You are on page 1of 10

UU NO.

11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK


Sejarah UU ITE
UU ITE mulai dirancang pada bulan maret 2003 oleh kementerian Negara komunikasi dan
informasi (kominfo). pada mulanya RUU ITE diberi nama undang-undang informasi
komunikasi dan transaksi elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan Tim dari universitas
yang ada di Indonesia yaitu Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB)
dan Universitas Indonesia (UI).
Pada tanggal 5 september 2005 secara resmi presiden Susilo Bangbang Yudhoyono
menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat No. R/70/Pres/9/2005. Dewan
Perwakilam Rakyat (DPR) merespon surat Presiden No. R/70/Pres/9/2005. Dan membentuk
Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10 (sepuluh) Fraksi di
DPR RI.
Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus DPR RI dengan pemerintah
yang diwakili oleh Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad
Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) membahas DIM RUU ITE.Tanggal
29 Juni 2007 sampai dengan 31 Januari 2008 pembahasan RUU ITE dalam tahapan
pembentukan dunia kerja (panja).sedangkan pembahasan RUU ITE tahap Tim Perumus
(Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak tanggal 13 Februari 2008
sampai dengan 13 Maret 2008.
18 Maret 2008 merupakan naskah akhir UU ITE dibawa ke tingkat II sebagai pengambilan
keputusan.25 Maret 2008, 10 Fraksi menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-
Undang. Selanjutnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UU ITE
menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008.
Beberapa tahun setelah itu terjadi beberapa revisi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kementerian Komunikasi dan Informatika
menggelar konferensi pers terkait Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) bersama dengan pemerintah.
Naskah Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada
tanggal 25 November 2016. UU ITE baru ini resmi berubah menjadi Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016. Sebelumnya naskah Undang-Undang tersebut telah disahkan pada Rapat
Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016.

UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur


segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap
pelaku cybercrime. Nah kalau memang benar cyberlaw, perlu kita diskusikan apakah kupasan
cybercrime sudah semua terlingkupi? Di berbagai literatur, cybercrime dideteksi dari dua
sudut pandang:
1. Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas: Pembajakan,
Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email
Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang
Menyesatkan, dsb.
2. Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi Sebagai Sasaran: Pencurian
Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer, Pembobolan/Pembajakan
Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan Berhubungan Dengan Nama
Domain, dsb.

MUATAN UU ITE
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE)
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi
elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai
informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti
UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini
dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain: 1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai
alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE); 2. tanda tangan elektronik (Pasal 11
& Pasal 12 UU ITE); 3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13
& Pasal 14 UU ITE); dan 4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara
lain: 1. konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,
penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan
Pasal 29 UU ITE); 2. akses ilegal (Pasal 30); 3. intersepsi ilegal (Pasal 31); 4. gangguan
terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE); 5. gangguan terhadap sistem (system
interference, Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device,
Pasal 34 UU ITE)
Bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan
cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang
belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau dirangkum
adalah sebagai berikut:
1. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan
konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework
Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
2. Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
3. UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang
berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di
Indonesia
4. Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
5. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
6. Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
7. Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
8. Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
9. Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
10. Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
11. Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
12. Pasal 33 (Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
13. Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))
Perbuatan Dilarang dan Ketentuan Pidana:
1. Indecent Materials/Ilegal Content (Konten Ilegal). Sangsi: Pidana penjara paling lama
6-12 tahun dan/atau denda antara RP. 1 M – Rp. 2 M (Pasal 45 UU ITE).
2. Ilegal Access (Akses Ilegal). Sangsi: Pidana penjara paling lama 6-8 tahun dan/atau
denda antara Rp. 600 juta – Rp. 700 juta (pasal 46 UU ITE).
3. Ilegal Intercedption (Penyadapan Ilegal). Sangsi: Pidana penjara paling lama 10 tahun
dan/atau denda paling besar Rp. 800 jt (Pasal 47 UU ITE).
4. Data Interference (Gangguan Data). Sangsi: Pidana penjara max 8-10 Tahun dan/atau
denda antara Rp. 1 M – Rp. 5 M (pasal 48 UU ITE).
5. System Interference (Sistem Interference). Sanksi: pidana penjara paling lama 10
tahun dan/ atau denda paling besar RP. 10 M (pasal 49 UU ITE).
6. Missue of devices (Penyalahgunaan Perangkat). Sanksi: pidana penjara paling lama
10 tahun dan/atau denda paling besar Rp. 10 M (pasal 50 UU ITE).
7. Computer related fraud dan forgery (Penipuan dan Pemalsuan yang berkaitan dengan
komputer). Sanksi: Pidana penjara paling lama, 12 tahun dan/atau denda paling besar
12 M (pasal 51 UU ITE).

