fokus terhadap efek utama vaksinasi HPV
yang tampak setelah wanita tersebut divaksin saat masih remaja dan
diteliti ketika memasuki usia untuk diterapkannya program skrining.
Follow up lebih lanjut dari kohort akan terus fokus terhadap dampak dari
vaksinasi itu sendiri pada CIN dan konisasi (mengangkat jaringan yang
mengandung lendir serviks). Kurangnya dampak vaksinasi HPV dalam
mendeteksi temuan ASCUS menjadi sebuah teka teki meskipun adanya
transisi dari sitologi konvensional menjadi LBC dianggap sebagai faktor
utama masalah ini terjadi. Triase HPV dari ASCUS tidak dilakukan pada
wanita dibawah usia 30 tahun, namun hal ini menjadi suatu daya tarik
tersendiri untuk nantinya dapat diteliti lebih lanjut, yakni mengenai
distribusi HPV-type pada sampel ASCUS dari wanita yang sudah divaksin
HPV sebelumnya.

F. KESIMPULAN
Kami menyajikan data dari kohort vaksinasi 4vHPV yang
membadingkannya dengan kohort yang tidak di vaksin pada waktu dimana
semua peserta penelitian diajak untuk ikut serta dalam program skrining.
Tampak adanya penurunan temuan HSIL patologis yang memberikan
outcome yang cukup menjanjikan dari penerapan vaksin HPV pada wanita.
DAFTAR PUSTAKA

Andersen PH. Statens Serum Institut; EPINEWS No. 49, 2015.


https://www.ssi.dk/English/ News/EPI-NEWS/2015/No%2049%20-
%202015. Aspx

Baldur-Felskov B, Dehlendorff C, Munk C, et al. Early impact of human


papillomavirus vaccination on cervical neoplasia – Nationwide Followup
of Young Danish Women. J Natl Cancer Inst 2014;106:djt460.

Barken SS, Rebolj M, Lynge E, et al. Outcomes in cervical screening using


various cytology technologies: what’s age got to do with it?. Eur J Cancer
Prev 2013;22:367–73.

Beerman H, van Dorst EBL, Kuenen- Boumeester V, et al. Superior performance


of liquid based versus conventional cytology in a population-based
cervical screening program. Gynecol Oncol 2009;112:572–6.

Bollerup S, Baldur-Felskov B, Blomberg M, et al. Significant reduction in the


incidence of genital warts in young men 5 years into the Danish Human
Papillomavirus vaccination program for girls and women. Sex Transm Dis
2016;43:238–42.

Brotherton JML, Malloy M, Budd AC, et al. Effectiveness of less than three doses
of quadrivalent human papillomavirus vaccine against cervical
intraepithelial neoplasia when administered using a standard dose spacing
schedule: observational cohort of young women in Australia.
Papillomavirus Res 2015;1:59–73.

Cameron RL, Kavanagh K, Pan J, et al. Human papillomavirus prevalence and


herd immunity after introduction of vaccination program, Scotland, 2009–
2013. Emerg Infect Dis 2016;22: 56–64.

Cameron RL, Kavanagh K, Watt DC, et al. The impact of bivalent HPV vaccine
on cervical intraepithelial neoplasia by deprivation in Scotland: reducing
the gap. J Epidemiol Community Health 2017;71:954–60.

Dansk Kvalitetsdatabase for Livmoderhalskraftscreening (DKLS) arsrapport 2015


(In Danish). https://www.sundhed.dk/ content/cms/82/4682_dkls-
%C3%A5rsrapport- 2015.pdf

Dansk Kvalitetsdatabase for Livmoderhalskraftscreening (DKLS) arsrapport 2013


(In Danish). https://www.sundhed.dk/ content/cms/82/4682_dkls-
%C3%A5rsrapportaugust_ vers3-8_final.pdf

Dansk Kvalitetsdatabase for Livmoderhalskraftscreening – Arsrapport 2016.


2017; Version 6. [in Danish]
European Medicines Agency. EMA/762033/ 2015. Pharmacovigilance risk
assessment committee. Assessment report. Review under article 20 of
regulation (EC) no 726/2004. Human papillomavirus (HPV) vaccines, 11
November 2015. http://www.ema.europa.eu/
docs/en_GB/document_library/Referrals_document/HPV_vaccines_20/O
inion_provided_by_Committee_for_Medicinal_Products_for_Human_Use
/WC500197129.pdf

Garland SM, Hernandez-Avila M, Wheeler CM, for the Females United to


Unilaterally Reduce Endo/Ectocervical Disease (FUTURE) I Investigators,
et al. Quadrivalent vaccine against human papillomavirus to prevent
anogenital diseases. N Engl J Med 2007;356:1928–43.

Garland SM, Kjaer SK, Munoz N, et al. Impact and effectiveness of the
quadrivalent human papillomavirus vaccine: a systematic review of 10
years of real-world experience. Clin Infect Dis 2016;63:519–27.

Herweijer E, Sundstr€om K, Ploner A, et al. Quadrivalent HPV vaccine


effectiveness against high-grade cervical lesions by age at vaccination: a
population-based study. Int J Cancer 2016;138: 2867–74.

Herweijer E, Sundstr€om K, Ploner A, et al. Erratum. Int J Cancer 2017;141:E1–


4.

Jensen KE, Schmiedel S, Frederiksen K, et al. Risk for cervical intraepithelial


neoplasia grade 3 or worse in relation to smoking among women with
persistent human papillomavirus infection. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev 2012;21:1949–55.

Jorgensen MJ, Maindal HT, Christensen KS, et al. Sexual behavior among young
Danes aged 15–29 years: a cross-sectional study of core indicators. Sex
Transm Infect 2015;91:171–7.

Kavanagh K, Pollock KG, Cuschieri K, et al. Changes in the prevalence of human


papillomavirus following a national bivalent human papillomavirus
vaccination programme in Scotland: a 7-year cross-sectional study. Lancet
Infect Dis 2017;17:1293–302.

Kjar SK, Munk C, Junge J, et al. Carcinogenic HPV prevalence and age-specific
type distribution in 40,382 women with normal cervical cytology,
ASCUS/LSIL, HSIL or cervical cancer: what is the potential for
prevention? Cancer Causes Control 2014;25:179–89.

Kristensson JH, Sander BB, von Euler-Chelpin M, et al. Predictors of non-


participation in cervical screening in Denmark. Cancer Epidemiol
2014;38:174–80.
Lehtinen M, Paavonen J, Wheeler CM, HPV PATRICIA Study Group, et al.
Overall efficacy of HPV-16/18 AS04-adjuvant vaccine against grade 3 or
greater cervical intraepithelial neoplasia: 4-year end-of-study analysis of
the randomised, double-blind PATRICIA trial. Lancet Oncol 2012;13:89–
99.

Lynge E, Rygaard C, Baillet MV, et al. Cervical screening at crossroads. Apmis


2014;122:667–73.

Lynge E, Andersen B, Christensen J, et al. Cervical screening in Denmark - a


success followed by stagnation. Acta Oncol 2018;57:354–61.

