You are on page 1of 5
EFEKTIVITAS KRIM BUTENAFIN 1% PADA PENGOBATAN TINEA KRURIS The Effectivity of 1% Burenafin Cream for the Treatment of Tinea Cruris Trijanto Agoeng N.1 Suyoto.' Lamsudin R? dan Zulaela? Program Studi Ilmu Kedokteran Klinik Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada ABSTRACT The prevalence of tinea cruris in Sardjito Hospital is still high. The burden of illness of tinea cruris was health, social and economic. Topical treatment could cut the mode of transmission. There is no definite standard treatment for tinea cruris in Sardjito Hospital. The purpose of the study was to assess the effectivity of once-daily 2 weeks application of topical 1% butenafine cream as the treatment of tinea cruris. A randomized clinical trial was performed. Patients were tandomly selected to apply butenafine or bifonazole once-daily for 14 days and were periodically assessed until 56 days. The treatment effectiveness was compared after 2 week application. The effectivity of 1% butenafine cream was 10% more than 1% bifonazole cream at the end of treatment. It was concluded that topical 1% butenafine cream more effective than 1% bifonazole cream at the end of treatment. Keywords: butenafine — effectivity — tinea cruris. PENGANTAR Tinea kruris adalah dermatofitosis yang mengenai kulit pangkal paha, regio genital dan perianal. Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial pada lapisan keratin kulit, kuku atau rambut yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Dermatofita termasuk dalam kelas fungi imperfecti (dermatomycetes) dan terbagi menjadi tiga genera yaitu microsporum, trichophyton dan epidermophyton.*** Keluhan utama tinea kruris adalah rasa gatal, kadang rasa nyeri bila ada infeksi sekunder. Lesi berbatas tegas, tepi meninggi yang dapat berupa papulovesikel eritematosa atau kadang terlihat pustula. Bagian tengah menyembuh berupa daerah coklat kehitaman berskuama putih. M456 Diagnosis tinea kruris dibuat berdasarkan gambaran klinis yang dikuatkan dengan pemeriksaan mikroskopis kerokan skuama dan kultur. 1) Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dr. Sardjito Yogyakarta 2).Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 424 SAINS KESEHATAN, 16 (3), September 2003 Tinea kruris tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Tinea kruris menduduki tempat kedua tersering pada tahun 1994 dan tempat pertama tersering tahun 1999 dari seluruh dermatofitosis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (830 kasus baru dan lama tahun 1994 dan 1872 kasus baru dan lama tahun 1999). Tinea kruris bukan merupakan penyakit berbahaya akan tetapi tetap menimbulkan beban terhadap penderita baik, kesehatan, sosial maupun ekonomi. Adanya rasa gatal yang mengganggu akan men- dorong penderita memeriksakan diri ke rumah sakit, tentunya hal ini memerlukan waktu yang biasanya pagi hari, sehingga penderita kehilangan waktu untuk bekerja disamping juga memerlukan uang, baik untuk periksa maupun untuk membeli obat. Standar terapi untuk tinea kruris di RSUP Dr. Sardjito sampai saat ini belum pasti. Kebanyakan penderita yang datang ke poliklinik mendapatkan terapi baik topikal maupun sistemik (67%), dan topikal saja (33%). Efek samping akibat penggunaan obat sistemik lebih sering terjadi dan lebih berat dibanding obat topikal.” Kepatuhan penderita dalam mengoleskan obat dapat mempe- ngaruhi keberhasilan terapi. Obat topikal untuk infeksi jamur superfisial idealnya efisius pada konsentrasi rendah, jangka terapi pendek, penggunaan sekali sehari dan mempunyai efek samping yang rendah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas krim butenafin 1% pada pengobatan tinea kruris, jika diaplikasikan sekali sehari selama dua minggu. CARA PENELITIAN Subyek penelitian terdiri atas 204 penderita tinea kruris yang memenuhi kriteria: (1) Berusia 15-65 tahun; (2) Pemeriksaan klinis didapatkan tanda dan gejala klinis dengan hasil penjumlahan nilai klinis lebih dari 6; (3) Pemeriksaan kerokan skuama dengan pengecatan KOH didapatkan hifa dan kultur tumbuh; (4) Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan, diikutkan penelitian. Penderita dengan: (1) Diabetes mellitus; (2) Hipersensitif dengan butenafin atau bifonasol; (3) Ibu hamil dan menyusui; (4) Penderita menggunakan obat anti jamur oral terakhir kurang dari 4 minggu dan anti jamur topikal kurang dari 2 minggu sebelum ikut penelitian; (5) Penderita menggunakan obat kortikosteroid sistemik maupun topikal; tear, Trijanto Agoeng N. et al., Efektivitas Krim Butenafin 425 Rancangan uji klinis dengan desain paralel dipilih pada penelitian ini, dimana setiap subyek hanya akan mendapat satu macam intervensi, Penelitian ini membandingkan dua macam obat, sehingga terdapat dua kelompok subyek yang masing-masing kelompok akan memperoleh perlakuan yang berbeda. Kelompok pertama akan mendapatkan putenafin saja dan kelompok kedua mendapatkan bifonasol