Alasan Pelaksaan UU ITE


Salah satu alasan pembuatan UU ITE adalah bahwa pengaruh globalisasi dan
perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan
yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.
Kemunculan UU ITE membuat beberapa perubahan yang signifikan, khususnya dalam dunia
telekomunikasi, seperti:

 Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara.
 Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya terbatas pada lingkup
telekomunikasi itu saja, maleinkan sudah berkembang pada TI.
 Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut untuk mengikuti norma dan
kebijaksanaan yang ada di Indonesia.
UU ITE sudah cukup komprehensif dalam mengatur informasi elektronik dan transaksi
elektronik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa cakupan materi UU ITE yang merupakan
terobosan baru yang sudah dijelaskan sebelumnya. Beberapa hal yang belum diatur secara
spesifik diatur dalam UU ITE, akan diatur dalam Peraturan Pemeritanh dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal Krusial
Pasal yang boleh disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27-29, wa bil khusus
Pasal 27 pasal 3 tentang muatan pencemaran nama baik. Terlihat jelas bahwa Pasal tentang
penghinaan, pencemaran, berita kebencian, permusuhan, ancaman dan menakut-nakuti ini
cukup mendominasi di daftar perbuatan yang dilarang menurut UU ITE. Bahkan sampai
melewatkan masalah spamming, yang sebenarnya termasuk masalah vital dan sangat
mengganggu di transaksi elektronik. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga dipermasalahkan juga oleh
Dewan Pers bahkan mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi. Perlu dicatat bahwa
sebagian pasal karet (pencemaran, penyebaran kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah
dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan dengan peraturan
dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE (Peraturan Menteri, dsb) adalah masalah:
 Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh
perbankan, asuransi, dsb
 Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan
dan penyebarannya
 Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China
dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child
Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili
dan pengembang situs porno anak-anak

Manfaat UU ITE
Beberapa manfaat dari UU. No 11 Tahun 2008 tentang (ITE), diantaranya:

 Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara


elektronik.
 Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia
 Sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi
 Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Kelemahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi


Elektronik

 Kelemahan pertama: proses penyusunan.