Munoz N, Kjaer SK, Sigurdsson K, et al. Impact of human papillomavirus (HPV)-


6/11/16/18 vaccine on all HPV-associated genital diseases in young
women. J Natl Cancer Inst 2010;102: 325–39.

Noehr B, Frydshou D, Kahn HS, et al. Udredning, behandling og kontrol af


cervical dysplasia (In Danish), DSOG, 2012. http://
gynobsguideline.dk/hindsgavl/Cervixdysplasi2012. pdf

Palmer TJ, McFadden M, Pollock KG, et al. HPV immunisation and increased
uptake of cervical screening in Scottish women; observational study of
routinely collected national data. Br J Cancer 2016;114:576–81.

Patobank/Historik (In Danish). http://www.


patobank.dk/index.php?ID516&lang5da [Accessed 2 November 2017]

Patobank/SNOMED (In Danish). http://www.


patobank.dk/index.php?ID518&lang5da http://
www.patobank.dk/index.php?ID51&lang5da [Accessed 9 November
2017]

Paynter CA, Van Treeck BJ, Verdenius I, et al. Adherence to cervical cancer
screening varies by human papillomavirus vaccination status in a high-risk
population. Prev Med Rep 2015;2: 711–6.

Rask J, Lynge E, Franzmann M, et al. Impact of technology on cytology outcome


in cervical cancer screening of young and older women. Int J Cancer 2014;
134:2168–79.

Rasmussen M, Due P, Holstein BE. Skolebornsundersogelsen 1998: Sundhed,


sundhedsvaner og sociale forhold (In Danish). Institut for
Folkesundhedsvidenskab, Kobenhavns Universitet, 2000.

Rasmussen M, Due P, Skolebornsundersogelsen, 2010 (In Danish). Statens


Institut for Folkesundhed, Syddansk Universitet, 2011. http://
www.hbsc.dk/downcount/HBSC-Rapport 2010. pdf
Rozemeijer K, Naber SK, Penning C, et al. Cervical cancer incidence after normal
cytological sample in routine screening using SurePath, ThinPrep, and
conventional cytology: population based study. BMJ 2017;356:j504.

The FUTURE II study group. Quadrivalent vaccine against human papillomavirus


to prevent high-grade cervical lesions. N Engl J Med 2007; 356:1915–27.

Sander BB, Rebolj M, Valentiner-Brandth P, et al. Introduction of human


papillomavirus vaccination in Nordic countries. Vaccine 2012; 30:1425–
33.

Screening for livmoderhalskraft – anbefalinger, 2012. Sundhedsstyrelsen (In


Danish). https:// sundhedsstyrelsen.dk/~/media/
B1211EAFEDFB47C5822E883205F99B79.ashx

Screening for livmoderhalskraft – anbefalinger, 2007. Sundhedsstyrelsen (In


Danish). https:// www.sst.dk/~/media/
2C40A729A6D8452984626577FFD2C752.ashx

Smith MA, Liu B, McIntyre P, et al. Trends in genital warts by socioeconomic


status after the introduction of the national HPV vaccination program in
Australia: analysis of national hospital data. BMC Infect Dis 2016;16:52.

Solomon D, Davey D, Kurman R, Forum Group Members, et al. Bethesda


2001Workshop. The 2001 Bethesda System: terminology for reporting
results of cervical cytology. JAMA 2002;287:2114– 9.

State Serum Institute, Vaccine coverage (In Danish).


https://www.ssi.dk/Smitteberedskab/Sygdomsovervaagning/VaccinationSu
rveillance. aspx?xaxis5Cohort&vaccination 55&
sex50&landsdel5100&show5&datatype5 Vaccination&extendedfilters
5True#HeaderText [Accessed 9 November 2017]

Statistibanken.dk, Statistics Denmark. https://


www.statistikbanken.dk/statbank5a/default. asp?w51239 [Accessed 16
October 2017] 17. Olesen TB, Jensen KE, Munk C, et al. Liva population
survey of female sexual habits. Ugeskr Laeger 2010;172:3254–9. In
Danish.

Virlev L. Farre siger ja til hinanden under okonomisk krise (In Danish).
Publication from Statistics Denmark, May 25th 2011. http://www.
dst.dk/da/Statistik/bagtal/2011/2011-05-25- vielser [Accessed 2 November
2017]
II. TELAAH KLINIS

A. Critical Appraisal
Questions Keterangan
Studi ini menggunakan populasi yang jelas, yaitu
populasi wanita di Denmark dengan usia yang dipilih
1. Did the study berdasarkan tahun lahir dimana vaksinasi HPV telah
address a clearly Ya menjadi bagian dar program vaksin. Outcome yang
focused issue? diharapkan juga jelas, yaitu jumlah hasil sitologi
abnormal antara perempuan yang tidak divaksinasi dan
yang divaksinasi dalam jarak waktu yang disamakan.
Subjek dalam penelitian ini sudah cukup untuk
2. Was the cohort merepresentasikan populasi di Denmark karena seluruh
recruited in acceptable Ya wanita di Denmark dijadikan sampel penelitian.
way? Sampel yang diambil juga hanya yang menetap di
Denmark dalam rentang waktu penelitian.
Kriteria subjek yang menjadi inklusi sudah dicocokkan
antara kasus dan kontrol. Subjek juga dianggap drop
out jika meninggalkan daerah yang menjadi daerah
eksklusi dalam rentang waktu follow up yang
3. Was the exposure ditentukan. Daerah yang memiliki kebijakan berbeda
accurately measured Ya terkait alur pembacaan hasil sitologi juga diekslusi
to minimize bias? untuk menghindari bias. Untuk mencegah bias seleksi,
perbandingan primer penelitian adalah antara kohort
pada tahun 1993 dan seluruh kohort tahun 1983. Hanya
saja, tidak semua subjek merupakan HPV naive karena
mereka aktif secara seksual.
Alur pembacaan semua subjek sudah disamakan,
4. Was the outcome seluruh sampel berada pada daerah yang pengaturan
Can’t
accurately measured pembacaannya mengikuti aturan nasional, tetapi
tell
to minimize bias? metode pembuatan preparat pada kedua kohort
menggunakan metode yang berbeda.
5. a) Have the author Peneliti sudah mengidentifikasi imigrasi sebagai faktor
Ya
identified all perancu sehingga membuat restriksi pada kedua
important kelompok kohort. Peneliti juga sudah mengidentifikasi
confounding perbedaan pembacaan preparat sitologi sehingga
factors? membuat restriksi pada kedua kohort.
b) Have they taken
account of Setiap hal yang diperkirakan menjadi faktor perancu
confounding factors Ya akan dilakukan restriksi dalam pemilihan sampel
in the design and/or penelitian.
analysis?
6. a) Was the follow up Follow up dilakukan selama 8 tahun, yaitu sejak
of the subjects Ya pertama subjek divaksinasi hingga melakukan skrining
complete enough? serviks pertama kali.
b) Was the follow up Follow up dilakukan pada subjek yang beusia 23 tahun
of the subjects long Ya karena program skrining serviks ertama di Denmark
enough? dilakukan pada wanita berusia 23 tahun.
 Jumlah kohort 1983 lebih sedikit daripada kohort
1993
 Usia rata rata sitologi pertama yang pasien jalani
adalah 21.7 tahun untuk wanita yang lahir tahun
1983 vs 22.1 tahun untuk wanita yang lahir tahun
1993
7. What are the result
 Sebagain besar memiliki proporsi yang sama, 9%
of this study?
nya untuk kohort 1983 dan 9.4% untuk kohort 1993
yang memiliki sitologi abnormal yang didefinisikan
sebagai ASCUS+
 Dampak vaksinasi secara statistik menurun hingga
40%, dari 1.8% hingga 1.1% dalam jumlah proporsi
wanita yang mengalami HSIL
8. How precise are the
Baik, karena memiliki Confidence Interval 95%.
result?
Design penelitian sudah dibuat sebaik mungkin untuk
meminimalisisasi bias yang ada, meskipun 21% dari
9. Do you believe the
Ya sampel mungkin merupakan HPV non naive dan
results?
terdapat perbedaan metode pembacaan pada kedua
kohort.
10. Can the results be Tidak Hasil penelitian ini kurang sesuai di Indonesia, karena
applied to the local karakteristik perempuan Indonesia biasanya baru aktif
population? secara seksual di usia >19 tahun. Hanya 0,7% wanita
sudah aktif secara seksual di usia 15-19 tahun
(Kemenkes RI, 2015).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang
dibandingkan dalam hal penurunan HSIL, tetapi tidak
11. Do the results of
Can’t sesuai dalam proporsi ditemukannya ASCUS+. Hal ini
this study fit with other
tell dapat disebabkan karena perbedaan cakupan vaksinasi
available evidence?
dan perbedaan metode pembacaan dan pembuatan
preparat.
12. What are the Sebagai rekomendasi dari penelitian observasional
implications of this yang dapat mendukung penelitian yang lain terkait
study for practice? dampak vaksinasi 4vHPV di kehidupan nyata.