saja. Subyek ditempatkan secara acak berdasarkan tabel random dengan teknik randomisasi sederhana (simple randomization), sehingga akan memberi kesempatan yang sama pada setiap subyek untuk menerima terapi butenafin (perlakuan) atau bifonasol (kontrol). Penempatan acak dari subyek dipilih karena pengacakan menentukan penempatan pasien ke satu kelompok atau kelompok lainnya tanpa adanya bias. Pasien di satu kelompok, rata-rata mempunyai sifat yang sama dengan pasien kelompok lainnya. Penderita diminta mengoleskan krim sekali sehari sesudah mandi, dengan jalan mengoleskan tipis sampai warna krimnya tidak terlihat, pada seluruh lesi sampai 3 cm di luar lesi, selama dua minggu. Penderita juga diminta menandai kartu kontrol ketaatan pengobatan setiap kali penderita mengoleskan obat, banyaknya kolom kosong yang tidak ditandai menunjukkan berapa kali penderita lupa mengoleskan obat. Banyaknya obat yang digunakan diukur dengan menimbang berat tube pada awal terapi dan akhir terapi, dengan mempertimbangkan luas lesi penderita. Evaluasi klinis, laboratoris dan efek samping pengobatan dilakukan pada hari ke 7, 14, 28 dan 56. Variabel adalah karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu subyek ke subyek lainnya. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah: 1. Evaluasi Klinis. Gatal, 0: tidak ada gatal, 1: kadang-kadang, rasa gatal ringan, tak mengganggu aktifitas, 2: sering, berat, sampai mengganggu aktifitas. Papul, 0: tidak ada papul, 1: distribusi tak merata, 2: distribusi merata bentuk plakat. Eritema, 0: tidak ada, 1: kemerahan muda, 2: kemerahan tebal mudah dilihat. Skuama, 0: tidak ada, 1: jarang, tipis, 2: tebal, banyak, luas. Variabel tersebut dipilih dengan alasan: (1) gatal merupakan keluhan utama sebagian besar penderita; (2) Papul, skuama dan eritem merupakan tanda Klinis yang paling sering ditemukan pada tinea kruris. Sedangkan gradasi 0, 1 dan 2, dipilih karena mudah, dengan batas yang lebih tegas antar gradasi sehingga perbedaan penilaian antar Klinisi dapat dikurangi. 426 SAINS KESEHATAN, 16 (3), September 2003 3. Pemeriksaan kultur jamur: kultur jamur tumbuh (kultur positig), kultur jamur tidak tumbuh (kultur negatif). Batasan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Sembuh; hasil evaluasi pengobatan yang dinilai pada hari ke 7 dan 14, yang memenuhi kriteria sembuh klinis apabila tidak didapatkan Jagi tanda klinis baik eritem, papul maupun skuama dan sembuh mikologis apabila pada pemeriksaan kerokan skuama dengan KOH tidak didapatkan hifa dan kultur tidak tumbuh. 2. Efek samping: efek yang tidak dikehendaki yang timbul sewaktu atau setelah menggunakan obat yang diuji. 3. Terapi efektif: dikatakan efektif bila pada pemeriksaan KOH dan kultur didapatkan hasil negatif, dengan tanda dan gejala Klinis maksimal 2. Analisis statistik student's t test digunakan untuk menilai perbedaan terata tanda dan gejala Klinis antara kelompok butenafin dibanding bifonasol. chi-square test digunakan untuk menilai perbedaan kesembuhan mikologis dan efektifitas terapi antara kelompok butenafin dibanding bifonasol. Untuk mengetahui bahwa perbedaan rerata tanda dan gejala klinis, kesembuhan mikologis serta efektifitas terapi tidak dipengaruhi oleh karakteristik subyek, luas lesi dan jumlah pemakaian obat diantara kelompok butenafin dan bifonasol, maka dilakukan analisa dengan student's t test dan chi-square test terlebih dahulu, terhadap karakteristik subyek. HASIL DAN PEMBAHASAN Dua ratus empat penderita tinea kruris yang memenuhi syarat dan bersedia ikut penelitian, diikutkan dalam penelitian. Drop out yang terjadi diharapkan kurang dari 10% dan penderita terbagi ke dalam kelompok butenafine dan bifonasol dengan jumlah yang seimbang. Karakteristik subyek penderita diharapkan terbagi merata pada dua kelompok atau tidak ada karakteristik subyek yang berbeda bermakna, yang dapat mengganggu hasil karena menimbulkan bias. Trijanto Agoeng N. et al., Efektivitas Krim Butenafih 427 Tabel 1. Karakteristik subyek kelompok butenafine dan bifonasol | Butenafin Bifonasol | p value Umur (tahun) a b >0.05 Jenis kelamin, pria/wanita a/b c/d >0.05 Lama sakit (bulan) a b >0.05 Tinggi badan a b >0.05 Berat badan a b >0.05 Luas lesi depan (cm?) a b >0.05 Luas lesi belakang (cm?) a b 30.05 Luas Jesi total (cm?) a b 50.08 Penggunaan krim minggu kei (gram) a b >0.05 Penggunaan krim minggu ke2 (gram) a b >0.05 Total penggunaan (gram) a b >0.05 Status klinis pada awal penelitian a b >0.05 Jumlah relapse a b >0.05 : Diharapkan ada perbedaan kesembuhan secara klinis dan miko- eee minggu a antara kelompok butenafine dan bifonasol. fektifitas terapi i i < eel ‘api pada akhir pengobatan diharapkan ada perbedaan 128 = ° S a ~~ butenafin ~*~ bifonasol NVR @ of o Kesembuhan mikotogis (%) ° minggu 1 minggu2 minggu4 minggu 8 Minggu kontrol Gambar 1. Grafik kesembuhan mikologis k i pleura diharaph 7 logis kelompok butenafine dan

You might also like