Kelemahan pertama dari UU ITE terletak dari cara penyusunannya itu sendiri, yang
menimbulkan kontradiksi atas apa yang berusaha diaturnya. UU ITE yang merupakan
UU pertama yang mengatur suatu teknologi moderen, yakni teknologi informasi, masih
dibuat dengan menggunakan prosedur lama yang sama sekali tidak menggambarkan
adanya relevansi dengan teknologi yang berusaha diaturnya. Singkat kata, UU ITE
waktu masih berupa RUU relatif tidak disosialisasikan kepada masyarakat dan
penyusunannya masih dipercayakan di kalangan yang amat terbatas, serta
peresmiannya dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu melibatkan secara meluas
komunitas yang akan diatur olehnya. Padahal, dalam UU ini jelas tercantum bahwa:
Pasal 1 ayat 3 Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau
menyebarkan informasi. Ini berarti seyogyanya dalam penyusunan UU ini
memanfaatkan teknologi informasi dalam mengumpulkan pendapat mengenai
kebutuhan perundangannya, menyiapkan draftnya, menyimpan data elektroniknya,
mengumumkannya secara terbuka, menganalisis reaksi masyarakat terhadapnya
setelah menyebarkan informasinya, sebelum akhirnya mencapai sebuah hasil akhir
dan meresmikan hasil akhir tersebut sebagai sebuah UU.
Kelemahan pertama ini adalah kelemahan fatal, yang terbukti secara jelas bahwa
akibat tidak dimanfaatkannya teknologi informasi dalam proses penyusunan UU ini,
maka isi dari UU ini sendiri memiliki celah-celah hukum yang mana dalam waktu
kurang dari sebulan peresmiannya telah menimbulkan gejolak di kalangan pelaku
usaha teknologi informasi, yang diakibatkan oleh ketidakpastian yang ditimbulkannya
itu.
 Kelemahan kedua: salah kaprah dalam definisi.
Pasal 1 ayat 1 Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Ayat 4 Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Definisi Informasi Elektronik menggambarkan tampilan, bukan data; dari
kenyataan ini terlihat jelas bahwa penyusun definisi ini belum memahami bahwa data
elektronik sama sekali tidak berupa tulisan, suara, gambar atau apapun yang ditulis
dalam definisi tersebut. Sebuah data elektronik hanyalah kumpulan dari bit-bit digital,
yang mana setiap bit digital adalah informasi yang hanya memiliki dua pilihan, yang
apabila dibatasi dengan kata “elektronik” maka pilihan itu berarti “tinggi” dan “rendah”
dari suatu sinyal elektromagnetik. Bila tidak dibatasi dengan kata tersebut, maka bit
digital dapat berupa kombinasi pilihan antonim apapun seperti “panjang” dan “pendek”,
“hidup” dan “mati”, “hitam” dan “putih” dan sebagainya.
Pada definisi Dokumen Elektronik, bahkan ditemukan suatu keanehan dengan
membandingkan antara analog, digital dengan elektromagnetik, optikal, seakan-akan
antara analog dan elektromagnetik adalah dua bentuk yang merupakan pilihan “ini
atau itu”. Lebih jauh lagi, penggunaan kata analog adalah suatu kesalah kaprahan
karena analog sebagai suatu bentuk hanya dapat diartikan sebagai benda yang dibuat
menyerupai bentuk aslinya, dan ini sama sekali tidak ada relevansinya dengan tujuan
definisi yang diinginkan berhubung bentuk analog dari sebuah peta misalnya, adalah
sebuah peta juga dan tidak mungkin dikirimkan lewat jaringan elektronik.
Seharusnya, definisi yang jauh lebih tepat adalah sebagai berikut: ayat 1 Informasi
Digital adalah satu atau sekumpulan data digital. ayat 4 Dokumen Elektronik adalah
setiap Informasi Digital, disimpan dalam media penyimpanan data elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang diakses dengan menggunakan Sistem Elektronik.
Selain itu, mengingat bahwa sebuah dokumen elektronik dapat diproses menjadi
dua atau lebih tampilan yang berbeda (contoh: data akuntasi dapat dengan mudah
ditampilkan sebagai sebuah grafik), tergantung dari Sistem Elektronik yang
dipergunakan, maka dibutuhkan klarifikasi: ayat x Tampilan Elektronik adalah hasil
pengolahan Dokumen Elektronik yang ditampilkan dalam suatu bentuk tertentu,
dengan menggunakan Sistem Elektronik tertentu dan menjalankan suatu prosedur
pengolahan tertentu.

 Kelemahan ketiga: tidak konsisten.


Kelemahan ini terdapat di beberapa pasal dan ayat, salah satunya: Pasal 8 ayat 2
Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.
Tampaknya ayat ini dibuat dengan logika berbeda dengan ayat 1 dalam pasal yang
sama, dimana ayat 1 telah dengan benar menggunakan kriteria Sistem Elektronik yang
ditunjuk atau dipergunakan, pada ayat 2 muncul kerancuan “di bawah kendali”. Suatu
account e-mail yang berada di Yahoo atau Hotmail misalnya, tidak dapat dikatakan
sebagai suatu Sistem Elektronik di bawah kendali karena yang dikendalikan oleh
Penerima hanyalah bentuk virtualisasinya.
Pasal 15 ayat 2 Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya. ayat 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik. Ayat 3 mengatakan
bahwa ayat 2 tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa.
Keadaan memaksa? Kalau kita bicara soal komputer maka keadaan memaksa ini bisa
berarti apa saja mulai dari gangguan listrik, kerusakan komputer, terkena virus, dan
sebagainya yang pada intinya gangguan apapun dapat dikatakan sebagai keadaan
memaksa; lantas untuk apa ayat 2 itu dibuat? Apakah yang dimaksud disini sebagai
keadaan memaksa adalah definisi lazim dari “force majeure”? Entahlah, karena di
bagian penjelasan dikatakan bahwa ayat ini cukup jelas.