B. PICO
1. Population
Penelitian ini menggunakan metode kohort berdasarkan populasi di
Denmark menggunakan data register dari kementrian kesehatan setempat
yang dilakukan dari 1 Januari 2009 hingga 1 April 2017. Penelitian ini
menggunakan sampel data sitologi terdiri dari periode 8 tahunan, mulai
dari usia 15 tahun (usia divaksinasi HPV) hingga usia 23 tahun (usia untuk
dilakukan skrining serviks pertama kalinya). Negara Copenhagen tidak
dimasukkan dalam penelitian ini. Penelitian ini meneliti dua kohort
tertutup, pertama, wanita yang lahir tahun 1993 dan tinggal di Denmark
sepanjang tahun antara 1 Januari 2009 dan 1 April 2017. Kedua, wanita
yang lahir tahun 1983 dan tinggal di Denmark sepanjang tahun sejak 1
Januari 2009 hingga 1 April 2017. Jumlah wanita yang lahir tahun 1983
yang masuk pada penelitian ini sebanyak 19.461. Sedangkan jumlah
wanita yang lahir tahun 1993 sebanyak 25.478.
2. Intervention
Tidak ada intervensi yang dilakukan pada penelitian ini. Penelitian ini
menggunakan sampel data sitologi.
3. Comparison
Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil setelah
skrining serviks pertama kali antara kohort lahir yang sudah divaksinasi
dan yang belum divaksinasi. Diambil dari sampel data sitologi wanita di
Denmark.
4. Outcome
a. Outcome primer penelitian ini adalah hasil diagnosis saat sitologi
pertama. Sedangkan outcome sekundernya adalah termasuk proporsi/
jumlah wanita yang menjalani sitologi pertama (sitologi apapun), dan
usia saat menjalani sitologi pertama.
b. Dari semua wanita wanita ini, sebagain besar memiliki proporsi yang
sama, 9% nya untuk kohort 1983 dan 9.4% untuk kohort 1993 yang
memiliki sitologi abnormal yang didefinisikan sebagai ASCUS+.
RR=1.04 (95% CI 0.96– 1.12), p=0.29. Meskipun begitu, resiko untuk
mendapatkan HSIL secara statistik lebih rendah di kohort tahun 1993
dari pada 1983, RR=0.6 (95% CI 0.5–0.7), p<0.0001.
c. Pada wanita dengan sitologi pertama sebelum usia 23 tahun, resiko
untuk hasil dengan ASCUS+ lebih sering terjadi pada kohort tahun
1993 dari pada kohort 1983. Persentasinya 11.8% dan 9.3% untuk
masing masing kohort. RR=1.28 (95% CI 1.13–1.43), p<0.001.
Resiko nya sebagian besar berasal dari ASCUS+ RR=1.78 (95% CI
1.45–2.18).
d. Pada wanita yang diperiksa di usia muda, proporsi HSIL hampir
sama, RR=0.93 (95% CI 0.65–1.31), p=0.67. pada wanita yang
diperiksa pertama kali saat usia skrining rutin (tepat di usia 23 tahun),
resiko ASCUS+ hampir sama pada kedua kohort. RR=0.94 (95% CI
0.85–1.04), p=0.24. Sebagian besar penurunan jumlah proporsi wanita
dengan HSIL berasal dari kelompok dengan usia yang lebih tua.
RR=0.49 (95% CI 0.38–0.63), p <0.0001.
e. Dari 15.315 wanita pada kelompok kohort 1993 dengan hasil sitologi
yang memuaskan pertama, sebanyak 13543 adalah wanita yang
divaksinasi HPV diusia ≤15 tahun, 815 wanita divaksinasi di usia >15
tahun, dan 957 nya tidak divaksinasi. Resiko ASCUS + secara umum
lebih rendah pada wanita yang divaksinasi dari pada yang tidak
divaksinasi. RR=0.78 (95% CI 0.65–0.93), p=0.008.
f. Jumlah wanita yang tidak divaksinasi juga tergolong besar. Wanita
dengan terlambat vaksinasi memiliki resiko ASCUS+ yang sama
dengan wanita yang tidak divaksin. RR=1.09 (95% CI 0.85–1.40),
p=0.5.
g. Adanya penurunan temuan HSIL patologis yang memberikan
outcome yang cukup menjanjikan dari penerapan vaksin HPV pada
wanita.
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. VAKSINASI HPV
1. Human Papilloma Virus (HPV)
Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus yang paling sering
dijumpai pada penyakit menular seksual dan diduga berperan dalam
proses terjadinya kanker. Terdapat sekitar 130 tipe HPV yang telah
berhasil diidentifikasi dan lebih dari 40 tipe HPV dapat menginfeksi area
genital lakilaki dan perempuan, mulut, serta tenggorokan. Virus ini
terutama ditularkan melalui hubungan seksual. Varian yang sangat
berbahaya dari virus ini adalah HPV tipe 16, 18, 45 dan 56 (Bernard et al.,
2010).