 Kelemahan keempat: masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas.

Kelemahan ini menjejali keseluruhan BAB VII – PERBUATAN YANG DILARANG.


Pasal 27 ayat 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
Kesusilaan – memakai standar siapa? Bahkan dalam satu rumah tangga sekalipun,
antara suami istri bisa memiliki standar kesusilaan yang berbeda, bagaimana pula
dalam satu negara? Bagaimana kalau terdapat perbedaan mencolok antara standar
kesusilaan pengirim dan penerima? Ayat yang seperti ini sebaiknya dihapus saja.
Ayat 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Apa tepatnya definisi perjudian
itu? Apabila definisi perjudian adalah suatu kegiatan yang melibatkan uang dan/atau
barang berharga lainnya, dimana terjadi perpindahan kepemilikan uang dan/atau
barang berharga tersebut atas dasar pertaruhan yang dimenangkan secara untung-
untungan, maka perdagangan saham jelas-jelas masuk kategori perjudian; bahkan
perebutan jabatan politik pun masih bisa masuk dalam kategori ini. Sama seperti ayat
1, ayat ini juga sebaiknya dihapus saja.
Ayat 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik. Penghinaan, menurut siapa? Pencemaran nama baik, menurut siapa?
Seharusnya standar tidak jelas ini diganti menjadi “memiliki muatan tuduhan yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya”. Dengan cara ini, selama sesuatu masih bersifat
pendapat maka tidak dapat dikategorikan sebagai tuduhan. Contoh: “Menurut saya dia
bodoh” adalah pendapat, sedangkan “Saya yakin IQ nya rendah” adalah tuduhan.
Ayat 4 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Apakah ini berarti mengirimkan email berisi “harap jangan kasar di milis, kalau masih
begitu juga anda akan saya keluarkan” dapat dihukum? Mengapa tidak dibuat dengan
lebih jelas dengan tambahan “yang membahayakan harta atau jiwa”?

 Kelemahan kelima: menghambat penegakan hukum serta menghambat kemajuan.

Pasal 30 dan 31 intinya melarang setiap orang untuk melakukan infiltrasi ke Sistem
Elektronik milik orang lain, kecuali atas dasar permintaan institusi penegak hukum. Ini
berarti semua orang yang melakukan tindakan melawan hukum menggunakan Sistem
Elektronik dapat dengan aman menyimpan semua informasi yang dimilikinya selama
tidak diketahui oleh penegak hukum, yang mana ini mudah dilakukan, karena orang
lain tidak diperbolehkan mengakses Sistem Elektronik miliknya dan dengan demikian
tidak dapat memperoleh bukti-bukti awal yang dibutuhkan untuk melakukan
pengaduan. Selain itu, apakah penyusun pasal-pasal ini tidak memahami konsep
“untuk menangkap maling harus belajar mencuri”? Apabila semua kegiatan explorasi
keamanan Sistem Elektronik dihambat seperti ini, pada saatnya nanti terjadi
peperangan teknologi informasi, bagaimana kita bisa menang kalau tidak ada yang
ahli di bidang ini? Sebaliknya, jika Pasal 34 ayat 2 yang memberikan pengecualian
untuk kegiatan penelitian, ingin terus menerus diterapkan, apa gunanya pasal 30 dan
pasal 31? Sebaiknya keseluruhan pasal-pasal ini diformulasi ulang dari awal.

 Kelemahan keenam: mengabaikan yurisdiksi hokum .

Pasal 37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah
Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Mungkin pasal 37 ini dibuat agar dalam kondisi dimana seorang yang berada di
Indonesia atau seorang warga negara Indonesia melakukan penipuan terhadap warga
negara lain dengan menggunakan server yang ada di negara lain, orang tersebut
dapat dijerat dengan undang-undang ini. Akan tetapi karena pasal 27 mengatur
tindakan-tindakan yang tidak memiliki standar yang sama di negara lain, ditambah
dengan pasal 34 yang mengatur masalah penjualan perangkat keras dan lunak, pasal
37 otomatis menghasilkan konflik yurisdiksi.
Contohnya adalah apabila seorang warga negara Indonesia memproduksi
perangkat lunak komputer khusus untuk perjudian selama berada di Las Vegas,
Amerika Serikat, dan perangkat lunak tersebut dikirim ke Indonesia untuk diinstall di
komputer yang berada di Indonesia, untuk diekspor ke Amerika Serikat, lalu orang
tersebut kembali ke Indonesia, maka berdasarkan pasal 37, pasal 34 dan pasal 27
orang ini dapat dikenakan sanksi karena ia melakukannya bukan untuk tujuan kegiatan
penelitian atau pengujian. Karena di daerah yurisdiksi hukum dimana tindakan itu
dilakukan, sama sekali tidak terjadi pelanggaran hukum, Pasal 37 ini telah
mengabaikan yurisdiksi hukum dan dengan demikian UU ITE ini memiliki cacat hukum.
Revisi Undang-Undang No 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE sudah berlaku sejak diundangkannya pada tahun
2008. Dalam perjalanannya, terdapat banyak masukan dan aspirasi dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), akademisi, praktisi, dan masyarakat lainnya.
Proses pelaksanaan revisi UU ITE telah menjawab tuntutan dan aspirasi tersebut,
mengingat banyaknya kasus yang terjadi dan banyak pihak yang dilaporkan serta diproses
melalui hukum dengan dilakukan penahanan sejak penyidikan. Tuntutan tersebut pada intinya
adalah agar tidak terjadi kriminalisasi dari kasus-kasus yang ada dan meminta agar orang
yang dituduh tidak serta merta dilakukan penahanan.
Tuntutan dan aspirasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh DPR bersama
pemerintah dengan melakukan revisi atas UU ITE dengan skema revisi terbatas, yang
maksudnya adalah konsentrasi kepada pasal-pasal tertentu sehingga memberi ruang tidak
ada lagi kriminalisasi sebagaimana diaspirasikan. Revisi juga memberi ruang untuk
memberikan perlindungan hukum, ekosistem yang berkeadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat.
Berikut adalah isi dari perubahan dalam Revisi UU ITE Tahun 2008:

1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan,


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27
ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:

a. Menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan


dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik".
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada
ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:

a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari


pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun)
dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750
juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2
miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.

3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai


berikut:

a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan


pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah
menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagai alat bukti hukum yang sah.

4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6)
dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:

a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin


Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan
KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua
Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan kembali
dengan ketentuan KUHAP.

5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada
ketentuan Pasal 43 ayat (5):

a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana


teknologi informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait
tindak pidana teknologi informasi.

6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" atau "hak untuk dilupakan"


pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:

a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik


yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang
yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme
penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis


gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan
menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:

a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi


Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;

b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan


kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses
terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa revisi UU-ITE justru menimbulkan


kesan yang lebih humanis dibandingkan dengan sebelumnya. Salah satu contohnya adalah
dengan menegaskan bahwa delik pencemaran nama baik adalah delik aduan, bukan delik
biasa, dan pada perubahan UU-ITE adanya pengurangan hukuman dan pengurangan jumlah
denda.
Kesimpulan
Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) merupakan salah satu
cyberlaw atau dasar hukum cyber yang diterapkan di Indonesia, secara umum Undang-
Undang ITE mengatur informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan
yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada
beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan
UNCITRAL Model Law on eSignature. UU ITE digunakan untuk mengatur informasi dan
transaksi elektronik seiring dengan perkembangan jaman di era globalisasi ini. Terdapat
beberapa kelemahan pada UU ITE seperti beberapa pasal yang penjelasannya yang kurang
tegas dan jelas. Pada tanggal 27 Oktober tahun 2016 UU ITE mengalami perubahan atau
direvisi kemudian disahkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

You might also like