Gambar 3.1 Human Papillomavirus (HPV)


HPV merupakan virus yang menginfeksi kulit (epidermis) dan
membran mukosa manusia, seperti mukosa oral, esofagus, laring, trakea,
konjungtiva, genital, dan anus. HPV tidak pernah menginfeksi mukosa
saluran cerna. Virus ini terutama ditularkan melalui hubungan seksual
termasuk oral sex, anal sex, dan hand sex. Virus ini juga dapat menular
melalui kontak nonseksual seperti transmisi vertikal ibu kepada bayinya
(sangat jarang terjadi), penggunaan alat-alat yang telah terkontaminasi
seperti handuk, sarung tangan, dan pakaian. Virus menular melalui kontak
langsung dengan lesi yang telah terinfeksi. Masa inkubasi HPV 3-4 bulan
(bervariasi 1 bulan hingga 2 tahun). HPV membelah berkali- kali bila
respon imun rendah, misalnya pada kasus HIV, merokok, hamil, dan
malnutrisi (Setiawati, 2014).
Infeksi HPV pada mukosa diklasifikasikan sebagai laten
(asimptomatik), subklinis, atau klinis. Lesi klinis sangat jelas, sedangkan
infeksi laten hanya terdeteksi dengan tes DNA virus. Lesi subklinis
diidentifikasi dengan aplikasi asam asetat 3-5% dan inspeksi di bawah
pembesaran. Sebagian besar infeksi HPV bersifat laten; infeksi yang
tampak secara klinis biasanya menghasilkan kutil daripada keganasan.
Condylomata acuminata (kutil kelamin) umumnya diakui sebagai
proliferasi jinak pada kulit anogenital dan mukosa yang dihasilkan dari
infeksi HPV. Kutil kelamin ditularkan melalui kontak seksual. Sekitar
dua pertiga orang yang melakukan kontak seksual dengan pasangan yang
terinfeksi mengembangkan kutil kelamin. Waktu inkubasi yang tepat
tidak diketahui tetapi diperkirakan 3 minggu hingga 8 bulan (Winner et
al., 2003).
HPV tipe 6 dan 11 dikenal sebagai HPV risiko rendah karena
infeksi dengan tipe-tipe ini memiliki potensi onkogenik yang rendah dan
biasanya menghasilkan pembentukan kondilomata dan lesi prakanker
tingkat rendah. HPV tipe 16 dan 18 telah muncul sebagai jenis HPV
risiko tinggi karena bertanggung jawab atas sebagian besar lesi
intraepitel tingkat tinggi yang dapat berkembang menjadi karsinoma,
terutama yang berada dalam kategori anogenital atau mukosa. Infeksi
HPV saja tidak menyebabkan transformasi ganas jaringan yang
terinfeksi. Kofaktor, seperti penggunaan tembakau, radiasi ultraviolet,
kehamilan, defisiensi folat, dan penekanan kekebalan, telah terlibat
dalam proses ini (Insinga et al., 2009).
Tabel 3.1 Penyakit yang disebabkan HPV
No Nongenital Cutaneous Disease HPV type
1 Common warts (verrucae vulgaris) 1, 2, 4, 26, 27, 29, 41, 57,
65, 75-78
2 Plantar warts (myrmecias) 1, 2, 4, 60, 63
3 Flat warts (verrucae planae) 3, 10, 27, 28, 38, 41, 49
4 Butcher’s warts (common warts of 1-4, 7, 10, 28
people who handle meat, poultry,
and fish)
5 Mosaic warts 2, 27, 57
6 Ungual squamous cell carcinoma 16
7 Epidermodysplasia 2, 3, 10, 12, 15, 19, 36, 46,
verruciformis(benign) 47, 50
8 Epidermodysplasia 5, 8-10, 14, 17, 20-25, 37,
verruciformis(malignant or benign) 38
9 Nonwarty skin lesions 37, 38
No Nongenital Mucosal Disease HPV type
1 Respiratory papillomatosis 6, 11
2 Squamous cell carcinoma of the 6, 11, 16, 18
lung
3 Laryngeal papilloma (recurrent 2, 6, 11, 16, 30, 40, 57
respiratory papillomatosis)
4 Laryngeal carcinoma 6, 11
5 Maxillary sinus papilloma 57
6 Squamous cell carcinoma of the 16, 18
sinuses
7 Conjunctival papillomas 6, 11
8 Conjunctival carcinoma 16
9 Oral focal epithelial hyperplasia 13, 32
(Heck disease)
10 Oral carcinoma 16, 18
11 Oral leukoplakia 16, 18
12 Squamous cell carcinoma of the 16, 18
esophagus
No Anogenital Disease HPV Type
1 Condylomata acuminata 1-6, 10, 11, 16, 18, 30, 31,
33, 35, 39-45, 51-59, 70, 83
2 Bowenoid papulosis 16, 18, 34, 39, 40, 42, 45
3 Bowen disease 16, 18, 31, 34
4 Giant condylomata (Buschke- 6, 11, 57, 72, 73
Löwenstein tumors)
5 Unspecified intraepithelial 30, 34, 39, 40, 53, 57, 59,
neoplasia 61, 62, 64, 66-69
6 Low-grade squamous intraepithelial 6, 11, 16, 18, 26, 27, 30, 31,
lesions (LGSIL) 33-35, 40, 42-45, 51-58, 61,
62, 67-69, 71-74, 79, 81-84
7 High-grade squamous 6, 11, 16, 18, 31, 33, 35, 39,
intraepithelial lesions (HGSIL) 42, 44, 45, 51, 52, 56, 58,
59, 61, 64, 66, 68, 82
8 Carcinoma of vulva 6, 11, 16, 18
9 Carcinoma of vagina 16
10 Carcinoma of cervix 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45,
51, 52, 56, 58, 59, 66, 68,
70, 73, 82
11 Carcinoma of anus 16, 31, 32, 33
12 Carcinoma in situ of penis 16
(erythroplasia of Queyrat)
13 Carcinoma of penis 16, 18

2. Vaksin HPV
a. 9vHPV (Gardasil 9)
Baru disetujui pada tahun 2014, vaksin HPV 9-valent (Gardasil
9 [9vHPV]) adalah satu-satunya vaksin yang tersedia di Amerika
Serikat yang terbukti mengurangi risiko kanker tertentu dan lesi
prakanker pada pria dan wanita berusia 9-45 tahun. Vaksin 9vHPV
mencakup subtipe HPV 6, 11, 16, 18, 31, 33, 45, 52, dan 58. Cervarix
(2vHPV) dan Gardasil (4vHPV) dihentikan di Amerika Serikat pada
Oktober 2016. Anak-anak dan remaja berusia 15 tahun dan yang lebih
muda membutuhkan dua, bukan tiga, dosis vaksin 9vHPV;
rekomendasi ACIP ini berasal dari imunogenisitas vaksin yang
ditingkatkan pada praremaja dan remaja berusia 9-14 tahun. Jadwal
untuk remaja yang lebih tua dan dewasa muda berusia 15-45 tahun
adalah tiga suntikan dalam 6 bulan (Petrosky et al., 2015).
Persetujuan untuk orang dewasa berusia hingga 45 tahun
didasarkan pada studi sekitar 3.200 wanita berusia 27-45 tahun yang
dipantau selama rata-rata 3,5 tahun. Vaksin 9vHPV 88% efektif dalam
mencegah gabungan titik akhir infeksi persisten, kutil kelamin, lesi
prakanker vulva dan vagina, lesi prakanker serviks, dan kanker serviks
terkait dengan jenis HPV yang dicakup oleh vaksin. Efektivitas
9vHPV pada pria berusia 27-45 tahun disimpulkan dari data yang
dijelaskan tersebut pada wanita, serta data efikasi pada pria yang lebih
muda (usia 16-26 tahun) dan data imunogenisitas dari uji klinis di
mana 150 pria berusia 27-45 tahun tahun menerima rejimen 3 dosis
selama 6 bulan (FDA, 2018).
Vaksin ini paling efektif bila diberikan sebelum dimulainya
aktivitas seksual. Efektivitas biaya dapat dimaksimalkan ketika
vaksinasi diberikan sejak usia 12 tahun. Dampaknya pada kejadian
kanker serviks tidak akan terlihat selama bertahun-tahun. Efektivitas
akan tergantung pada durasi kekebalan dan akan dioptimalkan dengan
mencapai cakupan maksimum populasi target. Vaksinasi terhadap
jenis HPV tertentu paling efektif dalam mencegah infeksi dari virus ini
pada individu yang sebelumnya tidak terinfeksi jenis HPV tersebut
(Haug, 2008).
b. 4vHPV (Gardasil)
Vaksin HPV Gardasil dapat diberikan pada pria dan wanita,
fungsinya untuk mencegah kanker serviks, kanker vagina, kanker
vulva pada wanita dan kutil genital pada pria dan wanita. 4vHPV
adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein HPV 11 L1 HPV (
GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV
tipe 6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor
Saccharomyces cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20μg
protein HPV 6 L1, 40 μgprotein HPV 11 L1, 20 μg protein HPV18 L1.
Tiap 0,5 ml mengandung 225 amorph aluminium hidroksiphosphatase
sulfat. Formula tersebut juga mengandung sodium borat. Vaksin ini
tidak mengandung timerasol dan antibiotika. Vaksin ini seharusnya
disimpan pada suhu 20 – 80 C (Setiawati, 2014).
Sebuah randomized, double-blind, placebo-controlled trial
menunjukkan bahwa vaksin HPV quadrivalent mencegah infeksi HPV
tipe 6, 11, 16, dan 18 dan mencegah perkembangan lesi genital
eksternal terkait pada pria berusia 16-26 tahun (Giuliano et al., 2011).
Dalam uji coba kontrol-plasebo double-blinded yang menguji vaksin
HPV kuadrivalen (HPV tipe 6, 11, 16, dan 18) pada 277 wanita muda
yang diamati rata-rata selama 3 tahun, wanita yang menerima vaksin
mengalami pengurangan 90% pada infeksi dengan 4 tipe HPV ini
dibandingkan dengan perempuan yang menerima plasebo (Villa et al.,
2005). Penelitian lain juga memberikan hasil yang baik, tetapi data
lebih lanjut tentang keamanan vaksin dan lamanya waktu respon imun
terhadap vaksin masih diperlukan (Read et al., 2011).
c. 2vHPV (Cervarix)
Vaksin Cervarix adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1
VLP vaksin yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Biological,
Rixensart, Belgium. Vaksin Cevarix hanya diberikan pada wanita dan
hanya untuk mencegah kanker serviks. Pada preparat ini, Protein L1
dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector dan VLP
dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan sehingga
menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun.
Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian
yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6
masing-masing 0,5 ml (Setiawati, 2014).

B. CA SERVIKS
1. Etiologi Ca Serviks
HPV, virus herpes dan Chlamydia trachomatis bertindak sebagai
ko-faktor dari karsinoma serviks. Infeksi Human papilloma virus (HPV)
telah dideteksi pada lebih dari 90% wanita dengan karsinoma skuamosa
serviks. Terdapat lebih dari 100 tipe HPV dan lebih dari 30 tipe yang
berpengaruh terhadap saluran genital bawah. Berdasarkan dari potensi
malignannya, subtipe HPV dikategorikan ke dalam tipe resiko rendah dan
resiko tinggi. Tipe resiko rendah adalah tipe 6, 11, 43 dan 44 yang
dikaitkan dengan kondiloma dan lesi NIS 1 sedangkan tipe resiko tinggi
yaitu tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73 dan 82
dikaitkan dengan lesi NIS 2 dan 3 serta ditemukan pada kanker invasif,
dua diantaranya adalah HPV 16 dan 18 yang ditemukan lebih dari 62%
pada karsinoma serviks (Sahli, 2007).
Peranan infeksi virus HIV terhadap patogenesis karsinoma serviks
tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa studi menunjukkan tingginya
prevalensi HPV pada wanita dengan HIV positif dibanding wanita dengan
HIV negatif. Kegagalan fungsi leukosit dapat meningkatkan aktivitas laten
HPV sehingga menghasilkan infeksi yang persisten (Garcia, 2009).
2. Staging Ca Serviks
The International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO) telah memberikan stadium bagi kanker ginekologi selama lebih
dari 50 tahun. Stadium kanker ini menggambarkan perluasan penyakit
yang penting dalam menegakkan diagnosis sebelum diterapi. Stadium
berdasarkan FIGO ini digunakan di seluruh dunia untuk membandingkan
gambaran klinik dan hasil dari terapi.

Gambar 3.2 Stadium Karsinoma Serviks


Tingkat keganasan klinik dibagi menurut klasifikasi FIGO 2018 sebagai
berikut:
Tabel 3.2 Klasifikasi FIGO 2018
3. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Keputihan
Keputihan merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah
yang keluar dari vagina ini makin lama makin banyak dan akan
berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal ini,
pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami
segera setelah sanggama (disebut sebagai perdarahan kontak)
merupakan gejala karsinoma (74-80%). Dapat pula terjadi
kehilangan berat badan (Eifel, 2008).
b. Perdarahan Pervaginam Abnormal
Perdarahan pervaginam abnormal (menoragia, metroragia,
perdarahan post koitus, ataupun perdarahan post menopause)
merupakan gejala yang paling sering ditemukan yang dapat berupa
darah bercampur lendir, bercak darah maupun perdarahan. Tipe
perdarahan yang paling sering adalah perdarahan post coitus tetapi
dapat juga terjadi sebagai perdarahan irreguler maupun perdarahan
post menopause. Perdarahan yang timbul akibat terbukanya
pembuluh darah makin lama akan lebih sering terjadi, juga di luar
sanggama (perdarahan spontan). Perdarahan spontan umumnya
terjadi terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut (II atau III),
terutama pada tumor yang bersifat eksofitik. Pada wanita usia
lanjut yang sudah tidak berhubungan seksual, atau janda yang
sudah menopause bilamana mengidap kanker serviks sering
terlambat meminta pertolongan. Perdarahan spontan saat defekasi
akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala,
memaksa mereka datang ke dokter. Adanya perdarahan spontan
pervaginam saat berdefekasi, perlu dicurigai kemungkinan adanya
karsinoma serviks tingkat lanjut. Adanya bau busuk yang khas
memperkuat dugaan adanya karsinoma (Benedet, 2000).
c. Anemia
Anemia akan menyertai sebagai akibat perdarahan
pervaginam yang berulang. Rasa nyeri bukan merupakan gejala
umum pada pasien dengan kanker serviks kecuali jika penyakit
telah meluas. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf
memerlukan pembiusan umum untuk dapat melakukan
pemeriksaan dalam yang cermat, khususnya pada lumen vagina
yang sempit dan dinding yang sklerotik dan meradang (Berek,
2007).
d. Gejala Metastasis Jauh
Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala-gejala yang
disebabkan oleh metastasis jauh. Sebelum tingkat akhir (terminal
stage), penderita meninggal akibat perdarahan yang eksesif dan
kegagalan faal ginjal (CRF= Chronic Renal Failure) akibat infiltrat
tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih yang
menyebabkan obstruksi total. Disuria merupakan gejala tidak
umumnya yang dijumpai. Pada wanita yang asimtomatik, kanker
serviks pada umumnya teridentifikasi pada saat dilakukan evaluasi
tes skrining sitologi yang abnormal (Rock, 2008). Tumor ini dapat
menginvasi kandung kemih dan rektum secara langsung. Gejala
dapat meningkat seperti konstipasi, hematuria, fistula dan obstruksi
ureter dengan atau tanpa hidroureter atau hidronefrosis. Adanya
trias edema, nyeri dan hidronefrosis mengindikasikan keterlibatan
dinding pelvis. Lokasi umum tempat metastasis jauh meliputi
kelenjar limfe extrapelvik, hepar, paru-paru dan tulang.

Gambar 3.3 Kanker Serviks


2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan stadium dini kanker serviks, penemuan
pada pemeriksaan fisik dapat normal. Banyak wanita yang menderita
kanker serviks tetapi tidak memiliki gejala selama berbulan-bulan.
Satu-satunya cara untuk mengetahui stadium dini penyakit ini adalah
dengan melakukan pemeriksaan pap smear rutin terhadap para wanita
dengan atau tanpa gejala ginekologi. Namun, dengan berkembangnya
penyakit ini, dapat ditemui pembesaran nodus limfe supraklavikular
atau limfadenopati inguinal, edema ekstremitas bawah, asites dan
redupnya suara napas pada pemeriksaan auskultasi mengindikasikan
adanya metastasis (Bradshaw, 2008).
Semua pasien yang diduga menderita kanker serviks harus
menjalani pemeriksaan genitalia eksterna dan pemeriksaan vagina
untuk melihat adanya lesi yang timbul. Dengan spekulum, serviks
dapat terlihat jelas jika kanker bersifat mikro infasif. Penyakit ini
memberikan penampakan klinis yang bervariasi. Lesi dapat tampak
sebagai pertumbuhan eksofitik ataupun endofitik, sebagai massa
polipoid, jaringan papilaris, serviks dengan barrel shape, sebagai
massa granular atau ulserasi serviks ataupun sebagai jaringan nekrotik.
Cairan yang cair, purulen ataupun darah dapat ditemui.

Gambar 3.4 Pemeriksaan dengan Spekulum


Pada pemeriksaan bimanual, dapat diraba pembesaran uterus
akibat dari pertumbuhan tumor. Hematometra dan piometra yang
banyak dapat memperluas kavum endometrium diikuti obstruksi jalan
ke luar oleh kanker serviks primer. Penyakit ini dapat meluas ke
daerah vagina sehingga perlu dilakukan pemeriksaan rektovagina.
Pada palpasi septum rektovagina, didapatkan septum yang tebal, keras
dan ireguler (Bradshaw, 2008).
Pada awalnya, semua wanita yang diduga menderita kanker
serviks harus menjalani pemeriksaan fisik secara umum yang meliputi
pemeriksaan nodus limfe supraklavikuler, axilar dan inguinofemoral
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya metastasis. Tumor tumbuh
meluas ke arah kavum endometrium, turun ke vagina, dan ke lateral ke
dinding pelvis. Jika penyakit ini menginvasi lumbosakral dan dinding
lateral pelvis, nyeri tulang pelvis kronik yang menjalar turun ke kaki
akan sangat menyiksa pasien dan mengindikasikan stadium lanjut
penyakit ini. Edema ekstremitas bawah mengindikasikan obstruksi
tumor terhadap aliran limfatik dan aliran vaskuler. Asites merupakan
gejala yang tidak umum dijumpai pada kanker serviks. Pada
pemeriksaan pelvis, spekulum dimasukkan ke dalam vagina dan
serviks diinspeksi di daerah yang dicurigai terdapat kanker serviks.
Jika terdapat kanker yang invasif, serviks terlihat menebal dan meluas
(Berek, 2007).
Pemeriksaan rektal juga harus dilakukan untuk mengetahui
konsistensi dan ukuran serviks, terutama pada pasien dengan
karsinoma endoservikal. Perluasan penyakit ini hingga ke parametrium
sangat bagus ditentukan dengan ditemukannya nodul di luar serviks
pada pemeriksaan rektal (Garcia, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
Tumor dapat berkembang di bawah mukosa ektoserviks dan
menginfiltrasi stroma serviks dan biasanya menyebabkan pembesaran
serviks. Permukaan serviks mungkin masih halus tetapi konsistensi
karsinoma serviks pada palpasi adalah bernodul-nodul. Ketika
pertumbuhan tumor jelas terlihat, biopsi serviks biasanya cukup untuk
diagnostik. Jika penampakan penyakit ini tidak terlihat, pemeriksaan
kolposkopi dengan biopsi serviks dan kuret endoservikal dianjurkan.
Jika diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui kolposkopi dan biopsi
langsung, konisiasi serviks mungkin diperlukan (Garcia, 2009).
Ketika diagnosis karsinoma serviks ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histologik, maka harus segera dilakukan evuluasi
terhadap semua organ pelvis untuk menentukan apakah tumor masih
terbatas di serviks atau telah meluas ke vagina, parametrium, kavitas
endometrium, kandung kemih, ureter ataupun rektum. Menurut
pedoman FIGO untuk stadium klinik, diagnostik untuk penyakit ini
meliputi urografi intravena, pemeriksaan sistoskopi dari kandung
kemih dan uretra, proktosigmoideskopi, barium enema, dan untuk
stadium dini, diperlukan pemeriksaan kolposkopi terhadap vagina dan
forniks. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati, foto
rongen dada serta CT-Scan abdomen juga perlu dicek untuk
mengetahui adanya proses metastasis (Bradshaw, 2008).
Ketika ditemukan adanya obstruksi ureter, tumor
diklasifikasikan sebagai lesi stadium IIIB, tanpa melihat ukuran dari
lesi primer. Adanya obstruksi ureter, baik hidronefrosis maupun
gangguan faal ginjal diindikasikan sebagai indikator prognosis jelek
berdasarkan klasifikasi FIGO. Fungsi ginjal yang meliputi
pemeriksaan ureum kreatinin memberikan informasi dasar sebelum
memberi terapi. Pemeriksaan urin lengkap juga penting mengetahhi
adanya albumin, sel darah putih maupun sel darah merah (Rock, 2008).
Pada wanita dengan tumor yang besar atau stadium lanjut,
mukosa kandung kemih juga harus diinspeksi secara sistoskopi untuk
melihat adanya kemungkinan edema bullosa yang mengindikasikan
obstruksi limfatik diantara dinding kandung kemih. Bukti adanya
tumor di kandung kemih harus dikonfirmasikan melalui biopsi
sebelum lesi diklasifikasikan ke dalam stadium IVA. Lesi mukosa
rektal juga membutuhkan biopsi melalui proktosigmoidoskopi karena
dihubungkan dengan proses inflamasi (Rock, 2008).
Pemeriksaan kolposkopi diwajibkan untuk pasien yang diduga
menderita kanker serviks invasif dini berdasarkan sitologi serviks dan
penampakkan serviks yang normal. Jika terdapat perdebatan tentang
kedalaman invasi berdasarkan biopsi serviks, dan jika stadium klinik
berada pada stadium IA1 atau IA2, pasien harus menjalani konisiasi.
Penemuan pada kolposkopi yang mengidentifikasi adanya invasi
adalah (Garcia, 2009):
a. Abnormalitas pembuluh darah
Pembuluh darah yang abnormal dapat melebar, bercabang ataupun
retikuler. Pembuluh darah yang melebar merupakan penemuan
pada kolposkopi yang paling umum ditemukan.
b. Kontur permukaan yang ireguler
Permukaan epithelium mengalami kehilangan daya kohesif
interseluler akibat hilangnya desmosom.
c. Perubahan Warna
Perubahan warna dapat terjadi akibat dari peningkatan vaskularitas,
nekrosis epitel permukaan, dan pada beberapa kasus memproduksi
keratin. Perubahan warna yang terjadi berupa kuning-orange
dibandingkan dengan warna pink pada epitel skuamosa yang intak
atau warna merah pada epitel endocervikal.
4. Tatalaksana Kanker Serviks
Stadium kanker serviks merupakan faktor yang sangat penting
dalam pemilihan jenis pengobatan. Beberapa faktor lain yang berperan
dalam pemilihan jenis terapi bagi kanker serviks adalah lokasi kanker
serviks dalam uterus, tipe kanker sel skuamosa atau adenokarsinoma),
umur, kondisi fisik secara keseluruhan, dan keinginan untuk memiliki
anak (American Cancer Society, 2009).
Tabel 3.3 Penanganan Umum terhadap Ca Serviks Invasif
Stadium Ukuran Terapi/Penanganan
Stadium IA1 Kedalaman invasi ≤ 3 Konisiasi vagina, Histerektomi
mm, tidak ada LVSI sederhana (histerektomi tipe 1)
Kedalaman invasi 3 Trakelektomi radikal atau
mm, terdapat LVSI histerektomi radikal tipe 2
dengan diseksi kelenjar limfe
Stadium IA2 Kedalaman invasi 3-5 Radikal trakelektomi atau
mm radikal histerektomi tipe 2
dengan pelvis
Stadium IB1 Kedalaman invasi > 5 Trakelektomi radikal atau
mm, < 2 cm histerektomi tipe III dengan
limfadenektomi pelvis
Stadium IB2 Kedalaman invasi > 5 Histerektomi radikal tipe III
mm, > 2 cm atau dengan limfadenektomi
pelvis bilateral
Kedalaman invasi > 5 Histerektomi radikal tipe III
mm atau trakelektomi,
limfadenektomi pelvis bilateral
dengan iradiasi post operatif,
ataupun plus dan minus
kemoterapi
Stadium IIA Histerektomi radikal tipe III
dengan limfadenektomi pelvis
dan para-aortik atau
kemoradiasi primer
Stadium IIB, IIIA, IIIB Kemoradiasi Primer
Stadium IVA Kemoradiasi primer atau
eksenterasi primer
Stadium IVB Kemoterapi primer dan radiasi
LVSI, invasi ruang
limfovaskuler
a. Stadium 0 (karsinoma in situ)
Walaupun sistem stadium mengklasifikasikan karsinoma in situ
sebagai fase paling awal dari kanker, beberapa dokter berpendapat itu
adalah lesi pra kanker. Hal ini disebabkan karena sel kanker pada
karsinoma in situ hanya berada pada permukaan mukosa serviks dan tidak
tumbuh ke lapisan dalam dari serviks. Pilihan pengobatan untuk karsinoma
sel skuamosa in situ sama dengan pengobatan lesi pra kanker (displasia
atau neoplasia intraepithelial serviks). Pilihan pengobatan meliputi
cryosurgery, operasi laser, PEEP dan konisiasi pisau dingin. Untuk
adenokarsinoma in situ, dirokemedasikan untuk dilakukan histerektomi
(Rock, 2008).
b. Stadium IA
Pada tahun 1996, The National Institutes of Health (NIH)
mengadakan konferensi dengan para ahli untuk membahas tentang kanker
serviks. Setelah melalui perdebatan yang panjang dan persentasi dari
berbagai ahli, mereka menyimpulkan bahwa setiap pasien dengan
karsinoma sel skuamosa dengan invasi stroma 3 mm dan konisiasi negatif
hampir 100% disembuhkan dengan histerektomi sederhana atau konisiasi
saja. Stadium IA dibagi ke dalam 2 stadium yaitu stadium IA1 dan
stadium IA2.
 Stadium IA1
Untuk stadium ini, terdapat tiga pilihan terapi yaitu:
- Jika pasien masih ingin memiliki anak, pertama kanker
dihilangkan dengan biopsi kerucut dan setelah itu kontrol kembali
untuk melihat apakah kanker tumbuh kembali.
- Jika biopsi kerucut tidak menghilangkan semua sel kanker, uterus
akan diangkat (histerektomi).
- Jika sel kanker telah menginvasi pembuluh darah atau pembuluh
limfe, maka dapat dilakukan histerektomi radikal bersamaan
dengan pengangkatan kelenjar getah bening pelvis.
 Stadium IA2
Untuk stadium ini terdapat tiga pilihan terapi :
- Histerektomi radikal modifikasi (Tipe II) dengan pengangkatan
kelenjar getah bening pelvis bilateral.
- Jika ditemukan faktor resiko patologik yang tinggi pada spesimen
yang diambil saat operasi, radiasi adjuvant (radiasi eksternal dan
radiasi internal) atau kemoradiasi direkomendasikan.
- Trakelektomi radikal dengan pengangkatan kelenjar getah bening
pelvis dapat dilakukan jika pasien masih ingin memiliki anak
(Berek, 2007).
c. Stadium II
 Stadium IIA
Terapi pada stadium ini tergantung ukuran tumor:
- Pilihan pertama untuk terapi adalah brachytherapy dan radioterapi
eksternal. Terapi ini sangat sering direkomendasikan jika ukuran
tumor leibh besar dari 4 cm (kira-kira 1 ½ inci). Kemoterapi
dengan cisplatin dapat diberikan bersamaan dengan radioterapi.
- Beberapa ahli merekomendasikan untuk histerektomi setelah
radioterapi selesai.
- Jika ukuran tumor kurang dari 4 cm, dapat diterapi dengan
histerektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening
pelvis (dan beberapa area para aortik). Jika jaringan yang
dihilangkan pada saat operasi menunjukkan sel kanker pada
pinggir tumor atau sel kanker pada kelenjar getah bening, maka
radioterapi akan diberikan bersamaan dengan kemoterapi (Berek,
2007).
 Stadium IIB
Kombinasi radioterapi internal dan eksternal merupakan terapi yang
biasanya digunakan pada stadium ini. Radioterapi diberikan dengan
obat kemoterapi cisplatin. Kadang-kadang obat kemoterapi lainnya
diberikan bersamaan dengan cisplatin (American Cancer Society,
2009).
d. Stadium III dan IVA
Kombinasi radioterapi eksternal dan internal yang diberikan
bersamaan dengan cisplatin merupakan terapi yang direkomendasikan
untuk stadium ini. Jika sel kanker telah menyebar ke nodus limfe
(terutama pada bagian atas abdomen) maka itu menandakan bahwa sel
kanker telah menyebar ke area lain dalam tubuh. Beberapa ahli
menganjurkan untuk memeriksa kelenjar getah bening sebelum
memberikan radiasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
operasi. Cara lain adalah dengan CT Scan atau MRI untuk melihat
seberapa besar kelenjar getah bening tersebut. Kelenjar getah bening yang
besar dari ukuran semestinya biasanya memiliki sel kanker sehingga perlu
dilakukan biopsy (American Cancer Society, 2009).
e. Stadium IVB
Pada stadium ini, sel kanker telah menyebar keluar dari pelvis ke
area lain dalam tubuh. Stadium ini biasanya dianggap tidak dapat diobati
lagi. Pilihan terapi meliputi radioterapi untuk meringankan gejala yang
menyebar secara lokal (dekat dengan serviks) ataupun yang bermetastasis
jauh. Kemoterapi sering direkomendasikan untuk stadium ini. Regimen
standar yang paling sering digunakan adalah campuran platinum (seperti
cisplatin atau carboplatin) bersamaan dengan obat lainnya seperti
paclitaxel, gemcitabine, topotecan, atau vinorelbine (American Cancer
Society, 2009).
Pada klinik IB dan IIA dilakukan histerektomi radikal dengan
limfadenektomi panggul. Pasca bedah biasanya dilanjutkan dengan
penyinaran, tergantung ada atau tidak adanya sel tumor dalam nodus limfe
regional yang diangkat. Pada tingkat IIB, III dan IV tidak dibenarkan
melakukan tindakan bedah, untuk ini primer adalah radioterapi. Pada
tingkat klinik IVB dan IVB penyinaran hanya bersifat paliatif. Pemberian
kemoterapi dapat dipertimbangkan. Pada penyakit yang kambuh satu tahun
sesudah penanganan lengkap, dapat dilakukan operasi jika terapi terdahulu
adalah radiasi dan prosesnya sudah jauh atau operasi tidak mungkin
dilakukan, harus pilih kemoterapi bila syarat-syaratnya terpenuhi.
Histerektomi sederhana tidak adekuat untuk penanganan stadium IB
(Mardjikoen, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. Cervical Cancer. USA: American Cancer Society;


2009.

Benedet dkk. Cancer of The Cerviks Uteri. In: Staging Classifications and
Clinical Practice Guidelines og Gynaecologic Cancers. USA: Elsevier; 2000.

Berek JS. Cervical and Vaginal Cancer. In: Berek & Novak’s Gynecology
Fourteenth Edition. Boston: Lippincot Williams & Wilkins; 2007.

Bernard HU, Burk RD, Chen Z, van Doorslaer K, Hausen Hz, de Villiers EM.
Classification of papillomaviruses (PVs) based on 189 PV types and proposal
of taxonomic amendments. Virology. 2010 May 25. 401(1):70-9.

Bradshaw, Cunningham, Hoffman dkk. Cervical Cancer. In: William


Gynecology. USA: McGraw-Hill’s; 2008.

Eifel, dkk. Cervical Cancer. In: Gynecologic Cancer. USA Springer; 2008. Garcia
A Cervical Cancer. 2009. Available from:
http://emedicine.com/article/253513-overview.

Giuliano AR, Palefsky JM, Goldstone S, et al. Efficacy of quadrivalent HPV


vaccine against HPV Infection and disease in males. N Engl J Med. 2011 Feb
3. 364(5):401-11.

Haug CJ. Human papillomavirus vaccination--reasons for caution. N Engl J Med.


2008 Aug 21. 359(8):861-2.

Immunogenicity and Tolerability of Broad Spectrum Human Papillomavirus


(HPV) Vaccine in Adult and Young Adult Women (V503-004) -
NCT03158220. ClinicalTrials.gov. 2018 March 13; Accessed: 2018 Oct 11.

Insinga RP, Dasbach EJ, Elbasha EH. Epidemiologic natural history and clinical
management of Human Papillomavirus (HPV) Disease: a critical and
systematic review of the literature in the development of an HPV dynamic
transmission model. BMC Infect Dis. 2009 Jul 29. 9:119.

Mardjikoen P. Tumor Ganas Alat Genital. Dalam: Ilmu Kandungan. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2007.

Petrosky E, Bocchini JA, Hariri S, Chesson H, Curtis CR, Saraiya M, et al. Use of
9-Valent Human Papillomavirus (HPV) Vaccine: Updated HPV Vaccination
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices MMWR. 2015;64(11);300-304.
Read TR, Hocking JS, Chen MY, Donovan B, Bradshaw CS, Fairley CK. The
near disappearance of genital warts in young women 4 years after
commencing a national human papillomavirus (HPV) vaccination
programme. Sex Transm Infect. 2011 Dec. 87(7):544-7.

Rock J, Jones H. Cancer of the Cerviks. In: Te Linde’s Operative Gynecology


Tenth Edition. Boston: Lippincot Williams & Wilkins; 2008.

Sahli MF. Karsinoma Serviks Uteri Deteksi Dini dan Penanggulangannya.


Cermin Dunia Kedokteran. 2007.

Saslow D, Andrews KS, Manassaram-Baptiste D, Loomer L, Lam KE, Fisher-


Borne M, et al. Human papillomavirus vaccination guideline update:
American Cancer Society guideline endorsement. CA Cancer J Clin. 2016
Sep. 66 (5):375-85.

U.S. Food and Drug Administration. FDA approves expanded use of Gardasil 9 to
include individuals 27 through 45 years old. FDA News Release. 2018 Oct
05.

Villa LL, Costa RL, Petta CA, et al. Prophylactic quadrivalent human
papillomavirus (types 6, 11, 16, and 18) L1 virus-like particle vaccine in
young women: a randomised double-blind placebo-controlled multicentre
phase II efficacy trial. Lancet Oncol. 2005 May. 6(5):271-8.

Winer RL, Lee SK, Hughes JP, Adam DE, Kiviat NB, Koutsky LA. Genital
human papillomavirus infection: incidence and risk factors in a cohort of
female university students. Am J Epidemiol. 2003 Feb 1. 157(3):218-26.

You might also like